KEPERAWATAN KRITIS ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA GANGGUAN GASTROINTESTINAL TRAUMA ABDOMEN, PERITONITIS, POST LAPAROTOMI
Dosen pengampu : Ns. Priyanto, S.Kep., M.Kep., Sp. KMB
1. 2. 3. 4.
Disusun oleh : Ana Fitriyati Eka Sakti Y Estri Linda W Laily Safitri
(010114a009) (010114a027) (010114a030) (010114a054)
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN 2016
TRAUMA ABDOMEN
A. Definisi Trauma adalah cedera atau rudapaksa atau kerugian psikologis atau emosional. (Dorland, 2002 : 2111)
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja. dis engaja. (Smeltzer, 2001 : 2476 ) Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih bersifat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. (FKUI, 1995)
B. Etiologi Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Trauma tumpul Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma kompresi ataupun crush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritornitis. Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%). Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal. 2. Trauma tajam Luka
tusuk
ataupun
luka
tembak
(kecepatan
rendah)
akan
mengakibatkan kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary
cavitation, dan
bisa
pecah
menjadi
fragmen
yang
mengakibatkan kerusakan lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma (20%), dan colon (15%).Luka tembak paling sering mengenai usus
halus (50%), colon (40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%). (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 145)
C. Manifestasi Klinis 1. Laserasi, memar,ekimosis. 2. Hipotensi. 3. Tidak adanya bising usus. 4. Hemoperitoneum. 5. Mual dan muntah. 6. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pada p ada auskultasi pembuluh darah, biasanya pada arteri karotis). 7. Nyeri. 8. Pendarahan. 9. Penurunan kesadaran. 10. Sesak. 11. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan limfa. Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent. 12. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal. 13. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh ( pinggang ) pada perdarahan retroperitoneal. 14. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum, skrotum atau labia pada fraktur pelvis. 15. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe. (Scheets, 2002 : 277-278)
D. Klasifikasi Berdasarkan mekanismenya, yaitu : 1. Trauma tumpul
Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor.
Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak.
Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat (karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis).
Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan.
2. Trauma tajam
Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan.
Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada system retroperitoneal.
Hati dan usus kecil adalah organ yang paling tersering mengalami kerusakan.
Luka tusukan mungkin akan menenbus dinding peritoneum dan seringkali merusak secara konservatif, bagaimanapun luka akibat tembakan senapan selalu membutuhkan pembedahan dan penyelidikan lebih awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal. (Catherino, 2003 : 251)
E. Pemeriksaan Diagnostik 1. Trauma Tumpul
Diagnostik Peritoneal Lavage
DPL
adalah
prosedur
invasive
yang
bisa
cepat
dikerjakan yang bermakna merubah rencana untuk pasien berikutnya ,dan dianggap 98 % sensitive untuk perdarahan intraretroperitoneal. Harus dilaksanakan oleh untuk
pasien
dengan
trauma
tumpul
team bedah
multiple
dengan
hemodinamik yang abnormal, terutama bila dijumpai : 1) Perubahan
sensorium-trauma
capitis,
intoksikasi
alcohol, kecanduan obat-obatan. 2) Perubahan sensasi trauma spinal. 3) Cedera organ berdekatan-iga bawah, pelvis, vertebra lumbalis. 4) Pemeriksaan diagnostik tidak jelas. 5) Diperkirakan aka nada kehilangan kontak dengan pasien dalam waktu yang agak lama, pembiusan untuk cedera
extraabdominal,
pemeriksaan
X-Ray
yang
lama
misalnya Angiografi. 6) Adanya lap-belt sign (kontusio dinding perut) dengan kecurigaan trauma usus. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 : 149-150)
FAST (Focused Assesment Sonography in Trauma)
Individu yang terlatih dengan baik dapat menggunakan USG untuk mendeteksi adanya hemoperitoneum. Dengan adanya
peralatan
khusus
di
tangan
mereka
yang
berpengalaman, ultrasound memliki sensifitas, specifitas dan ketajaman untuk meneteksi adanya cairan intraabdominal yang sebanding
dengan
DPL
dan
CT
abdomen
Ultrasound
memberikan cara yang tepat, noninvansive, akurat dan murah untuk
mendeteksi
hemoperitorium,
dan
dapat
diulang
kapanpun. Ultrasound dapat digunakan sebagai alat diagnostik bedside dikamar resusitasi, yang secara bersamaan dengan pelaksanaan beberapa prosedur diagnostik maupun terapeutik lainnya. Indikasi pemakaiannya sama dengan indikasi DPL. (American
College
of
Surgeon
Committee
of
Trauma, 2004 : 150)
Computed Tomography (CT)
Digunakan untuk memperoleh keterangan mengenai organ yang mengalami kerusakan dan tingkat kerusakannya, dan juga bisa untuk mendiagnosa trauma retroperineal maupun pelvis yang sulit di diagnosa dengan pemeriksaan fisik, FAST, maupun DPL. (American
College
Trauma, 2004 : 151)
of
Surgeon
Committee
of
2. Trauma Tajam
Cedera thorax bagian bawah Untuk pasien yang asimptomatik dengan kecurigaan pada diafragma dan struktur abdomen bagian atas diperlukan pemeriksaan fisik maupun thorax foto berulang, thoracoskopi, laparoskopi maupun pemeriksaan CT scan. Eksplorasi
local
luka
dan
pemeriksaan
serial
dibandingkan dengan DPL pada luka tusuk abdomen depan. Untuk pasien yang relatif asimtomatik (kecuali rasa nyeri akibat tusukan), opsi pemeriksaan diagnostik yang tidak invasive adalah pemeriksaan diagnostik serial dalam 24 jam, DPL maupun laroskopi diagnostik. Pemeriksaan
fisik
diagnostik
serial
dibandingkan
dengan double atau triple contrast pada cedera flank maupun punggung.Untuk pasien yang asimptomatik ada opsi diagnostik antara lain pemeriksaan fisik serial, CT dengan double atau triple contrast, maupun DPL. Dengan pemeriksaan diagnostic serial untuk pasien yang mula-mula asimptomatik kemudian menjadi simtomatik, kita peroleh ketajaman terutama dalam mendeteksi cedera retroperinel maupun intraperineal untuk luka dibelakang linea axillaries anterior. (American
College
of
Surgeon
Committee
of
Trauma, 2004 : 151)
Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan multitrauma.Rontgen foto abdomen tiga posisi (telentang, setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen diretroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk
untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan kemungkinan cedera retroperitoneal.
Pemerikasaan X-Ray untuk screening trauma tajam Pasien luka tusuk dengan hemodinamik yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoracoabdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal pada rontgen foto abdomen tidur.
Pemeriksaan dengan kontras yang khusus
a) Urethrografi Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra. Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.8 dengan balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit tarikan pada pelvis. b) Sistografi. Rupture buli-buli intra- ataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi 40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. (American Trauma, 2004 :148)
College
of
Surgeon
Committee
of
c) CT Scan/IVP Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya. Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan Ivp. Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus 100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg) dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. d) Gastrointestinal Cedera pada struktur gastrointestinal yang letaknya retroperitoneal (duodenum, colon ascendens, colon descendens) tidak akan menyebabkan peritonitis dan bisa tidak terdeteksi dengan DPL. Bilamana ada kecurigaan, pemeriksaan dengan CT Scan dengan kontras ataupun pemeriksaan RO-foto untuk upper GI Track ataupun GI tract bagian bawah dengan kontras harus dilakukan. (American
College
of
Surgeon
Committee
of
Trauma,2004 :149)
Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri. 2. Penurunan hematocrit / hemoglobin. 3. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat, SGPT, SGOT. 4. Koagulasi : PT, PTT. 5. MRI Alat pemindai yang memanfaatkan medan magnet dan energi gelombang radio untuk menampilkan gambar struktur dan organ dalam tubuh. MRI dapat memberikan informasi
struktur tubuh yang tidak dapat ditemukan pada tes lain, seperti X-ray, ultrasound , atau CT scan. 6. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic. 7. CT Scan. Pencitraan rongga perut dan organ-organ didalamnya dengan menyuntikan / memasukan bahan kontras melalui intravena dengan menggunakan alat MSCT Scan, yang berfungsi untuk mengetahui anatomi dan kelainan pada rongga perut dan organorgan yang terdapat didalamnya. 8. Radiograf dada
mengindikasikan peningkatan diafragma,
kemungkinan pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X. 9. Ultrasonografi. Sebuah teknik diagnostik pencitraan menggunakan suara ultra yang digunakan untuk mencitrakan organ internal dan otot, ukuran mereka, struktur, dan luka patologi, membuat teknik ini berguna untuk memeriksa organ. 10. Peningkatan serum atau amylase urine. 11. Peningkatan glucose serum. 12. Peningkatan lipase serum. 13. DPL (+) untuk amylase. Diagnostic peritoneal lavage (DPL) digunakan sebagai metode cepat untuk menentukan adanya perdarahan intraabdomen. DPL terutama berguna jika riwayat dan pemeriksaan abdomen menunjukkan ketidakstabilan dan cidera multisistem atau tidak jelas. DPL juga berguna untuk pasien dimana pemeriksaan abdomen lebih lanjut tidak dapat dilakukan. 14. Peningkatan WBC. WBC
: Nilai Normal [3,5-10,0 ] L 103/mm3 ==> Hitung
Lekosit. Hitungan Lekosit/ White Blood Cell adalah komponen dalam darah yang berfungsi untuk memerangi infeksi akibat virus, bakteri atau proses metabolik tosik. 15. Peningkatan amylase serum. 16. Elektrolit serum.
17. AGD Analisa Gas Darah (AGD) atau sering disebut Blood Gas Analisa
(BGA) merupakan
pemeriksaan
penting
untuk
penderita sakit kritis yang bertujuan untuk mengetahui atau mengevaluasi pertukaran Oksigen (O2), Karbondiosida (CO2) dan status asam-basa dalam darah arteri. Analisa gas darah (AGD) atau BGA (Blood Gas Analysis) biasanya dilakukan untuk mengkaji gangguan keseimbangan asam-basa yang disebabkan oleh gangguan pernafasan dan/atau gangguan metabolik. Komponen dasar AGD mencakup pH, PaCO2, PaO2, SO2, HCO3 dan BE (base excesses / kelebihan basa). (ENA,2000:49-55)
F. Komplikasi 1. Trombosis Vena. 2. Emboli Pulmonar. 3. Stress Ulserasi dan perdarahan. 4. Pneumonia. 5. Tekanan ulserasi. 6. Atelektasis. 7. Sepsis (Paul, direvisi tanggal 28 Juli 2008)
1. Pankreas: Pankreatitis, Pseudocyta formasi, fistula pancreas-duodenal, dan perdarahan. 2. Limfa:
perubahan
status
mental,
takikardia,
hipotensi,
akral
diaphoresis, dan syok. 3. Usus: obstruksi usus, peritonitis, sepsis, nekrotik usus, dan syok. 4. Ginjal: Gagal ginjal akut (GGA) (Catherino, 2003 : 251-253)
dingin,
G. Penatalaksanaan dan Terapi Pengobatan 1. Pasien yang tidak stabil atau pasien dengan tanda-tanda jelas yang menunjukkan
trauma
diafragma, abdominal
intra-abdominal free
(pemeriksaan
air, evisceration)
harus
peritoneal, segera
injuri
dilakukan
pembedahan. 2. Trauma tumpul harus diobservasi dan dimanajemen secara non-operative berdasarkan status klinik dan derajat luka yang terlihat di CT. 3. Pemberian obat analgetik sesuai indikasi. 4. Pemberian O2 sesuai indikasi. 5. Lakukan intubasi untuk pemasangan ETT jika diperlukan. 6. Trauma penetrasi :
Dilakukan tindakan pembedahan di bawah indikasi tersebut di atas.
Kebanyakan GSW membutuhkan pembedahan tergantung kedalaman penetrasi dan keterlibatan intraperitoneal.
Luka tikaman dapat dieksplorasi secara lokal di ED (di bawah kondisi steril) untuk menunjukkan gangguan peritoneal ; jika peritoneum utuh, pasien dapat dijahit dan dikeluarkan.
Luka tikaman dengan injuri intraperitoneal membutuhkan pembedahan.
Bagian luar tubuh penopang harus dibersihkan ata u dihilangkan dengan pembedahan. (Catherino, 2003 : 251)
Peritonitis
A. Definisi Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum suatu membrane yang melapisi rongga abdomen.Peritonitis biasanya terjadi akibat masuknya bakteri dari saluran cerna atau organ-organ abdomen ke dalam ruang perotonium melalui perforasi usus atau rupturnya suatu organ. (Corwin, 2000). Peritonitis adalah inflamasi dari peritoneum yang biasanya di akibatkan oleh infeksi bakteri, organisme yang berasal dari penyakit saluran pencernaan atau pada organ-organ reproduktif internal wanita (Baugman dan Hackle y, 2000). Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peritonitis adalah radang selaput perut atau inflamasi peritoneum baik bersifat primer atau sekunder, akut atau kronis yang disebabkan oleh kontaminasi isi usus, bakteri atau kimia.
B. Etiologi 1. Infeksi bakteri a) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal b) Appendisitis yang meradang dan perforasi c) Tukak peptik (lambung/dudenum) d) Tukak thypoid e) Tukak disentri amuba/colitis f) Tukak pada tumor g) Salpingitis h) Diverticulitis Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, strepkokokus dan hemolitik,
stapilokokus
aurens,
enterokokus
dan
yang
paling
berbahaya adalah clostridium wechii. 2. Secara langsung dari luar a) Operasi yang tidak steril b) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamide, terjadi peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis local c) Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, rupture hati
d) Melalui
tuba
fallopius
seperti
cacing
enterobius
vermikularis.
Terbentuk pula peritonitis granulomatosa 3. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus
C. Tanda dan Gejala 1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik ) terjadi pada beberapa penderita peritonitis umum 2. Demam 3. Distensi abdomen 4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis 5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya 6. Nausea 7. Vomiting (Muntah) 8. Penurunan peristaltik
D. Klasifikasi Berdasarkan pathogenesis peritonitis dapat di klasifikasikan sebagai berikut: 1. Peritonitis bacterial primer Akibat kontaminasi bacterial secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak
ditemukan
focus
infeksi
dalam
abdomen.
Penyebabnya
bersifat
monomikrobial, biasanya E.coli, Streotokokus atau Pneumococus, peritonitis ini dibagi menjadi dua yaitu:
Spesifik : Seperti Tuberculosa. Non-spesifik : Pneumonia non tuberculosis dan tonsillitis.
Factor yang beresiko pada peritonitis ini adalah malnutrisi, keganasan intra abdomen, imunosupresi dan splenektomi.Kelompok resiko tinggi adalah dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
2. Peritonitis bacterial akut sekunder (supurative) Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi traktus gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umunya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multiple organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.Bakteri anaerob, khususnya spesies bacteroides dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob dalam menimbulkan infeksi.Luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat peritonitis. Kuman dapat berasal:
Luka trauma atau penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam cavum peritoneal.
Perforasi organ-organ dalam perut. Seperti di akibatkan oleh bahan kimia. Perforasi usus sehingga feces keluar dari usus. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya appendicitis.
3. Peritonitis Tersier Peritonitis ini terjadi akibat timbulnya abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula.Yang disebabkan oleh jamur, peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.Seperti disebabkan oleh iritan langsung, seperti misalnya empedu, getah lambung, getah pancreas, dan urine. 4. Peritonitis bentuk lain
E. Manifestasi Klinis Menurut Corwin (2000), gambaran klinis pada penderita peritonitis adalah sebagai berikut : 1. Nyeri terutama diatas daerah yang meradang. 2. Peningkatan kecepatan denyut jantung akibat hipovolemia karena perpindahan cairan kedalam peritoneum. 3. Mual dan muntah. 4. Abdomen yang kaku. 5. Ileus paralitik (paralisis saluran cerna akibat respon neurogenik atau otot terhadap trauma atau peradangan) muncul pada awal peritonitis. 6. Tanda-tanda umum peradangan misalnya demam, peningkatan sel darah putih dan takikardia. 7. Rasa sakit pada daerah abdomen
8. Dehidrasi 9. Lemas 10. Nyeri tekan pada daerah abdomen 11. Bising usus berkurang atau menghilang 12. Nafas dangkal 13. Tekanan darah menurun 14. Nadi kecil dan cepat 15. Berkeringat dingin 16. Pekak hati menghilang
F. Pemeriksaan Diagnostik Menurut Doengoes, Moorhouse, dan Geissler (1999), pemeriksaan diagnostic pada peritonitis adalah sebagai berikut : 1. Pemeriksaan darah lengkap : sel darah putih meningkat kadang-kadang lebih dari 20.000 /mm3. Sel darah merah mungkin meningkat menunjukan hemokonsentrasi. 2. Albumin serum, mungkin menurun karena perpindaahan cairan. 3. Amylase serum biasanya meningkat. 4. Elektrolit serum, hipokalemia mungkin ada. 5. Kultur,
organisme
penyebab
mungkin
teridentifikasi
dari
darah,
eksudat/sekret atau cairan asites. 6. Pemeriksaan foto abdominal, dapat menyatakan distensi usus ileum. Bila perforasi visera sebagai etiologi, udara bebas akan ditemukan pada abdomen. 7. Foto dada, dapat menyatakan peninggian diafragma. 8. Parasentesis, contoh cairan peritoneal dapat mengandung darah, pus/eksudat, amilase, empedu, dan kreatinin.
G. Komplikasi 1. Septikemia dan syok septic. 2. Syok hipovelmia. 3. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multi system. 4. Abses residual intraperitoneal
5. Eviserasi luka. 6. Obstruksi usus 7. Oliguri
H. Penatalaksanaan Menurut Netina (2001), penatalaksanaan pada peritonitis adalah sebagai berikut : 1.
Penggantian cairan, koloid dan elektrolit merupakan focus utama dari penatalaksanaan medik.
2.
Analgesik untuk nyeri, antiemetik untuk mual dan muntah.
3.
Intubasi dan penghisap usus untuk menghilangkan distensi abdomen.
4.
Terapi oksigen dengan nasal kanul atau masker untuk memperbaiki fungsi ventilasi.
5.
Kadang dilakukan intubasi jalan napas dan bantuan ventilator juga diperlukan.
6.
Therapi antibiotik masif (sepsis merupakan penyebab kematian utama).
7.
Tindakan
pembedahan
diarahkan
pada
eksisi
memperbaiki (perforasi ), dan drainase ( abses ). 8.
Pada sepsis yang luas perlu dibuat diversi fekal.
(appendks),
reseksi
,
Post Laparotomi
A. Definisi Laporatomi Laparotomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus. (Arif Mansjoer, 2000). Laparatomi adalah prosedur tindakan pembedahan dengan membuka cavum abdomen dengan tujuan eksplorasi. Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi pembedahan abdomen.
B. Macam Laparotomi 1. Paramedian, yaitu ; sedikit ke tepi dari garis tengah ( 2,5 cm), panjang (12,5 cm). 2. Transverse upper abdomen incision, yaitu ; insisi di bagian atas, misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy. 3. Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi melintang di bagian bawah 4 cm di atas anterior spinal iliaka, misalnya; pada operasi appendictomy.
C. Etiologi 1. Trauma abdomen (tumpul atau tajam). 2. Peritonitis 3. Perdarahan pada saluran pencernaan 4. Sumbatan pada usus halus dan usus besar 5. Massa pada abdomen ( Tumor, cyste dll)
D. Penatalaksanaan Keperawatan 1. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan 2. Mempercepat penyembuhan 3. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi. 4. Mempertahankan konsep diri pasien 5. Mempersiapkan pasien pulang
E. Perawatan pasca pembedahan : 1. Tindakan keperawatan post operasi a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai drain tercabut d. Perawatan luka operasi secara steril 2. Pemenuhan Kebutuhan Nutrisi. Makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral) Biasanya makanan baru diberikan jika:
Perut tidak kembung
Peristaltik usus normal
Flatus positif
Bowel movement positif
3. Mobilisasi. Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini 4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi. Sistem Perkemihan-Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal. Anesthesia, infus IV, manipulasi operasi retensio urine. Pencegahan : Inspeksi, Palpasi, Perkusi abdomen bawah (distensi buli buli). Dower catheter kaji warna, jumlah urine, out put urine < 30 ml / jam komplikasi ginjal. Sistem Gastrointestinal. Mual muntah 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapat menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat. Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus. Kaji paralitic ileus suara usus (-), distensi abdomen, tidak flatus. Jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
Meningkatkan istirahat
Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
Memonitor perdarahan.
Mencegah obstruksi usus
Irigasi atau pemberian obat.
F. Komplikasi 1. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis. Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini. 2. Infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik. 3. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi. Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat pada dinding abdomen sebagai akibat dari batuk dan muntah.
G. Proses penyembuhan luka :
Fase pertama Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
Fase kedua Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
Fase ketiga Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
Fase keempat Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.
H. Upaya untuk mempercepat penyembuhan luka 1. Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C 2. Menghindari obat-obat anti radang seperti steroid 3. Pencegahan infeksi. Pengembalian Fungsi fisik.Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan latihan napas dan batuk efektif, latihan mobilisasi dini.
ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS GASTROINTESTINAL
A. Pengkajian 1) Keluhan Utama Keluhan utama pada pasien gangguan sistem gastrointestinal secara umum antara lain: a. Nyeri Dalam mengkaji nyeri, perawat dapat melakukan pendekatan PQRST, sehingga pengkajian dapat lebih komprehensif. Kondisi nyeri biasanya bergantung pada penyebab dasar yang juga mempengaruhi lokasi dan distribusi penyebaran nyeri. b. Mual muntah Keluhan mual muntah merupakan kondisi yang sering dikeluhkan dan biasanya selalu berhubungan dengan kerja involunter dari gastrointestinal. Mual disebabkan oleh distensi atau iritasi dari bagian manasaja dari saluran GI, tetapi juga dapat dirangsang oleh pusat-pusat otak yang lebih tinggi. Interpretasi mual terjadi di medulla, bagian samping, atau bagian dari pusat muntah.
Muntah
merupakan
salah
satu
cara
traktus
gastrointestinal
membersihkan dirinya sendiri dari isinya ketika hampir semua bagian atau traktus gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat mengembang, atau sangat terangsang. c. Kembung dan Sendawa (Flatulens). Akumulasi gas di dalam saluran gastrointestinal dapat mengakibatkan sendawa yaitu pengeluaran gas dari lambung melalui mulut (flatulens) yaitu pengeluaran gas dari rektum. Sendawa terjadi jika menelan udara dimana cepat dikeluarkan bila mencapai lambung. d. Ketidaknyamanan Abdomen Ketidaknyamanan pada abdomen secara lazim berhubungan dengan gangguan saraf lambung dan gangguan saluran gastrointestinal atau bagian lain tubuh. Ketidaknyamanan atau distress abdomen bagian atas yang berhubungan dengan makanan yang merupakan keluhan utama dari pasien dengan disfungsi gastrointestinal. e. Diare Diare dapat terjadi akibat adanya zat terlarut yang tidak dapat diserap di dalam feses, yang disebut diare osmotic, atau karena iritasi saluran cerna. Penyebab
tersering iritasi adalah infeksi virus atau bakteri di usus halus distal atau usus besar. f.
Konstipasi Konstipasi didefinisikan sebagai defekasi yang sulit atau jarang. Frekuensi defekasi berbeda-beda setiap orang sehingga definisi ini bersifat subjektif dan dianggap sebagai penurunan relative jumlah buang air besar pada seseorang. Defekasi dapat menjadi sulit apabila feses mengeras dan kompak. Orang yang makan makanan rendah serat atau makananan dan yang sehari – harinya jarang bergerak berisiko tinggi mengalami konstipasi.
2) Riwayat kesehatan Yang perlu dikaji dalam sistem gastrointestinal: a. Pengkajian rongga mulut. b. Pengkajian esophagus. c. Pengkajian lambung. d. Pengkajian intestinal. e. Pengkajian anus dan feses. f.
Pengkajian organ aksesori.
3) Riwayat kesehatan sekarang. a. Pasien diminta untuk menjelaskan keluhannya dari gejala awal sampai sekarang. b. Tanyakan apakah pada setiap keluhan utama yang terjadi bemberikan dampak terhadap intaik nutrisi, berapa lama dan apakah terdapat perubahan berat badan? c. Tanyakan pada pasien apakah baru-baru ini mendapat tablet atau obat-obatan yang sering kali dijelaskan warna atau ukurannya dari pada nama dan dosisnya. d. Minta pasien untuk memperlihatkan semua tablet-tablet jika membawanya dan catat semuanya.
4) Riwayat kesehatan dahulu Perawat mengkaji riwayat MRS (masuk rumah sakit) dan penyakit berat yang pernah diderita, penggunaan obat2 dan adanya alergi. a. Riwayat penyakit dan riwayat MRS Perawat menanyakan pernahkah MRS sebelumnya? Apabila ada, maka perlu ditanyakan rumah sakit mana saat mendapatkan perawatan? berapa lama dirawat? Apakah berhubungan dengan penyakit pada saluran gastrointestinal? b. Riwayat penggunaan obat-obatan Kaji apakah pasien menggunakan preparat besi atau ferum karna obat ini akan mempengaruhi perubahan konsistensi dan warna feses (agak kehitaman) atau meningkatkan resiko konstipasi. Kaji penggunaan laksantia /laksatik pada saat melakukan BAB. Beberapa obat atau zat juga bisa bersifat efatotoksik atau bersifat racun terhadap fisiologis kerja hati yang memberikan resiko pada peningkatan peradangan atau keganasan pada hati. c. Riwayat alergi Mengkaji adanya alergi terhadap beberapa komponen makanan? Mengkaji adanya alergi terhadap beberapa komponen obat-obatan? Apakah memberikan dampak terjadinya diare atau konstipasi?
5) Pemeriksaan ABCDE a. Airway
: menjaga airway dengan kontrol servikal (Cervikal Spine Control).
b. Breathing : menjaga pernafasan dengan vebtilasi control (Ventilitation Control). c. Circulation: dengan mengontrol perdarahan (Bledding Control). d. Disability : status neurologis (Tingkat kesadaran/GCS. Respon pupil). e. Exposure/Encironmental Control : buka baju penderita tetapi cegah hiptermia.
6) Pemerikasaan fisik a. Ikterus Ikterus atau jaundice merupakan suatu kondisi yang sering ditemukan perawat di klinik dimana konsentrasi biliribin dalam darah mengalami
peningkatan abnormal sehingga semua jaringan tubuh yang mencakup sklera dan kulit akan berubah warna menjadi kuning atau kuning kehijauan. b. Kaheksia dan atrofi Kegagalan saluran GI untuk menyerap makanan secara fisiologis dapat menyebabkan kehilangan berat badan dan kaheksia (kondisi tubuh terlihat kurus dan lemah). Keadaan ini dapat disebabkan oleh keganasan GI. Keriput pada kulit yang terlihat di abdomen dan anggota badan menunjukkan penurunan berat badan yang belum lama terjadi. c. Bibir Bibir dikaji terhadap kondisi warna, tekstur, hidrasi, kontur, serta adanya lesi. Bibir yang pucat dapat disebabkan karena anemia, sedangkan sianosis desebabkan oleh masalah pernapasan atau kardiovaskular. Lesi seperti nodul dan ulserasi dapat berhubungan dengan infeksi, iritasi, atau kanker kulit. d. Rongga mulut Pemeriksaan fisik rongga mulut dilakukan untuk menilai kelainan atau lesi yang mempengaruhi pada fungsi ingesti dan digesti. e. Lidah dan dasar mulut Inspeksi dengan cermat pada semua sisi lidah dan bagian dasar mulut. f.
Kelenjar parotis Pemeriksaan kelenjar parotis dengan melakukan palpasi kedua pipi pada daerah parotis untuk mencari adanya pembesaran parotis.
7) Pemeriksaan fisik Abdomen Urutan teknik pemeriksaan pada abdomen ialah inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi. a. INSPEKSI Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:
Keadaan kulit Warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya
bekas-bekas
garukan
(penyakit
ginjal
kronik,
ikterus
obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya), striae (gravidarum/
cushing syndrome), pelebaran pembuluh da rah vena (obstruksi vena kava inferior & kolateral pada hipertensi portal).
Besar dan bentuk abdomen Rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).
Simetrisitas Perhatikan adanya benjolan local (hernia, hepatomegali, splenomegali, kista ovarii, hidronefrosis).Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.
Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau tumor apa.
Peristaltik Gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada dinding abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).
b. AUSKULTASI Auskultasi digunakan untuk mendengarkan suara peristaltic usus dan bising pembuluh darah. Dilakukan selama 2-3 menit.
Mendengarkan suara peristaltik usus. Suara peristaltic usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam usus. Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit.
Mendengarkan suara pembuluh darah. Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolic, atau kedua fase. Misalnya pada aneurisma aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada hipertensi portal, terdengar adanya bising vena (venous hum) di daerah epigastrium.
c. PALPASI Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:
Pasien diusahakan tenang
dan
santai
dalam
posisi
berbaring
terlentang. Sebaiknya pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.
Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan.
Sedangkan
untuk
menentukan
batas
tepi
organ,
digunakan
ujung jari. Diusahakan agar tidak melakukan penekanan
yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding abdomen.
Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.
Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk menekuk lututnya. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, itu adalah spasme sejati.
Palpasi bimanual : palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di bagian depan dinding abdomen.
Pemeriksaan ballottement : cara palpasi organ abdomen dimana terdapat asites. Caranya dengan melakukan tekanan yang mendadak pada dinding abdomen & dengan cepat tangan ditarik kembali.
d. PERKUSI Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah h ati (redup; organ yang padat).
B. Diagnosa Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan Agens Cedera Biologis 2. Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan Efek anestesi : ventilasi paru tidak adekuat. 3. Resiko Syok berhubungan dengan sepsis. 4. Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan.
C. Intervensi 1. Domain 12 (Kenyamanan), Kelas 1 : 00132 Nyeri akut berhubungan dengan Agens Cedera Biologis
NOC :
Pain Level
Pain control
Comfort level
Kriteria Hasil :
Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
Tanda vital dalam rentang normal
Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
Tidak mengalami gangguan tidur
NIC :
Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Kurangi faktor presipitasi nyeri
Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi
Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dala, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin
Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur
Tingkatkan istirahat
2. Domain 4 (Aktivitas/Istirahat), Kelas 4 : 000033 Gangguan Ventilasi Spontan berhubungan dengan Efek anestesi : ventilasi paru tidak adekuat
NOC :
Respiratory status : Airway patency
Mechanial ventilation weaning response
Respiratory status : Gas Exchange
Breathing pattern, ineffective
Kriteria Hasil :
Respon alergi sistemik : tingkat keparahan respons hipersensitivitas imun sistemik terhadap antigen lingkungan (eksogen)
Status pernafasan ventilasi : pergerakan udara keluar masuk paru adekuat
Tanda vital : tingkat suhu tubuh, nadi, pernafasan, tekanan darah dalam rentang normal
Menerima nutrisi adekuat sebelum, selama, dan setelah proses penyapihan dan ventilator
NIC : Mechanical ventilation management : Invasive
Pastikan alarm ventilator aktif
Konsultasikan dengan tenaga kesehatan lainnya dalam pemilihan jenis ventilator
Pantau adanya kegagalan pernafasan yang akan terjadi
Pantau adanya penurunan volume ekshalasi dan peningkatan tekanan inspirasi pada pasien
Pantau efek perubahan ventilator terhadap oksigenasi
Auskultasi suara napas, catat area penurunan atau ketiadaan ventilasi dan adanya suara napas tambahan
Tentukan kebutuhan pengisapan dengan mengauskultasi suara ronki basah halus dan ronki basah kasar dijalan nafas
Lakukan higine mulut secara rutin
Oxygen Therapy
Bersihkan mulut, hidung, dan trakea sekresi
Menjaga patensi jalan nafas
Mengatur peralatan oksigen dan mengelola melalui sistem, dipanaskan dilembabkan
Memantau aliran liter oksigen
Amati tanda-tanda oksigen diinduksi hipoventilasi
Memantau tanda-tanda toksisitas oksigen dan penyerapan atelektasis
Menyediakan oksigen ketika pasien diangkut
3. Domain 11 (Keamanan/Perlindungan), Kelas 2 : 00205 Resiko Syok berhubungan dengan sepsis
NOC :
Syok prevention
Syok management
Kriteria Hasil :
Nadi dalam batas yang diharapkan
Irama jantung dalam batas yang diharapkan
Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan
Irama pernapasan dalam batas yang diharapkan
NIC : Syok Prevention
Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR, dan ritme, nadi perifer, dan kapiler refill
Monitor tanda inadekurat oksigenasi jaringan
Monitor suhu dan pernafasan
Monitor input dan output
Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
Monitor tanda dan gejala asites
Monitor tanda awal syok
Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload dengan tepat
Berikan cairan iv dan atau oral yang tepat
Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya shok
Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah untuk mengatasi gejala syok
Syok Management
Monitor fungsi neurologis
Monitor tekanan nadi
Monitor status cairan, input output
Monitor EKG
Catat gas darah arteri dan oksigen dijaringan
Memonitor gejala gagal pernafasan
Monitor nilai laboratorium
Memanfaatkan pemantauan jalur arteri untuk meningkatkan akurasi pembacaan tekanan darah
4. Domain 11 (Keamanan/Perlindungan), Kelas 1 : 00004 Resiko infeksi berhubungan dengan perlukaan
NOC :
Immune Status
Knowledge : Infection control
Risk control
Kriteria Hasil :
Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
Mendeskripsikan
proses
penularan
penyakit,
faktor
mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
Menunjukkan perilaku hidup sehat
Jumlah leukosit dalam batas normal
Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal
NIC :
Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
Pertahankan teknik aseptif
Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Batasi pengunjung bila perlu
Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
Ganti letak IV perifer dan dressing sesuai dengan petunjuk umum
yang
Tingkatkan intake nutrisi
Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kencing
Pertahankan teknik isolasi k/p
Berikan terapi antibiotic
Monitor adanya luka
Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam
Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase
Dorong istirahat