Makalah Hukum Konstitusi tentang Analisis Kasus BLBI dan Penegakkan Hukumnya
Disusun Oleh : Billy Okva Ripaldi (20140610485)
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Hukum 2016 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Krisis ekonomi yang mengguncang perekonomian nasional tahun 1997 masih menyisakan banyak persoalan yang sebagian besar belum mampu diselesaikan hingga kini. Salah satu masalah serius yang belum terselesaikan hingga kini
misalnya adalah ‘Kasus BLBI’ (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Diawali dengan terpukulnya nilai rupiah terhadap dollar, menyusul jatuhnya nilai Bath di Thailand. Bath yang selama 10 tahun terakhir diperdagangkan dengan nilai 25 per dollar, dalam waktu semalam saja mendadak merosot nilainya hingga 25%. Hal ini memacu spekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea, Filipina, dan Indonesia. Begitu besarnya kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehingga dinyatakan krisis ekonmi yang terjadi pada tahun 1997 disejumlah wilayah Asia berakar pada terdepresiasinya nilai mata uang lokal terhadap dollar sebagai akibat dari permainan para spekulan. Tercatat pasar modal jatuh lebih dari 80% dan nilai tukar rupiah merosot 75% terhadap dollar. Mengatasi hal itu, Bank Indonesia lalu melakukan sejumlah upaya untuk meredam gejolak rupiah. Diantara langkah-langkah yang dilakukan BI saat itu adalah meningkatkan intervensi terhadap nilai tukar rupiah, menaikan suku bunga, dan menghentikan sementara transaksi sementara Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Melalui berbagai langkah itu, BI berupaya mengetatkan likuiditas (membatasi jumlah uang beredar), sehingga nilai rupiah dapat distabilkan. Namun sejumlah kebijakan moneter pemerintah tersebut justru mengakibatkan krisis semakin menjadi. Pelebaran tentang intervensi terhadap nilai tukar rupiah, misalnya, ternyata sama sekali tidak berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah. Padahal, kebijakan tersebut menguras habis cadangan devisa dalam waktu yang singkat. 1.2 Rumusan Masalah 1. BLBI merugikan negara secara nyata 2. Kendala Hukum Yang menyebabkan penanganan BLBI berlarut larut 3. Penanganan Kasus BLBI saat ini
BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Pengertian BLBI Menurut Soehanjono BLBI adalah fasilitas yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada perbankan,untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan, agar tidak terganggu oleh adanya ketidak–seimbangan (mismatch) likuiditas, antara penerimaan dan penarikan dana kepada bank–bank”. Dalam operasinya ada berbagai jenis fasilitas likuiditas bank sentral kepada sektor perbankan dengan persyaratan yang berbeda, sesuai dengan sasaran maupun
peruntukannya. Karena terdapat berbagai jenis fasilitas likuiditas, dalam arti yang paling luas, pengertian BLBI adalah semua fasilitas likuiditas BI yang disalurkan atau diberikan kepada bank-bank,diluar Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). 2.2 Liquidasi dalam Undang-Undang perbankan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan dalam Pasal 37 dan 37A maupun penjelasannya tidak memberikan perumusan istilah, definisi, karakter (ciri-ciri), dan struktur hukum dari “likuidasi”. Apabila diteliti, maka pengertian likuidasi tidak terbatas pada pencabutan izin usaha bank akan tetapi lebih luas lagi termasuk tindakan pembubaran (outbinding) badan hukum bank dan penyelesaian atau pemberesan (vereffening) seluruh hak dan kewajiban bank sebagai akibat dibubarkannya badan hukum bank tersebut atau dari bank yang dilikuidasi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terakhir dilakukan penyelesaian terhadap seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkan oleh bank yang dilikuidasi tersebut. Dengan demikian istilah likuidasi ini mencakup lembaga pembubaran dan pemberesan. 2.3 Pengertian Korupsi Menurut Robert Klitgaard, Pengertian Korupsi adalah suatu tingkah laku yang meyimpang dari tugas-tugas resmi jabatannya dalam negara, dimana untuk memperoleh keuntungan status atau uang yang menyangkut diri pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan pelaksanaan yang menyangkut tingkah laku pribadi. Pengertian korupsi yang diungkapkan oleh Robert yaitu korupsi dilihat dari perspektif administrasi negara.
2.4 Pengertian Kerugian Negara Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (“UU BPK”): “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Dalam Penjelasan Pasal 59 ayat (1) UU Perbendaharaan Negara dikatakan bahwa kerugian negara dapat terjadi karena pelanggaran hukum atau kelalaian pejabat negara atau pegawainegeri bukan bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan administratif atau oleh bendahara dalam rangka pelaksanaan kewenangan kebendaharaan. Penyelesaian kerugian negara perlu segera dilakukan untuk mengembalikan kekayaan negara yang hilang atau berkurang serta meningkatkan disiplin dan tanggung jawab para pegawai negeri/pejabat negara pada umumnya, dan para pengelola keuangan pada khususnya.
BAB III PEMBAHASAN 3.1 BLBI merugikan negara secara nyata Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Penyimpangan atau korupsi dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) telah menunjukkan kepada kita ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Rakyat jadi korban karena efek berkepanjangannya dalam bentuk pengembalian utang. Sementara para penjahat diampuni dan tetap dapat 'bertengger' dengan leluasa di atas pundi-pundi uang yang dicuri. Harus diakui penyimpangan dana BLBI merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di negeri ini. Fakta ini bisa dilihat dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank umum nasional, Rp 138,4 triliun dinyatakan berpotensi merugikan negara. Dana-dana tersebut kurang jelas penggunaannya. Juga terdapat penyimpangan dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI yang dilakukan pemegang saham, baik secara langsung atau tidak langsung melalui grup bank tersebut. Sedangkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap 42 bank penerima BLBI menemukan penyimpangan sebesar Rp 54,5 triliun. Sebanyak Rp 53,4 triliun merupakan penyimpangan berindikasi korupsi
dan tindak pidana perbankan. Upaya menyeret para pelaku korupsi dana BLBI sampai saat ini masih terbentur kendala penegakan hukum. Seolah hukum bungkam dan tidak bertaring menghadapi para 'konglomerat hitam'. Untuk penanganan kasus ini, Kejaksaan Agung tidak menunjukkan kemajuan signifikan dari tahun ke tahun. Penyimpangan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dapat dianggap sebagai sebuah lembaran hitam dalam kehidupan perbankan nasional. Sementara penanganan terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI tersebut dapat pula dicatat sebagai sebuah lembaran hitam dalam sejarah kehidupan hukum Indonesia. Catatan tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan bila dikaitkan dengan adanya berbagai implikasi yuridis yang kemudian muncul sebagai akibat berbelit-belitnya proses penanganan kasus penyalahgunaan dana BLBI. Ketidaksamaan persepsi di kalangan hukum sendiri tentang penanganan kasus-kasus BLBI adalah gambaran tentang betapa kehidupan hukum kita semakin menjauh dari kepastian hukum. Ada dua aspek hukum yang cenderung mendapatkan perhatian dan mengemuka dalam berbagai diskusi terkait dengan masalah BLBI.Pertama, apakah penyimpangan BLBI itu merupakan sesuatu yang berada dalam tataran hukum keperdataan, atau apakah kasusnya kemudian dapat berkembang menjadi sesuatu yang berada dalam lingkup hukum pidana. Kedua, masalah penyelesaian terhadap kasus-kasus penyimpangan BLBI yang telah menimbulkan berbagai kontroversi. BLBI pada hakikatnya adalah sebuah fasilitas yang secara khusus diberikan oleh Bank Indonesia kepada pihak perbankan nasional untuk menanggulangi masalah kesulitan likuiditas yang dihadapinya. Dari pengertian ini dapat dipahami, bahwa
kebijakan itu ditempuh adalah untuk tujuan menyelamatkan dunia perbankan nasional dari kehancuran yang dipastikan akan berimplikasi terhadap pere konomian nasional. Akan tetapi persoalannya kemudian adalah, tujuan yang baik itu ternyata telah disalahgunakan oleh sebagian penerima fasilitas untuk memperkaya diri. Artinya, bantuan likuiditas itu tidak digunakan sesuai dengan maksud dikeluarkannya kebijakan tersebut. Akibatnya terjadi kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar. Bantuan likuiditas dalam berbagai bentuk dan jenis yang diberikan kepada bank penerima, pada awalnya adalah sesuatu yang berada dalam lapangan hukum keperdataan, karena para pihak dilandasi oleh adanya hubungan hukum dalam bentuk perjanjian atau kontrak sebagai kreditur dan debitur. Berdasarkan verifikasi terhadap data hasil olahan pengawas bank penerima BLBI, ditemui oleh BPK dan BPKP adanya indikasi penyalahgunaan BLBI oleh bank penerima. Menurut tujuannya, dana BLBI itu hanyalah untuk dana pihak ketiga (masyarakat), namun pada kenyataannya juga digunakan untuk membayar kembali transaksi bank yang tidak layak dibiayai oleh dana BLBI. Oleh karena adanya penyalahgunaan atau penyimpangan penggunaan dana BLBI oleh bank penerima, yang kemudian ternyata merugikan keuangan negara, maka persoalannya tentu tidak lagi hanya sekedar kasus yang mesti diselesaikan dengan menggunakan ketentuan hukum keperdataan. Artinya masalah BLBI telah berkembang menjadi perkara pidana. Penyalahgunaan dana BLBI yang menimbulkan kerugian keuangan negara itu, telah cukup memenuhi rumusan hukum pidana berdasarkan UU Nomor 3 tahun 1971 jo UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20 tahun 2001, untuk membawa kasus-kasus BLBI itu ke dalam proses peradilan untuk dimintakan pertanggungjawaban pidana. Meskipun demikian, kita tentu tidak boleh men-generalisasi semua kasus BLBI sebagai perbuatan melawan hukum dalam konteks hukum pidana. Tentu ada kasus-kasus yang memang terjadi semata-mata karena sesuatu yang mesti diselesaikan melalui jalur hukum keperdataan. Ada beberapa bentuk perilaku menyimpang dalam kaitannya dengan BLBI yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana, di antaranya: 1. pemberian BLBI dilakukan kepada pihak yang tidak pantas menerimanya. 2. konspirasi antara oknum Bank Indonesia dengan bank penerima BLBI. 3. pemberian BLBI melebihi jumlah yang sepantasnya 4. penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI Di samping itu, studi hukum yang dilakukan Satgas BLBI telah mengidentifikasi bentuk-bentuk penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain: Penggunaan dana BLBI oleh penerima secara menyimpang, seperti digunakan untuk keperluan pembelian devisa dan memindahkan asset ke luar negeri, membawanya ke pasar uang atau digunakan untuk operasionalisasi bank, serta untuk membayar pinjaman kepada kelompok sendiri (group perusahaan penerima BLBI). Studi hukum 1. membayar atau melunasi kewajiban kepada pihak terafiliasi. 2. membayar atau melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan. 3. membiayai kontrak derivatif baru atau kerugiaan karena kontrak derivative lama jatuh tempo. 4. membiayai penempatan baru di pasar uang antar bank (PUAB), atau pelunasan kewajiban yang timbul dari transaksi PUAB.
5. membiayai ekspansi kredit atau merelasasikan kelonggaran tarik dari komitmen kredit yang sudah ada. 6. bentuk-bentuk penyimpangan lainnya seperti: a. pembayaran kepada pihak ketiga yang masih mempunyai kewajiban kepada bank. b. penarikan dana tunai dari giro bank di BI yang penggunaannya tidak jelas. c. pelunasan kewajiban antar bank, dan sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara dan modus operandi yang pada prinsipnya tidak sesuai dengan penggunaan dana BLBI yang seharusnya dilakukan. Bertolak dari adanya penyimpangan dalam berbagai bentuk dan modus operandi yang merugikan keuangan negara, maka penyelesaian terhadap kasus-kasus BLBI mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuanketentuan hukum pidana. Dalam soal penanganan terhadap kasus-kasus penyalahgunaan dana BLBI, kalangan hukum cenderung pula memperdebatkan aturan-aturan hukum pidana yang mesti digunakan. Masalahnya terletak pada penerapan ketentuan pidana yang ada dalam UU Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan atau ketentuan pidana dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Artinya, sejauhmana dan dalam hal-hal apa sajakah ketentuanketentuan hukum pidana tentang korupsi dapat diimplementasikan terhadap pelanggaran atau penyalahgunaan dana BLBI. Pembuat UU Perbankan telah merumuskan berbagai kategori perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana perbankan. Perbuatan-perbuatan tersebut meliputi:
1. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan perizinan. 2. tindak pidana perbankan di bidang rahasia bank. 3. tindak pidana perbankan di bidang pengawasan. 4. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan kegiatan usaha bank (kolusi managemen). 5. tindak pidana perbankan yang berkaitan dengan pihak terafiliasi. Dilihat dari rumusan delik yang ada dalam UU Perbankan, tidak ada satu rumusanpun yang dapat digunakan untuk menjangkau pelaku penyalahgunaan dana BLBI. Oleh karena itu kasus-kasus BLBI yang mengandung indikasi kriminal mesti ditanggapi dengan menggunakan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3.2 Kendala Hukum yang menyebabkan penanganan BLBI berlarut-larut Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, bahwa diketahui dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi yang terkait dalam kasus BLBI, hingga saat ini belum terselesaikan dengan tuntas, artinya masih banyak kendala yang dihadapi para penegak hukum. Sesungguhnya tindak pidana korupsi telah tumbuh subur di Indonesia sejak penjajahan Belanda, hanya saja berlainan bentuk yaitu yang dikenal dengan istilah “upeti”. Penanggulangandan pencegahannya telah pula dilakukan baik melalui preemtif dan preventif. KUHP,Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 tidak mampu untuk menyelesaikan kasus korupsi, kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. Kasus BLBI yang terjadi pada tahun 1976 seharusnya dapat diselesaikan melalui UU tersebut, tetapi karena muatan politik pada waktu itu lebih kuat (eksekutif dapat mempengaruhi dalam
penegakan hukumnya), maka BLBI belum juga dapat diselesaikan, hingga saat ini sekalipun UU No. 3 Tahun 1971 telah diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa tindak pidana korupsi tergolong extraordinary crime, karena
sifatnya
cair,
dinamis,
terorganisasi
dan
terselubung,
maka
penyelesaiannya diperlukan cara yang luar biasa pula. Namun oleh karena sistem hukum pidananya yang bersifat legal formalistik maka terdapat kesulitan dalam pembuktiannya. Kurangnya kepe-dulian dan atau kurang maksimalnya pemerintah dalam mengungkap kasusBLBI, karena adanya kekhawatiran ter-hadap sebagian petinggi negara yang tersangkut dalam kasus tersebut juga merupakan kendala, karena seolah-olah mempersulit para penegak hukum yang lebih lanjut akan melakukan penyelidikan atau penyidikan kepada para obligor atau pelaku korupsi BLBI. Selain itu, sistem hukum pidana tidak dapat maksimal atau menjangkau dalam upaya pengembalian kerugian negara, terlebih apabila hasil korupsi tersebut telah berpindah atau di tanam di luar negeri. Maka untuk segera dapat mengembalikan uang negara, aspek hukum perdata menjadi mempunyai peran penting, yaitu melalui restorative justice, ADR dan tindakan perampasan terhadap barang atau aset (NCB) dengan memaksimalkan hubungan antar negara (G to G). Namun aspek hukum perdata yang demikian pun, selain belum diakui keberadaannya, juga ditemui adanya kendala yakni adanya kesulitan untuk menentukan asset para koruptor yang pada umumnya telah berpindah tangan atau bahkan berasimilasi melalui tindakan money laundering, sehingga sulit dalam pembuktiannya.
Kemudian
memaksimalkan prinsip litigasi
hingga
saat
ini,
pemerintah
belum
pula
multiyurisdiksi, artinya gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban (victim countries) dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain dengan alasan biayanya mahal,belum adanya perjanjian ekstradisi, dengan demikian penerapan UNCAC di Indonesia belum maksimal. Sekalipun hukum yang mengatur tentang korupsi telah ada (internasional/nasional), namun oleh karena pengetahuan dan keberanian para penegak hukum masih kurang untuk menerapkan aturan hukum tersebut secara elastis, artinya sesuai dengan asas manfaat dan asas keadilan masyarakat, maka hingga saat ini penegak hukum tetap menjadi corong undang-undang. 3.3 Penanganan Kasus BLBI Dalam perjalanan proses penyelesaian kasus BLBI ini pemerintah era Habibie membentuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) untuk menyelesaikan kasus BLBI. BPPN menempuh beberapa mekanisme yang bertujuan untuk mengembalikan asset Negara yang telah dibawa kabur oleh para obligor BLBI dimana dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI (skema PKPS). Perjanjian tersebut berupa : Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreement (MSSA), pola ini dan master refinancing agreement and note agreement (MRNIA). Tujuannya untuk mengembalikan BLBI baik melalui
penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS). Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU). Kebijakan pemerintah pada masa megawati dalam penyelesaian kasus BLBI adalah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage) Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002 menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, Para Menteri anggota KKSK, Menteri Negara BUMN,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian RI dan Ketua
BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA, APU. Para obligor BLBI dianggap
sudah menyelesaikan utangnya dan mendapatkan
Surat
Keterangan Lunas walaupun hanya 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, para obligor yang diperiksa dalam proses penyidikan maka akan dikeluarkan SP 3 dan apabila perkaranya dalam proses di pengadilan maka akan dijadikan novum atau bukti baru yang akan membebaskan mereka. Hingga berakhirnya BPPN tahun 2004, dari 39 pemegang saham
penandatangan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), 23 pemegang saham telah memenuhi kewajibannya sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah. Sementara itu 16 pemegang saham lainnya, terdiri dari delapan pemegang saham tidak dapat
memenuhi kewajibannya sesuai
dengan batas waktu yang telah ditetapkan pemerintah dan delapan pemegang saham lainnya dinyatakan tidak kooperatif dan penanganannya akan dilakukan oleh aparat penegak hukum. Release and Discharge, Kejaksaan
Akibatnya Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang menghentikan proses penyidikan (SP3)
terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004. Alasan kejaksaan menghentikan penyidikan karena para tersangka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN. Penghentian penyidikan dalam kasus korupsi BLBI ini pada akhirnya memperpanjang jumlah SP3 yang telah diberikan pihak kejaksaan dan secara eksplisit membebasakan tuntutan hukum secara pidana kepada para obligor BLBI sehingga bebas dari ancaman hukuman penjara. Di era SBY mekanisme penyelesaian masih menggunakan prinsip release and discharge dimana lebih memprioritaskan pengembalian asset ketimbang penegakan hukum. Ironisnya lagi, pemerintah SBY memberikan perlakuan yang berlebihan dengan “menggelar karpet merah” kepada 3 obligor BLBI yaitu Atang Latief, James Januardy, dan Ulung Bursa datang ke Istana Negara untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya. Perlakuan yang seharusnya tidak layak di berikan oleh seorang kepala Negara kepada para koruptor kelas kakap yang telah merugikan Negara miliaran rupiah. Meskipun demikian,
ada
sedikit kemajuan dalam proses penanganan kasus
era
BLBI
di
SBY ini dimana sejak dilantiknya Jaksa Agung baru Hendarman Supandji
menggantikan
Abdurrahman
Saleh,
Kejaksaan
Agung
menunjukkan
keseriusannya dimana dengan membentuk tim pemburu koruptor dan upaya menjalin kerjasama ekstradisi dengan Australia serta terus melakukan proses penyidikan salah satunya dengan memanggil kwik kian gie dan beberapa mantan penjabat lainnya yang incharge semasa pengucuran dana BLBI. Para pelaku yang teridentifikasi korupsi BLBI diantaranya :
1
Agus Anwar
Bank Pelita
Bank Papan Sejahtera 2
Hashim Djojohadikusumo
Bank Pelita Istimarat
3
Samadikun Hartono
Bank Modern
4
Kaharuddin Ongko
Bank Umum Nasional
5
Ulung Bursa
Bank Lautan Berlian
6
Atang Latief
Bank Indonesia Raya
7
Lidia Muchtar
Bank Tamara
8
Omar Putihrai
Bank Tamara
9
Adisaputra Januardy
Bank Namura Yasonta
10
James Januardy
Bank Namura Yasonta
11
Marimutu Sinivasan
Bank Putera Multikarsa
12
Santosa Sumali
13
Fadel Muhammad
Bank Intan
14
Baringin MH Panggabean
Bank Namura Internusa
15
Joseph Januardy
Bank Namura Internusa
16
Trijono Gondokusumo
Bank Putera Surya Perkasa
17
Hengky Wijaya
Bank Tata
18
Tony Tanjung
Bank Tata
19
I Gde Dermawan
Bank Aken
20
Made Sudiarta
Bank Aken
21
Tarunojo Nusa Wijaya
Bank Umum Servitia
22
David Nusa Wijaya
Bank Umum Servitia
Bank Metropolitan Bank Bahari
Yang masih buron yakni ; Bank Ficorinvest. Yang menjadi terpidana yakni mantan Presiden Direktur Ficorinvest, Supari Dhirdjoprawiro dan S Soemeri. Keduanya divonis hukuman
1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan, 13 Agustus 2003. Keduanya terbukti menyalahgunakan BLBI sebesar Rp 315 miliar dari Rp 900 miliar yang diperoleh Bank Ficorinvest. Dana itu digunakan untuk berbagai kegiatan transaksi dan valuta asing. Bank Umum Servitia.Yang menjadi terpidana adalah bekas Direktur Utama Servitia, David Nusa Wijaya. Dia divonis 8 tahun penjara oleh Mahkamah Konstitusi, 23 Juli 2003. Dia juga sempat melarikan diri ke Amerika Serikat sebelum akhirnya tertangkap. Dia terbukti menyelewengkan dana BLBI sebesar Rp 1,291 triliun. Bank Harapan Sentosa (BHS).Yang menjadi terpidana ialah Hendra Rahardjadi yang merupakan bekas Komisaris Bank Harapan Sentosa. Dia dihukum seumur hidup. Namun, dia melarikan diri ke Australia hingga meninggalnya. Lalu Eko Adi Putranto sebagai eks komisaris BHS dan Sherly Konjogian sebagai bekas Direktur Kredit BHS, divonis 20 tahun. Namun Eko juga melarikan diri ke Australia dan masih buron. Untuk Sherly telah ditangkap Kejaksaan Agung, 2012 lalu. Bank Surya.Yang menjadi terpidana ialah Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan. Keduanya dihukum seumur hidup. Namun Bambang yang merupakan bos Bank Surya melarikan diri ke Singapura dan masih buron. Sementara Januari 2014, Adrian Kiki sebagai bekas Direktur Utama yang sempat kabur ke Autralia akhirnya diekstradisi dan ditahan di LP Cipinang. Bank Modern.Yang menjadi terpidana ialah Samadikun Hartono. Dia divonis 4 tahun, tapi melarikan diri ke Singapura. Kini Samadikun tertangkap di Tiongkok oleh tim khsusus pemburu koruptor. Saat ini Samadikun dalam perjalanan ke
Indonesia untuk memoertanggungjawabkan perbuatannya menyelewengkan dana sekitar Rp 169 miliar dari Rp 2,5 triliun dana yang dikucurkan. Bank Pelita.Yang menjadi pelaku ialah bekas pemilik Bank Pelita Agus Anwar dan Alexander PP. Keduanya melarikan diri saat kasus ini masih dalam proses pengadilan. Bank Umum Nasional.Yang menjadi terduga pelaku ialah Sjamsul Nursalim. Dalam perjalanannya kasus ini penyidikan dihentikan. Namun di 2015 lalu, Kejaksaan Agung mengajukan kasusnya ke Perdata dan Tata Usaha Negara. Namun, hingga kini belum ada kejelasan. Sjamsul sendiri mendapat kucuran dana BLBI sekitar Rp 24,7 triliun. Bank Asia Pacific (Aspac).Yang menjadi terpidana ialah Hendrawan Haryono. Dia mantan wakil direktur utama Aspac. Dia divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena terbukti menyelewengkan dana BLBI sebesar Rp 583 miliar. Bank Indonesia Raya (Bank Bira).Yang menjadi tersangka yakni Atang Latief. Dia melarikan diri ke Singapura tahun 2000 sebelum kasusnya disidangkan. Dia diduga menyelewengkan dana BLBI sebesar Rp 351 miliar.
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan Dari penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya benar-benar berkomitmen untuk menyelesaikan kasus BLBI yang terus berlarutlarut hingga kini. Dari proses penanganan kasus BLBI oleh pemerintah mulai dari pemerintahan Habibie hingga pemerintahan SBY memperlihatkan adanya pelaksanaan penegakan hukum yang diskiriminatif dan dalam kasus BLBI ini pemerintah lebih memprioritaskan pengembalian asset Negara yang telah di bawa lari ke timbang melakukan penegakan hukum terhadap para koruptor tersebut. Pemerintah beralasan bahwa untuk menghindari kerugian negara yang semakin besar dengan berlarut-larutnya penyelesaian kasus BLBI sehingga pemerintah lebih mengutamakan untuk mendapatkan pengembalian utang dari para konglomerat menunjukkan bahwa dalam penyelesaian kasus BLBI ini, pemerintah lebih
memilih
untuk
menggunakan
pendekatan
keperdataan
daripada
menyelesaikannya melalui proses pidana, yang pada akhirnya telah mengabaikan prinsip hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. 4.2 Saran Seharusnya
pemerintah
benar-benar
mengambil
langkah
konkrit
dalam
menyelesaikan kasus BLBI, serta mengambil tindakan yang cukup tegas terhadap para tersangka korupsi dengan memenjarakannya karena tidak main main dengan dana yang dikorupsi yang jumlahnya amat besar sehingga membuat Indonesia krisis, dengan kata lain tidak cukup mengandalakan pendekatan politik, yang mengabaikan prinsip-prinsip penegakan hukum dengan alasan pengembalian aset saja.
BAB V DAFTAR PUSTAKA Atmasasmita, R., Ketidakadilan Hukum Kasus BLBI , Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung. Isnaini, Y., 2008, Benahi Penegakan Hukum Pidana Korupsi Yuntho, E., 2008, BLBI dan Hukum yang Bungkam Aang Ahmad. MIMBAR HUKUM Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011. Kajian “Kasus BLBI: Penggeseran Hukum Publik Ke Dalam Lapangan Hukum Privat” (Didownload 18 April 2016 pukul 16:00) http://wiratamafamily.blogspot.co.id/2009/02/analisis-hukum-kasus-blbi.html (Diakses pada 18 April 2016 pukul 16:22) https://id.wikipedia.org/wiki/Bantuan_Likuiditas_Bank_Indonesia (diakses pada 18 April 2016 pukul 16:29) http://fajar.co.id/2016/04/16/rugikan-negara-rp-138-triliun-ini-daftar-buronankorupsi-blbi/ (Diakses pada 18 April 2016 pukul 16:32)