ATRESIA KOANA
A. PENDAHULUAN
Atresia koana merupakan suatu kelainan perkembangan kegagalan hubungan antara kavum nasi bagian posterior dengan nasofaring.(1) Kelainan ini pertama sekali dilaporkan oleh Roederer (1775 ) dan merupakan salah satu kelainan kongenital pada hidung yang sering di jumpai, walaupun insiden pastinya tidak di ketahui.(2) Kejadian atresia koana kongenital berkisar antara 1 dalam 5000 - 8000 angka kelahiran hidup, di mana dapat terjadi secara unilateral maupun bilateral. Penutupan dapat terjadi secara parsial atau total dan bisa berupa membran atau tulang. Hampir 90% atresia koana adalah jenis tulang sedangkan 10% adalah jenis membran.(3-7) Dalam 6 minggu pertama kehidupan, bayi bernafas sangat tergantung pada hidungnya. Hal ini disebabkan karena lidah bayi yang baru lahir mengisi hampir seluruh rongga mulut dan epiglotis agak condong ke depan dekat ke palatum mole. Anatomi ini menyebabkan kebiasaan bayi untuk bernafas melalui hidung dari pada mulut. Dan untuk bernafas melalui mulut, bayi memerlukan waktu untuk belajar yang biasanya sekitar 4 – 6 6 minggu.(3,4) Pada atresia koana bilateral bayi tidak mampu merubah kebiasaan ini tanpa menangis. Oleh karena itu atresia koana bilateral pada bayi baru lahir merupakan hal yang mengancam jiwa dan memerlukan pertolongan yang cepat untuk menyelamatkan hidupnya.(3,5,7) Kami laporkan satu kasus atresia koana bilateral kongenital yang terdiri dari tulang pada bayi perempuan usia 1½ bulan dan telah dilakukan rekonstruksi koana koana dengan bor di sertai pemasangan stent plastik.
B. EPIDEMIOLOGI
Atresia koana kongenital terjadi antara 1 dalam 5000 sampai 8000 kelahiran hidup, tetapi bagai mana pun sukar untuk menentukan insidens yang akurat karena banyak bayi yang dispnea dan meninggal segera setelah lahir akibat gagal bernafas melalui hidung dan tidak terdeteksi. Sebanyak 90% dari atresia koana kongenital biasanya berupa tulang dan sisanya adalah membran. Unilateral lebih sering dari bilateral dengan perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 2 : 1.(1,3)
1
C. ETIOLOGI
Kemungkinan kelainan kongenital ini terjadi karena mukosa bukonasal atau bukofaringeal yang menetap. Pada minggu ke-4 usia fetus, membran bukonasal yang masih primitif gagal untuk robek sehingga nantinya akan menjadi atresia koana membran.(8) Terbentuknya atresia koana bentuk tulang adalah akibat perkembangan intra nasal yang berlebihan pada tulang palatina ke arah horizontal dan vertikal. Atresia koana bentuk tulang ini terdapat pada 90% kasus dan mempunyai tebal yang bervariasi antara 1 – 12
mm.(4,8)
D. GAMBARAN KLINIS
Pada atresia koana unilateral mungkin tidak ada gejala dan jarang menimbulkan gawat nafas dan biasanya di ketahui belakangan karena sekret hidung terus menerus atau hidung tersumbat pada satu sisi.(1,2,5,9-11) Pada bayi di curigai atresia unilateral apabila sewaktu menyusu pada ibunya dengan posisi tertentu, lubang hidung yang normal tersumbat oleh payudara ibunya sehingga bayi akan terlihat sulit bernafas sampai sianosis.(2,8) Pada tipe bilateral akan segera terlihat gejala gangguan pernafasan seperti nafas yang tersendat-sendat tidak teratur, tampak biru kalau bibir tertutup atau sewaktu di beri minum dan akan merah kembali jika bibir terbuka atau sedang menangis.(2,5,11) Selain kesulitan bernafas juga timbul kesulitan sewaktu makan dan minum karena mulut yang biasanya digunakan untuk bernafas digunakan untuk makan / minum.(11) Jika bayi dapat bertahan hidup dengan bantuan jalan nafas melalui mulut, gastric feeding tube, puting Mc Govern dan sebagainya, bayi akan memperlihatkan gejala dan tanda klasik atresia koana bilateral yaitu :(5) 1. bernafas melalui mulut yang konstan 2. sekret hidung bilateral yang kental 3. gangguan penciuman dan pengecapan. 4. kurang gizi. 5. gangguan bicara.
Hampir 50% kasus atresia koana sering disertai dengan kelainan-kelainan kongenital lainnya, terutama pada kasus yang bilateral.(2-4,12) Bergstorm, mengemukakan istilah CHARGE untuk kelainan yang sering berhubungan dengan atresia koana yaitu : 2
Coloboma blindness, Heart disease (kelainan jantung), Atresia koana, Retarded growth and development (keterbelakangan mental dan perkembangan), Genital anomalies in male (hipoplasia alat kelamin laki-laki) dan Ear anomalies and deafness (gangguan pendengaran).(3)
E. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan allo – anamnesis, gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Dari allo-anamnesis di ketahui penderita kesulitan bernafas dan terlihat tersendat-sendat tidak teratur. Bayi akan terlihat biru sewaktu bibir tertutup dan akan merah kembali bila mulut terbuka atau sedang menangis.(2,3,8) Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan :(2,3,8)
Meletakkan kapas atau kaca di depan hidung. Bila terdapat udara.
kapas akan bergerak dan kaca akan berembun.
Memasukkan kateter karet melalui lubang hidung ke faring dan akan terdapat tahanan.
Pemeriksaan nasofaring secara digital.
Pemeriksaan kaca rinoskopi posterior.
Meneteskan metilen blue ke hidung dan di lihat keberadaannya melalui mulut.
Pemeriksaan radiologi :
Foto polos hidung lateral dengan memakai zat kontras dalam posisi berbaring dapat menentukan ketebalan atresia dari kontras di hidung dan udara di nasofaring.
CT Scan dapat membedakan atresia bentuk tulang atau membran dan dapat menentukan angulasi serta tebalnya.
F. PENATALAKSANAAN
Prioritas utama pada bayi baru lahir adalah menjaga pernafasan melalui mulut dengan memasukkan saluran udara plastik ke dalam mulut bayi. (2) Alternatif lain adalah merekatkan puting karet botol bayi (puting Mc Govern) yang dapat dilakukan sampai 1 tahun untuk mendapatkan lapangan operasi yang lebih luas (2 kali waktu lahir). Trakeostomi biasanya tidak dilakukan kalau Mc Govern bisa di pasang. (5) Atresia koana dapat di koreksi dengan tindakan bedah baik secara transnasal atau transpalatal. Transnasal lebih sederhana dan mudah dilakukan, tidak mengganggu perkembangan palatum durum, operasi sebentar, lebih sedikit perdarahan serta dapat
3
dikerjakan pada bayi yang sangat muda usianya tetapi lebih sering menyebabkan restenosis. Banyak ahli berusaha mencegah stenosis kembali dengan pemasangan stent sampai terjadi epitelisasi sempurna (2 – 5 bulan). Dapat digunakan pipa berbentuk huruf U yang di pasang di depan kollumella dan di beri lubang di bagian depan untuk pernafasan.(14) Sedangkan transpalatal memberikan visualisasi yang lebih baik dengan insidens restenosis yang lebih rendah.(1) Ada beberapa cara insisi palatum pada metode ini tetapi yang paling sederhana adalah insisi midline.(5) Pada tipe membran, atresia dapat di tembus melalui hidung dan di ikuti dengan pemasangan stent selama 6 minggu. Pada oklusi tulang perlu dilakukan perforasi dan pemecahan dinding pemisah dengan bor, pahat dan kuret serta seluruh tulang yang menutupi harus di angkat. (13) Pada atresia koana unilateral, tindakan bedah dilakukan setelah pasien dewasa. Metode transnasal biasanya memberikan hasil yang baik sehingga pendekatan transpalatal jarang
digunakan.
Pada
atresia
koana
bilateral
biasanya
operasi
menggunakan mikroskop atau alat endoskopi, dengan selalu berpedoman pada dasar hidung. Kesalahan kearah superior dapat mengakibatkan terkenanya intra kranial (basis sfenoid ) dan dapat timbul komplikasi yang serius. (3) G. PROGNOSIS
Prognosis pasien atresia koana bilateral ditentukan oleh beberapa faktor yaitu : 1.Banyaknya kelainan yang menyertai. 2.Jenis operasi yang dilakukan. 3.Komplikasi yang terjadi selama dan pasca operasi.
4
KEPUSTAKAAN
1. Bailey BJ. Head and Neck Surgery - Otolaryngology. Vol.1. Philadelphia: JB Lippincott Company, 1993.h.921 2. Cinnamond MJ. Choanal Atresia. Dalam: Adams DA, Cinnamond MJ, Ed. Scott - Brown’s Paediatric Otolaryngology. Edisi ke - 6. Great Brittain: Butterworth Heinemann, 1997.h.6/15/2-5. 3. Bluestone CD. Choanal Atresia. Dalam: Bluestone CD, Stool SE, Scheetz MD, Ed. Pediatric Otolaryngology. Vol.1. Edisi ke-2. Philadelphia : WB Saunders Company, 1990. hal. 727-8. 4. Goodwin WJ, Godley F. Choanal Atresia. Dalam: Lee KJ, Ed. Textbook of Otolaryngology and Head and Neck Surgery. New York : Elsevier, 1989.h.228. 5. Montgomery WW. Surgery of the Upper Respiratory System. Edisi ke-3. Philadelphia : Williams & Wilkins, 1996.h.589-95. 6. Gates GA. Current Therapy in Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia : BC Decker Inc, 1984.h.342-6. 7. Lore JM. An Atlas of Head and Neck Surgery. Edisi ke-3. Philadelphia: WB Saunders Company, 1988.h.208-11. 8. Maran AGD. Diseases of the Nose, Throat and Ear. Edisi ke-10.Singapore: PG Publishing Pte Ltd, 1990.h.377-80. 9. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi ke-13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.ha119-22. 10. Boeis. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. Jakarta: EGC, 1993. ha1-27. 11. Ramalingam KK, Sreeramamoorthy B. A Short Practice of Otolaryngology. India: All India Publishers & Distributors, 1990.ha153-4. 12. Kaplan LC. The Otolaryngologic Clinics of North America. Vol.22. No.3. Boston: Williams & Wilkins, 1989.h.661-71. 13. Chaudhuri JN. Unilateral Choanal Atresia. Disampaikan pada XVI World Congress of Otorhinology Head and Neck Surgery, Sydney,2-7 Juni, 1997.
5