I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Sumberdaya lahan suatu daerah aliran sungai (DAS) cenderung mendapat
tekanan
seiring dengan pesatnya
pertumbuhan
penduduk.
Menurut Malingreau (1987), Peningkatan jumlah penduduk mengakibatkan meningkatnya tekanan terhadap lahan, sehingga aktivitas bercocok tanam berkembang luas pada lahan hutan di daerah pegunungan. Penggunaan lahan haruslah memenuhi persyaratan yang diperlukan agar
lahan tersebut dapat berproduksi serta tidak
mengalami kerusakan
untuk jangka waktu yang tidak terbatas (Sitorus, 1995). Kerusakan tersebut disebabkan karena
kesalahan penggunan lahan yang mengakibatkan
meluasnya lahan kritis sehingga menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau. Pengelolaan lahan harus sesuai dengan kemampuan lahan agar tidak menimbulkan kerusakan lahan dan menurunkan produktivitas lahan. Proses evaluasi lahan dan perencanaan tataguna lahan perlu dilakukan karena menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan tentang penggunaan lahan sehingga kita dapat merencanakan dan mengembangan sumber daya lahan
1
yang menjamin kelestarian pemanfaatan sumberdaya lahan masa kini dan masa yang akan datang. Desa
Jenetallasa
Kecamatan
Rumbia
Kabupaten
Jeneponto
merupakan salah satu desa yang terletak di DAS Kelara Bagian Hulu. Berdasarkan hasil observasi lapangan, Kondisi lahan pada pada Desa Jenetallasa telah mengalami degradasi akibat terjadinya te rjadinya penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Keadaan ini diperparah oleh bentuk topografi yang terjal dan memiliki memil iki ketinggian lebih besar dibanding daerah sekitarnya dengan kelerengan yang curam dan bergunung yaitu > 45% dengan intensitas curah hujan yang besar serta pertumbuhan penduduk dan perubahan penggunaan lahan yang sangat pesat yang mempengaruhi kondisi Sub DAS Kelara Bagian Hulu sehingga perlu pengelolaan yang tepat. Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahan yang terjadi di Desa Jenetallasa merupakan suatu permasalahan lingkungan dan merusak ekosistem. Berdasarkan uraian tersebut, maka dipandang perlu melakukan suatu penelitian tentang sebaran pola penggunaan lahan pada berbagai kelas kemampuan lahan di Sub DAS Bagian Hulu pada Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto.
2
B. Rumusan Masalah
Permasalahan - permasalahan yang akan diidentifikasi
di Desa
Jenetallasa antara lain adalah : 1. Bagaimana klasifikasi kemampuan lahan yang ada di Desa Jenetallasa ? 2.
Bagaimana
kesesuaian
penggunaan
lahan
antara
yang
kemampuan
diterapkan
oleh
lahan
dengan
masyarakat
di
pola Desa
Jenetallasa? 3. Bagaimana arahan penggunaan lahan perbaikan lahan yang sesuai di
dan perencanaan peningkatan
Desa Jenetallasa sehingga dapat
meminimalisir terjadinya degradasi lahan? C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi Mengiden tifikasi
klasifikasi
kemampuan lahan yang
ada di Desa
Jenetallasa. 2. Mengevaluasi bagaimana kesesuaian antara kemampuan lahan dengan penggunaan lahan yang sudah diterapkan oleh masyarakat di Desa Jenetallasa. 3. Menentukan arahan penggunaan lahan dan merencanakan peningkatan perbaikan lahan yang sesuai di Desa Jenetallasa sehingga dapat meminimalisir terjadinya degradasi lahan.
3
D. Manfaat Penelitian.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai sebaran pola penggunaan lahan yang terdapat di Desa Jenetallasa dalam hubungannnya dengan kelas kemampuan lahan dan
meningkatkan
pengetahuan masyarakat dalam rangka penerapan pola penggunaan lahan yang sesuai untuk meningkatkan sejehteraan hidupnya secara lestari dan berkesinambungan. Selain itu, memberi informasi dan bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan instansi terkait, Khususnya Dinas Kehutanan dalam rangka penyusunan kebijakan, dalam penerapan pola-pola penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan lahan.
.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Daerah Aliran Sungai (DAS) 1. Pengertian Daerah Aliran Sungai
Undang-Undang
RI
No
41
tahun
1999
tentang
Kehutanan,
menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30 % dari luas DAS dengan sebaran proporsional. Sedangkan yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anakanak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan
daerah
perairan
yang
masih
terpengaruh
aktivitas
darata.
(Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2010). Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu daerah atau wilayah dengan kemiringan lereng yang bervariasi yang dibatasi oleh punggungpunggung bukit atau yang dapat menampung seluru curah hujan sepanjang tahun, menuju sungai utama yang kemudian dialirkan terus sampai ke laut sehingga merupakan kesatuan ekosistem wilayah tata air (Sarief, 1986).
5
DAS
merupakan
suatu
ekosistem
dimana
didalamnya
terjadi
suatu proses interaksi antara faktor-faktor biotik, nonbiotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan (input) ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat berdasarkan masukan
dievaluasi
keluaran (output) dari ekosistem tersebut. Komponen
dalam
ekosistem
DAS
adalah
curah hujan, sedangkan
keluaran terdiri dari debit air dan muatan sedimen (Suripin, 2001) DAS
mempunyai
karasteristik
sendiri-sendiri
yang
mempengaruhi proses pengaliran air hujan atau siklus air. Karaseristik DAS terutama ditentukan oleh faktor lahan (topografi, tanah,geologi, geomorfologi ) dan faktor vegetasi. Faktor tata guna lahan atau penggunaan lahan itulah yang akan mempengaruhi debit sungai dan kandungan lumpur pada daerah aliran sungai (Depertemen Kehutanan, 2000).
2. Ekosistem Daerah Aliran Sungai
Ekosistem adalah sistem ekologi yang terdiri atas komponenkomponen yang saling berinteraksi sehingga membentuk satu kesatuan. Sistem tersebut mempunyai sifat tertentu tergantung pada jumlah dan jenis komponen yang menyusunya. Besar kecilnya ukuran ekosistem tergantung pada pandangan dan batas yang diberikan pada ekosistem tersebut. Daerah aliran sungai dapatlah dianggap sebagai ekosistem (Asdak, 1995).
6
Ekosistem terdiri atas komponen biotis dan abiotis yang saling berinteraksi membentuk satu kesatuan yang teratur. Dengan demikian, dalam suatu ekosistem tidak ada satu komponenpn yang berdiri sendiri, melainkan ia mempunyai keterkaitan
dengan komponen lain, langsung atau tidak
langsung, besar atau kecil. Aktifitas suatu komponen ekosistem selalu member pengaruh pada komponen ekosistem yang lain.
Manusia adalah
salah satu komponen yang penting. Sebagai komponen yang penting. Sebagai komponen yang dinamis, manusia dalam menjalankan aktivitasnya seringkali mengakibatkan dampak pada salah satu komponen lingkungan, dan dengan demikian, mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan. Selama hubungan timbale balik antar komponen ekosistem dalam keadaan seimbang, selama itu pula ekosistem berada dalam kondisi stabil . sebaliknya,
bila
hubungan
timbal
balik
antar
komponen-komponen
lingkungan mengalami gangguan, maka terjadilah gangguan ekologis. Gangguan ekologis ini pada dasarnya adalah gangguan pada arus materi , energy dan informasi antar komponen ekosistem yang tidak seimbang (Asdak 1995).
Dalam
mempelajari ekosistem DAS maka DAS biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut : merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase yang lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng
7
besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentuan oleh pola drainase. Sedangkan menurut (Arsyad, 2010) Daerah hilir DAS dicirikan oleh hala-hal sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir (genangan), pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi. Das bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua keadaan DAS yang berbeda tersebut di atas.
Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS. Pelindungan ini antara lain, dari segi tata air. umumnya
dapat
Sistem ekologi DAS bagian hulu pada
dipandang sebagai suatu
ekosistem
pedesaan
(
Soemarwoto, 1982). Ekosistem terdiri dari empat komponen utama yaitu desa, sawah/ladang, sungai, dan hutan. menyusun dari satu
Komponen-komponen yang
DAS ke DAS lainnya itu berbeda tergantung pada
keadaan daerah setempat. Keempat komponen ini memiliki hubungan timbal balik, maka apabila terjadi perubahan pada salah satu lingkungan, Perubahan
maka
ia
akan
mempengaruhi
komponen-komponen
tersebut
komponen
komponen-komponen pada
gilirannya
mempengaruhi keseluruhan sistem ekologi didaerah tersebut.
lain. dapat
Sebagai
contoh, masalah degradasi lingkungan yang sering terjadi akhir-akhir ini
8
berpangkal pada komponen desa. Pertumbuhan manusia yang cepat menyebabkan perbandingan antara
jumlah penduduk dengan lahan
pertanian yang tidak tidak seimbang. Hal ini telah menyebabkan pemilikan lahan pertanian menjadi semakin sempit. Keterbatasan lapangan kerja dan kendala keterampilan yang terbatas pendapatan
petani.
telah menyebabkan
Keadaan tersebut
diatas
seringkali
kecilnya mendorong
sebahagian petani untuk merambah hutan dan lahan yang tidak produktif lainnya sebagai lahan pertanian. Lahan yang kebanyakan marjinal apabila diusahakan dengan cara-cara yang mengabaikan kaidah-kaidah konservasi tanah rentan terhadap erosi dan tanah longsor. Meningkatnya erosi dan tanah longsor di daerah tangkapan air pada gilirannya akan meningkatkan muatan sedimen di sungai bagian hilir. Demikian
juga, perambahan
hutan untuk kegiatan
pertanian
telah
meningkatkan koefisien air larian, yaitu meningkatnya jumlah air hujan yang menjadi air larian, dan dengan demikian, meningkatnya debit sungai. Perambahan hujan juga menyebabkan hilangnya serasah dan humus yang dapat menyerap air hujan. Dalam skala besar, dampak kejadian tersebut diatas adalah terjadi gangguan perilaku aliran sungai, pada musim hujan debit air sungai meningkat tajam sementara pada musim kemarau debit air sangat rendah. Dengan demikian , resiko banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau meningkat.
9
B. Penggunaan Lahan
Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan (land use) juga diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material dan spiritual. Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan dan dimanfaatkan atau atas jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam penggunaan seperti tegalan (pertanian lahan kering atau pertanian pada lahan tidak beririgasi), sawah, kebun kopi, kebun karet, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung, padang alangalang, dan sebagainya (Arsyad, 2010). Adapun persyaratan penggunaan lahan yang ditetapkan: penggunaan lahan secara umum (major kinds of land use) adalah penggolongan
penggunaan lahan secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian berigrigasi, padang rumput, kehutanan, atau daerah rekreasi. Penggunaan lahan secara umum biasanya digunakan untuk evaluasi lahan secara kualitatif atau dalam survei tinjau (reconaissance). Tipe penggunaan lahan (land utilization type) atau penggunaan lahan secara terperinci adalah tipe
penggunaan lahan yang terperinci sesuai dengan syarat-syarat teknis untuk 10
suatu daerah dengan keadaan fisik dan sosial ekonomi tertentu. Penggunaan lahan secara terperinci (tipe penggunaan lahan ) dapat terdri dari : (1) hanya 1 jenis tanaman, dan (2) lebih dari satu jenis tanaman. Tipe penggunaan lahan yang kedua ini dibedakan lagi menjadi : (a) tipe penggunaan lahan ganda (multiple land utilizaton type) , dan (b) tipe penggunaan lahan majemuk (compound land utilizaton type). Tipe penggunaan lahan ganda adalah penggunaan lahan dengan lebih
dari satu jenis sekaligus, dimana masing-masing jenis memerlukan input, syarat-syarat dan memberikan hasil yang berbeda. Sebagai contoh, daerah hutan produksi yang sekaligus digunakan untuk daerah rekreasi. Tipe penggunaan lahan majemuk adalah penggunaan lahan dengan
lebih dari satu jenis, tetapi untuk tujuan evaluasi dianggap sebagai satu satuan. Penggunaan lahan yang berbeda mungkin dilakukan dalam waktu yang berbeda (misalnya dalam rotasi tanaman) atau dalam waktu yang sama tetapi di tempat yang berbeda dalam satuan lahan yang sama (misalnya sistem pertanian tumpang sari – mixed farming) (Widiatmaka, 2007). Dalam 24 tahun
Undang-Undang
Republik
Indonesia Indonesia nomor
1992 tentang Penataan Ruang tertulis : pemanfaatan ruang
meliputi kawasaan perdesaan, kawasan perkotaaan, kawasan lindung serta kawasan budidaya. Kawaan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam dan sumberdaya buatan. Sedangkan kawasan budidaya 11
merupakan
kawasan
dibudidayakan
atas
yang dasar
ditetapkan kondisi
dengan
dan
potensi
fungsi
utama
untuk
sumberdaya
alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan menurut Sandy (1997) diantaranya jenis- jenis bahan induk yang menentukan tingkat kesuburan lahan dan selanjutnya menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan penduduk. Faktor lereng dan ketinggian tempat juga memiliki peranan penting. Selain itu yang erat pula hubungannnya dengan bahan induk dan lereng faktor kedalaman efektif tanah. Selain itu jumlah penduduk, penyebaran penduduk dan profesi terbesar dari penduduknya, dan tingkat penggunaan lahan juga ikut menentukan pola penggunaan lahan dan pemusatan penduduk. C. Kemampuan Lahan
Klasifikasi kemampuan (kapabilitas) lahan merupakan klasifikasi potensi lahan untuk penggunaan berbagai sistem pertanian secara umum tanpa menjelaskan peruntukkan untuk jenis tanaman tertentu maupun tindakan-tindakan
pengelolaannya.
Tujuannya
adalah
untuk
mengelompokkan lahan yang dapat diusahakan bagi pertanian ( arable land ) berdasarkan potensi dan pembatasnya agar dapat berproduksi secara berkesinambungan.
Klasifikasi
penggunaan
lahan
merupakan
sistem
klasifikasi yang dikembangkan oleh Hockensmith dan Steele pada tahun 1943 yang kemudian dimodifikasi oleh Klingebel dan Montgomery (1961; 12
2002), seperti yang tertuang dalam Agriculture Handbook No. 210 . Dalam sistem klasifikasi ini lahan dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan (unit) kemampuan atau pengelolaan (Widiatmaka, 2007). Kemampuan
lahan
merupakan
pencerminan
kapasitas
fisik
lingkungan yang dicerminkan oleh keadaan topografi, tanah, hidrologi, dan iklim, serta dinamika yang terjadi khususnya erosi, banjir dan lainnya. Kombinasi karakter sifat fisik statis dan dinamik dipakai untuk menentukan kelas kemampuan lahan, yang dibagi menjadi 8 kelas. Kelas I mempunyai pilihan penggunaan yang banyak karena dapat diperuntukan untuk berbagai penggunaan, mulai untuk budidaya intensif hingga tidak intensif, sedangkan kelas VIII, pilihan peruntukannya sangat terbatas, yang dalam hal ini cenderung diperuntukan untuk kawasan lindung atau sejenisnya (Rustiadi et al ., 2010).
Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007) dalam tingkat kelas, kemampuan lahan menunjukkan kesamaan dari besarnya faktor-faktor penghambat. Semakin tinggi kelasnya, kualitas lahannya semakin buruk, berarti resiko kerusakan dan besarnya faktor penghambat bertambah dan pilihan penggunaan lahan yang diterapkan semakin terbatas. 1. Klasifikasi Kemampuan Lahan
Klasifikasi
kemampuan
lahan
adalah pengelompokan lahan ke
dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan 13
intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus (Soil Conservation Society of America, 1982 dalam Sitorus, 1995). Dengan pendekatan lain klasifikasi ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Sitorus, 1995). Klasifikasi kemampuan lahan adalah penilaian lahan (komponenkomponen lahan) secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifat-sifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari (Arsyad S, 2010). Iklim, tanah, batuan, bentuk lahan, panjang,
kemiringan lereng serta proses
penggunaan lahan merupakan faktor-faktor pembatas lahan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas dan produktifitas suatu lahan. Klasifikasi kemampuan lahan adalah klasifikasi interpretasi yang didasarkan pada pengaruh bersama antara berbagai unsur lahan seperti iklim, dan sifat-sifat tanah yang permanen seperti ancaman kerusakan tanah, faktor pembatasan penggunaan, kemampuan produksi dan syarat-syarat pengelolaan tanah (Arsyad, 1989). Sistem klasifikasi kemampuan lahan yang banyak digunakan adalah sistem Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA). Sistem ini mengenali tiga kategori, yaitu kelas, sub kelas, dan unit. Penggolongan ke dalam kelas, sub kelas, dan unit berdasar atas kemampuan lahan tersebut untuk 14
berproduksi pertanian secara umum tanpa menimbulkan kerusakan dalam jangka panjang (Departemen Kehutanan, 2006). Dalam sistem USDA, berdasarkan faktor pembatas yang ada, lahan digolongkan menjadi kelas, kemudian subkelas, dan akhirnya satuan pengelolaan . Pembagian kedalam devisi didasarkan pada dapat tidaknya
suatu lahan diusahakan untuk usaha pertanian. Jadi divisi (1) adalah lahan yang dapat diusahakan untuk usaha pertnian, an devisi (2) lahan yang tidak dapat diusahakan untuk usaha pertanian (Utomo, 1989). Sistem USDA ini membagi lahan ke dalam sejumlah kecil kategori yang diurut menurut jumlah dan intensitas faktor penghambat yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, dari kategori yang tertinggi ke kategori yang terendah (kelas, sub kelas, dan satuan pengelolaan). Kelas kemampuan berkisar dari kelas I di mana tanah tidak mempunyai penghambat utama bagi pertumbuhan tanaman, sampai kelas VIII di mana tanah
telah
mempunyai
penghambat-penghambat
yang
sangat
berat
sehingga tidak memungkinkan penggunaannya untuk produksi tanamantanaman komersial (Sitorus, 1995). Tanah dikelompokkan ke dalam delapan kelas yang ditandai dengan huruf Romawi dari I sampai VIII. Ancaman kerusakan atau hambatan meningkat berturut-turut dari kelas I sampai kelas VIII, seperti terlihat pada Gambar 1 (Arsyad, 2010).
15
Gambar 1. Skema Hubungan antara Kelas Kemampuan Lahan dengan Intensitas dan Macam Penggunaan Lahan. Pada tingkat sub-kelas dikenal 4 macam faktor penghambat yaitu : bahaya erosi (e), kelembaban atau watness (w), penghambat tanah di dalam daerah perakaran (s) dan iklim (c). Sub-kelas ditandai dengan penambahan huruf kecil yang ditempatkan setelah nomor kelas seperti IIe, IV w, dan sebagainya.Kelas I tidak mempunyai sub-kelas (Sitorus, 1995). 2. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan
Lahan digolongkan kedalam 3 (tiga ) kategori utama yaitu kelas, subkelas dan satuan kemampuan lahan. Struktur klasifikasi kemampuan lahan berdasarkan pada faktor penghambat seperti ditunjukkan pada Tabel dibawah ini :
16
Tabel 1. Struktur Klasifikasi Kemampuan Lahan Kelas Kemampuan
Sub-kelas Kemampuan
Satuan Pengelolaan
Satuan Peta Tanah
I II III IV
IIc, iklim IIe, erosi IIw, kelembaban IIs, tanah IIes Dll
IIe – 1 IIe – 2 IIe – 3 Dst
Seri X Seri Y Seri Z
V VI VII VIII Sumber : Sitorus (1995).
Pengelolaan tanah kedalam satuan pengelolaan, Sub kelas dan kelas kemampuan dilakukan terutama berdasarkan kemampuan lahan tersebut untuk menghasilkan produksi tanaman umum dan tanaman makanan ternak ( pasture plants) tanpa kerusakan tanah dalam periode waktu yang lama. Secara singkat, kemampuan pertanian didefenisikan dalam kaitan antara sifat lahan dan persyaratan untuk penggunaan tertentu dengan tujuan untuk memaksimumkan hasil tanaman secara lestari (Sitorus,1995). Arsyad (2010), mengklasifikasikan kemampuan lahan dalam beberapa kelas yaitu: Kelas kemampuan I
Lahan kelas kemampuan I mempunyai sedikit hambatan yang membatasi penggunaanya. Lahan kelas I sesuai untuk berbagai penggunaan
17
pertanian, mulai dari tanaman semusim (tanaman pertanian pada umumnya), tanaman rumput, padang rumput, hutan produksi dan cagar alam. Tanahtanah di kelas I mempunyai salah satu kombinasi sifat dan kualitas sebagai berikut: 1) Terletak pada topografi datar (kemiringan lereng
≤ 3%), 2)
Kepekaan erosi sangat rendah sampai rendah, 3) Tidak mengalami erosi, 4) Mempunyai kedalaman efektif yang dalam, 5) Umumnya berdrainase baik, 6) Mudah diolah, 7) Kapasitas menahan air baik, 8) Subur atau responsif terhadap pemupukan, 9) Tidak Terancam banjir, dan 10) Di bawah iklim setempat yang sesuai bagi tanaman umumnya. Kelas kemampuan II
Hambatan pada kelas II sedikit dan tindakan yang diperlukan mudah diterapkan. Tanah-tanah ini sesuai untuk penggunaan tanaman semusim, tanaman rumput, padang pengembalaan, hutan produksi, dan cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan pada kelas II adalah salah satu atau kombinasi dari faktor berikut : 1) Lereng yang landai atau berombak (>3% 8%), 2) Kepekaan erosi atau tingkat erosi sedang, 3) Kedalaman efektif sedang, 4) Struktur tanah dan daya olah agak kurang baik, 5) Salinitas sedikit sampai sedang atau terdapat garam Natrium yang mudah dihilangkan akan tetapi besar kemungkinan timbul kembali, 6) Kadang-kadang terkena banjir yang merusak, 7) Kelebihan air dapat diperbaiki dengan drainase, akan tetapi ada sebagai pembatas yang sedang tingkatannya, 8) Keadaan iklim agak kurang sesuai bagi tanaman dan pengelolaan. 18
Kelas kemampuan III
Tanah-tanah dalam lahan kelas III mempunyai hambatan yang berat yang mengurangi pilihan penggunaan atau memerlukan tindakan konservasi khusus atau keduanya. Lahan kelas III dapat digunakan untuk tanaman semusim dan tanaman yang memerlukan pengolahan tanah, tanaman rumput,
padang
rumput,
hutan
produksi,
hutan
lindung
dan
suaka
margasatwa. Hambatan atau ancaman kerusakan kerusakan mungkin disebabkan oleh salah satu beberapa hal berikut : 1) Lereng yang agak miring atau bergelombang (> 8 % - 15 %), 2) Kepekaan terhadap erosi agak tinggi sampai tinggi atau telah mengalami erosi sedang, 3) Selama satu bulan setiap tahun dilanda banjir selama waktu lebih dari 24 jam, 4) Lapisan bawah tanah yang berpermeabilitas agak cepat, 5) Kedalamannya dangkal terhadap batuan, lapisan padat keras ( hardpan), lapisan padas rapuh ( fragipan) atau lapisan liat padat ( claypan) yang membatasi perakaran dan kapasitas simpanan air, 6) Terlalu basah atau masih terus jenuh air setelah didrainase, 7) Kapasitas menahan air rendah, 8) Salinitas atau kandungan natrium sedang, 9) Kerikil atau batuan dipermukaan tanah sedang, atau 10) Hambatan iklim yang agak besar. Kelas kemampuan IV
Hambatan dan ancaman kerusakan pada tanah-tanah di dalam lahan kelas IV lebih besar dari pada tanah-tanah di dalam kelas III, dan pilihan 19
tanaman juga lebih tebatas. Jika dipergunakan untuk tanaman semusim diperlukan pengelolaan yang lebih hati-hati dan tindakan konservasi lebih sulit diterapkan dan dipelihara, seperti teras bangku, saluran bervegetasi dan dam penghambat, disamping tindakan yang dilakukan untuk memelihara kesuburan dan kondisi fisik tanah. Tanah di dalam kelas IV dapat dipergunakan untuk tanaman semusim dan tanaman pertanian pada umumnya, tanaman rumput, hutan produksi, padang pengembalaan, hutan lindung atau cagar alam. Hambatan atau ancaman kerusakan tanah-tanah di dalam kelas IV disebabkan oleh salah satu kombinasi faktor-faktor berikut : 1) Lereng yang miring atau berbukit(> 15% - 30%), 2) Kepekaan erosi yang sangat tinggi, 3) Pengaruh bekas erosi agak berat yang telah terjadi, 4) Tanahnya dangkal, 5) Kapasitas menahan air yang rendah, 6) Selama 2 sampai 5 bulan dalam setahun dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam, 7) Kelebihan air bebas dan ancaman penjenuhan atau penggenangan terus terjadi setelah didrainase(drainase
buruk),
8)
Terdapat
banyak
kerikil
atau
batuan
dipermukan tanah, 9) Salinitas atau kandungan natrium yang tinggi (pengaruhnya hebat), 10) Keadaan iklim yang kurang menguntungkan. Kelas kemampuan V
Tanah-tanah di dalam lahan kelas V tidak terancam erosi akan tetapi mempunyai hambatan lain yang tidak praktis untuk dihilangkan yang membatasi pilihan penggunaanya, sehingga hanya sesuai untuk tanaman 20
rumput, padang penggembalaan, hutan produksi atau hutan lindung dan cagar alam. Tanah-tanah didalam kelas V mempunyai hambatan yang membatasi pilihan macam penggunaan dan tanaman, dan menghambat pengolahan tanah bagi tanaman semusim. Tanah-tanah ini terletak pada topografi datar tetapi tergenang air, selalu terlanda banjir, atau berbatu-batu (lebih dari 90% permukaan tanah tertutup kerikil atau batuan , atau iklim yang kurang sesuai, atau mempunyai kombinasi hambatan tersebut. Kelas kemampuan VI
Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai hambatan yang berat yang menyebabkan tanah-tanah ini tidak sesuai untuk penggunaan pertanian. Penggunaanya terbatas untuk tanaman rumput atau padang pengembalaan, hutan produksi, hutan lindung, cagar alam. Tanah-tanah dalam kelas VI mempunyai
pembatas
atau
ancaman
kerusakan
yang
tidak
dapat
dihilangkan, berupa salah satu atau kombinasi faktor-faktor berikut : 1) Terletak pada lereng agak curam (> 30% - 45%), 2) Telah tererosi berat, 3) Kedalaman tanah sangat dangkal, 4) Mengandung garam larut atau natrium (berpengaruh hebat), 5) Daerah perakaran sangat dangkal, 7) Iklim yang tidak sesuai. Kelas kemampuan VII
Lahan kelas VII tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Jika dipergunakan untuk padang rumput atau hutan produksi harus dilakukan dengan usaha pencegahan erosi yang berat.Tanah-tanah dalam lahan kelas 21
VII yang dalam dan tidak peka erosi jika digunakan untuk tanaman pertanian harus di buat teras bangku yang ditunjang dengan cara-cara vegetatif untuk konservasi tanah, di samping tindakan pemupukkan. Tanah-tanah kelas VII mempunyai beberapa hambatan atau ancaman kerusakan yang berat dan tidak dapat dihilangkan seperti : 1) Terletak pada lereng yang curam (45% 65%), dan atau 2) Telah tererosi sangat berat berupa erosi parit yang sulit diperbaiki. Kelas kemampuan VIII
Lahan kelas VIII tidak sesuai untuk budidaya pertanian, tetapi lebih sesuai untuk dibiarkan dalam keadaan alami. Lahan kelas VIII bermanfaat sebagai hutan lindung, tempat rekreasi atau cagar alam. Pembatas atau ancaman kerusakan pada kelas VIII dapat berupa : 1) Terletak pada lereng yang sangat curam (> 65%), atau 2) Berbatu atau kerikil (lebih dari 90% volume tanah terdiri dari batu atau kerikil atau lebih dari 90% permukaan tanah tertutup batuan), atau 3) Kapasitas menahan air sangat rendah. Contoh lahan kelas VIII adalah puncak gunung, tanah mati, batu terungkap, dan pantai pasir. Satuan kemampuan memberikan kemampuan yang lebih spesifik dan rinci untuk setiap bidang lahan dari pada subkelas. Satuan kemampuan adalah pengelompokan lahan yang sama atau hampir sama kesesuaiannya bagi tanaman dan memerlukan pengelolaan yang sama atau memberikan tanggapan (response) yang sama terhadap masukan pengelolaan atau 22
perlakuan yang diberikan. Tanahnya mungkin saja tergolong dalam seri tanah yang berbeda. Tanah-tanah yang dikelompokkan di dalam satuan kemampuan yang sama harus cukup seragam dalam sifat-sifat tanah dan lingkungan yang mempengaruhi kualitas lahan sehingga mempunyai potensi dan hambatan yang sama. Dengan demikian, maka lahan didalam suatu satuan kemapuan harus cukup seragam dalam (a) produksi tanaman pertanian atau rumput dibawa tindakan pengelolaan yang sama , (b) kebutuhan akan tindakan konservasi dan pengelolaan yang sama dibawah vegetasi penutup yang sama, dan (c) mempunyai produktivitas potensial yang setara (Arsyad, 2010). 3. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan
Tanah dan komponen lahan lainnya seperti bentuk lahan, hidrologi, dan iklim dalam hubungannya dengan penggunaan lahan, pengelolaan dan produktivitas lahan adalah dasar dalam pengelompokan kelas kemampuan. Kelas kemampuan didasarkan atas derajat atau intensitas dan jumlah faktor pembatas atau penghambat atau ancaman kerusakan yang mempengaruhi jenis penggunaan lahan, resiko kerusakan tanah jika salah kelola, keperluan pengelolaan tanah, dan resiko kegagalan tanaman. Untuk membantu klasifikasi diperlukan kriteria yang jelas yang memungkinkan pengelompokan tanah pada setiap kategori, yaitu kelas, subkelas, dan satuan kemampuan. Karena pengaruh sifat-sifat dan kualitas lahan berbeda dengan sangat luas
23
menurut iklim, maka kriteria yang disusun dengan anggapan meliputi berbagai tanah untuk iklim yang sama (Arsyad, 1989). Kriteria
yang
digunakan
untuk
pengelompokan
dalam
kelas
kemampuan lahan Menurut Arsyad (2010) yaitu : 1) Iklim 2) Lereng, ancaman erosi (KE) dan erosi yang telah terjadi (e) 3) Kedalaman tanah (k) 4) Tekstur tanah (t) 5) Permeabilitas (p) 6) Drainase (d) 7) Faktor-faktor khusus, seperti batuan dan kerikil (b), ancaman
banjir (O) dan salinitas (g).
24
Tabel 2. Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan Faktor Kelas Kemampuan Lahan Penghambat/ I II III IV V Penghambat 1. Lereng A B C D A permukaan 2. Kepekaan KE1,K KE3 KE4,K KE6 (1) erosi E2 E5 3. Tingkat erosi e0 e1 e2 e3 (2) 4. Kedalaman k0 k1 k2 k3 (1) Tanah 5. Tekstur t1,t2,t3 t1,t2, t1,t2,t3,t t1,t2,t3 (1) lapisan atas t3 ,t4 4 6. Tekstur Sda sda Sda Sda (1) lapisan bawah 7. Permeabilitas P2,P3 P2,P P2,P3 P2,P3 P1
VI
VII
VIII
E
F
G
(1)
(1)
(1)
e4 (1)
e5 (1)
(1) (1)
t1,t2,t3 ,t4 sda
t1,t2,t3 ,t4 Sda
t5
(1)
(1)
P5
Sda
3
8. Drainase d1 9. Kerikil/batuan b0 10. Ancaman O0 banjir 11. Garam/salinita g0 s(3) Sumber : Arsyad (2010).
d2 b0 O1
d3 b1 O2
d4 b2 O3
d5 b3 O4
(2) (1) (2)
(2) (1) (2)
d0 b4 (1)
g1
g2
g3
(2)
g3
(1)
(1)
Catatan : (1) = dapat mempunyai sembarang sifat (2) = tidak berlaku (3) = umumnya berada pada daerah beriklim kering E. Kerangka Pikir Penelitian
Peningkatan jumlah dan keragaman aktivitas penduduk terkait erat dengan peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Masalah tersebut dapat menyebabkan terjadinya konversi
penggunaan lahan yang tidak sesuai 25
dengan
kemampuan
lahan
khususnya
didaerah
pedesaan
sehingga
berdampak pada perubahan ekologis yang mengarah ke degradasi lingkungan. Untuk itu diharapkan
pola penggunaan lahan yang sesuai
dengan kelas kemampuan lahan agar tidak menimbulkan kerusakan lahan dan menurunkan produktifitas lahan sehingga dapat meminimalisir terjadinya degradasi lahan. Adanya pengetahuan seperti ini sangat penting untuk diketahui agar tidak menimbulkan lahan yang
menjadi kritis serta bencana yang dapat
menimbulkan kerugian besar bagi manusia. Dengan mengarahkan ke penggunaan lahan dan perencanaan perbaikan lahan yang tepat diharapkan dapat
mencegah
dampak
negative
tersebut.
Kriteria-kriteria
dalam
pengklasifikasian kemampuan lahan dapat dijadikan sebagai parameter dalam menentukan kelas dan sub-kelas pada daerah penelitian. Berdasarkan uraian tersebut, lebih jelasnya dapat dilihat
pada kerangka pemikiran
Gambar 2.
26
LAHAN Kriteria Kemampuan Lahan
Penggunaan Lahan Aktual
Kelas Kemampuan Lahan
Tidak Sesuai
Sesuai
Berpotensi Kritis
Arahan Penggunaan Lahan
1. Iklim 2. Kemiringan lereng permukaan (L) 3. Kepekaan erosi (KE) 4. Erosi yang telah terjadi (e ) 5. Kedalaman tanah ( k) 6. Tekstur tanah ( t ) 7. Permeabilitas (p) 8. Drainase (d ) 9. Faktor-faktor khusus seperti Batuan dan kerikil ( b), Ancaman banjir ( o ) dan Salinitas (g )
Perencanaan Peningkatan Perbaikan Lahan
Gambar 2 . Kerangka Pikir Penelitian
27
F. Konsep Operasional
Konsep Oparasional adalah ruang lingkup atau batasan istilah yang akan digunakan dalam penelitian ini, untuk menghindari perbedaan persepsi. Beberapa istilah dengan batasan pengertiannya dituliskan sebagai berikut : 1. Penggunaan lahan ( Land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. 2. Klasifikasi kemampuan lahan, yaitu penilaian lahan secara sistematik dan pengelompokannya ke dalam beberapa kategori berdasarkan atas sifatsifat yang merupakan potensi dan penghambat dalam penggunaannya secara lestari. 3. Lereng permukaan, yaitu bentuk permukaan lahan/tanah dengan kemiringan tertentu. 4. Kepekaan erosi, yaitu perbedaan kepekaan untuk tererosi pada berbagai jenis tanah yang menunjukkan mudah atau tidaknya tanah mengalami erosi. 5. Kedalaman tanah, yaitu lapisan tanah yang masih bisa ditembus oleh akar tanaman. 6. Tekstur tanah, ukuran dan proporsi kelompok ukuran butir-butir primer tanah yang akan membentuk tipe tanah tertentu. 7. Permeabilitas, yaitu kecepatan bergeraknya suatu cairan pada pori tanah dalam keadaan jenuh. 28
8. Lahan kritis merupakan lahan dalam dalam kawasan hutan maupun diluar
kawasan
hutan
yang
telah mengalami kerusakan sehingga
kehilangan fungsinya sampai saat batas yang ditentukan
atau
diharapkan (Kementerian Kehutanan RI, 2010 ). 9. Perbaikan lahan ( land improvement ) adalah kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan yang menguntungkan terhadap kualitas lahan. 10. Konservasi tanah dan air merupakan usaha –usaha yang dilakukan untuk menjaga dan meningkatkan produktifitas tanah, kuantitas dan kualitas air .
29
III. METODE PENELITIAN A.
Rancangan Penelitian
Kegiatan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui sebaran pola penggunaan lahan dan diterapkan oleh kemampuan karakteristik
kesesuian antara pola penggunaan lahan yang
masyarakat
lahan.
di Desa
Jenetallasa
dengan
kelas
Kriteria-kriteria ini digunakan untuk menentukan
lahan,
kemudian
digunakan
sebagai
acuan
untuk
mengklasifikasi kemampuan lahan, menyusun arahan penggunaan lahan dan merencanakan bagaimana peningkatan penggunaan lahan pada setiap penggunaan lahan. Penelitian ini dibagi menjadi: 1). Observasi lapangan untuk
mengetahui
pola penggunaan
lahan yang ada
dilapangan. 2)
Pengumpulan data biofisik dan sosial ekonomi, 3). Analisis data dan penyajian hasil penelitian. B.
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahapan kegiatan, yaitu kegiatan lapangan dan kegiatan laboratorium. Tahapan-tahapan tersebut akan dilaksanakan pada Bulan Mei 2013 . Kegiatan lapangan dilakukan di Desa Jenetallasa laboratorium
Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan dan
dilakukan
kegiatan
di Laboratorium Silvikultur Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin.
30
C. Alat dan Bahan
Alat
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah
Tali rapiah,
Meteran roll, Bor tanah, Mistar, Palu, Papan, Cangkul, Linggis, Avnilevel (super slant ) GPS (Global Positioning System ),
Kamera digital, Kantong
plastik dan ring sampel. Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitin ini adalah
bahan-bahan kimia yang digunakan dilaboratorium untuk
kebutuhan analisis fisik dan kimia tanah, serta beberapa data penunjang lainnya. D. Metode Pengumpulan Data
Guna memperoleh data, informasi, dan keterangan untuk penelitian, maka dikumpulkan dua jenis data yaitu: 1.
Data primer
Data Primer adalah data yang diperoleh melalui pengamatan dan pengukuran langsung dilapangan dan hasil analisis laboratorium, dan wawancara aktivitas sosial ekonomi masyarakat. a. Penetapan pola penggunaan lahan
Penetapan ini dilakukan dengan cara observasi awal. Pengambilan titik koordinat, luas dan kelerengan akan diukur saat penelitian. Adapun informasi yang diperoleh sebagai berikut :
31
Tabel 3. Pola Penggunaan lahan Desa Jenetallasa No Pola Penggunaan Lahan Jenis Tanaman 1.
Hutan Lindung
Pinus ( Pinus mercusii ) Tristania( Tristania merguensis Griff ) Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L) Suren ( Toona sureni )
Akasia ( Acacia auriculiformis) 2.
Pengembalaan
Rumput ( Eleusine indica)
3.
Pemukiman
Tanaman Hias Anggrek (Orcidaceae)
Alpukat (Persea americana) Sirsak ( Annona muricata) Pepaya ( Carica papaya) Labu siam ( Sechium edule) Markisa( Passiflora quadrangularis L
Mangga ( Mangifera indica) Bambu (Bambussa sp) Dadap (Erythrina cristagally ) 4.
Kebun Campuran
Kopi ( Coffea robusta) Kakao (Theobroma cacao) Cengkeh ( Syzygium Armaticum) Nangka ( Arthocarpus integra ) Jati (Tectona Grandis) Mangga ( Mangifera indica) Pisang ( Musa paradisiaca) Suren (Toona sureni) Mahoni (Swietenia mahagoni ) Kemiri ( Aleurites moluccana)
Bambu (Bambussa sp) Dadap (Erythrina cristagally ) 5.
Kebun Sayur
Kol ( Brassica oleracea) Wortel (Ducus Carota) Kentang ( Solanum tuberosum) Lombok( Capsicum frutescens) Ubi Jalar ( Ipomoe Batatas ) Daun bawang( Alium fistulosum) Seledri ( Apium graviolens) Markisa( Passiflora quadrangularis L 32
Mangga ( Mangifera indica) Nangka ( Arthocarpus integra ) Suren (Toona sureni) 6.
Semak Belukar
Rumput ( Eleusine indica ) Alang-alang (Imperata cylindrica ) Graminiae
Sumber : Hasil Observasi Lapangan b. Pengamatan
pada
Setiap
Kriteria
dalam
Pengklasifikasian
kemampuan lahan.
Pengamatan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : a). Kemiringan lereng diperoleh dengan cara pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan Avnilevel. b).
Kepekaan erosi tanah (nilai K), diperoleh dari data lapangan berupa sampel tanah dari unit lahan yang kemudian akan dianalisis di laboratorium untuk mendapatkan data tekstur (%pasir, pasir halus, debu, dan liat), permeabilitas dan kandungan bahan organik tanah. Berdasarkan data lapangan dan hasil analisis laboratorium,
nilai
K
dapat
dihitung
dengan
menggunakan
nomograf.
33
Gambar 3. Nomograf erodibilitas tanah (K), (Wischmeier, 1978 ). Adapun
langkah-langkah
penggunaan
nomograf
adalah
sebagai berikut: o
Persentase debu dan pasir sangat halus ditetapkan pada titik yang bersesuaian pada sumbu tegak sebelah kiri dari nomograf
o
Ditarik
garis
horizontal
hingga
memotong
garis
yang
menunjukkan persentase pasir o
Dari titik perpotongan ini di tarik garis vertikal hingga memotong persentase bahan organic
o
Dari titik perpotongan ini di tarik garis horizontal ke kanan hingga memotong kelas struktur tanah 34
o
Dari titik perpotongan ini di tarik garis vertikal hingga memotong kelas permeabilitas tanah
o
Dari titik perpotongan ini di tarik garis horizontal ke kiri hingga memotong skala indeks erodibilitas (K)
c). Tingkat erosi, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat keadaan lapisan atas dan lapisan bawah pada lahan. Apabila lapisan bawah belum ada yang terlihat maka pertimbangannya tidak ada erosi atau erosinya ringan. Apabila lapisan bawah telah terlihat ataupun telah terkikis maka dapat dipertimbangkan pada tingkat erosi sedang, agak berat, ataupun berat, sedangkan apabila telah terbentuk erosi parit dapat dikatakan sangat berat. d). Kedalaman tanah, diperoleh dengan menggunakan alat bor tanah. Kedalaman tanah ini dapat ditentukan apabila ditemukan lapisan padas yang menghalangi bor tanah. e). Tekstur lapisan atas, diperoleh dari hasil analisis laboratorium pada setiap sampel tanah lapisan atas di per unit lahan. f). Tekstur lapisan bawah, diperoleh dari hasil analisis laboratorium dari sampel tanah lapisan bawah per unit lahan. g). Permeabilitas, dapat diperoleh dari hasil analisis laboratorium pada setiap sampel tanah per unit lahan. h). Drainase, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat struktur dan warna tanah. 35
i). Kerikil/batuan, diperoleh dari hasil pengamatan langsung melalui pembuatan plot berjaring di lapangan. Plot yang digunakan berukuran 100 cm x 100 cm yang terbagi ke dalam 100 kotak seukuran 10 cm x 10 cm setiap kotak. Pengamatan dilakukan dengan melihat bahan kasar berupa batu-batuan atau kerikil yang berada di permukaan tanah pada plot berjaring yang telah dibuat. j). Ancaman banjir, diperoleh dari observasi di lapangan dengan melihat kondisi lahan (topografi) , apakah termasuk daerah genangan, ataupun dengan bertanya langsung kepada masyarakat setempat tentang ancaman banjir pada lokasi penelitian. c. Analisis di laboratorium
a). Menentukan tekstur tanah : 1) Menyiapkan 25 gram sampel tanah dan memasukkannya ke dalam
botol plastik. 2) Menambahkan 10 ml larutan Calgon 5% dan 100 ml aquadest. 3) Memasukkan dalam mesin pengocok dan kocok selama 30 menit.
Jika tidak ada, dapat dikocok secara manual selama 30 menit. 4) Memindahkan hasil kocokan ke dalam wadah dan mengocok lagi
dengan mixer selama 10 menit. 5) Menyaring hasil kocokan ke dalam wadah, begitu pula dengan
pasir yang tersisa pada penyaring. 6) Memindahkan suspense ke dalam gelas ukur 500 ml. 36
7) Mengocok suspense selama 8 detik dan mengukur dengan
hydrometer (H1) dan thermometer (T1) setelah 40 detik. 8) Melanjutkan pada pengamatan setelah 20 menit (H2 & T2) dan 6
jam (H3 & T3). 9) Memanaskan pasir yang telah ditampung hingga kering dan
menimbang berat pasir. 10) Menghitung perbandingan antara debu, pasir dan liat.
b). Untuk menentukan permeabilitas : 1) Menyiapkan sampel tanah utuh yang diambil dengan ring sampel. 2) Melapisi permukaan bawah dengan kain kasa dan permukaan atas
dipasang pipa karet (bagian sambungannya dilapisi selotip). 3) Menyiapkan sumber air. 4) Menampung air yang menetes dari sampel tanah yang ada di
dalam ring sampel. 5) Mengukur volume air dalam jangka waktu tertentu. 6) Menambahkan volume air dalam tabung jika berkurang dan
mencatat volume tambahannya. 7) Membuat grafik hubungan antara volume tetesan dan waktu
pengamatan. 8) Menghitung permeabilitas dengan menggunakan persamaan :
Permeabilitas =
1/4πd² 37
vol.tap0,25lapsan
Keterangan :
d = diameter ring sampel
= 3 c). Menentukan kandungan C-Organik : 1) Memasukkan
sampel
tanah
sebanyak
2
gram
ke
dalam
Erlenmeyer. 2) Menambahkan 10 ml larutan K2Cr2O7 1N dengan pipet dan
reaksikan dengan asam sulfat pekat (H2SO4) dan membiarkan reaksi berlangsung selama 1 jam. 3) Menambahkan aquadest kira-kira 100 ml. 4) Menambahkan asam fosfat 10 ml. 5) Meneteskan 1 ml indikator dan segera titrasi dengan larutan Fe++
titran yang telah distandarisasi. 6) Bila perubahan warna agak sulit terjadi akibat warna contoh tanah,
maka
digunakan
cairan
jenuh
saja
yang
dipindahkan
ke
Erlenmeyer lainnya. 7) Titik akhir titrasi pada saat terjadi perubahan dari warna biru
kehitaman menjadi hijau. 8) Mencatat volume dan normalitas Fe++ yang digunakan. 9) Membuat blangko.
38
d). Penetapan kepekaan erosi dibutuhkan data % tekstur tanah, % bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas. Berdasarkan data-data tersebut, nilai K dapat dihitung dengan menggunakan nomograf. d. Wawancara dengan responden
Teknik pengumpulan data dari wawancara diperoleh langsung dari reponden. Metode yang digunakan adalah purposive sampling dengan mengambil 30 responden dari masyarakat yang berada di Desa Jenetallasa. Data tersebut terdiri atas nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal,
penguasaan
tingkat
lahan,
luas
pendidikan, lahan,
mata
sumber
pencaharian,status pendapatan
utama,
pengalaman usaha bertan, sumber modal, hambatan usaha tani, pemahaman tentang erosi dan tindakan konservasi tanah, intensitas pengelolaan tanah, pemupukan, pengendalian hama, komoditi yang diusahakan, pola tanam, komponen pendapatan meliputi jumlah produksi dan harga, komponen biaya produksi meliputi biaya bibit/ benih petani, peralatan, pupuk pestisida, upah tenaga kerja dan biaya lainnya. 2.
Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung yang menyangkut lokasi umum penelitian. Data tersebut diperoleh dari instansi, lembaga atau pihak-pihak yang terkait, dan dokumen-dokumen yang dapat menunjang penelitian ini. Data tersebut antara lain : Kondisi 39
fisik wilayah (luas, letak wilayah dan geografis, iklim, keadaan topografi dan jenis penggunaan lahan), Keadaaan sosial ekonomi (jumlah penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan sarana/prasarana), serta data-data lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. E. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan cara menilai kriteria-kriteria lahan pada setiap penggunaan lahan dengan kriteria klasifikasi kemampuan lahan. Adapun tahapan dalam analisa data, yaitu: 1. Pengelompokan kriteria-kriteria lahan pada setiap unit lahan yang telah diperoleh melalui pengamatan di lapangan dan di laboratorium dengan menggunakan pengelompokan oleh Arsyad (2010). Pengelompokan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: a. Lereng permukaan dikelompokkan sebagai berikut: A = 0 sampai ≤ 3% (datar) B = > 3 sampai 8% (landai atau berombak) C = > 8 sampai 15% (agak miring atau bergelombang) D = >15 sampai 30% (miring atau berbukit) E = > 30 sampai 45% (agak curam atau bergunung) F = > 45 sampai 65% (curam) G = > 65% (sangat curam) b. Kepekaan erosi (KE) tanah (nilai K) dikelompokkan sebagai berikut: KE1 = 0,00 sampai 0,10 (sangat rendah) 40
KE2 = 0,11 sampai 0,20 (rendah) KE3 = 0,21 sampai 0,32 (sedang) KE4 = 0,33 sampai 0,43 (agak tinngi) KE5 = 0,44 sampai 0,55 (tinggi) KE6 = 0,56 sampai 0,64 (sangat tinggi) c. Erosi yang telah terjadi (e) dikelompokkan sebagai berikut: e0 = tidak ada erosi e1 = ringan kurang dari 25% lapisan atas hilang e2 = sedang 25 sampai 75% lapisan atas hilang e3 = agak berat : lebih dari 75% lapisan atas sampai kurang dari 25% lapisan bawah hilang e4 = berat : lebih dari 25% lapisan bawah hilang e5 = sangat berat : erosi parit d. Kedalaman tanah (k) dikelompokkan sebagai berikut: k0 = lebih dari 90 cm (dalam) k1 = 90 sampai 50 cm (sedang) k2 = 50 sampai 25 cm (dangkal) k3 = kurang dari 25 cm (sangat dangkal) e. Tekstur tanah (t), terdiri dari tekstur lapisan atas tanah (0-30 cm) dan lapisan bawah tanah (30-60 cm) dikelompokkan sebagai berikut: t1 = tanah bertekstur halus, meliputi tekstur liat berpasir, liat berdebu, dan liat. 41
t2 = tanah bertekstur agak halus, meliputi tekstur lempung liat berpasir, lempung berliat, dan lempung liat berdebu. t3 = tanah bertekstur sedang, meliputi tekstur lempung, lempung berdebu, dan debu t4 = tanah bertekstur agak kasar, meliputi tekstur lempung berpasir, lempung berpasir halus, dan lempung berpasir sangat halus. t5 = tanah bertekstur kasar, meliputi tekstur pasir berlempung dan pasir. f. Permeabilitas (p) dikelompokkan sebagai berikut: P1 = lambat
: kurang 0,5 cm/jam
P2 = agak lambat
: 0,5 – 2,0 cm/jam
P3 = sedang
: 2,0 – 6,25 cm/jam
P4 = agak cepat
: 6,25 – 12,5 cm/jam
P5 = cepat
: lebih dari 12,5 cm/jam
g. Drainase (d) diklasifikasikan sebagai berikut: d0 = berlebihan (excessively drained): air lebih segera keluar dari tanah dan sangat sedikit air yang ditahan oleh tanah sehingga tanaman akan segera mengalami kekurangan air. d1 = baik : tanah mempunyai peredaran udara baik. Seluruh profil tanah dari atas sampai bawah (150 cm) berwarna terang
42
yang seragam dan tidak terdapat bercak-bercak kuning coklat, atau kelabu. d2 = agak baik : tanah mempunyai peredaran udara baik di daerah perakaran. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu pada lapisan atas dan bagian atas lapisan bawah (sampai sekitar 60 cm dari permukaan tanah). d3 = agak buruk : lapisan atas tanah mempunyai peredaran udara baik. Tidak terdapat bercak-bercak berwarna kuning, coklat atau kelabu. Bercak-bercak ditemukan pada seluruh lapisan bagian bawah (sekitar 40 cm dari permukaan tanah). d4 = buruk : bagian bawah lapisan atas (dekat permukaan) terdapat warna atau bercak-bercak berwarna kelabu, coklat dan kekuningan. d5 =
sangat buruk : seluruh lapisan sampai permukaan tanah berwarna kelabu dan tanah lapisan bawah berwarna kelabu atau terdapat bercak-bercak berwarna kebiruan, atau terdapat air yang menggenang dipermukaan tanah dalam waktu yang lama sehingga menghambat pertumbuhan tanaman.
h. Faktor-faktor khusus, seperti:
43
1) Batuan/kerikil (bahan kasar) dibedakan atas kerikil, batuan kecil, batuan lepas dan batuan tersingkap. Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi kerikil sebagai berikut: b0 = tidak ada atau sedikit : 0 sampai 15% volume tanah. b1 = sedang 15% sampai 50% volume tanah. b2 = banyak 50% sampai 90% volume tanah. b3 = sangat banyak : lebih dari 90% volume tanah. 2)
Ancaman banjir (O) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: O0 = tidak pernah : dalam periode satu tahun tanah tidak pernah tertutup banjir untuk waktu lebih dari 24 jam. O1 = kadang-kadang : banjir yang menutupi tanah lebih dari 24 jam terjadinya tidak teratur dalam periode kurang dari satu bulan. O2 = selama waktu satu bulan dalam setahun tanah secara teratur tertutup banjir untuk jangka waktu lebih dari 24 jam. O3 = selama waktu 2 sampai 5 bulan dalam setahun, secara teratur selalu dilanda banjir yang lamanya lebih dari 24 jam. O4 = selama waktu 6 bulan atau lebih tanah selalu dilanda banjir secara teratur yang lamanya lebih dari 24 jam.
3)
Salinitas (g) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
44
g0 = bebas = 0 sampai 0,15% garam larut; 0 sampai 4 (EC x 103) mmhos cm-1 pada suhu 25 oC. g1 = terpengaruh sedikit = 0,15 sampai 0,35% garam larut; 4 sampai 8 (EC x 10 3) mmhos cm -1 pada suhu 25 oC. g2 = terpengaruh sedang = 0,35 sampai 0,65% garam larut; 8 sampai 15 (EC x 10 3) mmhos cm-1 pada suhu 25 oC. g3 =
terpengaruh hebat = lebih dari 0,65% garam larut; lebih dari 15 (EC x 10 3) mmhos cm-1 pada suhu 25 oC.
2. Menentukan kelas kemampuan lahan dan sub-kelas setiap penggunaan lahan berdasarkan hasil pengelompokan kriteria-kriteria lahan atau faktor penghambat dengan merujuk pada tabel Kriteria Klasifikasi Kemampuan Lahan. Adapun langkah-langkah dalam menentukan kelas kemampuan lahan serta sub-kelas pada setiap penggunaan lahan: a. Mengumpulkan data kriteria klasifikasi dari hasil pengamatan untuk setiap penggunaan lahan yang diteliti. b. Kemudian mengelompokkan data berdasarkan pengelompokan yang telah diuraikan di atas. c. Data yang telah dikelompokkan kemudian di masukkan kedalam tabel klasifikasi kemampuan lahan yang selanjutnya ditentukan kelas dan sub-kelasnya. Apabila hasil pengelompokan kriteria pada suatu unit lahan cenderung pada kelas kemampuan lahan III tetapi terdapat satu 45
kriteria yang berada pada kelas kemampuan lahan IV, maka unit lahan tersebut masuk kedalam kelas kemampuan lahan IV dimana sub kelasnya adalah kriteria yang berada di kelas kemampuan lahan IV tersebut. 3. Menyesuaikan kelas kemampuan lahan dan sub-kelas pada pola penggunaan lahan yang telah diterapkan oleh masyarakat. 4. Analisis Usahatani ini dilakukan
pada
kondisi
pola
tanam
dengan
pendekatan agroteknologi aktual dan pola tanam dengan pendekatan agoteknologi alternatif. Dalam analisis usaha tani ini yang dikaji tiga variabel penting yaitu penerimaan, biaya dan pendapatan dikemukakan
sebagaimana
oleh Soekartawi (2002) bahwa, Penerimaan usaha tani,
merupakan nilai produksi yang dapat dihasilkan dari usaha tani per musim tanam yang dinilai dengan mata uang, dihitung dengan persamaan : TR = Y.Py Dimana: TR Y Py
= Total penerimaan (Rp) = Produksi (kg) = Harga Y (Rp)
Dalam suatu usaha tani biasanya ditemukan lebih dari satu komoditas yang dikembangkan sehingga total penerimaan dihitung dengan menggunakan persamaan :
46
∑ Xi Pxi =1
Keterangan : TC = Total Biaya Xi = Jumlah fisik dari input yang membentuk biaya Pxi = Harga input n = Macam Input Pendapatan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya. Pd = TR - TC Dimana : Pd = Pendapatan usahatani (Rp) TR = Total Penerimaan (Rp) TC = Total Biaya (Rp) Berdasarkan
hasil
perhitungan
pendapatan,
dapat
dilakukan
penentuan kriteria kemiskinan. Kriteria kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 4. Sehingga dapat digunakan sebagai bahan penunjang dalam penentuan arahan penggunaan lahan. Tabel 4.Macam - macam Kriteria Kemiskinan Pendapatan Masyarakat (Rp/ Bulan)
Kriteria Kemiskinan
≥ 350.610.-
Tidak Miskin
280.488.- – 350.610.-
Hampir Tidak miskin
233.740.- – 280.488.-
Hampir Miskin
≤ 233.740,-
Miskin
Keterangan
Sumber badan statistik (BPS) 47
5. Menentukan arahan penggunaan lahan yang tidak sesuai antara kelas kemampuan
lahannya
merencanakan
dengan
peningkatan
pola
penggunaan
pemanfaatan
lahannya
dan
lahan
( land
perbaikan
improvemen) dengan cara :
a. Melakukan
kegiatan-kegiatan
perubahan yang
yang
dapat
menguntungkan terhadap
mengakibatkan kualitas
lahan.
Perbaikan besar ( major land improvement ) merupakan perbaikan yang
besar
dan
permanen.
Perbaikan
kecil
( minor
land
improvement ) adalah perbaikan yang relatif mempunyai efek kecil
atau yang tidak permanen. b. Melakukan tindakan konservasi tanah dan air dengan
cara
(Arsyad 2010) : -
Metode Vegetatif yaitu penggunaan tanaman atau tumbuhan dan serasahnya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, serta jumlah dan daya rusak aliran permukaan/erosi. Dalam metode ini antara lain dilakukan penanaman tanaman penutup tanah secara terus menerus. Penanaman dalam bentuk strip. Pergiliran tanaman dengan tanaman pupuk hijau, sistem wanatani dan lain sebagainya.
-
Metode Mekanik ini meliputi semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan 48
kemampuan dan penggunaan tanah. Metode ini
antara lain
meliputi pembuatan teras sederhana ( Batu, bambu, ranting), guludan, rorak, tanggul dan teras.
49
IV. KEADAAN UMUM LOKASI A.
Kondisi Geografis 1.
Letak
Lokasi penelitian berada di Desa Jenetallasa yang terletak disebelah Utara Ibukota
Kecamatan Rumbia dengan jarak ± 17 Km 2 dari Kota
Kecamatan dan dengan jarak 34 km dari Ibukota Kabupaten yang merupakan salah satu Desa yang terletak di Wilayah Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto
dengan
luas
wilayah ± 7.50 Km 2 . Adapun batas - batas
wilayah Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia adalah sebelah Utara berbatasan dengan Desa Ujung Bulu, Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Loka, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. Secara administrasi Desa Jenetallasa terdiri dari lima (5) Dusun yaitu Dusun Bontomasugi, Panakkukang, Kacicci, Pattallasaang dan Parangtallasa. 2. Topografi Desa
Wilayah Desa Jenetallasa berada berada pada ketinggian ketinggian dari permukaan laut ± 700 - 1000 Mdpl. Dari ketinggian tersebut dapat disimpulkan bahwa Desa Jenetallasa merupakan Desa yang terletak di Daerah pegunungan. Kondisi landskap Desa Jenetallasa bergunung dan berlembah dengan kemiringan yang bervariasi dimasing-masing titik karena perbedaan kemiringan yang bervariasi tersebut berupa Dusun terkesan terisolasir dengan dusun lain. Selain itu, Kondisi daerah pegunungan juga memberikan dampak terhadap
50
penggunaan lahan di Desa Jenetallasa. Kawasan pemukiman mengikuti pola jalur jalan raya. Kawasan pertanian pertanian terutama sayur mayur sangat cocok tumbuh di Desa Jenetallasa
dan merupakan penghasil dan pemasok pemaso k
kebutuhan sayur mayur di Makassar. 3. Iklim Dan Curah Hujan
Desa Jenetallasa memiliki dua macam musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pada musim hujan terjadi antara bulan November sampai bulan April, sedangkan pada musim kemarau terjadi antara Bulan Mei sampai dengan bulan Oktober. Desa Jenetallasa beriklim tropis dengan tipe iklim C2 yaitu tipe iklim yang memiliki bulan basah 5 – 6 Bulan dan bulan lembab 2 – 4 bulan dikarenakan Desa Jenetallasa
berada diketinggian 800 – 1830 Meter.
Jumlah rata – rata curah hujan Desa Jenetallasa selama beberapa Tahun ini mencapai 1.545 mm dengan rata – rata jumlah hari hujan 100 hari curah hujan tertinggi jatuh pada bulan Januari dan Pebruari sedang curah hujan terendah yakni pada Bulan Juli, Agustus dan September. 4. Tata kelola air
Wilayah Desa Jenetallasa yang berada di Dataran tinggi dan dikelilingi pegunungan menjadikan Desa Jenetallasa memiliki potensi sumber mata air yang banyak, hampir setiap lahan terdapat mata air didalamnya. Hal inilah yang memudahkan warga Desa dalam bertani. Para petani yang ingin 51
menanam holtikultura dan sayuran dengan muda menjangkau sumber air karena memakai pipa atau selang plastik yang langsung masuk ke kebun. Berbeda dengan Desa Jeneponto lainnya sumber air baik dari segi kualitas maupun kuantitas mencukupi untuk keperluan konsumsi rumah tangga. Namun saat ini hanya ada 12 titik dari pegunungan yang dijadikan sebagai sumber pemunuhan air bersih masyarakat, dalam rumah tangga, itu hanya air yang telah terbendung dan terdapat perpipahan yang pernah dikerjakan pada Tahun 2007 dan sampe sekarang tidak pernah ada perbaikan/rehab bendungan dan perpipahan oleh Pemdes dan Instansiinstansi lain. Air bersih seharusnya tidak membuat warga terkendala dalam mengakses namun hal ini masih dialami oleh beberapa warga
karena
kurangnya sarana pendukung seperti Bak penampung air disetiap wilayah/ Dusun sehingga masih ada yang mengakses air bersih dengan cara mengangkat kerumah menggunakan ember dan jerigen. 5. Tanah dan Geologi
Berdasarkan Peta jenis tanah dan geologi dari Dinas Kehutanan Kabupaten Jeneponto, jenis tanah yang ada di wilayah penelitian adalah Andosol. Jenis tanah andosol
umumnya berwarna gelap/hitam, abu-abu,
coklat tua hingga kekuningan sedangkan batuan yang terdapat di wilayah penelitian yaitu Andesit, Basalt, Tephra berbutir halus, Tefra berbutir kasar, Batu lumpur dan Batu pasir. 52
6. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada Sub-Sub DAS Manapa secara umum terdiri atas hutan, pengembalaan, kebun campuran, kebun sayur, pemukiman dan semak belukar seluas 676 Ha. 7.
Vegetasi
Jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi penelitian diantaranya adalah Tristania( Tristania merguensis Griff ), Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L) , Suren (Toona sureni ), Akasia ( Acacia auriculiformis) Kopi (Coffea robusta), Kakao (Theobroma cacao), Cengkeh ( Syzygium Armaticum), Nangka ( Arthocarpus integra), Jati ( Tectona Grandis), Mangga ( Mangifera indica ), Pisang
(Musa
paradisiaca),
Suren
( Toona
sureni),
Mahoni
(Swieteniamahagoni ),Kemiri ( Aleurites moluccana),Bambu (Bambussa sp), Dadap (Erythrina cristagally ) B.
Keadaan Sosial Ekonomi 1. Penduduk
Hasil sensus pada tahun 2007 menunjukkan bahwa Desa Jenetallasa masih kurang padat karena dilihat dari jumlah penduduk yang hanya 1798 jiwa yang terbagi atas 868 jiwa laki-laki jiwa dan perempuan 930 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 540. Adapun jumlah penduduk dari setiap Dusun di Desa Jenetallasa
berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada
Tabel 5. 53
Tabel 5. Jumlah Penduduk di Wilayah Desa Jenetallasa Kecamatan Rumbia Kabupaten Jeneponto. Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah Lingkungan Jumlah KK Jiwa Laki-laki Perempuan Jumlah Lingkungan Jumlah KK Bt. Masugi 102 189 201 Jiwa 390 Panakkukang
36
75
62
137
Kacicci
113
194
215
409
Pattallassang
119
200
201
421
Parangtallasa
120
210
231
441
Jumlah
540
868
930
1.789
Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010 2. Mata Pencaharian
Mata pencaharian Penduduk dalam wilayah Desa Jenetallasa adalah mayoritas Petani/Pekebun. Petani kebun seperti hortikultura dan palawija adalah sumber penghidupan warga. Adapun
Petani pedagang artinya
seluruh hasil produksi tanamannya dijual sendiri ke Pasar dan sebahagian bermata pencaharian
sebagai Supir, Pedagang, Wiraswasta
dan hanya
sebahagian kecil Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pekerjaan bertani ini dilakukan terus menerus sepanjang musim artinya tidak ada waktu luang yang tidak dimanfaatkan karena sumber mata air sangat mendukung terutam dalam hal penanaman tanaman seperti sayuran dan buah-buahan. Namun sekalipun demikian para petani masih memiliki kendala antara lain, pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola budidaya palawijaya begitu juga keterbatasan sarana dan alat-alat pertanian seperti Handtractor dan lain-lain.
54
Selain sebagai Petani, terdapat pula beberapa keluarga yang keluar daerah (Makassar, Kalimantan sampai ke Malaysia) mencari sumber penghasilan tambahan sebagai penjual di Pasar dan buruh tani. Khususnya dari kalangan keluarga miskin dan sangat miskin . Berikut rincian mata pencaharian penduduk disajikan pada Tabel berikut : Tabel 6. Rincian mata pencaharian di Desa Jenetallasa Mata Pencaharian
Jumlah Orang
Supir
1
Buruh tani
5
Ibu Rumah Tangga
20
Pedagang
3
Pedagang Dan petani
13
Kepala Desa
1
Perantau Tahunan
18
PNS
1
Petani dan Supir
15
Petani
275
Jumlah
352
Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010. 3. Pendidikan
Satu faktor penunjang peningkatan pendapatan masyarakat adalah pendidikan. Namun, berdasarkan hasil sesus Jenetallasa, maka kita dapat melihat bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan masyarakat masih sangat
55
rendah disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana pendidikan. Berikut tingkat pendidikan penduduk di Desa Jenetallasa. Tabel 7. Tingkat Pendidikan Penduduk di Desa Jenetallasa Pendidikan Terakhir
Total
S1
2
D2
1
SMP
12
SMU
6
SD
85
Tidak Pernah Sekolah
240
Jumlah
346
Sumber: Hasil Sensus Penduduk Desa Jenetallasa 2007/2010.
56
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Klasifikasi Kemampuan Lahan Di Desa Jenetallasa
Berdasarkan dari hasil pengamatan langsung dilapangan maka diperoleh 6 penggunaan lahan yaitu Hutan lindung, Pengembalaan, Pemukiman,
Kebun
campuran,
kebun
sayur
dan
semak
belukar.
Pengelompokan berdasarkan penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Klasifikasi Kelas Kemampuan Lahan Berdasarkan penggunaan Lahan. No
Penggunaan Lahan
Kelerengan
Kelas
1
Hutan Lindung
100%
VIIe
2
Pengembalaan
40 %
VIe
3
Pemukiman
5%
IIs
4
Kebun campuran
57%
VIIe
5
Kebun Sayur
50%
VIIe
6
Semak belukar
100%
VIIe
Berdasarkan Tabel 8. Dapat dilihat bahwa kelas kemampuan lahan Desa Jenetallasa
bervariasi mulai dari kelas kemampuan II sampai VII.
Klasifikasi kelas kemampuan lahan tersebut diperoleh dari hasil sampel pola pengunaan lahan yang telah dianalisis di laboratorium, dimana hasil pengamatan dan pengukuran kriteria faktor penghambat dari klasifikasi kemampuan lahan serta analisis laboratorium disajikan sebagai berikut :
57
a. Penggunaan Lahan I ( Hutan Lindung ) Penggunaan lahan I diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII dengan Sub kelas erosi
(VIIe). Lahan ini termasuk dalam kelas
kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang curam yaitu >45%. Hasil dilapangan menunjukkan penggunaan lahan pada hutan lindung memiliki kemiringan lereng 100%. Meskipun memiliki faktor penghambat seperti kedalaman tanah yang sangat dangkal dan batuan yang banyak yaitu 100%, namun vegetasi yang ada didalamnya didominasi oleh pohon Pinus( Pinus mercusii ) Tristania (Tristania merguensis Griff ), Bayam Jawa (Amaranthus tricolor L), Suren (Toona sureni ), Akasia ( Acacia auriculiformis ) sehingga lahan tersebut
sesuai dengan kemampuan lahan yang vegetasi penutupan tanahnya didominasi oleh pepohonan b. Penggunaan Lahan 2 (Pengembalaan) Penggunaan lahan 2 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VI dengan faktor pembatas lereng (e) sehingga masuk dalam sub kelas Erosi (VIe). Faktor penyebab lahan ini masuk dalam kelas kemampuan lahan VIe karena memiliki kelerengan yang agak curam atau bergunung yaitu > 30 %. Berdasarkan informasi dari masyarakat dan survey lapangan, lahan ini awalnya digunakan masyarakat sebagai kebun sayur, tapi karena sayur tidak dapat tumbuh dengan masyarakat menggunakan
lahan ini
menjadi
baik,
maka
pengembalaan 58
hewan
ternaknya seperti
Ayam ( Gallus domesticus), Sapi (Bos
primigenius), Kuda (Equus caballus) Kambing ( Capra aegagrus hircus).
c. Penggunaan Lahan 3 (Pemukiman) Penggunaan lahan 3 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan II dengan Sub kelas penghambat terhadap perakaran tanaman (IIs). Lahan ini termasuk dalam kelas kemampuan lahan II dengan faktor pembatasnya berupa Kedalaman tanah yang dangkal yaitu 30 cm (k 2) dan Batuan atau kerikil sebanyak 100%. Pemukiman di Desa tersebut ditempati oleh masyarakat secara turun temurun. d. Penggunaan Lahan 4 (Kebun Campuran) Penggunaan lahan 4 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII dengan Sub kelas erosi (VIIe) Seluas 000 ha. Lahan ini termasuk dalam kelas kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang
curam yaitu >45%. Kemiringan >45%
sebaiknya
bervegetasi hutan dan tidak diganggu. Menurut Gunawan (2007), Jumlah dan kerapatan vegetasi tumbuh tersebar merata dan menutup permukaan tanah dengan baik, dapat memenuhi fungsinya sebagai penutup tanah.
e. Penggunaan Lahan 5 (Kebun Sayur) Penggunaan lahan 5 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII dengan Sub kelas erosi (VIIe).
Lahan ini termasuk dalam kelas 59
kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang
curam yaitu >45%. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan,
berbagai jenis sayur-sayuran ditanam oleh masyarakat meskipun dengan kemiringan yang curam. seperti,
Kol ( Brassica oleracea),
Wortel (Ducus Carota), Kentang ( Solanum tuberosum), Lombok( Capsicum frutescens), Ubi Jalar ( Ipomoe Batatas ), Daun bawang( Alium fistulosum),
Seledri
( Apium
graviolens)
dan
Markisa( Passiflora
quadrangularis L)
f. Penggunaan Lahan 6 (Semak Belukar) Penggunaan lahan 6 diklasifikasikan kedalam kelas kemampuan lahan VII dengan Sub kelas erosi (VIIe).
Lahan ini termasuk dalam kelas
kemampuan lahan VII dengan faktor pembatasnya berupa kelerengan yang
curam yaitu >45%. Hasil penelitian dilapangan menunjukkan
bahwa pada lahan ini memiliki semak belukar yang tinggi sehingga permukaan tanah terbuka dengan kedalaman tanah yang dangkal. Hasil pengelompokan faktor penghambat dan penentuan kelas kemampuan lahan serta sub-kelasnya dapat dilihat pada Tabel 9 sedangkan hasil pengamatan dan pengukuran faktor penghambat klasifikasi kemampuam lahan dilapangan dan laboratorium dapat dilihat pada lampiran 5.
60
1
Tabel 9. Hasil pengelompokan Faktor Penghambat dan Penentu Kelas Kemampuan Lahan serta Sub Kelasnya
No
Faktor penghambat
1
Lereng Permukaan 2 Kepekaan Erosi 3 Tingkat Erosi 4 Kedalam Tanah 5 Tekstur Lapisan Atas 6 Permeabilitas 7 Drainase 8 Krikil/Batuan 9 Ancaman Banjir Faktor Pembatas
Kelas Kemampuan Lahan SubKelas
Sampel Pengamatan Kebun Pemukiman campuran (Andosol, (Andosol, 0>45%) 15%)
Hutan lindung (Andosol, 16-45%)
Pengembalaan (Andosol, > 45%)
Kebun sayur (Andosol, 16-30%)
Semak Belukar (Andosol,1630%)
F
E
A
F
F
F
KE3
KE3
KE2
KE3
KE3
KE3
e1
e2
e0
e4
e4
e1
k3
k2
k2
k2
k1
k2
t3
t3
t1
t3
t3
t4
P3 d3 b2
P3 d2 b2
P3 d4 b2
P3 d1 b2
P3 d1 b2
P3 d4 b2
Oo
Oo
Oo
Oo
Oo
Oo
Lereng
Lereng
Kedalaman tanah dan Batuan
Lereng
Lereng
Lereng
VIIe
VIe
IIs
VIIe
VIIe
VIIe
Erosi (e)
Erosi (e)
Erosi (e)
Erosi (e)
Erosi (e)
Erosi (e)
2
Pada Tabel 9 faktor penghambat tekstur lapisan bawah dan garam/salinitas
tidak diamati. Pada tekstur lapisan bawah yakni pada
kedalaman tanah di atas 60 cm tidak terlalu berpengaruh pada klasifikasi kemampuam lahan karena pada Tabel pengklasifikasian Arsyad, S (2010), faktor penghambat ini dapat memiliki sembarang data, sedangkan garam /salinitas tidak diamati karena pada lokasi penelitian berada pada daerah yang cukup tinggi di atas permukaan laut sehingga faktor penghambat tersebut tidak berpengaruh. Hasil pengamatan dan pengukuran menunjukkan bahwa Desa Jenetallasa memiliki kelerengan yang agak curam sampai curam, kedalaman tanah dangkal dan permeabilitas yang sedang sehingga mengakibatkan tanahnya sangat mudah untuk tererosi yang akan mengakibatkan rawan longsor. 2. Kesesuaian Pola Pengguna Lahan Dengan Kemampuan Lahan
Penentuan kesesuaian antara pengguna lahan dengan kemampuan lahannya bisa didapat setelah memperoleh data dari lapangan
tentang
karakteristik setiap pengguna lahan. Karekteristik setiap pengguna lahan meliputi lereng permukaan (kemiringan lereng), kepekaan erosi, tingkat erosi, kedalaman tanah, tekstur lapisan atas, permeabilitas, drainase, krikil atau batuan dan ancaman banjir. Hasil analisis kesesuaian pengguna lahan dengan kemampuan lahan tertera pada Tabel 10.
62
Tabel 10. Kesesuaian Pola Penggunaan Lahan di Sub-Sub DAS Manapa Kesesuaian pola Sampel Kelas kemampuan No penggunaan pengamatan lahan lahan 1 Hutan Lindung VIIe Sesuai (Andosol,> 45 %) 2 Pengembalaan VIe sesuai (Andosol,30 - 45%) 3 Pemukiman IIs Sesuai (Andosol, 0 - 3%) 4 Kebun Campuran VIIe Tidak sesuai (Andosol, >45%) 5 Kebun Sayur VIIe Tidak sesuai (Andosol, >45%) 6 Semak Belukar VIIe Tidak sesuai (Andosol, >45%) Berdasarkan Tabel 10, dapat dilihat bahwa ada tiga pola penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahan yaitu Hutan lindung Pengembalaan dan Pemukiman. Selebihnya ketiga pola penggunaan lahan lainnya yaitu Kebun campuran, Kebun sayur dan Semak belukar tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahan. Hal ini bisa diketahui dengan merujuk pada Tabel 9. 3. Arahan Penggunaan Lahan
Penentuan arahan penggunaan lahan yang tepat, juga membutuhkan informasi pendapatan usahatani. Kriteria kemiskinan dan kelas kemampuan lahan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan arahan penggunaan lahan berbasis pengelolaan DAS. Seperti yang disajikan pada Tabel 11.
63
64
Tabel 11. Arahan Penggunaan Lahan Sampel Pengamatan Hutan Lindung
Klasifikasi Kemampuan Lahan VIIe
Pengembalaan
VIe
Pemukiman
IIs
Pendapatan Masy. (Rp/bln) -
232.625 -
Kriteria Kemiskinan Masy. -
Kesesuaian Penggunaan Lahan
Arahan penggunaan dan pengelolaan Lahan
Sesuai
Hampir miskin -
Sesuai
1. Pemeliharaan Vegetasi Penutupan tanah sebagai penahan erosi 2. Kawasan Jalur hijau sepanjang sempadan sungai 3. Hutan primer minimal 30% luasan DAS untuk perlindungan mata air dan daerah rawan bencana longsor (Hutan Lindung) 1. Pemeliharaan padang rumput untuk pengembalaan ternak. 1. Setiap Pembangunan prasarana fisik diharapkan adanya pembuatan kebun pekarangan (Tanaman hias dan obatobatan) 1. Pemeliharaan Vegetasi Penutupan Lahan 2. Kebun campuran tanaman tahunan dan semusim 3. Menerapkan teknik konservasi tanah seperti membuat teras 1. Pemanfaatan sistem agroforestry dengan memanfaatkan hasil hutan non kayu 2. Menerapkan teknik konservasi tanah seperti membuat teras 1. Rehabilitasi dan reboisasi lahan sesuai dengan jenis tanah pada lahan 2. Menerapkan teknik konservasi tanah baik secara vegetatif maupun secara mekanik
Sesuai
Kebun campuran
VIIe
338583,3
Hampir tidak miskin
Tdk Sesuai
Kebun Sayur
VIIe
628333,3
Tidak miskin
Tdk Sesuai
Semak Belukar
VIIe
-
-
Tdk Sesuai
Berdasarkan Tabel 11. Terdapat enam sampel pengamatan yaitu hutan lindung, penggembalaan, pemukiman, kebun campuran, kebun kayur, dan semak belukar. Dari keenam sampel tersebut ada tiga sampel yang memiliki kesesuaian penggunaan lahan yaitu hutan lindung pengembalaan dan pemukiman. Wilayah yang didominasi oleh semak belukar, kebun campuran, dan kebun sayur setelah dianalisis memiliki ketidaksesuaian arahan penggunahan lahan. Tabel
di
atas
juga
memberikan
informasi
mengenai
analisis
pendapataan masyarakat. Berdasarkan analisis tersebut didapatkan bahwa hanya
kegiatan
berkebun
sayur
yang
mampu
memberikan
tingkat
kesejahteraan yang baik (tidak miskin) bagi masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka
dapat disimpulkan bahwa arahan
penggunaan lahan bagi lahan yang telah sesuai arahan penggunaan lahannya adalah proses pemeliharaan vegetasi penutupan lahan. Sehingga arahan fungsi kawasan hutan dapat terjaga. Sedangkan untuk penggunaan lahan yang tidak sesuai, direkomendasikan untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan
pada lahan-lahan masyarakat. Proses rehabilitasi lahan
masyarakat ini dilakukan dengan cara tidak merusak pola aktifitas masyarakat sebelumnya. Arahan penggunaan lahan tersebut memerlukan model pengelolaan lahan yang mampu mengkombinasikan secara efektif antara tanaman kayu-kayuan dengan aktifitas masyarakat sebelumnya.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1.
Desa
Jenetallasa
memiliki
enam
Pola Pengunaan
lahan
yaitu
Pemukiman dengan kelas kemampuan lahan IIs, dan Pengembalaan dengan kelas kemampuan lahan VIe dan Hutan lindung, Kebun campuran, Kebun sayur dan Semak belukar dengan kelas kemampuan VIIe. 2.
Penggunaan lahan yang sesuai pada kelas kemampuan lahan adalah Hutan, Pengembalaan dan Pemukiman sedangkan penggunaan lahan yang tidak sesuai pada kelas kemampuan lahan adalah Kebun Campuran, Kebun sayur, dan Semak belukar.
3.
Penggunaan melaksanakan
lahan
yang
kegiatan
tidak
sesuai,
rehabilitasi
direkomendasikan
lahan
pada
untuk
lahan-lahan
masyarakat. Proses rehabilitasi lahan masyarakat ini dilakukan dengan cara tidak merusak pola aktifitas masyarakat sebelumnya. Arahan penggunaan lahan tersebut memerlukan model pengelolaan lahan yang mampu mengkombinasikan secara efektif antara tanaman kayu-kayuan dengan aktifitas masyarakat sebelumnya. B. Saran
Diperlukan suatu kebijakan dari Pemerintah untuk merehabilitasi dan memonitoring lahan pada Sub DAS Kelara, Demi
keberlanjutan DAS
Kedepannya mengingat Jenetallasa merupakan Desa Bagian Hulu DAS Kelara (catchment area ), sehingga
pemerintah dan masyarakat dapat
mengantisipasi kerusakan lahan yang akan berdampak pada kualitas DAS tersebut.