Ask A skeep De Dem mam Tif ifo oid Posted on December 14, 2012 by waoderajawalibandung
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah (Simanjuntak, C.H, 2009). Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di Dunia, sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data W orld Health Organization Organization (WHO) tahun 2009, memperkirakan memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Insidens rate demam tifoid di Asia Selatan dan Tenggara Tenggara termasuk termasuk China pada tahun tahun 2010 rata-rata rata-rata 1.000 per per 100.000 penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid tertinggi di Papua New Guinea sekitar 1.208 per 100.000 penduduk penduduk per tahun. Insidens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000 penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun dengan rata-rata kasus per tahun 600.000-1.500.000 600.000-1.500.000 penderita. Angka kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10% (Nainggolan, R, 2011). Berdasarkan laporan Ditjen Pelayanan Medis Depkes RI, pada tahun 2008, demam tifoid menempati urutan kedua dari 10 penyakit terbanyak terbanyak pasien rawat inap di rumah sakit di Indonesia dengan jumlah kasus 81.116 dengan proporsi 3,15%, urutan pertama ditempati oleh diare dengan jumlah kasus 193.856 dengan proporsi 7,52%, urutan ketiga ditempati oleh DBD dengan jumlah kasus 77.539 dengan proporsi 3,01% (Depkes RI, 2009). Berdasarkan Berdasarkan penelitian Cyrus H. Simanjuntak., Simanjuntak., di Paseh (Jawa Barat) tahun 2009, insidens rate demam tifoid pada masyarakat di daerah semi urban adalah 357,6 per 100.000 penduduk per tahun. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; lingkungan; di daerah Jawa Barat, terdapat 157 kasus per 100.000 penduduk sedangkan di daerah urban di temukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi sarat kesehatan lingkungan (Simanjuntak, C.H, 2009). Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis diagnosis demam tifoid (Simanjuntak, C.H, 2009). Berdasarkan data yang terdapat di pada medical record Di Rumah Sakit Rajawali Bandung ruang Rafei tercatat angka insiden penderita demam thyfoid yang dirawat selama tiga bulan terakhir yaitu pada bulan Juli sampai bulan Oktober 2012 adalah 17 orang pasien dimana terdapat 5 kasus pada bulan Juli, 2 kasus pada bulan Agustus, dan 10 kasus pada bulan September. Demam tifoid dapat menimbulkan komplikasi yang dapat mengakibatkan mortalitas (kematian), yaitu sekitar 25% penderita demam tifoid mengalami perdarahan, jika terlambat tertangani dapat terjadi mortalitas (kematian) sekitar 10-32 % bahkan ada yang melaporkan sampai 80%, sedangkan mortalitas pada miokarditis akibat demam tifoid sekitar 1 –5 %, dan tifoid pun dapat mengakibatkan tifoid toksin yang dapat menyebabkan kematian tetapi jarang sekali komplikasi ini terjadi. Dari data diatas nampak bahwa angka insiden penyakit demam tifoid cukup tinggi dan merupakan penyakit yang dapat menimbulkan kompliksi pada organ pencernaan.
Kardiovaskuler, pernapasan, tulang, ginjal dan hematolik serta gangguan neuropsikiatrik sampai dengan menyebabkan kematian bila tidak ditangani dengan seksama. Berdasarkan hal tersebut maka peran perawat sangat penting dalam aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Oleh karena itu, mengingat kompleksnya masalah yang terjadi pada klien dengan penyakit demam tifoid maka penulis tertarik untuk merawat klien dengan judul Asuhan keperawatan Klien dengan Demam tifoid di ruang Rafei RS. Rajawali Bandung tahun 2012. B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Adapun tujuan umum dari penulisan laporan ini adalah untuk memberikan Asuhan Keperawatan pada klien dengan Demam Tifoid di ruang Rafei Rumah Sakit Rajawali Bandung tahun 2012. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengertian Demam tifoid. b. Mengetahui etiologi Demam tifoid. c. Mempelajari patofisiologi dari Demam tifoid. d. Mengetahui manifestasi klinik dari Demam tifoid. e. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada penderita Demam tifoid f. Mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan pada kasus Demam tifoid. 1) Melakukan pengkajian pada klien dengan demam tifoid. 2) Menentukan masalah keperawatan pada klien demam tifoid 3) Merencanakan Asuhan keperawatan pada klien demam tifoid 4) Pelaksanaan tindakan keperawatan sesuai perencanaan pada klien demam tifoid. 5) Melakukan evaluasi keperawatan pada klien demam tifoid. 6) Mengidentifikasikan kesenjangan yang terdapat antara teori dan praktek pada klien dengan demam tifoid. 7) Mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid C. Manfaat Penulisan Adapun manfaat dari penulisan laporan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi Instansi Bagi institusi khususnya Rumah Sakit Rajawali Bandung dimana laporan ini akan menjadi sumber masukan dan informasi dari program kesehatan dalam rangka mencegah terjadinya demam tifoid. 2. Bagi Masyarakat Dari hasil penelitian ini diharapkan masyarakat, khususnya bagi para ibu dan remaja, agar dapat mengetahui faktor-faktor risiko apa saja yang mempengaruhi kejadian demam tifoid, sehingga demam tifoid pun dapat dicegah sejak dini. 3. Bagi Institusi Bagi STIKES Rajawali Bandung laporan ini merupakan sumbangan ilmiah bagi dunia pendidikan dan diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang keperawatan. Laporan ini juga diharapkan sebagai dasar, sumber dan bahan pemikiran untuk perkembangan penulisan laporan selanjutnya. D. Sistematika Penulisan Dalam mengetahui secara keseluruhan isi dari laporan ini, dibawah ini disusun sistematika penulisan yang dibagi 5 bab yaitu; Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II: Konsep dasar teori yang terdiri dari pengertian, anatomi fisiologi, etiologi, patofisiologi/pathway, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, komplikasi, penatalaksanaan, pencegahan, pemeriksaan penunjang. Bab III: asuhan keperawatan meliputi pengkajian, diagnosis keperawatan, rencana intervensi, implementasi, dan evaluasi. Bab IV: Terdiri dari kesenjangan antara teori dengan kasus mengenai pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Bab V: penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. Daftar pustaka dan lampiran dari pendokumentasian asuhan keperawatan pada klien dengan demam tifoid. BAB II KONSEP DASAR TEORI
A. Pengertian Tifoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman salmonella (Smeltzer & Bare, 2002). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella Thypi (Mansjoer, A, 2009). Tifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh kuman salmonella thypi dan salmonella para thypi A,B,C. sinonim dari penyakit ini adalah Typhoid dan paratyphoid abdominalis (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi, 2006). Tifoid adalah penyakit infeksi pada usus halus, tifoid disebut juga paratyphoid fever, enteric fever, typhus dan para typhus abdominalis (Seoparman, 2007). Tifoid adalah suatu penyakit pada usus yang menimbulkan gejala-gejala sistemik yang disebabkan oleh salmonella typhosa, salmonella type A.B.C. penularan terjadi secara pecal, oral melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi (Mansjoer, A, 2009). Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi usus halus yang disebabkan oleh salmonella type A, B dan C yang dapat menular melalui oral, fecal, makanan dan minuman yang terkontaminasi. B. Anatomi Fisiologi Susunan saluran pencernaan terdiri dari : Oris (mulut), faring (tekak), esofagus (kerongkongan), ventrikulus (lambung), intestinum minor (usus halus), intestinum mayor (usus besar ), rektum dan anus. Pada kasus demam tifoid, salmonella typi berkembang biak di usus halus (intestinum minor). Intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada seikum, panjangnya ± 6 m, merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil pencernaan yang terdiri dari : lapisan usus halus, lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan otot melingkar (M sirkuler), lapisan otot memanjang (muskulus longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Gambar 2.1. Anatomi Usus Manusia (Sumber : Syair, H. 2010) Usus halus terdiri dari duodenum (usus 12 jari), yeyenum dan ileum. Duodenum disebut juga usus dua belas jari, panjangnya ± 25 cm, berbentuk sepatu kuda melengkung ke kiri pada lengkungan ini terdapat pankreas. Dari bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit yang disebut papila vateri. Pada papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus koledikus) dan saluran pankreas (duktus wirsung/duktus pankreatikus). Dinding duodenum ini mempunyai lapisan mukosa yang banyak mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar brunner yang berfungsi untuk memproduksi getah intestinum. Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua perlima bagian atas adalah yeyenum dengan panjang ± 2 meter dari ileum dengan panjang 4 – 5 m. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-cabang arteri dan vena mesenterika superior, pembuluh limfe dan saraf ke ruang antara 2 lapisan peritonium yang membentuk mesenterium. Sambungan antara yeyenum dan ileum tidak mempunyai batas yang tegas. Ujung dibawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan lubang yang bernama orifisium ileoseikalis. Orifisium ini diperlukan oleh spinter ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula baukhim yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam asendens tidak masuk kembali ke dalam ileum. Didalam dinding mukosa terdapat berbagai ragam sel, termasuk banyak leukosit. Disana-sini terdapat beberapa nodula jaringan limfe, yang disebut kelenjar soliter. Di dalam ilium terdapat kelompok-kelompok nodula itu. Mereka membentuk tumpukan kelenjar peyer dan dapat berisis 20 sampai 30 kelenjar soliter yang panjangnya satu sentimeter sampai beberapa sentimeter. Kelenjar-kelenjar ini mempunyai fungsi melindungi dan merupakan tempat peradangan pada demam usus (tifoid). Sel-sel Peyer’s adalah sel -sel dari jaringan limfe dalam membran mukosa. Sel tersebut lebih umum terdapat pada ileum daripada yeyenum (Pearce E.C., 2009). Absorbsi makanan yang sudah dicernakan seluruhnya berlangsung dalam usus halus melalui dua saluran, yaitu pembuluh kapiler dalam darah dan saluran limfe di sebelah dalam permukaan vili usus. Sebuah vili berisi lakteal, pembuluh darah epitelium dan jaringan otot yang diikat
bersama jaringan limfoid seluruhnya diliputi membran dasar dan ditutupi oleh epitelium. Karena vili keluar dari dinding usus maka bersentuhan dengan makanan cair dan lemak yang di absorbsi ke dalam lakteal kemudian berjalan melalui pembuluh limfe masuk ke dalam pembuluh kapiler darah di vili dan oleh vena porta dibawa ke hati untuk mengalami beberapa perubahan. Fungsi usus halus : Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui kapiler-kapiler darah dan saluran – saluran limfe. Menyerap protein dalam bentuk asam amino. Karbohidrat diserap dalam betuk monosakarida. Didalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus yang menyempurnakan makanan. Enzim yang bekerja ialah : 1. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik. 2. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino. 3. Laktase mengubah laktase menjadi monosakarida. 4. Maltosa mengubah maltosa menjadi monosakarida. 5. Sukrosa mengubah sukrosa menjadi monosakarida, Hepar merupakan organ terbesar di dalam tubuh , berwarna coklat kemerahan, beratnya ±1 ½ kg, berperan penting dalam metabolisme dan penetralan obat Kandung Empedu merupakan organ berbentuk buah pir, letaknya dalam sebuah lobus di sebelah permukaan bawah hati, berwarna hijau gelap, berfungsi dalam pencernaan dan penyerapan lemak (Syair, H. 2010). C. Etiologi 1. 96 % disebabkan oleh salmonella typhi, basil gram negative yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekuran-kurangnya 3 macam antigen, yaitu : a. Antigen O (somatic terdiri dari zat komplek lipolisakarida) b. Antigen (flagella) c. Antigen VI dan protein membran hialin 2. Salmonella paratyphi A 3. Salmonella paratyphi B 4. Salmonella paratyphi C 5. Feces dan urin yang terkontaminasi dari penderita typus (Wong ,2003). Kuman salmonella typosa dapat tumbuh di semua media pH 7,2 dan suhu 37oC dan mati pada suhu 54,4oC (Simanjuntak, C. H, 2009). D. Patofisiologi Salmonela Thyposa Saluran pencernaan Diserap oleh usus halus Bakteri memasuki aliran darah sistemik Kelenjar Linfoid Hati Limpa Endotoksin Usus halus Tukak Hepatomegali Splenomegali menyerang system pertahanan tubuh Perdarahan dan Nyeri Perabaan Perforasi Mual, Muntah Reaksi di Hipotalamus Nukleus lateral Menekan Hipotalamus termoregulator Nervus Vagus Peningkatan Menekan Pusat Makan Suhu tubuh
Metabolisme meningkat Intake Inadekuat (Produksi ATP ) ADL Berkurang Cepat lelah (Sumber : Corwin, E. 2009. Patofisiologi) E. Manifestasi Klinik Masa inkubasi 7-20 hari, inkubasi terpendek 3 hari dan terlama 60 hari (T.H. Rampengan dan I.R. Laurentz, 1995). Rata-rata masa inkubasi 14 hari dengan gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik (Pedoman Diagnosis dan Terapi, Lab/UPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya, 2006). Walaupun gejala bervariasi secara garis besar gejala yang timbul dapat dikelompokan dalam : demam satu minggu atau lebih, gangguan saluran pencernaan dan gnagguan kesadaran. Dalam minggu pertama : demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi dan suhu badan meningkat (39-410C). Setelah minggu kedua gejala makin jelas berupa demam remiten, lidah tifoid dengan tanda antara lain nampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, dibagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Pembesaran hati dan limpa, perut kembung dan nyeri tekan pada perut kanan bawah dan mungkin disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat seperti delirium. Roseola (rose spot), pada kulit dada atau perut terjadi pada akhir minggu pertama atau awal minggu kedua. Merupakan emboli kuman dimana di dalamnya mengandung kuman salmonella. Berikut gejala Klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 1. Demam Pada kasus –kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. a. Minggu I Dalam minggu pertama penyakit keluhan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya , yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. b. Minggu II Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas dengan demam, bradikardia relatif, lidah yang khas (kotor di tengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteroismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia. c. Minggu III Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur – angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga. 2. Gangguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas bau tidak sedap, bibir kering dan pecah – pecah. Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung ditemukan kemerahan , jarang ditemui tremor.Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung. Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. 3. Gangguan keasadaran Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen. Jarang stupor, koma atau gelisah. Disamping gejala –gejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain. Pada punggung dan anggota gerak dapat ditemukan bintik – bintik kemerahan karena emboli basil dalam kapiler kulit.Biasanya dtemukan alam minggu pertama demam kadang – kadang ditemukan bradikardia pada anak besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis. Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier. Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal (Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi. 2006). Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama
7-14 hari (bervariasiantara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang tertelan. Selamamasa inkubasi penderita tetap dalam keadaan asimtomatis (soegijanto,S, 2002). F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang terdiri dari : 1. Pemeriksaan leukosit Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid. 2. Pemeriksaan Sgot Dan Sgpt Sgot Dan Sgpt pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah sembuhnya typhoid. 3. Biakan darah Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor : a. Teknik pemeriksaan Laboratorium Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung. b. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali. c. Vaksinasi di masa lampau Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif. 4. Pengobatan dengan obat anti mikroba Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif. 5. Uji Widal Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita tifoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien membuat antibodi atau aglutinin yaitu : a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman). b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kum an). c. Aglutinin Vi, yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin tinggi titernya makin besar klien menderita tifoid. Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O > 1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif, namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid diklasifikasikan atas: 1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala demam,gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar. 2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap, serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid (titer widal O > 1/160 atau H > 1/160
satu kali pemeriksaan). 3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan biakan ataupositif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O> 1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007). G. Komplikasi Komplikasi demam tifoid dibagi dalam : 1. Komplikasi Intestinal a. Pendaraha usus b. Perforasi usus c. Ileus paralitik 2. Komplikasi ektra-intestinal a. Komplikasi kardiovaskuler. Kegagalan sirkulasi perifel (renjatan sepsis) miokarditis, trombosis dan tromboflebitis. b. Komplikasi darah. Anemia hemolitik, trombositoperia dan sidroma uremia hemolitik. 3. Komplikasi paru. Pneumonia, emfiema, dan pleuritis 4. Komplikasi hepar dan kandung empedu, Hepatitis dan k olesistitis 5. Komplikasi ginjal. Glomerulonefritis, periostitis, spondilitis, dan arthritis 6. Komplikasi neuropsikiatrik. Delirium, meningismus, meningistis, polyneuritis perifer, sindrom, katatoni (Widodo, D. 2007). H. Penatalaksanaan Medik 1. Medis a. Anti Biotik (Membunuh Kuman) : 1) Klorampenicol 2) Amoxicilin 3) Kotrimoxasol 4) Ceftriaxon 5) Cefixim b. Antipiretik (Menurunkan panas) : 1) Paracetamol 2. Perawatan a. Observasi dan pengobatan b. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari selam 14 hari. MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus. c. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. d. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubahss pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus. e. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan diare. 3. Diet a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein. b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring. c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari (Smeltzer & Bare. 2002). I. ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian a. Identitas klien Nama dan umur untuk panggilan dan membedakan klien yang satu dengan yang lain. Dapat terjadi pada anak laki-laki dan perempuan, kelompok umur yang terbanyak adalah diatas umur lima tahun. Faktor yang mendukung terjadinya demam thypoid adalah iklim tropis social ekonomi yang rendah sanitasi lingkungan yang kurang. b. Keluhan utama Pada pasien typus abdominalis keluhan utamanya adalah demam.
c. Riwayat penyakit sekarang Demam yang baik turun remiten, demam dan mengigil lebih dari satu minggu. d. Riwayat penyakit dahulu Tidak didapatkan penyakit sebelumnya. e. Riwayat penyakit keluarga Keluarga ada yang karier f. Riwayat psiko social dan spiritual Kelemahan dan gangguan interaksi sosial karena bedrest serta terjadi kecemasan. g. Pemeriksaan fisik 1) Kepala 2) Mata : kelopak mata cekung, pucat, dialtasi pupil, konjungtifa pucat kadang di dapat anemia ringan. 3) Mulut : Mukosa bibir kering, pecah-pecah, bau mulut tak sedap. Terdapat beslag lidah dengan tanda-tanda lidah tampak kering dilatasi selaput tebal dibagian ujung dan tepi lidah nampak kemerahan, lidah tremor jarang terjadi. 4) Thorak : jantung dan paruh tidak ada kelainan kecuali jika ada komplikasi. Pada daerah perangsang ditemukan resiola spot. 5) Abdomen : adanya nyeri tekan, adanya pembesaran hepar dan limpa, distensi abdomen, bising usus meningkat 6) Ekstrimitas : Terdapat rosiola dibagian fleksus lengan atas. 2. Diagnosa Keperawatan a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, dispnea. b. Peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan proses inflamasi kuman salmonella thypii. c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan proses peradangan. d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam e. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat. f. Resiko devisit volume cairan berhubungan dengan intake yang tidak adekuat dan peningkatan suhu tubuh. g. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi h. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran i. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring j. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan k. Kecemasan orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan kondisi anaknya. 3. Rencana Tindakan a. Dx.1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan, dispnea. Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3X24 jam pola napas efektif Kriteria hasil : – Pola napas efektif, Tidak terdapat pernapasan cuping hidung, Tidak ada keluhan sesak, Frekuensi pernapasan dalam batas normal 24-32 x/menit Intervensi keperawatan 1) Kaji frekuensi, kedalaman, dan upaya pernapasan R/: Pernapasan dangkal, cepat/dispnea sehubungan dengan peningkatan kebutuhan oksigen 2) Selidiki perubahan kesadaran R/: Perubahan mental dapat menunjukkan hipoksemia dan gagal pernapasan 3) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi. Posisi miring R/: Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan pada diafragma 4) Dorong penggunaan teknik napas dalam R/: Membantu memaksimalkan ekspansi paru 5) Kolaborasi. Berikan tambahan okseigen sesuai indikasi R/: Perlu untuk mengatasi/mencegah hipoksia. Bila pernapasan/oksigenasi tidak adekuat, ventilasi mekanik sesuai kebutuhan. b. Dx.2. Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi, proses peradangan Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, suhu tubuh normal Kriteria hasil : Tidak ada tanda-tanda peningkatan suhu tubuh,
TTV dalam batas normal TD : 80-120/60-80 mmhg N : 80-100x/i S : 36,5-370 C P : 24-32x/i Intervensi Keperawatan 1) Observasi tanda-tanda vital R/: Tanda-tanda vital berubah sesuai tingkat perkembangan penyakit dan menjadi indikator untuk melakukan intervensi selanjutnya 2) Beri kompres pada daerah dahi R/: Pemberian kompres dapat menyebabkan peralihan panas secara konduksi dan membantu tubuh untuk menyesuaikan terhadap panas 3) Anjurkan untuk banyak minum air putih R/: Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak 4) Kolaborasi pemberian antiviretik, antibiotik R/: Mempercepat proses penyembuhan, menurunkan demam. Pemberian antibiotik menghambat pertumbuhan dan proses infeksi dari bakteri c. Dx.3. Nyeri berhubungan dengan proses peradangan Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam nyeri hilang/berkurang Kriteria hasil : – Tidak ada keluhan nyeri, Wajah tampak tampak rileks, Skala nyeri 0-1, TTV dalam batas normal TD : 80-120/60-80 mmhg N : 80-100x/i S : 36,5-370C P : 24-32x/i Intervensi keperawatan 1) Kaji tingkat nyeri, lokasi, sifat dan lamanya nyeri R/: Sebagai indikator dalam melakukan intervensi selanjutnya dan untuk mengetahui sejauh mana nyeri dipersepsikan. 2) Berikan posisi yang nyaman sesuai keinginan klien. R/: Posisi yang nyaman akan membuat klien lebih rileks sehingga merelaksasikan otot-otot. 3) Ajarkan tehnik nafas dalam R/: Tehnik nafas dalam dapat merelaksasi otot-otot sehingga mengurangi nyeri 4) Ajarkan kepada orang tua untuk menggunakan tehnik relaksasi misalnya visualisasi, aktivitas hiburan yang tepat R/: Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian 5) Kolaborasi obat-obatan analgetik R/: Dengan obat analgetik akan menekan atau mengurangi rasa nyeri d. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, demam Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, pola tidur efektif Kriteria hasil : Melaporkan tidur nyenya,Klien tidur 8-10 jam semalam, Klien tampak segar Intervensi Keperawatan 1) Kaji pola tidur klien R/: Mengetahui kebiasaan tidur klien, mengetahui gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya 2) Berikan bantal yang nyaman R/: Meningkatkan kenyamanan meningkatkan pemenuhan istirahat tidur 3) Berikan lingkungan yang nyaman, batasi pengunjung R/: Mengurangi stimulus yang dapat mengganggu istirahat tidur 4) Anjurkan untuk melakukan teknik relaksasi nafas dalam/masase punggung sebelum tidur R/: Meningkatkan relaksasi menstimulasi istirahat tidur yang nyaman e. Dx.5. Resiko defisit volume cairan berhubungan dengan hipertermi, intake inadekuat Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3X24 jam, tidak terjadi defisit volume cairan
Kriteria hasil : Tidak terjadi tanda-tanda dehidrasi, Keseimbangan intake dan output dengan urine normal dalam konsentrasi jumlah Intervensi Keperawatan 1) Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit R/: Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari kehilangan cairan 2) Observasi adanya tanda-tanda syok, tekanan darah menurun, nadi cepat dan lemah R/: Agar segera dilakukan tindakan/ penanganan jika terjadi syok 3) Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan R/: Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan cairan 4) Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat R/: Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh 5) Kolaborasi pemberian cairan intravena R/: Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang hilang f. Dx.6. Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, nausea, intake inadekuat Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam kekurangan nutrisi tidak terjadi Kriteria hasil : Nafsu makan meningkat, Tidak ada keluhan anoreksia, nausea, Porsi makan dihabiskan Intervensi keperawatan 1) Kaji kemampuan makan klien R/: Untuk mengetahui perubahan nutrisi klien dan sebagai indikator intervensi selanjutnya 2) Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi dengan meminimalkan rasa mual dan muntah 3) Beri nutrisi dengan diet lunak, tinggi kalori tinggi protein R/: Memenuhi kebutuhan nutrisi adekuat 4) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk memberikan makanan yang disukai R/: Menambah selera makan dan dapat menambah asupan nutrisi yang dibutuhkan klien 5) Anjurkan kepada orang tua klien/keluarga untuk menghindari makanan yang mengandung gas/asam, pedas R/: dapat meningkatkan asam lambung yang dapat memicu mual dan muntah dan menurunkan asupan nutrisi 6) Kolaborasi. Berikan antiemetik, antasida sesuai indikasi R/: Mengatasi mual/muntah, menurunkan asam lambung yang dapat memicu mual/muntah g. Dx.7. Gangguan pola eliminasi BAB berhubungan dengan konstipasi Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, pola eliminasi kembali normal Kriteria hasil : – Klien melaporkan BAB lancer, Konsistensi lunak Intervensi Keperawatan 1) Kaji pola eliminasi klien R/: Sebagai data dasar gangguan yang dialami, memudahkan intervensi selanjutnya 2) Auskultasi bising usus R/: Penurunan menunjukkan adanya obstruksi statis akibat inflamasi, penumpukan fekalit 3) Selidiki keluhan nyeri abdomen R/: Berhubungan dengan distensi gas 4) Observasi gerakan usus, perhatikan warna, konsistensi, dan jumlah feses R/: Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi 5) Anjurkan makan makanan lunak, buah-buahan yang merangsang BAB R/: Mengatasi konstipasi yang terjadi 6) Kolaborasi. Berikan pelunak feses, supositoria sesuai indikasi R/: Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan h. Dx.8. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan kesadaran Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, persepsi sensori dipertahankan\ Kriteria hasil : – Tidak terjadi gangguan kesadaran
Intervensi Keperawatan 1) Kaji status neurologis R/: Perubahan endotoksin bakteri dapat merubah elektrofisiologis otak 2) Istirahatkan hingga suhu dan tanda-tanda vital stabil R/: Istirahat yang cukup mampu membantu memulihkan kondisi pasien 3) Hindari aktivitas yang berlebihan R/: Aktivitas yang berlebihan mampu memperburuk kondisi dan meningkatkan resiko cedera 4) Kolaborasi. Kaji fungsi ginjal/elektrolit R/: Ketidakseimbangan mempengaruhi fungsi otak dan memerlukan perbaikan sebelum intervensi terapeutik dapat dimulai i. Dx.9. Kelemahan berhubungan dengan intake inadekuat, tirah baring Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 X 24 jam, tidak terjadi kelemahan Kriteria hasil : – Klien mampu melakukan aktivitas sehari-sehari secara mandiri Intervensi Keperawatan 1) Kaji tingkat intoleransi klien R/: Menetapkan intervensi yang tepat 2) Anjurkan keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas kebutuhan sehari-hari R/: Mengurangi penggunaan energi yang berlebihan 3) Bantu mengubah posisi tidur minimal tiap 2 jam R/: Mencegah dekubitus karena tirah baring dan meningkatkan kenyamanan 4) Tingkatkan kemandirian klien yang dapat ditoleransi R/: Meningkatkan aktivitasringan dan mendorong kemandirian sejak dini j. Dx.10. Gangguan personal hygiene berhubungan dengan kelemahan; tirah baring Tujuan : gangguan personal hygiene teratasi Kriteria hasil : klien tampak rapid an tampak segar Intervensi keperwatan : 1) Kaji kemampuan dan tingkat kekurangan untuk melakukan kebutuhan sehari-hari R/: Membantu dalam mengantisipasi / merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual 2) Lakukan washlap keseluruh tubuh klien dengan air hangat R/: Memberikan kenyamanan dan menjaga kebersihan kulit klien 3) Anjurkan klien dan keluarga untuk tetap menjaga kebersihan gigi dan mulut klien R/: Kebersihan mulut dapat meningkatkan kenyamanan dan selera makan dan kesehatan pencernaan. 4) Anjurkan orang tua klien untuk mengganti pakaian klien setiap hari R/: Memberikan kenyamanan kepada klien 5) Jelaskan kepada klien dan keluarga tentang pentingnya menjaga kebersihan diri R/: Peningkatan pengetahuan mengembangkan kooperatif klien dan keluarga dalam pelaksanaan tindakan keperawatan DAFTAR PUSTAKA Corwin, E. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC Departemen Kesehatan RI. 2009. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2008. Depkes RI, Jakarta Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta : Media Aesculapius. Nainggolan, R. 2011. Karakteristik Penderita Demam Tifoid. Medan: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Nanda, 2011, Diagnosis Keperawatan, Jakarta : EGC Pearce, E.C. 2009. Anatomi dan Fi siologi untuk paramedic. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum
Ramadhan, 2011, Asuhan Keperawatan Demam Thypoid, http://dhanwaode.wordpress.com/2011/02/01/askep-hemoroid/, di akses pada tanggal 8 oktober 2012 Ramali, A. 2005. Kamus Kedokteran. Jakarta: Djambatan. Simanjuntak, C. H, 2009. Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia Kedokteran No. 83. Smeltzer & Bare. 2002. Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC Soegijianto, S. 2002. Ilmu Penyakit Anak. Jakarta: Salemba Medika Soeparman. (2007). Ilmu Penyakit Dalam Edisi I, Jilid II. Jakarta: Balai Pustaka FKUI Sudoyo, A.W., & B. Setiyohadi. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi IV. Jakarta: Penerbit FK-UI. Syair, H. 2010. Anatomi Fisiologi Tubuh Manusia. http://mutiarasyairsyairklasik.blogspot.com/2010_10_01_archive.html . Diakses pada tanggal 8 Oktober 2012 WHO. 2009. Thypoid Fever. http://www.WHO.int. diakses pada tanggal 8 Oktober 2012 Widodo, D. 2007. Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI