I Nyoman Suparwa Fakultas Sastra Universitas Udayana
ABSTRCT
As a discourse, Mitos is a story o a country thereore it is also a representative o social lie and culture where it grows up. Verbal mitos can be analyzed linguistically to express the symbolic meaning included in it, besides to analyze the use o particular language as a spoken language o its native. Tis analysis can express the orm and content o the mitos. By the orm o language, mitos uses many words, such as kocap/kone ‘It is said’, yaning/yan said’, yaning/yan‘i’ ‘i’ and pacang/ and pacang/ lakar ‘will’. lakar ‘will’. Te word kocap/kone ‘It is said’ shows that mitos is communicatively and the word yaning/ yan ‘i’ and pacang/lakar and pacang/lakar ‘will’ ‘will’ shows that mitos is an event that will happen under qualifcation. It means that mitos is a religious belie probably happened. Tis subject uses a polite or common Balinese spoken language based on the situation o language use. Ten, the symbolic meaning analysis o mitos expresses a theology, educational, and cultural meanings. Tose appropriate with religious belies (Hindu (Hindu)) and Balinese culture so that unctionally mitos keep exist until nowadays due it grows up based on the development o Balinese culture and society and gives many advantages or individual and social lie. Key words: mitos, linguistics, linguistics, Balinese Balinese culture culture PENDAHULUAN Mitos dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1993:660—661) diartikan sebagai ceritra suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu yang mengandung penasiran, misalnya tentang asalusul semesta alam, manusia, dan bangsa itu sendiri yang mengandung arti mendalam dan diungkapkan dengan cara gaib. Demikianlah mitos merupakan milik masyarakat yang tentunya bersiat anonim dalam arti tidak bisa ditelusuri siapa pencipta/ pembuat/pencetusnya, sehingga mitos tersebut sebagai milik komunal masyarakat setempat. Mitos berkembang di masyarakat dari mulut ke mulut dan umumnya bersiat lisan. Dengan demikian, mitos tersebut berkembang seperti ceritra lisan (olklor). Isi mitos menyangkut dewa dan pahlawan. erkait erkait dengan isi tersebut tentu yang dimaksud adalah dewa pahlawan dalam arti luas. Maksudnya, mitos dan pahlawan dan tersebut berisi hal-hal yang terkait dengan sistem kepercayaan atau relegi dan sistem kepahlawanan atau heroisme. Di sini mitos ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan kepercayaan masyarakat setempat dan kepahlawan beserta siatnya yang tentu patut dipercaya dan dijadikan teladan. Berkaitan dengan siat inilah mengapa mitos tidak jarang diupercaya oleh masyarakat dan
dijadikan pedoman dalam artian semacam aturan hidup yang mengatur hidup individu dan masyarakat tempat mitos tersebut tumbuh dan berkembang. Selain itu, cara pengungkapan yang gaib memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap kebenaran yang diungkapkan dalam mitos. Pemakaian istilah zaman dahulu dalam pengertian mitos menandakan bahwa mitos merupakan peristiwa atau ceritra yang sudah usang. Berkaitan dengan hal tersebutlah mengapa banyak orang beranggapan bahwa mitos itu kuno. Mitos tidak cocok diterapkan pada zaman modern (sekarang). Persoalannya sebenarnya bukan pada kelahiran mitos pada zaman kuno, tetapi pada nilai-nilai yang diungkapkan dalam mitos sering relevan dengan kehidupan manusia atau masyarakat yang dinamis dan berkembang. Banyak mitos telah terbukti masih ampuh untuk mengatur masyarakat agar berbudaya dan bermakna/berguna dalam kehidupan modern. Kehidupan masyarakat modern yang membawa kemaslahatan bagi anggota dan lingkungannya secara tidak sengaja atau sengaja mengikuti nilai-nilai yang terdapat di dalam mitos. Arti mendalam yang tercatum dalam pengertian mitos di atas memberikan pemahaman bahwa mitos selalu harus diinterpretasi dan dimaknai. Mitos tidak bermakna lugas. Pada umumnya mitos mengungkapkan makna kias yang diungkapkan
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
83
secara halus dengan bahasa yang dibuat sedemikian rupa, sehingga menggugah orang untuk selalu berusaha menggali, menggali, dan menggali lagi. Pemaknaan mitos tidak bisa berhenti pada satu dekade atau satu situasi dan kondisi, tetapi ia perlu pemaknaan yang terus-menerus. Pemaknaan tersebut selalu diperlukan pendalaman karena makin dalam maknanya dikaji akan terlihat makin menarik dan makin bernilai. Dalam kaitan inilah, mitos tidak berhenti (mati) pada zaman tertentu. Ia akan selalu hidup dan bernilai pada setiap zaman dan nilainya akan semakin dipahami dan bermanaat ketika penasir (orang yang memahami) mitos tersebut semakin berpengetahuan. Orang yang demikian akan dapat memberikan asosiasi dan kupasan terhadap nilai-nilai mitos sesuai dengan zamannya. Dengan mengikuti alur pemikiran dari Saussure (1916), pandangan Struktural Levi Strauss (dalam Putra, 2001:33—34) mengatakan bahwa setiap tanda atau simbol terdiri atas unsur orm (bentuk) dan unsur content (isi). Kedua unsur tersebut (bentuk dan isi) menjadi dasar yang cukup memadai dalam analisis sebuah tanda/simbol. Bentuk mengandung pengertian sebagai wujud, bangun, atau rupa, sedangkan isi adalah hal yang dibawa oleh unsur bentuk itu. Unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian bentuk meliputi (1) lengkung, tutur; (2) bangun, gambar; (3) rupa, wujud; (4) sistem, susunan; (5) wujud yang ditampilkan; (6) acuan susunan kalimat; dan (7) kata penggolong bagi benda yang berlekuk (Moeliono dkk., 2001:135). Dalam hal ini, keterwujudan atau kehadiran sebuah bentuk dapat menandai keberadaan sesuatu yang enomena tersebut dapat dicapai secara inderawi, sehingga dapat diperoleh akta-akta emperik, seperti peristiwa yang terkait dengan manusia, masyarakat, dan kebudayaan serta dihubung-hubungkan dan diangkat sari patinya. Dengan demikian, pengetahuan kebenaran objekti tentang sesuatu atau apa yang terbentuk (isi) itu menjadi lebih menyeluruh dan tuntas. Menurut Atmaja (1986:300), suatu karya adalah suatu bentuk yang berungsi sebagai simbol. Culler (1996:7) menjelaskan bahwa setiap tanda adalah penyatuan suatu bentuk yang disebut signier (penanda) dan signiie (petanda, yang ditanda, konsep). Keduanya itu muncul sebagai suatu tanda. Setiap bentuk sekaligus mengandung konsep. Karena mengandung konsep, tanda tersebut akan berungsi dalam konteksnya. Demikianlah sebuah karya (termasuk mitos) mengandung elemen isi, gagasan, atau ide yang
84
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
mendasari sebuah karya. Isi itu juga dapat dipandang sebagai sebuah pesan pencipta kepada penikmatnya. Isi atau pesan tersebut kemudian ditangkap oleh penikmatnya, baik secara langsung melalui pancaindera atau secara tidak langsung dengan penghayatan seperti yang ditangkap melalui kontempelasi yang lebih mendalam di balik karya yang bersangkutan. Penangkapan pesan/isi karya tersebut menjadi mungkin karena isi/pesan itu disampaikan dengan alat/media. Penyampaian (komunikasi) pesan lewat media menjadi sangat penting (vital) karena maksud/pesan/isi karya itu tidak akan pernah sampai kepada penikmatnya jika tidak dikomunikasikan/disampaikan. Alat yang digunakan untuk menyampaikan itu disebut media. Dalam kaitan dengan karya yang dibahas di sini adalah mitos, media yang dimaksud adalah bahasa meskipun mitos juga bisa disampaikan dengan media lain. Bahasa merupakan wahana bagi tersajikannya mitos kepada penikmatnya. Dalam hal ini bahasa tersebut juga merupakan bentuk penyajian pesan yang ingin disampaikan lewat karya tersebut. Bahasa Bali merupakan media yang digunakan dalam penyampaian mitos bagi masyarakat Bali. Kajian pemakaian bentuk bahasa dapat menjembatani kepada pencapai kajian/pemahaman isi/pesan yang terdapat di dalam mitos tersebut. Karena mitos, pada umumnya, merupakan simbol dari enomena masyarakat, pengkajian makna simbolik menjadi hal yang urgen untuk dibahas walaupun tidak dipungkiri terdapatnya makna-makna lain di dalam mitos tersebut. Dengan demikian, kajian bentuk bahasa dan makna simbolik mitos diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensi dan lebih menyeluruh tentang keberadaan mitos dalam masyarakat dan budaya Bali. Model Linguistik dalam Analisis Mitos sebagai epresentasi Masyarakat dan Nilai Budaya Masyarakat Pendukungnya
Mengutip pendapat Kerk (1983:42) dikatakan bahwa mitos berhubungan dengan masyarakat pendukungnya dan merupakan satu-kesatuan. Bahkan, Leach (1968:42) juga menegaskan bahwa mitos dan ritual beresensi sama. Maksudnya, jika keduanya ditinjau dari sudut pandang linguistik, terdapat hubungan secara struktural. Hal semacam ini telah diakui oleh Levi-Strauss (1980:14-15) yang berusaha menganalisis mitos dengan model linguistik. Dia berpendapat bahwa semua versi mitos
memang berhubungan dengan budaya pemilik mitos tersebut. Dalam konteks demikian, analisis mitos seperti halnya mempelajari sinar-sinar terbias ke dalam mitem yang kemudian dipadukan ke dalam struktur tunggal. Hal yang perlu dicamkan, menurut Levi-Strauss (Ember dan Ember, 1986:48), adalah enomena sosial budaya merupakan representasi struktur luar yang mendasarkan diri pada struktur dalam (underlying structure) dan human. Untuk mencermati makna mitos, Levi-Strauss (Paz, 1995:9) menggariskan bahwa sistem linguistik terbangun dari relasi antaronem sehingga membentuk pertentangan dwitunggal (oposisi biner ) yang dapat dijadikan landasan penasiran. Dalam kaitan itu, Levi-Strauss (1974:232) menjelaskan bahwa dalam mitos terdapat hubungan unit-unit (yang merupakan struktur) yang tidak terisolasi, tetapi merupakan kesatuan relasi hubungan tersebut dapat dikombinasikan dan digunakan untuk mengungkap makna di balik mitos itu. Keteraturan dalam mitos itu sering disebut struktur. Oleh karena itu, dalam menganalisis mitos diupayakan untuk menemukan struktur. Untuk menemukan struktur mitos, Levi-Strauss (Bertens, 1996:186) menggunakan model linguistik sebagai pemahaman enomena sosial budaya. Asumsi dasarnya adalah bahwa linguistik dianggap sebagai suatu sistem, terlepas dari evolusi sejarah, dan dalam sistem itu memuat relasi-relasi yang meyakinkan. Alasan lain yang mengukuhkan Levi-Strauss (Rossi, 1974:89) menggunakan model linguistik, karena ia memandang bahwa enomena sosial budaya sebagai sistem tanda dan simbol yang dapat ditranormasikan ke dalam linguistik. Bertolak dari sistem linguistik tersebut, LeviStrauss (dalam Ahimsa-Putra, 1995:5) menggunakan prinsip asosiasi ataupun analog bahwa mitos memiliki struktur yang tidak berbeda dengan linguistik. Jika linguistik digunakan untuk menyampaikan pesanpesan, demikian pula mitos. Dalam mitos terkandung berbagai macam pesan, yang baru dapat dipahami jika kita telah mengetahui struktur dan makna berbagai elemen yang ada dalam mitos tersebut. Dalam model linguistik tampak adanya sistem "berpasangan" (oposisi) sehingga pada gilirannya melahirkan struktur “dua”, "tiga", "empat", dan seterusnya. Sistem ini dapat diterapkan pada analisis mitos. Model linguistik yang digunakan Levi-Strauss dalam analisis struktural mitos, awalnya diadopsi dari teori linguistik struktural Saussure, Jakobson, dan
roubetzkoy. Model-model yang diadopsi adalah konsep sintagmatig dan paradigmatik , langue dan parole, sinkronis dan diakronis (Pettit, 1977:1). Dari model tersebut, Levi-Strauss (Ahimsa-Putra, 1994:45) berasumsi hahwa mitos pada dasarnya juga mirip dengan gejala linguistik. Sementara itu, Halliday (1978:112) mengatakan bahwa bahasa sebagai proses sosial tidak terlepas dari seperangkat makna atau teks. Makna diproduksi dan direproduksi berdasarkan kondisi sosial tertentu. Makna dalam hubungannya dengan subjek dan objek konkret tidak bisa diuraikan, kecuali berdasarkan seperangkat hubungannya dengan struktur sosial, juga diwujudkan melalui hubungan dengan peran dan perilaku. Dalam hubungan dengan itu, Halliday (1985) mengategorikan ungsi bahasa menjadi tiga, yaitu ungsi ideasional, ungsi interpersonal, dan ungsi tekstual. Fungsi ideasional terkait dengan peranan bahasa untuk mengungkapkan pengalaman penutur tentang dunia nyata. Fungsi interpersonal berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial. Fungsi tekstual adalah peranan bahasa untuk menjalin dirinya dengan unsur-unsur situasi kontekstual, sehingga tersusu dalam sebuah teks. Menurut Cassirer (dalam Herusatoto, 2000:9), manusia cenderung disebut sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Ia menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung, kecuali melalui berbagai simbol. Kenyataan memang hanya sekadar akta-akta, mempunyai makna psikis karena simbol mempunyai unsur pembebasan dan perluasan pandangan. Berdasarkan hal itu, pemahaman terhadap nilainilai yang tertuang di dalam sebuah karya manusia, juga tidak terlepas dari konsep simbolik. Makna se buah karya adalah makna yang tersembunyi/tersirat di dalam simbol-simbol. Makna simbolik itu terkait dengan latar belakang sosiobudaya dan agama yang menjadi landasan terciptanya karya seni bersangkutan dan karya seni itu dimaknai oleh masyarakat pendukungnya. Simbol-simbol tersebut berkaitan dengan hakikat hidup manusia dan dalam hal ini manusia pengguna simbol tersebut. Pemaknaan simbol karya seni Bali tidak bisa lepas dari latar belakang sosial budaya dan agama Hindu yang hidup pada masyarakat Bali.
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
85
ajian Bentuk Bahasa dalam Mitos
Satuan bahasa dalam mitos dapat dipandang sebagai hierarki satuan bahasa dari yang paling besar (wacana) sampai pada satuan yang paling kecil (bunyi). Di antara dua satuan itu terdapat satuan klausa (kalimat) dan satuan kata. Analisis bentuk bahasa dalam kajian mitos tentu relevan (gayut) dikaji lewat analisis wacana. Hal itu dimungkinkan untuk dilakukan mengingat adanya siat keteraturan peristiwa yang dinyatakan dengan bahasa di dalam wacana. Siat keteraturan tersebut dapat berimplikasi pada interpretasi dan pemaknaan sebuah pemakaian bahasa. Kridalaksana (1993:231) mendeinisikan wacana sebagai satuan bahasa terlengkap dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, ensiklopedi, dan lain-lain), paragra, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Van Dijk (1985:1; dalam Linggih, 2009: 69) mengatakan bahwa wacana (discourse) termasuk ke dalam wilayah sosial dan dalam wilayah linguistik adalah teks. Ekspresi wacana dapat ditemukan dalam teks. Dalam kaitan itu, mitos dapat dipandang sebagai sebuah teks atau wacana, sehingga pemakaian bahasanya dipandang sebagai praktik sosial. Analisis wacana adalah analisis mengenai bagaimana teks bekerja/berungsi dalam praktik sosial budaya. Dalam kaitan ini, satuan bahasa terlengkap (dalam praktik wacana) dapat dinyatakan sebagai satuan lisan atau tulisan yang bersiat kohesi, koheren, dan terpadu derta berungsi dalam parktik sosial budaya suatu masyarakat (Sumarlan, 2003:15). Bentuk bahasa mitos umumnya adalah bahasa lisan yang tentunya memiliki genre (bentuk) tersendiri. Sebetulnya, bentuk mitos dapat diklasifkasi menjadi tiga, yaitu (a) lisan (verbal) adalah bentuk yang murni lisan, misalnya bahasa rakyat, ungkapanungkapan tradisional, atau nyanyian rakyat; (b) sebagian lisan ( partly verbal) , yaitu campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan, misalnya kepercayaan rakyat (tahyul), tari rakyat, dan adat-istiadat; dan (c) bukan lisan, yaitu bentuknya bukan lisan walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan, misalnya arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, perhiasan adat, makanan adat, dan obat-obatan tradisional (band. Harold, Danandjaja, 1984; dalam Linggih, 2009: 105). Mitos dalam budaya dan masyarakat Bali ditemukan dalam bentuk bahasa (verbal) yang lisan
86
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
dan tulisan. Mitos lisan seperti berikut ini.
Kocap, yaning sang maraga lanang macukur ri kala kurenannyane abot, pacang ngawinang bobotane karuron. ( Bali Post, 2009:9) Artinya Katanya, kalau sang laki-laki (suami) potong rambut (bercukur) pada saat istrinya hamil, akan menyebabkan kehamilannya keguguran. Yan wenten sane bani ngebah kayu miwah ngusak-asik sahananing wenara sane wenten ring alase punika pastika pacang keni bencana. (Purnayasa, Bali Post, 2009:9) Artinya Jika ada yang berani menebang pohon atau mengganggu (termasuk membunuh) kera-kera yang ada di hutan itu pasti akan kena bencana.
Mitos-mitos di atas hidup di masyarakat Bali secara turun-temurun secara lisan. Biasanya, bahasa yang digunakan dapat bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi pemakaian bahasa Bali. Jika orang yang diajak bicara itu anak-anak atau orang kebanyakan dalam situasi akrab, dapat digunakan bahasa lumrah. Mitos di atas menggunakan bahasa alus karena dipakai dalam situasi resmi (di surat kabar) untuk berkomunikasi dengan orang yang belum dikenal (pembaca). Apabila digunakan dalam situasi akrab, kata-kata bahasa alus, seperti kocap ’katanya’ bisa diganti dengan kone ’katanya’, yaning ’kalau’ bisa diganti dengan yan ’kalau’, dan pacang ’ akan’ dapat diganti dengan lakar ’akan’. Secara linguistik, kata-kata bahasa Bali kocap/ kone ’katanya’, yaning/yan ’kalau’, dan pacang/lakar ’akan’ adalah kata-kata yang tergolong kata umum (generik/bukan spesiik) dan tidak tentu/pasti. Kata-kata seperti itu digunakan untuk mengacu pada peristiwa/benda yang tidak jelas acuannya. Kata kone/kocap ’katanya’ tidak mengacu secara pasti siapa yang mengatakan. Hal itu berarti bahwa mitos adalah peristiwa yang tidak pasti siapa yang membuat atau mengatakannya; bisa merupakan milik bersama (komunal/bukan individual) masyarakat. Kata yaning/yan ’kalau/jika’ menandakan bahwa peristiwa itu merupakan prasyarat terjadinya peristiwa yang lain. Selanjunya, kata pacang/lakar ’akan’ menandakan peristiwa yang mungkin terjadi di bawah kondisi prasyarat yang dimaksud. Selain itu, mitos dalam masyarakat dan budaya Bali ditemukan dalam bentuk sebagian lisan (verbal) dan bukan lisan (nonverbal) yang dalam kajian ini
tidak dibicarakan secara mendalam. Dalam bentuk sebagian lisan ditemukan berupa pertunjukan tari topeng atau arja yang menggunakan simbolsimbol mitos disertai dengan ujaran-ujaran lisan, seperti pementasan sendratari Mahabharata yang mengisahkan tokoh Bhima dengan mitosmitosnya. Misalnya, mitos tentang kain poleng (hitamputih) yang selalu digunakan oleh tokoh Bhima. Di dalamnya terselip mitos sebagai berikut.
Sesampune Ida Sang Bima kalugra marabian sareng Raksasi Hidimbi olih ibun Ida (Dewi Kunti), raris Hidimbi sareng Ida Sang Bhima nunas mapamit jagi malila cita. Ida Sang Bhima sareng rabin Ida (Hidimbi) malila cita ring genahemadurgama (ring pucak gunung). Irika rabin ida (Hidimbi) matur tur mapinunas ring Ida Sang Bhima asapuniki pinunasne; ”beli Sang Bhima, yaning beli mresidayang ngaryanang titiang pianak muani arahina mangda sampun duur, titiang sanggup ngaryanang beli wastra poleng sapa dapa”. Raris irika Ida Sang Bhima ngradana nunas ring Ida Sang Hyang Widhi mangda mrasidayang nagingin aptin rabin Ida (Linggih, 2009:234). Artinya Setelah Sang Bhima direstui oleh Ibu Kunti kawin dengan Hidimbi, maka Hidimbi bersama Sang Bhima mohon izin untuk pergi berbulan madu. Sang Bhima bersama Hidimbi berbulan madu di tempat yang sangat indah, yaitu di puncak gunung. Di sanalah Hidimbi mengajukan permohonan pada Sang Bhima, yaitu ”Suamiku Sang Bhima, jika kakak mampu membuatkan saya putra laki-laki dalam satu hari dan telah dewasa, saya bersedia membuatkan kaing poleng sepanjang 1600 dapa.
Dalam bentuk nonverbal, juga ditemukan tokoh Bhima dalam seni patung atau seni lukis yang memiliki mitos sebagai berikut. Mitos Bhima digambarkan sebagai karakter yang kuat dengan ciri-ciri isik, yaitu tubuhnya tinggi, tegap, berotot (anatomis), dada bidang berbulu, mata bulat, pandangan tajam, hidung mancung, berjambang, berkumis, berjanggut, mulut sedikit terbuka, senyum manis, gigi sedikit tempak, dan warna kulit sawo matang, dia berbusana sangat sederhana, memakai gelungan buana lukar, pada leher terdapat kalung ular, gelang kana kembang bajra, kain poleng (hitam putih), berkancut, kuku ibu jarinya panjang yang disebut kuas penet ( tajam dan kuat), sikapnya selalu berdiri dengan langkah tegap dan kadang-kadang dengan sikap mengangkang berkacak pinggang. Selain ciri kuat fsik, tokoh Bhima juga memiliki ciri kuat nonfsik (mental) dalam keteguhan hati. Berkali-
kali Bhima menghadapi cobaan, namun tidak pernah sedikit pun memiliki niat untuk mengurungkan niat untuk menuju tujuannya. Berkat kekuatan mental, keteguhan hati yang dimiliki yang pada akhirnya Bhima berhasil mencari dan mendapatkan roh Pandhu dan roh Dewi Madri, serta irta Kamandalu untuk meruwat dan menghantarkan roh Pandhu dan Dewi Madri menuju Meru umpang sebelas. Semua keberhasilan yang dicapai Bhima tersebut mencerminkan tidak semata-mata menghandalkan kekuatan fsik, tetapi juga yang lebih penting dan utama adalah kekuatan mental atau keteguhan hati yang bulat. Semua itu merupakan bentuk nonverbal mitos tokoh Bhima. ajian Makna Simbolik Mitos
Makna dalam kaitan dengan mitos merupakan salah satu unsur dari sebuah tanda (sign) (Saussure, 1988). Sebuah tanda di samping memiliki makna/ petanda (signifed) juga memiliki penanda (signifer). Penanda adalah bentuk-bentuk atau medium yang diambil oleh sebuah tanda, seperti bunyi, gambar, atau coretan lainnya. Sementara itu, petanda adalah konsep dan makna-makna. Selanjutnya, makna diproduksi lewat proses seleksi dan kombinasi tandatanda menurut sumbu sintagmatis dan paradigmatis. Sumbu sintagmatis tersusun dari kombinasi tandatanda yang linear, sedangkan sumbu paradigmatis menunjuk pada medan tanda-tanda. erkait dengan pemaknaan, Barthes (1972), yang diilhami oleh pandangan Ferdinad de Saussure, membedakan dua macam sistem pemaknaan, yaitu pemaknaan denotasi dan pemaknaan konotasi. Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang deskripti dan literal dan dipahami oleh hampir semua anggota masyarakat. Di sisi lain, pemaknaan konotasi adalah makna yang tercipta dengan cara menghubungkan penanda-penanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas, seperti keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu ormasi sosial tertentu (juga Barker, 2005:93). Menurut Sutrisno dan Verhaak (1993:148), makna seni (termasuk mitos sebagai seni sastra) yang hakiki adalah selama seni itu mampu mengetuk ”pijar api” kesadaran dan bisa membuat gerakan, baik itu berupa protes, larangan, tulisan, resensi, pro dan kontra, serta memancing pembicaraan di atasnya. Selama itu pula, kesenian mampu melangsungkan ungsinya sebagai mempertajam seleksi atas kehidupan manusia, baik individumaupun bersama. Karya seni tidak hanya sekadar karya imajinati,
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
87
tetapi sebagai peristiwa budaya, jauh masuk pada level kesadaran manusia, yakni untuk mempertajam reeksi manusia atau kemanusiaan. Sebagai sebuah karya, mitos umumnya memiliki nilai/makna teologi/kepercayaan. Misalnya, mitos saput poleng ’kain poleng (hitam-putih) di atas merupakan mitos persembahan dari Raksasi Hidimbi (sebagai istri) kepada suaminya Sang Bhima. Mitos kain poleng tersebut dipercaya oleh masyarakat Bali sebagai simbol siat dualistis dunia ini. Dalam kepercayaan Bali, dualistis/dualisme itu dikenal umum dengan sebutan lain, yaitu rwa bhineda , yaitu dua berbeda. Dua berbeda tersebut merupakan kodrat dunia yang terbagi ke dalam hitam (gelap/ malam) dan putih (terang/siang), atas-bawah, baik-buruk/jahat, dan seterusnya. Dua warna/ siat itu bertentangan, tetapi tidak bisa dipisahkan dalam membentuk dunia ini. Artinya, perbedaan itu ber;awanan, tetapi saling melengkapi. Mantra (1996:25) menguraikan bahwa rwa bhineda merupakan konsep dualistis dan dalam hidup selalu ada dua kategori yang berlawanan, yaitu baik-buruk, sakral-proan, hulu-hilir, dan seterusnya. Pengaruhnya dalam kehidupan adalah dinamis dan menerima kenyataan dan menimbulkan perjuangan untuk menuju yang baik. Rwa bhineda adalah potensipotensi dasar yang terdapat dalam konsep-konsep dasar yang membangun dan melandasi struktur kebudayaan Bali. Selain makna teologi, mitos juga memiliki makna didaktik atau pendidikan. Contohnya adalah mitos tentang larangan duduk di atas bantal. Pendidikan di sini ditujukan kepada anak-anak yang memiliki daya penalaran yang masih sederhana. Penjelasan dengan logika yang rumit tentu sangat sulit dimengerti oleh anak-anak. Untuk itulah dipakai mitos yang sederhana dan disampaikan secara sederhana pula, tetapi menjadi ”bahan ejekan” bagi orang dewasa karena dipandang ”tidak masuk akal”. Mekna pendidikan yang sangat dalam terkandung di dalam mitos tersebut. Bantal adalah simbol kepala yang merupakan bagian tubuh yang paling dihormati oleh setiap manusia. Menduduki bantal berarti membiasakan diri untuk tidak menghormati bagian tubuh yang sakral. Lebih-lebih kepala orang tua, dalam budaya Bali, tidak boleh sembarang dipegang oleh sesama, apalagi oleh anak-anak. Dipegang saja sudah berarti tidak menghormati/menghargai, apalagi mendudukinya. entu, berarti sangat tidak menghormatinya. Dalam hal ini, anak-anak sebagai generasi penerus diharapkan oleh orang tua memiliki
88
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
kebiasaan/budaya dapat menghargai/menghormati hal-hal yang sepatutnya dihargai/dihormati. Dalam bahasa Bali, biasanya, disebut nawang lebah-tegeh ’tahu sopan-santun’. Makna budaya adalah makna lain yang dapat ditemukan dalam mitos bahasa Bali. Makna tersebut sangat terkait dengan kehidupan dan kegiatan seharihari masyarakat Bali. Misalnya, makna mitos larangan menebang pohon dan mengganggu/membunuh kera di beberapa tempat di Bali, seperti di Alas Kedaton, abanan; di Sangeh, Bandung; atau di Ubud. Larangan tersebut dipatuhi oleh masyarakat karena di samping bermanaat untuk pelestarian juga terkait dengan kesucian. Di tempat itu juga ada pura yang merupakan tempat suci bagi masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Dengan demikian, kehidupan budaya Bali ditopang/dijiwai oleh agama Hindu yang menjadi pedoman magis dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Demikian beberapa makna mitos dapat diungkapkan dalam kehidupan masyarakat dan budaya Bali. Jika dikaji lebih dalam, masih banyak makna yang terkandung di dalam mitos, seperti diungkapkan oleh Sutrisno dan Verhaak (1993:148) bahwa makna seni yang hakiki adalah selama seni mampu mengetuk ”pijar api” kesadaran dan bisa membuat gerakan, baik itu berupa protes, larangan, tulisan, resensi, pro dan kontra, serta memancing pembicaraan di atasnya, selama itu pula kesenian mampu melangsungkan ungsinya sebagai pemertajam seleksi atas kehidupan manusia, baik individual maupun masyarakat. Karya seni tidak hanya sekadar karya imajinati, tetapi juga sebagai peristiwa budaya, jauh masuk pada level kesadaran manusia, yakni untuk mempertajam reeksi manusia atau kemanusiaan. Perkembangan dan ehidupan Mitos dalam Zaman Modern
Mitos dalam kehidupan masyarakat Bali sejak dahulu sampai sekarang masih tetap eksis dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kehidupan dan perkembangan mitos tersebut meliputi perkembangan dalam hal bentuk dan berkembang pula dalam hal makna yang berhubungan dengan ungsinya di masyarakat. Kehidupan dan perkembangan mitos dalam hal bentuk juga, seperti pembahasan di depan, ditemukan dalam bentuk verbal, campuran verbal dan nonverbal, serta nonverbal. Selanjutnya, kehidupan dan perkembangan mitos dalam hal pemaknaan juga ditemukan bahwa makna mitos terus diinterpretasi
sesuai dengan zamannya dan diungsikan. Misalnya tokoh Bhima sebagai simbol kekuatan, baik fsik maupun mental, dipakai sebagai alat merek Jamu Kuku Bima L Sido Muncul, minuman energi suplemen Kuku Bima dengan fgur Ade Rai atau Mbah Marijan. okoh tersebut juga selalu tampil di dalam pementasan kesenian, baik seni arja maupun seni drama (seperti sendratari), dan bentuk seni yang lain. Mitos dalam bentuk kata-kata atau ungkapan berbahasa Bali juga masih eksis dan digunakan oleh masyarakat. Hanya kata-kata atau ungkapan yang digunakan sesuai dengan zamannya. Seperti pemakaian bahasa Bali halus untuk pengungkapan mitos sudah mulai berkurang rekuensinya terkait dengan semakin jarangnya pemakaian bahasa Bali halus di masyarakat. Hal itu disebabkan oleh situasi dan kondisi pemakaian bahasa Bali halus semakin berkurang terkait dengan kondisi dan keadaan masyarakat Bali yang memperkecil peluang pemakaian bahasa Bali halus, seperti mengecilnya peranan puri atau geria dalam kehudupan masyarakat. Di pihak lain, anak muda lebih senang menggunakan bahasa Bali lumrah dengan campuran bahasa Indonesia karena dipandang lebih modern dan egaliter. Mitos kain poleng merupakan contoh lain bahwa kehidupan mitos masih tetap eksis pada masyarakat Bali. Makna saput poleng diaplikasikan dalam kehidupan, seperti digunakan untuk kain (wastra) pura tertentu, pecalang, balian, arca, atau punakawan/ penari cak pada kesenian tari. Saput poleng dimaknai sebagai dua siat kontradikti (baik-buruk, kanankiri, dan lain-lain) yang menyatu. Artinya, dua siat kontradikti itu tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia dan bersiat abadi; berlaku pada siapa pun dan di mana pun berada. Mitos dalam kaitan dengan pelestarian hutan dan kera di Bali pun tetap diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena mitos tersebut, sampai saat sekarang, hutan dan kera di Alas Kedaton, Sangeh, Ubud, Uluwatu, dan Pulaki tetap eksis dan selalu dilestarikan. Hal itu juga didukung oleh kondisi masyarakat Bali yang terkenal religius-magis yang bersumber pada agama Hindu. Pada setiap tempat pelestarian itu ditemukan pura yang merupakan tempat yang disucikan/dikeramatkan oleh masyarakat Bali. Dengan demikian, agama Hindu juga menjadi poin penting dan mendasar untuk terpeliharanya dan eksisnya mitos dalam kehidupan masyarakat dan budaya Bali.
SIMPULAN DAN SARN
Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mitos sebagai sebuah wacana dapat dianalisis secara linguistik. Kajian itu dapat mengungkapkan unsur bentuk ( orm) dan unsur isi/makna (content) yang terkandung di dalam mitos. Dari sudut bentuk bahasa, mitos menggunakan kata-kata, seperti kocap/kone ’katanya’, yaning/yan ’kalau’, dan pacang/lakar ’akan’. Kata kocap/kone ’katanya’ menandakan bahwa mitos itu bersiat komunal serta kata yaning/yan ’kalau’ dan pacang/ lakar ’akan’ menandakan bahwa mitos merupakan peristiwa yang akan terjadi di bawah suatu syarat. Artinya, mitos itu adalah sebuah kepercayaan yang mungkin terjadi. Dalam hal ini, digunakan bahasa Bali ragam lisan yang halus atau lumrah sesuai dengan situasi pemakaian bahasa. Selanjutnya, kajian makna simbolik mitos mengungkapkan makna teologi, makna pendidikan, dan makna budaya. Secara ungsional, mitos tetap eksis sampai saat ini karena mitos berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan budaya Bali dan banyak memberi manaat bagi kehidupan individu dan masyarakat. Sehubungan dengan itu, kajian mitos selayaknya tetap dilakukan dan diperdalam secara terus-menerus sehingga ditemukan nilai-nilai kemanusiaan yang memang terpendam di dalam penciptaan mitos. Nilai-nilai tersebut dapat dimaknai dan dimanaatkan sesuai dengan perkembangan zaman sehingga mitos menjadi sebuah karya yang berguna bagi kehidupan individu dan masyarakat. DAFTA PUSTAK
Agung, Anak Agung Gede Putra. 1985. „Kebudayaan Istana Amlapura“ . Dalam Soedarsono (edit). Peranan Kebudayaan Daerah dalam Proses Pembentukan Kebudayaan Nasional. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi). Atmaja, I Made Jiwa. 1986. Notasi tentang Novel dan Semiotika Sastra. Flores: Nusa Indah. Bali Post Redite Kliwon, 4 Oktober 2009. Bolinger, D. 1975. Aspects o Language. New York: Harcourt Brace Inc. Culler, Jonathan. 1996. Saussure. Penerjemah Rochayah dan Siti Suhati. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
89
Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa, Konteks, dan eks: Aspek-aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial ( terjemahan). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: P Gramedia. Linggih, I Nyoman. 2009. “okoh Bhima dalam Seni Rupa Klasik dan Modern: Perspekti Kajian Budaya“ Disertasi untuk Program Doktor Kajian Budayana PPs Universitas Udayana. Denpasar. Mantra, Ida Bagus. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Moeliono, Anton M. Dkk. 2001. ata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka. Palmer, A.M. dkk. 2006. oward a Teory o Cultural Linguistics. Austin: University o exas Press.
90
Dinamika Kebudayaan Vol. XI No. 2, 2009
Salzmann, Z. 1998. Language, Culture, and Society: An Introduction to Linguistic Anthropology. USA: Westview Press. Saussure (1916), pandangan Struktural Levi Strauss (dalam Putra, 2001:33—34) Saussure, de F. 1988. Course in General Linguistics. Seri ILDEP. Yogyakarta: Gadjah Maga University Press. im Penyusun Kamus. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka. Ullmann, S. 1962. Semantics: An Introduction to the Science o Meaning. Oxord: Basil Blackwell. Ullmann, S. 1977. Semantics: An Introduction to the Science o Meaning. Oxord:Basil Blackwell. Van Dijk, A. eun. 1985. Handbook o Discourse Analysis. London: Orlando San Diego, New York: oronto Monteral, okyo: Academic Press.