BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah infeksi bakteri yang terjadi pada saluran kemih. Kejadian infeksi saluran kemih pada masa nifas relatif tinggi dan hal ini dihubungkan dengan hipotoni kandung kemih akibat trauma kandung kemih waktu persalinan, pemeriksaan dalam yang sering, kontaminasi kuman dari perineum, atau kateterisasi yang sering (Krisnadi, 2005).
Etiologi dan Epidemiologi
Dalam setiap tahun, 15% perempuan mengalami ISK. Ada beberapa penyebab infeksi saluran kencing pada masa nifas, yaitu (Josoprawiro, 2002):
Bakteri Escherecia coli merupakan penyebab yang sering ditemukan pada kasus ISK. Bakteri ini dapat berasal dari flora usus yang keluar sewaktu buang air besar, dan jika bakteri berkembang biak akan menjalar ke saluran kencing dan naik ke kandung kemih dan ginjal,ini lah yang menyebabkan ISK.
Trauma kandung kemih waktu persalinan. Pada masa nifas dini, sensivitas kandung kemih terhadap tegangan air kemih didalam vesika sering menurun akibat trauma persalinan atau analgesia epidural atau spinal.
Pemeriksaan dalam yang sering
Kontaminasi kuman dari perineum
Kateterisasi yang sering
Nutrisi yang buruk
Defisiensi zat besi
Persalinan lama
Ruptur membran
Episiotomi. Sensasi peregangan kandung kemih juga mungkin berkurang akibat rasa tidak nyaman yang ditimbulkan oleh episiotomi yang lebar, laserasi periuretra, atau hematoma dinding vagina.
Sectio Cessaria
Setelah melahirkan, terutama saat infus oksitosin dihentikan, terjadi diuresis yang disertai peningkatan produksi urin dan distensi kandung kemih. Over distensi yang disertai katerisasi untuk mengeluarkan air kemih sering menyebabkan infeksi saluran kemih. Distensi kandung kemih mengurangi aliran darah ke lapisan mukosa dan submukosa sehingga jaringan menjadi lebih rentan terhadap bakteri. Urin yang tersisa dikandung kemih menjadi lebih basa sehingga kandung kemih merupakan tempat ideal bagi pertumbuhan organisme (Krisnadi, 2005).
Kateterisasi urin yang dilakukan secara rutin sebelum pelaksanaan seksio sesaria berhubungan dengan 80% dari kejadian infeksi saluran kemih (Li L, et al, 2010). Pada penelitian oleh Max R (2008), didapatkan kejadian infeksi saluran kemih 11 kasus (22%) pada pemasangan kateter menetap 12 jam pasca seksio sesarea sedangkan bila pemasangan menetap 24 jam kejadiannya sebesar 9 kasus (18%). Pada uji statistik tidak ada perbedaan yang bermakna (p=0,617) kejadian infeksi saluran kemih pasca seksio sesarea antara pemasangan kateter menetap 12 jam dan 24 jam pasca seksio sesarea. Jadi pada penelitian ini tidak ditemukan adanya perbedaan antara lama pemasangan kateter menetap 12 jam atau 24 jam dengan kejadian infeksi saluran kemih (Max Rarung, 2008).
Berbeda dengan apa yang dikatakan Ghoreishi, semakin lama kateter dipertahankan, resiko infeksi saluran kemih akan meningkat, Edward dari Centers for Disease Control and Prevention mengatakan kejadian infeksi saluran kemih tergantung dari cara pemasangan, pengambilan urin, lama pemakaian, dan kualitas kateter tersebut. Insidensi infeksi saluran kemih meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian kateter, bervariasi sekitar 3-33%. Untuk menghindari resiko infeksi saluran kemih, prosedur pemasangan kateter harus steril dan kateter harus bebas dari bakteri (Max Rarung, 2008). Infeksi saluran kemih di Indonesia insiden dan prevalensinya masih cukup tinggi, pada bumil/nifas 5-6% (Manuaba, 2007).
Patofisiologi
Infeksi saluran kemih ini terjadi akibat pengaruh hormon progesterone terhadap tonus otot dan peristaltic,dan yang lebih penting lagi adalah akibat penyumbatan mekanik oleh rahim yang membesar saat hamil (Azis A,et al, 2009).
Ada 3 cara terjadinya ISK,yaitu (Krisnadi, 2005):
1. Penyebaran melalui aliran darah yang berasal dari usus halus atau organ lain ke bagian saluran kemih.
2 . Penyebaran melalui saluran getah bening yang berasal dari usus besar ke kandung kencing atau ginjal.
3. Terjadi migrasi kuman secara asenden (dari bawah ke atas) melalui uretra, ke kandung kencing (buli-buli) dan ureter ke ginjal.
Panjang uretra perempuan sekitar 3 - 4 cm, dengandiameter lubangnya sekitar 6 mm, tetapi lubang ini dapat dilebarkan dengan menggunakan kateter urin. Dalam masa kehamilan uretra dapat mengalami perpanjangan dan baru akan kembali normal 8 - 12 minggu setelah melahirkan. Penelitian menunjukkan bahwa terbanyak bakteri masuk ke dalam saluran kemih melalui uretra. Hal ini disebabkan karena uretra yang pendek dan mempunyai muara yang terbuka, dekat sekali letaknya dengan tempat-tempat yang banyak mengandung bakteri yaitu vagina dan anus (Azis A,et al, 2009).
Diketahui bahwa anus mengandung kuman-kuman saluran cerna, terbanyak adalah Escherichia coli di samping kuman-kuman lain, begitu juga dengan vagina. Kuman yang ada di introitus vagina sesuai dengan yang ada di sekitar anus, hal ini juga sesuai dengan penyebab terbanyak infeksi saluran kemih yaitu Escherichia coli, yaitu sekitar 85 – 90 % (Hooton, 2000). Regio genital dan sekitarnya merupakan area dengan risiko tinggi kejadian infeksi, atau merupakan
tempat sumber infeksi, terutama infeksi saluran kemih (Grunerberg, 2000).
Di samping itu ternyata dua pertiga distal bagian uretra merupakan tempat reservoir bakteri yang pada keadaan normal adalah nonpatogen. Dalam keadaan tertentu, di mana adanya tindakan-tindakan medis, serta keadaan yang meningkatkan kontaminasi bakteri di daerah ini, dapat meningkatkan bakteri-bakteri tersebut naik dan masuk ke dalam saluran kemih bagian atas (secara ascendens), sehingga kejadian infeksi saluran kemih akan meningkat (Junizaf, 2002).
Tanda dan Gejala
Gejala / tanda ISK sebagai berikut: demam (> 38 ° C), urgensi, frekuensi, disuria, nyeri suprapubik, atau nyeri sudut costovertebral. Gejala infeksi
mungkin melibatkan saluran kemih bawah dan menyebabkan sistitis, atau mungkin melibatkan kaliks ginjal, pelvis dan parenkim dan menyebabkan pielonefritis. Selain itu, risiko tertular bakteriuria diperkirakan sebesar 8,1% per hari selama kateter masih terpasang (Onyegbule, et al, 2014).
Infeksi saluran kencing sering di tandai dengan gejala berikut (Krisnadi, 2005):
Nyeri dibawah perut
Susah kencing atau keluar hanya sedikit
Sering berkemih dan tak dapat ditahan
Retensi urin
Demam
Menggigil
Perasaan mual dan muntah
Lemah
Nyeri pinggang
Pada masa nifas sering ditemukan adanya laktosuria yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. Sistitis akut biasanya muncul pada hari ke 2 dan 3 postpartum, hal ini mungkin disebabkan oleh retensi urin dan perkembang biakan bakteri di dalam uretra dan buli-buli yang mengalami trauma persalinan.
Trauma persalinan pada dasar buli-buli sering menyebabkan timbulnya gangguan fungsi buli-buli karena kerusakan neurogenik, yang mengakibatkan fungsi refleks berkemih buli-buli tidak adekuat lagi. Konsekuensinya, buli-buli menjadi overdistended, dan refluks urin vesikoureteral merupakan cikal bakal untuk terjadinya infeksi bakteri secara ascendens. Oleh karena itu, pada keadaan trauma uretra dan buli-buli selama partus, dipasang kateter Foley dan dibiarkan selama 24 jam postpartum, untuk mengurangi obstruksi karena edema dan hiperemia serta mencegah terjadinya retensi urin (Krisnadi, 2005).
Faktor Risiko dan Predisposisi
Pada perempuan hamil dengan bakteriuria asimptomatik ternyata 30% dapat menjadi simptomatik dengan gejala klinis berupa sistitis atau pielonefritis akut pada saat sebelum atau sesaat sesudah partus. Faktor predisposisi lainnya bagi infeksi saluran kemih pada masa nifas adalah keteterisasi dan kontaminasi sewaktu partus atau seksio sesarea yang menyebabkan 5 - 9% terjadi bakteriuria simptomatik pada masa nifas dan 2 - 36% diikuti dengan gejala-gejala infeksi saluran kemih (Grunerberg, 2000).
Tindakan-tindakan medis serta keadaan yang menyebabkan kontaminasi bakteri di regio genital dan sekitarnya terutama di uretra pada seorang perempuan akan lebih sering dilakukan pada saat pertolongan persalinan. Tes nitrit urin adalah tes yang dapat digunakan untuk mengetahui ada tidaknya bakteriuria. Tes ini berdasarkan bukti bahwa sebagian besar bakteri penyebab infeksi saluran kemih dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit (Hherry, 2000; Dwyner, 2000).
Faktor Resiko Penyebab ISK (Krisnadi, 2005):
1. Trauma kandung kemih waktu persalinan
2. Kontaminasi kuman dari perineum
3. Kateterisasi yang sering dan teknik katerisasi kurang benar. Kateter menjadi rute masuknya organisme, dapat menyebabkan iritasi lokal pada uretra atau kandung kemih.
4. Nutrisi yang buruk
5. Persalinan lama
6. Episiotomi
7. Higiene perinium yang buruk (cuci tangan kurang benar, kebiasaan mengelap perinium dari arah belakang ke depan)
Faktor risiko infeksi saluran kemih pada masa nifas seperti: ras (kulit hitam, hispanic, amerika latin), tidak menikah, seksio seraria, penggunaan tokolitik, penakit ginjal, preeklamsia-eklamsia, dan solusio plasenta (Alfredo, 2001).
Ghoreishi (2003) , melaporkan resiko penggunaan kateterisasi persalinan pada seksio sesarea akan menyebabkan 12-25% bakteriuria asimptomatis (Ghoreishi, 2003). Sehdev dari Departemen Obstetri Ginekologi Universitas Pennsylvania meneliti terdapat 3,2% infeksi saluran kemih setelah persalinan seksio sesarea oleh karena pemakaian kateter menetap, 2-6% resiko infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter menetap 24 jam pasca seksio sesarea (Max Rarung, 2008). Rivzi dkk (2005), menemukan 1,6% penderita yang mengalami infeksi saluran kemih pada pemasangan kateter pasca seksio sesarea (Rivzi, 2005).
Insidensi infeksi saluran kemih meningkat sesuai dengan lamanya pemakaian kateter, bervariasi sekitar 3-33%. Untuk menghindari resiko infeksi saluran kemih, prosedur pemasangan kateter harus steril dan kateter harus bebas dari bakteri. Protokol Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen Obstetri Ginekologi FKUI / RSUPNCM – Jakarta, kateter menetap dipertahankan 24 jam pasca seksio sesarea (Max Rarung, 2008).
Kateterisasi terkait infeksi saluran kemih merupakan infeksi nasokomial yang paling umum di dunia dengan kejadian lebih dari 1 juta/tahun di AS. ISK bisa terjadi asimptomatik ataupun simptomatik. Bakteriuri asimtomatik bila ditemukannya 100.000 koloni kuman/colony forming units(CFUs) dari patogen tunggal per mililiter urin midstream atau dari kateterisasi urin tanpa gejala infeksi saluran kemih (Onyegbule, et al, 2014).
Penelitian di Rumah Sakit Johns Hopkins, selama 5 tahun terakhir untuk kejadian infeksi saluran kemih dan postpartum endometritis, didapatkan kejadian infeksi saluran kemih dan endometritis postpartum pada pasien preeklampsia secara signifikan lebih tinggi dibandingkan pada pasien hamil non-hipertensi (C.D. Hsu, 1994).
Didapatkan Insiden infeksi saluran kemih setelah kelahiran pervaginam sebanyak 17% dan setelah seksio sesaria 13%. Faktor risikonya seperi: kelahiran vagina-operatif (forsep, vakum-Ekstraksi), kala dua lama (lebih dari 12 jam), periode ekspulsi yang lama, lingkar kepala bayi di atas 36 cm lahir dengan episiotomi (Wenderlein, 1994).
.Diagnosis
Harus didasar kan pada urinalisis dan biakan spesimen urin yang didapat dari kateter atau didapat secara bersih (clean-catch). Jika biakan menunjukkan >100.000 koloni/ml, diperlukan uji sensitifitas untuk menentukan respons terhadap berbagai zat anti-infeksi (Krisnadi, 2005).
.Komplikasi
Komplikasi yang sering mucul akibat infeksi saluran kemih yang parah adalah (Krisnadi, 2005):
a) Pielonefritis (radang pada piala ginjal)
b) Hipertensi
c) Anemia
d) Angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Tatalaksana
Infeksi saluran kemih awal dapat diobati dengan ampisillin (250 mg empat kali sehari) atau nitrofurantoin (100 mg per oral empat kali sehari). Gantilah dengan obat lain sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium tetapi obati selama 2 minggu. Untuk mengatasi keluhan urgensi dan urinary frequency, berikan piridium 100 mg empat kali sehari. Keluarkan cairan secara paksa (jika diperlukan) dan asamkan urin (vitamin C). Berikan obat analgetik pencahar dan antipiretik jika diperlukan. Pengobatan antibiotik yang terpilih meliputi golongan nitrofurantoin, sulfonamide, trimetroprim, sulfametoksazol, atau sefalosporin. Banyak penelitian yang melaporkan resistensi mikrobial terhadap golongan penisilin (Krisnadi, 2005).
11