1
PROPOSAL PENGAJUAN JUDUL TESIS Problematik Penanganan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Pidana di Tinjau dari Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotik dan Kitab Undang –Undang Hukum Pidana (studi di kota batam)
TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Hukum Magister Hukum Bisnis
Diajukan Oleh : ELFRIDA NPM. 70000000
Fakultas Pasca Sarjana UNIVERSITAS BATAM BATAM 2013 PENDAHULUAN
1
2
A. Latar Belakang Tujuan dari
suatu
Negara
adalah
ingin
menjamin
setiap hak – hak
kehidupan bagi masyarakatnya. Hal demikian sebagaimana di sebutkan didalam Undang –Undang Dasar 1945 dalam amandemen ke-2 pasal 28A yang berbunyi ;1 “ setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Bahwa merdeka
hak asasi2 warga negara Indonesia di jamin oleh Negara.
negara harus mengisi kemerdekaannya
kegiatan di berbagai
Sejak
dengan berbagai macam
bidang. Salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa melalui pendidikan, agar generasi penerus bangsa dapat meneruskan cita – citanya. Dengan kecerdasan yang dimiliki maka generasi penerusnya tidak akan mudah terpengaruh dengan hal –hal yang bersifat negatif. Kehendak negara yang baik sebagaimana tertuang didalam mukadimah UUD 1945 adalah mencapai kemanusiaan universalitas melindungi segenap bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia.3 Maka tujuan dari negara terhadap warganya adalah memberikan perlindungan yang seutuhnya, dalam kerangka grund norm UUD 1945.4 1
Undang –Undang Dasar 1945 Lembaga Informasi Nasional Republik Indonesia 2002, hal 34.
2
Ibid. BAB XA tentang Hak Asasi Manusia dari Pasal 28A -28J.
3
Hendra Nurtjahtjo, “Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen”, (PT. Raja Grafindo, Ed-1, Jakarta, 2005). hal.28. 4
Ibid. Hendra Nurtjahtjo “mencapai kehidupan yang manusiawi, adil, dan beradab berkorelasi positif dengan upaya perlindungan hak asasi warga negara sebagaimana yang dirumuskan didalam konstitusi. Jabaran dari tujuan ini menjadi tugas inti negara. Yaitu melindungi kemanusiaan ( tidak hanya bagi warganya, tetapi juga seluruh umat manusia yang berada di wilayahnya ataupun yang berada diluar wilayahnya). Kemanusiaan ini harus didasarkan pada nilai –nilai keadilan universal yang luas. Kemanusiaan juga harus didasaarkan pada pembentukan masyarakat yang beradab ( civilez society) sebagai mana yang dikonstruksikan dalam model masyarakat madani (civil society).
2
3
Dengan terjaminnya di berbagai aspek kehidupan maka tujuan negara yang hendak
di capai
dapat
terwujud.
Hanya saja jalan menuju cita –cita yang
diharapkan tidaklah mudah kendati negara di belahan dunia manapun hingga saat ini masih terus memperjuangkan dan meningkatkan tingkat kesejahteraan bagi rakyat dengan mengentaskan berbagai macam poblem yang di hadapinya. Salah satu problem yang sangat krusial hingga saat ini adalah permasalahan narkoba. Sulitnya upaya pemberantasan narkoba disebabkan oleh karena peredaran narkoba merupakan suatu kejahatan yang terorganisir (organized crime) dan telah menjadi suatu bentuk industri perdagangan yang esklusif didalam kegiatannya, sebagaimana dikemukakan oleh TB. Ronny Rahman Nitibaskara :5 “ dalam dua dekade terkahir, para pengedar obat bius (drug trafficker), bersama kelompok –kelompok kejahatan lainnya telah melebarkan sayapnya secara lintas batas negara, sebagai layaknya perusahaan –perusahaan multi nasional.” Dengan kondisi tersebut diatas maka ancaman penyalahgunaan narkoba terhadap generasi muda belumlah usai, dan masih menjadi tantangan berat bagi pihak – pihak terkait dalam hal ini aparat penegak hukum, di dalam upaya mengungkapkan berbagai jaringan kejahatan narkoba yang terus menjerat dan menjaring korban –korbannya. Penyalah guna 6 narkoba merupakan potensi bagi oknum dan sindikat kejahatan tersebut, bahwa generasi muda itulah yang dapat menjalankan keuntungan bagi bisnis gelapnya.
5
Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara, “ Ketika Kejahatan Berdaulat, sebuah pendekatan kriminologi dan sosiologi,” (PenPeradaban, Jakarta 2001).hal.139.
6
Undang –Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Psikotropika ; Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 15 ; Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
3
4
Keberadaan peredaran Narkotika akhir –akhir ini makin mengkhawatirkan, bahwa narkotika merupakan kejahatan yang bersifat transnasional dan multi dimensi hingga dapat masuk ke segala lapisan masyarakat yang di kendalikan oleh bandar narkotika.7 Akibat arus globalisasi dan informasi yang kian terbuka berbagai macam bentuk perdagangan yang mudah aksesnya termasuk didalamnya narkoba, dimana penyebaran yang terjadi saat ini di Indonesia tidak hanya sekedar peredaran melainkan telah berproduksi dan bereproduksi di negeri sendiri sebagaimana di dalam pemberitaan harian Kompas mengenai permasalahan narkoba ; 8 “Pemantapan seaport dan airport Interdiction menjadi salah satu upaya BNN bersama instansi terkait untuk mencegah masuknya narkoba ke wilayah Indonesia. Hasilnya cukup memuaskan, namun karena di Indonesia banyak pelabuhan laut terbuka yang tidak punya alat pendeteksi canggih seperti X-Ray di bandara, maka peredaran gelap narkoba masih saja terjadi (KOMPAS, 2005). Kasus 966 kilogram shabu di teluk Naga yang terungkap pada bulan Agustus 2005 cukup sebagai bukti sulitnya mengontrol kejadian ini. Bahkan akhir – akhir ini Indonesia bukan lagi hanya sebagai kawasan peredaran saja tapi juga sebagai produsen. Beberapa pabrik narkoba telah berdiri seperti misalnya pabrik ekstasi di Serang, Banten.” Hal tersebut membuktikan Indonesia menjadi target pasar strategis, dengan kondisi penyebaran yang sistemik hingga ke lapisan tingkatan masyarakat maka narkoba sebagai suatu kejahatan yang merusak tatanan pembangunan manusia, oleh sebab itulah penanganan terhadapnya adalah tidak dapat dilakukan melalui dimensi hukum saja melainkan aspek sosiomedis dan psikologi ikut menyertainya. Terhadap aktor intelektual peredaran narkoba terhadap sistem penerapan sanksi pemidanaan 7
http://entertainmentgeek-jimmy.blogspot.com/2011/10/sejarah-munculnya-narkoba.html, akses 13 marte 2013 ;
Narkoba adalah singkatan dari narkotika dan obat/bahan berbahaya. Selain "narkoba", istilah lain yang diperkenalkan khususnya oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia adalah Napza yang merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif. Hingga kini penyebaran narkoba sudah hampir tak bisa dicegah. Mengingat hampir seluruh penduduk dunia dapat dengan mudah mendapat narkoba dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Misalnya saja dari bandar narkoba yang senang mencari mangsa didaerah sekolah, diskotik, tempat pelacuran, dan tempat-tempat perkumpulan genk. Tentu saja hal ini bisa membuat para orang tua, ormas, pemerintah khawatir akan penyebaran narkoba yang begitu meraja rela. 8
http://ynsuryani.wordpress.com/2008/06/16/permasalahan-narkoba-di-indonesia/, akses 6 mar 2013
4
5
mutlak bagi para pelaku di hukum seberat -beratnya. Sebab pada saat ini jumlah korban yang mati tiap harinya yang akibat oleh penyalah guna narkoba sejumlah 50 orang per harinya.9 Adapun korban penyalah guna narkoba yang banyak di konsumsi oleh mereka antara lain sebagai berikut ;10
Ganja, di sebut juga dengan mariyuana, grass/rumput, pot, cannabis, joint, hashish, cimeng. Heroin, di sebut juga dengan putaw, putih, PT, bedak, etep. Morfin, yaitu narkoba yang di olah dari candu/opium yang mentah. Kokain, di sebut juga dengan crack, coke, girl, lady. Ekstasi, di sebut juga dengan ineks, kancing. Shabu-shabu, di sebut juga dengan es, ss, ubas, kristal, mecin. Amphetamin, di sebut juga dengan speed.
Upaya sistematis yang dilakukan pemerintah didalam memerangi peredaran narkoba adalah dengan membuat berbagai macam regulasi dan penyempurnaan undang –undang Narkoba dan psikotropika dari waktu –ke waktu. Tujuannya dari di keluarkannya ketentuan aturan tersebut dimaksudkan
untuk
mengantisipasi
perkembangan modus baru terhadap kejahatan narkoba dan psikotropika saat ini. Dalam usaha untuk menanggulangi masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba pemerintah telah meratifikasi beberapa Konvensi Perserikatan Bangsa –Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 (Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Subtances 1988 ) dan Konvensi Psikotropika Tahun 1971 (Covention on Psychotropic Subtances 1971) dengan
mengeluarkan Undang –undang
No. 7 Tahun 1997
Tentang Pengesahan
9
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/15/mad3wr-konsumsi-narkoba %50%orang-tewas-setiap-hari-diindonesia, akses 8 maret 2013. REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang meninggal karena narkoba setiap harinya. Tak hanya itu, sebanyak 4,2 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna obat terlarang tersebut. Kepala Deputi Pemberantasan BNN Pusat, Benny J. Mamoto menyebutkan, saat ini tercatat setiap hari terdapat 50 orang meninggal karena narkoba. Dari angka tersebut didominasi oleh kaum muda. Hal tersebut, kata Benny, mengakibatkan kerugian yang Rp 48 hingga Rp 50 triliun. "Bayangkan 50 anak bangsa meninggal setiap harinya, hanya karena narkoba," ujarnya saat berkunjung ke BNN Provinsi Jateng kemarin. Benny juga menyebutkan bahwa sekarang ini terdapat 3,8 hingga 4,2 juta penduduk Indonesia yang terjerat narkoba. Jumlah tersebut pun menurut Benny dimungkinkan bukan hanya taraf pengguna baru melainkan sudah pecandu. "Bayangkan jumlah jutaan warga tersebut telah tercandu," ujarnya. 10
http://bayu96ekonomos.wordpress.com/anda-tertarik/artikel-kesehatan/penyalahgunaan-narkoba-di-kalangan-remaja/, akses 8 maret 2013
5
6
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika dan Undang-undang No. 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika. Kemudian tahun 1997 Pemerintah mengeluarkan Undang – undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang –undang No.22 tahun 1997 tentang
Narkotika sebagai pengganti Undang –undang
yang lama yaitu Undang-
undang No. 9 Tahun 1976 tentang N arkotika. Kedua undang-undang tersebut ( UU no.
5 Tahun 1997 dan UU No. 22 Tahun 1997) pada pokoknya mengatur psikotropika dan narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. Maka dengan dikeluarkannya beberapa ketentuan aturan tersebut diharapkan dapat mengurangi peredaran gelap dan meminimalisir terjadinya tingkat penyalahgunaan narkoba yang berkembang di masyarakat. Penanganan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba selalu dilakukan melalui pendekatan kebijakan hukum pidana. Sebab melalui pendekatan kebijakan pidana diharapkan ketentuan aturan yang ada dapat berjalan dengan efektif. Pada saat ini penanganan tindak pidana narkoba secara formal hanya dapat dilaksanakan oleh ketentuan aturan formal sebagai sarana (law enforcement) yaitu upaya paksa penegakan
hukum
yang
diatur
oleh
sistem
pemidanaan. Adapun pengertian
terhadap upaya sistem pidana dalam penegakan hukum ada di dalam berbagai rumusan pemidanaan antara lain di nyatakan : Dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur –unsur atau ciri –ciri sebagai berikut ;11 1. Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat –akibat lain yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang). 11
Muladi dan Barda Nawawi, “Teori –Teori dan Kebijakan Pidana”, (PT Alumni, cet-3, Bandung, 2005). Hal. 4.
6
7
3. Pidana itu dikenakan kepada sesorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang –undang. Tujuan dari diadakannya kebijakan pemidanaan adalah dalam kerangka pemerintah Dimana
ingin mengadakan ketertiban umum di tengah – tengah masyarakat.
negara representasi
dari
kepentingan
masyarakat
yang di wakilinya,
menurut Wirjono Prodjodikoro ; “bahwa titik berat berada tidak pada kepentingan seorang individu, melainkan kepada kepentingan orang – orang banyak, yang juga dapat dinamakan “kepentingan umum”.12 Dimana kondisi yang terhubung kepada kepentingan umum merupakan sifat dari pada hukum pidana.13 Undang – undang tentang narkotika adalah undang – undang yang mengatur tentang fungsi narkotika sebagai aspek kesehatan dan aspek bahaya terhadap penyalah gunaan narkotik. Penggunaan narkotik oleh negara menjadi barang yang penting dan berbahaya sehingga telah diadakan suatu pengawasan 14 yang ketat dalam penggunaannya. Akibat dan pengaruh dari pada penyalah gunaan narkoba dapat berdampak kepada kesehatan bagi si pengguna, adapun efek yang di timbulkannya antara lain ;15 Dampak Langsung Narkoba Bagi Jasmani / Tubuh Manusia 1. Gangguan pada jantung 2. Gangguan pada hemoprosik 12
Wirjono Prodjodikoro, “Asas –Asas Hukum Pidana di Indonesia”, (Refika, ed-2, cet -7, Bandung, 2002). hal 13.
13
Ibid. sifat ini dari hukum pidana dapat terlihat pada hal, bahwa terlaksananya hukum pidana pada hakikatnya tidak tergantung dari seorang individu, yang in concerto langsung dirugikan, melainkan terserah kepada pemerintah sebagai wakil dari “kepentingan umum”. 14
Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik, lihat dalam menimbang huruf c ; bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
15
http://organisasi.org/akibat-dampak-langsung-dan-tidak-langsung-penyalahgunaan-narkoba-pada-kehidupan-kesehatanmanusia, akses 5 maret 2013
7
8
3. Gangguan pada traktur urinarius 4. Gangguan pada otak 5. Gangguan pada tulang 6. Gangguan pada pembuluh darah 7. Gangguan pada endorin 8. Gangguan pada kulit 9. Gangguan pada sistem syaraf 10. Gangguan pada paru-paru 11. Gangguan pada sistem pencernaan 12. Dapat terinfeksi penyakit menular berbahaya seperti HIV AIDS, Hepatitis, Herpes, TBC, dll. 13. Dan banyak dampak lainnya yang merugikan badan manusia. Dampak Langsung Narkoba Bagi Kejiwaan / Mental Manusia 1. Menyebabkan depresi mental. 2. Menyebabkan gangguan jiwa berat / psikotik. 3. Menyebabkan bunuh diri 4. Menyebabkan melakukan tindak kejahatan, kekerasan dan pengrusakan. Melihat efek yang ditimbulkan dari Narkoba sangat membahayakan bagi si pengguna yang melewati batas atau penyalah gunaan obat –obatan psikotropika. Bahwa pengaruh yang ditimbulkan dari bahaya narkoba adalah terjadinya penurunan tingkat kualitas kehidupan dan produktifitas yang positif dari manusia. Tidak hanya sampai di situ saja dampaknya, dampak negatif lainnya telah merubah suatu prilaku yang abnormal dari kejiwaan seseorang yang mengalami ketergantungan terhadap obat – obatan di luar batas yaitu dapat terjadinya suatu tindak kejahatan dan kekerasan yang dialami oleh korban narkoba dan psikotropika.
8
9
Dampak dan efek yang terjadi tidak hanya korban jiwa dan penyimpangan prilaku akan tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat ekstrim sebab penyalah guna narkoba, sebagaimana informasi dalam Koran Republika di beritakan ; REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG Sabtu, 15 September 2012, 06:00 WIB – “ Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang meninggal karena narkoba setiap harinya. Tak hanya itu, sebanyak 4,2 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna obat terlarang tersebut. Kepala Deputi Pemberantasan BNN Pusat, Benny J. Mamoto menyebutkan, saat ini tercatat setiap hari terdapat 50 orang meninggal karena narkoba. Dari angka tersebut didominasi oleh kaum muda. Hal tersebut, kata Benny, mengakibatkan kerugian yang Rp 48 hingga Rp 50 triliun. "Bayangkan 50 anak bangsa meninggal setiap harinya, hanya karena narkoba," ujarnya saat berkunjung ke BNN Provinsi Jateng kemarin.”16 Suatu harga yang fantastis keuntungan yang diraup dari adanya penjualan dan peredaran narkoba. Suatu perdagangan yang tidak main –main dan korbannya adalah remaja pada umumnya. Potensi kerugian ekonomi di Indonesia pun sama mengalami angka yang sangat mengejutkan sebesar 12 triliun17 dalam setahunnya. Dengan jumlah uang sebesar
itu dapat membiayai pembangunan manusia Indonesia di berbagai
bidang. Untuk problematika hanya terkait
mengatasi
persoalan narkoba pemerintah masih mengalami
didalam menangani kasus –kasus narkoba. Persoalan narkoba tidak dengan penegakan hukum semata melainkan secara holistik
(menyeluruh) dan integral
dalam penegakan
hukumnya sebab persoalan narkoba
merupakan persoalan global transnasional kriminalitas. Penelitian tesis yang akan di 16
“Konsumsi Narkoba, 50 Orang Tewas Setiap Hati Di Indonesia” http: //www. republika.co.id /berita/nasional/umum/ 12/09/15/mad3 wr-konsumsi-narkoba-50-orang-tewas-setiap-hari-di-indonesia, akses 8 maret 2013.
17
http://bnn.go.id/portalbaru/portal/konten.php?nama=ArtikelCegah&op=detail_artikel_cegah&id=47&mn=2&smn=e, akses 8 mar 2013. Reporter: SADAR BNN Agustus 2006 / Adi KSG IV | 06 September 2006 Prevalensi penyalahguna narkoba saat ini sudah mencapai 3.256.000 jiwa dengan estimasi 1,5% penduduk Indonesia adalah penyalahguna narkoba. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia merugikan keuangan negara sebesar Rp. 12 triliun setiap tahunnya. Data yang diperoleh dari BNN menyebutkan 15.000 orang meninggal akibat penyalahgunaan narkoba. Dari jumlah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa 40 nyawa per hari harus melayang akibat narkoba.
9
10
laksanakan oleh peneliti akan di fokuskan kepada bagaimanakah pelaksanaan ketentuan aturan terhadap para korban penyalah gunaan narkoba dan beberapa perspektif, yaitu dalam konsepsi rehabilitasi dan konsepsi sanksi pidana, yang didalamnya mengandung berbagai permasalahan dalam aspek pembinaan ataukah aspek me-labeling bagi pihak korban dan tataran teori kebijakan pemidanaan. Tentunya dampak yang terjadi dan ditimbulkan adalah apakah pihak penegak hukum didalam menerapkan peraturan undang –undang memiliki perspektif pemahaman dalam lex specialis hukum narkotika dan psikotropika serta dalam tataran kebijakan politik hukum pidana. Maka
B. Rumusan permasalahan Berpijak dari uraian latar dan belakang permasalahan tersebut diatas maka rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik terhadap penangana Korban Narkoba di Kota Batam? 2. Bagaimanakah penanganan Korban Narkoba di dalam Undang –undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotik di Kota Batam? 3. Sejauh manakah Implementasi Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah memberikan perlindungan bagi Korban Narkoba di Kota Batam? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian tesis ini adalah untuk memperoleh gambaran umum mengenai problematika penanganan narkotika di Kota Batam, beserta persoalan –persoalan yang timbul baik dari segi yuridis normatif perundang –undangan maupun tataran praktik di lapangan, dan terlebih lagi terhadap paradigmatik pemahaman para penegak
hukum
10
11
didalam tataran implementasi Undang –Undang Narkotik terkait, oleh karenanya perlu dilakukan penggalian dan pengkajian terhadap beberapa rumusan tindak pidana terhadap penyalah gunaan narkoba dalam kerangka law enforcement dalam prinsip rehabilitasi dan terapi medis.18 Adapun penanganan terhadap korban zat adiktif seperti Narkoba disamping prinsip –prinsip
pemidanaan
juga
aspek – aspek dan sebab – sebab korban yang
mengalami gangguan narkoba perlu menjadi perhatian khusus bagi para penegak hukum, bahwa tujuan –tujuan
negara didalam melaksanakan ketertiban umum harus
mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan, bahwa konsepsi negara sejahtera tidak hanya sekedar peningkatan dari sisi ekonomi,
penguatan struktur administrasi negara
melainkan memberikan bentuk dan mereproduksi manusia menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat lagi didalam penghidupannya. Memang didalam memperbaiki manusia yang mengalami gangguan sosial seperti narkoba sangat memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebab pembangunan mental yang terpenting yang mengalami korban narkoba Adapun obat –obatan yang masuk kedalam golongan narkotik dan terdiri
dari
berbagai jenis –
jenisnya didalam penyalah gunaan obat –obatan umumnya sebagai berikut :19
memiliki jaringan, Negara di rugikan Hukum
pidana diadakan
untuk mencegah
berkembangnya tindak kejahatan dari pada didalam Kondisi struktur sosial yang mengalami perubahan yaitu berupa gaya hidup dan perkembangan ekonomi negara kita yang dalam masa transisi mengalami kemajuan tingkat ekonomi yang cukup pesat, semakin menunjukan tingkat kesejahteraan ekonomi negara kendatipun perbandingan antara si kaya dan si miskin tidak mempengaruhi peredaran dan pengguna narkoba surut, didalam salah satu informasi tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang saat 18
19
http://kampungbenar.wordpress.com/2011/05/14/tahap-tahap-mengatasi-adiksi-narkoba/, akses 25 maret 2013
“Penggolongan Obat”, http://moko31.wordpress.com/2009/06/09/penggolongan-obat/, akses 11 maret 2013
11
12
ini telah dikabarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang mencapai US$700 miliar, mengacu pada data Bank Dunia 2009, Indonesia masih berada di level 18 dunia.20 Dampak pola hidup megapolitan yang terus mengalami pertumbuhan secara merata di berbagai daerah dan bersifat individual, menyimpan berbagai gejolak kehidupan yang berdampingan dengan faktor ekonomi cenderung rentan terhadap konflik
hubungan
keluarga
dan
menyisakan
persoalan
sosial
yang
kian
memprihatinkan. Atas kondisi –kondisi inilah yang menjadikan narkoba sebagai salah satu penuntun dan obat relaksasi penghilang berbagai permasalahan sesaat, yang menyimpang
jauh
dalam kehidupan normal sebagai pilihan bagi kelompok dan
struktur masyarakat pengguna narkoba. Yang artinya narkoba menjadi problem besar yang menghantui bangsa manapun, problematika narkoba di Indonesia dalam suatu informasi ;21 “ Saat ini menurut hasil penelitian jumlah penyalahguna narkoba adalah 1,5% dari penduduk Indonesia atau sekitas 3,3 juta orang. Dari 80 juta jumlah pemuda Indonesia, 3 % sudah mengalami ketergantungan narkoba, serta sekitar 15. 000 orang telah meninggal dunia (BNN,2006). Bahkan menurut Kalakhar BNN, Drs I Made Mangku Pastika, setiap hari, 40 orang meninggal dunia di negeri ini akibat over dosis narkoba. Angka ini bukanlah jumlah yang sebenarnya dari penyalahguna narkoba. Angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar. Menurut Hawari (2002), fenomena penyalahgunaan narkoba itu seperti fenomena gunung es. Angka yang sebenarnya adalah sepuluh kali lipat dari jumlah penyalahguna yang ditemukan.” Data
tersebut
diatas
menunjukan betapa luar biasanya keadaan wajah
penyalahgunaan narkoba yang terjadi di Indonesia, dengan jumlah pengguna yang terdata dalam angka –angka tersebut menandakan jaringan sindikat narkoba telah 20
21
Ekonomi | Inilah 20 Negara dengan PDB Terbesar di Dunia ( Indonesia Urutan 18) , http://bacanews.blogspot.com/2011/01/ekonomi-inilah-20-negara-dengan-pdb.html, diakses pada 11 Maret 2013. Op.Cit, http://ynsuryani.wordpress.com/2008/06/16/permasalahan-narkoba-di-indonesia/, di-akses 6 maret 2013.
12
13
membawa negara Indonesia kedalam pangsa pasar yang sangat strategis, dengan jumlah pengguna narkoba yang demikian besarnya, tentunya menjadi sasaran bagi korban atau penyalahgunaan narkoba yang ingin di capai oleh sindikat adalah korban juga dapat dijadikan sebagai pengedar yang akan melanjutkan sisi bisnis narkoba
yang
sangat
memberi keuntungan yang
menggiurkan, di samping itu
dampak yang di alami bagi korban narkoba adalah berujung dengan kematian dan kesengsaraan di masa depan. Pemerintah didalam memerangi kejahatan narkoba sangatlah serius dengan jumlah data korban narkoba yang terjerumus ke dalam penyalahgunaan narkoba, yang dilakukan sindikat dengan berbagai cara dan metode yang dilakukan tidak dapat dibiarkan begitu saja, terjadi sebagaimana dilansir koran Republika di katakan ; 22
REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG Sabtu, 15 September 2012, 06:00 WIB – “ Berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN), sekitar 50 orang meninggal karena narkoba setiap harinya. Tak hanya itu, sebanyak 4,2 juta penduduk Indonesia merupakan pengguna obat terlarang tersebut. Kepala Deputi Pemberantasan BNN Pusat, Benny J. Mamoto menyebutkan, saat ini tercatat setiap hari terdapat 50 orang meninggal karena narkoba. Dari angka tersebut didominasi oleh kaum muda. Hal tersebut, kata Benny, mengakibatkan kerugian yang Rp 48 hingga Rp 50 triliun. "Bayangkan 50 anak bangsa meninggal setiap harinya, hanya karena narkoba," ujarnya saat berkunjung ke BNN Provinsi Jateng kemarin.” Dengan angka kerugian materi dan immaterial yang cukup mencengangkan dan angkanya sangat merugikan perekonomian negara dan tidak hanya sekedar kerugian
materil
yang di timbulkan melainkan kehilangan masa depan generasi
bangsa yang seharusnya menjalani kehidupan yang normal mengukir prestasi, hingga menjadi penerus bangsa bahkan lebih ekstrim lagi mati dalam keadaan yang sia – 22
“Konsumsi Narkoba, 50 Orang Tewas Setiap Hati Di Indonesia” http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/09/15/mad3wrkonsumsi-narkoba-50-orang-tewas-setiap-hari-di-indonesia, akses 8 maret 2013.
13
14
sia tanpa ada harganya. Untuk mencegah semakin meluas dan terpuruknya generasi bangsa maka pemerintah saat ini berupaya keras dalam memerangi narkoba yaitu dengan menyiapkan berbagai macam regulasi dan bekerja sama secara internasional di antara
negara –negara dalam bentuk kesepakatan –kesepakatan, deklarasi dan
konvensi – konvensi internasional dalam memerangi peredaran narkoba, hal ini dibuktikan dengan di bentuknya sebuah badan narkotika nasional di Indonesia ;23 “ penanganan masalah tersebut pemerintah sejak tahun 2002 telah membuat suatu Badan yang mengurusnya yaitu Badan Narkotika Nasional (BNN) berdasarkan UU No 22 th 1997 pasal 54 serta Kepres No 17 th 2002. Tugas pokok BNN adalah mengkoordinasikan instansi terkait dalam menyusun kebijakan dan pelaksanaannya di Bidang penyediaan, pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.” Perang
terhadap
narkoba dilakukan secara regulasi, dan didalam
pemberantasan peredaran narkoba Badan Nasional Narkotik juga di dukung dan bekerjasama dengan
lembaga –lembaga penegak hukum lainnya baik pihak
Kepolisian, lembaga sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pencegahan narkotik dasln lainnya. Di dalam mengurangi peredaran narkoba maka fungsi hukum pidana
sangatlah
berperan
didalam
membantu
negara
didalam menciptakan
ketertiban hukum dan kesejahteraan bagi masyarakatnya di dalam memberikan dan melaksanakan hukum sanksi bagi para pelaku dan pengedar yang telah merusak dan menghacurkan generasi bangsa. Tujuan dari pada hukum pidana adalah memberikan jaminan
kepada
masyarakat didalam menjalankan kehidupannya, hal –hal yang bersifat merugikan pihak –pihak yang hak –haknya merasa dilanggar akan dapat diselesaikan oleh ketentuan aturan pidana yang berlaku mengaturnya. Untuk mencapai suatu tujuan 23
Op.cit, “Permasalahan Narkoba di Indonesia” http://ynsuryani.wordpress.com/2008/06/16/permasalahan-narkoba-di-indonesia/, akses 6 mar 2013
14
15
negara didalam memberantas kejahatan narkoba maka diperlukan suatu tujuan pemidanaan bagi para pelaku kejahatan melalui alat – alat negara. Didalam Teori pemidanaan salah satunya adalah mengenai Teori relatif atau teori tujuan dinyatakan oleh Adami Chazawi ; 24 “ Teori realatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Pentingnya pemidanaan bagi para pelaku kejahatan bertujuan agar kondisi masyarakat yang menyimpang dapat kembali tertib sebagaimana tujuan –tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya sifat pemidanaan adalah melakukan pencegahan (preventie), yang sifat pencegahan tersebut terdapat 2 macam pencegahan yaitu “pencegahan umum (general preventie) dan pencegahan Khusus (specilae preventie).25 Tujuan –tujuan pencegahan tersebut dilakukan oleh negara dengan melihat kondisi –kondisi pelanggaran yang terjadi dan bagaimana cara penangan tersebut dilakukan. Setiap perbuatan
yang
bertentangan
dengan ketertiban umum dan
mengganggu kepentingan umum maka kondisi –kondisi tersebut harus di cegah dan dikendalikan bila perlu dilakukan tindakan yang dapat memberi efek jera terhadap pelakunya. Fungsi dari pada hukum pidana dengan sifatnya memberikan sanksi, pada dasarnya tidak harus selalu secara langsung di terapkan melainkan terhadap kondisi yang tepat kapan sanksi itu harus benar –benar dijatuhkan, dikatakan Mahrus Ali ;26 “sesuai dengan sifatnya sanksi pidana sebagai sanksi terberat atau paling keras dibandingkan dengan jenis –jenis sanksi dalam berbagai bidang hukum yang 24 25 26
Adami Chazawi “Pelajaran Hukum Pidana” Bagian 1, PT. Raja Grafindo Persada, Ed-1, Jakarta, 2005, hlm 161-162. Ibid. Mahrus Ali, “Dasar –Dasar Hukum Pidana”, Sinar Grafika, cet-1, Jakarta, Juni, 2011, hlm.11.
15
16
lain, idealnya funsionalisasi hukum pidana haruslah ditempatkan sebagai upaya terakhir (umtimum remedium).” Bahwa selagi ada upaya –upaya terhadap penanganan persoalan hukum masih bisa di selesaikan sebaik mungkin maka tidak perlu di tempuh melalui jalur pidana, sebab masih dapat dilakukan penyelesaian dengan aturan hukum yang lain, menurut Mahrus Ali ‘bidang hukum yang lain’ 27 (yang menyelesaikan). Hukum pidana dapat diartikan fungsinya adalah penyelesaian paling akhir setelah upaya –upaya hukum yang lain tidak dapat di tempuh lagi, bahwa penanganan masalah hukum narkoba terhadap penyalah gunaan narkoba merupakan persoalan yang sangat kompleks. Di satu sisi Narkoba merupakan zat adiktif yang telah dirumuskan didalam Undang –Undang Narkotik yang disebutkan sebagai Tindak Pidana Narkotik .28 Dengan
diaturnya undang –undang
tentang narkotik dimaksudkan adalah
untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakat di bidang kesehatan dan pentingnya terhadap obat –obatan juga penting diatur peredarannya mengingat dapat berdampak terhadap penyimpangan atas penggunaannya, sebagaimana didalam isi Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009 pertimbangan pada huruf d ;29 bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia; Aspek –aspek dari pada ketentuan Narkoba di tujukan terhadap penggunaan dan peredaran bahan –bahan narkotik yang di peruntukan terhadap aspek kesehatan dan 27 28 29
Ibid... Mahrus Ali ; ....Penggunaan hukum pidana dalam praktik penegakan hukum seharusnya dilakukan setelah berbagai bidang hukum lain itu untuk mengkondisikan masyarakat agar kembali kepada sikap tunduk dan patuh terhadap hukum, dinilai tidak efektif lagi.” Undang –Undang Nomor 35 Tahun 2009- Tentang Narkotik-Pdf. Ibid.
16
17
pengendalian dari pada penggunaannya, dan selanjutnya potensi penyimpangan yang ditimbulkan dari pada penyalah gunaan narkotik dapat berdampak timbulnya bahaya dan kerugian yang sangat besar bagi umat manusia. Sasaran yang ditujukan dari pada undang –undang tentang narkotik tersebut adalah terhadap prilaku narkotik yang dikelola
oleh badan perorangan dan aspek penyimpangannya. Dengan melihat
dampak kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan maka ancaman yang di ancamkan terhadap pelaku sangatlah keras dari segi pemidanaannya dalam salah satu pasal disebutkan ;30 Pasal 126 (1) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan Narkotika Golongan III tehadap orang lain atau memberikan Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Dalam hal penggunaan Narkotika tehadap orang lain atau pemberian Narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Bahwa rumusan –rumusan sanksi pidana yang diatur
didalam ketentuan
undang –undang tentang narkotika mengandung ancaman pidana yang sangat luar biasa atas akibatnya dan logika didalam sanksi tersebut merupakan logika pidana yang terhadap penggunaan pasal dan ketentuannya juga memiliki potensi multi tafsir ketika didalam tataran penerapannya dilapangan. Disamping pola sanksi yang cukup strik (kaku) represif didalam ketentuan tersebut juga menganut pola preventif yang bersifat pencegahan dan masih melihat kondisi –kondisi tertentu terhadap pelaku yang melakukan penyalahgunaan narkotik sebab terhadap aparat didalam melaksanakan 30
Op.cit. Undang –Undang Tentang Narkotik-Pdf.
17
18
dan
menerapkan undang –undang
narkotik tersebut perlu dipersiapkan tentang
pengetahuan khusus selain hanya pidana murni dan praktis diperlukan lagi wawasan yang bersifat multi science tertentu, seperti terhadap kejiwaan pelaku (Psikology), pengetahuan medis tentang jenis obat –obatan (farmasi science). Yang artinya penuh dengan tantangan dan hambatan –hambatan ketika hal tersebut implementasikan di lapangan. Hal Makin kompleksnya permasalahan kejahatan yang berkembang saat ini di akibatkan perkembangan sosial masyarakat dan informasi yang menunjang terhadap berkembangnya tindak kejahatan pidana, artinya penyelesaian penyalahgunaan narkotika ini tidak lagi hanya dapat diselesaikan dalam konteks penegakan hukum pidana semata melainkan aspek –aspek ilmu lainnya, dikatakan Satjipto Rahardjo ;31 “kita sekarang berada di tengah –tengah masyarakat dan kehidupan sosial yang kompleks, yang tidak sederhana lagi. Oleh karena itu, lebih efisien apabila menempatkan pembicaraan didalam konteks masyarakat dan lingkungan tersebut ... karena problem –problem sudah menjadi makin besar, melibatkan sejumlah banyak orang, tugas –tugas yang harus dilaksanakan semakin menggunung, maka di butuhkan suatu cara penanganan bersama.” Maka untuk dapat melaksanakan penanganan secara bersama didalam memerangi penyalahgunaan narkoba dibutuhkan berbagai elemen kelembagaan dan masyarakat agar tujuan dan sasaran penegakan hukum yang bersifat sanksi tidak hanya sekedar didalam tataran efek jera melainkan juga masuk kedalam ide pembinaan dan penyembuhan terhadap perlakuan dari pada korban penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu penangkapan, penindakan terhadap pelaku narkoba perlu dilihat dalam sisi – sisi tertentu dalam artian harus dipilah dalam beberapa perspektif tertentu, seperti pedagang, pengedar, pecandu, pengguna, agar memperoleh treatment yang tepat terhadap pelaku tidak semua pelaku di giring kedalam ranah pemidanaan dalam konteks sanksi penahanan terhadap efek jeranya. Maka perlu di gali dan di tela’ah 31
Satjipto Rahadjo, “Penegakan Hukum” suatu tinjauan sosiologis, Genta Publishing, cet-1, 2009, Yogyakarta, hlm,13.
18
19
terhadap prespektif penegak hukum dalam hal ini sejauh manakah pemahaman terhadap konsepsi dan paradigma undang –undang narkoba di implementasikan oleh aparat hukum di lapangan, tujukan kepada
agar penegakan
pembalasan yang
terhadap kejahatan narkoba tidak hanya di
tegas
kepada
aktor
intelektual
penyedia
melainkan memperhatikan hak –hak korban penyalahgunaan narkoba memperoleh perlindungan dalam konteks rehabilitasi medis dan sosial. Sehingga eksistensi undang –undang narkotika tidak hanya berdimensi sanksi akan tetapi juga memiliki dimensi penegakan hukum yang humanis dalam konteks pembinaan.
Turunan OPIOID (OPIAD) yang sering disalahgunakan adalah: 1. Morfin Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya dengan cara dihisap dan disuntikkan. 2. Heroin ( putaw ) Heroin mempunyai kekuatan yang dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini . Heroin, yang secara farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang baik. 3. Morfin Codein termasuk garam / turunan dari opium / candu. Efek codein lebih lemah daripada heroin, dan potensinya untuk menimbulkan ketergantungaan rendah. Biasanya dijual dalam bentuk pil atau cairan jernih. Cara pemakaiannya ditelan dan disuntikkan. 4. Demerol Nama lain dari Demerol adalah pethidina. Pemakaiannya dapat ditelan atau dengan suntikan. Demerol dijual dalam bentuk pil dan cairan tidak berwarna. 5. Methadon Saat ini Methadone banyak digunakanorang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Sejumlah besar narkotik sintetik (opioid) telah dibuat, termasuk meperidine (Demerol), methadone (Dolphine), pentazocine (Talwin), dan propocyphene (Darvon). Saat ini Methadone banyak digunakan orang dalam pengobatan ketergantungan opioid. Antagonis opioid telah dibuat untuk mengobati
19
20
overdosis opioid dan ketergantungan opioid. Kelas obat tersebut adalah nalaxone (Narcan), naltrxone (Trexan), nalorphine, levalorphane, dan apomorphine. Sejumlah senyawa dengan aktivitas campuran agonis dan antagonis telah disintesis, dan senyawa tersebut adalah pentazocine, butorphanol (Stadol), dan buprenorphine (Buprenex). Beberapa penelitian telah menemukan bahwa buprenorphine adalah suatu pengobatan yang efektif untuk ketergantungan opioid. Nama popoler jenis opioid : putauw, etep, PT, putih. Penggolongan obat –obatan tersebut merupakan jenis –jenis yang sering di salah gunakan penggunaannya elemen yang dapat diklasifikasikan bentuk –bentuk dan tindakan hukum bagi para pelaku kejahatan tersebut. Bahwa penghancur perkembangan
persoalan
generasi
narkoba
bangsa.
merupakan
akar
masalah
perusak dan
Sehubungan terkait dengan aspek budaya dan
sosial kemasyarakatan
persoalan narkoba tidak dapat di pandang
sebagai kejahatan keji dan destruktif semata dan didalam penyelesaiannya dengan sanksi pemidanaan, akan tetapi persoalan narkoba merupakan bagian dari pada aspek sosial, persoalan narkoba dalam pengertian penyimpangan sosial menurut para ahli adalah ;
32
“ Menurut Lemert penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu bentuk perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan tidak dilakukan terusmenerus sehingga masih dapat ditolerir masyarakat seperti melanggar rambu lalu lintas, buang sampah sembarangan, dll. Sedangkan Penyimpangan sekunder yakni perilaku menyimpang yang tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti merampok, menjambret, memakai narkoba, menjadi pelacur, dan lain-lain.” Artinya dengan terdapatnya aspek penyimpangan sosial maka para pelaku dan peyalahgunaan
narkoba
didalam
penangananya
juga
harus
memperhatikan
dan
mempertimbangkan unsur –unsur pembinaan dan penyembuhan yaitu dilakukan suatu bentu rehabilitasi medis maupun sosial. Sebab problem sosial merupakan fenomena yang
32
“Artikel Penyimpangan Sosial” http://definisi.org/artikel-penyimpangan-sosial, akses 11 maret 2013
20
21
tidak akan dapat hilang di permukaan bumi ini selagi ada interaksi manusia, adapun sistem hukum bersifat mengendalikan dan menegakkan nilai –nilai yang ada di dalam masyarakat, yang selanjutnya aturan tersebut menjadi suatu pedoman.
Inti dari pada pengkajian tesis ini
di fokuskan kepada penerapan formal
perundang –undangan narkotika di dalam penangannya bahwa bagaimana para penegak hukum mengaplikasikan peraturan terhadap
korban
sehingga terjerumus ke dalam
penyalahgunaan narkotika yang diakibatkan oleh problem sosial sehingga ketika pada saat penanganannya terdapat suatu seleksi atau klasifikasi pelaku yang memang pengedar atau hanya pengguna yang berada pada menyandang masalah sosial. Berikut
mendapatkan suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat
Dan bagaimanakah pelaksanaan informasi dan data secara jelas didalam menggali dan mengkaji terhadap rumusan –rumusan mengenai penggelapan pidana dalam rangka perlindungan hak –hak jaminan sosial pekerja baik penerapan dan hambatan –hambatan dalam pelaksanaan Undang –Undang Jamsostek di lapangan hukum praktis. Dari rumusan permasalahan tersebut diatas penulis akan mengkaji mengenai rumusan penggelapan pidana jaminan sosial tenaga kerja didalam undang –undang Jamsostek, penerapan dan hambatan –hambatan didalam ketentuan tersebut, yang dalam tataran faktanya persoalan penggelapan didalam undang –undang tersebut tidak diatur
21
22
terhadap
tindak pidananya sedangkan dalam konteks penggelapan umumnya diatur
didalam KUHP yang merupakan lex generali dari pada pidana penggelapan. Bahwa pada saat penggelapan tersebut terjadi didalam pengelolaan jamostek terhadap hak –hak pekerja sanksi terhadap pelaku tidak dapat dinyatakan sebagai suatu tindak penggelapan dan dalam kenyataannya hal yang demikian tidak diatur didalam ketentuan undang –undang
jamsostek, sedangkan rumusan pidana
penggelapan diatur dalam
KUHP33 Pidana dalam Pasal 372 adapun rumusan perbuatannya sebagai berikut ; Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Dalam rumusan tersebut diatas dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu seluruh atau sebagian miliki orang lain kekuasaan tersebut bukan karena kejahatan dirumuskan sebagai penggelapan. Didalam konsepsi rumusan penggelapan pidana didalam KUHP tersebut sebagai
rumusan umum yang objek penggelapannya bersifat benda
tertentu. Dan apabila memenuhi unsur –unsur tersebut dinyatakan sebagai suatu penggelapan. Akan tetapi ketika masuk ke dalam wilayah lex specialist hukum dan undang –undang tertentu
apakah
rumusan
penggelapan tersebut mengandung unsur dan
perbuatan yang sama dan serta merta dapat diterapkan sebagai pidana penggelapan. Terkait permasalahan yang timbul dan terjadi didalam dunia perburuhan setiap kasus tersebut dalam diproses penyelesaiannya
masih mengedepankan pertimbangan kondisi
investasi, terlepas dari aspek kemanusiaan pekerja melalui
pendekatan
bipartite
(penyelesaian kedua belah pihak) yang berakhir dengan penyelesaian damai tanpa adanya 33
suatu
akibat
sanksi bagi si pelaku. Pada hal jaminan sosial tenaga kerja
KUHP Pidana hal ....
22
23
merupakan
konsepsi
perlindungan
dasar
bagi
pekerja
didalam
peningkatan
kesejahteraan kehidupannya yang diperoleh dari hubungan kerjanya. Didalam penelitian tesis ini dibatasi pada penggalian rumusan penggelapan jaminan sosial tenaga kerja, bahwa menggali permasalahan penggelapan jamsostek terhadap fungsi undang –undang jamsostek baik dari segi penerapanya, hambatan –hambatan maupun rumusannya.
Adapun
pengkajian materi ini di batasi pada lingkup tenaga kerja formal khususnya di perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menggali rumusan –rumusan dan kaidah jaminan sosial
sebagai
aspek
pemidanaan
dari
adanya
pelanggaran
pidana
terhadap
jamsostek. Selanjutnya menggali dasar –dasar normatif terhadap konsepsi jaminan sosial tenaga kerja, batasan –batasan pengertian adanya suatu penggelapan jamsostek. Bahwa penegasan didalam ketentuan yang ada merupakan aspek pidana penggelapan sebagai dasar penetapan aspek pemidanaan, soal pemidanaan Muladi dan Barda Nawawi mengatakan ; “ tujuan dari kebijakan menetapkan suatu sanksi pidana tidak dapat di lepaskan dari tujuan politik kriminil dalam arti keseluruhannya yaitu “ perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan.”34 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran teoritis terhadap pemahaman mengenai penelitian perlindungan jamsostek dari aspek penggelapan pidana memperoleh suatu solusi terhadap masalah-masalah yang timbul dalam bentuk mengkaji khususnya terhadap rumusan penggelapan pidana dalam ketentuan jamostek. Adapun hasil kajian ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat dalam memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka mengkritisi dan menela’ah terhadap pelaksanaan perlindungan undang-undang Jamsostek khususnya terhadap permasalahan penggelapan pidana jamsostek beserta hambatan –hambatan didalam penerapannya. 34
Muladi dan Barda Nawawi, “ Teori –Teori dan Kebijakan Pidana ” (Bandung, Cet -3, PT.Alumni, Tahun 2005) hal, 91.
23
24
Selanjutnya dapat memberikan gambaran serta masukan bagi pihak pemerintah didalam merumuskan kebijakan perlindungan jaminan sosial tenaga kerja yang lebih baik lagi khususnya adanya suatu kepastian hukum bagi lembaga pengadilan dan kepolisian yang berwenang didalam memutuskan dan menyelesaikan perkara terkait penggelapan pidana jamsostek.
E. Keasilan Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan pada program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Batam, terkait penelitian tentang perlindungan hukum terhadap tenaga kerja dalam Undang –undang Jamsostek belum pernah
dilakukan
penelitian yang sama sekali. Dengan demikian penelitian ini peneliti anggap “A S L I” yang dapat dipertanggungjawabkan, sesuai dengan azas-azas keilmuan,; jujur, Rasional, Objektif dan terbuka. Peneliti bertanggungjawab atas keaslian dan kebenaran penelitian ini secara ilmiah dan peneliti sangat terbuka atas masukan, saran dan kriktik yang bersifat konstruktif guna mendukung kesempurnaan hasil penelitian ini. F.
Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Perlindungan hukum perburuhan merupakan aspek dari hak –hak asasi manusia saat ini yang mendapatkan perhatian besar bagi masyarakat international Jaminan perlindungan sosial menjadi dasar hak ekonomi dan kemanusiaan merupakan aspek perlindungan kesejahteraan pekerja, setelah dicetuskannya deklarasi hak-hak manusia sejagat pada tahun 1928 dalam Deklarasi Semesta Hak Asasi Manusia (United Nations Universal of Human Rigts) oleh lembaga PBB (peratuan bangsa-bangsa) yang dikodifikasikan pada tahun 1966 dalam Kesepakatan International Hak Sipil dan Politik (International
24
25
Covenant on Civil and Political Rights) serta Kesepakatan International mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights).35 Jaminan sosial dalam tataran teorinya merupakan suatu pembayaran yang diterima oleh buruh dari perusahaan, iman soepomo mengatakan ; “ jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak buruh dalam hal buruh diluar kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan upah karena alasan diluar kehendaknya.”36 Bahwa didalam ketentuan undang –undang Jamsostek No 3 tahun 1992, didalam pasal 1 ayat 1 diterangkan sebagai berikut ; Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tuadan meninggal dunia. Terhadap rumusan tersebut menegaskan bahwa hak –hak pekerja yang melaksanakan hubungan kerja disuatu perusahaan dilindungi dan diatur dalam suatu peristiwa yang tidak tentu dan timbul terhadap kondisi yang tidak diinginkan oleh pekerja maupun perusahaan akan tetapi terhadap hal tersebut diatur dalam bentuk suatu perlindungan jaminan sosial tenaga kerja. Jaminan perlindungan tersebut sangat diharapkan dan diperlukan bagi pekerja yang melaksanakan hubungan kerja.
Akan tetapi didalam pelaksanaan dari pada hak
jamsostek tersebut terkadang mengalami kendala dan hambatan –hambatan bagi pihak pekerja yang telah mendaftarkan kepesertaannya, yaitu ketika timbul persitiwa tersebut pekerja tidak dapat mengklaim hak –haknya. Dengan alasan –asalan yang kurang dapat
35
Rhoda E. Howard, “ HAM Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya”, (Jakarta : Westview Press, Terjemahan oleh PT.Pustaka Utama Grafiti, 1995),Hlm.16
36
Iman Soepomo, “Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta Nov 1987, Hal 135.
25
26
dipertanggung jawabkan, terlebih lagi hubungan kerja sudah berlangsung lama dan klaim (tuntutan) terhadap haknya tidak dapat dilaksanakan tentunya berdampak kepada kerugian dan tidak terlindunginya hak jamsostek bagi pekerja. Penyimpangan didalam pelaksanaan hak –hak jamsostek tersebut tidak dapat di abaikan begitu saja melainkan harus dilakukan upaya –upaya penyelesaian dengan baik melalui mekanisme bipartite tentunya. Akan tetapi mekanisme penyelesaian secara bipartite tidak memberikan suatu solusi ketegasan dan kespastian hukum didalam tindakan penyimpangan jamsostek terlebih lagi terhadap pemberian sanksi pidana bagi si pelaku. Setiap penyimpangan yang melanggar dan bertentangan undang –undang sudah selayaknya tidak dapat diterima oleh masyarakat dan penyimpangan tersebut berdampak pada kerugian yang nyata dan keadaan tersebut tidak dapat di biarkan begitu saja. Oleh karena itu diperlukannya suatu landasan dan dasar –dasar teori pemidanaan didalam memberikan suatu solusi terhadap penyimpangan yang terjadi. Tujuan untuk diadakannya pemidanaan adalah agar adanya suatu ketertiban didalam masyarakat dan tujuan tersebut sebagai pencegahan dari terjadinya pelanggaran, kejahatan pidana. Bahwa setiap perbuatan yang bertentangan dengan etika, kesusilaan, dan prinsip – prinsip hukum umum yang berlaku harus diberikan suatu sanksi. Dalam konsepsi teori pembalasan
Leo
Polak
mengutarakan
teori
kompensasi
keuntungan
(voordeelcempensatie)37 ; dikatakan bahwa apabila kejahatan tidak di balas dengan pidana maka timbullah perasaan tidak puas. Memidana penjahat adalah suatu keharusan menurut estetika, penjahat harus di pidana seimbang dengan dengan penderitaan korbannya. Jadi pidana merupakan suatu kompensasi penderitaan korban.
37
Andi Hamzah, Asas –Asas Hukum Pidana, ed revisi, 2008 PT.Rineka Cipta, Jakarta thn 2008 hal 32.
26
27
2. Kerangka Konsepsi Akibat dari perkembangan tersebut tentunya mengarah kepada bertambahnya penghasilan negara yang diikuti dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya pun bertambah. Oleh karenanya menjadi kewajiban pemerintah memikirkan dan membuat kebijakan yang adil demi kesejahteraan bagi masyarakatnya. Adapun landasan konsepsi dan teorinya adalah sebagaimana tertuang didalam Undang –Undang Dasar 1945 Amandemen Ke -4 Pasal 32 ayat 2 menyebutkan :38 “Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Bahwa sistim jaminan sosial merupakan dasar kebijakan penting bagi negara didalam menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. Sebab melalui sistim jaminan sosial kehidupan
masyarakat dapat ditanggulangi dari akibat timbulnya suatu resiko-resiko
sosial didalam pelaksanaan sendi –sendi ekonomi didalam pelaksanaan hubungan kerja. Yang
artinya kontribusi mesin penggerak ekonomi secara tidak langsung yang
mempunyai peranan penting dalam perkembangan suatu negara. Sehingga negara sangat berkepentingan memberikan perlindungan bagi masyarakatnya yang melaksanakan pekerjaan. Yaitu suatu proteksi resiko sosial melalui asuransi sosial tenaga kerja. Oleh karena itu jaminan sosial berubah menjadi suatu norma penting didalam pelaksanan hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja sebagai aspek perlindungan terhadap penghidupan sosialnya. Dengan memberikan perlindungan tersebut sama saja melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang tertinggi. Bahkan sebagai aspek HAM ‘Hak asasi Manusia’ , yang penting untuk terus –menerus dikembangkan dalam suatu kebijakan nasional. Perlindungan jaminan sosial ini juga ditegaskan dalam konsepsi perlindungan masyarakat internasional dalam pelaksanaan suatu hubungan kerja 38
Op.cit, Undang –Undang Dasar 1945, Sekertariat Negara Tahun 2002.
27
28
sebagaimana tertuang didalam Konvensi ILO (International Labour Organization) disebutkan ;39 “Jaminan sosial dikenal sejak konferensi ILO tahun 1952 ketika standar – standar jaminan sosial diterapkan. Jaminan tersebut mencakup Asuransi Sosial ( dimana pekerja dan pengusaha membentuk asuransi untuk kejadian – kejadian tertentu).” Dengan kesepakatan masyarakat international dalam Konferensi ILO mengenai penetapan jaminan sosial hal ini membuktikan bahwa pentingnya setiap negara untuk melaksanakan kesejahteraan bagi kemanusiaan yang melaksanakan suatu hubungan kerja sebagai penghargaan terhadap hak –hak asasi kemanusiaan dibidang
perlindungan
jaminan sosial. Didalam konsepsi pemidanaan dalam persoalan jaminan sosial tenaga kerja didalam ketentuan Undang –undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga kerja Pasal 29 ayat 3 di sebutkan ; “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.”40 Yang
didalam ketentuan tersebut yang menjadi aspek –aspek
pelanggaran pidana jamostek didalam Pasal 29 ayat 1 yang antara lain meliputi ;41 “Barang siapa yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1), Pasal 10 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 18 ayat (1),(2),(3),(4) dan (5), Pasal 19 ayat (2), Pasal 22 ayat (1) pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan sekurang –kurangnya 6 (enam) Bulan atau denda setinggi –tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).”
Bahwasanya substansi didalam ketentuan tersebut merupakan pidana pelanggaran didalam Pasal 4 ayat (1) mengenai pelaksanaan jaminan sosial wajib dilakukan oleh pihak perusahaan sesuai ketentuan, Pasal 10 ayat 1 sampai dengan 3 mengenai kewajiban Perusahaan melaporkan terhadap terjadinya resiko kecelakan kerja kepada instansi terkait 39 40 41
Loc.Cit. Indonesia Terbebas dari Kemisikinan ILO. Op.cit. UU No 3 Tahun 1992. Ibid.
28
29
dan menindaklanjuti kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja. Dalam Pasal 18 ayat 1 hingga 5 adalah mengenai kewajiban adminstrasi perusahaan terkait pendaftaran pekerja dalam suatu jaminan sosial tenaga kerja. Pada Pasal 19 ayat 2 kewajiban yang ditetapkan oleh undang –undang pentahapan mengikuti program jaminan sosial dan alternatif pelaksanaan jaminan sosial tenagakerja. Dialam Pasal 22 ayat 1 pelaksanaan kewajiban membayar iuran dan memungut iuran dan menyetorkannya kepada lembaga penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja. Pada Pasal 26 kewajiban batas waktu perusahaan penyelenggara jaminan sosial membayar jaminan sosial tidak lebih dari 1 bulan. Bahwa konsepsi rumusan ketentuan jaminan sosial tersebut diatas masih terkait pelanggaran adminsitrasi yang harus dipenuhi badan penyelenggara jaminan sosial. Dialam pelaksanaan dilapangan sering terjadi batasan waktu dilanggar bahkan lebih dari waktu yang ditentukan, dan bahkan secara ekstrimnya hingga kontrak pekerja berakhir atau pelaksanaan hubungan kerja berlangsung lama misal saja 1 atau 2 tahun kerap mengalami persoalan klaim, kendatipun persoalan tersebut dapat diselesaikan oleh instansi terkait yaitu Dinas Tenaga Kerja, perusahaan terkait tidak dijatuhi sanksi apapun. Hanya sebatas kewajiban membayar setoran klaim tersebut. Sedangkan dampak kerugian materil dan imaterill pekerja tersebut tidak pernah diperkirakan dan diperhitungkan. Dan menjadi persoalan yang tidak pernah di pertanyakan apa yang menjadi alasan perusahaan melakukan pemungutan iuran dan tidak disetorkan. Dasar sanksi tersebut hanya sebatas pelanggaran, sedangkan motif dari tidak disetorkannya sejumlah iuran yang dipungut bukan merupakan suatu kesalahan yang berat. Motif –motif tidak disetorkannya oleh pihak perusahaan perlu menjadi persoalan penting didalam konsepsi suatu asas kesalahan atau kelalaian yang perlu di rumuskan dan didefinisikan. Sebab kondisi –kondisi tersebut
29
30
didalam ketentuan
Hukum Pidana dapat diartikan sebagai Penggelapan, hanya saja
batasan dan rumusan penggelapan dalam konteks jaminan sosial perlu di letakkan pada posisi yang tepat substansi pengertiannya. Oleh sebab itu landasan konsepsi yang akan diajukan terhadapnya adalah melalui pengkajian teori pemidanaan. Hukum pidana merupakan hukum yang merupakan bagian dari pada hukum publik dan mengatur lingkup persitiwa pidana (strafbaarfeit). Dan apabila berbicara mengenai peristiwa pidana maka akan membahas tentang sanksi pidana. Adapun sanksi pidana ini sebagaimana dikemukakan oleh Van Bemmelen, bahwa hukum pidana selalu membicarakan
soal
penambahan penderitaan dengan sengaja dalam bentuk
pidana. Dan selain itu pula hukum pidana juga mempunyai fungsi yang lain dari pada persoalan penambahan penderitaan. Adapun tujuan utama dari semua aspek bidang hukum adalah menjaga ketertiban hukum (rechtsorde).42 Menurut Van Bemmelen bahwa sanksi itu bertujuan untuk menegakkan norma-norma yang diakui oleh hukum. Hukum pidana memiliki fungsi yang berbeda dibandingkan dengan hukum yang lain sebagaimana dikemukakan oleh Moeljatno43: Hukum pidana adalah bagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: 1. menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 2. menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar laranganlarangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3. menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangkakan telah melanggar larangan tersebut.
Apa yang dikemukakan oleh Moeljatno diatas ternyata sejalan dengan yang dinyatakan pula oleh Van Bemmelen bahwa hukum pidana berfungsi memberikan sifat penambahan penderitaan bagi yang melanggar ketentuan, dan tidak membicarakan norma42 43
Van Bemmelen Van Bemmelen
30
31
norma yang telah ditentukan dalam hukum publik yang tidak tertulis. Jadi hukum pidana itu berfungsi memberikan penderitaan, dalam hukum pidana Negara diberikan kekuasaan untuk menimbulkan penderitaan dengan sengaja bagi para pelakunya. Menurut Van Hamel dalam Kutipan Moeljatno hukum pidana adalah semua dasar-dasar dan aturan-aturan yang dianut oleh suatu Negara dalam menyelenggarakan ketertiban hukum (rechtsorde) yaitu dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum dan mengenakan suatu nestapa kepada yang melanggar larangan-larangan tersebut. Maka sangat jelas didalam prinsip hukum pidana adalah memberikan rasa penderitaan bagi pelaku yang melakukan pelanggaran pidana yang telah ditentukan terlebih dahulu tentunya, dan disamping itu pula hukum pidana tidak bergantung kepada bagian hukum-hukum lainnya, sebagimana menurut Moeljatno,44 “bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berdiri sendiri, dan sebagaimana penjelasan Moeljatno yang dikutip dari buku Prof. Van Kan yang berjudul “Inleiding Rechtsetenschap 1931” pa. 86 dinyatakan ; “Hukum Pidana tidak mengadakan norma-norma baru dan tidak menimbulkan kewajiban-kewajiban yang dulunya belum ada. Hanya norma-norma yang sudah ada saja yang dipertegas, yaitu dengan mengadakan ancaman pidana dan pemidanaan. Sehingga jelas hukum pidana bukanlah suatu hukum yang baru atau ketentuan baru yang terdapat disetiap bagian-bagian hukum yang lainnya, akan tetapi fungsinya lebih kepada hukum yang memberikan penegasan terhadap norma-norma yang sudah ada dan dirumuskan lalu diberikan suatu ancaman atau sanksi, maka pada dasarnya hukum pidana adalah hukum sanksi (het strafrecht is wezenlijk sanctie-recht). G. Metode Penelitian a. Spesifikasi Penelitian Penelitian yang akan dilakukan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan diatas adalah termasuk dalam jenis penelitian hukum normative atau penelitian doctrinal (doctrinal research) b. Metode Pendekatan Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan ada beberapa jenis pendekatan, yang antara lain yaitu ; 44
Ibid. Moeljatno
31
32
1. Pendekatan perundang-undangan (the statute approach) 2. Pendekatan kasus (the case approach) 3. Pendekatan analisis konsep hukum ( analytical and conceptual approach) c. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel Sumber bahan hukum yang digunakan oleh peneliti antara lain adalah ; 1) Bahan hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan masalah penelitian, antara lain ; -
Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
-
Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
-
Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek
-
Undang –Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Jamkesmas
-
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
-
KUHPidana
-
KUHAP
2) Bahan Hukum sekunder, seperti; hasil-hasil penelitian, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya dari kalangan pakar hukum yang mendukung bahan hukum primer yang dapat membantu permasalahan aspek dasar pertanggung jawaban pidana penggelapan jaminan sosial tenaga kerja. 3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang lebih dikenal dengan bahan acuan bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum, misalnya : indek majalah hukum, kamus hukum dan ensiklopedia hukum. d. Alat Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dipergunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dalam penelitian ini melalui penelusuran studi kepustakaan (library research) e. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data f. Analisa Data
32
33
Sumber bahan hukum primer maupun sekunder yang telah diproses kemudian diolah dan dianalisis berdasarkan metode analisis data kualitatif. Adapun proses analisis data dilakukan sebagai berikut : pertama, dilakukan inventarisasi terhadap perundangundangan yang relevan untuk menjawab permasalahan penelitian; kedua, dilakukan abstraksi untuk menemukan makna atau konsep-konsep yang terkandung dalam bahan hukum (konsep kualisasi); ketiga, mengelompokan konsep-konsep yang sejenis atau berkaitan (kategorisasi); keempat, menemukan hubungan diantara berbagai kategori; kelima, hubungan antara berbagai kategori diuraikan dan dijelaskan. Penjelasan ini dilakukan dengan menggunakan prespektif teoritis para sarjana. Kemudian dalam penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode deduktif untuk selanjutnya disajikan dalam bentuk uraian kalimat. H. Jadwal Waktu Penelitian Waktu yang dibutuhkan : 1. Persiapan 2. Pengumpulan data 3. Pengolahan data 4. Analisa data 5. Penulisan Laporan jumlah
: 15 hari : 120 hari : 50 hari : 25 hari : 30 hari : 240 hari
A. Bahan Hukum Sekunder 1. Antonius Sujata. S.H., “ Reformasi dalam Penegakan Hukum”, (Jakarta: Djambatan, 2000). 2. Adami Chazawi, Drs. SH. “ Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1”, ed-1, cet-2, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. 3. Barda Nawawi Arief, Prof. Dr. S.H, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana”, Bandung: cet –I, PT.Citra Aditya Bakti, 1996. 4. -----------------------“Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan cet-1, Bandung: PT.Cirta Aditya Bakti, 2001. 5. -----------------------“Perbandingan Hukum Pidana” , Ed. 1, cet –IV Jakarta : PT. Raja Grafindo, Mei 2002. 6. Baharuddin Lopa, Prof. DR. SH. “ Pertumbuhan Demokrasi Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak Asasi Manusia”, cet-1, Jakarta: PT. Yasrif Watampone, Juli 1999. 7. C.S.T.Kansil, Prof. Drs.SH. Christine dan S.T.Kansil, SH. MH. “Kitab Undang-Undang Ketenagakerjaan, Undang-Undang No.25 Tahun 1997 Dan Peraturan
33
34
Pelaksanaan Ketenagakerjaan 1925-2000, Buku Kedua, cet-2 Jakarta : Pradnya Paramita, 2003. 8. Djumadi, S.H. “ Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja”, Ed -2, Cet-3, Jakarta : PT.Raja Grafindo, 1995. 9. Depnakertrans, “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Beserta Pelaksanaanya”, Depnakertrans, Jakarta : 2005. 10. Erwiza Erman, “Kesenjangan Buruh Majikan”, cet-1,Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. 11. Frans Ceufin SVD, “Hak –Hak Asasi Manusia”, Pendasaran dalam Filsafat Hukum dan Filsafat Politik”, cet-2 Maumere: Ledalero, 2004. 12. F.X. Djumialdji, S.H. dan Wiwoho Soejono, S.H., “Perjanjian Perburuhan Dan Hubungan Perburuhan Pancasila”, cet-3 Jakarta : Bina Aksara, 1987. 13. Hartono Widodo, S.H. dan
Judiantoro,
S.H.
“ Segi-Segi hukum Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan”, Ed-1, Cet-2, Jakarta : CV.Rajawali, 1992. 14. Iman Soepomo Prof. SH. “ Pengantar Hukum Perburuhan”, Cet –VIII, Pen. Djambatan Jakarta, 1987. 15. J. Van. Bemelen Mr. “ Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum”, cet-2 Bandung: Binacipta, Juli 1987. 16. Jeremy Bentham, “ Teori Perundang –Undangan : Prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana”, cet-1, Terjemahan, Bandung : Nusa Media & Penerbit Nuansa, Juli 2006. 17. Karni Ilyas S.H. “ Catatan Hukum II”, cet-1, Jakarta: PT. Primacon Jaya Dinamika, 2000. 18. Mustafa Abdullah SH. dan Ruben Achmad SH. “ Intisari Hukum Pidana”, Jakarta : cet-2, Ghalia Indonesia, November 1986. 19. Muzni Tambusai Dr. M.sc. “ Hubungan Industrial Era Baru” , Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Depnakertrans : 2006. 20. Moeljatno Prof. SH. “Asas –Asas Hukum Pidana”, cet-V Jakarta : PT. Rineka Cipta, Mei 1993. 21. Muladi Prof. SH. Dan Barda Nawawi Arief Prof. Dr. SH. “ Teori –Teori dan Kebijakan Pidana”, Cet -3 (Bandung : PT.Alumni, 2005). 22. Peter Mahmud Marzuki Prof. Dr. MS. LL.M. SH., “ Penelitian Hukum” , Cet.1, (Jakarta : Kencana, Prenada Media, Agustus 2005).
34
35
23. Purnadi Purbacaraka SH. Soerjono Soekanto Prof. DR. MA. SH. “Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum”, Bandung, cet-I, P.T.Alumni, 1979. 24. -----------------------“Perundang-Undangan Dan Yurisprudensi”, cet-3, Bandung: PT. Citra Aditya Bandung, 1989. 25. Purnadi Purwacaraka, S.H., A. Ridwan Halim, S.H, “Filsafat Hukum Pidana dalam Tanya Jawab”, cet-3, Jakarta: Rajawali, 1989. 26. R.Tresna Mr.“Azas-Azas Hukum Pidana”, Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1994. 27. Roeslan Saleh Prof. Mr. “ Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana ” dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana”, cet-III Jakarta : Aksara Baru, 1983. 28. --------------------- “Sifat Melawan Hukum Pidana”, cet-5, Yogyakarta: Aksara Baru, 1986. 29. R. Abdoel Djamali SH. ” Pengantar Hukum Indonesia ”,ed-II, cet-11, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2006. 30. R.M. Dworkin “Filsafat Hukum sebuah Pengantar”, cet-1,Yogyakarta: Merkid Press, Mei 2007. 31. Romli Atmasasmita SH. LLM. “ Perbandingan Hukum Pidana” , cet-I , Bandung : CV. Mandar Maju, 1996. 32. Ronny Hanitijo Soemitro SH. “ Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri ”, CetIV,Jakarta : Ghalia Indonesia, September 1990. 33. R.Soenarto Soerodibroto SH. “KUHP dan KUHAP” Dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung Dan Hoge Raad, Ed-5, Cet-12, Jakarta : PT. Raja GRafindo, 2006. 34. Satjipto Rahardjo “ Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergualatan Manusia dan Hukum”, Jakarta: PT.Kompas Media Nusantara, November 2007. 35. Soedjono Dirdjosisworo DR. SH. “Pengantar Ilmu Hukum” , Ed-1, Cet -10, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2007. 36. Soerjono Soekanto Prof. Dr. MA. SH. Sri Mamudji. SH. LLM. “ Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat”, Cet-II,Jakarta : CV.Rajawali, Februari, 1986. 37. Soerjono Soekanto, Prof. Dr. SH. MA. “ Faktor –Faktor
yang
Mempengaruhi
Penegakan Hukum”, ed-1, cet-6, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. 38. Satochid Kaartanegara Prof. SH. “Hukum Pidana” Kumpulan Kuliah, Bagian Satu, Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun. 39. Soepomo, Prof. Dr. SH., “Sistem Hukum Di Indonesia, sebelum perang dunia II”, cet-16, Jakarta: Pradnya Paramita 2002.
35
36
40. Sjahran Basah
Prof. DR. CN. SH. “ Eksistensi Dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia”, Cet V, Bandung PT.Alumni, tahun 1989.
41. “Himpunan Konvensi ILO Umum Dan Mengenai Hak –Hak Dasar Dalam Pekerja”, Jakarta :CV.Myda Pebruari 2003. 42. Wirjono Prodjodikoro Prof. Dr. SH. ”Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia”, ed-2, CetVII, Bandung: PT. Refika Aditama, 1989. 43. Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara Prof. Dr. “ Ketika Kejahatan Berdaulat”, sebuah Pendekatan Kriminologi, Hukum dan Sosiologi”, Peradaban, 2001. 44. Triyanto & Titik Wulan Tutik “ Bunga Rampai Hakikat Keilmuan Ilmu Hukum” Suatu Tinjauan dari Sudut Pandang Filsafat Ilmu”, cet-1, Surabaya: , Prestasi Pustaka Publisher, Maret 2007. 45. Zainal Asikin, SH. SU.(Ed). H.Agusifar Wahab SH. Lalu Husni SH. Zaeni Asyhadie SH. ”Dasar–Dasar Hukum Perburuhan”, cet –I, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993. B. Bahan Hukum Primer - Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ke 4. - Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman - Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek. - Undang –Undang Nomor 2 Tahun 1993 tentang Asuransi. - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1999, tentang pengesahan ILO Convention No.105 Concerning The Abolition Of Forced Labour (Konvensi ILO Mengenai Penghapusan Kerja Paksa) - Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial. - Undang –Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Jamkesmas. - Peraturan
Pemerintah
Repbulik
Indonesia
Nomor
14
Tahun
1993
tentang
penyelenggaraan Jaminan sosial tenaga kerja. - KUHPidana - KUHAP - Konvensi Internasional Labour Organization
36
37
- Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : Per – 02/Men/XII/2004 tentang Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja bagi Tenaga kerja Asing.
HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis
: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
TENAGA KERJA DALAM UNDANG –UNDANG NO 3 TAHUN 1992 TENTANG JAMSOSTEK (STUDI DI KOTA BATAM)
Nama Mahasiswa
: Ronald Frederich Sitohang
Nomor pokok Mahasiswa
: 74109001
Program Studi
: Magister Hukum Bisnis Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua
Pembimbing I
Pembimbing II
Menyetujui,
37
38
Direktur program Pasca Sarjana
(Prof.DR.Budiman Ginting,SH,M.Hum)
Narkoba
Rektor Universitas Batam
(Ir.Muh.Jemmy Rumengan,SE,MM)
Dari sisi lain bisinis narkoba sangat menggiurkan yaitu si korban akan
mendapatkan keuntungan yang sangat luar biasa dari hasil penjualan narkoba tersebut. yang Problem narkoba target dan korban narkoba setiap negara dan bangsa –bangsa di dunia memiliki tujuan bagi pandangan hidupnya, diantaranya dengan menciptakan kesejahteraan sosial terhadap masyarakatnya. sehingga tujuan hidup tersebut menjadi suatu tujuan nasional. Agar dapat mewujudkan tujuan-tujuan tersebut maka negara perlu membuat suatu kebijakan umum untuk kepentingan masyarakatnya agar dapat tercapai suatu cita-cita yang diharapkan kearah peningkatan kualitas hidupnya. Salah satu dari kebijakan pemerintah adalah
dengan
melaksanakan
peningkatan dibidang ekonomi melalui menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya. Hal ini sebagaimana amanat didalam konstitusi negara kita yaitu
38
39
Undang –Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen ke-4 Pasal 33 ayat (4) disebutkan ;45 “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Penyelenggaraan ekonomi Indonesia didasarkan pada demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan yang artinya pelaksanaan dari kegiatan ekonomi untuk mewujudkan terhadap hak-hak ber-ekonomi yang demokratis, berkeadilan dan transparan. terhadap hak ekonomi tersebut diimplementasikan dengan terciptanya lapangan pekerjaan di berbagai sektor baik formal maupun informal, sehingga dengan terpenuhinya hak ekonomi tersebut secara tidak langsung pembangunan ekonomi negara juga ikut berkembang. Dengan meningkatnya perekonomian sama artinya bahwa terjadi peningkatan produktifitas melalui masyarakat pekerja yang
berfugsi sebagai mesin penggeraknya. Dapat dipastikan
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi yang berujung pada tercapainya tujuan pembangunan nasional dibidang perekonomian. Artinya pemerintah menjamin dan memberikan suatu perlindungan hak –hak ekonomi masyarakatnya. Salah satu kebijakan pemerintah
didalam melindungi
masyarakatnya dibidang perekonomian antara lain dengan diadakannya suatu program jaminan sosial bagi masyarakat pekerja, hal ini telah termuat didalam UUD 1945 perubahan ke- Pasal 34 ayat 2 ;46
45 46
Undang –Undang Dasar 1945, Sekertariat Negara Tahun 2002. Ibid.
39
40
“Negara mengembangkan sistim jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Adanya perlindungan terhadap hak –hak pekerja juga dilakukan oleh lembaga perburuhan internasional yaitu ILO (International Labour Organization) dimana upaya perlindungan hak ekonomi mendefinisikan terhadap istilah Jaminan Sosial adalah ; “ menggambarkan semua program sosial untuk pengentasan kemisikinan. Sehingga terhadap sistim Jaminan sosial dikenal sejak konferensi ILO tahun 1952 ketika standar –standar jaminan sosial diterapkan. Jaminan tersebut mencakup Asuransi Sosial ( dimana pekerja dan pengusaha membentuk asuransi untuk kejadian – kejadian tertentu).”47 Bahwa pelaksanaan sistem jaminan sosial tersebut telah menjadi landasan penting
didalam
pembangunan
nasional dibidang sosial ekonomi, dalam suatu
perlindungan hukum bagi hak –hak pekerja. Oleh karenanya pemerintah membuat suatu undang –undang yaitu undang –undang nomor 3 tahun 1992 mengenai jaminan sosial tenaga kerja. Tujuan dari dibuatnya undang –undang tersebut agar masyarakat pekerja mendapatkan suatu perlindungan hukum terhadap hak –hak sosial didalam pekerjaannya
dalam
bentuk
suatu
jaminan
keamanan
didalam
pelaksanaan
pekerjaannya. Yaitu aman dari kondisi –kondisi yang menghambat dari pekerjaannya berupa jaminan pemeliharaan kesehatannya dan peristiwa kecelakaan yang menimpa pada dirinya. Pemerintah Indonesia didalam rangka memberikan suatu perlindungan hukum terhadap masyarakatnya didalam pelaksanaan hubungan kerja Dimana negara 47
Indonesia Terbebas dari Kemisikinan ILO, Jakarta, Perlindungan sosial orgpublicindonesia/regionasrojakarta/download/tbn9/.pdf, di-akses 13 Desember 2010.
bagi
Semua, hal,1. http/www/.ilo.
40
41
mengambil peran dalam hal ini ditandai dengan telah dibentuknya berbagai macam Badan usaha jaminan sosial seperti ; Jamsostek, Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat), dan yang sejenisnya berupa ASKES, ASABRI, TASPEN, Asuransi Kecelakaan Jasa Raharja, hal tersebut menunjukan betapa seriusnya pemerintah mendukung berdirinya badan usaha yang bergerak pada hak –hak sosial masyarakatnya. Dengan berdirinya badan usaha tersebut tentunya sangat membantu pemerintah, terlebih lagi tujuan jaminan sosial ini sebagaimana tertuang didalam penjelasan PP No. 14 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan jaminan sosial tenaga kerja dikatakan “ Selain itu, jaminan sosial tenga kerja yang diselenggarakan dengan metode pendanaan akan memupuk dana yang akan menunjang pembiayaan pembangunan nasional”.48 Sehingga dengan dana yang menumpuk tersebut semakin terjaminnya perlindungan hukum bagi masyarakat pekerja pada umumnya. Akan tetapi didalam perjalanannya terhadap pelaksanaan Jaminan tenaga
kerja
sosial
tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan bagi
masyarakat pekerja. Dengan pola bisnis dan kompetisi bisnis di era globalisasi mendorong perusahaan –perusahaan yang mempekerjakan pekerja melakukan suatu kebijakan –kebijakan yang dapat merugikan pekerja. Diantaranya melakukan kebijakan efesiensi terhadap permodalan, aset –aset, hingga pekerja bahkan terhadap hak –hak pekerja. Dan terkadang kebijakan yang dibuat dan dilakukan tanpa disadari atau secara sadar bertentangan dengan ketentuan undang –undang yang berlaku sehingga sangat merugikan
bagi
pihak
pekerja. Oleh karena itu dalam memberikan suatu
jaminan terhadap hak –hak pekerja diperlukan suatu upaya keras bagi pihak yang sangat lemah dan cenderung mengalami suatu kerugian dalam hal ini pekerja. 48
http://indosdm.com/peraturan-pemerintah-no14-th-1993-penyelenggaraan-program-jaminan-sosial-tenaga-kerja diakses pada tanggal 15 Desember 2010.
41
42
Pengertian jaminan sosial tenaga kerja didalam Undang –Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang jaminan sosial tenaga kerja pada Pasal 1 ayat (1) adalah sebagai berikut : “Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah suatu perlindungan bagi tenaga kerja
dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia”.49 Maka
jaminan
sosial
merupakan
aspek
perlindungan dalam bentuk
pemberian santunan berupa uang yang berfungsi sebagai pengganti sebagian dan penghasilan yang berkurang, yang dimaksud adalah dari penghasilan pekerja yang di potong dengan jumlah tertentu oleh pihak yang menyelenggarakan sebagaimana kewajiban yang telah diberkan kepada perusahaan oleh undang –undang jamsostek melaksanakan program perlindungan dan bekerja sama dengan lembaga
penjamin
jaminan sosial dalam hal ini perusahaan asuransi selanjutnya akan dikembalikan untuk pekerja atas resiko pekerjaan yang timbul dikemudian hari. Konsepsi jaminan sosial didalam prespektif hukum perburuhan adalah sebagai suatu pelayanan yang diberikan
bertujuan
menciptakan kesejahteraan kepada
masyarakat dengan cara memberikan jaminan kehidupan sosial melalui program jaminan sosial tenaga kerja atau disingkat dengan istilah
JAMSOSTEK, bahwa
jaminan sosial tenaga kerja sangatlah diperlukan bagi masyarakat pekerja didalam pelaksanaan hubungan kerjanya di perusahaan. Didalam kenyataannya hubungan kerja selalu timbul resiko-resiko kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, cacat, hamil dan resiko-resiko lainnya. Tentunya resiko – resiko tersebut harus diperoleh sebagai 49
Undang –Undang No 3 Tahun 1993 tentang Jamsostek.
42
43
tanggungan jawab sosial dari pemerintah dan dunia usaha yang mempekerjakan pegawainya. Sebab dengan jaminan tersebutlah resiko sosial didalam penghidupannya menjadi perlindungan penting bagi pekerja. Mengingat resiko kerja dari waktu ke waktu selalu saja
timbul dari sebab peristiwa yang tidak pasti tersebut kapan
terjadinya. Setiap penyelenggaraan Jaminan sosial tentunya tidak luput dari terjadinya suatu
penyimpangan-penyimpangan
jamsostek
didalam
pelaksanaannya.
Bahwa
program
dalam konsepsinya sebagai perlindungan dasar (minimum) bagi tenaga
kerja didalam memenuhi kebutuhan
dasar bagi penghidupan keluarganya. Yang
melatar belakangi diadakannya suatu jaminan sosial adalah penghargaan terhadap pekerjaan yang telah dilaksanakannya disamping upah, sebagaimana dikatakan Iman Soepomo ; “Pengupahan yang layak bagi kemanusiaan ini tidak boleh diserahkan sematamata kepada rasa-keluhuran (etika) dari pengusaha saja, tetapi harus dijamin oleh penguasa supaya dilaksanakan oleh pengusaha sebagai suatu kewajiban sosial”.50 Kewajiban sosial merupakan landasan konsepsi untuk diadakannya jaminan sosial bagi tenaga kerja didalam pelaksanaan hubungan kerja di perusahaan yang mekanismenya melalui asuransi. Tujuannya bersifat memberikan suatu penghargaan terhadap rasa aman dalam kehidupan sosialnya, yaitu ; “jaminan sosial adalah pembayaran yang diterima pihak buruh dalam hal buruh diluar kesalahannya tidak melakukan pekerjaan, jadi menjamin kepastian pendapatan (income security) dalam hal buruh kehilangan upahnya karena alasan diluar kehendaknya.”51
50 51
Iman Soepomo, “Pengantar Hukum Perburuhan, (Jakarta, Cet VIII, Pen. Djambatan) hal 135. Ibid.
43
44
Adapun kondisi –kondisi tersebut diatas jaminan sosial mutlak merupakan tanggung jawab pemerintah bersama –sama pekerja, dengan
perusahaan
yang
demikian harus di upayakan sebab prinsip
mempekerjakan perlindungan
menjadi dasar jaminan pekerja dari diadakannya jaminan sosial tersebut, sehingga resiko yang timbul dari kegiatan jaminan sosial tersebut harus dilaksanakan sesuai ketentuan aturan yang berlaku. Bahwa pelaksanaan jaminan sosial dalam asuransi sosial bersifat wajib didalam perlindungan sosial. Akan tetapi didalam pelaksanaan jaminan sosial juga memiliki potensi terjadinya pelanggaran antara lain terjadinya penggelapan terhadap uang jaminan yang telah setorkan dan dikelola oleh penyelenggara, dimana penggunaannya tidak sesuai yang diharapkan oleh peserta jaminan sosial. Bahwa didalam ketentuan setiap perusahaan diwajibkan untuk melaksanakan jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dalam pasal 4 UU Nomor 3 tahun 1992, disebutkan “ Program jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.”52 Penggelapan
terhadap dana
jaminan sosial
tenaga
kerja sangatlah
dimungkinkan terjadinya, kondisi yang sering terjadi adalah ketika pekerja akan mengajukan klaim berobat atau
kecelakaan dirumah sakit ternyata tidak dapat
diperoleh dan dicarikan dana yang telah dipotong melalui program asuransi tenaga kerja tersebut dengan berbagai alasan yang tidak jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan terhadap akibatnya pekerja sering kali dirugikan dengan sulitnya klaim tersebut, yang akhirnya jaminan sosial tidak dapat memberikan perlindungan 52
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 Tentang Jamsostek.hal
44
45
kesehatan secara nyata. Tentunya suatu pemotongan hak –hak pekerja tanpa adanya suatu dasar alasan yang tidak jelas dan selanjutnya tidak dapat diklaim dapat diduga telah terjadi suatu tindak pidana penggelapan terhadapnya. Bahwasanya atas perbuatan atau tindakan dari pihak yang tidak bertanggung jawab tersebut kerap kali tidak dapat dikenai suatu sanksi hukumpun, hal ini disebabkan lemahnya dan tidak diaturnya sanksi pidana penggelapan yg tegas terhadap pelaku. Jaminan sosial tenaga kerja merupakan lex specialist dari pada hukum perburuhan yang
berfungsi memberikan suatu perlindungan sosial didalam
pelaksanaan hubungan kerja, apakah didalam aspek perlindungan tersebut sudah menjamin hak –hak pekerja, dan seajuh manakah perlindungan resiko –resiko tersebut dapat diperoleh pekerja. Sedemikian perlindungan sosial itu diadakan untuk menjamin resiko pekerja dalam kehidupannya dengan diadakannya asuransi sosial yang juga sering disebut dengan jaminan sosial tenaga kerja. Didalam ketentuan UU No 3 Tahun 1992 tentang Jamsostek juga dikatakan ; “bahwa perlindungan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan baik dalam hubungan kerja maupun diluar hubungan kerja melalui program jaminan sosial tenaga kerja selain memberikan ketenangan kerja juga mempunyai dampak positif terhadap usaha-usaha peningkatan disiplin dan produktivitas tenaga kerja;53 Sehingga perlindungan bagi
resiko –resiko tersebut harus dipandang sebagai jaminan kemanusiaan
bukan sesuatu perlindungan yang ala kadarnya,
sekedar pelaksanaan saja bahwa didalamnya juga terkandung aspek –aspek kemanusiaan, sehingga penyimpangan
yang
terjadi merupakan suatu tindakan
yang tidak manusiawi didalam pelaksanaan terhadap hak –hak pekerja. Selama ketentuan perundangan –undangan yang ada belum mengatur secara jelas dan tegas 53
Op.cit, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992.
45
46
terhadap suatu sanksi bagi pelaku selama itu pula negara tidak memberikan perlindungan yang nyata bagi masyarakat pekerja. Didalam setiap ketentuan undang –undang selalu diatur bentuk –bentuk dari perbuatan yang dilarang dan yang diperbolehkan tujuannya adalah untuk menjamin ketertiban hukum didalam masyarakatnya. Hukum pidana menurut Simons dalam bukunya Leer boek Nederlands Strafrecht 1937 memberikan definisi sebagai berikut ;54 “Hukum pidana adalah kesemuanya perintah-perintah dan larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan-aturan menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.” Rumusan mengenai pengertian hukum pidana didalam buku P.A.F Lamintang menerangkan
pendapat
Profesor Doktor W.L.G. Lemaire mengenai pengertian
hukum pidana yang berbunyi antara lain ;55 “Hukum pidana itu terdiri dari norma –norma yang berisi keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembuat undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itumerupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan –tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan –keadaan bagaimana hukum itu dapat dijatuhkan , serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan –tindakan tersebut.” Hukum pidana merupakan bagian dari pada hukum publik yang memuat ketentuan –ketentuan mengenai suatu
aturan umum dari hukum pidana. Adapun
ketentuan yang diaturnya menurut Adami Chazawi 56 antara lain ;
54 55 56
Moeljatno “Asas –Asas Hukum Pidana” (Jakarta, Cet -5, Rineka Cipta, Tahun 1993) hal 7. P.A.F. Lamintang, “ Dasar –Dasar Hukum Pidana Indonesia”, (Bandung, Cet -3, PT. Citra Aditya, Tahun 1997) hal, 1 -2. Adami Chazawi “Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1” Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana” (Jakarta, Ed -1-2, PT. Raja Grafindo, Tahun 2005) hal 2.
46
47
1. Aturan umum hukum pidana dan (yang berkaitan/berhubungan dengan) larangan melakukan perbuatan –perbuatan (aktif/positif maupun pasif/negatif) tertentu yang disertai dengan ancaman sanksi berupa pidana (straf) bagi yang melanggar larangan itu. 2. Syarat-syarat tertentu (kapankah) yang harus dipenuhi/harus ada bagi si pelanggar untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana yang diancamkan pada larangan perbuatan yang dilanggarnya. 3. Tindakan dan upaya –upaya yang boleh atau harus dilakukan negara melalui alat –alat perlengkapannya (misalnya polisi, jaksa, hakim) ...”. Bahwa umum
fungsi pokok dari pada hukum pidana adalah mengatur ketentuan
terhadap
suatu perbuatan
yang
diharuskan dan dilarang
yang disertai
ancaman –ancaman pidana tertentu. Dan membuat persyaratan tertentu dari suatu ketentuan umum beserta sanksi –sanksi yang diancamkan bagi si pelaku. Terhadap ketentuan pidana Van Bemmelen membagi Hukum pidana menjadi 2 antara lain ; Hukum pidana material dan formal, dikatakan “ Hukum pidana material terdiri atas tindak pidana yang disebut bertutut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formal mengatur bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan, dan menentukan tata tertib yang seharusnya di perhatikan pada kesempatan itu”. 57 Maka jelas berlakunya hukum pidana harus diatur dengan undang-undang.58 Sebagai dasar aturan pokok didalam penegakan hukum sanksi. Dengan diaturnya pidana dalam suatu ketentuan undang –undang
sebagai
aturan umum yang bertujuan memberikan fungsi perlindungan bagi pihak yang dirugikan dan memberikan suatu kepastian hukum didalam pelaksanaan ketentuan pidana tersebut. Dalam hal ini Van Bemmelen mempertanyakan terhadap perkataan 57
Van Bemmelen, Hukum Pidana 1, hal 2. 58
Ibid. Dikatakan Van Bemmelen “ .... untuk hukum pidana material selanjutnya berlaku peraturan “nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali”, suatu peraturan yang dibeberapa negara dicantumkan dalam undang-undang dasar Pasal 1 ayat 1 Sr di uraikan sebagai berikut ; ‘Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang –undangan telah ada”. Untuk hukum pidana Formal berlaku Pasa 1 Sv : ‘Tuntutan pidana hanya dapat dilakukan meurut cara yang diatr dalam undang-undang. hal 3.
47
48
“undang –undang”. Dalam pengertian undang –undang terdapat perbedaan undang – undang dalam arti material dan undang –undang dalam arti formal. 59 Ketentuan undang –undang dalam artian material merupakan substansi dari suatu isi aturan yang diaturnya, sedangkan dalam artian formal merupakan pembentukan wujud dari undang –undang tersebut. Untuk adanya suatu pidana dan dapat dijatuhinya sanksi pidana tentunya harus ada suatu peristiwa pidana atau suatu kejadian yang mengakibatkan seseorang dijatuhi sanksi pidana, adapun peristiwa pidana menurut Simons
adalah “Een
Strafbaargestelde, onrechtmatige, met schuld in verbande handeling van een toerekeningsvatbaar persoon”
60
dalam terjemahan bebasnya ‘Perbuatan salah dan
melawan hukum, yang diancam pidana dan dilakukan oleh seorang yang mampu bertanggung jawab’. Bahwa peristiwa pidana adalah suatu perbuatan yang didalamnya terdapat unsur kesalahan dan bertentangan dengan hukum dan atas perbuatan tersebut akan terkena dampaknya yaitu berupa ancaman pidana. Bahwa didalam didalam ketentuan jaminan sosial tenaga kerja secara lex specialist telah diatur beberapa ketentuan sanksi terhadap penyimpangan jaminan sosial tenaga yang terjadi. Bahwa masing –masing pihak diberikan suatu hak dan kewajiban yang antara lain bagi pihak penyelenggara di tetapkan kewajiban untuk memungut dan menyetorkan uang iuran yang telah ditetapkan didalam ketentuan undang –undang. Dalam salah satu peristiwa dan fakta dilapangannya dalam sebuah web site di terangkan sebagai berikut :
59
60
Ibid. Dikatakan Van Bemmelen...” yang dimaksud dengan undang-undang dalam arti material ialah jika suatu peraturan mengikat seluruh warga negara, berlaku untuk umum dan berlaku keluar, dalam menguraikan undang-undang dalam arti material yang diperhatikan ialah isi peraturan itu. Yang dimaksud undang-undang dalam arti formal ialah apabila sesuai dengan Grw. Pasal 119, suatu keputusan yang diambil oleh Raja dan Parlemen bersama –sama (sekarang Presiden dan DPR)... . Mustafa Abdulah, Ruben Achmad, “Intisari Hukum Pidana”, ( Jakarta, Cet -1, Ghalia Indonesia, Tahun 1983) hal 26.
48
49
“ Namun sayang, tidak semua pekerja seberuntung Amnah. Sebagaimana diungkapkan oleh Koordinator Hukum, Politik dan HAM FSBS, Argo Priyo Sujatmiko, dari study yang dilakukan FSBS di 26 perusahaan, 16 diantaranya tidak mendaftarkan seluruh pekerjanya sebagai peserta program JPK. Sementara 5 perusahaan yang lain memilih menyelenggarakan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Secara Mandiri. Study ini juga menemui adanya perusahaan yang menyediakan fasilitas pemeliharaan kesehatan, dengan jalan mengganti biaya berobat pekerja. Misalnya yang terjadi di PT. SS dengan jumlah pekerja ± 800 orang. Disana pekerja dan keluarganya (suami/istri dan 3 orang anak) mendapatkan pengganti biaya berobat sebesar Rp. 50.000.00/ orang/ bulan. Untuk rawat inap dengan sakit biasa sebesar 1,5 juta, rawat inap dengan operasi kecil sebesar 2 juta, dan rawat inap dengan operasi besar/cesar sebesar 3 juta. Adapun kekurangan dari jumlah dana tersebut ditanggung sendiri oleh pekerja yang bersangkutan, sehingga akan merugikan pekerja. Karena bila tidak ada pekerja yang sakit, maka dana itu akan kembali ke perusahaan.”61 Bahwa pada fakta dilapangan tersebut diatas terdapat sejumlah persoalan didalam jaminan sosial tenaga kerja yaitu belum dilaksanakannya program jaminan sosial tenaga kerja yang menjadi kewajiban perusahaan untuk pendaftarkan pekerja didalam program tersebut sebagai suatu jaminan hak yang berkelanjutan yang pada saat tertentu ketika pekerja tidak melanjutkan hubungan kerja dengan perusahaan yang bersangkutan
hak
tersebut masih dapat diambil dan digunakan bagi pekerja, sedangkan apabila tidak didaftar pada lembaga jaminan asuransi hak –hak pekerja dengan sendirinya akan hilang dan yang barangkali menjadi suatu keuntungan bagi pihak perusahaan terkait. Dan dimungkinkannya perusahaan mengadakan sistem jaminan sosial mandiri yang tidak mengacu kepada dasar ketentuan yang ada dan tidak digunakannya secara maksimal dana jamsostek tersebut bahkan dapat menjadi keuntungan bagi pihak perusahaan tersebut. Dan hal tersebut juga sangat dimungkinkannya terjadi suatu penggelapan bagi dana jamsostek yang ada. Hal ini apabila terjadi maka tentunya ketentuan undang –undang dapat diterapkan untuk menjerat atas akibat perbuatan tersebut. Hanya saja didalam ketentuan Undang – 61
http://kaharscahyono.wordpress.com/2010/02/12/berharap-perlindungan-maksimal-di-tengah-penegakan-hukumminimal-situasi- jaminan-sosial-tenaga-kerja-di-indonesia/ , diakses tanggal 15 Desember 2010.
49
50
Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
jamsostek tidak diatur secara tegas terhadap
pelanggaran atau penyimpangan dana jamsostek yang ada, oleh karena itu perlu adanya suatu penegasan didalam rumusan pemidanaan terhadap penggelapan dana jamsostek agar terdapat suatu kepastian hukum.
50