CASE STUDY STUDY 5 5
PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN KONSEP KEHILANGAN, KEMATIAN, DAN BERDUKA
Ifa Hafifah, Ns., M.Kep Disusun Oleh: Kelompok VII Ervina Dwi Atika Arisandi
1610913320009
Ilham Budi Prawira
1610913310014
Nadila
1610913320027
Nur Millah Tsariy
1610913320033
Rahmad
1610913210015
Sayyidina Scleropages
1610913210020
Siti Syifa Agustina
1610913120015
Yulia Rahayu
1610913120017
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT 2018
LEMBAR PENGESAHAN
Dosen Pengampu
: Selvia Harum Sari, Ns.
Kelompok
: VII (Tujuh)
Nama Anggota
: Ervina Dwi Atika Arisandi
1610913320009
Ilham Budi Prawira
1610913310014
Nadila
1610913320027
Nur Millah Tsariy
1610913320033
Rahmad
1610913210015
Sayyidina Scleropages
1610913210020
Siti Syifa Agustina
1610913120015
Yulia Rahayu
1610913120017
Banjarbaru, 19 Maret 2018
Ifa Hafifah, Ns., M.Kep
BAB I KASUS
Topik: Konsep Kehilangan, Kematian, dan Berduka
Nyonya Nurul, 75 tahun, dirawat di rumah sakit setelah episode pneumonia berulang. Meski mendapat terapi antibiotik agresif, kondisinya memburuk dan dia meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Putra tertuanya, yang tinggal di dekatnya dan sering merawat ibunya, mengatur pemakaman dan mengunjungi kerabat. Dia merindukan ibunya dan menangis sesekali tapi berhasil kembali bekerja minggu berikutnya. Anak bungsu mengalami kesulitan untuk menghadiri pemakaman, tidak dapat tidur atau makan, tidak dapat berkonsentrasi di tempat kerja, dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal. Anak tengah tidak menangis saat pemakaman dan tidak banyak bicara kepada saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya. Dia kembali ke rumahnya yang terletak di kota lain dan kembali bekerja tapi merasa sangat lelah dan tidak bersemangat.
Diskusikan mengenai:
1.
Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masing-masing anak yang masih hidup!
2.
Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap kematian ibu mereka?
3.
Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
4.
Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
5.
Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita.
BAB II LAPORAN STUDI KASUS
1. Berdasarkan kasus di atas, jelaskan fase berkabung dialami oleh masingmasing anak yang masih hidup!
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Ada lima fase kehilangan diantaranya yaitu: 1. Fase Pengingkaran (Denial) Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau menolak kenyataan bahwa kehilangan itu terjadi, dengan mengatakan " Tidak, saya tidak percaya bahwa itu terjadi", " Itu tidak mungkin". Bagi individu atau keluarga yang mengalami penyakit terminal, akan terus menerus mencari informasi tambahan. Reaksi fisik yang terjadi pada fase peenginkaran adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, tidak tahu berbuat apa. Reaksi tersebut cepat berakhir dalam waktu beberapa menit sampai beberapa tahun. 2. Fase Marah (Anger) Fase ini dimulai dengan timbulnya kesadaran akan kenyataan terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan perasaan yang meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang yang ada di lingkungannya, orang orang tertentu atau ditujukan kepada dririnya sendiri. Tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, bicara kasar, menolak pengobatan, dan menuduh dokter dan perawat yang tidak becus. Respon fisik yang terjadi pada fase ini antara lain, muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal. 3. Fase Tawar Menawar (Bergaining)
Apabila individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju ke fase tawar menawar dengan memohon kemurahan Tuhan. Respon ini sering dinyatakan dengan kata-kata " Kalau saja kejadian ini bisa ditunda maka saya yang akan sering berdoa" Apabila proses berduka ini dialami oleh keluarga maka pernyataan sebagai berikut sering dijumpai "Kalau saja yang sakit bukan anak saya". 4. Fase Depresi (Depression) Individu pada fase ini sering menunujukkan sikap antara lain menarik diri, tidak mau bicara, kadang-kadang bersikap sebagai pasien yang sangat baik dan menurut, atau dengan ungkapan-ungkapan yang menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga. Gejala fisik yang sering diperlihatkan adalah menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun. 5. Fase Penerimaan Fase ni berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran selalu terpusat kepada objek atau orang hilang akan mulai berkurang atau hilang, individu telah menerima kenyataan kehilanganbyang dialaminya, gambaran tentang objek atau irang yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatian beralih pada objek yang baru. Fase menerima biasanya dinyatakan dengan kata-kata "Saya betul-betul menyayangi baju saya yang hilang tapi baju saya yang baru manis juga," atau "Apa yang dapat saya lakukan agar saya dapat cepat sembuh?". Jenis-jenis berduka, ada 5 jenis konsep berduka, yaitu : a) Berduka Normal Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara. b) Berduka Antisipatif Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai urusan dunia sebelum ajalnya tiba. c) Berduka yang Rumit Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain. d) Berduka Tertutup Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Misal: kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin. e) Berduka Disfungsional Suatu
status
yang
merupakan
pengalaman
individu
yang
responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara aktual maupun potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/ kekacauan. Konsep kehilangan, ada 5 jenis konsep kehilangan, yaitu : a) Kehilangan Objek Eksternal Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda motor, kehilangan uang, kehilangan rumah. b) Kehilangan Lingkungan yang telah Dikenal Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contoh : pindah rumah baru dan alamat baru atau yang ekstrim lagi dirawat di rumah sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah
dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah kerumah perawatan. c) Kehilangan Orang Terdekat Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, dan lain-lain.. Contoh: pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau mutasi, melarikan diri, dan kematian. d) Kehilangan Aspek Diri Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan ini dapat terjadi karena penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu, mengalami kehilangan kedudukan, mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri. Contoh: kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan lalu lintas, menderita kanker organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV atau AIDS. e) Kehilangan Hidup Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi kematian sampai dengan terjadinya kematian. Hal ini sering menyebabkan kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut, bergantung pada orang lain, putus asa dan malu. Contoh: pasien yang divonis menderita kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa disembuhkan oleh dokter.
Berdasarkan kasus, fase yang dialami oleh anak-anak klien ada lima fase yaitu fase pengingkaran (denial), fase marah (anger), fase tawar menawar (bergaining), fase depresi (depression), dan fase penerimaan. Ketiga anaknya merasa sangat sedih dan sering menangis karena kehilangan orang yang terdekat dengan dia yaitu ibunya yang meninggal tak terduga 1 minggu setelah dirawat di rumah sakit. Berdasarkan kasus anak tertua mengalami fase pengingkaran yang dimana dalam
kasus sesekali ia menangis karena merindukan ibunya, tetapi pada seminggu kemudian ia memasuki fase penerimaan yang dimana kita melihat pada kasus bahwa anak tertua sudah berhasil kembali bekerja pada minggu berikutnya setelah kemarian sang ibu , anak kedua mengalami fase depresi yang dimana ia terlihat menarik diri, tidak banyak bicara dan juga saat ia kembali bekerja ia merasa lelah dan tidak bersemangat,
anak bungsu mengalami fase pengingkaran, fase marah dan fase
depresi yang dimana ia tidak dapat tidur atau makan dan ia tidak percaya atas kematian sang ibu. Jenis berduka yang dialami oleh ketiga anak nyonya nurul yaitu berduka tertutup yang dimana mereka mengalami kematian orang tua.
2. Faktor apa saja yang mungkin memengaruhi reaksi masing-masing anak terhadap kematian ibu mereka?
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehilangan: 1. Faktor Perkembangan a) Anak-anak
Belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa merasakan.
Belum menghambat perkembangan.
Bisa mengalami regresi.
b) Orang dewasa
Kehilangan membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup.
Menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
2. Faktor Keluarga Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka. 3. Faktor Sosial Ekonomi Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Dan hal ini bisa mengganggu kelangsungan hidup.
4. Faktor Kultural Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras. 5. Faktor Agama Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian. 6. Faktor Penyebab Kematian Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan. Kebutuhan keluarga yang kehilangan membutuhkan hal-hal sebagai berikut: a) Harapan Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan dan kesakitan. b) Partisipasi Memberi perawatan. Sharing dengan staf perawatan. c) Dukungan Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan penyangkalan. Dukungan bisa digunakan sebagai koping dengan perubahan yang terjadi. d) Kebutuhan Spiritual Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari Tuhan. Konsep dan teori berduka: 1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut beberapa fase yang dilalui. a) Fase I (shock dan tidak percaya) Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan. b) Fase II (berkembangnya kesadaran) Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. c) Fase III (restitusi) Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/ kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang. d) Fase IV Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum. e) Fase V Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
2. Teori Kubler-Ross Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut. a) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!” sangat umum dilontarkan. b) Kemarahan (Anger) Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi kehilangan. c) Penawaran (Bargaining) Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain. d) Depresi (Depression) Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah. e) Penerimaan (Acceptance) Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
Berdasarkan kasus Ny. Nurul. Putra sulungnya termasuk kedalam faktor reaksi yang disebabkan rasa kehilangan, akan tetapi dia memiliki rasa atau strategi koping yang cukup bagus dapat dilihat dia kembali bekerja walaupun sesekali dia merasa kehilangan. Sedangkan anak bungsu Ny. Nurul terlihat strategi kopingnya
yang kurang bagus dia masih merasa sangat kehilangan ibunya dan mengalami tidak bisa tidur, makan, bahkan tidak bisa konsentrasi saat bekerja.
3. Isyarat apa, selain tanda fisik, yang merupakan indikasi bahwa Nyonya Nurul sedang sekarat, meski kematiannya terjadi tak terduga?
Kematian atau ajal adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme biologis. Semua makhluk hidup pada akhirnya akan mati secara permanen, baik karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Beberapa bulan menjelang kematian, perubahan yang paling tampak adalah suasana hati dan perilakunya. Berikut ciri-cirinya: a) Menarik diri dari orang-orang terdekat, misalnya tidak mau dikunjungi di rumah sakit. b) Lebih sering berdiam diri (pada anak-anak mungkin justru tambah cerewet). c) Jarang makan atau minum. d) Berhenti melakukan hal-hal favorit atau hobi. e) Mudah lelah dan mudah tertidur. f) Mengompol (karena inkontinensia urine).
Beberapa minggu menjelang kematian, seiring berjalannya waktu, tubuh orang akan mengalami penurunan fungsi. Hal ini bisa terlihat dari tanda-tanda berikut ini. a) Pola tidur berubah-ubah. b) Mengeluh atau mendesah karena menahan rasa sakit. Bicarakan dengan dokter dan perawat untuk mendapatkan obat-obatan pereda nyeri. c) Mengigau, berhalusinasi, atau mengalami disorientasi. Misalnya bingung sedang berada di mana, siapa saja orang-orang di sekitarnya,
melihat cahaya terang, dan mengaku berbicara dengan keluarga atau sahabat yang sudah meninggal. d) Tidak bisa meninggalkan tempat tidur sama sekali. e) Tidak bisa makan tanpa bantuan selang. f) Makin jarang buang air kecil atau buang air besar. g) Tekanan darah, detak jantung, dan irama pernapasan melemah. h) Suhu tubuh menurun dan meningkat secara tak pasti. i) Kulit, bibir, dan kuku jadi lebih pucat atau membiru karena aliran darah berkurang.
Beberapa hari atau jam menjelang kematian, biasanya orang yang sudah tinggal beberapa hari atau jam mendekati ajalnya akan menunjukkan ciri-ciri berikut ini: a) Tiba-tiba gelisah atau jadi tampak bertenaga. Misalnya dengan bicara panjang lebar atau minta jalan-jalan. Namun, gelombang energi ini biasanya tidak bertahan lama. Dalam waktu beberapa saat orang tercinta Anda mungkin akan jadi lemas lagi. b) Detak jantung sangat lemah, bahkan nyaris tak terdeteksi. c) Suhu tubuh menurun drastis. d) Tidak bisa makan sama sekali. e) Tidak buang air kecil atau buang air besar sama sekali. f) Pernapasan jadi sangat lambat. g) Muncul bercak-bercak ungu kebiruan di sekujur tubuh.
Manifestasi Klinis Kehilangan dan berduka: a) Perasaan sedih, menangis. b) Perasaan putus asa, kesepian c) Mengingkari kehilangan d) Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan e) Konsenterasi menurun
f) Kemarahan yang berlebihan g) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain h) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan i) Reaksi emosional yang lambat j) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.
Berdasarkan kasus tersebut tidak dijelaskan bahwa ibu nurul menunjukan isyarat atau tanda dia akan meninggal, karena kematiannya pun mendadak, tetapi keluarga merasakan manifestasi klinis kehilangan berupa perasaan sedih, menangis, konsentrasi menurun, tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain, dan adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur , tingakat aktivitas.
4. Bagaimanakah perkembangan konsep kematian berdasarkan usia?
Usia mempengaruhi pengalaman dan pemikiran tentang kematian. Seorang dewasa yang telah matang, akan memahami bahwa kematian merupakan akhir kehidupan dan itu tidak dapat diubah lagi, dan segala yang hidup akan mati. Banyak peneliti
menemukan
bahwa
seiring
dengan
perkembangan
anak,
mereka
mengembangkan pendekatan tentang kematian yang lebih matang. a. Masa kanak-kanak Kebanyakan peneliti percaya bahwa bayi tidak memiliki konsep tentang kematian.
Namun,
karena
bayi
mengembangkan
keterikatan
dengan
pengasuhnya, mereka dapat mengalami perasaan kehilangan atau pemisahan serta kecemasan yang menyertainya.tetapi anak-anak tidak memahami waktu sebagaimana orang dewasa. Bahkan perpisahan yang singkat mungkin dialami sebagai kehilangan total. Bagi kebanyakan bayi, kedatangan pengasuh kembali akan memberikan suatu kontinuitas eksistensi dan hal ini akan mereduksi kecemasan. Kita sangat sedikit mengetahui pengalaman aktual bayi tentang kehilangan walaupun kehilangan orang tua, terutama jika pengasuhan tidak digantikan yang dapat berpengaruh negatif pada kesehatan bayi.
Anak usia 3-5 tahun memiliki sedikit ide bahkan sama sekali tidak mengenai apa yang dimaksud dengan kematian. Mereka seringkali bingung antara mati dengan tidur, dan bertanya dengan keheranan “Mengapa ini tidak bergerak?”. Di usia sekolah anak -anak jarang kaget oleh pemandangan seekor binatang yang mati atau dari cerita bahwa seseorang telah mati. Mereka percaya bahwa orang telah mati dapat kembali hidup secara spontan karena adanya hal yang magis atau dengan memberi mereka makan atau perawatan medis (Lanetto, 1980). Anak-anak kecil seringkali percaya bahwa hanya orang-orang yang ingin mati, atau mereka yang jahat atau yang kurang hati-hati, yang benar-benar mati. Mereka mungkin menyalahkan diri mereka sendiri terhadap kematian orang yang mereka kenal baik, mengungkapkan alasan yang tidak logis bahwa peristiwa itu mungkin terjadi karena mereka tidak patuh terhadap orang yang mati tersebut. Kadang-kadang di masa kanak-kanak tengah atau akhir, konsep kematian yang tidak logis mengenai kematian lambat laun berkembang hingga diperoleh suatu persepsi tentang kematian yang lebih realistik. Dalam penelitian awal mengenai persepsi kematian seorang anak, anak 3-5 tahun menolak adanya kematian. Anak usia 6-9 tahun percaya bahwa kematian itu ada, tetapi hanya dialami oleh beberapa orang. Dan anak usia 9 tahun keatas akhirnya mengenali kematian dan universalitasnya (Nagy, 1948). Kebanyak ahli psikologi percaya bahwa kejujuran merupakan strategi terbaik dalam mendiskusikan kematian dengan anak-anak. Memperlakukan konsep sebagai hal yang tidak pantas disebutkan sebagai strategi yang tidak sesuai, walaupun kebanyakan dari kita masih tumbuh dalam suatu masyarakat dimana kematian sangat jarang didiskusikan. b. Masa remaja Di masa remaja, pandangan tentang kematian, seperti juga pandangan terhadap penuaan dianggap sebagai suatu hal yang begitu jauh dan tidak banyak memiliki relevansi. Subjek kematian barangkali dihindari, ditutupi, diolok-olok, dinetralisasi, dan dikontrol dengan orientasi sebagai penonton ( spektatorlike orientation). Perspektif ini merupakan tipe pemahaman kesadaran diri pada masa
remaja. Bagaimanapun, beberapa remaja menunjukkan perhatiannya terhadap kematian, mencoba untuk memahami maksud dari kematian, dan menghadapi saat kematian mereka. Remaja mengembangkan konsep tentang kematian secara lebih abstrak dibandingkan anak-anak. Sebagai contoh, para remaja menggambarkan kematian dengan istilah kegelapan, cahaya terang, transisi, atau ketiadaan sama sekali (Wenestam & Wass, 1987). Mereka juga mengembangkan filosofi religius mengenai hakikat kematian dan kehidupan sesudah mati. c. Masa dewasa Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa di masa dewasa awal dikembangkan suatu pemahaman atau orientasi khusus mengenai kematian. Peningkatan kesadaran mengenai kematian muncul sejalan saat mereka beranjak tua, yang biasanya meningkat pada masa dewasa tengah. Para peneliti menemukan bahwa mereka yang berusia dewasa tengah sebenarnya lebih takut menghadapi kematian dibandingkan mereka yang berusia dewasa awal maupun dewasa akhir (Kalish & Reynolds, 1976). Orang-orang dewasa akhir lebih banyak berpikir mengenai kematian dan mereka lebih banyak membicarakan kematian. Di usia tua, kematian seseorang lebih wajar dibicarakan. Pemikiran dan pembicaraan
tentang
kematian
meningkat,
perkembangan
integritaspun
meningkat. Melalui peninjauan hidup yang positif dan hal inimungkin dapat membantu mereka untuk menerima kemaatian. Mereka cenderung tidak memiliki kerja byang berhubungan
dengan proyek yang menginginkan kesempurnaan.
Kurangnya antipasi terhadap kematian barangkali akan menyebabkan rendahnya rasa sakit yang ditimbulkan secara emosional pada diri mereka.
Berdasarkan kasus, nyonya nurul berusia 75 tahun. Usia tersebut termasuk usia tua. Di mana pada usia tua pemikiran dan pembicaraan tentang kematian meningkat, perkembangan integritas pun meningkat. Melalui peninjauan hidup yang positif dan hal ini mungkin dapat membantu mereka untuk menerima kematian.
5. Proses keperawatan dan kehilangan, kematian, serta duka cita. Askep pada Klien dengan Kehilangan dan Berduka 1.
Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien: apa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan, dan diperhatikan melalui perilaku. 2.
Analisa data
No
Data
1
Do : putra pertama terlihat menangis sesekali tapi berhasil kembali bekerja
Etiologi
Masalah Keperawatan
Kematian orang
Risiko Duka Cita
terdekat
Terganggu
minggu berikutnya Ds : -
2
Do : anak kedua tidak menangis saat pemakaman
-Kematian orang
dan tidak banyak bicara pada
terdekat
-Duka Cita Terganggu
saudara laki-lakinya atau kerabat lainnya,merasa sangat
-Ketiadaan orang
-Hambatan Interaksi
lelah dan tidak bersemangat
terdekat
sosial
dalam bekerja Ds : -
3
Do : Anak bungsu mengalami kesulitan dalam mengahdiri pemakaman tidak dapat tidur atau makan tidak dapat berkonsentrasi ditempat kerja dan tidak percaya bahwa ibunya telah meninggal
Kematian orang terdekat
Duka Cita
Ds : -
3.
Diagnosa keperawatan
1. 2. 3. 4. 4.
Risiko duka cita terganggu Duka cita terganggu Hambatan interaksi sosial Duka cita Intervensi
No
Diagnosa
NOC
NIC
1
Risiko duka cita
Tindakan personal untuk
Peningkatan koping :
terganggu
mengelola stresor yang
membantu pasien untuk
membebani sumber
beradaptasi dengan persepsi
individu
stresor, perubahan atau ancaman yang dapat mengganggu pemenuhan tuntutan hidup dan peran
2
Duka cita terganggu
Penyesusaian terhadap
Peningkatan peran :
kehilangan aktual atau
membantu klien
yang akan datang
memperbaiki hubungan dengna mengklarifikasi atau menambahkan perilaku peran tertentu
3
Hambatan interaksi sosial
Interaksi sosial dengan
Pembinaan hubungan yang
orang, kelompok, dan
kompleks : membina
organisasi
hubungan terapeutik dengan klien yang mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang lain
4
Duka cita
Menyesuaikan diri
-Dukungan emosi :
dengna kehilangan
memberikan penenangan,
aktual atau yang akan
penerimaan, dan dorongan
terjadi
selama periode stres -fasilitasi proses duka cita : membantu mengatasi kehilangan yang berarti
REFERENSI
Santrock, John W.. 2002. Life-Span Development Perkembangan Masa Hidup. Jilid 2. Penerjemah: Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga. Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Penerjemah: Nety Juniarti, S.Kp & Sari Kurnianingsih, S.Kp. Jakarta: EGC. Potter, Patricia A., Perry, Anne Griffin. 2005. Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan Praktik . Edisi 4. Penerjemah: Asih Yasmin, Dkk. Jakarta: EGC. Nasir, Abdul, Dkk. 2011. Komunikasi Dalam Keperawatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Salemba Medika. Mardiati Ratna. 2008. Pengantar Neuropsikologi. Jakarta:SAGUNG SETO. Budi, Anna Keliat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:EGC. Iyus, Yosep. 2007. Keperawatan Jiwa. RefikaAditama : Bandung. NANDA.2011. Diagnosis Keperawatan : Defenisi dan Klasifikasi. Jakarta : EGC. Judith M. Wilkinson, dkk. 2015. Buku saku diagnosis keperawatan : diagnosis nanda, intervensi NIC, kriteria hasil NOC, Ed.9. Jakarta : EGC . Potter, Perry. (2010). Fundamental Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Alimul Hidayat, Aziz. (2006). Kebutuhan Dasar Manusia, aplikasi konsep dan proses keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. Afrian Saputra, Zaenal Abidin. Pengalaman Kehilangan Anak Pada Ibu Korban Tragedi Trisakti 1998 (Sebuah Studi Kualitatif Fenomenologis). 2016. Volume 5 (2). 236-240.