Asuhan Keperawatan Striktur Uretra Post Operasi Sistostomi
BAB II KERANGKA KONSEP A.
Konsep Medis
1.
Anatomi dan Fisiologi Sistem Perkemihan
Gambar 1. Anatomi Sistem Urinari Sistem urinari terdiri atas : a.
Ginjal, yang mengeluarkan sekret urin.
b.
Ureter, yang menyalurkan urin dari ginjal ke kandung kencing.
c.
Kandung kencing, yang bekerja sebagai penampung.
d.
Uretra, yang mengeluarkan urin dari kandung kencing (Pearce, Evelyn C. 2009)
Gambar 2. Anatomi Sistem Urinari Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari kandung kemih sampai keluar tubuh. Fungsinya menyalurkan urin dari tubuh, sebagai tempat pengeluaran urin dan sebagai
–laki. (Hidayah, Alimul. 2006) tempat pengeluaran sperma saat saat ejakulasi pada laki laki – Uretra merupakan saluran tempat pengaliran keluar urin dari kandung kemih. Uretra laki-laki panjangnya sekitar 18 cm dan uretra wanita sekitar 3,5 cm. (Tim Widyatamma. 2010) Uretra merupakan tabung yang menyalurkan menyalurkan urin keluar dari buli-buli melalui proses miksi. miksi. Pada pria organ ini berfungsi juga dalam menyalurkan cairan mani. Uretra Uretra ini diperlengkapi dengan spingter uretra interna yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, dinding terdiri atas otot polos yang disyarafi oleh sistem otonomik dan spingter uretra eksterna yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior, dinding terdiri atas otot bergaris yang dapat diperintah sesuai dengan keingian seseorang. Panjang uretra dewasa ± 23-25 cm.
2.
Pengertian Striktur Uretra
Striktur Uretra adalah berkurangnya diameter dan atau elastisitas uretra akibat digantinya jaringan uretra dengan jaringan ikat yang kemudian mengerut sehingga lumen uretra mengecil (Mansjoer, Arif. 2000).
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra ak ibat adanya jaringan parut dan kontraksi (C. Smeltzer, Suzanne. 2002). Striktur uretra adalah penyempitan atau penyumbatan dari lumen uretra sebagai akibat dari pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut pada uretra uretra dan atau pada daerah peri uretra). (Nursalam. 2008). Striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan lumen uretra. Striktur uretra menyebabkan gangguan dalam berkemih, mulai dari aliran berkemih yang kecil sampai tidak dapat mengeluarkan urin keluar dari tubuh. (Muttaqin, Arif. 2012) Dari beberapa pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa striktur uretra adalah suatu kondisi penyempitan atau penyumbatan lumen uretra akibat dari adanya pembentukan jaringan fibrotik (jaringan parut) sehingga dapat menyebabkan gangguan dalam berkemih. (Rahmadani, Siti. 2013). 3.
Etiologi
Kongenital, uretritis gonore atau non gonore, ruptur uretra anterior atau posterior secara iatrogenik maupun bukan. Pada wanita umumnya disebabkan radang k ronis. Biasanya wanita tersebut berusia di atas 40 tahun dengan sindrom sistitis berulang (Mansjoer, Arif. 2000). Penyebab striktur umumnya adalah cedera uretral (akibat insersi peralatan bedah selama operasi transuretral, kateter indwelling, atau prosedur sistoskopi), cedera akibat peregangan dan cedera yang berhubungan dengan kecelakaan mobil, uretritis gonorheal yang yang tidak ditangani, dan abnormalitas kongenital (Brunner & Suddarth. 2002). Striktur uretra dapat disebabkan oleh setiap radang kronik atau cedera. Radang karena gonore merupakan penyebab penting tetapi radang lain yang kebanyakan disebabkan penyakit kelamin lain. Kebanyakan striktur terletak di pars membranasea walaupun juga terdapat di tempat lain, trauma internal maupun eksternal pada uretra, kelainan bawaan (Nursalam. 2008). Penyebab umum suatu penyempitan uretra adalah akibat traumatik ata u iatrogenik. Penyebab lainnya adalah inflamasi, proses keganasan, dan kelainan bawaan pada uretra (Muttaqin, Arif. 2012).
4.
Insiden
Striktur uretra masih merupakan masalah yang sering ditemukan pada bagian negara tertentu. Striktur uretra lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Karena uretra pada wanita lebih pendek dan jarang terkena infeksi. Segala sesuatu yang melukai uretra dapat menyebabkan striktur. Orang dapat terlahir dengan striktur uretra meskipun hal itu jarang terjadi (Muttaqin.A, 2011).
5.
Patofisiologi
Pada keadaan ini, kandung kemih harus berkontraksi lebih kuat hingga sampai pada suatu saat kemudian akan melemah. Otot kandung kemih semula menebal sehingga terjadi trabekulasi pada fase kompensasi, kemudian timbul sakulasi (penonjolan mukosa masih di dalam otot) dan divertikel
(menonjol ke luar) pada fase dekompensasi. Pada fase ini akan timbul residu urin yang memudahkan terjadinya infeksi. Tekanan di dalam kandung kemih yang tinggi akan menyebabkan refluks sehingga urin masuk kembali ke ureter, bahkan sampai ke ginjal. Infeksi dan refluks dapat menyebabkan pielonefritis akut atau kronik yang kemudian menyebabkan gagal ginjal. (Mansjoer, Arif. 2000). Lesi pada epitel uretra atau putusnya kontinuitas, baik oleh proses infeksi maupun akibat trauma, akan menimbulkan terjadinya reaksi peradangan dan fibroblastik. Iritasi dan urin pada uretra akan mengundang reaksi fibroblastik yang berkelanjutan dan proses f ibrosis makin menghebat sehingga terjadilah penyempitan bahkan penyumbatan dari lumen uretra serta aliran urin mengalami hambatan dengan segala akibatnya. Ekstravasasi urin pada uretra yang mengalami lesi akan mengundang terjadinya peradangan periuretra yang dapat berkembang menjadi abses periuretra dan terbentuk fistula uretrokutan (lokalisasi pada penis, perineum dan atau skrotum). (Nursalam, 2008). Struktur uretra terdiri atas lapisan mukosa dan lapisan submukosa. Lapisan mukosa pada uretra merupakan lanjutan dari mukosa buli-buli, ureter, dan ginjal. Mukosanya terdiri atas epitel kolumnar, kecuali pada daerah dekat orifisium eksterna epitelnya skuamosa dan berlapis. Submukosanya terdiri atas lapisan erektil vaskular. S triktur uretra dapat diakibatkan dari pro ses peradangan, iskemik, atau traumatik. Apabila terjadi iritasi uretra, maka akan terjadi proses pro ses penyembuhan cara epimorfosis, artinya jaringan yang rusak diganti oleh jaringan ikat yang tidak sama dengan semula. Jaringan ikat ini menyebabkan terbentuknya jaringan parut yang memberikan manifestasi hilangnya elastisitas dan memperkecil lumen uretra. (Muttaqin, Arif. 2012).
6.
Pathway
Terbentuknya jaringan parut pada uretra Penyempitan lumen uretra Striktur Uretra Respons obstruksi - Pancaran miksi lemah - Intermitensi
- Miksi tidak puas - Menetes setelah miksi - Pembengkakan penis Respons iritasi - Frekuensi meningkat - Nokturia - Urgensi - Disuria Peningkatan tekanan intravesika Gangguan pemenuhan eliminasi urin
Nyeri miksi Proses peradangan, iskemik, atau traumatik pada uretra
Respons perubahan pada kandung kemih : - Hipertrofi otot destrusor - Trabekulasi - Selula - Divertikel kandung kemih Respons perubahan pada ginjal dan ureter : - Refluks vesiko-ureter - Hidroureter
- Hidronefrosis - Pielonefritis - Gagal ginjal Tindakan pembedahan Preoperasi Respons Psikologis kecemasan Pemenuhan informasi praoperasi Pascaoperasi Kerusakan integritas kulit Nyeri Risiko kerusakan organ seksual Gangguan konsep diri (gambaran diri) Kerusakan jaringan pascaprosedur Risiko tinggi trauma Luka pascabedah Risiko tinggi infeksi (Sumber : Muttaqin, Arif. 2012)
Gambar 3. Pathway Striktur Uretra
7.
Gambaran Klinis
Sumbatan pada uretra dan tekanan kandung kemih yang tinggi dapat menyebabkan imbibisi urin keluar kandung kemih atau uretra proksimal dari striktur. Gejala yang khas adalah pancaran miksi kecil dan bercabang. Gejala yang lain adalah iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, kadang-kadang dengan infiltrat, abses dan fistel. Gejala lanjut adalah retensio urin. (Mansjoer, Arif. 2000). Kekuatan pancaran dan jumlah urin berkurang dan gejala infeksi dan retensi urinarius terjadi. Sriktur menyebabkan urin mengalir balik dan mencetuskan sistitis, prostatitis, dan pielonefritis. Gejala dan tanda striktur biasanya mulai dengan hambatan arus kemih dan kemudian timbul sindrom lengkap obstruksi leher kandung kemih seperti digambarkan pada hipertrofia prostat. Striktur akibat radang uretra sering agak luas dan mungkin multiple. (C. Smeltzer, Suzanne. 2002). Keluhan: kesulitan dalam berkemih, harus mengejan, pancaran mengecil, pancaran bercabang dan menetes sampai retensi urin. Pembengkakan dan getah atau nanah di daerah perineum, skrotum dan terkadang timbul bercak darah di celana dalam. Bila terjadi infeksi sistemik penderita febris, warna urin bisa keruh (Nursalam, 2008).
8.
Pemeriksaan Penunjang
Analisis urin dan kultur untuk mencari adanya infeksi. Ureum dan kreatinin darah untuk melihat fungsi ginjal. Diagnosis pasti dibuat dengan uretrografi retrograd (untuk melihat uretra anterior) atau antegrad (untuk melihat uretra posterior). Dapat pula dilakukan uroflowmetri dan uretroskopi. (Mansjoer, Arif 2000). a.
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk pelengkap pelaksanaan pembedahan. Selain itu, beberapa dilakukan untuk mengetahui adanya tanda-tanda infeksi melalui pemeriksaan urinalisis dan kultur urin. b.
Uroflowmetri
Uroflowmetri adalah pemeriksaan untuk menentukan kecepatan pancaran urin. Volume urin yang dikeluarkan pada waktu miksi dibagi dengan lamanya proses miksi. Kecepatan pancaran urin normal pada pria adalah 20 ml/detik dan pada wanita 25 ml/detik. Bila kecepatan pancaran kurang dari harga normal menandakan adanya obstruksi.
c.
Radiologi
Diagnosis pasti dibuat dengan uretrograf i sehingga dapat melihat letak penyempitan dan besarnya penyempitan uretra. Untuk mengetahui lebih lengkap mengenai panjang striktur adalah dengan sistouretrografi yaitu memasukkan bahan kontras secara antegrad dari buli-buli dan secara retrograd dari uretra. Dengan pemeriksaan ini, panjang striktur dapat diketahui sehingga penting untuk perencanaan terapi atau operasi (Muttaqin, Arif. 2012).
9.
Pencegahan
Elemen penting dalam pencegahan adalah menangani infeksi uretral dengan tepat. Pemakaian kateter uretral untuk drainase dalam waktu lama harus dihindari dan perawatan menyeluruh harus dilakukan pada setiap jenis alat uretral, termasuk kateterisasi. (Smeltzer.C, Suzanne. 2002)
10. Penatalaksaaan Medis
Pada pasien yang datang dengan retensio urin harus dilakukan sistostomi kemudian baru di lakukan pemeriksaan uretrografi untuk mengetahui adanya striktur uretra. Pada pasien dengan infiltrat urin atau abses dilakukan insisi, sistostomi, baru kemudian dilakukan uretrografi. Bila panjang striktur uretra lebih dari 2 cm atau terdapat fistula uretrokutan, atau residif, dapat dilakukan urethroplasty . Bila panjang striktur kurang dari 2 cm dan tidak ada fistel maka dilakukan bedah endoskopi dengan alat Sachse. Untuk striktur uretra anterior dapat dilakukan otis uretrotomi. (Mansjoer, Arif.2000) Tidak ada terapi medis untuk mengobati penyakit striktur uretra. Intervensi utama untuk mengatasi masalah striktur uretra adalah dengan pembedahan. Beberapa jenis pembedahan yang dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut. a.
Pelebaran uretra, baik secara uretrotomi internal atau pemasangan stent uretra.
b.
Bedah rekonstruksi (Muttaqin, Arif. 2012).
Penanganan dapat mencakup dilatasi secara bertahap terhadap area yang menyempit (menggunakan logam yang kuat atau bougies) atau secara bedah. Jika striktur menghambat pasase kateter, ahli urologi menggunakan beberapa filiform bougies untuk membuka jalan. Ketika salah satu bougie mampu mencapai kandung kemih, maka dilakukan fiksasi, dan urin akan didrainase dari kandung kemih. Jalan yang telah terbuka tersebut kemudian didilatasi dengan memasukkan alat pendilatasi yang mengikuti filiform sebagai petunjuk. Setelah dilatasi, rendam duduk menggunakan air panas dan analgesik non-narkotik diberikan untuk mengendalikan nyeri. Medikasi antimikrobial diresepkan untuk beberapa hari setelah dilatasi untuk mencegah infeksi. Eksisi bedah atau uretroplasti mungkin diperlukan untuk kasus yang parah. Sistostomi suprapubis mungkin diperlukan untuk beberapa pasien.
Metode diversi urin yang jarang dilakukan adalah sistostomi suprapubis. Kateter khusus biasanya dimasukkan ke kandung kemih melalui insisi dinding abdomen bawah atau melalui pungsi dengan trokar. Umumnya, sistostomi dilakukan pada pasien yang m engalami obstruksi pada bagian bawah kandung kemih ( obstruksi prostatik ) yang menyebabkan kateter uretral tidak dapat dimasukkan. Sistostomi dapat bersifat sementara ( sampai bedah korektif dilakukan ) atau permanen. Pasien sistostomi memerlukan sejumlah besar cairan untuk mencegah encrustacion (pengerasan) di sekitar kateter. Masalah lain mencakup pembentukan batu kandung kemih, i nfeksi akut dan kronik, dan masalah dalam pengumpulan urin. Saran dan bantuan ahli terapi enterostoma diperlukan pasien dalam memilih kantong urin yang paling sesuai serta cara pemakaiannya. (Brunner & Suddarth. 2002)
B.
Konsep Asuhan Keperawatan
Proses keperawatan yaitu serangkaian tindakan sistematis berkesinambungan, yang meliputi tindakan mengidentifikasi masalah kesehatan individu atau kelompok, baik yang aktual maupun potensial kemudian merencanakan tindakan untuk menyelesaikan, mengurangi, atau mencegah terjadinya masalah baru dan melaksanakan tindakan atau menugaskan orang lain untuk melaksanakan tindakan keperawatan serta mengevaluasi keberhasilan dari tindakan yang dikerjakan. (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid. 2013).
1.
Pengkajian
Keluhan utama pada striktur uretra bervariasi sesuai dengan derajat penyempitan lumen pada uretra. Keluhan utama yang lazim adalah pancaran urin kecil dan bercabang. Keluhan lain biasanya adalah berhubungan dengan gejala iritasi dan infeksi seperti frekuensi, urgensi, disuria, inkontinensia, urin yang menetes, kadang-kadang dengan penis yang m embengkak, infiltrat, abses, dan fistel. Keluhan yang lebih berat adalah tidak bisa mengeluarkan urin atau tidak bisa miksi (retensi urin). Pada pemeriksaan fisik dengan palpasi pada penis didapatkan adanya suatu kelainan akibat fibrosis di uretra, infiltrat, abses, atau terbentuknya suatu fistula. Pengkajian terhadap klien dengan gangguan urologi meliputi pengumpulan data dan analisa data. Dalam pengumpulan data, sumber data klien diperoleh dari diri klien sendiri, keluarga, perawat, dokter ataupun dari catatan medis. Pengumpulan data meliputi : a.
Biodata klien dan penanggung jawab klien. Biodata klien terdiri dari nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, status, agama, alamat, tanggal masuk rumah sakit, nomor register, dan diagnosa medik. b.
Biodata penanggung jawab meliputi : umur, pendidikan, pekerjaan, alamat, dan hubungan
keluarga.
c.
Keluhan utama merupakan keluhan klien pada saat dikaji, klien yang mengatakan tidak dapat
BAK (Buang Air Kecil) seperti biasa dan merasakan nyeri pada daerah post operasi striktur uretra (sistostomi). d.
Riwayat kesehatan masa lalu atau lampau akan memberikan informasi-informasi tentang
kesehatan atau penyakit masa lalu yang pernah diderita pada masa lalu. e.
Pemeriksaan fisik, dilakukan dengan cara inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi terhadap bagian
sistem tubuh, maka akan ditemukan hal-hal sebagai berikut : Keadaan umum pada klien post operasi striktur uretra perlu dilihat dalam hal : keadaan umumnya meliputi penampilan, kesadaran, gaya bicara. Pada post operasi striktur uretra mengalami gangguan pola eliminasi BAK (Buang Air Kecil) sehingga dilakukan pemasangan kateter tetap. f.
Sistem pernafasan, perlu dikaji mulai dari bentuk hidung, ada tidaknya sakit pada lubang
hidung, pergerakan cuping hidung pada waktu bernafas, kesimetrisan gerakan dada pada saat bernafas, auskultasi bunyi nafas dan gangguan pernafasan yang timbul. Apakah bersih atau ada ronchi, serta frekuensi nafas. Hal ini penting karena imobilisasi berpengaruh pada pengembangan paru dan mobilisasi secret pada jalan nafas. g.
Sistem kardiovaskuler, mulai dikaji warna konjungtiva, warna bibir, ada tidaknya peninggian
vena jugularis dengan auskultasi dapat dikaji bunyi jantung pada dada dan pengukuran tekanan darah dengan palpasi dapat dihitung frekuensi denyut nadi. h.
Sistem pencernaan, yang dikaji meliputi keadaan gigi, bibir, lidah, nafsu makan, peristaltik usus,
dan BAB (Buang Air Besar). Tujuan pengkajian ini untuk mengetahui secara dini penyimpangan pada sistem ini. i.
Sistem genitourinaria, dapat dikaji dari ada tidaknya pembengkakan dan nyeri pada daerah
pinggang, observasi dan palpasi pada daerah abdomen bawah untuk mengetahui adanya retensi urin dan kaji tentang keadaan alat-alat genitourinaria bagian luar mengenai bentuknya ada ti daknya nyeri tekan dan benjolan serta bagaimana pengeluaran urinnya, lancar atau ada nyeri waktu miksi, serta bagaimana warna urin. j.
Sistem muskuloskeletal, yang perlu dikaji pada sistem ini adalah derajat Range of Motion dari
pergerakan sendi mulai dari kepala sampai anggota gerak bawah, ketidaknyamanan atau nyeri yang dilaporkan klien waktu bergerak, toleransi klien waktu bergerak dan observasi adanya luka pada otot harus dikaji juga, karena klien imobilitas biasanya tonus dan kekuatan ototnya menurun. k.
Sistem integument, yang perlu dikaji adalah keadaan kulitnya, rambut dan kuku, pemeriksaan
kulit meliputi : tekstur, kelembaban, turgor, warna dan fungsi perabaan. l.
Sistem neurosensori, yang dikaji adalah fungsi serebral, fungsi saraf cranial, fungsi sensori serta
fungsi refleks. m.
Pola aktivitas sehari-hari, pola aktivitas sehari-hari pada klien yang mengalami post operasi
striktur uretra meliputi frekuensi makan, jenis m akanan, porsi makan, jenis dan kuantitas minum dan eliminasi yang meliputi buang air besar (Frekuensi, warna, konsistensi) serta buang air kecil (frekuensi, banyaknya urin yang keluar setiap hari dan warna urin). Kebersihan diri (frekuensi mandi,
mencuci rambut, gosok gigi, ganti pakaian, menyisir rambut dan menggunting kuku). Olahraga (frekuensi dan jenis) serta rekreasi (frekuensi dan tempat rekreasi). n.
Data psikososial, pengkajian yang dilakukan pada klien imobilisasi pada dasarnya sama dengan
pengkajian psikososial pada gangguan sistem lain yaitu mengenai konsep diri (gambaran diri, ideal diri, harga diri, peran diri, dan identitas diri) dan hubungan interaksi klien baik dengan anggota keluarganya maupun dengan lingkungan dimana ia berada. Pada klien dengan post operasi striktur uretra dan imobilisasi adanya perubahan pada konsep diri secara perlahan-lahan yang mana dapat dikenali melalui observasi terhadap adanya perubahan yang kurang wajar dan status emosional perubahan tingkah laku, menurunnya kemampuan dalam pemecahan masalah dan perubahan status tidur. Data spiritual Klien dengan post operasi striktur uretra perlu dikaji tentang agama dan kepribadiannya, keyakinan : harapan serta semangat yang terkandung dalam diri klien yang merupakan aspek penting untuk kesembuhan penyakitnya.
Berikut data pengkajian menurut (Marilynn E. Doengoes, 2000) : a.
Sirkulasi
Tanda: Peningkatan tekanan darah (efek pembesaran ginjal) b.
Makanan dan cairan
Gejala: anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan. c. Eliminasi Gejala: penurunan kekuatan atau aliran urin, ketidakmampuan untuk mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, dorongan dan frekuensi berkemih, nokturia, disuria, hematuria. Tanda: adanya massa atau sumbatan pada uretra. d. Nyeri / kenyamanan : Nyeri suprapubik e. Keamanan : Demam
2.
Diagnosa Keperawatan
Pernyataan yang menggambarkan respon manusia (keadaan sehat atau perubahan pola interaksi aktual atau potensial) dari individu atau kelompok tempat perawat secara legal mengidentifikasi dan perawat dapat memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan atau untuk mengurangi, menyingkirkan, atau mencegah perubahan (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid. 2013). Diagnosa keperawatan adalah penilaian atau kesimpulan yang diambil dari pengkajian keperawatan, menjelaskan status kesehatan, masalah aktual, maupun resiko yang dapat di prioritaskan.
Diagnosa keperawatan yang muncul menurut Muttaqin, Arif. 2012 : a.
Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin, obstruksi uretra
sekunder dari penyempitan lumen uretra. b.
Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pascaprosedur pembedahan.
c.
Nyeri berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot prostat, efek
mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah. d.
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka pascabedah.
e.
Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan diagnostik invasif.
f.
Pemenuhan informasi berhubungan dengan rencana pembedahan, prognosis penyakit.
g.
Gangguan konsep diri ( gambaran diri ) berhubungan dengan risiko kerusakan organ seksual.
3.
Intervensi (perencanaan)
Rencana keperawatan adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan masalah dengan efektif dan efisien (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid, 2013). Tujuan dari rencana keperawatan praoperatif adalah mengadaptasikan keluhan nyeri, pemenuhan eliminasi urin, penurunan kecemasan dan terpenuhinya kebutuhan informasi tentang asuhan perioperatif. Rencana Keperawatan meurut Muttaqin Arif, 2012 : a.
Gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin, obstruksi uretra
sekunder dari penyempitan lumen uretra. Tujuan : dalam waktu 5 x 24 jam pola eliminasi optimal sesuai kondisi klien. Kriteria Evaluasi : 1)
Eliminasi urin tanpa ada keluhan subjektif, seperti nyeri dan urgensi.
2)
Eliminasi urin tanpa meggunakan kateter.
3)
Pascabedah tanpa ada komplikasi.
4)
Frekuensi miksi dalam batas 5-8 x/jam.
Tabel 1. Intervensi dan rasional gangguan pemenuhan eliminasi urin berhubungan dengan retensi urin, obstruksi uretra sekunder dari penyempitan lumen uretra. Intervensi
Rasional
Kaji pola berkemih dan catat
Untuk mengetahui pengaruh iritasi
produksi urin tiap 6 jam.
kandung kemih dengan frekuensi miksi.
Monitor adanya keluhan subjektif
Parameter penting dalam mengevaluasi
pada saat melakukan eliminasi
intervensi yang telah dilaksanakan.
urin. Kolaborasi : 1.
Pelebaran uretra, baik secara
uretrotomi inernal atau pemasangan stent uretra. 2.
Intervensi bedah dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan eliminasi urin. Pemilihan jenis pembedahan dilakukan sesuai derajat penyempitan dan tingkat toleransi individu.
Bedah rekonstruksi
Evaluasi pasca-intervensi pelebaran
Kekambuhan striktur uretra dari
uretra
intervensi pelebaran uretra adalah komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang, intervensi untuk melebarkan uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk instrumen yang dimasukkan melalui urothelium ke dalam korpus spongiosum. Risiko ini dapat
diminimalisasi dengan teknik hati-hati dan pilihan pelebaran yang tepat untuk pasien. b.
Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pasca prosedur pembedahan.
Tujuan : dalam waktu 5 x 24 jam tidak mengalami trauma pascabedah. Kriteria Evaluasi : 1)
Tidak ada keluhan subjektif, seperti disuria, dan urgensi.
2)
Eliminasi urin tanpa menggunakan kateter.
3)
Pascabedah tanpa ada komplikasi.
Tabel 2. Intervensi dan rasional risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan jaringan pasca prosedur pembedahan.
Intervensi
Rasional
Monitor adanya keluhan subjektif
Parameter penting dalam mengevaluasi
pada saat melakukan eliminasi
intervensi yang telah dilaksanakan.
urin. Istirahatkan pasien setelah
Pasien dianjurkan tirah baring selama 24-
pembedahan.
48 jam, tergantung pada sejauh mana prosedur yang telah dilakukan.
Lepas kateter pada hari ke 1-3
Menurunkan risiko cedera pada uretra.
pascaoperasi Evaluasi pasca-intervensi
Kekambuhan striktur uretra dari
pelebaran uretra.
intervensi pelebaran uretra adalah komplikasi yang paling umum. Meskipun jarang, intervensi untuk melebarkan uretra dapat menyebabkan trauma uretra, kondisi ini termasuk instrumen yang dimasukkan melalui urothelium ke dalam korpus spongiosum. Risiko ini dapat diminimalisasi dengan teknik hatihati dan pilihan pelebaran yang tepat untuk pasien.
Kolaborasi : 1.
Antibiotik intravena
pascaoperasi
Menurunkan risiko infeksi yang akan meningkatkan respons trauma jaringan pascabedah Sering digunakan untuk mencegah kejang
2.
c.
Agen antimuskarinik
kandung kemih.
Nyeri berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot prostat, efek
mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah. Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam nyeri berkurang atau hilang atau teradaptasi. Kriteria Evaluasi : 1)
Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi. Skala nyeri 0-1 (0-4).
2)
Dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri.
3)
Ekspresi pasien rileks.
Tabel 3. Intervensi dan rasional nyeri berhubungan dengan peregangan dari terminal saraf, disuria, resistensi otot prostat, efek mengejan saat miksi sekunder dari obstruksi uretra, nyeri pascabedah. Intervensi
Rasional
Jelaskan dan bantu pasien dengan
Pendekatan dengan menggunakan
tindakan pereda nyeri
relaksasi dan nonfarmakologi lainnya
nonfarmakologi dan non invasif.
telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
Lakukan manajemen nyeri keperawatan : 1.
Istirahatkan pasien
Istirahat akan menurunkan kebutuhan oksigen jaringan perifer sehingga akan meningkatkan suplai darah ke jaringan. Lingkungan tenang akan menurunkan simulus nyeri eksternal dan
2.
Manajemen lingkungan
tenang dan batasi pengunjung.
menganjurkan pasien untuk beristirahat dan pembatasan pengunjung akan membantu meningkatkan kondisi Oksigen ruangan yang akan berkurang apabila banyak pengunjung yang berada di ruangan dan menjaga privasi pasien. Meningkatkan asupan Oksigen akan menurunkan nyeri sekunder. Distraksi (pengalihan perhatian) dapat menurunkan stimulus internal dengan mekanisme peningkatan produksi endorfin dan enkefalin yang dapat memblok reseptor nyeri untuk tidak dikirimkan ke korteks serebri sehingga menurunkan persepsi nyeri.
3.
Ajarkan teknik relaksasi
pernafasan dalam
Pengetahuan yang akan dirasakan membantu mengurangi nyerinya dan
4.
Ajarkan teknik distraksi pada
saat nyeri.
dapat membantu mengembangkan kepatuhan pasien terhadap rencana terapeutik.
5.
Tingkatkan pengetahuan
tentang : sebab-sebab nyeri.
d.
Kolaborasi dengan dokter untuk
Analgetik memblok lintasan nyeri
pemberian analgetik.
sehingga nyeri akan berkurang.
Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka pascabedah.
Tujuan : infeksi tidak terjadi Kriteria hasil : 1)
Suhu tetap dalam rentang normal.
2)
Hitung Sel Darah Putih (SDP) dan hitung diferensial Sel Darah Putih (SDP) tetap dalam rentang
normal. 3)
Pasien mempertahankan kepribadian dan hygiene perorangan yang baik.
4)
Urin tetap berwarna kuning jernih, tidak berbau, tidak ada endapan.
5)
Luka dan insisi terlihat bersih, merah muda, dan bebas dari drainase purulen.
6)
Tempat masuk intravena tidak memperlihatkan tanda-tanda inflamasi.
7)
Pasien tidak memperlihatkan adanya bukti gangguan kulit.
8)
Pasien menyatakan faktor resiko infeksi.
9)
Pasien mengidentifikasi tanda-tanda dan gejala infeksi.
10) Pasien tetap terbebas dari infeksi. Tabel 4. Intervensi dan rasional risiko tinggi infeksi berhubungan dengan port de entree luka pascabedah. Intervensi 1.
Rasional
Minimalkan risiko infeksi
pasien dengan : a.
Mencuci tangan sebelum dan
setelah memberikan perawatan. b.
Menggunakan sarung tangan
untuk mempertahankan asepsis pada saat memberikan perawatan langsung.
Mencuci tangan adalah satu-satunya cara terbaik untuk mencegah penularan patogen. Sarung tangan dapat melindungi tangan pada saat memegang luka yag dibalut atau melakukan berbagai
tindakan. 2.
Pantau suhu minimal setiap 4
Suhu yang terus meningkat setelah
jam dan catat pada kertas grafik.
pembedahan dapat merupakan tanda
Laporkan evaluasi segera.
infeksi luka.
3.
Mencuci tangan mencegah penyebaran
Bantu pasien mencuci tangan
sebelum dan sesudah makan dan
patogen terhadap objek dan makanan
setelah dari kamar mandi.
lain.
4.
Untuk membantu mencegah patogen
Ganti slang IV dan berikan
perawatan daerah pemasukan
masuk ke dalam tubuh.
setiap 24 sampai 48 jam atau sesuai kebijakan yang diterapkan di rumah sakit. 5.
Yakinkan asupan nutrisi yang
adekuat.
Tindakan ini menstabilkan berat badan, meningkatkan tonus dan massa otot, dan membantu penyembuhan luka.
6.
Beri pendidikan kepada pasien
mengenai : a.
Teknik mencuci tangan yang
baik b.
Tindakan tersebut memungkinkan pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan dan membantu pasien momodifikasi gaya hidup untuk mempertahankan tingkat kesehatan
Faktor-faktor yang
yang optimum.
meningkatkan risiko infeksi c.
e.
Tanda-tanda dan gejala infeksi
Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan diagnostik invasif.
Tujuan : dalam waktu 1 x 24 jam ti ngkat kecemasan pasien berkurang atau hilang. Kriteria Evaluasi : Pasien menyatakan kecemasan berkurang, mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang mempengaruhinya, kooperatif terhadap tindakan, dan wajah rileks. Tabel 5. Intervensi dan rasional Kecemasan berhubungan dengan prognosis pembedahan, tindakan diagnostik invasif. Intervensi
Rasional
Bantu pasien mengekspresikan
Cemas berkelanjutan memberikan
perasaan marah, kehilangan, dan
dampak serangan jantung selanjutnya
takut Beri dukungan prabedah
Hubungan emosional yang baik antara perawat dan pasien akan memengaruhi penerimaan pasien dengan pembedahan. Aktif mendengar semua kekhawatiran dan keprihatinan pasien adalah bagian penting dari evaluasi praoperatif. Keterbukaan mengenai tindakan bedah yang akan dilakukan, pilihan anestesi, dan perubahan atau kejadian pascaoperatif yang diharapkan akan menghilangkan banyak ketakutan berdasar terhadap anestesi. Bagi sebagian besar pasien, pembedahan adalah suatu peristiwa hidup yang bermakna. Kemampuan perawat dan dokter untuk memandang pasien dan keluarganya sebagai manusia yang layak untuk didengarkan dan diminta pendapat, ikut menentukan hasil pembedahan. Egbert et al. (1963, dalam Gruendemann, 2006) memperlihatkan bahwa kecemasan pasien yang dikunjungi dan diminta pendapat sebelum dioperasi akan berkurang saat tiba di kamar operasi dibandingkan mereka yang hanya sekadar diberi pramedikasi dengan fenobarbital.
Hindari konfrontasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah, menurunkan kerja sama, dan mungkin memperlambat penyembuhan.
Beri lingkungan yang tenang dan
Mengurangi rangsangan eksternal yang
suasana penuh istirahat
tidak perlu.
Beri kesempatan kepada pasien
Dapat menghilangkan ketegangan
untuk mengungkapkan
terhadap kekhawatiran yang tidak
ansietasnya.
diekspresikan.
Berikan privasi untuk pasien dan
Memberi waktu untuk mengekspresikan
orang terdekat
perasaan, menghilangkan cemas, dan perilaku adaptasi. Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih pasien melayani aktivitas dan pengalihan (misal : membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.
Kolaborasi : Berikan anticemas sesuai indikasi,
Meningkatkan relaksasi dan menurunkan kecemasan.
contohnya diazepam.
f.
Pemenuhan informasi berhubungan dengan rencana pembedahan, prognosis penyakit.
Tujuan : Dalam waktu 1 x 24 jam terpenuhinya pengetahuan pasien dan keluarga tentang pembedahan. Kriteria evaluasi : 1)
Pasien dan keluarga mengetahui jadwal pembedahan.
2)
Pasien dan keluarga kooperatif pada setiap intervensi keperawatan.
3)
Pasien dan keluarga secara subjektif menyatakan bersedia dan termotivasi untuk melakukan
aturan atau posedur prabedah yang telah dijelaskan. 4)
Pasien dan keluarga memahami tahap-tahap intraoperatif dan pascaanestesi.
5)
Pasien dan keluarga mampu mengulang kembali secara narasi intervensi prosedur
pascaanestesi atau perencanaan pasien pulang. 6)
Pasien dan keluarga memahami respons pembedahan secara fisologis dan psikologis.
7)
Secara subjektif pasien menyatakan rasa nyaman dan relaksasi emosional.
Tabel 6. Intervensi dan rasional pemenuhan informasi berhubungan dengan rencana pembedahan, prognosis penyakit. Intervensi
Rasional
Kaji tingkat pengetahuan, sumber
Menjadi data dasar untuk memberikan
informasi yang telah diterima.
pendidikan kesehatan dan mengklarifikasi sumber yang tidak jelas.
Diskusikan jadwal tindakan
Pasien dan keluarga harus diberitahu
diagnostik invasif dan
waktu dimulainya tindakan bedah.
pembedahan.
Apabila rumah sakit mempunyai jadwal kamar operasi yang padat, lebih baik pasien dan keluarga diberitahukan mengenai banyaknya jadwal operasi yang telah ditetapkan sebelum pasien.
Diskusikan lamanya pembedahan.
Kurang bijaksana bila memberitahukan pasien dan keluarganya tentang lamanya waktu tindakan operasi yang akan dijalani. Penundaan yang tidak diantisipasi dapat terjadi karena berbagai alasan. Apabila pasien tidak kembali pada waktu yang diharapkan, keluarga akan menjadi sangat cemas. Anggota keluarga harus menunggu dalam ruang tunggu bedah untuk mendapat berita yang terbaru dari staf.
Lakukan pendidikan kesehatan
Manfaat dari instruksi preoperatif telah
preoperatif.
dikenal sejak lama. Setiap pasien diajarkan sebagai seorang individu dengan mempertimbangkan segala keunikan ansietas, kebutuhan, dan harapan-harapannya.
Programkan instruksi yang
Jika sesi penyuluhan dilakukan
didasarkan pada kebutuhan
beberapa hari sebelum tindakan
individu direncanakan dan
pembedahan, pasien mungkin tidak
diimplementasikan pada waktu
ingat tentang apa yang telah dikatakan.
yang tepat.
Jika instruksi diberikan terlalu dekat dengan waktu pembedahan, pasien mungkin tidak dapat berkonsentrasi atau belajar karena ansietas atau efek dari medikasi praanestesi.
Beritahu persiapan pembedahan, meliputi : 1.
Persiapan intestinal.
Pembersihan dengan enema atau laksatif mungkin dilakukan pada malam sebelum operasi dan mungkin diulang jika tidak efektif. Pembersihan ini adalah untuk mencegah defekasi selama anestesi atau untuk mencegah
trauma yang tidak diinginkan pada intestinal selama pembedahan abdomen. Tujuan dari persiapan kulit preoperatif adalah untuk mengurangi sumber bakteri tanpa mencederai kulit. Bila ada waktu, seperti pada bedah elektif, 2.
Persiapan kulit.
pasien dapat diinstruksikan untuk menggunakan sabun yang mengandung deterjen germisida untuk membersihkan area kulit selama beberapa hari sebelum pembedahan, untuk mengurangi jumlah organisme kulit; persiapan ini dapat dilakukan di rumah. Sebelum pembedahan, pasien harus mandi air hangat dan merelakskan, serta menggunakan sabun betadin. Meskipun hal ini lebih disukai dilakukan pada hari pembedahan, tetapi waktu yang dijadwalkan untuk pembedahan dapat mengharuskan bahwa hal tersebut dilakukan pada malam sebelumnya. Tujuan menjadwalkan mandi pembersihan sedekat mungkin dengan waktu pembedahan adaah untuk mengurangi risiko kontaminasi kulit terhadap luka bedah. Mencuci rambut sehari sebelum pembedahan sangat disarankan kecuali kondisi pasien tidak memungkinkan hal tersebut. Pencukuran area operasi dilakukan apabila protokol lembaga atau ahli bedah mengharuskan kulit untuk dicukur, pasien diberitahukan tentang prosedur mencukur, dibaringkan dalam posisi yang nyaman, dan tidak memajan bagian yang tidak perlu.
3.
Pencukuran area operasi.
Beritahu persiapan pembedahan,
Istirahat merupakan hal yang penting
meliputi :
untuk penyembuhan normal. Kecemasan tentang pembedahan dapat
1.
Persiapan istirahat dan tidur.
dengan mudah mengganggu kemampuan untuk istirahat atau tidur. Kondisi penyakit yang membutuhkan tindakan pembedahan mungkin akan menimbulkan rasa nyeri yang hebat sehingga mengganggu istirahat. Perawat harus memberi lingkungan yang tenang dan nyaman untuk pasien. Dokter sering memberi obat hipnotiksedatif atau antiansietas pada malam hari sebelum pembedahan. Obatobatan hipnotik-sedatif (misalnya: flurazepam [Dalmane]) menyebabkan dan mempercepat pasien tidur. Obatobatan antiansietas (misalnya: alprazolam [Xanax], diazepam [Valium]), bekerja pada korteks serebral dan sistem limbik untuk menghilangkan ansietas. Untuk menghindari cedera, perawat meminta pasien melepas jepit rambutnya sebelum masuk ke ruang operasi. Rambut palsu juga harus dilepas. Rambut panjang dapat dikepang agar tetap pada tempatnya.
Pasien akan memakai tutup kepala sebelum memasuki ruang operasi. Selama dan setelah pembedahan, ahli anestesi dan perawat mengkaji kulit, serta membran mukosa untuk menentukan kadar oksigenasi dan sirkulasi pasien. Oleh karena itu, seluruh riasan muka (lipstik, bedak, pemerah muka, dan cat kuku) harus dihilangkan 2.
Persiapan rambut dan
kosmetik.
untuk memperlihatkan warna kulit dan kuku yang normal. Pasien harus melepas semua prostese, termasuk gigi palsu lengkap atau sebagian, kaki palsu, mata palsu, dan lensa kontak. Alat bantu dengar, bulu mata palsu, dan kacamata juga harus dilepas. Apabila pasien memiliki brace(alat penopang) atau bidai, perawat meminta dokter untuk menentukan apakah alat-alat tersebut harus dilepas atau tidak. Pada banyak lembaga, perawat harus mendokumentasikan daftar seluruh alat prostese atau barang-barang pribadi termasuk perhiasan dan menyimpannya sesuai dengan kebijakan lembaga. Perawat juga boleh memberikan prostese dan perhiasan pada anggota keluarga. Pasien sudah menyelesaikan administrasi dan mengetahui secara finansial biaya pembedahan. Pasien sudah medapat penjelasan dan menandatanganiinformed consent (Surat Ijin Operasi).
3.
Pemeriksaan alat bantu
(protese) dan perhiasan.
4.
Persiapan administrasi
daninformed consent (Surat Ijin Operasi). Ajarkan aktivitas pada postoperasi,
Salah satu tujuan dari asuhan
meliputi :
keperawatan preoperatif adalah untuk mengajarkan pasien cara untuk
1.
Latihan napas diafragma
meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anestesi umum. Hal ini dicapai dengan memperagakan pada pasien bagaimana melakukan napas dalam, napas lambat (menahan inspirasi secara maksimal), dan bagaimana menghembuskan napas dengan lambat. Pasien diletakkan dalam posisi duduk untuk memberikan ekspansi paru yang maksimum. Pernapasan diafragmatik mengacu pada pendataran kubah diafragma selama
inspirasi dengan mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan udara masuk. Selama ekspirasi, otot-otot abdomen berkontraksi. 2.
Ajarkan latihan batuk efektif
Tujuan dalam meningkatkan batuk
dan gunakan bantal agar
adalah untuk memobilisasi sekresi
mengurangi respons nyeri.
sehingga dapat dikeluarkan. Ketika dilakukan napas dalam sebelum batuk, refleks batuk dirangsang. Jika pasien tidak dapat batuk secara efektif, pneumonia hipostatik, dan komplikasi paru lainnya dapat terjadi. Bila akan dilakukan insisi abdomen atau toraks, perawat memperagakan bagaimana garis insisi dapat disokong sehingga tekanan diminimalkan dan nyeri terkontrol.
Ajarkan aktivitas pada postoperasi,
Tujuan peningkatan pergerakan tubuh
meliputi :
secara hati-hati pada pascaoperatif adalah untuk memperbaiki sirkulasi,
1)
Latihan tungkai
untuk mencegah stasis vena, dan untuk menunjang fungsi pernapasan yang optimal. Pasien ditunjukkan bagaimana cara untuk berbalik dari satu sisi ke sisi lainnya dan cara untuk mengambil posisi lateral. Posisi ini akan digunakan pada pascaoperatif (bahkan sebelum pasien sadar) dan dipertahankan setiap dua jam. Latihan ekstremitas meliputi ekstensi dan fleksi lutut, serta sendi panggul (sama dengan mengendarai sepeda selama posisi berbaring miring). Telapak kaki diputar seperti membuat lingkaran sebesar mungkin menggunakan ibu jari kaki. Siku dan bahu juga dilatih Range Of Motion (ROM). Pada awalnya pasien
akan dibantu dan diingatkan untuk melakukan latihan ini, tetapi
selanjutnya dianjurkan untuk melakukan latihan secara mandiri. Tonus otot dipertahankan sehingga ambulasi akan lebih mudah dilakukan. Perawat diingatkan untuk tetap menggunakan mekanik tubuh yang tepat dan mengintruksikan pasien untuk melakukan hal yang sama. Ketika pasien dibaringkan dalam posisi apa saja, tubuhnya dipertahankan dalam kelurusan yang sesuai. Beritahu pasien dan keluarga
Pasien akan mendapat manfaat bila
kapan pasien sudah bisa
mengetahui kapan keluarganya dan
dikunjungi.
temannya dapat berkunjung setelah pembedahan.
g.
Gangguan konsep diri ( gambaran diri ) berhubungan dengan risiko kerusakan organ seksual.
Tujuan : dalam waktu 1 jam pasien mampu mengembangkan koping yang positif. Kriteria evaluasi : 1)
Pasien kooperatif pada setiap intervensi keperawatan.
2)
Mampu menyatakan atau mengomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi dan
perubahan yang sedang terjadi. 3)
Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
4)
Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam konsep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negatif.
Tabel 7. Intervensi dan rasional gangguan konsep diri (gambaran diri) berhubungan dengan risiko kerusakan organ seksual. Intervensi
Rasional
Kaji perubahan dari gangguan
Menentukan bantuan individual dalam
persepsi dan hubungan dengan
menyusun rencana perawatan atau
derajat ketidakmampuan.
pemilihan intervensi.
Identifikasi arti dari kehilangan
Mekanisme koping pada beberapa
atau disfungsi pada pasien.
pasien dapat menerima dan mengatur perubahan fungsi secara efektif dengan sedikit penyesuaian diri, sedangkan yang lain mengalami koping maladaptif dan mempunyai kesulitan dalam membandingkan, mengenal, dan mengatur kekurangan yang terdapat pada dirinya.
Anjurkan pasien untuk
Menunjukkan penerimaan, membantu
mengekspresikan perasaan.
pasien untuk mengenal dan mulai menyesuaikan dengan perasaan tersebut.
Catat ketika pasien menyatakan
Mendukung penolakan terhadap bagian
terpengaruh seperti sekarat atau
tubuh atau perasaan negatif terhadap
mengingkari dan menyatakan
gambaran tubuh dan kemampuan yang
inilah kematian.
menunjukkan kebutuhan dan intervensi, serta dukungan emosinal.
Pernyataan pengakuan terhadap
Membantu pasien untuk melihat bahwa
penolakan tubuh, mengingatkan
perawat menerima kedua bagian
kembali fakta kejadian tentang
sebagai bagian dari seluruh tubuh.
realitas bahwa masih dapat
Mengijinkan pasien untuk merasakan
menggunakan sisi yang sakit dan
adanya harapan dan mulai menerima
belajar mengontrol sisi yang sehat.
situasi baru.
Bantu dan anjurkan perawatan
Membantu meningkatkan perasaan
yang baik dan memperbaiki
harga diri dan mengontrol lebih dari
kebiasaan.
satu area kehidupan.
Anjurkan orang yang terdekat
Menghidupkan kembali perasaan
untuk mengijinkan pasien
kemandirian dan membantu
melakukan sebanyak-banyaknya
perkembangan harga diri, serta
hal-hal untuk dirinya.
memengaruhi proses rehabilitasi.
Dukung perilaku atau usaha seperti
Pasien dapat beradaptasi terhadap
peningkatan minat atau partisipasi
perubahan dan pengertian tentang
dalam aktivitas rehabilitasi.
peran individu masa mendatang.
Monitor gangguan tidur
Dapat mengindikasikan terjadinya
peningkatan kesulitan konsentrasi,
depresi. Umumnya depresi terjadi
letargi, danwithdrawl.
sebagai pengaruh dari stroke di mana memerlukan intervensi dan evaluasi lebih lanjut.
Kolaborasi: rujuk pada ahli
Dapat memfasilitasi perubahan peran
4.
a.
neuropsikologi dan konseling bila
yang penting untuk perkembangan
ada indikasi.
perasaan.
Implementasi (pelaksanaan)
Pengertian
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan sesudah implementasi tindakan, serta menilai data yang baru. b.
Faktor yang mempengaruhi implementasi
1)
Kemampuan intelektual, teknikal, dan interpersonal.
2)
Kemampuan menilai data baru.
3)
Kreativitas dan inovasi dalam membuat modifikasi rencana tindakan.
4)
Penyesuaian selama berinteraksi dengan klien.
5)
Kemampuan mengambil keputusan dalam memodifikasi implementasi.
6)
Kemampuan untuk menjamin keamanan dan kenyamanan serta efektivitas tindakan.
c.
Tahap-tahap pelaksanaan
1)
Tahap persiapan
a)
Review rencana tindakan keperawatan.
b)
Analisis pengetahuan dan ketrampilan yang diperlukan.
c)
Antisipasi komplikasi yang akan timbul.
d)
Mempersiapkan peralatan yang diperlukan (waktu, tenaga, alat).
e)
Mengidentifikasi aspek-aspek hukum dan etik.
f)
Memperhatikan hak-hak pasien, antara lain hak atas pelayanan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan kesehatan, hak atas informasi, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak atas second opinion. 2)
Tahap pelaksanaan
a)
Berfokus pada klien.
b)
Berorientasi pada tujuan dan kriteria hasil.
c)
Memperhatikan keamanan fisik dan psikologis klien.
d)
Kompeten.
3)
Tahap sesudah pelaksanaan
a)
Menilai keberhasilan tindakan.
b)
Mendokumentasikan tindakan, yang meliputi tindakan atau aktivitas perawat, hasil atau
respons klien, tanggal atau jam, nomor diagnosis keperawatan dan tanda tangan. Dalam melaksanakan rencana tersebut harus diperlukan kerja sama dengan tim kesehatan yang lain, keluarga klien dan klien sendiri. Hal –hal yang perlu diperhatikan: a.
Kebutuhan dasar klien.
b.
Dasar dari tindakan.
c.
Kemampuan perseorangan, keahlian atau keterampilan dan perawatan.
d.
Sumber dari keluarga dan klien sendiri.
e.
Sumber dari instansi terkait.
5.
Evaluasi
Sumber (Rohmah, Nikmatur & Saiful Walid. 2013) : a.
Pengertian
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. b.
Tujuan evaluasi
1)
Mengakhiri rencana tindakan keperawatan.
2)
Memodifikasi rencana tindakan keperawatan.
3)
Meneruskan rencana tindakan keperawatan.
c.
Proses evaluasi
1)
Mengukur Pencapaian Tujuan
a)
Tujuan dari aspek kognitif. Pengukuran perubahan kognitif dapat dilakukan dengan dua cara:
(1) Interview atau Tanya Jawab Menanyakan kembali segala sesuatu yang telah dijelaskan oleh perawat untuk mengklarifikasi pemahaman klien atau keluarga terhadap pengetahuan yang t elah diberikan. (2) Komprehensif
Pertanyaan komprehensif adalah pertanyaan yang diajukan berdasarkan pemahaman klien terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Contoh: ciri apa yang Anda rasakan? (3) Aplikasi Fakta Pertanyaan berdasarkan aplikasi fakta adalah pertanyaan yang ditujukan untuk mengidentifikasi pemahaman klien pada tingkat aplikasi. P erawat mengajukan beberapa situasi atau kondisi yang mungkin terjadi pada klien dan klien diminta untuk menentukan alternatif pemecahan masalahnya. Contoh: apa yang akan Anda lakukan bila ketika Anda berjalan, kemudian ada perasaan sesak? (4) Tulis Teknik yang kedua digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan kognitif adalah dengan mengajukan pertanyaan tertulis. Pertanyaan-pertanyaan ini sudah disiapkan sebelumnya dan berdasarkan tujuan dan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan. b)
Tujuan aspek afektif. Untuk mengukur pencapaian tujuan aspek afektif, dapat dilakukan
dengan dua cara: (1) Observasi Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung terhadap perubahan emosional klien: apakah klien telah kooperatif, apakah mekanisme koping telah efektif.
(2) Feed back dari Staf Kesehatan Lain Umpan balik, masukan, dan pengamatan dari staf yang lain dan juga dipakai sebagai salah satu informasi tentang aspek afektif klien. c)
Psikomotor
Pengukuran perubahan aspek psikomotor dapat dilakukan melalui observasi secara langsung terhadap perubahan perilaku klien. d)
Perubahan fungsi tubuh
Perubahan fungsi tubuh merupakan komponen yang paling sering menjadi kriteria evaluasi. Dari pengamatan di rumah sakit, pada umumnya dari daftar diagnosis keperawatan yang ada kebanyakan bersifat fisik sehingga kriteria hasil yang ingin dicapai mengacu pada aspek perubahan fungsi tubuh.mengingat begitu banyaknya aspek perubahan fungsi tubuh, untuk m engukur perubahannya dapat dilakukan dengan tiga cara, antara lain: (1) Observasi; (2) Interview; (3) Pemeriksaan fisik. 2)
Penentuan Keputusan
a)
Klien telah mencapai hasil yang telah ditentukan dalam tujuan. Kondisi ini dicapai apabila
semua data yang ditentukan dalam kriteria hasil sudah terpenuhi. b)
Klien masih dalam proses mencapai hasil yang ditentukan. Kondisi ini dicapai apabila sebagian
saja dari kriteria hasil yang ditentukan terpenuhi. c)
Klien tidak dapat mencapai hasil yang telah ditentukan. Kondisi ini ditentukan apabila hanya
sebagian kecil atau tidak ada sama sekali dari kriteria hasil yang dapat terpenuhi. Dapat juga terjadi kondisi klien semakin buruk sehingga timbul masalah yang baru. d.
Macam evaluasi
1)
Evaluasi Proses (Formatif)
a)
Evaluasi yang dilakukan setiap selesai tindakan.
b)
Berorientasi pada etiologi.
c)
Dilakukan secara terus-menerus sampai tujuan yang telah ditentukan tercapai.
2)
Evaluasi Hasil (Sumatif)
a)
Evaluasi yang dilakukan setelah akhir tindakan keperawatan secara paripurna.
b)
Berorientasi pada masalah keperawatan.
c)
Menjelaskan keberhasilan / ketidakberhasilan.
d)
Rekapitulasi dan kesimpulan status kesehatan klien sesuai dengan kerangka waktu yang
ditetapkan. e.
Kerangka waktu dalam evaluasi
Pertanyaan yang sering diajukan, yaitu kapan sebenarnya evaluasi itu dilakukan? Evaluasi pada dasarnya dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan yang ditetapkan sudah dicapai atau belum. Oleh karena itu, evaluasi dilakukan sesuai dengan kerangka waktu penetapan tujuan (evaluasi hasil), tetapi selama proses pencapaian tujuan perubahan yang terjadi pada klien juga harus selalu dipantau (evaluasi proses). Dari pertanyaan di atas, dapat diketahui bahwa evaluasi proses itu dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan klien dan evaluasi hasil dilakukan pada akhir pencapaian tujuan. Beberapa rumah sakit menetapkan kebijakan yang berbeda, evaluasi hasil diukur tiap shift jaga, sedangkan rumah sakit lain evaluasi proses ditetapkan tiap 24 jam sekali, kecuali untuk kasus gawat darurat dan intensive care. Pada prinsipnya, semakin cepat perubahan yang terjadi pada klien baik ke arah perbaikan atau penurunan, semakin sering evaluasi proses itu dilakukan. f.
Komponen SOAP/SOAPIER
Untuk memudahkan perawat mengevaluasi atau memantau perkembangan klien, digunakan komponen SOAP/SOAPIE/SOAPIER. Penggunaannya tergantung dari kebijakan setempat. Pengertian SOAPIER adalah sebagai berikut. 1)
S : Data Subjektif
Perawat menuliskan keluhan pasien yang masih dirasakan setelah dilakukan tindakan keperawatan. 2)
O : Data Objektif
Data objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi perawat secara langsung kepada klien, dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan keperawatan. 3)
A : Analisis
Interpretasi dari data subjektif dan data objektif. Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosis keperawatan yang masih terjadi atau juga dapat dituliskan masalah atau diagnosis baru yang terjadi akibat perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi datanya dalam data subjektif dan objektif. 4)
P : Planning
Perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan, dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya. 5)
I : Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai dengan instruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P (Perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanaan. 6)
E : Evaluasi
Evaluasi adalah respons klien setelah dilakukan tindakan keperawatan. 7)
R : Reassesment
Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap perencanaan setelah diketahui hasil
evaluasi, apakah dari rencana tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan. Hasil yang diharapkan setelah dilakukan intervensi, meliputi hal-hal sebagai berikut (Muttaqin, Arif. 2012) : a.
Gangguan pemenuhan eliminasi urin teratasi.
b.
Risiko tinggi trauma tidak terjadi.
c.
Penurunan skala nyeri.
d.
Tidak terjadi infeksi luka pascabedah.
e.
Penurunan tingkat kecemasan.