LAMPIRAN PERATURAN DIREKTUR RUMAH SAKIT BUDIMULIA NOMOR : 02.06/PER/DIR/RSBM 02.06/PER/DIR/RSBM/III/2018 /III/2018 TENTANG PANDUAN PASIEN TAHAP TERMINAL BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di antara para penderita sakit, terdapat penderita sakit yang menurut perhitungan tenaga medis tidak akan dapat sembuh lagi. Mereka inilah yang disebut sebagai pasien terminal. Keadaan sedemikian secara tak langsung membawa seseorang kepada situasi di mana ia merasa kehilangan harapan untuk hidup. Sedangkan keadaan vegetatif merupakan keadaan di mana seseorang berada dalam keadaan koma (tidak sadar) secara berkepanjangan, namun belum dapat dikategorikan sebagai telah mati karena aktivitas elktrik otaknya masih ada, meskipun minimal.
Secara medis, orang yang mengalami keadaan seperti ini belum dapat dinyatakan telah mati karena tubuhnya adakalanya masih menunjukkan reaksi terhadap beberapa rangsangan tertentu. Jika keadaan ini berlangsung selama lebih dari sebulan, maka pasien itu akan memasuki tahap yang di sebut vegetatif yang persisten persistent vegetative state). ( persistent
Kehidupannya dapat dipertahankan dengan bantuan makanan yang disalurkan melalui pembuluh darah. Apabila keadaan koma ini berlangsung lebih dari tiga bulan, maka semakain tipis harapan untuk pulih dari sakit yang dialami. Bahkan menurut Persatuan Dokter Sedunia, ketidak-sadaran yang mencapai lebih dari enam bulan akan mengkibatkan kerusakan yang lebih parah di otak penderita.
Dua situasi ini memiliki konsekuensi yang sama, yakni kecilnya kemungkinan untuk sembuh dari sakit yang diderita. Harapan bagi pulihnya kesehatan si pasien sangat tipis. Hal ini membuka kemungkinan untuk diambilnya keputusan atau meneruskan upaya pengobatan atau memberhentikan tindakan pengobatan yang sedang dilakukan.
Pada tataran inilah diperlukan pertimbangan-pertimbangan moral yang memadai untuk dapat melangkah pada pijakan yang benar. B.
TUJUAN 1.
Tujuan umum Sebagai arahan bagi perawatan pasien terminal di rumah sakit
2.
Tujuan khusus : a.
Terlaksananya perawatan pasien terminal yang bermutu sesuai standar yang berlaku di rumah sakit
b.
Tersusunnya panduan pasien terminal
c.
Tersedianya tenaga medis dan non medis yang terlatih.
d.
Tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan.
C. PENGERTIAN 1.
Keadaan Terminal Adalah suatu keadaan sakit dimana menurut akal sehat tidak ada harapan lagi bagi si sakit untuk sembuh. Keadaan sakit itu dapat disebabkan oleh suatu penyakit atau suatu kecelakaan.
2.
Kematian Adalah suatu pengalaman tersendiri, dimana setiap individu akan mengalami/menghadapinya seorang diri, sesuatu yang tidak dapat dihindari, dan merupakan suatu kehilangan.
BAB II RUANG LINGKUP
Panduan pasien tahap terminal merupakan salah satu bagian terpenting bagaimana RS BUDIMULIA memberikan pelayanan yang komprenehsif kepada seluruh pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Disinilah, bentuk pelayanan yang kompleks dan holistic dijalankan, bukan hanya semata sebuah pelayanan yang berfokus kepada sebuah kesembuhan (secara umum) tetapi pasien dengan kondisi terminal atau menjelang ajal (kematian) diberikan sebuah persiapan.
Hal ini tentunya berlaku pada seluruh pasien tahap terminal dengan kasus yang ada di RS BUDIMULIA yang dilakukan perawatan. Dengan adanya ini, diharapkan mampu memberikan sebuah pelayanan menyeluruh bio – psiko – social pada pasien menjelang kematiannya.
BAB III KEBIJAKAN
1. Asessmen ulang harus dilakukan secara individual untuk memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga pasien apabila apabila pasien mendekati kematian menyesuaikan kondisi kehidupan a. Gejala seperti mau muntah dan kesulitan pernafasan. b. Faktor-faktor yang meningkatgkan dan meningkatkan gejalafisik c. Manajemen gejala saat ini dan hasil respons pasien d. Orientasi
spiritual
pasien
dan
keluarga
dan
kalau
perlu
pasien
dan
keterlibatan kelompok agama. e. Keprihatinan
atau
kebutuhan
spiritual
keluarga.seperti putus asa, penderitaan, beban pengampunan. f.
Status
psikososial
pasien
dan
keluarga
seperti
hubungan
keluarga, kecukupan kemampuan apabila diperlukan perawatan di rumah, cara mengatasi dan reaksi kel;uarga atas penyakit pasien. g. Kebutuhan dukungan atau pelayanan (respite services) bagi pasien dan keluarga dari pemberi pelayanan lain. h. Kebutuhan alternative atau tingkat pelayanan lain i.
Faktor reesiko bagi yang ditinggalkan dan cara mengatasi potensi reaksi patologis atas kehilangan.
2. Hasil pengkajian di dokumentasikan dalam rekam medis.
BAB IV TATA LAKSANA
Masalah di akhir kehidupan beragam dari usaha memperpanjang hidup pasien yang sekaratsampai teknologi eksperimental canggih seperti implantasi organ binatang, percobaanmengakhiri hidup lebih awal melalui euthanasia dan bunuh diri secara medis.
Di antara hal-halyang ekstrim tersebut ada banyak masalah seperti memulai atau menghentikan perawatanyang dapat memperpanjang hidup, perawatan pasien dengan penyakit stadium terminal sertakelayakan dan penggunaan peralatan bantuan hidup lanjut.
Dua masalah yang pantas mendapat perhatian khusus: euthanasia dan bantuan bunuh diri. 1.
Euthanasia Adalah
tahu
dan
secara
sadar
melakukan
suatu
tindakan
yang
jelasdimaksudkan untuk mengakhiri hidup orang lain dan juga termasuk elemen-elemenberikut: subjek tersebut adalah orang yang kompeten dan paham dengan penyakit yang tidak dapat disembuhkan yang secara sukarela meminta hidupnya diakhiri; agenmengetahui tentang kondisi pasien dan menginginkan kematian dan melakukan tindakan dengan niat utama mengakhiri hidup orang tersebut; dan tindakan dilakukan dengan belas kasih dan tanpa tujuan pribadi. 2.
Bantuan Bunuh Diri Adalah berarti tahu dan secara sadar memberikan kepada seseorang pengetahuan atau alat atau keduanya yang diperlukan untuk melakukan bunuh diri, termasuk konseling mengenai obat dosis letal, meresepkan obat dosis letal, atau memberikannnya.Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan sering dianggap sama secara moral, walaupun antara keduanya ada perbedaan yang jauh secara praktek maupun dalam hal yuridiksi legal. Euthanasia dan bunuh diri dengan bantuan secara definisi harus dibedakan dengan
menunda
atau
menghentikan
perawatan
medis
yang
tidak
diinginkan, sia-sia atau tidak tepat at ketentuan perawatan paliatif, bahkan jika tindakan-tindakan tersebut dapat memperpendek hidup.
Permintaan euthanasia dan bantuan bunuh diri muncul sebgai akibat dari rasa sakit atau penderitaan yang dirasa pasien tidak tertahankan. Mereka lebih memilih mati dari pada meneruskan hidup dalam keadaan tersebut. Lebih jauh lagi, banyak pasien menganggap mereka mempunyai hak untuk mati dan bahkan hak memperoleh bantuan untuk mati.
Dokter dianggap sebagai instrumen kematian yang paling tepat karena mereka mempunyai pengetahuan medis dan akses kepada obat-obatan yang sesuai untuk mendapatkan kematian yang cepat dan tanpa rasa sakit. Tentunya dokter akan merasa enggan memenuhi permintaan tersebut karena merupakan tindakan yang ilegal di sebagian besar negara dan dilarang dalam sebagian besar kode etik kedokteran. Larangan tersebut merupakan bagian dari sumpah Hippocrates dan telahdinyatakan kembali oleh WMA dalam Declaration on Euthanasia:
Euthanasia yang merupakan tindakan mengakhiri hidup seorang pasien dengan segera, tetaplah tidak etik bahkan jika pasien sendiri atau keluarga dekatnya yangmemintanya. Hal ini tetap saja tidak mencegah dokter dari kewajibannya menghormati keinginan pasien untuk membiarkan proses kematian alami dalamkeadaan sakit tahap terminal.
Penolakan terhadap euthanasia dan bantuan bunuh diri tidak berarti dokter tidak
dapatmelakukan
apapun
bagi
pasien
dengan
penyakit
yang
mengancam jiwa pada stadium lanjut dan dimana tindakan kuratif tidak tepat. Pada tahun-tahun terakhir telah terjadi kemajuan yang besar dalam perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaan serta meningkatkan kualitas hidup.
Pengobatan paliatif dapat diberikan pada pasien segala usia, dari anakanak dengan penyakit kanker sampai orang tua yang hampir meninggal.
Satu aspek dala pengobatan paliatif yang memerlukan perhatian lebih adalah kontrol rasa sakit. Semua dokter yang merawat pasien sekarat harus yakin bahwa mereka mempunyai cukup ketrampilan dalam masalah ini, dan jika mungkin juga memiliki akses terhadap bantuan yang sesuai dari ahli pengobatan paliatif. Dan di atas semuanya itu, dokter tidak boleh membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.
Pendekatan terhadap kematian memunculkan berbagai tantangan etis kepada pasien, wakil pasein dalam mengambil keputusan, dan juga dokter. Kemungkinan memperpanjang hidup dengan memberikan obat-obatan, intervensi
resusitasi,
prosedur
radiologi,
dan
perawatan
intensif
memerlukan keputusan mengenai kapan memulai tindakan tersebut dan kapan menghentikannya jika tidak berhasil.
Seperti dibahas di atas, jika berhubungan dengan komunikasi dan ijin, pasien yang kompeten mempunyai hak untuk menolak tindakan medis apapun walaupun jika penolakan itu dapat”....dokter tidak boleh
membiarkan pasien sekarat namun tetap memberikan perawatan dengan belas kasih bahkan jika sudah tidak mungkin disembuhkan.”menyebabkan kematian. Setiap orang berbeda dalam menanggapi kematian; beberapa akan melakukan apapun untuk memperpanjang hidup mereka, tak peduli seberapapun sakit dan menderitanya; sedang yang lain sangat ingin mati sehingga menolak bahkan tindakan yang sederhana yang dapat membuat mereka tetap hidup seperti antibiotik untuk pneumonia bakteri. Jika dokter telah melakukan setiap usaha untuk memberitahukan kepada pasien semua
informasi
tentang
perawatan
yang
ada
serta
kemungkinan
keberhasilannya, dokter harus tetap menghormati keputusan pasien apakah akan memulai atau melanjutkan suatu terapi.
Pengambilan keputusan di akhir kehidupan untuk pasien yang tidak kompeten memunculkan kesulitan yang lebih besar lagi. Jika pasien dengan jelas mengungkapkan keinginannya sebelumnya seperti menggunakan
bantuan hidup lanjut, keputusan akan lebih mudah walaupun bantuan seperti itu kadang sangat samar-samar dan harus diinterpretasikan berdasarkan
kondisi
aktual
pasien.
Jika
pasien
tidak
menyatakan
keinginannnya dengan jelas, wakil pasien dalam mengambil keputusan harus menggunakan kriteria-kriteria lain untuk keputusan perawatan yaitu kepentingan terbaik pasien.
A. TAHAP-TAHAP MENJELANG AJAL Kubler-Rosa
(1969),
telah
menggambarkan/
membagi
tahap-tahap
menjelang ajal (dying) dalam 5 tahap, yaitu: 1.
Menolak/Denial Pada fase ini , pasien tidak siap menerima keadaan yang sebenarnya terjadi, dan menunjukkan reaksi menolak. Timbul pemikiran-pemikiran seperti:“Seharusnya tidak terjadi dengan diriku, tidak salahkah keadaan
ini?”.Beberapa
orang
bereaksi
pada
fase
ini
dengan
menunjukkan keceriaan yang palsu (biasanya orang akan sedih mengalami keadaan menjelang ajal). 2.
Marah/Anger Kemarahan terjadi karena kondisi klien mengancam kehidupannya dengan segala hal yang telah diperbuatnya sehingga menggagalkan cita-citanya. Timbul pemikiran pada diri klien, seperti:“Mengapa hal ini terjadi dengan diriku kemarahan-kemarahan tersebut biasanya diekspresikan
kepada
obyek-obyek
yang
dekat
dengan
pasien,
seperti:keluarga, teman dan tenaga kesehatan yang merawatnya. 3.
Menawar/bargaining Pada tahap ini kemarahan baisanya mereda dan pasien malahan dapat menimbulkan kesan sudah dapat menerima apa yang terjadi dengan dirinya.Pada pasien yang sedang dying, keadaan demikian dapat terjadi, seringkali klien berkata:“Ya Tuhan, jangan dulu saya mati dengan segera, sebelum anak saya lulus jadi sarjana”.
4. Kemurungan/Depresi Selama tahap ini, pasien cenderung untuk tidak banyak bicara dan mungkin banyak menangis. Ini saatnya bagi perawat untuk duduk
dengan tenang disamping pasien yang sedangan melalui masa sedihnya sebelum meninggal. 5. Menerima/Pasrah/Acceptance Pada fase ini terjadi proses penerimaan secara sadar oleh pasien dan keluarga tentang kondisi yang terjadi dan hal-hal yang akan terjadi yaitu kematian.Fase ini sangat membantu apabila pasien dapat menyatakan reaksi-reaksinya atau rencana-rencana yang terbaik bagi dirinya menjelang ajal. Misalnya: ingin bertemu dengan keluarga terdekat, menulis surat wasiat, dan sebagainya
B.
TYPE-TYPE PERJALANAN MENJELANG KEMATIAN Ada 4 type dari perjalanan proses kematian, yaitu: 1.
Kematian yang pasti dengan waktu yang diketahui, yaitu adanya perubahan yang cepat dari fase akut ke kronik.
2.
Kematian yang pasti dengan waktu tidak bisa diketahui, baisanya terjadi pada kondisi penyakit yang kronik.
3.
Kematian yang belum pasti, kemungkinan sembuh belum pasti, biasanya terjadi pada pasien dengan operasi radikal karena adanya kanker.
4.
Kemungkinan mati dan sembuh yang tidak tentu. Terjadi pada pasien dengan sakit kronik dan telah berjalan lama.
C. TANDA-TANDA KLINIS MENJELANG KEMATIAN 1.
Kehilangan Tonus Otot, ditandai: a.
Relaksasi otot muka sehingga dagu menjadi turun.
b.
Kesulitan dalam berbicara, proses menelan dan hilangnya reflek menelan.
c.
Penurunan kegiatan traktus gastrointestinal, ditandai: nausea, muntah, perutkembung, obstipasi, dan lainnya.
2.
d.
Penurunan kontrol spingter urinari dan rectal.
e.
Gerakan tubuh yang terbatas.
Kelambatan dalam Sirkulasi, ditandai: a.
Kemunduran dalam sensasi.
b.
Sianosis pada daerah ekstermitas.
c.
Kulit dingin, pertama kali pada daerah kaki, kemudian tangan, telinga dan hidung.
3.
4.
Perubahan-perubahan dalam tanda-tanda vital a.
Nadi lambat dan lemah.
b.
Tekanan darah turun.
c.
Pernafasan cepat, cepat dangkal dan tidak teratur.
Gangguan Sensori a.
Penglihatan kabur.
b.
Gangguan penciuman dan perabaan.
Variasi-variasi tingkat kesadaran dapat dilihat sebelum kematian, kadangkadang pasien tetap sadar sampai meninggal. Pendengaran merupakan sensori terakhir yang berfungsi sebelum meninggal.
D. TANDA-TANDA KLINIS SAAT MENINGGAL
E.
1.
Pupil mata melebar.
2.
Tidak mampu untuk bergerak.
3.
Kehilangan reflek.
4.
Nadi cepat dan kecil.
5.
Pernafasan chyene-stoke dan ngorok.
6.
Tekanan darah sangat rendah
7.
Mata dapat tertutup atau agak terbuka.
TANDA-TANDA MENINGGAL SECARA KLINIS Secara tradisional, tanda-tanda klinis kematian dapat dilihat melalui perubahan-perubahan nadi, respirasi dan tekanan darah.Pada tahun 1968, World Medical Assembly , menetapkan beberapa petunjuk tentang indikasi kematian, yaitu: 1.
Tidak ada respon terhadap rangsangan dari luar secara total.
2.
Tidak adanya gerak dari otot, khususnya pernafasan.
3.
Tidak ada reflek.
4.
Gambaran mendatar pada EKG.
F. MACAM TINGKAT KESADARAN/PENGERTIAN PASIEN DAN KELUARGANYA TERHADAP KEMATIAN Strause et all (1970), membagi kesadaran ini dalam 3 type: 1.
Closed Awareness/Tidak Mengerti Pada situasi seperti ini, dokter biasanya memilih untuk tidak memberitahukan tentang diagnosa dan prognosa kepada pasien dan keluarganya. Tetapi bagi perawat hal ini sangat menyulitkan karena kontak perawat lebih dekat dan sering kepada pasien dan keluarganya. Perawat
sering
kal
dihadapkan
dengan
pertanyaan-pertanyaan
langsung, kapan sembuh, kapan pulang, dan sebagainya. 2.
Matual Pretense/Kesadaran/Pengertian yang Ditutupi Pada
fase
ini
memberikan
kesempatan
kepada
pasien
untuk
menentukan segala sesuatu yang bersifat pribadi walaupun merupakan beban yang berat baginya. 3.
Open Awareness/Sadar akan keadaan dan Terbuka Pada situasi ini, pasien dan orang-orang disekitarnya mengetahui akan adanya ajal yang menjelang dan menerima untuk mendiskusikannya, walaupun dirasakan getir.Keadaan ini memberikan kesempatan kepada pasien untuk berpartisipasi dalam merencanakan saat-saat akhirnya, tetapi tidak semua orang dapat melaksanaan hal tersebut.
G. BANTUAN YANG DAPAT DIBERIKAN 1.
Bantuan Emosional
a. Pada fase Denial/Menolak Dokter/perawat perlu waspada terhadap isyarat pasien dengan denial
dengan
prognosisnya
cara
dan
mananyakan
pasien
dapat
tentang
kondisinya
mengekspresikan
atau
perasaan-
perasaannya.
b. Pada Fase Marah Biasanya pasien akan merasa berdosa telah mengekspresikan perasaannya yang marah. Dokter/Perawat perlu membantunya agar mengerti bahwa masih me rupakan hal yang normal dalam merespon perasaan kehilangan menjelang kamatian. Akan lebih
baik bila kemarahan ditujukan kepada perawat sebagai orang yang dapat dipercaya, memberikan rasa aman dan akan menerima kemarahan tersebut, serta meneruskan asuhan sehingga membantu pasien dalam menumbuhkan rasa aman.
c. Pada Fase Menawar Pada
fase
ini
dokter/perawat
perlu
mendengarkan
segala
keluhannya dan mendorong pasien untuk dapat berbicara karena akan mengurangi rasa bersalah dan takut yang tidak masuk akal.
d. Pada Fase Depresi Pada fase ini dokter/perawat selalu hadir di dekatnya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan oleh pasien. Akan lebih baik jika berkomunikasi secara non verbal yaitu duduk dengan tenang disampingnya dan mengamati reaksi-reaksi non verbal dari pasien sehingga menumbuhkan rasa aman bagi pasien.
e. Pada Fase Penerimaan Fase ini ditandai pasien dengan perasaan tenang, damai. Kepada keluarga dan teman-temannya dibutuhkan pengertian bahwa pasien telah menerima keadaanya dan perlu dilibatkan seoptimal mungkin dalam program pengobatan dan mampu untuk menolong dirinya sendiri sebatas kemampuannya. 2.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Fisiologis a.
Kebersihan Diri Kebersihan dilibatkan untuk mampu melakukan kerbersihan diri sebatas kemampuannya dalam hal kebersihan kulit, rambut, mulut, badan, dan sebagainya.
b.
Mengontrol Rasa Sakit Beberapa obat untuk mengurangi rasa sakit digunakan pada pasien dengan sakit terminal, seperti morphin, heroin, dan lainya. Pemberian obat ini diberikan sesuai dengan tingkat toleransi nyeri yang dirasakan pasien. Obat-obatan lebih baik diberikan Intra Vena dibandingkan melalui Intra Muskular/Subcutan, karena kondisi sistem sirkulasi sudah menurun
c.
Membebaskan Jalan Nafas
Untuk pasien dengan kesadaran penuh, posisi fowler akan lebih baik dan pengeluaran sekresi lendir perlu dilakukan untuk membebaskan jalan nafas, sedangkan bagi pasien yang tidak sadar, posisi yang baik adalah dengan dipasang drainase dari mulut dan pemberian oksigen d.
Bergerak Apabila kondisinya memungkinkan, pasien dapat dibantu untuk bergerak, seperti: turun dari tempat tidur, ganti posisi tidur (miring kiri, miring kanan ) untuk mencegah decubitus dan dilakukan secara periodik, jika diperlukan dapat digunakan alat untuk menyokong tubuh pasien, karena tonus otot sudah menurun
e.
Nutrisi Pasien seringkali anorexia, nausea karena adanya penurunan peristaltik. Dapat diberikan anti ametik untuk mengurangi nausea dan merangsang nafsu makan serta pemberian makanan tinggi kalori dan protein serta vitamin. Karena terjadi tonus otot yang berkurang, terjadi dysphagia, dokter perlu menguji reflek menelan klien sebelum diberikan makanan, kalau perlu diberikan makanan cair atau Intra Vena/Infus.
f.
Eliminasi Karena adanya penurunan atau kehilangan tonus otot dapat terjadi konstipasi, inkontinensia urin dan feses. Obat laxant perlu diberikan untuk mencegah konstipasi. Pasien dengan inkontinensia dapat diberikan urinal, pispot secara teratur atau dipasang duk yang diganti setiap saat atau dipasang kateter. Harus dijaga kebersihan pada daerah sekitar perineum, apabila terjadi lecet, harus diberikan salep
g.
Perubahan Sensori Pasien dengan dying, penglihatan menjadi kabur, pasien biasanya menolak/menghadapkan kepala kearah lampu/tempat terang. Pasien
masih
dapat
mendengar,
tetapi
tidak
dapat/mampu
merespon, perawat dan keluarga harus bicara dengan jelas dan tidak berbisik-bisik.
3.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Sosial Pasien dengan dying akan ditempatkan diruang isolasi, dan untuk memenuhi kebutuhan kontak sosialnya, perawat dapat melakukan: a.
Menanyakan siapa-siapa saja yang ingin didatangkan untuk bertemu dengan pasien dan didiskusikan dengan keluarganya, misalnya: teman-teman dekat, atau anggota keluarga lain
b.
Menggali perasaan-perasaan pasien sehubungan dengan sakitnya dan perlu diisolasi
c.
Menjaga penampilan pasien pada saat-saat menerima kunjungan kunjungan teman-teman terdekatnya, yaitu dengan memberikan pasien untuk membersihkan diri dan merapikan diri
d.
Meminta saudara/teman-temannya untuk sering mengunjungi dan mengajak orang lain dan membawa buku-buku bacaan bagi pasien apabila pasien mampu membacanya.
4.
Bantuan Memenuhi Kebutuhan Spiritual a.
Menanyakan kepada pasien tentang harapan-harapan hidupnya dan rencana-rencana pasien selanjutnya menjelang kematian
b.
Menanyakan kepada pasien untuk bila ingin mendatangkan pemuka agama dalam hal untuk memenuhi kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya.
c.
Membantu dan mendorong pasien untuk melaksanakan kebutuhan spiritual sebatas kemampuannya.
Keyakinan
spiritual
mencakup
praktek
ibadah
sesuai
dengan
keyakinanya/ ritual harus diberi dukungan. Petugas kesehatan dan keluarga harus mampu memberikan ketenangan melalui keyakinankeyakinan spiritualnya. Petugas kesehatan dan keluarga harus sensitive terhadap kebutuhan ritual pasien yang akan menghadapi kematian, sehingga terpenuhi.
kebutuhan
spiritual
klien
menjelang
kematian
dapat
H. KESIMPULAN Kondisi Terminal adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami penyakit/sakit yang tidak mempunyai harapan untuk sembuh sehingga sangat dekat dengan proses kematian.
Respon klien dalam kondisi terminal sangat individual tergantung kondisi fisik, psikologis, sosial yang dialami, sehingga dampak yang ditimbulkan pada tiap individu juga berbeda. Hal ini mempengaruhi tingkat kebutuhan dasar yang ditunjukan oleh pasien terminal.
Orang yang telah lama hidup sendiri, terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap penderitaan. Atau sebagian beranggapan bahwa kematian
sebagai
jalan
menuju
kehidupan
kekal
yang
akan
mempersatukannya dengan orang-orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan perpisahan, dikuncilkan, ditelantarkan, kesepian, atau mengalami penderitaan sepanjang hidup.
Seseorang yang menghadapi kematian/kondisi terminal, dia akan menjalani hidup, merespon terhadap berbagai kejadian dan orang disekitarnya sampai kematian itu terjadi. Perhatian utama pasien terminal sering bukan pada kematian itu sendiri tetapi lebih pada kehilangan kontrol terhadap fungsi tubuh, pengalaman nyeri yang menyakitkan atau tekanan psikologis yang diakibatkan ketakutan akan perpisahan, kehilangan orang yang dicintai.
BAB V DOKUMENTASI
Dokumentasi dalam melakukan pelayanan pada pasien tahap terminal, harus ditulis dalam catatan rekam medis terintegrasi. Sehingga proses penerapan asuhannya pun akan lebih berorientasi kepada bagaimana pasien disiapkan untuk menjemput kematiannya dengan tenang dan aman, nyaman dan dikurangi dari rasa nyeri.
Dokumentasi yang jelas dan rinci, tentunya akan membantu seluruh disiplin tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan yang menitik beratkan kepada sebuah pelayanan menyeluruh bio – psiko – social pasien di akhir hidupnya.
Direktur,
dr. JURIKO PETER PANDEAN, MARS