ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : NUZUL FADLY C34104049
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna ( Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2009
Nuzul Fadly C34104049
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna ( Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) adalah hasil karya saya sendiri
dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Januari 2009
Nuzul Fadly C34104049
RINGKASAN NUZUL FADLY. C34104049. Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna (Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit). Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan WINARTI ZAHIRUDDIN.
Ikan tuna merupakan komoditas ekspor kedua terbesar Indonesia setelah udang. Industri tuna dalam perkembangannya masih memiliki banyak permasalahan, antara lain semakin ketatnya persaingan dan merebaknya isu keamanan pangan, yaitu tingginya kandungan histamin dan logam berat. Dampak dari permasalahan ini adalah timbulnya hambatan ekspor produk ikan tuna Indonesia di pasaran dunia terutama Uni Eropa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu adanya suatu upaya pendekatan risk assessment sesuai rekomendasi Food and Agriculture Organization (FAO) sejak tahun 1995 untuk menganalisis bahaya peningkatan kadar histamin pada tuna agar dapat dilakukan manajemen resikonya. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses penanganan ikan i kan tuna saat saa t pembongkaran (transit) sampai penerimaan bahan bah an baku oleh perusahaan, tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi/transportasi) menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007, serta tahap asesmen risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor. Asesmen risiko bahaya histamin dilakukan dengan menggunakan konsep risk assessment secara semi kuantitatif yang terdiri dari hazard identification, exposure assessment atau dose respone , hazard characterization serta risk characterization dari risiko bahaya histamin pada ikan tuna berbagai kualitas ekspor. Untuk mendukung hasil evaluasi risiko dilakukan analisis kimia kadar histamin dengan metode spektrofluorometri, dan analisis mikrobiologi menggunakan uji Total Plate Count (TPC) dan uji Niven agar (untuk mengetahui jumlah bakteri penghasil pengh asil histamin) Hasil evaluasi bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi (grade A memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm dan grade D 2,52 ppm). Perbedaan jumlah TPC seiring dengan perbedaan kualitas mutu ikan tuna. Total mikroba ikan 2 2 grade A adalah 1,7 x10 CFU/ml , , grade B sebesar 2,3 x10 CFU/ml dan 2 2 grade C dan D adalah 3,9 x10 CFU/ml dan 21,1 x10 CFU/ml. Jumlah bakteri penghasil histamin terendah didapatkan dari Ikan tuna dengan kualitas grade A yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 1,9 x102 CFU/ml dan 1,5x102 CFU/ml. Hasil asesmen risiko bahaya kadar histamin menunjukkan bahwa kadar histamin berdasarkan spreadsheet tool ikan tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih berada pada batas aman untuk dikonsumsi.
ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)
Oleh : NUZUL FADLY C34104049
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Judul Skripsi
: ASESMEN RISIKO HISTAMIN IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEGAR BERBAGAI MUTU EKSPOR PADA PROSES PEMBONGKARAN (TRANSIT)
Nama Mahasiswa
: Nuzul Fadly
Nomor pokok
: C34104049
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Wini Trilaksani, M.Sc NIP. 131 578 851
Ir. Winarti Zahiruddin M.S NIP. 130 422 706
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal lulus
:
KATA PENGANTAR
Rasa syukur tiada henti penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala limpahan nikmat, berkah, rahmat, dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna
(Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor pada Proses Pembongkaran (Transit) ini.
Pada
kesempatan
ini
penulis
mengucapkan
terima
kasih
yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada: 1. Ayah Muhammad Hasan dan ibu Siti Mulyana tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun materil serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 2. Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin M.S atas bimbingan dan saran membangun yang telah diberikan dalam penulisan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Ir. Sri Purwaningsih M.Si dan Ibu Ir. Iriani Setyaningsih M.S atas kritik dan saran yang telah diberikan. 4. Bapak Dr. Ir. Djoko Santoso, MS selaku pembimbing akademik atas bimbingan dan dorongan semangatnya kepada penulis. 5. Bapak Ir Agoes M Jacoeb selaku komisi pendidikan THP atas kesabaran, saran, dukungan yang telah diberikan pada penulis. 6. Kakakku Fahmi Muhammad dan adikku Iksanudin tercinta atas kasih sayang yang diberikan serta doa yang selalu mengalir tanpa henti kepada penulis. 7. Bapak Redjani Kartoatmojo selaku kepala Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan dan ibu Sri Hartati yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 8. Karyawan LPPMHP : Mba Helma, mba Ayu, mas Adi, mas Kukuh, mas Ucup, mas Pur, mas Paijo, pak Kur, bu Yuli, Rifa, Bella, dll. 9. Ardilla Prameswarie Rahardjo, S.Pi. Terimakasih untuk dukungan moral, perhatian, cintakasih, senyuman, kebaikan dan kesabaran yang senantiasa diberikan untuk penulis.
10. Seluruh staf dosen dan TU THP (Pak Jamhuri, Pak Tatang, Pak Ade, Mba Heni, Mas Mail, Bu Yati, Mas Zaki, Mas Ipul, dan Umi), terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama ini kepada penulis 11. Anang, Dani, Wisnu yang telah menjadi teman kostan terbaik. 12. Teman-teman seperjuangan penelitian dan diver: Dhias, Ima, Vera, Bayhaqi, Boby, Ika, Bojong, Wie, dan Deslina. 13. Teman-teman THP 41: Eka, Estrid, Ika, Nia, Serel, Ulfah, Yanti, Amel, Enif, Iis, Ranti, Tomi, Opick, Glory, Bojong, Sait, Yudha, Rijan, Andika dan teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan dan persahabatan yang luar biasa. 14. Anak-anak setia Lab Om-Benk (Erlangga, Anang, An’im, Yugha, Hangga, Alif, Gilang, Bayhaqi, Windhyka, Tomi‘40). 15. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu segala bentuk saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan guna tercapainya hasil yang lebih baik lagi. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2009
Nuzul Fadly
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1986. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Muhammad Hasan dan Ibu Siti Mulyana. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1992 di SDN Parung IV Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 6 Bogor (1998-2001) dan SMA Negeri 5 Bogor (2001-2004). Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis aktif di organisasi Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan (HIMASILKAN), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (BEM C), dan Fisheries Processing Club (FPC) dari 2006 hingga 2007, serta aktif dalam kegiatan kepanitiaan, diantaranya sebagai ketua acara masa perkenalan Departemen Teknologi Hasil Perairan tahun 2007. Bidang akademik, penulis perkuat dengan menjadi asisten dosen mata kuliah Diversifikasi Hasil Perikanan dan Teknologi Pengolahan Limbah Hasil Perikanan (2008). Penulis juga aktif dalam penulisan karya ilmiah pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) IXX di Universitas Muhamaddiyah Malang (2006). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melakukan penelitian yang berjudul Asesmen Risiko Histamin Ikan Tuna ( Thunnus sp.) Segar berbagai Mutu Ekspor
pada
Proses
Pembongkaran
(Transit)
dibimbing
Ibu Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Ibu Ir. Winarti Zahiruddin, MS.
oleh
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................
x
1.
PENDAHULUAN .....................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................
1
1.2. Tujuan ................................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................
5
2.1. Ikan Tuna (Thunnus sp.) ...................................................
5
2.2. Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tuna ..................................
5
2.3. Kemunduran Mutu Ikan ..................................................... 2.3.1. Perubahan pre-rigor .................................................. 2.3.2. Perubahan rigor mortis ............................................. 2.3.3. Perubahan karena aktivitas enzim ............................ 2.3.4. Perubahan karena aktivitas bakteri ...........................
7 7 8 9 9
2.4. Penanganan Ikan ................................................................
12
2.5. Histamin. ............................................................................
13
2.6. Bakteri Pembentuk Histamin. ............................................
16
2.7. Sanitasi dan Higiene ...........................................................
18
2.8. Risk Assessment ..................................................................
19
METODOLOGI ........................................................................
22
3.1. Waktu dan Tempat .............................................................
22
3.2. Alat dan Bahan ...................................................................
22
3.3. Jenis dan Sumber Data .......................................................
22
3.4. Metode Penelitian .............................................................. 3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan ................................................................ 3.4.2. Tahap penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar......................................................................... 3.4.3. Tahap evaluasi risiko histamin ................................. a) Hazard identification ........................................... b) Exposure assessment ........................................... c) Hazard characterization ...................................... d) Risk characterization ...........................................
22
2.
3.
23 23 23 24 25 25 25
4.
3.5. Pengujian sampel...................................... ........................... 3.5.1. Kadar histamin (SNI 01-2360-1991) ....................... 3.5.2. Uji total bakteri (Total Plate Count ) (SNI 01-2360-1991) ................................................. 3.5.3. Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991) .................................................
26 26
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................
29
4.1. Tahapan Proses Penanganan Ikan Tuna di Tempat Transit Pembongkaran .....................................................................
29
4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene, dan Kelayakan Dasar ............ 4.2.1. Penilaian kapal pembekuan selama proses pembongkaran ......................................................... 4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan ............................................. 4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan ........................... 4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahap Pembongkaran, Transit, dan Distribusi ke Perusahaan ...... 4.3.1. Hazard identification ............................................... 4.3.2. Exposure assessment ................................................ 4.3.2.1. Informasi kandungan histamin ikan tuna hasil tangkapan .......................................... a) Kadar histamin berbagai kualitas mutu tuna ................................. b) Hasil pengujian kadar histamin pada LPPMHP ....................... c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu .......... 1. Total plate count ..................... 2. Bakteri penghasil histamin ..... 4.3.3. Hazard characterization .......................................... 4.3.4. Risk characterization ...............................................
27 28
37 38 41 45 47 47 50 50 51 53 54 54 55 59 60
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................
64
5.1. Kesimpulan ........................................................................
64
5.2. Saran ..................................................................................
64
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
65
LAMPIRAN ........................................................................................
69
5.
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1.
Karakteristik ikan segar secara organoleptik .................................
7
2.
Parameter tingkat kesegaran ikan berdasarkan karakteristik sensori ............................................................................................
10
3.
Kadar histamin pada setiap bagian tubuh ikan tuna .......................
16
4.
Dosis dalam tubuh histamin dari ikan tuna segar berbagai kualitas mutu ..................................................................................
59
Penilaian risiko bahaya histamin secara semi kuantitatif pada tuna segar bagi penduduk Amerika Serikat ...................................
61
5.
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1.
Jenis-jenis ikan tuna ......................................................................
6
2.
Skema proses kemunduran mutu ikan ..........................................
11
3.
Proses dekarboksilase histidin menjadi histamin .........................
14
4.
Perbedaan kandungan histamin pada bagian tubuh ikan tuna .....
15
5.
Skema risk assessment ..................................................................
6.
Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor
7.
Daging ikan tuna grade A .............................................................
32
8.
Daging ikan tuna grade B .............................................................
33
9.
Daging ikan tuna grade C .............................................................
34
10. Daging ikan tuna grade D .............................................................
34
11. Tahap penimbangan ikan tuna ......................................................
36
12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es..........
36
13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran .....................
38
14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan .............................
40
15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup ........................
42
16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna .... .
43
17. Kondisi tempat transit ikan tuna..................................................
44
18. Kandungan histamin berbagai tingkat mutu tuna .........................
51
19. Grafik nilai tengah histamin tahun 2008 ......................................
54
20. Histogram nilai log TPC dari ikan tuna dari berbagai kualitas mutu ...............................................................................
55
21. Histogram nilai log Nivens dari ikan tuna dari berbagai kualitas mutu...............................................................................................
56
22. Koloni bakteri penghasil histamin ...............................................
57
23. Histogram nilai perbandingan log TPC dan log Nivens dari ikan tuna ......................................................................................
58
24 30
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Daftar penilaian higiene tempat pembongkaran (transit) .............
69
2.
Daftar penilaian distribusi/transportasi .........................................
71
3.
Data kandungan histamin ikan tuna berbagai kualitas mutu ........
72
4.
Contoh perhitungan kadar histamin ..............................................
72
5.
Foto pengujian TPC ......................................................................
74
6.
Foto pengujian mikroba penghasil histamin .................................
78
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Produksi tuna Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2002 sebesar 148.439 ton hingga tahun 2005 mencapai 183.144 ton (dengan rataan kenaikan produksi setiap tahun sebesar 7,44 %) (DKP 2007). Pengembangan industri tuna di Indonesia sangat prospektif karena daerah penangkapan ikan tersedia, pasar sudah terjalin serta didukung adanya program revitalisasi sektor perikanan oleh pemerintah Indonesia. Sejalan dengan meningkatnya produksi hasil tangkapan tuna, berkembang pula industri pengolahan komoditas tersebut, terutama di lokasi-lokasi yang merupakan
sentra
pendaratan
tuna
seperti
Muara
Baru
–
Jakarta,
Pelabuhanratu – Jawa Barat, Cilacap – Jawa Tengah, Benoa – Bali, dan Bitung – Sulawesi Utara. Industri pengolahan pada umumnya mengolah tuna menjadi produk segar (dingin) dalam bentuk utuh disiangi (fresh whole gilled and gutted), produk beku dalam bentuk utuh disiangi (frozen whole gilled and gutted);
loin (frozen loin), steak (frozen steak) dan produk dalam kaleng (canned tuna) (DKP 2005). Ekspor hasil perikanan Indonesia ke Uni Eropa (termasuk Eropa Timur) pada tahun 2007 sebesar 82.462.139 kg dengan nilai US$ 296.096.624, sedangkan jumlah ekspor ke Amerika Serikat adalah sebesar 143.529.828 kg dengan nilai US$ 804.116.902, namun untuk ekspor ikan tuna segar khususnya ke Eropa mengalami penurunan akibat adanya penolakan . Penolakan ini disebabkan oleh beberapa masalah, antara lain tingginya kadar histamin dan logam berat (Anonim 2005). Laporan FDA (Food and Drug Administration) tahun 2001-2005 menunjukkan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus histamin dan logam berat. Tahun 2004 dalam laporan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF ) UE, terdapat 39 kasus histamin pada ikan ekspor,
dengan 32 kasus terdapat pada tuna. RASFF merupakan salah satu kontrol sistem
terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa. Tuna Indonesia disebutkan dalam laporan tersebut mengandung timbal, karbon monoksida dan histamin. Tindak lanjut dari laporan tersebut Uni Eropa menerapkan UE Commission Directive (CD) 236 tahun 2006 atau hambatan ekspor atas produk
perikanan Indonesia. Commission Directive 236 adalah aturan dari Uni Eropa yang menyatakan bahwa terhadap setiap produk perikanan dari Indonesia harus dilakukan pemeriksaan di pelabuhan masuk. Commission Directive 236 telah menyebabkan tambahan biaya dan waktu tunggu bagi produk perikanan di pelabuhan masuk di Uni Eropa (Poernomo 2008). Adanya hambatan ekspor tuna dari Uni Eropa tersebut mendorong Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) melaksanakan perbaikan manajemen dan pengendalian mutu. Hasil Perbaikan manajemen mutu yang dilakukan DKP menunjukkan penurunan drastis kasus Rapid Alert System (RAS) yaitu dari
49
kasus pada tahun 2005, menurun menjadi 34 kasus pada tahun 2006 dan 17 kasus pada tahun 2007. Indonesia dinilai berhasil namun tetap harus waspada dan disiplin dalam memenuhi standar mutu yang telah ditentukan, terutama dalam pengawasan terhadap seluruh prosedur penanganan ikan tuna, dimulai dari penangkapan ikan, penanganan, pendaratan (pembongkaran dan transit) serta distribusi, yang dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kandungan histamin (DKP 2008). Sejak tahun 1970, kasus keracunan histamin sudah banyak terjadi, misalnya di Jepang, Amerika Serikat, Australia, New Zealand dan Inggris. Keer et al. (2002) menyatakan bahwa histamin merupakan amin biogenik yang dibentuk melalui reaksi dekarboksilasi asam amino histidin bebas pada saat fase post mortem akibat aktivitas bakteri. Taylor (1983) menyatakan bahwa reaksi
dekarboksilasi disebabkan karena kontaminasi mikroorganisme pembentuk histamin, seperti Morganella morganii, Klebsiella pneumoniae, dan Hafnia alvei. Kontaminasi dapat terjadi mulai dari kapal, pembongkaran, tempat pengolahan, atau pada saat rantai distribusi sampai ke konsumen. Kontaminasi dan aktivitas bakteri tersebut dapat dihambat jika ikan ditangani secara benar dengan memperhatikan
sanitasi
lingkungan
serta
senantiasa
menerapkan
prinsip
penanganan dengan suhu rendah. Kontaminasi mikroba sangat mungkin terjadi pada kondisi sanitasi yang buruk, karena kegiatan sanitasi yang dilakukan tidak mencegah terjadinya kontak antara makanan dengan serangga atau kontaminan lainnya dan biasanya berakhir dengan suatu masalah mikrobiologi. Terkait dengan pemasaran ekspor, aspek mutu dan keamanan pangan produk merupakan faktor penting yang harus diperhatikan. Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan Risk Analysis merupakan sistem dalam
penerapan konsep keamanan dan higiene bahan pangan sebagai
upaya untuk
memenuhi persyaratan standar mutu keamanan pangan perdagangan International. Pendekatan sistematik risk analysis telah digunakan oleh FAO dan WHO sejak 1955, ketika dilakukan evaluasi penggunaan bahan tambahan pada makanan. Seiring bertambahnya waktu, terus terjadi perkembangan sistem keamanan pangan. Pada awal 1960 diperkenalkan Good Manufacturing Practies (GMP), tahun 1971 diperkenalkan sistem formal Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan pada tahun 1995 dilakukan pengenalan formal quantitatif risk analysis. Sistem risk analysis ini telah direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO) agar diterapkan di setiap negara dalam upaya pengawasan
mutu dan keamanan produk pangan, termasuk hasil perikanan. Amerika dan Eropa telah menerapkan sistem risk analysis ini, pengawasan dilakukan oleh U.S. Food and Drug Administration (FDA) dan Europe Food Safety Authority ( EFSA).
Indonesia sebagai salah satu negara pengekspor hasil perikanan seharusnya juga menerapkan risk analysis ini, karena selain sebagai perlindungan konsumen akan keamanan pangan, juga penting dalam sistem perdagangan Internasional. Risk analysis terdiri dari tiga komponen utama, yaitu risk assessment , risk management , dan risk comunication. Risk assessment terdiri dari karakteristik
bahaya, asesmen paparan/dose respone , Hazard Characterization dan Risk Characterization.
Hasil risk assesment ini sangat penting untuk diketahui, karena akan digunakan dalam penentuan risk management. Risk management merupakan pengembangan dan implementasi strategi, pelaksanaan keputusan manajemen, monitoring serta peninjauan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kebijakan atau keputusan perusahaan yang dapat mengontrol risiko histamin tersebut.
Mengantisipasi permasalahan tuna mengenai risiko bahaya peningkatan histamin yang begitu besar maka penelitian ” Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai kualitas mutu ekspor selama proses pembongkaran (transit)” perlu dilakukan. 1.2.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi risiko histamin dan analisis mikrobiologi penghasil histamin serta melakukan penilaian Good Handling Practice (GHP) selama proses pasca tangkap ikan (pembongkaran, transit) sampai
penerimaan bahan baku oleh perusahaan serta ingin membuktikan kebenaran isue food safety peningkatan histamin ikan tuna di Indonesia.
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian Asesmen risiko histamin ikan tuna (Thunnus sp.) segar berbagai mutu ekspor pada proses pembongkaran (transit) dilakukan pada bulan Agustus-November 2008, bertempat di Transit 20 (muara baru), PT X (Muara Baru) dan Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara. 3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan untuk analisis histamin adalah spektrofotometri, labu erlenmeyer, gelas ukur, pisau, talenan, dan buret. Alat yang digunakan untuk menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah cawan petri, bunsen, water bath, glass woll, autoklaf, dan inkubator. Bahan yang digunakan untuk analisis histamin adalah daging ikan tuna, metanol, aquadest, NaOH, HCL, OPT dan resin. Bahan yang digunakan untuk menghitung Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin adalah triptone, yeast
extract ,
L-histidin.2HCL,
NaCL,
CaCO3,
nutrient agar,
dan phenol red. 3.3. Jenis dan Sumber Data
Data yang diperoleh dan dianalisis terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara dan observasi langsung di lapangan, serta analisis kandungan histamin, Total Plate Count (TPC) dan bakteri penghasil histamin di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) DKI Jakarta. Data sekunder diperoleh dari hasil pengujian histamin di LPPMHP dari bulan Juni –September 2008, data konsumsi ikan tuna di Amerika Serikat, serta spreadsheet perhitungan risiko dengan menggunakan program risk ranger (Sumner et al. 2004). 3.4. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap pengamatan proses penanganan tuna pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku oleh
perusahaan, tahap penilaian penanganan ikan tuna hasil tangkapan di kapal dan tempat transit kapal serta tahap analisis risiko bahaya histamin. 3.4.1. Tahapan pengamatan proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan
Proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan diamati berdasarkan tahapannya. Tahapan tersebut dituangkan dalam bentuk diagram alir proses penanganan tuna pasca tangkap sampai penerimaan bahan baku oleh perusahaan. Tujuan dari tahapan pengamatan ini adalah untuk mengetahui proses penanganan tuna dan menentukan tahap-tahap yang memiliki peluang terjadinya risiko kontaminasi bakteri penghasil histidin dekarboksilase, serta untuk menentukan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan kadar histamin. Penentuan tersebut dilakukan dengan cara melihat waktu, suhu, sanitasi dan higiene lingkungan serta aktivitas penanganan ikan. 3.4.2. Tahap Penilaian sanitasi, higiene dan kelayakan dasar
Tahap penilaian sanitasi, higiene (kapal) dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi/transportasi). Penilaian kelayakan dilakukan dengan menggunakan daftar penilaian unit pengolahan ikan yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan tahun 2007 (KEP 011.P2HP. 2007) (DKP 2007). Daftar penilaian sanitasi, higiene, dan kelayakan dasar (transit dan alat distribusi) dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2. 3.4.3 Tahap evaluasi risiko histamin
Evaluasi risiko bahaya histamin dalam penelitian ini menggunakan konsep risk assessment. Risk assessment bahaya peningkatan kontaminasi mikroba dan
peningkatan kadar histamin dilakukan secara semi kuantitatif dengan cara melihat hazard identification, hazard characterization, exposure assessment atau dose response dan risk characterization dari bahaya peningkatan kontaminasi mikroba
dan peningkatan kadar histamin selama proses penerimaan bahan baku. Diagram alur evaluasi risiko histamin dapat dilihat pada Gambar 4.
Pernyataan maksud
Hazard identification Identifikasi agen yang dapat merugikan kesehatan
Exposure assessment
Evaluasi tingkat penyerapan makanan yang mungkin terjadi
Hazard characterisation
Evaluasi sumber merugikan yang berhubungan dengan bahaya yang terdapat dalam makanan. Termasuk dose-response assessment .
Risk characterisation
Pendugaan efek merugikan yang mungkin terdapat dalam populasi, termasuk adanya ketidakpastian
Laporan resmi
Gambar 5. Skema risk assessment (Komisi Eropa 1997 diacu dalam Voysey dan Brown 2000)
a) Hazard identification Hazard identification merupakan proses pencarian dan identifikasi masalah
khususnya bahaya histamin. Dasar penetapan ini disebabkan adanya isu global mengenai peningkatan kadar histamin selama proses penanganan mulai dari pasca penangkapan, transit kapal sampai penerimaan di perusahaan (penerimaan bahan baku). Proses Hazard identification meliputi identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan histamin, peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin serta risiko histamin terhadap tubuh manusia. Identifikasi dilakukan
dengan studi literatur dari berbagai sumber pustaka yang berkaitan dengan histamin dan bahayanya bagi tubuh serta faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan bakteri penghasil histamin. b) Exposure assessment Exposure assessment bertujuan untuk mengevaluasi level dari bahaya
histamin di berbagai tahap penanganan ikan pasca penangkapan sampai penerimaan bahan baku, frekuensi, dan durasi dari konsumsi produk tersebut, serta level mikroorganisme penghasil histamin yang terdapat pada tuna. Informasi mengenai level kandungan bakteri total, bakteri penghasil histamin dan kandungan histamin diperoleh dengan cara melakukan pengambilan sampel ikan tuna pada proses penerimaan bahan baku untuk dianalisis kadar histamine, total mikroba dan mikroba penghasil histamin di laboratorium. Sampling dilakukan sebanyak tiga kali yaitu pada tanggal 16 September, 19 September dan 3 November 2008. c) Hazard characterization Hazard characterization merupakan evaluasi kualitatif atau kuantitatif
alami
dari efek yang berhubungan dengan histamin dan agen mikrobiologi.
Komponen paling penting dari langkah hazard characterization adalah penetapan dose respone . Dose respone merupakan kadar tertinggi histamin dan mikroba
yang terdapat pada bahan baku (ikan tuna) yang dapat menghasilkan histamin sampai kadar yang menyebabkan keracunan dalam tubuh manusia. Hazard characterization dan dose reponse dapat dilihat dari studi literatur mengenai
jumlah mikroba penghasil histamin dan bahaya histamin pada tubuh dan dibandingkan dengan kandungan mikroba dan jumlah histamin hasil analisis yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. d) Risk characterization Risk characterization merupakan perkiraan secara semi kuantitatif untuk
menentukan
risiko
characterization
dan
histamin
berdasarkan hazard
exposure
assessment .
Hasil
identificationi,
keluaran
hazard
dari
risk
characterization ini adalah risk estimate atau perkiraan risiko yang dapat timbul
dari peningkatan mikroba dan kandungan histamin yang dihasilkan jika masuk ke dalam tubuh manusia. Penilaian risk estimate menggunakan program risk ranger . 3.5
Pengujian Sampel
Analisis yang dilakukan meliputi kadar histamin, total plate count bahan baku ikan tuna, serta uji total mikroba penghasil histamin. 3.5.1 •
Kadar histamin (SNI 01-2360-1991)
Tahap ekstraksi Sampel ditimbang sebanyak 10 gram lalu ditambahkan dengan methanol
sebanyak 50 ml dan dihomogenkan dengan homogenizer (blender) kurang lebih selama 1-2 menit. Setelah homogen maka sampel tersebut dipanaskan dalam o water bath pada suhu 60 C selama 15 menit, kemudian didinginkan pada suhu
ruang. Setelah dingin, sampel dimasukkan dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan methanol sampai tanda tera dan dikocok agar homogen. Larutan sampel kemudian disaring dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. •
Tahap clean up Pertama-tama disiapkan kolom, kemudian ke dalam kolom tersebut
dimasukkan glass woll secukupnya (tingginya 1 cm), setelah itu dimasukkan resin penukar ion ke dalam kolom sampai tingginya kurang lebih 8 cm (diusahakan agar resin jangan sampai kering dengan cara dibilas menggunakan aquades karena akan mempengaruhi daya kerja ion tersebut). Langkah terakhir adalah melewatkan sampel ke dalam kolom sebanyak 1 ml dan ditampung hasilnya dalam labu ukur 50 ml yang telah diberi 5 ml HCL 1 N. •
Tahap pembentukan Ke dalam masing-masing tabung reaksi dipipet sebanyak 10 ml HCL
0.1 N kemudian ditambahkan 5 ml sampel, 5 ml standar histamin (untuk larutan sekunder) dan 5 ml HCL 0.1 (untuk blanko). Selanjutnya ditambahkan 3 ml NaOH, setelah itu dihomogenkan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian ditambahkan
sebanyak
1
ml
orto-ftalatdikarboksilaldehid
(OPT),
lalu
dihomogenkan dan didiamkan selama 4 menit. Sampel kemudian ditambahkan 3 ml H3PO43 5,7 N dan dihomogenkan, setelah selesai sampel siap untuk dibaca
dengan spektrofotoflourometer dengan eksitasi pada 350 nm dan pengukuran flourescence pada 444 nm. •
Perhitungan kadar histamin (ppm):
Histamin (mg/Kg) = Keterangan :
3.5.2
IU = Absorban sampel A dan B = Koefisien regresi linier Fp = Faktor pengenceran
Uji total bakteri (Total Plate Count) (SNI 01-2360-1991)
Pertama-tama ditimbang sampel sebanyak 25 gram secara aseptik, kemudian dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disterilkan, setelah itu ditambahkan sebanyak 225 ml larutan garam 0.85%. Pembuatan larutan contoh dengan cara mencampurkan 25 gram sampel dan dimasukkan ke dalam botol yang berisi 225 ml larutan garam 0,85 % steril, kemudian dihancurkan hingga larutan homogen, dari campuran tersebut diambil 1 ml dan dimasukan dalam botol berisi 9 ml larutan garam 0,85 % steril sehingga diperoleh contoh dengan pengenceran 10-2, kemudian dikocok agar homogen. Banyaknya pengenceran dilakukan sesuai dengan keperluan penelitian, biasanya hingga pengenceran 10-5. Sebanyak 1 ml larutan contoh dari pengenceran 10-2 sampai 10-5 dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media nutrient agar (dengan suhu ruang, + 30.5oC) dimasukkan ke dalam cawan petri sebanyak 0.5 ml dan digoyangkan sampai permukaan agar merata dan didiamkan beberapa saat hingga mengeras. Cawan petri yang telah berisi agar dan larutan contoh dimasukkan ke dalam inkubator dengan posisi terbalik. Suhu inkubator yang digunakan adalah sekitar 32oC dan diinkubasi selama 48 jam. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menghitung jumlah koloni yang terbentuk di dalam cawan petri. Seluruh pekerjaan dilakukan secara aseptik untuk mencegah kontaminasi yang tidak diinginkan dan pengamatan secara duplo untuk meningkatkan ketelitian. Jumlah koloni bakteri yang dihitung adalah cawan petri yang mempunyai koloni bakteri antara 30-300 koloni.
3.5.3
Uji total bakteri penghasil histamin (SNI 01-2360-1991)
Prinsip dari metode ini adalah Enterobactericeae akan merubah histidin menjadi histamin melalui proses dekarboksil yang akan menaikkan pH dan mengakibatkan perubahan warna pada media. Larutan niven agar disiapkan dengan cara mencampurkan semua bahan, yaitu 0,1 % trypton, 0,2 % yeast ekstrak, 0,1 % L-histidin, 0,1 % CaCO3, 2 % NaCl, 2,5 % agar, 0,01 % phenol red, kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan diencerkan dengan aquades kemudian dipanaskan hingga mendidih dan diatur pH 6-6,1 lalu disterilisasi pada suhu 121oC selama 2 jam. Sampel diencerkan sampai 105. Sebanyak 1 ml larutan sampel dari setiap pengenceran dimasukkan ke dalam dala m cawan petri, lalu niven agar a gar cair (dengan suhu s uhu ruang, + 30.5oC) dituangkan keatasnya, ditunggu sampai membeku kemudian diinkubasi pada suhu 35oC selama 2-3 hari. Dihitung jumlah koloni merah muda dengan latar belakang kuning dan orange .
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Tahapan Proses Pembongkaran
Penanganan Penanganan
Ikan
Tuna
di
Tempat
Transit
Penanganan ikan tuna setelah penangkapan atau pascapanen memegang peranan sangat penting dalam memperoleh nilai jual ikan yang maksimal. Salah satu faktor yang menentukan nilai jual ikan tuna adalah tingkat kesegaran. Semakin segar ikan sampai ke tangan pembeli atau konsumen maka harga jual ikan akan semakin tinggi. Kesegaran ikan tuna dapat dilihat dari penampakan, bau, warna daging, dagi ng, serta teksturnya. teks turnya. Pada dasarnya, das arnya, untuk mendapatkan ikan ika n yang memenuhi tujuan ekspor diperlukan penanganan yang baik saat operasi penangkapan,
pembongkaran
(penanganan
di
pelabuhan),
serta
proses
transportasinya. Penanganan saat operasi penangkapan merupakan penanganan awal. Batasan penanganan ini adalah sejak ikan tertangkap sampai didaratkan di pelabuhan. Perlakuan ikan tuna saat penanganan diharapkan tidak menimbulkan kerusakan fisik, perubahan komposisi kimia dan mikrobiologi sehingga dapat memperlambat proses pembusukan. Penanganan ikan yang baik sangat diperlukan dalam upaya menjaga kualitas serta kesegaran ikan yang diperoleh. Penanganan saat di pelabuhan (pembongkaran dan transit) merupakan penanganan lanjutan setelah ikan tiba di pelabuhan. Batasan penanganan ini adalah ikan sejak didaratkan sampai didistribusikan, baik untuk keperluan ekspor maupun pemenuhan kebutuhan lokal. Penanganan ikan pada saat pembongkaran dan pemindahan ke tempat transit dilakukan secara hati-hati, bersih, cepat dan dingin. Hal ini mengingat ikan merupakan produk yang mudah dan cepat membusuk jika tidak ditangani secara benar. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor dapat dilihat pada Gambar 6.
Pembongkaran ikan tuna
Pemindahan ke transit
Sortasi (seleksi)
Transportasi ke perusahaan
Pembersihan sisa isi perut dan bagian insang
Pencucian
Penimbangan dan pencatatan
Penyimpanan dalam bak berisi es
Pengujian laboratorium
Pengiriman ekspor Gambar 6. Penanganan tuna segar dari proses pembongkaran sampai ekspor Keterangan :
= Awal proses dan proses akhir = Tahapan proses
Tahapan proses penanganan ikan tuna yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1)
Pembongkaran ikan tuna Ikan tuna yang didaratkan pada lokasi transit 20 adalah ikan tuna jenis yellowfin tuna (Thunnus albacares ) dan big eye tuna (Thunnus obessus ). Ikan
tuna didaratkan dalam bentuk ikan utuh yang sudah disiangi isi perut dan insangnya dengan menggunakan kapal berkapasitas sampai dengan
80
gross ton (GT). Daerah penangkapan ikan tuna meliputi perairan Samudra Indonesia, pantai utara Jawa, dan perairan selatan Jawa hingga mencapai
wilayah Sulawesi. Kapal penangkap tuna yang digunakan sudah dilengkapi dengan sistem pendingin refrigerated sea water (RSW). Waktu yang digunakan untuk melaut adalah 25 hari sampai dengan 6 bulan. Jumlah ikan yang berhasil didaratkan setiap kali operasi mencapai 100-600 ekor ikan tuna. Kualitas ikan tuna dapat dipertahankan apabila penanganan yang diterapkan di atas kapal dilakukan dengan hati-hati, bersih, cepat dan dingin. Ikan tuna yang didaratkan dalam keadaan dingin, dengan maksimal suhu ikan adalah 2oC (pengukuran menggunakan thermo cople). 2)
Pembongkaran Pembongkaran ikan dari palka kapal dilakukan setelah kapal merapat ke tempat pembongkaran. Proses pembongkaran fresh tuna dilakukan pada pagi hari sekitar jam 09.00 WIB sampai dengan 14.00 WIB. Pembongkaran ikan tuna dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan alat katrol dan tali tambang. Proses pengangkatan ikan satu persatu dari palka kapal dan dipindahkan ke bagian geladak, kemudian ikan disemprot dengan air bersih.
3)
Pemindahan ikan tuna ke transit Ikan tuna yang sudah dibongkar dipindahkan ke tempat transit yang telah tersedia. Lokasi pendaratan ikan tuna di Muara Baru berjumlah 28 transit. Proses pemindahan ikan diperlukan fasilitas khusus, yaitu atap plastik dan papan peluncur. Fasilitas ini untuk melindungi ikan agar tidak terkena sinar matahari langsung, karena jarak kapal yang bersandar di dermaga dengan tempat transit cukup jauh, yaitu + 100 meter. Ikan yang sudah dikeluarkan dari palka diangkat ke geladak, diangkut satu persatu ke papan peluncur. Penarikan dilakukan oleh dua orang, satu orang bertugas menarik ikan ke papan peluncur dan satu orang lagi mendorong ikan masuk ke dalam ruangan transit.
4)
Sortasi (seleksi) Sortasi ikan ditujukan untuk mengklasifikasi ikan tuna segar yang memenuhi
persyaratan
kualitas
ekspor.
Faktor-faktor
yang
dapat
menyebabkan perbedaan tersebut adalah adanya perbedaan waktu kematian,
cara kematian, cara penanganan, sanitasi, lama melaut serta penerapan rantai dingin. Proses sortasi dilakukan secara organoleptik (penampakan, kulit, mata, tekstur dan kekenyalan daging, serta warna daging). Penilaian organoleptik tekstur, kekenyalan, serta warna, dilakukan terhadap sampel daging ikan yang diambil dari bagian ekor dan belakang sirip ventral, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerusakan fisik terhadap ikan tuna yang akan di ekspor. Kualitas mutu ikan tuna pada tempat transit dibedakan menjadi empat kategori, yaitu grade/kualitas A, B, C, dan D. Kegiatan sortasi dilakukan oleh seorang pemeriksa (checker ) dengan menggunakan alat coring tube yaitu semacam alat yang berbentuk batang, tajam dan terbuat dari besi.
Pengambilan sampel dilakukan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) dengan cara menusukan coring tube ke tubuh ikan, sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna. Perbedaan klasifikasi mutu daging ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9, dan 10. 1) Mutu I (A)
Gambar 7. Daging ikan tuna grade A hasil checker
Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut: •
Warna daging untuk yellowfin tuna adalah merah, seperti darah segar atau buah semangka, sedangkan bigeye tuna merahnya seperti bunga mawar yang berwarna merah tua, pelangi ( ya ke) tidak ada
•
Mata bersih, terang, dan menonjol
•
Kulit normal, warna bersih, dan cerah
•
Tekstur daging keras, kenyal dan elastis ( yellow fin) sedangkan bigeye tekstur dagingnya lembut kenyal, dan elastis
•
Kondisi ikan (penampakannya) bagus atau utuh
2) Mutu II (B)
Gambar 8. Daging Ikan tuna grade B hasil checker Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut: •
Warna daging merah, terdapat pelangi ( ya ke), otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah
•
Mata bersih, terang dan menonjol
•
Kulit normal, bersih, sedikit lendir
•
Tidak ada kerusakan fisik (utuh)
3) Mutu III (C)
Gambar 9. Daging ikan tuna grade C hasil checker Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: •
Warna daging kurang merah, ada pelangi ( ya ke)
•
Kulit normal dan berlendir
•
Otot daging kurang elastis
•
Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, biasanya pada bagian punggung/dada
4) Mutu IV (D)
Gambar 10. Daging ikan tuna grade D hasil checker
Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut : •
Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar
•
Otot daging kurang elastis, lemak sedikit dan ada pelangi ( ya ke)
•
Teksturnya lunak, jaringan daging pecah
•
Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan (seperti: daging ikan yang sudah sobek, mata ikan hilang dan kulit terkelupas)
Ikan tuna yang memiliki kualitas mutu A dan B akan langsung di ekspor dalam bentuk utuh dan fresh (tidak dibekukan terlebih dahulu), sedangkan ikan dengan kualitas mutu C dan D akan diolah terlebih dahulu sebelum diekspor. Produk olahan tuna kualitas C dan D berupa produk beku dalam bentuk utuh disiangi ( frozen whole gilled and gutted ), loin ( frozen loin), steak ( frozen steak ), tuna saku dan produk tuna kaleng (canned tuna).
Negara tujuan ekspor produk fresh tuna adalah Jepang dan Uni Eropa, sedangkan untuk produk olahan tuna adalah Amerika Serikat. 5)
Tranportasi ikan ke perusahaan Ikan yang telah disortasi kemudian diangkut menuju perusahaan untuk diproses lebih lanjut (pembentukan loin, saku, dan lain-lain). Hanya ikan-ikan yang memenuhi kriteria yang dibutuhkan oleh perusahaan X yang akan dibeli yaitu ikan dengan grade B dan C. Ikan kemudian dimasukkan dalam truk berinsulasi dan langsung dibawa menuju perusahaan.
6)
Pembersihan sisa isi perut, bagian insang dan pencucian Ikan tuna yang memenuhi kualitas ekspor diproses selanjutnya dengan membersihkan sisa bagian isi perut dan insang. Pembuangan isi perut dan insang akan menyebabkan ikan kotor karena darah, oleh karena itu untuk menghilangkannya perlu dilakukan proses pencucian. Proses pencucian ini dilakukan dengan menyemprotkan air secukupnya menggunakan selang hingga ikan bersih dari kotoran dan sisa darah yang masih menempel.
7)
Penimbangan dan pencatatan Tahap selanjutnya adalah penimbangan dan pencatatan. Penimbangan dilakukan dengan melihat bobot, jenis dan kualitas ikan tuna. Ikan tuna
ditimbang dan dicatat beratnya sebagai laporan perusahaan. Tahapan penimbangan ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Tahap penimbangan ikan tuna 8)
Penyimpanan dalam bak es Penyimpanan ikan tuna dilakukan sebelum proses pengiriman (ekspor). Tujuannya adalah menjaga agar suhu tubuh
ikan tuna tidak naik.
Penyimpanan dilakukan dengan menyusun ikan tuna dalam wadah atau bak penampung yang besar yang telah berisi es dengan suhu 2 oC. Ikan tuna disimpan berdasarkan kualitas dan jenis ikan tuna. Penyimpanan ikan tuna dalam bak es dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 12. Penyimpanan ikan tuna dalam bak dengan penambahan es
9)
Pengujian laboratorium Pengujian secara kimia dan mikrobiologi dilakukan untuk mengetahui apakah ikan tuna yang akan diekspor sudah memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pengujian ini dilakukan oleh Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan DKI Jakarta, Pluit Jakarta Utara. Pengujian yang dilakukan adalah uji kimia (uji histamin, TVB, kandungan logam berat) dan mikrobiologis (total Plate Count /TPC). Sampel ikan tuna yang telah lolos pengujian dan telah dinyatakan memenuhi persyaratan ekspor akan mendapatkan Sertifikat mutu Ekspor (SME).
Hasil
pengujian
sampel
memerlukan waktu minimal dua hari setelah sampel pertama kali diambil. 10) Pengemasan Ikan tuna yang telah memenuhi hasil pengujiannya telah memenuhi persyaratan
laboratorium,
selanjutnya
dikemas.
Produk
tuna
segar
dikeluarkan dari wadah/bak penyimpanan, lalu dikeringkan sebelum dikemas. Proses pengeringan ini menggunakan busa/spons sehingga menghasilkan ikan yang bersih dan kering. Bahan pengemasan yang digunakan sesuai dengan SNI kemasan untuk produk ikan segar ( fresh fish) khusus melalui sarana angkutan udara yaitu SNI 19-4858-1998 yang telah dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional, kemasan yang digunakan adalah kemasan tipe III dan V. Kemasan tipe III mempunyai ukuran 750x420x400 mm, kemasan ini digunakan untuk ikan berukuran besar (satu kemasan hanya untuk 1 ekor ikan dengan batas maksimal 35 kg). Kemasan tipe V dengan ukuran
1200x420x400 mm.
Kemasan ini digunakan untuk ikan yang berukuran sedang, yaitu
satu
kemasan biasanya berisi 2-3 ekor ikan, dengan batas maksimal 80 kg kedalam kemasan dimasukan beberapa potong es kering, agar suhu dalam kemasan tetap rendah selama pengiriman. 4.2. Penilaian Sanitasi, Higiene dan Kelayakan Dasar
Penilaian sanitasi, higiene serta kelayakan dasar dilakukan terhadap tiga tempat, yaitu penilaian terhadap kapal pembekuan selama proses pembongkaran, tempat pendaratan/pembongkaran ikan, serta selama distribusi/transportasi. Dasar
hukum penilaian adalah keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan nomor :
KEP.01/MEN/2007, tentang persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi (DKP 2007). 4.2.1 Penilaian sanitasi selama proses pembongkaran
Penilaian dilakukan terhadap kapal penangkapan KM Jimmy Wijaya. Kapal tersebut merupakan salah satu unit operasional kapal penangkapan yang mendistribusikan ikan tuna pada tempat transit 20. 1) Kondisi sanitasi tempat penerimaan ikan Kapal sudah memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan (lebar geladak kapal 5-6 meter), terdapat terpal yang menutupi bagian atas kapal pada saat proses pembongkaran dilakukan, akan tetapi kondisi sanitasi kapal dalam keadaan kurang baik, yaitu ikan diletakkan pada lantai yang tidak kedap air (maksimal dilakukan selama 10 menit), kondisi ini dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi ikan tuna hasil tangkapan selama dalam proses pembongkaran. Kondisi lantai kapal pada saat pembongkaran dapat dilihat pada Gambar 13. Kapal penangkapan harus memiliki tempat penerimaan ikan dalam kondisi yang baik/bersih, memiliki luas yang cukup untuk penanganan ikan, terlindung dari lingkungan dan potensi kontaminasi, memiliki permukaan kapal yang mudah dibersihkan, tersedia air bersih, serta memiliki saluran pembuangan air yang memadai (DKP 2007). .
Gambar 13. Kondisi permukaan kapal pada saat pembongkaran
2) Alat pengangkutan ikan dan kondisi lingkungan kerja Kondisi kapal tidak memiliki sarana pencucian tangan berupa kran yang dioperasikan tidak dengan tangan (contoh: bisa dioperasikan dengan kaki), biasanya awak kapal atau pekerja menggunakan air langsung dari selang untuk mencuci tangan, terkadang tidak mencuci tangan dengan menggunakan sabun. Kondisi ini tidak sesuai dengan persyaratan atau standar yang dikeluarkan oleh DKP. Alat pengangkutan ikan dijaga agar tetap dalam kondisi higienis dan melindungi ikan secara keseluruhan. Kondisi lingkungan kerja harus dalam keadaan bersih sehingga mencegah terjadinya kontaminasi silang, bahan lantai tidak licin/kedap air dan mudah dibersihkan serta memiliki saluran pembuangan air yang efisien. Harus tersedia sarana pencucian tangan dan disinfektan (kran tidak dioperasikan dengan tangan, pengering sekali pakai, menggunakan sabun/desinfektan) (DKP 2007). 3) Bahan dan wadah pendinginan/penyimpanan beku Proses penanganan ikan di kapal sudah memanfaatkan wadah yang hanya digunakan untuk menyimpan ikan tuna hasil tangkapan. Penyimpanan ikan tuna dilakukan dalam palka kapal. Hal ini sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan DKP. Wadah penyimpanan hanya digunakan untuk menyimpan ikan, mudah dibersihkan dan cukup memadai, masing-masing produk disimpan terpisah, serta bahan pengemas disimpan dalam ruangan terpisah (jika langsung dilakukan pengemasan hasil tangkapan) (DKP 2007). Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 14. Palka penyimpanan ikan tuna hasil tangkapan 4) Ruang ganti dan toilet Letak toilet di kapal terpisah dengan area kerja, namun tidak dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis. Hal ini akan mempengaruhi sanitasi toilet dan higiene pekerja kapal yang menggunakannya. Awak/pekerja kapal biasanya langsung membuang kotoran toilet ke laut. Persyaratan toilet yang baik adalah tidak berhubungan langsung dengan area kerja. Toilet dilengkapi dengan sarana pembilas/pembuangan otomatis, tersedia sabun dan desinfektan, serta memiiki kran untuk pencucian tangan yang tidak dioperasikan dengan tangan (DKP 2007). 5) Higiene peralatan Ikan diangkat dari wadah penyimpanan untuk dinaikan ke bagian geladak kapal. Kondisi katrol masih dalam keadaan cukup baik dan layak digunakan, namun beberapa alat penangkapan yang digunakan kurang dirawat dan dijaga kebersihannya, sehingga banyak yang sudah berkarat. Alat harus dijaga kebersihannya dan dirawat dengan baik, hal ini bertujuan untuk mencegah kontaminasi silang pada produk melalui peralatan yang digunakan. Pembongkaran ikan dilakukan dengan menggunakan sistem katrol. 6) Higiene pekerja Sanitasi kapal dan higiene pekerja kapal pada saat proses pembongkaran dalam keadaan yang buruk. Terlihat dari kondisi lantai yang digunakan untuk meletakan ikan dalam keadaan kotor serta kondisi pekerja kapal jauh dari higienis.
Masih ada pekerja yang tidak menggunakan sepatu boat pada saat melakukan proses pembongkaran, tidak ada yang memakai penutup kepala, serta masih ada pekerja yang merokok di kapal pada saat proses pembongkaran ikan tuna. Higiene pekerja harus benar-benar diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar pekerja yang menangani produk tidak menjadi sumber kontaminasi. Persyaratan bagi pekerja yaitu harus menggunakan pakaian kerja yang lengkap dan bersih, rambut harus ditutup dengan penutup kepala yang rapat, bersih dan dalam kondisi yang baik, tangan dicuci setiap kali akan memulai kerja, serta pekerja dilarang merokok, meludah dan makan di area penyimpanan serta harus dilengkapi rambu-rambu tanda larangan tersebut (DKP 2007).
4.2.2. Penilaian sanitasi dan higiene di tempat pendaratan/transit ikan
Penilaian dilakukan di tempat yang menjadi penampung ikan tuna PT X, yaitu Transit 20.
Berikut merupakan penilaian tempat pembongkaran transit
tempat penelitian (transit 20). 1) Perlindungan terhadap produk Selama
proses
pembongkaran
dari
palka
di
kapal
dan
selama
pengangkutan dari kapal ke dalam transit 20, ikan terlindung dari kondisi cuaca (sinar matahari dan lainya), hal ini diupayakan agar ikan selalu terlindung dari sengatan matahari yang dapat menyebabkan kenaikan suhu ikan sehingga menurunkan kualitasnya. Bagian atas palka kapal dilengkapi penutup dari terpal atau plastik untuk melindungi tempat pembongkaran tersebut, sedangkan sepanjang papan peluncur digunakan penutup semacam tenda seperti yang terlihat pada Gambar 14.
Gambar 15. Papan peluncur yang dilengkapi dengan penutup Selama penanganan ikan tuna di kapal terdapat penyimpangan mayor, dan penyimpangan serius. Penyimpangan mayor terdapat pada aspek perlindungan terhadap produk ini, yaitu tidak ada perlindungan ikan pada saat pembongkaran dikapal dari debu dan gas dari mesin , hal ini penting karena debu dan gas dapat mengkontaminasi ikan. Hal ini juga diperburuk oleh banyaknya asap dari mobil yang digunakan untuk membawa ikan hasil tangkapan ke perusahaan. Penyimpangan minor terjadi pada area perlindungan terhadap produk, karena tidak diberi pagar dengan sistem pengunci. Penguncian dimaksudkan untuk mencegah masuknya orang yang tidak berkepentingan, serta mencegah terdapatnya binatang di dalam area transit. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang terhadap produk ikan tuna yang didaratkan. Penyimpangan serius terjadi pada saat pengangkutan ikan dari kapal menuju tempat transit menggunakan papan peluncur, yaitu membiarkan selama beberapa waktu ikan terkena sinar matahari secara langsung sekitar 3-5 menit, hal ini sangat berbahaya karena dapat meningkatkan suhu tubuh ikan (2-3oC). Peningkatan suhu tubuh sangat berpeluang untuk mengaktifkan enzim autolisis serta mikroorganisme yang telah diinaktifkan melalui proses pendinginan. Penyimpangan selama proses pengangkutan dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Contoh penyimpangan dalam proses pengangkutan ikan tuna 2) Konstruksi dan kondisi bangunan Kontruksi dan kondisi bangunan tempat transit ikan sudah cukup baik. Bangunan mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang kedap air, mempunyai permukaan yang halus serta dirawat dengan baik. Sanitasi ruangan tempat transit ikan kurang baik walaupun lantainya terbuat dari bahan yang kedap air. Hal ini terlihat dari adanya genangan air yang cukup banyak. Genangan air ini karena adanya sisa-sisa penyemprotan ikan untuk membersihkan darah dan kotoran pada ikan yang baru datang. Genangan tersebut merupakan sumber kontaminan mikroorganisme dari campuran air yang terdapat dalam darah dan kotoran, seharusnya dilakukan pembersihan genangan air yang terbentuk setiap kali proses pencucian dilakukan. Kondisi tempat transit dapat dilihat pada Gambar 17.
Gambar 17. Kondisi tempat transit ikan tuna 3) Es Selama proses penanganan ikan tersedia es dalam jumlah yang cukup. Es diproduksi oleh perusahaan sendiri. Es yang digunakan adalah es curah. Penggunaan es sangat penting karena berfungsi menjaga stabilitas suhu ikan sehingga kualitas ikan tetap terjaga. 4) Penanganan limbah Terdapat saluran air pembuangan limbah pada transit 20. Limbah berupa air hasil pencucian yang dilakukan terhadap ikan. Limbah pembuangan juga dapat berasal dari pembuangan daging ikan yang diambil oleh checker untuk penentuan kualitas mutu ikan yang didaratkan. Pada aspek penanganan limbah terjadi penyimpangan minor , yaitu tidak tersedianya wadah limbah yang diberi tutup. Penggunaan tutup wadah limbah dimaksudkan untuk mencegah datangnya serangga ke area transit ikan. 5) Toilet dan tempat cuci tangan Hasil penilaian, menunjukkan bahwa telah terjadi dua penyimpangan minor, satu penyimpangan mayor dan dua penyimpangan serius. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat pendaratan/transit ikan.
Penyimpangan serius terjadi pada aspek penilaian toilet dan tempat cuci tangan. Jumlah toilet dan tempat cuci tangan tidak cukup dan terkadang tidak dilengkapi dengan sabun dan pengering sekali pakai (tissue). Sabun berfungsi sebagai desinfektan untuk membersihkan kotoran. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tempat pendaratan/transit 20 termasuk ke dalam grade/nilai B (kriteria B didapat dari hasil penilaian kelayakan dasar dengan
maksimal terjadi dua pelanggaran serius). Grade B adalah tingkat sertifikat menengah, dengan persyaratan maksimal terdapat dua kriteria penyimpangan serius. Suatu perusahaan unit pengolahan dengan grade B dapat melakukan ekspor ke negara yang menerapkan HACCP, kecuali ke Uni Eropa.
4.2.3. Penilaian distribusi/pengangkutan
Ikan grade C dan D dari tempat transit dibawa ke
PT. X dengan
menggunakan truk pengangkut. Penilaian kondisi sanitasi yang berhubungan dengan kontruksi dan pelaksanaan higiene
di truk pengangkut yang digunakan
untuk membawa ikan ke PT. X sebagai berikut: a) Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup Tempat ikan, boks atau lori yang tertutup pada truk pengangkut PT. X sudah memenuhi persyaratan, yaitu mudah dibersihkan (karena terbuat dari fiber glass),
higienis
dan
layak
digunakan
serta
mudah
dirawat.
Berbagai
penyimpangan yang teridentifikasi, yaitu truk tidak dilengkapi dengan saluran pembuangan air, serta keadaannya kurang bersih (banyak sisa kotoran dan lelehan es dari ikan yang diangkut). Hal ini sangat memungkinkan untuk terjadinya kontaminasi bakteri dari kotoran tersebut. Seharusnya setelah boks digunakan untuk mengangkut ikan pertama kali langsung dibersihkan, disemprot dengan air bersih, didesinfeksi sebelum perlengkapan tersebut digunakan kembali. b) Truk berpendingin Truk yang digunakan oleh PT. X tidak memenuhi persyaratan, karena truk yang dipakai tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Kondisi ini sangat merugikan karena dapat meningkatkan suhu ikan yang dibawa sehingga memungkinkan terjadinya aktifitas bakteri pembusuk dan peningkatan kandungan histamin pada ikan. Perjalanan selama pengangkutan ke perusahaan dilakukan
selama 5-10 menit. Truk yang digunakan untuk mengangkut ikan hasil tangkapan ke perusahaan seharusnya memiliki sistem pendingin. Sistem pendingin tersebut mampu mencapai suhu -18oC dan suhunya tercatat serta mudah untuk dibaca dari luar. c) Proses memuat dan membongkar Proses memuat dan membongkar ikan harus dilakukan secara cepat dan higienis.
Hal
mikroorganisme
ini
dimaksudkan
penyebab
agar
penyakit
mencegah dan
terjadinya
meminimalkan
kontaminasi pertumbuhan
mikroorganisme penyebab kebusukan. Karyawan PT. X sudah melakukan proses memuat dan membongkar ikan secara cepat. Ikan ditimbang dan langsung dimasukkan ke dalam truk pengangkut, segera setelah tempat penyimpanan di dalam truk penuh, ikan langsung dibawa ke pabrik. Waktu yang diperlukan untuk membawa ikan dari tempat transit menuju pabrik adalah + 5 menit. Proses ini kurang dilakukan secara higienis pada situasi saat memuat dan membongkar ikan. Banyak pekerja yang menggunakan peralatan dalam keadaan kotor seperti pakaian dan sepatu bot serta keadaan pekerja yang kurang bersih, selain itu ada beberapa tindakan pekerja yang merokok pada waktu melakukan pekerjaan, keadaan ini lebih lanjut dapat mengurangi tingkat kualitas ikan tuna. d) Pengendalian sanitasi dan hygiene Penyimpangan pada proses memuat dan
membongkar yang dilakukan
oleh pekerja PT. X, yaitu lori pengangkut tidak selalu dibersihkan setelah digunakan, serta tidak adanya pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan, serta tidak adanya pemeriksaan medical check up secara berkala. Sanitasi sangat berkaitan dengan kondisi lingkungan truk pengangkut, sedangkan higiene berkaitan dengan kondisi para pekerja dalam melakukan proses memuat dan mengangkut ikan. Sanitasi dan higiene yang buruk tidak mampu untuk menghindari terjadinya kontak makanan dengan serangga atau kontaminan lainnya. Kontaminan tersebut akan menyebabkan semakin banyak peluang masuknya mikroba dalam ikan. Pengendalian sanitasi dan higiene yang harus dilakukan pada proses memuat dan membongkar ikan dalam truk pengangkut, antara lain: pembersihan lori sebelum dan sesudah digunakan, pembersihan kendaraan secara berkala, oli
dan bahan bakar ditempatkan terpisah dari ikan, pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan, melakukan medical check up yang dijadwalkan, melakukan kebersihan secara umum, serta pengendalian suhu. Berdasarkan penilaian tersebut, dapat diketahui bahwa truk/mobil pengangkut yang dipakai tidak layak untuk digunakan, sehingga harus dilakukan perbaikan (terutama sistem pendingin pada truk/mobil). 4.3. Penilaian Risiko Bahaya Histamin pada Tahapan Pembongkaran, Transit dan Distribusi ke Perusahaan yang Berisiko Terhadap Peningkatan Kadar Histamin
Histamin dapat berkembang jika penanganan tidak dilakukan secara hatihati, dingin dan cepat. Perkiraan efek atau bahaya histamin ikan tuna yang timbul selama proses pembongkaran, transit dan transportasi ke perusahaan dapat dilakukan dengan menggunakan risk assessment yaitu dengan melihat hazard identification,
exposure
assessment,
hazard
characterization,
dan
risk
characterization. 4.3.1 Hazard identification Hazard identification merupakan tahap pertama dalam risk assessment. Hazard identification merupakan identifikasi agen biologi, kimia, dan fisika yang
mampu menyebabkan efek kerugian bagi kesehatan yang mungkin terdapat pada makanan khusus atau kelompok dari berbagai sumber pangan. Hal ini merupakan proses pencarian untuk menganalisa bahaya yang nyata pada bahan pangan tertentu, seperti bahaya histamin pada ikan
golongan
Scombroid, sehingga
hazard identification merupakan pencarian pendahuluan untuk mencari sumbersumber bahaya (Sumner et al. 2004). Dalam bidang industri tuna pada penelitian ini dilakukan terhadap bahaya histamin, hal ini disebabkan ikan tuna memiliki kandungan histidin bebas yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies lainnya (15 g/kg) (Keer et al 2002). Histamin merupakan senyawa kimia amin biogenik yang terbentuk melalui reaksi dekarboksilasi histidin oleh enzim histidin dekarboksilase (Pubchem 2005). Histamin
memiliki
struktur
molekul
C5H11Cl2 N3
dengan
nama
IUPAC
2-(3H-imidazol-4-yl) ethamine dihydrochloride dengan berat molekul 184. Satuan
kadar histamin dalam daging tuna dinyatakan dalam
mg/100gr, mg % atau
ppm mg/1000 g) (Kimata 1961; Taylor 1983). Keracunan histamin terhitung lebih dari 50 % dari insiden keracunan pangan yang berhubungan dengan konsumsi ikan dan makanan laut. Penyakit ini merupakan penyakit paling umum yang berhubungan dengan konsumsi ikan di UK. Ikan segar normal mengandung kurang dari 1 mg/100 g histamin, pada level 20 mg/100 g dalam beberapa spesies ikan dilaporkan dapat memproduksi simptom. Di USA, antara 1973 dan 1986, terlibat 178 kejangkitan keracunan scombrotoxin dari 1096 kasus dilaporkan CDC’s Food Disease Outbreak Surveillance System. Ikan laut yang paling umum menyebabkan terjadinya
keracunan scombrotoxin adalah mahi-mahi, tuna dan bluefish. Di Inggris, terjadi 100 kasus keracunan histamin pada rentang waktu tahun 1976 sampai 1982 akibat konsumsi ikan golongan Scombroid. Di Jepang dari tahun 1970 sampai tahun 1980 terjadi 43 kasus keracunan histamin akibat konsumsi ikan golongan scombroid . Di Amerika Serikat , keracunan histamin dari tahun 1969 sampai 1979 terjadi 74 kasus akibat konsumsi ikan golongan Scombroid , dan dari 74 kasus keracunan histamin, 24 diantaranya disebabkan
konsumsi ikan tuna (Taylor 1983). Jepang, Amerika Serikat (USA), dan Inggris Raya (United Kingdom, UK) merupakan negara dengan jumlah tertinggi yang menderita keracunan histamin. Keracunan histamin juga dilaporkan terjadi pada negara-negara Eropa, Asia, Kanada, Selandia Baru ( New Zealand ), dan Australia (Sumner et al. 2004). Pada periode tahun 1990 - 2000, jumlah yang menderita keracunan histamin dari ikan di Amerika Serikat sebanyak 103 orang, pada periode tahun 1992 – 1999 jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Inggris Raya (UK) sebanyak 32 orang, sedangkan periode tahun 1990 – 2000, jumlah yang terserang keracunan histamin dari ikan di Australia sebanyak 31 orang (Sumner et al. 2004). Laporan FDA tahun 2001-2005 menunjukan adanya penolakan berbagai produk tuna Indonesia, karena kasus tingginya kadungan histamin dan logam berat. Laporan FDA pada bulan April-Desember 2007 menunjukan adanya 313 kasus penolakan ekspor produk perikanan asal Indonesia dan 14 diantaranya terjadi karena masalah histamin (Sugandhi 2007).
Pembentukan histamin berbeda-beda untuk setiap spesies dan biasanya tergantung
pada
kandungan
histidin,
jenis
dan
jumlah
bakteri
yang
mengkontaminasi, suhu pasca panen yang menunjang pertumbuhan dan reaksi mikroba, pada cara penanganan dan penyimpanan ikan (Pan 1984). Kadar histamin tertinggi terdapat pada bagian depan
tubuh ikan (depan
perut),
sedangkan terendah terdapat pada bagian ekor (Lerke et al. 1978). Suhu optimum pembentukan histamin adalah 25oC (Kim et al. 1999 diacu dalam Sumner et al. 2004). Dalam kondisi optimum, jumlah maksimum yang dihasilkan melalui autolisis tidak lebih dari 10-15 mg/100gr daging (Kimata 1961). Ada dua macam histidin dalam daging ikan, yaitu histidin bebas dan histidin yang terikat dalam protein dan hanya histidin bebas sebagai asam amino bebas yang dapat mengalami dekarboksilase menjadi histamin (Kimata 1961;Taylor 1983). Potensi pembentukan
histamin meningkat ketika daging ikan secara
langsung terekspos dengan bakteri pembentuk histamin. Ini terjadi ketika ikan diproses pada saat pemotongan/pemfilletan. Pembekuan selama beberapa waktu dapat
menginaktifkan
bakteri
histidin
dekarboksilase
sehingga
mampu
mengeleminasi potensi untuk perkembangan histamin selanjutnya. Penelitian terbaru menyatakan, jika produksi histamin meningkat, pembentukan histamin dapat berlanjut bahkan dalam kondisi penyimpanan beku. Pemasakan dapat menginaktifkan enzim dan bakteri. Sekali toksin dibentuk, tidak dapat hilang dengan panas (termasuk retorting). Kondisi optimum untuk aktifitas enzim histidin dekarboksilase tidak seutuhnya
jelas, sebagian besar karena banyak faktor yang perlu ditafsirkan,
termasuk propogasi sel bakteri, konsentrasi sel awal dan komposisi awal mikroflora. Substrat-spesifik enzim dekarboksilase dari mikroba dalam makanan menciptakan produksi amin dalam makanan, tapi kecepatan produksi tidak berpengaruh langsung dengan pertumbuhan bakteri. Keberadaan histamin dalam jumlah besar pada ikan yang mengalami pembusukan dapat menyebabkan keracunan atau kematian, khususnya untuk ikan golongan scombroid. Konsumsi makanan yang mengandung sedikit histamin akan memberikan efek yang kecil bagi manusia. Hal ini disebabkan karena sistem intestinal tubuh manusia mengandung enzim DAO dan HMT yang akan
mendegradasi
histamin
menjadi
produk
yang
tidak
berbahaya
seperti
imidazoleacetic, methylhistamin, methylimidazole acetic acid, imidazole acetic acid riboside dan acetylhistamin.
Histamin terutama dipecah oleh dua enzim, histamin metil transferase (HMT) dan diamin oksidase (DAO), membentuk N-metil histamin dan asam asetat imidazole. Monoamin oksidase kemudian mendegradasi N-metil histamin menjadi N-metil imidazole asam asetat sebagai metabolit primernya. Hanya kurang dari 50 % histamin yang direcovery dari manusia adalah dalam bentuk ini. Histamin metil transferase ditemukan di seluruh tubuh, termasuk dalam sel langerhans, sel alveolar dan ginjal. Histamin metil transferase juga merupakan enzim utama yang bekerja pada histamin dalam perut. Pemecahan histamin oleh DAO tidak hanya memproduksi imidazol asam asetat, tapi juga memproduksi hidrogen proksida, yang dapat membentuk radikal bebas dan menyebabkan peroksidase lipid. Aktifitas diamin oksidase telah ditemukan dalam aktifitas tinggi dan rendah dalam ileum, jejunum, caecum dan kolonticus. 4.3.2. Exposure assessment (penaksiran bahaya) Exposure assessment merupakan evaluasi kualitatif dan kuantitatif dari
kemungkinan adanya agen kimia, biologi dan fisika yang masuk melalui makanan seperti halnya dari sumber lain yang terkait. Exposure assessment adalah suatu proses untuk melihat atau memperkirakan bahaya histamin dari beberapa faktor yang mempengaruhinya. Exposure assessment dapat diketahui dari berbagai informasi mengenai perkembangan kadar histamine selama proses pembongkaran, selama di transit, dan transportasi menuju perusahaan, serta informasi tingkat konsumsi produk dan keadaan masyarakat atau populasi yang mengkonsumsi produk tersebut. 4.3.2.1. Informasi mengenai kandungan histamin tuna hasil tangkapan
Kadar histamin merupakan salah satu indikator untuk menilai kualitas mutu ikan tuna. Kadar histamin yang tinggi pada produk ikan tuna dapat berubah menjadi toksin, yang disebut dengan toksin scombroid penyebab scombroid poisoning. Pada penelitian ini, informasi kadar histamin dapat dilihat dari hasil
analisis kadar histamin yang terbentuk dalam ikan tuna segar hasil tangkapan
pada berbagai kualitas mutu, serta dari data sekunder hasil pengujian histamin semua produk tuna yang dilakukan di Laboratorium Pengolahan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP) Pluit, Jakarta Utara. a) Kadar histamin berbagai kualitas mutu ikan tuna
Analisis histamin pada berbagai mutu ikan tuna, grade/kualitas A, B, C, dan D dilakukan pada penelitian ini. Grade A merupakan ikan tuna dengan kualitas terbaik yang memiliki rataan kadar histamin sebesar 1,11 ppm, grade B sebesar 1,77 ppm, grade C sebesar 2,64 ppm dan grade D sebesar 2,52 ppm. Hasil pengujian kadar histamin disajikan pada Gambar 18.
Kandungan Histamin 2,64
3,00
n i m 2,50 a t s i 2,00 H ) n m1,50 a p p g ( n 1,00 u d n 0,50 a K
2,52
1,77 1,11
0,00 A
B
C
D
Kualitas mutu tuna
Gambar 18. Kandungan histamin daging ikan tuna berbagai tingkat mutu tuna Hasil analisis histamin menunjukan bahwa kandungan histamin semakin tinggi dengan semakin menurunnya mutu ikan tuna, kecuali pada nilai histamin grade D yang lebih rendah dari nilai histamin ikan tuna grade C. Hal ini karena pemisahan kualitas mutu ikan dilakukan secara subjektif dengan melihat penampakan organoleptik ikan tuna tersebut oleh checker . Kekeliruan dalam penentuan kualitas ikan tuna antara grade C dan grade D dapat saja terjadi , karena secara organoleptik kedua grade tersebut memiliki beberapa kesamaan, terutama pada penilaian penampakan dan warna daging ikan tuna. Secara penampakan, kedua jenis grade tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain: kondisi ikan sudah tidak utuh lagi atau cacat, serta warna daging agak kurang merah/pudar, cenderung berwarna coklat dan pudar.
Jumlah histamin yang terbentuk bervariasi pada setiap jenis ikan, tergantung kepada jumlah histidinnya, tipe dan banyaknya bakteri yang menunjang pertumbuhan dan aktivitas mikroba, serta dipengaruhi oleh temperatur dan pH lingkungan. Histamin pada ikan akan terbentuk melalui proses dekarboksilasi histidin oleh enzim yang secara alami terdapat pada ikan. Pembentukan histamin oleh enzim ini berlangsung selama proses autolisis (Kimata 1961). Autolisis pada daging ikan mulai berlangsung secara biokimiawi segera setelah ikan mati terutama pada daging sekitar rongga perut. Setelah fase rigor mortis enzim dalam perut ikan aktif menguraikan komponen ikan yang menyebabkan terjadinya perubahan pada rasa, warna, tekstur, bau dan penampakan ikan (Ilyas 1993). Kadar histamin yang terbentuk pada tahap pendaratan ikan dipengaruhi oleh aktivitas dan kondisi penanganan ikan tuna di kapal. Informasi yang didapatkan dari awak kapal penangkap tuna menunjukan bahwa ikan tuna ini ditangkap dengan menggunakan sistem pancing (tuna long line). Ikan yang tertangkap akan segera dimatikan untuk mencegah penguraian ATP yang lebih cepat sehingga proses rigor mortis dapat dipertahankan lebih lama. Penanganan ikan di atas kapal penangkap diawali dengan sortasi jenis ikan, dan sortasi ukuran bila mungkin dilakukan penyiangan ikan dengan cara dibuang insang dan isi perutnya, hal ini dimaksudkan untuk mencegah proses pembusukan. Insang dan perut merupakan tempat berkumpulnya bakteri sehingga pembersihan insang dan isi perut dimaksudkan untuk menghambat kemunduran mutu ikan (Ilyas 1993). Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah menjaga agar ikan tetap dingin, bersih, tidak terluka, dan tidak terkena sinar matahari. Ikan kemudian harus disimpan pada suhu rendah (di bawah 5oC) dalam palka atau peti-peti (sebaiknya berinsulasi) dengan menggunakan es atau direfrigerasi. Prinsip yang harus dipegang dalam penanganan dan transportasi ikan adalah cepat, bersih, hati-hati dan selalu pada suhu rendah, selama penanganan dan transportasi, ikan tidak boleh terkena sinar matahari dan sedapat mungkin dihindarkan dari kerusakan fisik.
Hasil pengamatan suhu ikan menunjukan bahwa kisaran suhu ikan pada saat dikeluarkan dari palka kapal rata-rata 2oC. Ikan tuna ini sebelumnya disimpan dalam palka kapal selama + 25 hari menggunakan refrigerated sea water (RSW) sebelum didaratkan di transit. Keuntungan cara ini adalah pendinginan lebih cepat dan merata, ikan selalu basah dan tidak tergencet atau terluka, tubuh ikan tidak mengalami gesekan dengan es, serta pembongkaran ikan dapat dilakukan dengan cepat. b) Hasil pengujian kadar histamin pada Laboratorium Pengendali dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP)
Hasil pengujian produk tuna ekspor dapat dilihat pada Gambar 19. Hasil tersebut merupakan rata-rata kandungan histamin dari ikan-ikan yang diuji Laboratorium Pengendalian dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (LPPMHP), DKI jakarta selama tahun 2008 (sampai dengan bulan Oktober). Dari Gambar 19 dapat dilihat bahwa kadar histamin dari ikan-ikan tuna pada bulan Juni-Oktober 2008 kadarnya masih dibawah 10 ppm. Terjadi penurunan kandungan histamin pada ikan-ikan yang duji selama tahun 2008 dibandingkan tahun 2006. Pada bulan Januari sampai Oktober 2006 terlihat kandungan histamin pada sampel rata-rata masih diatas 20 ppm (Syukur 2008). Penurunan ini diduga terjadi karena telah dilakukan perbaikan sistem manajemen mutu oleh pihak-pihak yang terkait (DKP, pengusaha, nelayan,dan lain-lain) hal ini dilakukan terkait dengan usaha untuk memenuhi persyaratan mutu yang diterapkan oleh negara tujuan ekspor ikan tuna (Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa). Perbaikan tersebut meliputi perbaikan sistem penanganan, distribusi ataupun pengolahan ikan tuna.
Gambar 19. Diagram kadar histamin ikan tuna selama tahun 2008 Sumber : Juni-September (pengujian oleh LPPMHP, Jakarta) Oktober- November (hasil penelitian)
c) Jumlah kontaminasi mikroorganisme berbagai mutu kualitas ikan tuna
Jumlah mikroorganisme akan sangat menentukan mutu dari produk pangan. Jumlah mikroorganisme yang rendah menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dikatakan bermutu baik dan aman untuk dikonsumsi. Pada penelitian ini dilakukan analisis Total Plate Count (untuk mengetahui jumlah koloni mikroorganisme pada produk ikan tuna secara umum) dan analisis bakteri histidin dekarboksilase untuk mengetahui jumlah mikroorganisme penghasil histamin pada ikan tuna. 1) Total Plate Count
Pengukuran tingkat kesegaran ikan dapat dilihat dari banyaknya bakteri yang berkembang pada ikan (Sakaguchi 1990). Pengukuran ini menggunakan metode total plate count (TPC) yang dilakukan dengan cara menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan pada suatu media pertumbuhan (nutrient agar) dan diinkubasi selama 24 jam (Fardiaz 1984). Metode ini didasarkan pada anggapan bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi satu koloni. Pada penelitian ini, perbandingan nilai log TPC ikan tuna dengan berbagai kualitas mutu (Grade A, B, C, dan grade D) dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Histogram nilai TPC dari ikan tuna dengan berbagai kualitas mutu
Pada Gambar 20, terlihat adanya perbedaan jumlah TPC seiring dengan perbedaan mutu ikan tuna. Pada grade A, total mikroba ikan adalah 1,7x102 CFU/ml. Ikan dengan grade B sebesar 2,4 x102 CFU/ml dan grade C dan D adalah 3,9 x102 CFU/ml dan 4,1 x102 CFU/ml. Jumlah mikroba
tersebut
menunjukkan peningkatan seiring dengan penurunan mutu ikan tuna. Perbedaan kualitas tersebut karena kondisi ikan yang terus mengalami proses kemunduran mutu dan kebusukan yang diakibatkan oleh terjadinya proses autolisis dan perkembangbiakan bakteri pembusuk. Proses autolisis akan bekerja sangat cepat setelah ikan mencapai fase post rigor . Jumlah bakteri akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya proses autolisis. Jumlah awal mikroba yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan disebabkan oleh makanan, cara penangkapan, penanganan, dan perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis (FAO 1995; Junianto 2003). 2) Bakteri penghasil histamin (histidin dekarboksilase)
Bakteri yang memiliki enzim histidin dekarboksilase atau biasa disebut bakteri
penghasil
histamin,
sebagian
besar
termasuk
ke
dalam
famili
Enterobacteriaceae. Jenis bakteri tersebut antara lain : Morganella morganii,
Klebsiella pneumoniae, Hafnia alvei, Citrobacter freundii, Enterobacter aerogenes, Vibrio alginolyticus dan Proteus spp. Jumlah bakteri penghasil
histamin pada ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Histogram nilai log Niven dari ikan tuna dengan berbagai mutu
Ikan dengan kualitas mutu A memiliki jumlah bakteri penghasil histamin terendah, yaitu sebesar 0,3 x102 CFU/ml dan mutu B sebesar 0,4 x102, sedangkan ikan tuna dengan grade C dan D memiliki jumlah bakteri penghasil histamin terbanyak, yaitu masing-masing sebesar 0,9 x102 CFU/ml dan 1,5 x102 CFU/ml. Ikan dengan mutu A memiliki kesegaran yang sangat baik, karena proses autolisis dan perkembangbiakan bakteri belum terjadi secara optimum. Mekanisme pertahanan ikan tidak lagi menghambat pertumbuhan bakteri setelah ikan mati. Bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim histidin dekarboksilase yang menyerang histidin bebas dalam daging ikan. Enzim tersebut mengubah histidin bebas menjadi histamin. Histamin umumnya merupakan hasil kerusakan karena penanganan yang dilakukan pada suhu yang tinggi (>20oC). Pendinginan atau pembekuan ikan yang cepat setelah kematian merupakan faktor yang paling penting dalam upaya untuk pencegahan pembentukan Scombrotoksin. Deteksi secara kuantitatif bakteri histidin dekarboksilase menggunakan media yang berbeda dengan pengujian total plate count (TPC). Bahan terdiri dari
triptone, yeast extract , L-histidin.2HCL, Nacl, CaCo3, agar, serta phenol red .
Koloni bakteri penghasil histamin umumnya lebih besar daripada koloni bakteri lainnya. Koloni bakteri yang dianggap positif sebagai penghasil histamin adalah koloni yang membentuk zona berwarna merah muda disekeliling koloni dengan latar belakang kuning/orange pada medium modifikasi Niven’s. Bentuk koloni bakteri penghasil histamin dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22. Koloni bakteri penghasil histamin Jumlah bakteri penghasil histamin lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mikroba total (TPC) pada daging ikan (rata-rata 30.78% dari total mikroba). Hal ini karena tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan mampu menghasilkan enzim histdin dekarboksilase yang dapat mengubah asam amino histidin menjadi histamin. Perbandingan jumlah bakteri penghasil histamin dengan total plate count (TPC) dapat dilihat pada Gambar 23.
Gambar 23. Histogram nilai perbandingan log TPC dan log Niven’s ikan tuna Bakteri penghasil histamin tidak selalu menjadi bagian dari bakteri normal yang terdapat pada bagian luar (kulit) atau bagian dalam (insang, daging) ikan yang ditangkap. Ikan menjadi terkontaminasi akibat adanya kontak dengan permukaan yang tidak bersih. Pada suhu pertumbuhan yang cocok selama beberapa
jam,
mengakibatkan
mikroorganisme peningkatan
akan
jumlah
tumbuh
histamin
sangat
dalam
cepat
jaringan.
sehingga Keracunan
scombroid lebih umum terjadi pada konsumsi scombroid dan ikan sejenis dari daerah tropis, dimana fasilitas refrigerasi tidak tersedia untuk pendinginan atau pembekuan yang cukup untuk ikan segera setelah ditangkap ( Niven et al. 2004). Kehadiran bakteri pembentuk histamin dalam jumlah tinggi tidak selalu berhubungan langsung dengan kadar histamin yang tinggi dalam sampel. Hal ini disebabkan bahwa respon dan isolat
bakteri dalam sampel bervariasi dalam
kecepatan dan kemampuan memproduksi histamin. Beberapa kondisi lain yang mempengaruhi kecepatan produksi histamin dan biogenik amin lainnya meliputi ketersediaan asama amino histidin bebas (Allen 2004). Menurut Gonowiak et al. (1990) diacu dalam Mangunwardoyo (2007), hanya ikan yang mengandung histidin bebas di atas 100 mg/100g daging yang mampu menghasilkan histamin. Beberapa jenis ikan terutama dari famili Scombroidae mempunyai kandungan histidin bebas yang tinggi, seperti : tuna mata besar mencapai 491 mg/100g daging, mahi-mahi 344 mg/g, cakalang 1192 mg/100g, tuna ekor kuning 740 mg/100g, kembung 600 mg/100g dan albakor yang tertinggi, sampai 2 g/100g daging (Antoine 1999 diacu dalam Mangunwardoyo 2007).
4.3.3. Hazard characterization Hazard
characterization
merupakan
penelusuran
mengenai
efek
merugikan bagi kesehatan yang disebabkan oleh histamin dan juga mengenai kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi manusia. Ada dua faktor penting dalam hazard characterization yaitu pengertian dari efek bahaya (histamin) juga dosis yang dapat diterima (Sumner et al 2004). Penentuan hazard characterization dari bahaya histamin nantinya akan dikaitkan dengan dose respone dari histamin terhadap tubuh manusia. Kejadian keracunan histamin di
dalam tubuh secara umum dipengaruhi oleh tingkat konsumsi dan tingkat kadar histamin yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena konsumsi ikan tuna dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan efek keracunan walaupun kadar histaminnya rendah (terakumulasi). Dosis histamin bagi tubuh yang berasal dari ikan tuna segar berbagai kualitas mutu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Prediksi Dosis yang potensial masuk ke tubuh dari histamin ikan tuna segar berbagai kualitas mutu Mutu tuna
Kandungan Histamin (ppm)
Dosis dalam tubuh (per 100 g konsumsi)
A
1,11
0,11 mg
B
1,77
0,17 mg
C
2,64
0,26 mg
D
2,52
0,25 mg
Hasil analisis kadar histamin pada penelitian ini rata-rata masih memberikan dosis dalam tubuh dibawah 0,5 mg/100 gr ikan, sehingga jika masuk ke dalam tubuh manusia diduga tidak akan menyebabkan efek keracunan. Hasil penelitian Bartholomew
et al. (1987) dalam Lehane (1999)
meyatakan bahwa dari total 240 kasus keracunan histamin, ternyata 101 kasus diantaranya disebabkan karena kadar histaminnya lebih dari 5 mg/100gr. Adapun efek dari keracunan histamin
adalah: mata gatal (panas dan berair), hidung gatal
(bersin-bersin dan memproduksi mukus lebih banyak), kulit gatal (bintik-bintik
merah pada kulit), sinus bertambah banyak dan menyebabkan sakit kepala, paru paru berbunyi atau kejang-kejang, perut keram dan diare, sensasi panas atau rasa pedas pada mulut, serta kemerahan pada wajah. Food and drug administration (FDA) menetapkan batas tingkatan kadar
histamin untuk dapat menimbulkan efek toksik yaitu 50 mg/100g (500) ppm dan batas limit aksi terendah dari efek histamin adalah 5 mg/100 gr atau sekitar 50 ppm. Sumner et al. 2004 menyatakan terdapat empat macam tingkatan level histamin, yaitu aman dikonsumsi (kadar 10mg/100g), kemungkinan toksik (10-50mg/100g), berpeluang toksik (50-100mg/100g) dan toksik (>100mg/100g). Uni Eropa menggunakan sistem pengujian 9 sampel ikan tuna untuk membatasi dampak keracunan histamin, dari 9 sampel tersebut ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu: nilai tengah dari semua sampel tidak boleh lebih dari 10mg/100g, dua sampel boleh memiliki >10mg/100g sampai 20 mg/100g, dan tidak boleh ada sampel yang memiliki kadar lebih dari 20 mg/100g (Shalaby 1996 diacu dalam Sumner et al. 2004). Kadar histamin yang terbentuk pada ikan tuna hasil tangkapan rata-rata masih dibawah 10 ppm (1mg/100gr). Jika dibandingkan dengan standar kadar histamin yang ditetapkan leh FDA atau Uni Eropa, maka kadar histamin tuna berbagai kualitas mutu ekspor masih aman dan layak untuk dikonsumsi. 4.3.4. Risk characterization Risk characterization merupakan proses dari
penentuan perkiraan
kualitatif dan kuantitatif yang mencakup ketidakpastian tentang kemungkinan kejadian dan kepelikan dari pengetahuan atau potensi yang merugikan bagi kesehatan dalam populasi yang ditentukan berdasarkan hazard identification, hazard characterization dan exposure assessment (Sumner et al. 2004).
Proses penentuan ranking atau tingkat risiko ini dilakukan secara semikuantitatif menggunakan model proses perhitungan risk ranger. Prinsip analisis semikuantitatif ini adalah mengubah data kualitatif menjadi data kuantitatif. Kisaran ranking risiko dari yang terendah sampai yang tertinggi ini ditentukan dari 0 (bahaya yang tidak dapat menyebabkan risiko) sampai 100 (bahaya dapat menyebabkan kematian dari semua populasi akibat konsumsi bahaya tersebut). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa produk yang
diolah di PT. X sebagian besar (hampir seluruh produk) di ekspor ke Amerika Serikat. Berdasarkan hal tersebut, analisis ranking risiko yang dilakukan adalah terhadap negara Amerika Serikat. Proses penetuan ranking risiko bahaya histamin di negara Amerika Serikat dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Penilaian risiko bahaya histamin secara semi kuantitatif pada tuna segar bagi penduduk Amerika Serikat No. Kriteria risiko dan keterangannya A. Tingkat keparahan dan populasi yang dapat terkena. 1. Tingkat keparahan dari bahaya Sedang (mild ) 2. Persentase populasi yang dapat terkena 100 % dari populasi (seluruh bahaya histamin populasi dapat terkena bahaya histamin) B. Kemungkinan terkena dari makanan 3. Frekuensi konsumsi produk Beberapa kali dalam 1 tahun (a few times per year ) 4. Proporsi populasi yang mengkonsumsi Sangat sedikit (5 %) produk 5. Ukuran populasi yang dapat 290.000.000 jiwa mengkonsumsi (Amerika Serikat) C. Kemungkinan dari makanan yang terdapat dosis yang dapat membahayakan 6. Peluang kontaminasi pada awal proses 1% (dalam frekuensi yang penanganan sangat kecil) 7. Pengaruh proses penanganan Meningkatkan jumlah histamin sebanyak 127%. 8. Potensi terkontaminasi setelah proses Minor (1%) penanganan 9. Efektivitas kontrol setelah pasca proses Terkontrol penanganan
10.
11.
Besar kenaikan kadar histamin yang dapat menyebabkan keracunan pada rata-rata konsumen dari jumlah kadar histamin pada akhir proses. Pengaruh preparasi (pemasakan) sebelum dikonsumsi
198 kali histamin.
kenaikan
kadar
Proses pemasakan tidak dapat mengurangi kandungan histamin. -6 Kemungkinan terjadinya penyakit per hari 1,58 x 10 per konsumen yang dapat terkena bahaya Prediksi total yang dapat terkena bahaya 8.370 dari total penduduk 290.000.000 (Amerika dalam populasi Serikat) 42 (sedang) Ranking risiko (0 – 100)
Perkiraan risiko tersebut berdasarkan sejumlah asumsi, yaitu: 1. Tingkat keparahan dari bahaya adalah sedang (diketahui dari kasus keracunan histamin yang terjadi selama tahun 2000-2005 sebanyak 74 kasus) 2. Persentase jumlah populasi yang dapat terkena bahaya histamin adalah jumlah penduduk Amerika Serikat, sebanyak 290.000.000 jiwa 3. Frekuensi konsumsi produk beberapa kali dalam setahun, berdasarkan
informasi konsumsi tuna masyarakat Amerika tahun 2006 sebesar 1.45 kg perkapita/tahun. ( National Oceanic and Atmospheric Administration 2007). 4. Proporsi
populasi
yang
mengkonsumsi
produk
sangat
sedikit
(5%)
(berdasarkan informasi konsumsi tuna masyarakat Amerika tahun 2006 sebesar 1.45 kg perkapita/tahun). 5. Peluang kontaminasi pada bahan baku adalah 1% (Berdasarkan pengamatan yang selalu menerapkan rantai dingin setelah ikan ditangkap). 6. Proses penanganan mempengaruhi kenaikan jumlah kadar histamin sebesar 127% (Ikan dengan kualitas mutu A memiliki kandungan histamin sebesar 1,11 ppm dan tuna dengan kualitas mutu D memiliki kandungan histamin 2.52 ppm). 7. Efektifitas kontrol pada produk akhir terkontrol, yang artinya hampir keseluruhan sistem bekerja dengan baik (kemungkinan dapat meningkatkan sebesar 3 kali). 8. Besar kenaikan kadar histamin yang dapat menyebabkan keracunan pada ratarata konsumen dari jumlah kadar histamin pada ikan dengan kualitas mutu D adalah 198 kali. Besar kadar histamin pada ikan dengan kualitas mutu D adalah 2,52 ppm, sedangkan kadar histamin yang dapat menyebabkan bahaya bagi konsumen adalah sebesar
500 ppm (50 mg/100 gram) (US-FDA
1996 dalam Lehane and Olley 1999. 9. Proses pengolahan tidak dapat memberikan pengaruh berkurangnya bahaya yang ditimbulkan dari histamin. Histamin tidak dapat dihilangkan dengan berbagai proses pengolahan. Berdasarkan Tabel 5 dapat diketahui bahwa perkiraan ranking risiko bahaya histamin bagi penduduk Amerika Serikat masih tergolong dalam kategori sedang dengan nilai ranking risiko sebesar 42. Dari total penduduk Amerika
Serikat sebesar 290.000.000 (290 juta) jiwa perkiraan jumlah penduduk yang dapat terkena bahaya adalah sebesar 8.370 jiwa. Hasil risk assesment ini sangat penting untuk diketahui, karena akan digunakan dalam penentuan risk management. Risk management merupakan pengembangan dan implementasi strategi, pelaksanaan keputusan manajemen, monitoring serta peninjauan, sehingga diharapkan dapat menghasilkan kebijakan atau keputusan perusahaan
yang dapat mengontrol risiko histamin tersebut.
Dalam risk management diperlukan partisipasi dari berbagai pihak baik pemerintah, para peneliti, ilmuwan, pengusaha, konsumen, badan pengawas obatobatan dan makanan (BPOM), Badan Standardrisasi ahli kesehatan dan ahli hukum untuk mendiskusikan dan mencari keputusan yang tepat dalam menangani permasalahan histamin pada ikan tuna.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan.
Penilaian sanitasi dan higiene dilakukan pada proses pembongkaran ikan tuna di kapal. Kondisi sanitasi dan higiene kapal pada saat proses pembongkaran dalam keadaan yang buruk. Penilaian kelayakan dasar di tempat yang menjadi penampung ikan tuna PT. X, yaitu Transit 20. Hasil penilaian yang dilakukan, dapat diketahui bahwa telah terjadi dua penyimpangan minor, satu penyimpangan mayor dan dua penyimpangan serius. Penilaian dilakukan untuk mengetahui kelayakan tempat pendaratan/transit ikan. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa tempat pendaratan/transit 20 termasuk kedalam grade/nilai B. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap kelayakan alat transportasi yang digunakan untuk mengangkut
ikan
tuna
menuju
perusahaan
pengolahan.
Hasil
penilaian
menunjukkan truk yang digunakan oleh PT. X tidak memenuhi persyaratan, hal ini karena truk yang dipakai tidak dilengkapi dengan alat pendingin. Identifikasi bahaya (hazard identification) dalam bidang industri tuna pada penelitian ini, dilakukan terhadap bahaya histamin. Kadar histamin yang tinggi dalam produk tuna dapat menyebabkan efek keracunan pada manusia, sehingga kadar histamin merupakan salah satu syarat mutu produk tuna. Hasil penelitian penaksiran bahaya (exposure assesment ) yang dilakukan menunjukan kadar histamin yang berbeda pada berbagai kualitas mutu ikan. Ikan dengan grade A memiliki kandungan histamin sebesar 1,11 ppm, grade B 1,77 ppm, grade C 2,64 ppm, serta grade D 2,52 ppm. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa issue food safety peningkatan kadar histamin pada ikan tuna berbagai mutu ekspor selama proses pembongkaran/transit tidak terbukti.
5.2. Saran
Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai risiko bahaya histamin dalam proses pengolahan maupun selama penangkapan dan proses distribusi produk tuna sampai ke tangan konsumen. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab permasalahan larangan ekspor produk tuna dari Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Agnes MA. 1992. Penanganan Ikan Segar Kumpulan Hasil Penelitian Pasca Panen. Jakarta: Badan Litbang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan bekerjasama dengan USAID/FRDP. Allen DG, Jr. 2004. Regulatory control of histamine production in North Carolina harvested mahi-mahi (Coryphaena hippurus) and yellowfin tuna (Thunnus albacares): a HACCP-based industry survey . (Under the direction of Drs. David Green and Lee-Ann Jaykus) Anonim. 2005. Kepastian Pembukaan Larangan Ekspor Ikan Tuna September. www.tempo.com. [ 10 April 2008 ] [CAC] Codex Alimentarius Comission. 2003. CAC/RCP 1-1969 Rev. 4 2003: Rekomendasi Internasional: Prinsip higiene bahan pangan . Rome: CAC Chonnell JJ, Shewan JM. 1980. Sensory and non-sensory Assessment of Fish . Dalam Advance in Fish Science and Technology. JJ Conell, (ed.)Fishing New Book. Farnham [Deptan] Departemen Pertanian. 2002. Kebersihan dan Sanitasi. Operasional Pelabuhan Perikanan dan Pangkalan Pendaratan Ikan bidang kebersihan dan sanitasi. Proyek Pengembangan PP/PPI. Jakarta. Departemen Pertanian. Ditjen Perikanan Tangkap. 2007. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2006. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor: KEP.011/MEN/2007, Tentang Persyaratan Jaminan Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan pada Proses Produksi, Pengolahan, dan Distribusi. Jakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Kebijakan DKP: Pengolahan dan Pemasaran Mengenai Potensi dan Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Tuna. Jakarta: Dinas Kelautan dan Perikanan [DSN] Dewan Standarisasi Nasional SNI 01-2360-1991. Metode Pengujian Kimia Produk Perikanan, Penentuan Kadar Histamin . Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. [DSN] Dewan Standarisasi Nasional SNI 01-4104.1-1996. Penanganan Ikan Segar . Jakarta:Dewan Standarisasi Nasional.
Eskin NAM. 1990. Biochemistry of Food. Second Edition. San Diego: Academic Press, Inc. Fardiaz S. 1984. Mikrobiologi Pangan. Penuntun Praktek. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor [FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality Changes in Fresh Fish . Huss HH, (ed.). Rome:FAO Fisheries Technical Paper No. 348.95 pp. [FDA] Food and Drug Administration. 1995. Fish and Fishery Product Hazard and Control Guidance. Florida: University of Florida Forsythe JS, Hayes PR. 1998. Food Higiene, Mikrobiologi dan HACCP. Gaithersburg: Chapman and Hall. Aspen Publisher Inc. Graham JB, Dickson KA. 2001. Anatomical and Physiological Specializations for Endothermy. Block BA, Stevens ED (Editor). Dalam Tuna : Physiology, Ecology and Evolution. San Diego : Academic press. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan . Jilid 1. Jakarta: Penerbit Liberty. Henrik HH, Dilson Mike, Derrick S. 2004. A Guide Seafood Hygiene Management . Eurofish: the Norwegian Ministry of Fishers and Coastae Aftair and the Swiss Import Promotion Programme. Huss HH. 1986. Fresh fish quality and quality changes. Rome: FAO-DANIDA. Ilyas S. 1993. Teknologi Referigrasi Hasil Perikanan. CV. Jakarta: Paripurna Johns N. 1991. Managing food hygiene. Macmillan. London. 360p. Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan . Jakarta : Penebar Swadaya Keer M, Paul L, Sylvia A .2002. Effect of Storage Condition on Histamin Formation in Fresh and Canned Tuna. Commision by Food Safety Unit. www.foodsafety.vic.gov.au. [ 10 April 2008 ] Kimata M. 1961. The Histamine Problem. P:329-352. Di dalam Borgstrom G. 1961. Fish as Food IV . Newyork an London: Academic Press Lehane L and June Olley. 1999. Histamine (Scombroid) Fish Posioning a review in a risk-assessment framework . Canberra: National Office of Animal and Plant health. Lerke PA, Benson WS, Taylor SL, Gutherz LS. 1978. Scombroide Poisoning Report of an Outbreak . West J Med 129. Hal 381-386.
Mangunwardoyo W, Romauli AS, Endang SH. 2007. Seleksi dan pengujian aktivitas enzim L-Histidine decarboxylase dari bakteri pembentuk histamin. Makara Sains (11): 104-109 Niven CF, Jeffrey MB, Corlett DA. 1981. Differential plating medium for quantitative detection histamine-production bacteria. Apllied and Enviromental Microbiology [NOAA]. National Oceanic and Administration. 2007. NEFSC fish FAQ. www.crh.noaa.gov [15 Desember 2008] Pan GS. 1984. Monograph of Histamine Poisoning and Mackerel. Dept of Marine Food Science and Technology. National Taiwan College of Marine Food Science and Technology Keelung Taiwan. ROC. published Poernomo SH. 2008. Komisi UE Siap Cabut Hambatan Ekspor atas Produk Perikanan Indonesia. www.dkp.go.id. [1 Februari 2009] Pubchem. 2005. Cadaverine Compound Summary. Pubchem. ncbi. nlm. nih. gov [20 November 2007] Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan 1,2 . Bogor : Binacipta. 508p. Sakaguchi M. 1990. Sensory and non-sensory methods for measuring freshness of fish and fishery products. Di dalam: Motohiro T, Kadota H, Hashimoto K, Kayama M dan Tokunaga T, editor: Science of Processing Marine Food Product . Japan: International Agency. Sugandhi. 2007. Permasalahan dan kiat eksportir tuna. Seminar Tuna Nasional Dalam Menghadapi Era Globalisasi. Jakarta : Asosiasi Tuna Nasional. Sumner J, Ross T, Ababouch L, 2004. Application of Risk Assesment in the Fish Industry. Roma: Food and Agriculture Organization of The United Nation. Suparno. 1992. Peti Pendingin Berinsulasi. Kumpulan Hasil-Hasil Penelitian Pasca Panen Perikanan. Jakarta : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan.265 hlm Syah U. 2004. Kajian perkembangan produksi histamin selama penanganan bahan, pengolahan, dan penyimpanan pada ikan kembung ( Rastrelliger spp.) [tesis]. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Syukur J, 2008. Evaluasi risiko kadar histamin selama proses pengolahan tuna loin beku [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tampubolon SM. 1983. Ikan Tuna dan Perdagangannya . Jakarta: Gaya Baru.
Taylor SL. 1983. Monograph on Histamin Poisoning Codex Alimentarius Commision. FAO. 77 PP. Voysey PA, Brown M. 2000. Microbiological risk assessment, a new approach to food safety control. International journal of food microbiology (58) 173-179 Wiraatmaja H. 2006. Perbaikan nilai tambah limbah tulang ikan tuna (Thunnus sp) menjadi gelatin serta analisis fisika-kimia [skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Publisher.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar penilaian higiene tempat pembongkaran (transit) Dasar Hukum No
Aspek Yang Dinilai
1 1.1
Perlindungan terhadap produk Terlindung dari kondisi cuaca (sinar matahari dan lainnya)
1.2 1.3 1.4
Debu dan gas dari mesin Binatang pengerat dan binatang lain Area diberi pagar dengan system pengunci
2 2.1
Konstruksi bangunan dan kondisi Mudah dibersihkan dan terbuat dari bahan yang kedap air
2.2 2.3 3
Mempunyai permukaan yang halus Dirawat dengan baik Pasokan air bermutu air minum/air laut didinginkan (CSW) Pasokan air tersedia cukup setiap waktu
3.1
3.2 4 4.1.
4.2 4.3 5 6 6.1
6.2 7 7.1 7.2
8 8.1
8.2
Pasokan air menggunakan sistem perlakuan (treatment) Es Tersedia es yang cukup
Es diproduksi di tempat Kondisi penyimpanan es tidak tercemar Penerangan alami/buatan cukup dan terlindung Penanganan limbah Saluran air pembuangan mencukupi
Tersedia wadah limbah yang diberi tutup Toilet dan bak cuci tangan Jumlah toilet mencukupi Tersedia bak cuci tangan yang dilengkapi dengan sabun dan bahan pensuci hama Operasional higiene Penanganan ikan dilakukan dengan saniter dan higienis Produk ditempatkan dalam wadah
O K KEP.01/MEN/ 07, BAB III, A.2 idem idem idem
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. A.1 idem idem
Mn
My
Sr
X
X
X
X X X
X
X
X
X X
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.2 idem
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.1 idem idem
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.5 idem
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.4 idem
Kr
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X X X
X
X
X
X
X X
X
X
X
X
X
X
Keterangan
8.3
khusus Pencucian dan disenfektan dilakukan dengan tepat
8.4
Pendaratan dilakukan dengan cepat dan higeni
8.5
Es berasal dari tempat yang dapat dipertanggung jawabkan
8.6
Es yang dibawa oleh kapal memenuhi persyaratn higeni Juml ah es yang dibawa oleh kapal cukup Es ditangani dengan tepat Terdapat orang yang tidak berkepentingan
8.7 8.8 8.9
8.10
Terdapat binatang didalam area TPI
KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.7 KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.A.2 KEP.01/MEN/ 07, BAB III. B.1 idem
X
X
X
X
X
idem
X
X
idem KEP.01/MEN/ 07, BAB III. A.2 idem
X
X
X
X
D. HASIL PENILAIAN
1. KETIDAKSESUAIAN (NON CONFORMANCE) a. Minor …………………… b. Mayor …………………… c. Serius …………………… d. Kritis …………………… 2. TINGKAT (GRADE) NILAI 1. A (Baik Sekali) 2. B (Baik) 3. C (Cukup) 4. D (Gagal)
(……………….) (……………….) (……………….) (……………….)
Keterangan : Grade A adalah tingkat sertifikat paling tinggi yang menyatakan hasil • penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT tidak terdapat kriteria Serius & Kritis serta minor maks 6 dan mayor maks. 5. Dengan Grade A, UPI dapat melakukan ekspor ke negara Uni Eropa. Grade B adalah tingkat sertifikat menengah yang menyatakan hasil penilaian • terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT terdapat kriteria Serius max 2. Dengan Grade B, UPI dapat melakukan ekspor ke negara yang menerapkan HACCP/PMMT kecuali ke Uni Eropa. Grade C adalah tingkat sertifikat paling rendah yang menyatakan hasil penilaian terhadap Fisik, SSOP, GMP, HACCP/PMMT , terdapat kriteria Serius > 2 •
•
tetapi maks 4 dengan catatan total Mayor + Serius tidak lebih dari 10. Dengan Grade C, UPI dapat ekspor hanya ke negara yang tidak menerapkan HACCP/PMMT. Grade D adalah hasil penilaian yang dinyatakan gagal dan tidak diberi sertifikat
Lampiran 2. Daftar penilaian distribusi/transportasi
Kondisi sanitari yang berhubungan dengan konstruksi dan pelaksanaan higiene Hal yang diperiksa 1. Tempat ikan, box atau lori yang tertutup 1.1 Mudah dibersihkan 1.2 Higienis dan layak digunakan 1.3 Bersih dan mudah dirawat, dan dilengkapi dengan saluran pembuangan air 1.4 Ruang untuk es cukup 2. Truk berpendingin 2.1 Suhu di bawah -180 C 2.2 Suhu tercatat dan mudah dibaca (dari luar) 3. Memuat / membongkar 3.1 Cepat dan higienis
3.2 Ikan disimpan dalam tempat dengan wadah yang tepat 4. Pengendalian higieni 4.1 Lori dibersihkan sebelum dan sesudah digunakan 4.2 Kendaraan dibersihkan secara berkala 5. Oli dan bahan bakar ditempatkan terpisah 6. Pengawasan kesehatan dan kebersihan karyawan
6.1 Medical check up dijadwalkan 6.2 Kebersihan secara umum memenuhi persyaratan 7. Pengendalian suhu 7.1 Transportasi dilakukan 7.2 Produk dilakukan
Dasar Hukum KEP.01/MEN/ 07. BAB VI.1 idem idem
KEP.01/MEN/ 07. BAB VI.1 idem
idem idem KEP.01/MEN/ 07. BAB VI.3 KEP.01/MEN/ 07. BAB VI.5 idem idem idem idem idem idem
Ya
Tidak
Tanggapan
Lampiran 3. Data kandungan histamin ikan tuna berbagai tingkat mutu Ulangan
Grade (ppm) A
B
C
D
1
1.23
2.91
4.14
4.08
2
1.05
1.37
1.73
3.13
3
0.71
1.04
1.05
1.05
Rata-rata
1.00
1.77
2.31
2.75
Lampiran 4. Contoh perhitungan kadar histamin. a) Print out pembacaan awal standart '=====================================' Sample Conc. Intensity Sign Number ( ppm) Units Time '=====================================' ______ 1 0.16 423 **:**:** ______ 2 0.08 298 **:**:** ______ 3 0.04 246 **:**:** ______ 4 0.02 217 **:**:** ______ 5 0.01 205 **:**:** ______ 6 0.00 198 **:**:**
'Blank Sample Reading:' 190 'FIU' 'Gain Code:' 6 'Regression Slope:' 1445.49 'Regression Intercept:' -1.39 'R Squared Term:' 1.00
b) Persamaan regresi standart histamin IU
0 0.005 0.01 0.02 0.04 0.08 0.16
190 198 205 217 246 298 423
188.95 1442.36 1.00
A B
r
c) Contoh hasil pembacaan sampel SAMPEL
BOBOT
IU
Ppm
SAMPEL
GRADE A2 B2
10.0371
192
1.05
10.1930
192
1.04
d) Perhitungan : Konstanta standart = μg/ml
Kadar histamin grade A = = (192-188.95) μg x 5000 ml 1442.36 ml 10.0371 gr = 1.05 μg/gr = 1.05 mg/Kg (ppm) Kadar histamin grade A adalah 1,05 mg/Kg (1,05 ppm), berarti dalam 1 Kg ikan tuna grade A mengandung 1,05 mg histamin.
Lampiran 5. Foto pengujian TPC a). TPC ikan tuna grade A
b). TPC ikan tuna grade B
c). TPC ikan tuna grade C
d). TPC ikan tuna grade D