© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan BAB VIII
DASAR-DASAR PERANCANGAN PENELITIAN EPIDEMI PENYAKIT TUMBUHAN If we accept the premise that new knowledge is most often obtained by careful analysis and interpretation of data, then it is paramount that considerable thought and effort be given to planning their collection in order that maximum information be obtained for the best expenditure of resources
R.G.D. Steel & J.H. Torrie (1980)
A. Pendahuluan Seiring dengan perkembangan epidemiologi penyakit tumbuhan ke arah yang semakin kuantitatif maka pengumpulan dan analisis data menjadi bagian yang sangat penting dari kegiatan penelitian maupun pengelolaan epidemi e pidemi penyakit tumbuhan. Pengumpulan dan analisis data tersebut pada dasarnya dilakukan melalui kegiatan penelitian. Dengan demikian, data yang diperoleh sangat tergantung pada ketepatan rancangan penelitian yang digunakan. Penelitian dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan pada umumnya dilakukan dengan metode eksperimental atau survai. Kedua metode penelitian tersebut berbeda dalam hal dilakukan atau tidak dilakukannya intervensi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi proses epidemi. Pada penelitian eksperimental, penelitian difokuskan pada faktor tertentu terlebih dahulu dengan mengupayakan pengaruh faktor lain bersifat homogen. Sebaliknya pada penelitian survai, pemokusan terhadap faktor tidak dilakukan terlebih dahulu melainkan sepenuhnya diserahkan pada keadaan di lapangan. Namun pada kedua metode tersebut, diperlukan teknik pengumpulan data yang pada dasarnya tidak banyak ber beda. Mengingat arti penting perancangan penelitian dan analisis data dalam penelitian epidemiologi penyakit tumbuhan maka pada bab ini akan disajikan uraian mengenai dasar-dasar perancangan penelitian dan analisis data. Uraian lebih mendalam dapat diperoleh dari bukubuku teks mengenai perancangan penelitian dan statistika.
B. Tujuan Instruksional 1) 2)
Setelah mempelajari materi dalam bab ini mahasiswa diharapkan mampu: Menerangkan prinsip-prinsip dasar perancangan penelitian eksperimental dan penelitian survai dalam epidemiologi penyakit tumbuhan. Menerangkan prinsip-prinsip dasar analisis data hasil penelitian eksperimental dan penelitian survai dalam epidemiologi penyakit t umbuhan.
C. Materi 1. Pengertian dan Tujuan Perancangan Penelitian Penelitian merupakan suatu pencarian untuk menemukan fakta baru atau untuk mendukung atau menolak suatu fakta yang telah ada dengan menggunakan data sebagai alat pengambilan keputusan. Untuk memperoleh data yang dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan maka penelitian harus dilakukan dengan menggunakan metode tertentu. Metode penelitian yang umum digunakan dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan adalah penelitian eksperimental dan penelitian survai. Penelitian eksperimental dilakukan dengan pelaksanaan percobaan. Percobaan merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan mengenakan suatu tindakan tertentu terhadap obyek penelitian sedemikian rupa sehingga perubahan yang timbul sebagai tanggapan dapat dismpulkan sebagai disebabkan oleh tindakan yang dikenakan. Agar tindakan yang diberikan terhadap obyek dapat disimpulkan sebagai penyebab terjadinya perubahan tanggapan maka percobaan harus diatur sedemikian rupa sehingga faktor lain selain tindakan yang diberikan bersifat homogen. Pengaturan obyek penelitian dan pemberian tindakan terhadapnya agar diperoleh tanggapan yang dapat disimpulkan sebagai akibat dari tindakan yang diberikan dilakukan melalui perancangan percobaan. Dengan demikian, penelitian eksperimental menghasilkan kesimpulan yang bersifat sebab akibat.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
92
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Penelitian survai pada pihak lain, dilakukan dila kukan tanpa dengan memberikan tindakan tertentu terhadap obyek penelitian. Pada penelitian survai, obyek penelitian diambil untuk mewakili suatu populasi tertentu guna menentukan ada atau tidak adanya suatu hubungan tertentu di dalam populasi tersebut. Dengan demikian, penelitian survai menghasilkan kesimpulan yang tidak bersifat sebab akibat, melainkan kesimpulan yang bersifat korelasional. Penelitian eksperimental maupun survai dilakukan untuk memecahkan suatu masalah. Masalah pada dasarnya merupakan hubungan antara dua konsep ( concepts) atau lebih yang belum tersedia penjelasannya. Melalui penelitian, tiap konsep ditentukan peubahnya (variables) dan hubungan antara dua peubah atau lebih dirumuskan menjadi hipotesis ( hipothesis) penelitian (Gambar 8.1). Suatu konsep dapat dibuatkan satu atau lebih peubah dengan hubungan yang harus dirumuskan secara deduktif. Dalam hubungan tersebut, satu peubah merupakan peubah tidak bebas (dependent variable) dan satu atau beberapa peubah lain merupakan peubah bebas (independent variables). Misalnya, daur infeksi dapat dipandang sebagai konsep yang berhubungan dengan konsep lain, misalnya faktor lingkungan, yang bentuk hubungannya belum diketahui dengan jelas. Untuk itu maka perlu ditetapkan peubah untuk konsep daur infeksi dan peubah untuk konsep faktor lingkungan. Misalnya persentase perkecambahan spora merupakan peubah untuk daur infeksi serta suhu dan periode kebasahan daun merupakan peubah untuk faktor lingkungan. Peubah-peubah tersebut dapat ditentukan secara deduktif berhubungan dalam bentuk fungsi Y=f(X 1,X2), dengan Y menyatakan persentase perkecambahan spora serta X 1 menyatakan suhu dan X2 menyatakan periode kebasahan permukaan.
PROPOSISI KONSEP
KONSEP
HIPOTESIS PEUBAH
PEUBAH
HIPOTESIS DEFINISI
STATISTIK
DEFINISI
OPERASIONAL
OPERASIONAL
PEUBAH
PEUBAH
Gambar 8.1. Hubungan antar Konsep dan antar Peubah dalam Perumusan Masalah dan Hipotesis Penelitian Pada penelitian eksperimental, X1 dan X2 merupakan tindakan yang diberikan terhadap obyek penelitian yang dalam hal ini adalah spora. Keduanya disebut faktor ( factor ) atau perlakuan (treatment ) yang diberikan kepada obyek penelitian dalam beberapa taraf (levels) tertentu. Dalam hal ini Y diamati sebagai tanggapan terhadap faktor atau perlakuan X 1 dan X2 tersebut. Pada pihak lain pada penelitian survai Y maupun X 1 dan X2 diamati langsung di lapangan. Hubungan antara Y dengan X1 dan X2 sepenuhnya diserahkan kepada data yang diperoleh. Meskipun demikian, baik dalam penelitian eksperimental maupun penelitian survai, Y merupakan peubah tidak bebas serta X 1 dan X2 merupakan peubah bebas. Bedanya adalah bahwa dalam penelitian eksperimental dapat disimpulkan bahwa Y disebabkan oleh X1 dan X2,
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
93
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan sedangkan dalam penelitian survai hanya dapat disimpulkan bahwa Y sekedar mempunyai hubungan dengan X 1 dan X2. 2. Perancangan Penelitian Eksperimental a. Perancangan Perlakuan Percobaan, sebagaimana namanya, harus mengandung sesuatu yang dicobakan yang disebut perlakuan atau faktor. Dalam satu percobaan dapat dicobakan satu (percobaan faktor tunggal) atau beberapa perlakuan atau faktor (percobaan faktorial, percobaan berfaktor). Perlakuan atau faktor masing-masing biasanya dicobakan dalam beberapa taraf. Penentuan apakah suatu percobaan akan terdiri atas satu faktor atau beberapa faktor dan berapa taraf tiap faktor yang akan dicobakan merupakan proses perancangan perlakuan. Penentuan faktor dan tarafnya dalam suatu percobaan dilakukan bukan tanpa dasar melainkan harus mengacu kepada landasan teori tertentu yang didukung dengan bahan kepustakaan yang memadai. Misalnya akan dilakukan percobaan untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi proses sporulasi suatu patogen penyebab penyakit tertentu pada suatu spesies tanaman. Untuk menentukan faktor yang akan dilibatkan sebagai faktor maka perlu dilakukan penelusuran kepustakaan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi proses sporulasi patogen tersebut. Misalnya diketahui bahwa periode kelembaban nisbi tinggi merupakan faktor yang paling berpengaruh dan kemudian disusul oleh suhu udara. Dalam proses perancangan perlakuan, ditentukan apakah percobaan akan melibatkan kedua faktor atau hanya salah satu faktor sebagai perlakuan. Selanjutnya, dengan didahului penelusuran kepustakaan juga perlu ditentukan taraf dari tiap faktor yang akan dicobakan. Bila akan dicobakan faktor periode kelembaban nisbi tinggi, berapa kisaran antara periode kelembaban nisbi tinggi terendah dan tertinggi dan kisaran tersebut sebaiknya dibagi menjadi beberapa taraf. Demikian juga halnya dengan suhu, bila memungkinkan perlu dilakukan penelusuran kepustakaan mengenai suhu kardinal bagi proses sporulasi patogen tersebut untuk menentukan suhu sebagai taraf perlakuan. Perancangan Percobaan Sesuatu yang dikenai taraf perlakuan atau faktor dalam suatu percobaan adalah obyek percobaan. Obyek percobaan harus diatur sedemikian rupa sehingga menerima perbedaan hanya dari taraf perlakuan dan bukan dari faktor luar yang tidak tercakup sebagai perlakuan. Oleh karena itu, penempatan obyek percobaan harus diatur sedemikian rupa sehingga pengaruh faktor eksternal dapat diminimalkan dan variasi yang masih terjadi dapat diestimasi. Untuk maksud tersebut, penempatan obyek percobaan harus dilakukan secara acak sedemikian rupa dengan memperhatikan potensi pengaruh faktor lingkungan dan taraf perlakuan harus diberikan lebih dari satu obyek percobaan. Pengenaan taraf perlakuan terhadap lebih dari satu obyek perlakuan disebut pengulangan dan setiap kombinasi antara taraf perlakuan dan ulangan disebut satuan percobaan. Untuk menghindarkan satuan percobaan menerima pengaruh selain dari perlakuan yang diberikan maka penempatannya harus dilakukan sedemikian rupa dengan memperhatikan kecenderungan atau arah faktor luar yang diperkirakan berpotensi mempengaruhi percobaan. Pengaturan penempatan satuan percobaan sedemikian rupa untuk meminimalkan pengaruh faktor lingkungan tersebut dikenal dengan perancangan percobaan. Perancangan percobaan juga disebut perancangan lingkungan karena faktor luar yang diusahakan diminimalkan pengaruhnya pada dasarnya berupa faktor lingkungan. Perancangan percobaan dilakukan dengan menggunakan salah satu dari tiga rancangan dasar sebagai berikut: 1) Rancangan acak lengkap (completely randomized design), bila faktor di luar perlakuan bersifat seragam. 2) Rancangan acak kelompok (randomized complete block design), bila faktor di luar perlakuan bergradasi satu arah. 3) Rancangan bujursangkar latin (latin squares design), bila faktor di luar perlakuan bergradasi dua arah. Ketiga rancangan percobaan atau rancangan lingkungan tersebut merupakan rancangan dasar yang masing-masing dapat dikembangkan menjadi rancangan yang lebih kompleks. b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
94
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Berdasarkan tingkat kemudahan pengendalian pengaruh faktor di luar perlakuan, percobaan dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan dibedakan menjadi: 1) Percobaan terkendali (controlled-condition experiment ), ), merupakan percobaan yang dilakukan pada tempat yang keadaan lingkungan relatif seragam dan mudah dikendalikan, misalnya di dalam ruangan laboratorium, di dalam growth chamber , atau di rumah kaca. 2) Percobaan lapangan ( field experiment ), ), merupakan percobaan yang dilakukan pada tempat yang keadaan lingkungannya sangat beragam sehingga pengendaliannya perlu dilakukan secara hati-hati. Perancangan Pengamatan Setelah taraf perlakuan dikenakan terhadap satuan percobaan maka tanggapan yang diberikan oleh satuan percobaan perlu diamati atau diukur. Sesuatu yang diamati atau diukur sebagai tanggapan terhadap taraf perlakuan yang diberikan pada dasarnya merupakan peubah tidak bebas terhadap peubah bebas yang diberikan sebagai perlakuan atau faktor. Peubah tidak bebas dapat diamati atau diukur pada satuan percobaan secara keseluruhan atau terhadap bagian dari satuan percobaan (sub-sample). Bila pengukuran dilakukan terhadap bagian satuan percobaan (sub-sampling) maka diperlukan rancangan pemercontohan (sampling design) untuk menentukan bagaimana bagian-bagian dari satuan percobaan ditetapkan untuk diamati atau diukur. Uraian mengenai rancangan pemercontohan akan diberikan pada sub-bab mengenai perancangan penelitian survai. Penentuan peubah tidak bebas yang akan diamati atau diukur didasarkan atas pertimbangan mengenai hubungan antar konsep yang diteliti sebagai masalah penelitian. Dari setiap konsep pada umumnya dapat ditentukan lebih dari satu peubah dan dari seluruh peubah yang mungkin harus dipilih beberapa peubah yang paling relevan dengan masalah penelitian. Misalnya, dalam hubungan antara faktor lingkungan dengan proses infeksi, peubah faktor lingkungan dapat berupa suhu udara, periode kebasahan permukaan, dan sebagainya, dan peubah proses infeksi dapat berupa persentase perkecambahan spora, persentase spora yang berhasil melakukan penetrasi, efisiensi infeksi, dan sebagainya. Dalam hal ini yang merupakan peubah bebas yang harus diukur atau diamati adalah kelompok peubah kedua yang harus dipilih dengan menggunakan pertimbangan tertentu. Peubah tidak bebas tidak selamanya merupakan hasil pengamatan atau pengukuran langsung, melainkan juga dapat berupa turunan dari peubah lain yang diamati atau diukur secara langsung. Sebagai misal, pada Bab III telah dibahas mengenai Luas daerah di Bawah Kurva (LDBK). LDBK merupakan peubah turunan dari peubah insidensi maupun severitas penyakit yang merupakan peubah yang diamati secara langsung. c.
Pemilihan Percobaan Terkendali atau Percobaan Lapangan Untuk memilih apakah percobaan akan dilakukan sebagai percobaan terkendali atau percobaan lapangan, perlu terlebih dahulu dipahami kelebihan dan kekurangannya masingmasing sebagaimana disajikan pada tabel 8.1.
d.
Tabel 8.1. Kelebihan dan Kekurangan Percobaan Terkendali dan Percobaan Lapangan Kelebihan Kekurangan Percobaan Terkendali 1) Pengendalian faktor lingkungan mudah 1) Hanya populasi terbatas dari tanaman dilakukan sehingga dapat menghasilkan inang dan patogen yang dapat diteliti kesimpulan yang bersifat sebab akibat 2) Percobaan tidak dapat meniru keadaan 2) Pengendalian dapat dilakukan bukan habitat tanaman dan patogen yang hanya terhadap faktor lingkungan tetapi sebenarnya juga terhadap faktor patogen dan inang 3) Hasil percobaan harus diperiksa secara 3) Percobaan dapat diselesaikan dalam teliti sebelum dapat diterapkan di waktu singkat sehingga memungkinkan lapangan dilakukan repetisi bila diperlukan 4) Pelaksanaan percobaan memerlukan 4) Pelaksanaan perobaan tidak tergantung biaya awal dan biaya pemeliharaan yang
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
95
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan pada musim
tinggi Percobaan Lapangan 1) Menjamin diperoleh pemahaman yang 1) Hasil percobaan pada umumnya bersifat lebih memadai mengenai proses deskriptif dan menghasilkan data dalam pengaturan terhadap dan interaksi dalam jumlah besar epidemi 2) Hubungan sebab akibat sulit dapat 2) Informasi diperoleh dari habitat alami ditentukan kepastiannya karena adanya sehingga hasil percobaan lebih bersifat pengaruh faktor lingkungan aplikatif 3) Hasil satu kali percobaan lapangan 3) Keadaan percobaan bersifat lebih alami belum tentu sama dengan hasil dari sehingga mengurangi bahaya percobaan sama yang dilakukan pada pengambilan kesimpulan yang terlalu waktu yang berbeda deduktif 4) Tenaga dan biaya dapat menjadi sia-sia 4) Hasil percobaan lebih dapat bila ternyata penyakit tidak terjadi diaplikasikan langsung 5) Repitisi biasanya baru dapat dilakukan 5) Memerlukan biaya awal dan biaya pada musim yang sama tahun berikutnya pemeliharaan yang relatif rendah Sumber: Aust & Kranz (1988) Sehubungan dengan kelebihan dan kekurangan percobaan terkendali dan percobaan lapangan sebagaimana disajikan pada Tabel 8.1 maka tipe percobaan yang sesuai untuk dilakukan sebagai percobaan terkendali atau sebagai percobaan lapangan disajikan pada Tabel 8.2. Tabel 8.2. Tipe Percobaan Epidemiologi Penyakit Tumbuhan yang Sesuai Dilakukan sebagai Percobaan terkendali atau sebagai Percobaan Lapangan Percobaan Terkendali Percobaan Lapangan 1) Penelitian yang melibatkan fase 1) Pola epidemi sebagaimana dipengaruhi pertumbuhan yang rentan terhadap oleh faktor topografi atau edafik infeksi 2) Pola perkembangan penyakit pada 2) Penelitian mengenai pengaruh faktor populasi inang sebagaimana dipengaruhi suhu, periode kebasahan permukaan, oleh faktor lingkungan periode kelembaban nisbi tinggi 3) Penelitian proses epidemi tertentu terhadap proses monosiklik seperti pemencaran inokulum, 3) Pengujian pengaruh ras patogen, peningkatan jumlah inokulum, pola khususnya yang belum banyak terdapat ruang penyakit di lapangan 4) Interaksi antar penyakit atau antara 4) Pengujian ketahanan tanaman inang penyakit dan hama yang berukuran kecil 5) Verifikasi dan validasi model prakiraan 5) Penelitian mengenai berbagai macam dan model simulasi interaksi dalam patosistem 6) Penelitian pendahuluan terhadap 6) Penelitian untuk pengembangan model percobaan terkendali simulasi 7) Penelitian pendahuluan terhadap percobaan lapangan Sumber: Aust & Kranz (1988) Pertimbangan Khusus dalam Percobaan Terkendali dan Percobaan Lapangan Penelitian dalam epidemiologi penyakit tumbuhan pada khususnya dan dalam bidang penyakit tumbuhan pada umumnya berbeda dengan, misalnya, penelitian dalam bidang agronomi maupun penelitian dalam bidang ilmu tanah terutama dalam hal jumlah dan karakteristik mahluk hidup yang dilibatkan. Pada penelitian agronomi, mahluk hidup yang dilibatkan pada umumnya hanyalah tanaman yang relatif mudah diatur keseragamannya.
e.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
96
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Demikian juga halnya pada penelitian dalam bidang ilmu tanah. Pada penelitian dalam bidang penyakit tumbuhan, selain dilibatkan tanaman juga dilibatkan patogen yang sangat sulit dapat dikendalikan keseragamannya. Dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan hal ini menjadi lebih pelik terutama bila diperlukan pendekatan kuantitatif. Sehubungan dengan itu maka perlu diperhatikan beberapa pertimbangan khusus dalam pelaksanaan percobaan dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan, baik dalam melakukan percobaan terkendali maupun percobaan lapangan. Hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan dalam percobaan terkendali adalah unsur satuan percobaan dan cara pengulangan. Berkaitan dengan satuan percobaan, perlu diperhatikan bahwa satuan percobaan merupakan satu kesatuan luas atau volume yang diberikan suatu perlakuan atau kombinasi perlakuan tertentu. Bila percobaan dilakukan dalam cawan petri maka satuan percobaan adalah cawan petri tersebut dan bukan, misalnya, potongan daun dalam cawan petri. Berkaitan dengan pengulangan, misalnya pada percobaan pengaruh suhu terhadap perkembangan penyakit tertentu, perbedaan jumlah bercak antar individu tanaman dalam satu growth chmaber bukan merupakan nilai duga bagi galat percobaan ( experimental error ). ). Untuk memperoleh nilai duga galat percobaan maka ulangan perlu dilakukan dengan menggunakan growth chamber lain yang suhunya diatur sama. Bila jumlah growth chamber terbatas maka pengulangan sebaiknya dilakukan setelah seluruh taraf perlakuan dicobakan dan bukan seluruh ulangan dicobakan untuk setiap taraf perlakuan. Pada percobaan lapangan, pertimbangan perlu diberikan terutama berkaitan dengan terjadinya fenomena interferensi antar petak.Interferensi antar petak mengacu pada perpindahan inokulum ke luar atau ke dalam suatu peetak percobaan. Dikenal dua macam interferensi antar petak, yaitu interferensi negatif dan interferensi positif. Interferensi disebut negatif bila sebagian inokulum pindah ke luar dari petak tersebut sehingga tanaman di dalam petak menderita penyakit lebih ringan daripada seharusnya. Sebaliknya suatu interferensi disebut positif bila suatu petak menerima inokulum dari luar sehingga tanaman dalam petak tersebut menderita penyakit lebih berat daripada seharusnya. Masalah interferensi tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara, yaitu dengan pengaturan ukuran dan bentuk petak, pengaturan jarak antar petak yang saling berdampingan, dan penanaman barisan tanaman pembatas ( guard rows). Untuk mengatasi masalah interferensi dengan menggunakan cara-cara tersebut diperlukan pengetahuan mengenai gradien pencar dan gradien penyakit sebagaimana telah dibahas pada Bab VII. Paysour & Fry (1983) menggunakan gradien pencar model eksponensial untuk menentukan ukuran petak yang diperlukan guna meminimalkan terjadinya interferensi. Sebagai ilustrasi terhadap pendekatan yang digunakan tersebut, pada Gambar 8.2a disajikan hubungan antara proporsi inokulum hilang dan ukuran petak berdasarkan model gradien pencar dengan laju 0,25, 0,4, 1, dan 2 inokulum/m. Bila, misalnya, gradien pencar inokulum suatu patogen adalah 0,25/m maka untuk menurunkan proporsi inokulum yang hilang menjadi 50% maka diperlukan ukuran petak mendekati 2 m x 2 m. Paysour & Fry (1983) juga menggunakan gradien pencar model eksponensial untuk menentukan jarak guna meminimalkan proporsi spora yang terdeposisi ke petak sebelah sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 8.2b. Bila diinginkan untuk mengurangi proporsi inokulum terdeposisi pada petak sebelah menjadi 10-3 (log -3) untuk patogen dengan gradien pencar 2 diperlukan jarak antar petak sekitar 3,5 m.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
97
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
h 0 a l e b -1 e S k a -2 t e P e -3 k h a d -4 n i P -5 m u l u k -6 o n I (
1 g 0.9 n a 0.8 l i H 0.7 m u 0.6 l u k 0.5 o n I i 0.4 s r o 0.3 p o r 0.2 P
0.1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
SQRT(Luas Petak) a=0.25
a=0.4
a=1
G O L
0
1
2
3
4
5
6
7
8
-7 -8
Jarak dengan Petak Berdekatan
a=2
a=0.25
a=0.4
a=1
a=2
(a) (b) Gambar 8.2. Hubungan antara: (a) Luas Petak dengan Proporsi Inokulum Hilang dan (b) Jarak antar Petak Berdekatan dengan Proporsi Inokulum terdeposisi pada Petak Sebelah Faktor lain yang juga mempengaruhi interferensi antar petak adalah bentuk petak. Pada dasarnya, bentuk bujur sangkar merupakan bentuk petak yang ideal dengan proporsi inokulum hilang yang minimal sebagaimana ditunjukkan oleh Paysour & Fry (1983) (T abel 8.3). Tabel 8.3. Pengaruh Ukuran Petak terhadap Proporsi Inokulum Hilang dari Petak Ber-ukuran Luas 25 m2 Bentuk petak (m x Keliling Petak (m) Nisbah Keliling Proporsi Inokulum a) m) terhadap Luas Hilang 0,5 x 50 101,00 4,04 0,847 1,0 x 25 52,00 2,08 0.725 2,0 x 12,5 29,00 1,16 0,560 3,0 x 8,33 22,66 0,91 0.474 4,0 x 6,25 20,50 0,82 0.437 5,0 x 5,0 20,00 0,80 0.427 a) Dihitung dengan gradien pencar model eksponensial e ksponensial yang dimodifikasi dua dimensi Sumber: Paysour & Fry (1983) Penggunaan tanaman pembatas dapat mempengaruhi gradien pencar sehingga dapat digunakan untuk mengurangi interferensi antar petak, tetapi pengaruhnya tergantung pada jenis tanaman, padat populasi tanaman, tinggi tanaman, dan jarak antara petak tanaman pembatas dengan petak yang dibatasi. Agar efektif, tanaman pembatas harus (1) merupakan spesies atau kultivar yang tahan terhadap penyakit yang diteliti dan (2) ditanam dalam j umlah yang memadai untuk dapat mengurangi interferensi antar petak. 3. Perancangan Penelitian Survai a. Perancangan Program Pemercontohan Perancangan program pemercontohan (sampling program) diperlukan terutama dalam penelitian survai. Namun demikian, prinsip-prinsip yang sama juga dapat diterapkan dalam pelaksanaan pemercontohan (sub-sampling) pada penelitian eksperimental. Suatu program pemercontohan menyangkut paling tidak tiga hal, yaitu (1) penentuan populasi, (2) penentuan satuan percontoh (sampling unit ) dan jumlah satuan percontoh ( sample size), dan (3) penentuan rancangan pemercontohan (sampling design).
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
98
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Pada penelitian survai dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan populasi dapat berupa seluruh organ tanaman, seluruh individu tanaman, seluruh petak pertanaman, atau seluruh petani yang terdapat dalam suatu wilayah wil ayah yang ditentukan batas-batasnya secara arbitrer untuk tujuan pelaksanaan penelitian. Organ tanaman, individu tanaman, petak pertanaman, atau petani tersebut merupakan satuan yang akan digunakan sebagai satuan dalam melaksanakan pengamatan atau pengukuran. Satuan yang benar-benar digunakan sebagai dasar pengamatan atau pengukuran tersebut disebut satuan pemercontohan. Dengan demikian, populasi adalah kumpulan dari seluruh satuan percontoh atau sebaliknya satuan percontoh adalah bagian terkecil dari populasi yang benar-benar diamati atau diukur. Pemercontohan yang baik harus mampu menghasilkan data yang dapat mewakili populasi (reliable). Kemampuan suatu percontoh (sample) untuk mewakili populasi tergantung pada: (1) jumlah satuan percontoh dan (2) rancangan pemercontohan yang digunakan. Pada prinsipnya, semakin beragam suatu populasi semakin banyak satuan percontoh yang diperlukan yang diambil dengan menggunakan rancangan pemercontohan yang sesuai dengan pola perpencaran penyakit yang diamati. Menurut Campbel dan Madden (1990), setidak-tidaknya terdapat tiga cara untuk menentukan jumlah satuan percontoh untuk mencapai suatu tingkat reliabilitas tertentu atau dengan menggunakan biaya sebagai faktor pembatas: 1) Penentuan berdasarkan galat baku atau koefisien reliabilitas 2) Penentuan berdasarkan pernyataan peluang tertentu 3) Penentuan berdasarkan ragam dan biaya Penentuan ukuran percontoh yang paling sederhana dapat dilakukan secara visual dengan menggunakan data dari pemercontohan pendahuluan. Dengan menggunakan data yang diperoleh dari setiap penambahan satuan percontoh, dihitung rerata ( mean) dan simpangan baku (standard deviation) yang kemudian diplot terhadap penambahan jumlah satuan percontoh. Dengan cara ini, jumlah satuan percontoh ditentukan pada titik jumlah satuan percontoh ketika rerata atau simpangan baku mulai kurang berfluktuasi. Perluasan dari cara ini adalah penggunaan plot nisbah galat baku ( standard error )/rerata )/rerata terhadap jumlah satuan perontoh. Dalam hal ini, jumlah satuan percontoh ditentukan untuk mencapai nisbah galat baku/rerata dengan nilai tertentu. Bila pola ruang penyakit diketahui, penentuan jumlah satuan percontoh dapat ditentukan untuk mencapai suatu nilai koefisien variansi (CV, koeficient of variation) tertentu. Koefisien variansi suatu populasi dan percontoh diberikan oleh persamaan:
CV(pop)=
[8.1a]
n s
CV(spl) =
[8.1b]
n x
Dari Pers. [8.1a] dapat ditentukan jumlah satuan percontoh untuk mencapai suatu nilai CV tertentu: n=
s
2
2
x (CV )
[8.2]
2
Untuk pola ruang penyakit yang acak (distribusi Poison), teratur (distribusi binomial positif), dan mengelompok (distribusi binomial negatif), Pers. [8.2] berubah menjadi: 1 n= [8.3a] 2 x(CV ) n=
n=
q p(CV )
[8.3b]
2
(1 / x) (1 / k ) 2
k x 2
[8.3c]
(CV ) xk (CV ) Parameter p dan q pada Pers [8.3b] menyatakan berturut-turut proporsi luas permukaan tanaman bergejala dan proporsi luas tanaman sehat, sedangkan k pada Pers. [8.3c] menyatakan parameter
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
99
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan 2
2
distribusi binomial negatif yang dapat diestimasi sebagai k= x /(s - x ). Jumlah satuan percontoh yang diperlukan untuk nilai CV 20% dalam pemercontohan penyakit dengan pola ruang acak dan mengelompok dengan nilai k=1,0 dan k=0,1 disajikan pada Tabel 8.4. Tabel 8.4 menunjukkan bahwa untuk mencapai CV dengan nilai tertentu, jumlah satuan percontoh yang diperlukan lebih banyak untuk penyakit dengan pola ruang mengelompok daripada acak dan masing-masing menurun bila padat populasi meningkat. Untuk penyakit dengan pola ruang mengelompok, jumlah satuan percontoh yang diperlukan meningkat sei ring dengan menurunnya nilai k. Tabel 8.4. Jumlah Satuan Percontoh yang Diperlukan untuk Nilai CV 20% pada Tiga Taraf Padat Populasi Pola Ruang Penyakit Taraf Padat Populasi 1 10 100 Acak (Poison) 25,0 2,5 0,25 Mengelompok (Binomial Negatif k=1,0) 50,0 27,5 25,3 Mengelompok (Binomial Negatif k=0,1) 275,0 252,5 250,3 Penentuan jumlah satuan percontoh juga dapat dilakukan dengan pernyaan peluang. Untuk jumlah satuan percontoh yang besar (n>30), pernyataan peluang dapat dituliskan sebagai: Pr{ x Z P / 2 x
x
Z P / 2 x }=1-P
[8.4]
Dengan keterangan 1-P menyatakan koefisien kepercayaan (untuk selang kepercayaan 96% P=0,05), Pr menyatakan peluang, dan ZP/2 nilai Z satu sisi untuk suatu nilai P tertentu. Pers. [8.4] memungkinkan untuk digunakan menentukan jumlah satuan percontoh dengan selang kepercayaan yang dinyatakan sebagai persentase terhadap parameter μ. Bila satu sisi dari selang kepercayaan sama dengan persentase tertentu (D) dari rerata atau ZP/2 s x =D x maka jumlah satuan percontoh dapat ditentukan sebagai: n=
s 2 Z P / 2 2
D x
2
[8.5]
2
Untuk pola ruang penyakit yang acak (distribusi Poison), teratur (distribusi binomial positif), dan mengelompok (distribusi binomial negatif), Pers. [8.4] berubah menjadi: n=
Z P / 2
2
[8.6a]
2
D x 2
n=
Z P / 2 q
[8.6b]
2
D p
n= 2
Z P / 2 [(1 / x) (1 / k )] D 2
2
Z P / 2 (k x)
[8.6c]
D 2 xk
Penentuan jumlah satuan percontoh dengan D=20% dan P=0,05 untuk pola distribusi acak serta mengelompok dengan nilai k=1,0 dan k=0,1 untuk padat populasi 1, 10, dan 100 disajikan pada Tabel 8.5. Tabel 8.5. Jumlah Satuan Percontoh yang Diperlukan untuk Nilai D 20% pada Tiga Ta-raf Padat Populasi Pola Ruang Penyakit Taraf Padat Populasi 1 10 100 Acak (Poison) 96,0 9,6 0,96 Mengelompok (Binomial Negatif k=1,0) 192,1 105,6 97,20 Mengelompok (Binomial Negatif k=0,1) 1056,4 970,0 961,40
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
100
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan Tabel 8.5 menunjukkan bahwa untuk mencapai D dengan nilai tertentu, jumlah satuan percontoh yang diperlukan lebih banyak untuk penyakit dengan pola ruang mengelompok daripada acak dan masing-masing menurun bila padat populasi meningkat. Untuk penyakit dengan pola ruang mengelompok, jumlah satuan percontoh yang diperlukan meningkat seiring dengan menurunnya nilai k. Dibandingkan dengan penggunaan CV, penentuan jumlah satuan percontoh dengan menggunakan D menghasilkan jumlah satuan percontoh yang jauh lebih besar. Pada banyak kasus penelitian epidemiologi penyakit tumbuhan, pemercontohan dilakukan secara bertingkat (multi-stage sampling). Misalnya, mula-mula dilakukan pemercontohan terhadap tanaman, kemudian terhadap cabang dalam setiap tanaman percontoh, terhadap ranting pada setiap cabang percontoh, dan akhirnya terhadap daun pada setiap ranting percontoh. Pada kasus seperti ini, bila tersedia biaya yang diperlukan untuk melakukan pemercontohan pada setiap tahapan, dapat ditentukan jumlah satuan percontoh optimal dengan biaya tertentu untuk setiap tahap pemercontohan. Dalam hal ini biaya dapat dinyatakan dalam bermacam-macam satuan, misalnya dalam satu atau bahkan dalam bilangan tanpa satuan. Penentuan jumlah satuan percontoh tersebut dilakukan dengan berdasarkan pada analisis ragam. Untuk pemercontohan yang dilakukan dalam dua langkah, pemercontohan mula-mula dilakukan terhadap cabang dan kemudian terhadap daun pada setiap cabang percontoh. Ragam rerata umum ( V x ) dihitung sebagai:
V x
c
2
nc
d
2
[8.7]
nc nd 2
dengan keterangan c menyatakan ragam antar cabang dengan nc jumlah cabang dan d
2
menyatakan ragam antar daun dalam cabang dengan nd daun. Fungsi biaya untuk pemercontohan dua tahap adalah: cT=ccnc + cdncnd [8.8] dengan keterangan cT menyatakan biaya total, cc menyatakan biaya biaya per satuan cabang dan cd biaya per satuan daun. Jumlah daun sebagai jumlah satuan percontoh optimal per cabang dan jumlah cabang sebagai jumlah satuan percontoh optimal dapat dihitung dengan persamaan: [8.9a] d c c 1 / 2 )( ) nd(opt)= (
c d
c
nc(opt)= (
1
V x
)( c
2
d
[8.9b]
2
nd ( op t )
)
Untuk pemercontohan tiga langkah, pemercontohan mula-mula dilakukan terhadap cabang, kemudian terhadap ranting pada setiap cabang, dan akhirnya terhadap daun pada setiap ranting. Ragam rerata umum dihitung sebagai:
V x
c
2
nc
r
2
nc nr
d
2
[8.10]
nc nr nd
Fungsi biaya untuk pemercontohan dua tahap adalah: cT=ccnc + crncnr+cdncnrnd [8.11] Jumlah daun sebagai jumlah satuan percontoh optimal per ranting, jumlah ranting sebagai jumlah satuan percontoh optimal per cabang, dan jumlah cabang sebagai jumlah satuan percontoh optimal dapat dihitung dengan persamaan berturut-turut: [8.12a] KTGnd c r 1 / 2 1 / 2 ) ]( ) nd(opt)= [(
KTR KTG
nr(opt)= (
( KTR KTG )nr
KTC KTR
c d
)
1 / 2
(
cc c r
)
1 / 2
nc(opt)=
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
[8.12b] [8.12c]
101
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan
(
1
V x
)( c
2
r
2
nr ( op t )
d
2
nr ( op t ) nd ( op t )
)
dengan keterangan KTG menyatakan Kuadrat Tengah Galat, KTR menyatakan Kuadrat Tengah Ranting, dan KTC menyatakan Kuadrat Tengan Cabang. Penentuan jumlah satuan percontoh akan mampu menghasilkan percontoh yang mewakili populasi bila percontoh diambil dengan menggunakan rancangan pemercontohan (sampling design) yang tepat. Rancangan pemercontohan pada dasarnya menyangkut cara pengambilan satuan percontoh dari populasi. Berkaitan dengan hal ini terlebih dahulu perlu dipahami mengenai apa yang disebut kerangka percontoh (sample frame). Kerangka percontoh pada dasarnya adalah daftar seluruh anggota suatu populasi. Suatu populasi dapat dibuat daftar anggota-anggotanya, tetapi sering pula terjadi suatu populasi tidak dapat dibuat daftar anggotaanggotanya. Dengan demikian, rancangan pemercontohan dibedakan menjadi: 1) Rancangan pemercontohan berdasarkan kerangka percontoh 2) Rancangan pemercontohan tanpa berdasarkan kerangka percontoh. Sebagaimana dengan penentuan jumlah satuan percontoh, penentuan rancangan pemercontohan berdasarkan kerangka percontoh harus didasarkan pada informasi dengan pola ruang penyakit yang akan diamati. Sehubungan dengan pola ruang penyakit tersebut, rancangan pemercontohan dasar yang dianjurkan adalah sebagai berikut: 1) Pemercontohan acak sederhana (simple random sampling) bila pola ruang penyakit adalah acak 2) Pemercontohan sistematik (systematic sampling) bila pola ruang penyakit adalah mengelompok Pemercontohan acak sederhana dilakukan dengan mengambil tanpa pengembalian n satuan percontoh dari populasi beranggotakan N sedemikian rupa sehingga setiap anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk diambil. Dengan demikian, untuk melakukan pemercontohan acak sederhana harus tersedia terlebih dahulu daftar anggota populasi yang menjadi calon satuan percontoh. Berdasarkan daftar tersebut pengacakan, pengacakan dapat dilakukan secara manual dengan berbagai cara (antara lain penarikan lotere atau menggunakan tabel bilangan acak) atau dengan menggunakan kompoter untuk melakukan pengacakan secara automatik. Dalam hal ini perlu dibedakan antara pemercontohan secara acak dengan pemercontohan secara kebetulan (sampling arbitrarily). Bila pemercontohan dilakukan dengan mengamati satu rumpun tanaman setiap jarak tertentu perjalanan maka pemercontohan tersebut adalah pemercontohan secara kebetulan. Pemercontohan sistematik dilakukan dengan mengambil satuan percontoh pertama dari jumlah satuan percontoh n secara acak dari populasi beranggota N dan kemudian mengambil satuan percontoh lainnya dengan mengikuti suatu pola tertentu. Pola-pola sistematik yang umum digunakan adalah pola intan, pola diagonal silang, pola diagonal sejajar, pola huruf W, dan sebagainya. Rancangan pemercontohan dasar tersebut (acak sederhana dan sistematik) dapat dikembangkan untuk tujuan tertentu menjadi: 1) Pemercontohan berstrata (stratified sampling): acak berstrata atau sistematik berstrata 2) Pemercontohan bertahap (multi-stage sampling): acak bertahap atau sistematik bertahap) Pada pemercontohan berstrata, populasi berukuran N mula-mula dibagi menjadi sub-populasi berukuran N1, N2, … Np bagian terpisah (non-overlaping) yang masing-masing disebut strata. Strata dalam pemercontohan berstrata tidak diambil melalui proses pemercontohan. Dari setiap strata kemudian masing-masing diambil n satuan percontoh yang biasanya sama untuk setiap strata. Pada pihak lain, pada pemercontohan bertahap, dari populasi berukuran N mula-mula diambil n satuan percontoh. Dari setiap satuan percontoh kemudian diambil p sub-satuan percontoh, dari setiap sub-satuan percontoh kemudian diambil q sub-subsatuan percontoh, dan seterusnya. Sub-satuan percontoh, sub-subsatuan percontoh, dan seterusnya dalam pemercontohan bertahap diambil melalui proses pemercontohan. Pengambilan satuan percontoh dalam pemercontohan berstrata dan pemercontohan bertahap maupun pengembilan sub-satuan
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
102
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan percontoh, sub-subsatuan percontoh dan seterusnya dalam pemercontohan bertahap dapat dilakukan secara acak maupun secara sistematik. Pada berbagai kasus, kerangka percontoh tidak selamanya tersedia sehingga pemercontohan acak sederhana atau pemercontohan sistematik tidak dapat dilakukan. Misalnya, di suatu desa tidak diketahui nama petani yang menanam suatu tanaman tertentu yang penyakitnya akan diteliti. Dalam keadaan demikian maka pemercontohan dilakukan dengan rancangan: 1) Pemercontohan gugus ( cluster sampling) 2) Pemercontohan wilayah (area sampling) Pada pemercontohan gugus untuk suatu populasi beranggotakan N yang tidak tersedia daftar anggotanya, populasi dibagi menjadi sejumlah gugus N 1, N2, … Np berdasarkan kriteria tertentu. Selanjutnya pemercontohan secara acak atau sistematik dilakukan terhadap gugus yang kemudian masing-masing dilibatkan seluruh anggota gugusnya. Gugus dapat dibuat satu tahap (simple cluster sampling) atau secara bertahap ( multi-stage cluster sampling). Misalnya, dalam survai penyakit busuk akar jeruk keprok di suatu kecamatan, daftar petani yang menanam jeruk keprok tidak tersedia sehingga pemercontohan dilakukan dengan menggunakan rancangan pemercontohan gugus bertahap dengan mengambil mula mengambil seluruh petani di desa-desa tertentu sebagai gugus pertama dan dari gugus pertama ditetapkan seluruh petani yang tinggal di dusun sebagai gugus kedua. Penelitian dilakukan dengan melibatkan seluruh petani di dusun yang terpilih sebagai gugus kedua. Pemercontohan wilayah mempunyai kemiripan dengan pemercontohan gugus, tetapi pemilahan dilakukan dengan menggunakan peta wilayah dengan satuan percontoh berupa unsurunsur wilayah, misalnya petak pertanaman, hamparan pertanaman, dan sebagainya. Peta wilayah penelitian mula-mula dibagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing tidak tumpang tindih dan mempunyai batas-batas yang jelas. Pemercontohan kemudian dilakukan terhadap bagian-bagian wilayah dan selanjutnya seluruh unsur-unsur yang terdapat pada setiap satuan wilayah yang terambil kemudian dilibatkan dalam penelitian. Misalnya pada survai penyakit pada tanaman bawang merah di suatu kecamatan yang belum diketahui wilayah lokasi penanaman bawangnya, wilayah kecamatan dibagi menjadi wilayah desa. Pemercontohan dilakukan terhadap wilayah desa dan selanjutnya penelitian dilakukan pada seluruh hamparan atau petak pertanaman bawang merah yang terdapat di wilayah desa yang terambil sebagai percontoh wilayah. Selain rancangan pemercontohan yang telah diuraikan, masih terdapat rancangan pemercontohan lain seperti rancangan pemercontohan beruntun (sequential sampling) sebagaimana telah diuraikan pada Bab VII dan rancangan pemercontohan terarah ( purposive sampling). Rancangan pemercontohan terarah digunakan, sebagaimana namanya, dengan arahan tertentu sesuai dengan tujuan untuk menemukan sesuatu. Misalnya, dalam survai mengenai penyakit kacang tanah, pemercontohan lokasi penelitian diarahkan hanya pada daerah-daerah pusat produksi kacang tanah. Dengan demikian, hasil pemercontohan terarah tidak dapat digunakan untuk mewakili populasi. Frekuensi Pemercontohan Pada penelitian epidemiologi penyakit tumbuhan, pengamatan seringkali harus dilakukan beberapa kali. Bila pengamatan dilakukan dengan melibatkan pemercontohan maka perlu diperhatikan dua hal: 1) Berapa kali pengamatan harus dilakukan 2) Pemercontohan dilakukan setiap kali atau hanya sekali pada pengamatan pertama. Jumlah pengamatan yang harus dilakukan dalam satu penelitian disebut frekuensi pengamatan. Frekuensi pengamatan perlu ditentukan dengan mengacu kepada daur/rantai infeksi, umur tanaman sejak tanam atau sejak inokulasi, dan teknik analisis data yang akan digunakan. Bila daur/rantai penyakit berlangsung dalam satu hari misalnya maka pengamatan sebaiknya dilakukan dengan selang waktu yang mendekati satu hari, terutama bila umur tanaman yang tersisa terbatas, dan data akan digunakan untuk pemodelan. Pengamatan dengan
b.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
103
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan selang waktu yang lebih panjang dapat dilakukan bila daur/rantai infeksi berlangsung lama, umur tanaman panjang, dan data hasil pengamatan tidak digunakan untuk pemodelan. Pada pengamatan berulang, pemercontohan dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1) Pemercontohan dilakukan hanya satu kali pada pengamatan pertama disertai dengan penandaan (tagging) satuan percontoh. 2) Pemercontohan dilakukan setiap kali pengamatan sehingga tidak perlu dilakukan penandaan satuan percontoh. Bila pemercontohan dilakukan hanya pada pengamatan pertama maka frekuensi pemercontohan hanya satu kali. Namun bila pemercontohan dilakukan pada setiap kali pengamatan maka frekuensi pemercontohan sama dengan frekuensi pengamatan. Pemelihan apakah pemercontohan dilakukan dilakukan hanya satu kali atau berulang pada setiap kali pengamatan tergantung pada populasi yang diamati, karakter penyakit yang diamati, dan pertimbangan kepraktisan pengamatan. Teknik Pengumpulan Data Survai Pengumpulan data dalam penelitian survai epidemiologi penyakit tumbuhan dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut: 3) Pengamatan, baik langsung di lapangan (non-destructive sampling) maupun di laboratorium (destructive sampling). 4) Wawancara, baik dengan atau tanpa t anpa panduan daftar pertanyaan (questionnaire). Pengamatan langsung di lapangan dilakukan dengan pengambilan percontoh tanpa mengambil tanaman atau organ tanaman sehingga pemercontohannya disebut tidak merusak (non-destructive). Sebaliknya, untuk pengamatan di laboratorium harus diambil tanaman atau organ tanaman untuk dibawa dan kemudian diamati di laboratorium sehingga pemercontohannya disebut merusak (destructive). Pemilihan teknik pengamatan merusak atau tidak merusak tergantung pada peubah yang diamati dan pertimbangan kepraktisan pelaksanaan pengamatan. Pengamatan, baik langsung maupun tidak langsung, perlu disertai dengan penyiapan lembar pencatatan data yang biasanya dibuat dal am bentuk tabel pengamatan. Daftar pertanyaan yang digunakan dalam wawancara dapat berupa daftar pertanyaan rinci atau daftar pertanyaan pokok. Daftar pertanyaan rinci memuat semua pertanyaan yang relevan dengan seluruh peubah penelitian. Daftar pertanyaan pokok biasanya hanya memuat beberapa pertanyaan pokok sebagai arahan untuk mengembangkan pertanyaan lain sesuai dengan perkembangan yang terjadi ketika melakukan wawancara. Untuk peneliti pemula, daftar pertanyaan yang digunakan sebaiknya adalah daftar pertanyaan rinci. Namun dalam membuat daftar pertanyaan rinci, perlu dipertimbangkan apakah pertanyaan akan dapat dijawab oleh petani dan berapa waktu yang diperlukan untuk menjawab seluruh pertanyaan.
c.
D. Evaluasi Untuk mengukur kemampuan memahami uraian yang diberikan pada bab ini, berikan penjelasan secara singkat tetapi tepat terhadap t erhadap pertanyaan-pertanyaan berikut: 1) Jelaskan mengapa penelitian eksperimental dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan memerlukan perancangan yang harus dilakukan secara lebih hati-hati dibandingkan dengan peneliian eksperimental dalam bidang agronomi. 2) Berikan beberapa alasan dan jelaskan mengapa penggunaan metode survai dalam penelitian epidemiologi penyakit tumbuhan perlu disertai dengan kerangka teorit is yang jelas? 3) Sebutkan dan jelaskan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan secara khusus dalam penelitian lapangan epidemiologi penyakit tumbuhan. 4) Mengapa dalam penelitian lapangan bidang epidemiologi penyakit tumbuhan pemercontohan dengan rancangan acak sederhana amat jarang dapat digunakan? 5) Jelaskan apa perbedaan antara pemercontohan berstrata dan pemercontohan bertahap? Mana di antara kedua rancangan pemercontohan ini yang sering digunakan dalam penelitian epidemiologi penyakit tumbuhan dan jelaskan mengapa demikian.
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
104
© I W. Mudita & M.V. Hahuly (2004) Epidemiologi Penyakit Tumbuhan E. Tugas Berstruktur Kerjakanlah tugas berikut secara berkelompok (maksimal 5 orang dalam satu kelompok): 1) Rancanglah satu penelitian eksperimental dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan. Rancangan harus mencakup: rancangan perlakuan, rancangan lingkungan, dan rancangan peubah. 2) Rancanglah satu penelitian survai dalam bidang epidemiologi penyakit tumbuhan. Rancangan harus mencakup: kerangka teoritis, rancangan pemercontohan, dan rancangan peubah. Daftar Pustaka Aust, H.J., & J. Kranz 1988. Experiments and procedures in epidemiological field studies. In: Experimental Techniques in Plant Disease Epidemiology. Pp. 7-17. J. Kranz & J. Rotem (eds.). Springer-Verlag, Berlin. Cochran, W. G. 1963. Sampling Techniques, 2nd Ed. John Wiley & Sons, New York. Green, R. H. 1979. Sampling Design Design and Statistical Methods For Environmental Environmental Biologists. Biologists. John Wiley & Sons, New York. (8) Jessen, R. L. 1978. Statistical Survey Survey Techniques. John Wiley & Sons, New York. York. Mantra, I.B., & Kasto 1995. Penentuan Sampel. Dalam: Metode Penelitian Survai. M. Singarimbun & S. Effendi (eds.). pp. 149-174. LP3ES, Jakarta. Morris, R. F. F. 1960. Sampling insect populations. populations. Ann. Rev. Ent. 5: 5: 243-64. (8) Paysour, R.E., & W.E. Fry 1983. Interplot interference: A model for planning field experiments with aerially disseminated di sseminated pathogens. Phytopathology 73:1014-1020. Yates, F. 1960. Sampling Methods for Censuses and Surveys. Hafner, New York. (8)
Bahan Ajar Program Semi-QUE V PS IHPT
105