BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Seluk Beluk Objek Wisata Londa
Londa merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja yang dijadikan objek wisata di Toraja Utara, Sulawesi Selatan. Tempat ini dinamakan berdasarkan nama wilayah tempat permakaan gua dan tebing batu. Objek wisata ini berada di Desa Desa Sendan Uai, Kecamatan Kecamatan Sanggalangi yang berjarak sekitar 7 km sebelah selatan Kota Rantepao Ibu kota Makale, Toraja Utar a. Objek wisata ini terletak di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam. Didalam gua tersebut terdapat peti-peti mayat yang diatur sesuai dengan garis keluarga, di satu sisi bukit lainnya dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. peti-peti mayat diatur sesuai dengan garis keluarga atau satu rampun keluarga, yaitu rumpun keluarga Tolengke yang masih ada hubungan keluarga di tempat pemakaman Kete Kesu. Penempatan peti mati di dalam gua tersebut diletakkan berdasarkan strata atau statusnya dalam masyarakat, jadi semakin tinggi strata seseorang yang meninggal maka semakin tinggi pula penempatan peti matinya. Di dalam gua Londa, ada begitu banyak tengkorak dan belulang yang berserakan karena petinya sudah rusak. Sebagian tengkorak dan tulang belulang ini usianya sudah ratusan tahun. Peti-peti mati yang lama dan sudah hancur dapat diganti kembali dengan peti yang baru, tetapi harus melakukan mela kukan upacara “Ma Nene” yang dihadiri oleh keluarganya. Peti yang paling lama diperkirakan sudah ada sejak abad ke-ll. Selain peti mati, terlihat pula pakaian atau rokok yang sengaja ditaruh oleh keluarga yang berziarah, dan barang-barang kesayangan dari mayat akan dimasukkan ke dalam peti. Apabila keluarga orang yang sudah meninggal belum mampu melakukan upacara untuk pemakaman atau Rambu Solo, maka jenazah tersebut dianggap sakit atau disebut juga “Tomakula” (to : orang sedangkan kula = sakit). Saat ini, mayat-mayat yang ada didalam gua diberi formalin, sedangkan orang-orang dulu menggunakan ramuan kayu.
5
Dibagian luar gua pengunjung akan menjumpai beberapa peti mati model kuno yang tergantung ataupun diletakkan begitu saja di atas tanah, Peti mati ini disebut Erong dengan 3 (tiga) bentuk masing-masing rumah adat atau kapal = keturunan bangsawan, kerbau = pria dan babi = wanita. Peletakan peti-peti ini mengikuti strata sosial dari yang meninggal. Semakin tinggi status sosialnya, semakin tinggi pula letak Erong -nya. Selain itu, dibagian luar gua tepatnya di tebing gua terdapat pula deretan patung-patung kayu (tau-tau) di tebing batu yang dipahat serupa etalase tanpa kaca bagi patung-patung tersebut. Patung-patung tersebut hanya dibuatkan untuk para bangsawan. Untuk membuat patung tersebut harus melakukan upacara. Upacara pemakaman secara adat bagi jenazah bangsawan Toraja dikenal dengan nama Rambu Solo. Untuk dapat melaksanakan upacara adat ini, keluarga yang ditinggalkan harus memotong sekitar 24 hingga 100 ekor kerbau (bagi golongan bangsawan) untuk memenuhi s yarat tersebut.
B. Persepsi masyarakat tentang objek wisata Londa
Perkuburan Londa merupakan salah satu objek wisata yang paling populer yang terdapat di Tana Toraja Utara (Tator) karena hampir setiap hari tempat ini dikunjungi wisatawan lokal maupun mancanegara. Perkuburan Londa sangat unik karena objek wisata tersebut memiliki ciri khas tersendiri di Sulawesi Selatan. Tana Toraja me njadikan Londa sebagai objek wisata yang menantang. Hal ini disebabkan karena tempat ini menyimpan banyak mayat dari berbagai usia dan status sosial dalam masyarakat Tana Toraja. Oleh karena itu, tempat ini sangat digemari oleh para wisatawan yang sangat penasaran dengan keunikan Perkuburan Londa tersebut. Londa adalah nama objek wisata yang kerap digunakan masyarakat, nama itu diambil dari nama daerah tempat objek wisata tersebut. Di tempat tersebut merupakan tempat penguburan rumpun keluarga dari marga tolengke. Salah satu hal yang membuat populer adalah lokasi untuk menuju ke tempat pemakanam yang mudah dijangkau karena mobil bus dapat masuk hingga dekat dengan tempat berkumpul para pemandu. Tempat perkuburan Londa adalah sebuah gua yang dijadikan sebagai tempat pemakaman warga Toraja di sekitar kawasan itu, gua
6
Londa dijadikan pemakaman karena berdasarkan kesepakatan bersama dari keluarga pada zaman dahulu. Para pemandu tidak mengetahui siapa yang pertama kali memilih gua tersebut sebagai tempat penyimpanan jenazah, namun kembali lagi pada kepercayaan Aluk Todolo yang sudah menjadi aturan hidup dalam bertingkah laku warga Toraja. Di dalam gua Londa ditempatkan peti-peti jenazah atau mumi para leluhur orang Toraja yang telah dilaksanakan upacara adat Rambu Solo. Upacara adat Rambu Solo sendiri dilakukan oleh keluarga jenazah berdasarkan musyawarah dan dihadiri oleh masyarakat sekitar. Upacara Adat Rambu Solo bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang telah meninggal dunia menuju alam roh yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, salah satunya di Gua Londa. Dalam masyarakat Tana Toraja, Upacara pemakaman merupakan ritual paling penting dan berbiaya mahal, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri ribuan orang selama beberapa hari. Selain upacara Rambu Solo, ada juga ritual Ma nene yang dilakukan degan cara menurunkan jenazah dari terbing untuk diganti
pakaiannya, ritual ini dilakukan 3 tahun sekali dan hanya boleh
dilaksanakan pada musim panen yakni pada bulan Agustus – September. Masyarakat Toraja percaya jika ritual Ma Nene dilakukan sebelum masa panen maka sawah-sawah dan ladang mereka akan mengalami kerusakan dengan banyaknya tikus dan ulat yang datang tiba-tiba.
C. Hubungan Objek Wisata Londa, Kete Kesu dan Baby Grave
Perkuburan Londa dan Kete Kesu adalah perkuburan manusia yang ditempatkan di Gua. Berdasarkan informasi yang kami dapatkan dari pemandu bahwa masih ada hubungan keluarga antara tempat perkuburan Kete Kesu dan Londa. Karena dahulu sampai sekarang masih sering terjadi pernikahan antara penduduk Kete Kesu dan penduduk Londa dan dalam tingkatan penempatan peti pada Londa dan Kete Kesu itu sama-sama menurut tingkatan ekonomi dan strata kebangsawanan, semakin tinggi tingkatan peti ditempatkan, maka semakin tinggi strata kebangsawanan atau ekonomi orang tersebut, selain itu pada perkuburan
7
Kete Kesu ada tempat perkuburan khusus untuk 5 marga bangsawan yang ada di daerah tersebut dan masing masing marga terdapat tingakatannya juga. Pada Londa dan Kete Kesu syarat-syarat upacaranya sama karena berdasar pada kepercayaan asli orang Toraja yaitu upacara Rambu Solo. Pada Baby grave, yang dikuburkan adalah bayi yang meninggal ketika baru lahir hingga belum punya gigi. Strata sosial dan tingkat ekonomi orangtua bayi juga menentukan penempatan dari bayi pada pohon, bayi ditempatkan dalam posisi duduk seperti didalam kandungan dan membelakangi rumahnnya supaya orang tuanya ikhlas dan agar bayi tidak datang dalam mimpi. Begitu juga dengan Londa, penempatan orang yang telah meninggal ditempatkan berdasarkan strata kebangsawanan atau ekonomi. Jadi, hubungan objek wisata Londa, Kete Kesu dan Baby Grave yaitu ketiganya merupakan tempat perkuburan atau persemayaman jenazah yang merupakan budaya masyarakat Tana Toraja yang berasal dari kebudayaan dan kepercayaan asli yang pertama yang ada di Tana Toraja yaitu Kepercayaan Aluk Todolo yang mirip dengan kepercayaaan Hindu Bali.
D. Keterkaitan Objek Wisata dengan Faktor Ekonomi, Budaya Nasional, Agama, dan Politik Nasional 1.
Faktor Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk beternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja. Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke
8
Kalimantang untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kotakota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985. Kebanyakan masyarakat Toraja hidup sebagai petani. Komoditi andalan dari daerah Toraja adalah sayur-sayuran, kopi, cengkeh, cokelat dan vanili. Perekonomian di Tana Toraja digerakkan oleh 6 pasar tradisional dengan sistem perputaran setiap 6 hari, yaitu : 1) Pasar Makale 2) Pasar Rantepao 3) Pasar Ge’tengan 4) Pasar Sangalla’ 5) Pasar Rembon 6) Pasar Salubarani
2. Faktor Budaya Nasional a. Tongkonan
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukuran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata “Tongkonan” berasal dari bahasa Toraja tongkon (“duduk”). Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan Tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangkan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, Tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dengan menggelar upacara yang besar. b. Ukiran Kayu
Setiap panel melambangkan niat baik untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa’ssura
yang berarti (“Tulisan”). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan
perwujudan budaya Toraja. Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya
9
tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Pada ukiran kayu Toraja terdapat 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan sebagai harapan suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak yang berarti harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air yang berarti menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk mengahasilkan hasil yang baik. Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja. Selain itu, ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur mate matikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan tabsiran mereka sendiri. c. Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakamam merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayan yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan suku Toraja tetapi itu semua tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
10
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah bermingguminggu,
berbulan-bulan,
bersangkutan,
dengan
bahkan
tujuan
bertahun-tahun
agar
keluarga
sejak
yang
kematian
yang
ditinggalkan
dapat
mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Bagian lain dari pemakaman adalah penyelembihan kerbau. Semakin berkuasa
seseorang
maka
semakin
banyak
kerbau
yang
disembelih.
Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau termasuk kepalanya dijajar di padang menunggu pemiliknya yang sedang dalam “masa tertidur”. Suku toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di “puya” (du nia arwah atau akhirat) jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diiringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang terpercik dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum. Ada 3 cara pemakaman, yaitu peti mati dapat disimpan dalam gua, di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Untuk peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh. d. Musik dan Tarian
Salah satu alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut pa’ suling. Suling ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma’bondensang. Alat musik ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak memakai baju dan berkuku jari panjang. Selain pa’ suling, suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya pa’ pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan pada saat upacara pembukaan rumah.
11
Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, termasuk upacara penguburan.
Mereka
menari
untuk
menunjukkan
rasa
duka
cita
serta
penghormatan sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pada hari pertama pemakaman, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum. Ritual ini disebut dengan “Ma’badong”. Ritual ini dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman. Selanjutnya, pada hari kedua pemakaman dilakukan tar ian prajurit “Ma’randing” yang dilakukan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau dan berbagai ornamen lainnya. Tarian “Ma’randing” ini mengawali prosesi ketika jenazah dibawah dari lumbung padi menuju “rante” tempat upacara pemakaman. Selama upacara para perempuan dewasa melakukan tarian “Ma’katia” bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut “Ma’dondan”.
3. Faktor Agama
Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk yang berarti “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua (dewi pencipta). Menurut aluk, alam semesta dibagi menjadi dunia atas (surga), dunia manusia (bumi) dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan mengahasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar. Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut tu minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga
12
merupakan dari hukum, agama, dan kebiasaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara aluk biasanya berbeda antara satu desa dengan desa lainnya.
4. Politik Nasional
Kehidupan masyarakat Tana Toraja sangat berhubungan erat dengan kehidupan luar terutama masyarakat luar yang berkunjung pada saat upacara adat yang dilakukan masyarakat Tana Toraja sehingga bangsawan Tana Toraja yang mempunyai hubungan erat dengan pemuka politik jauh-jauh mengunjungi daerah ini dan menyumbangkan beberapa ekor kerbau yang harganya sampai milyaran rupiah
untuk
itulah
hubungan
politik
menimbulkan daya tarik sendiri.
13
yang
terjalin
dalam
masyarakat