BUKU AJAR TUBERKULOSIS
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Penemuan kuman Mycobacterium tuberculosis (M.tuberculosis) pada tahun 1882 oleh Robert Koch merupakan momen yang sangat penting dalam penemuan dan pengembangan obat untuk mengendalikan penyakit tuberkulosis (TB), walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak tahun 8000 sebelum Masehi.1 Tahun 1940an para ahli menemukan obat yang mampu membunuh basil M.tuberkulosis yang terus dilanjutkan dengan penemuan obat-obatan lainnya, sehingga di tahun 1970an kita sudah mendapat paduan obat yang ampuh untuk menyembuhkan TB jika dimakan dengan teratur dalam jangka waktu tertentu. 2 Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization Organization (WHO) memperkirakan sepertiga penduduk penduduk dunia telah telah terinfeksi oleh M.tuberkulosis. M.tuberkulosis. Pada tahun 1993, 1993, WHO menyatakan TB menjadi keadaan darurat kesehatan kesehatan masyarakat global, dimana diperkirakan diperkirakan 7-8 juta kasus TB dan 1.3 - 1.600.000 kematian kematian akibat TB terjadi setiap tahun. TB merupakan penyebab kematian utama kedua dari penyakit infeksi setelah HIV di seluruh dunia. Dalam laporan WHO, kasus TB paru terbanyak dijumpai di Afrika (30%) dan Asia (55%), dengan India dan Cina mencakup 35% dari semua kasus dunia. Dan dalam laporan WHO tahun 2012, pada tahun 2011 Indonesia berada pada ranking keempat negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia, setelah India (2–2,5 juta kasus), China (0,9–1,1 juta kasus) dan Afrika Selatan (0,4–0,6 juta kasus). 3-4
2
Infeksi TB terjadi karena inhalasi droplet nuclei yang mengandung kuman tuberkulosis. Setelah terpapar kuman TB ada empat keadaan yang bisa terjadi yaitu pertama tidak terjadi infeksi (ditandai dengan tes kulit tuberkulin yang negatif), kedua terjadi infeksi kemudian menjadi TB yang aktif (TB primer), ketiga menjadi TB laten dimana mekanisme imun mencegah progresifitas penyakit menjadi TB aktif dan keempat menjadi TB laten tetapi kemudian terjadi reaktivasi dan berkembang menjadi TB aktif dalam beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian. 5 Kemampuan mendeteksi secara akurat infeksi M.tuberculosis sangat penting. Cara yang tepat untuk mendeteksi infeksi M.tuberculosis akan mempercepat diagnosis dini pada pasien yang secara klinis tersangka tuberkulosis dan segera diikuti penatalaksanaan yang tepat. 6 Salah satu penyebab paling penting peningkatan TB di seluruh dunia adalah ketidak patuhan terhadap program, diagnosis dan pengobatan tidak adekuat, migrasi, endemik HIV, resistensi ganda ( Multi Drug Resistance/MDR). Selain itu diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu keadaan yang mempermudah reaktivasi infeksi TB dengan risiko relatif berkembangnya TB bakteriologik positif sebesar 5 kali lebih tinggi. Selain itu DM secara bermakna juga berkaitan dengan MDR TB.
7
Untuk penanggulangan TB di negara kita, strategi DOTS ( directly observed treatment shortcourse) yang merupakan rekomendasi WHO telah dan sedang dilaksanakan sejak tahun 1995. Untuk mendukung strategi DOTS maka pada tahun 1999 dalam rangka peringatan hari TB sedunia dicanangkan suatu gerakan nasional untuk penanggulangan TB yang disebut GERDUNAS-TB (gerakan terpadu nasional penanggulangan TB).8
3
BAB II TUBERKULOSIS
2.1. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit
menular yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex yang dapat menyerang paru dan organ tubuh lainnya.9 2.2.ETIOLOGI
Bakteri penyebab tuberkulosis termasuk
ordo Actinomycetalis,familia
Mycobacteriaceae dan genus Mycobacterium. Genus Mycobacterium memiliki beberap spesies diantaranya Mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan infeksi pada manusia. Bakteri M. tuberculosis berbentuk batang, ukurannya 1 – 4 µm x 0,3 – 0,6 µm sehingga dapat dengan mudah masuk ke saluran pernapasan bawah. Komponen dinding selnya sangat kompleks, hampir 60% terdiri dari asam lemak mikolat, wax D, fosfatida, sulfatida dan trehalosa dimikolat menyebabkan bakteri ini lebih tahan terhadap proses fagositosis dibandingkan bakteri lain. Kandungan lipid yang tinggi pada dinding sel menyebabkan kuman ini sangat tahan terhadap asam dan basa dan juga tahan terhadap kerja bakterisidal. Fosfatida pada dinding kuman ini diduga bertanggung jawab terhadap nekrosis dan kaseosa jaringan. Wax D bukan suatu lilin sejati (true wax) tetapi mengandung asam mikolat dan glikopeptida. Wax D ini berperan dalam immunogenitas.10-12 Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid, polisakarida dan protein. Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
4
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a, protein MTP 40 dan lain lain.10
2.3. EPIDEMIOLOGI
Pada tahun 1993, WHO menyatakan TB menjadi keadaan darurat kesehatan masyarakat global, dimana diperkirakan 7-8 juta kasus
TB dan 1.3 - 1.600.000
kematian akibat TB terjadi setiap tahun. TB adalah penyebab kematian utama kedua dari penyakit infeksi setelah HIV di seluruh dunia. Laporan WHO dalam Global Tuberculosis Report 2012, pada tahun 2011 diperkirakan lebih dari 9 juta TB kasus baru dan kematian akibat TB sebanyak 1,4 juta jiwa (990.000 kasus pada TB dengan HIV negatif dan 430.000 kasus TB dengan HIV positif). Laporan WHO Regional Asia Tenggara tahun 2012, Asia Tenggara menyumbangkan 40% dari seluruh kasus TB tersebut. Dan dalam laporan WHO tahun 2012, pada tahun 2011 Indonesia berada pada ranking keempat negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia. Berikut 5 negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia yaitu India (2 – 2,5 juta kasus), China (0,9 – 1,1 juta kasus), Afrika Selatan (0,4–0,6 juta kasus), Indonesia dan Pakistan (0,3-0,5 juta kasus). Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak 242 juta jiwa, pada tahun 2011 di estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 680,000 kasus atau rata-rata kejadian 281 kasus per 100.000 penduduk (termasuk kasus TB dengan HIV) dan estimasi insidensi berjumlah 450,000 kasus baru per tahun atau rata – rata 187 kasus per 100.000 penduduk (termasuk kasus TB dengan HIV). Sedangkan kasus TB dengan HIV saja estimasi insidensinya 15.000 kasus atau 6,2 kasus per 100.000 penduduk. Dan pencapaian Indonesia dalam penemuan kasus dalam semua bentuk kasus TB mencapai 70 % (59-85%).3-4 Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.13 Profil tentang penyakit tuberkulosis di Indonesia tahun 2011 tampak pada tabel dibawah ini.
5
Tabel 1. Estimasi beban TB tahun 2011. 4 Jumlah (x 1000)
Jumlah/100.000 penduduk
Kematian (kecuali HIV +TB)
65 (29-120)
27 (12-48)
Prevalensi (termasuk HIV+TB)
680 (310-1200)
281 (130-489)
Insidensi (termasuk HIV+TB)
450 (370-540)
187 (155-222)
Insidensi (HIV+TB)
15 (11-20)
6,2 (4,4-8,3)
Penemuan kasus, semua bentuk (%)
70 (59-85)
2.4. PATOGENESIS
Secara patogenesis, perjalanan tuberkulosis ada dua yaitu tuberkulosis primer dan tuberkulosis post primer. 10
2.4.1.Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini selanjutnya dapat mengalami salah satu nasib sebagai berikut : 1. Sembuh tanpa meninggalkan bekas 2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis fibrotik, kalsifikasi di hilus atau kompleks Ghon 3. Meluas dan menyebar secara perkontinuitatum, limfogen, bronkogen maupun hematogen. 2.4.2. Tuberkulosis Post-Primer
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah infeksi primer, yang biasanya muncul di usia 15-40 tahun. Bentuk tuberkulosis inilah yang
6
menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat karena menjadi sumber penularan. Dimulai dari sarang dini yang umumnya berlokasi di segmen apikal lobus superior maupun lobus inferior, mengadakan invasi ke parenkim dan tidak ke hilus paru. Awalnya berbentuk sarang pneumonik kecil, yang dapat mengalami suatu keadaan : 1. Diresorbsi dan sembuh dengan tidak meninggalkan cacat. 2. Sarang meluas, tetap segera mengalami penyembuhan berupa fibrosis dan perkapuran. Sarang dapat aktif kembali membentuk jaringan keju dan bila dibatukkan menimbulkan kaviti. 3. Kaviti awalnya berdinding tipis kemudian menjadi tebal, yang akan mengalami nasib : a. Meluas dan menimbulkan sarang pneumonik baru b. Memadat dan membungkus diri disebut tuberkuloma. Tuberkuloma dapat mengapur dan sembuh, tetapi dapat aktif kembali dan mencair yang menimbulkan kaviti baru c. Menyembuh dengan membungkus diri ( Open healed cavity) yang akhirnya mengecil.
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis
Dalam menegakkan penyakit tuberkulosis perlu dipahami beberapa istilah dalam kasus uberkulosis. Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Gejala umum TB paru adalah batuk produktif lebih dari 2 minggu yang disertai gejala pernapasan (sesak napas, nyeri dada, batuk darah) dan/gejala tambahan ( tidak nafsu makan, penurunan berat badan, keringat malam dan
mudah lelah ). Dalam menentukan
suspek TB harus dipertimbangkan faktor seperti usia pasien, imunitas pasien, status HIV atau prevalens HIV dalam populasi. 9 namun sekarang menurut WHO istilah suspek TB paru direvisi dengan istilah presumptive TB case.14
7
Kasus TB dapat dibagi menjadi kasus TB yang dikonfirmasi secara bakteriologis (bacteriologically confirmed TB case) dan kasus TB yang didiagnosis secara klinis (clinically diagnosed TB case).14 a. Kasus TB pasti yang dikonfirmasi secara bakteriologis (bacteriologically confirmed TB case) yaitu pasien TB yang yang ditegakkan berdasarkan hapusan mikroskopis yang positif, kultur ataupun pemeriksaan cepat seperti Xpert MTB/RIF dari spesimen biologis pasien. Setelah hasil pemeriksaan didapatkan maka perlu segera ditentukan apakah pengobatan dapat segera dimulai.14 Pada negara dengan keterbatasan kapasitas laboratorium dalam mengidentifikasi M.tuberculosis maka kasus TB paru dapat ditegakkan apabila ditemukan satu atau lebih dahak BTA positif. 9 b. Kasus TB yang didiagnosis secara klinis (clinically diagnosed TB case) adalah seseorang yang tidak memenuhi kriteria bakteriologis tetapi telah didiagnosis dengan TB aktif oleh klinisi dan telah memberikan pengobatan dengan regimen penuh. Yang termasuk dalam definisi ini adalah kasus-kasus yang ditegakkan berdasarkan kelainan radiologis, sugestif secara histologi dan kasus TB ekstra paru tanpa ada konfirmasi laboratorium.14 Kedua definisi kasus tersebut diatas juga dapat diklasifikasikan berdasarkan: letak anatomis penyakit, riwayat penobatan sebelumnya, resistensi obat dan status HIV. Klasifikasi TB berdasarkan letak anatomis penyakit. 9,14 a. TB paru yaitu bila penyakit melibatkan parenkim paru dan cabang-cabang saluran napas. TB milier termasuk TB paru karena lesi terdapat pada paru paru. Jika didapati TB paru bersamaan dengan TB ekstra paru maka kasus TB diklasifikasikan sebagai TB paru. b. TB ekstra paru yaitu mengacu pada TB dengan konfirmasi bakteriologis maupun TB yang didiagnosis secara klinis yang melibatkan organ selain paru seperti pleura, kelenjar limfe, abdomen, kulit, sendi dan tulang, traktus genitourinari dan meningen.
8
Klasifikasi kasus TB berdasarkan riwayat penggobatan TB sebelumnya. 9,14 Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan TB sebelumnya yang dibuat oleh WHO terbaru sedikit berbeda dengan klasifikasi sebelumnya, dimana dalam klasifikasi ini hanya fokus pada riwayat pengobatan sebelumnya dan tidak tergantung pada konfirmasi bakteriologis dan letak anatomis penyakit. 1. Kasus baru atau pasien baru (New case) : Penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti Tubekulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT tetapi kurang dari 1 bulan. 2. Kambuh (relapse patients) : Penderita TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian didiagnosis kembali sebagai episode TB
yang berulang (baik
kejadian relaps yang sebenarnya maupun episode TB baru akibat reinfeksi). 3. Gagal pengobatan (treatment after failure patients) : yaitu pasien yang sebelumnya telah diobati sebagai TB namun pengobatan gagal setelah akhir masa pengobatan. PDPI mendefinisikan kasus gagal pengobatan sebagai penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 atau lebih. Atau penderita dengan BTA negatif menjadi positif pada akhir bulan ke-2. 4. Treatment after loss to follow up patients atau dahulu disebut pengobatan setelah default (Treatment after default/drop out ) yaitu penderita yang kembali berobat, dengan hasil bakteriologi positif, setelah minum obat 2 bulan atau lebih. 5. Pasien dengan riwayat pengobatan TB lainnya, yaitu pasien sebelumnya telah diobati sebagai TB tetapi hasil akhir pengobatan tidak diketahui atau tidak terdokumentasi. 6. Pindahan (Transfer in) : penderita yang telah mendapat pengobatan di suatu kabupaten kemudian pindah ke kabupaten lain. Penderita ini harus membawa surat rujukan/pindah (form TB 09).9
9
Klasifikasi berdasarkan status HIV. 9,14 1. Pasien TB dengan HIV positif, yaitu penderita TB yang didiagnosis baik secara bakteriologis maupun secara klinis dan ketika diagnosis TB ditetapkan hasil tes HIV penderita juga positif atau telah ada dokumentasi hasil tes HIV positif sebelumnya. 2. Pasien TB dengan HIV negatif, yaitu penderita TB baik yg ditegakkan berdasarkan bakteriologis maupun secara klinis dan pada waktu yang sama hasil tes HIV juga negatif. Jika kemudian hari tes HIV positif, maka pasien tersebut harus di klasifikasi ulang. 3. Pasien TB dengan hasil tes HIV tidak diketahui, yaitu penderita TB yang tidak ada bukti hasil tes HIV, namun jika selanjutnya status HIV diketaui maka pasien tersebut harus di klasifikasi ulang. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis pada TB Paru: 9 1. TB paru BTA positif a. Minimal satu dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat quality external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut adalah dahak pagi hari. b. Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru positif adalah : 1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. 2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran TB. 3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. 4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
10
2. TB paru BTA negatif a. BTA negatif tetapi hasil kultur positif 1. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat EQA 2. Dianjurkan kultur sputum pada hasil dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan prevalensi HIV>1% atau pasien TB dengan kehamilan ≥ 5%. b. Hasil BTA dahak dua kali negatif di daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.tuberkulosis, 1. Foto toraks menunjukkan gambaran TB paru aktif dan disertai salah satu hal ini : jika hasil tes HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV atau jika HIV negatif (status HIV tidk jelas atau prevalensi HIV rendah) tidak menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali golongan fluorokuinolon dan aminoglikosida) 3. Kasus bekas TB paru Kasus bekas TB paru yaitu hasil pemeriksaan BTA negatif dan gambaran radiologis sesuai gambaran lesi TB paru tidak aktif atau foto serial dalam dua bulan menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung.9 Klasifikasi berdasarkan resistensi obat. 9,14 Kasus
diklasifikasikan
dalam
kategori
berdasarkan
uji
kepekaan
terhadap
M.tuberculosis, yaitu: 1. Mono resistance, yaitu resisten terhadap satu obat anti tuberkulosis lini pertama. 2. Polydrug resisttance, yaitu resisten terhadap lebih dari satu obat anti tuberkulosis lini pertama, kecuali resistensi secara bersamaan terhadap INH dan rifampisin. 3. Multy drug resistance (MDR-TB), yaitu resistensi terhadap paling sedikit terhadap INH dan rifampisin.
11
4. Extensive drug resistance (XDR-TB), yaitu selain MDR TB juga resistensi terhadap obat-obat golongan fluorokuinolon, dan setidaknya salah satu dari tiga obat lini kedua suntik (kapreomisin, kanamisin dan amikasin). 5. Rifampicin resistance (RR-TB), yaitu resistensi terhadap rifampisin dideteksi dengan menggunakan metode fenotipik atau genotip, dengan atau tanpa resistensi terhadap obat anti-TB lain. Ini termasuk resistensi terhadap rifampisin, dalam bentuk monoresistance, MDR TB, polydrug resistance ataupun XDR-TB.
2.6. Cara Penularan
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak ( droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak c. Umumnya penularan terjadi pada ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang cukup lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, dan sinar matahari dapat langsung membunuh kuman d. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan gelap dan lembab e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 15
2.7. Risiko penularan
a. Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. b. Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
12
c. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. d. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.15
2.8. Risiko menjadi sakit TB
a. Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. b. Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. c. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).15
2.9. Diagnosis Tuberkulosis
Tuberkulosis sering mendapat julukan the great imitator yaitu suatu penyakit yang mempunyai kemiripan dengan penyakit-penyakit paru lain. Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan: gejala kinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologis, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya. 16
Gejala Klinis.
Gejala klinis TB dibagi atas 2 golongan, yaitu gejala respiratorius berupa batuk, batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratoris ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala y ang cukup berat tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Sedangkan g ejala sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan penurunan berat badan. 16-17 Pada
awal
perkembangan
penyakit
sulit
menemukan
kelainan
pada
pemeriksaan fisis. Pada pemeriksaan fisis dapat dijumpai antara lain suara napas
13
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan mediastinum. 10,17
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan standar adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, TB dapat memberikan gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologis yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : adanya bayangan berawan/ nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah; kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular; bayangan bercak milier; efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang). Gambaran radiologis yang dicurigai lesi TB inaktif berupa : fibrosis, kalsifikasi, Schwarte atau penebalan pleura. Luluh paru apabila terjadi kerusakan jaringan paru yang berat, sulit untuk menilai lesi hanya berdasarkan gambaran radiologis sehingga perlu pemeriksaan bakteriologis untuk memastikan akifitas penyakit. 9 Menurut American Thoracic Society (ATS) dan National Tuberculosis Association, luasnya proses akibat TB yang tampak pada foto toraks dapat dibagi atas:16 a. Minimal lession (lesi minimal): Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak dijumpai kavitas. b. Moderatly advanced lesion (lesi sedang) Bila proses TB lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh lebih luas dari satu paru, atau jumlah dari seluruh proses yang ada paling banyak seluas satu paru atau bila
14
proses TB mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat / tidak disertai kavitas. Bila diserta kavitas maka luas (diameter) semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm. c. Far advanced lesion (lesi luas) Kelainan lebih luas dari lesi sedang. Berkaitan dengan luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan (terutama pada kasus BTA negatif), menurut panduan yang dibuat oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dibagi atas 2 kategori, yaitu lesi minimal ( defenisi sama dengan defenisi oleh ATS dan National TB Association) dan lesi luas (bila proses lebih luas dari lesi minimal).9
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor cerebrospinal , bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan biopsi. Selain pemeriksaan dahak untuk menegakkan diagnosis, juga menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-PagiSewaktu (SPS), 1. S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.
15
2. P (pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di sarana pelayanan kesehatan. 3. S (sewaktu): dahak dikumpulkan di sarana pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. 15 Untuk seseorang yang dicurigai suatu tuberkulosis, pemeriksaan dahak harus dilakukan 3 kali ( sewaktu/pagi/sewaktu ) dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen. Diagnosis TB Paru ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada hapusan sputum secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dikatakan positif jika 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+). Ada
beberapa
tipe
interpretasi
pemeriksaan
mikroskopis,
WHO
merekomendasikan pembacaan dengan skala IUATLD (International Union Againts Tuberculosis and Lung Disease) :9 -
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut negatif
-
Ditemukan 1 – 9 BTA dalam 100 lapangan pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
-
Ditemukan 10 – 99 BTA dalam 100 lapangan pandang, disebut + (+1)
-
Ditemukan 1 – 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut ++ (+2)
-
Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapangan pandang, disebut +++ (+3)
Pemeriksaan Biakan Peran
biakan
dan
identifikasi
Mycobacterium
tuberculosis
pada
penanggulangan TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi: 1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis 2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak. 3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan ganda. 15
16
Pemeriksaan Khusus Ada beberapa tehnik baru yang dapat mendeteksi kuman TB, seperti : BACTEC : dengan metode radiometrik, dimana CO2 yang dihasilkan dari metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya. Polymerase chain reaction (PCR) : dengan cara mendeteksi DNA dari M.tuberculosis. pemeriksaan serologis : ELISA, ICT, Mycodot , dan PAP.9
Pemeriksaan Tes Resistensi Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.15
Diagnosis TB Ekstra Paru. a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-lain. 15
17
Gambar 1. Bagan diagnostik TB paru pada orang dewasa.15
18
2.10. Pengobatan Tuberkulosis
Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan
serta
mencegah
penularan
dengan
cara
menyembuhkan
pasien.
Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment ) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
Tabel 2. Jenis dan dosis obat anti tuberkulosis (OAT) JENIS OAT
SIFAT
Isoniazid (H)
Bakterisid
Rifampicin (R)
Bakterisid
Pyrazinamide (Z)
Bakterisid
Streptomycin (S)
Bakterisid
Ethambutol (E)
Bakteriostatik
DOSIS YANG DIREKOMENDASIKAN (mg/kg) HARIAN 3X SEMINGGU 5 10 (4 – 6) (8 – 12) 10 10 (8 – 12) (8 – 12) 25 35 (20 – 30) (30 – 40) 15 15 (12 – 18) (12 – 18) 15 30 (15 – 20) (20 – 35)
19
Tahap awal (intensif) a. Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Paduan OAT yang digunakan di Indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan oleh WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease), yaitu : Kategori 1 : -
2HRZE/4H3R3
-
2HRZE/4HR
-
2HRZE/6HE
Kategori 2 : -
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
-
2HRZES/HRZE/5HRE
Kategori 3 : -
2HRZ/4H3R3
-
2HRZ/4HR
-
2HRZ/6HE
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia:
20
-
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: pasien baru TB paru BTA positif, pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif, pasien TB ekstra paru
-
Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3. Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh, Pasien gagal, Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat ( default ) Paduan Obat Anti TB (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai keuntungan dalam pengobatan TB: -
Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
-
Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep.
-
Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien
Tabel 3. Dosis paduan OAT KDT Kategori 1
21
Tabel 4. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2
2.11. Efek Samping OAT :
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan. 1. Isoniazid (INH) Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom pellagra)
22
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul pada kur ang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus 2. Rifampisin Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simtomatik ialah : sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang, sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang diare, sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah : hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus, purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang. Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan tidak perlu khawatir. 3. Pirazinamid Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
23
4. Etambutol Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi 5. Streptomisin Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli). Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr. Streptomisin dapat menembus barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
24
2.12. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, efek samping obat, penanganan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan obat.
Evaluasi klinik
1. Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama penggobatan selanjutnya tiap 1 bulan
.
2. Evaluasi : respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit. 3. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik. Evaluasi bakteriologik (0-2-4-6-5-6/ 7-8-9)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi sputum 2. Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik 1. Sebelum pengobatan dimulai 2. Setelah 2 bulan pengobatan/ setelah fase intensif 3. 2 bulan sebelum akhir pengobatan 4. Pada akhir pengobatan. -
Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (0-2-4/7)
Evaluasi radiologis (0-2-6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada : 1. Sebelum pengobatan 2. Setelah 2 bulan pengobatan
25
3. Pada akhir pengobatan Evaluasi efek samping secara klinik
1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap. 2. Fungsi hati : SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase), SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase), bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan. 3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. 4. Pemeriksaan virus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol. 5. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri. 6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut, yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan adanya efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik di curigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya. Penanganan efek samping obat
1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dengan dapat diatasi dengan pemberian salisilat / allupurinol. 2. Efek samping yang serius adalah hepatitis imbas obat, penanganan seperti tertulis diatas. 3. Penderita dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit yang umumnya disebab kan INH dan rifampisin, dapat dilakukan dosis rendah dan
26
desensitisasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan
yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan
terhadap obat lainnya. 4. Kelainan yang harus dihentikan pengobatan adalah trombositopenia, syok atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIII karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena tiasetazon. 5. Bila suatu oabat harus diganti maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
Evaluasi keteraturan berobat
1. Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat-obatan tersebut. Dalam hal ini sangat pentingnya penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan. 2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap di evaluasi minimal 2 tahun setelah sembuh untuk mengetahui adanya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah sputum BTA mikroskopik dan foto toraks. Sputum BTA mikroskopik 3,6,12, dan 24 bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan setelah dinyatakan sembuh. .
27