BAB I STATUS PASIEN Identitas Pasien Nama
: Ny. L
Umur
: 19 tahun
Jenis Kelamin
: Wanita
Alamat
: Cikajang
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Pelajar
Tanggal Masuk RS
: 5 Oktober 2015
Anamnesis Keluhan Utama
: Nyeri perut kanan bawah
Anamnesis Khusus
:
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Slamet Garut dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang sudah diderita sejak kurang lebih 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Nyeri hanya dirasakan diperut kanan bawah terus menerus seperti ditusuk benda tajam, tidak menjalar. Nyeri seperti ini sudah dirasakan pasien hampir selama 2 tahun hilang timbul, awalnya nyeri dirasakan pasien diulu hati namun hampir 2 tahun belakangan nyeri menetap diperut kanan bawah. Nyeri perut kanan bawah disertai dengan mual dan muntah. Muntah hampir 5 kali sehari. Nafsu makan pasien juga menurun dan pasien merasa lemas. Saat ini pasien tidak mengeluh panas badan, namun awal-awal nyeri perut disertai dengan panas badan. Haid pasien teratur dan tidak ada riwayat nyeri ketika haid. Buang air kecil tidak nyeri, tidak ada riwayat buang air kecil disertai pasir atau darah. Buang air besar pasien seperti biasanya tidak keras dan tidak ada keluhan. Pasien mengaku makan secara teratur, namun pasien mengakui jarang minum air putih. Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat mengalami nyeri perut kanan bawah sebelumnya diakui pasien sejak 2 tahun yang lalu hilang timbul. Riwayat menderita hipertensi disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat sakit kuning disangkal. Riwayat penyakit Diabetes Melitus juga disangkal pasien. 1
Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang serupa dengan pasien. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
: Compos Mentis
Status Gizi
: Baik
Tanda vital : Tensi
: 110/70 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Respirasi
: 20 x/menit
Suhu
: 36,5 oC
Status Generalis Kepala Mata
: Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks pupil +/+
Hidung
: Epistaksis -/-, deviasi septum -/-
Mulut
: Sianosis peroral (-), mukosa tenang
Leher
: Pembesaran KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat, trakea ditengah
Thorax Cardio
: Inspeksi
: Iktus cordis tidak terlihat
: Palpasi
: Iktus cordis teraba pada sela iga ke 5 sebelah medial garis midclavicula kiri
: Perkusi
: 1. Batas jantung kanan pada linea parasternalis dextra sela iga ke 4 2. Batas jantung kiri pada linea mid clavicula sinistra sela iga ke 5 3. Batas pinggang jantung pada linea parastenalis sinistra sela iga ke 2
: Auskultasi
: Bunyi jantung S1 = S2 murni reguler, S3/S4 (- / -) : Murmur (-) Gallop (-)
Pulmo
: Inspeksi
: Gerakan statis dan dinamis hemithoraks kanan = kiri Tidak tampak adanya sikatrik, hematom, udem, massa,
2
deformitas dan fraktur pada kedua hemitoraks. : Palpasi
: Taktil dan Vokal Fremitus kanan sama dengan kiri Nyeri tekan hemithoraks dextra dan sinistra (-).
: Perkusi
: Sonor di hemithoraks dextra dan sinistra.
: Auskultasi
: Vesicular Breathing Sound sama di hemithoraks dextra dan hemithoraks sinistra : Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen Inspeksi
: Datar dan lembut
Palpasi
: Nyeri tekan (+), nyeri lepas (+), defans muscular (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi
: Timpani di keempat kuadran, nyeri ketok di kuadran kanan bawah (+)
Auskultasi
: Bising usus (+) normal
Ekstremitas - Atas
Tonus
: normal
Massa
: -/-
Gerakan
: aktif/aktif
Kekuatan
: 5/5
Edema
: -/-
- Bawah
Tonus
: normal
Massa
: -/-
Gerakan
: aktif/aktif
Kekuatan
: 5/5
Edema
: -/-
3
Status Lokalis Perut kanan bawah ( Titik Mc Burney) : Inspeksi
: Tampak datar
Palpasi
: Nyeri tekan dan nyeri lepas di titik Mc Burney (+) Defans muskuler (-) Rovsing sign (+) PSOAS Sign (+) Obturator Sign (-) Blumberg sign (+) Massa (-)
Nyeri ketok CVA ( costo vertebrae angel ) : - / Rectal Toucher Tonus otot spincter ani mencengkram kuat, mucosa licin, ampula recti tidak kolaps, tidak terdapat benjolan/massa, ada nyeri pada penekanan pada jam 10 dan 12, saat jari pemeriksa dikeluarkan tidak terdapat lendir atau darah, terdapat feces pada sarung tangan. Laboratorium Darah Rutin Hemoglobin
: 14,6 g/dL
(12,0 - 16,0)
Hematokrit
: 45 %
(35 - 47)
Leukosit
: 6.400 /mm3
(3,800 – 10,600)
Trombosit
: 304.000/mm3
(150,000 – 440,000)
Eritrosit
: 5.46 juta/mm3
(3,6 – 5,8)
AST (SGOT)
: 24 U/L
(s/d 31)
ALT (SGPT)
: 22 U/L
(s/d 31)
Albumin
: 4.70 g/dl
(3.5- )
Ureum
: 29 mg/dl
(35 – 50)
Kreatinin
: 1.0 mg/dl
(0,5 – 0,9)
Glukosa Darah Sewaktu
: 84 mg/dl
(70 – 110)
Kimia Klinik
4
Urine Urine Rutin Kimia Urine Berat Jenis Urine
: 1.025
Blood Urine
: Negatif
Lekosit Estrase
: 70 +
pH Urine
: 6.0
Nitrit Urine
: Negatif
Protein Urine
: Negatif
Glukosa Urine
: Negatif
Keton Urine
: 50/ +++
Urobilinogen Urine
: Normal
Bilirubin Urine
: Negatif
Mikroskopis Urine Eritrosit
: 1-2 / lbp
Lekosit
: 8-12 / lbp
Sel Epitel
: 1-2 / lpk
Bakteri
: Negatif / lpk
Kristal
: Negatif / lpk
Silinder
: Negatif / lpk
- USG
5
LAPORAN OPERASI 6 Oktober 2015 Operator
: dr. Trimayu, SpB
Asisten I
: dr. Dea
Asisten II
: dr. Nano
Diagnosa Pra-Bedah : Appendisitis Kronis Eksaserbasi Akut Diagnosa Post Bedah : Appendisitis Kronis Eksaserbasi Akut Indikasi Operasi
: Diagnosis dan Therapeutik
6
Jenis Operasi D.O
: Appendectomy : Ditemukan appendiks letak retrocaecal dengan ukuran panjang 12 cm, diameter 1 cm, hiperemis, dan oedematous.
T.O
: Dilakukan tindakan a dan antiseptik pada daerah operasi & sekitarnya. Lokalisasi area operasi dengan duk kain steril. Insisi Mc Burney pada kutis, subkutis, facia dibuka, otot disisihkan, peritoneum dibuka. Dilakukan appendectomy. Penutupan luka operasi lapis demi lapis. Operasi selesai.
Diagnosa Kerja Appendisitis Kronis Eksaserbasi Akut Diagnosis banding
Ureterolithiasis dextra
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
Rencana terapi Operatif : Appendectomy Prognosis Quo ad vitam
: ad bonam
Quo ad fungsionam
: ad bonam
7
FOLLOW UP DOKTER Tanggal /jam 06 – 10 - 2015
Catatan KU : CM
Instruksi - Appendectomy
Kel : nyeri perut kanan Post op : bawah.
-
T : 110/70
Puasa sampai bising usus +
N: 88 x/menit
-
R: 20 x/menit
RL : Aminofluid 2 : 1 1500 cc, 25 tpm
S: 36,5 oC
-
Ceftriaxone 1x2 gr IV
Status lokalis
-
Ketorolac 2x30 mg IV
a/r abdomen right lower
-
Ranitidine 2 x 1 amp IV
quadran nyeri tekan dan
-
Ganti verban POD 2
-
RL : Aminofluid 2 : 1
nyeri lepas (+), massa (-), defans muscular (-). Dx / Appendisitis kronis eksaserbasi akut. 07 – 10 – 2015
KU : CM
POD I
Kel : Nyeri luka operasi
20 tpm
dan demam.
-
Cefotaxime 2x1 gr IV
T : 120/70
-
Ketorolac 2x30 mg IV
N: 72
-
Ranitidine 2 x 1 amp IV
R: 16 S: 35,9 oC a/ Post Appendectomy a/i Appendisitis
kronis
eksaserbasi akut. 08 – 10 – 2015
KU : CM
-
Aff Infus
POD II
Kel : Nyeri luka operasi
-
Cefixime 2 x 200 mg po
berkurang,
-
Dexketoprofen 2 x 1 po
nafsu makan baik.
-
Ranitidine 2 x 1 po
T : 110/80
-
Ganti verban
N: 86
-
BLPL
demam
(-),
8
R: 20 S: 36,1 a/ Post Appendectomy a/i Appendisitis
kronis
eksaserbasi akut.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI, FISIOLOGI, DAN EMBRIOLOGI APPENDIX Appendix merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan Appendix terlihat pada minggu ke-8 kehamilan sebagai suatu tonjolan pada Caecum. Awalnya Appendix berada pada apeks Caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial dekat dengan Plica ileocaecalis. Dalam proses perkembangannya, usus mengalami rotasi. Caecum berakhir pada kuadran kanan bawah perut. Appendix selalu berhubungan dengan Taenia caecalis. Oleh karena itu, lokasi akhir Appendix ditentukan oleh lokasi Caecum.1,2,3
Gambar 1. Appendix vermicularis4 Vaskularisasi Appendix berasal dari percabangan A. ileocolica. Gambaran histologis
Appendix
menunjukkan
adanya
sejumlah
folikel
limfoid
pada
submukosanya. Pada usia 15 tahun didapatkan sekitar 200 atau lebih nodul limfoid. Lumen Appendix biasanya mengalami obliterasi pada orang dewasa. 1,3
10
Gambar 2. Potongan transversa Appendix 5 Panjang Appendix pada orang dewasa bervariasi antara 2-22 cm, dengan rata-rata panjang 6-9 cm. Meskipun dasar Appendix berhubungan dengan Taenia caealis pada dasar Caecum, ujung Appendix memiliki variasi lokasi seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Variasi lokasi ini yang akan mempengaruhi lokasi nyeri perut yang terjadi apabila Appendix mengalami peradangan. 1,2
Gambar 3. Variasi lokasi Appendix vermicularis1 Awalnya, Appendix dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini, Appendix dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan Imunoglobulin terutama Imunoglobulin A (IgA). Walaupun Appendix merupakan komponen integral dari sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), fungsinya
11
tidak penting dan Appendectomy tidak akan menjadi suatu predisposisi sepsis atau penyakit imunodefisiensi lainnya.2 2.2 APPENDISITIS 2.2.1 DEFINISI Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau Appendicitis acuta menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah. Appendisitis adalah peradangan pada appendiks dahulu disebut dengan typhlitis (inflamasi dari caecum) oleh dupuytren. Appendiks baru diketahui menyebabkan penyakit pada abad 19. Appendiktomi pertama dilakukan tahun 1736 oleh Claudius amyand. Titik Mc burney diperkenalkan pertama kali oleh Charles McBurney (1889). 2.2.2 INSIDENSI Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1. 2 Peradangan pada appendiks merupakan salah satu masalah operasi yang paling sering ditemukan.
Satu dari setiap 2000 orang di dunia pernah mengalami
appendektomi. Paling sering terjadi di Amerika dan Inggris (dunia barat), jarang terjadi di Asia dan Afrika.
Kejadian ini diduga disebabkan oleh meningkatnya
penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Appendisitis diasosiasikan dengan kurangnya diet tinggi protein. Pada benua Asia, insidens terjadinya appendicitis di Indonesia merupakan urutan negara ke-3 setelah Cina dan India. Pada tahun 1886, Reginald Fitz melaporkan angka kematian yang berhubungan dengan appendicitis yang tidak dioperasi sebesar 67%. Sekarang ini, angka kematian untuk appendicitis akut < 1%. Rata-rata kematian akibat komplikasi appendicitis sebesar 0,2 – 0,8%. Mortalitas meningkat 20% pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun.
12
Perforasi lebih tinggi terjadi pada pasien usia dibawah 18 tahun dan pada pasien diatas 50 tahun. 2.2.3 KLASIFIKASI Klasifikasi appendisitis berdasarkan klinikopatologis antara lain: 1. Appendisitis Akut a. Appendisitis akut sederhana (cataral appendicitis) Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada appendisitis kataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa. b. Appendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis) Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum. c. Appendisitis akut gangrenosa Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen. 13
2. Appendisitis Infiltrat Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya. 3. Appendisitis Abses Appendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic. 4. Appendicitis Perforasi Appendicitis perforasi adalah pecahnya appendiks yang sudah ganggren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik. 5. Appendisitis Kronis Appendisitis kronis merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
2.2.4 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI 2.2.4.1 Obstruksi Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada Appendisitis acuta. Fecalith merupakan penyebab umum obstruksi Appendix, yaitu sekitar 20% pada anak dengan Appendisitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi Appendix. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa Appendix, barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat 14
disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi Appendicitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi Appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, corpus alienum seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya Appendicitis. Faktor lain yang mempengaruhi terjadinya Appendicitis adalah trauma, stress psikologis, dan herediter.6 Frekuensi obstruksi meningkat sejalan dengan keparahan proses inflamasi. Fecalith ditemukan pada 40% kasus Appendicitis acuta sederhana, sekitar 65% pada kasus Appendicitis gangrenosa tanpa perforasi, dan 90% pada kasus Appendicitis acuta gangrenosa dengan perforasi. 1,2,6,7
Gambar 4. Appendisitis (dengan fecalith) 8 Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral, mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. 2 Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri yang cepat di Appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular.
15
Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang lebih nyata. Proses inflamasi segera melibatkan serosa Appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ. 2,6,7 Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi biasanya pada salah satu daerah infark di batas antemesenterik. 1,2,6,7 Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis Appendicitis, khususnya pada anak-anak.6 Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom Th 10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Jika mual muntah timbul mendahului nyeri perut, dapat dipikirkan diagnosis lain.6 Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi oedem yang lebih hebat. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi Appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix; diikuti demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskhemia jaringan. Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang 16
terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi Appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine. Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik.6 Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis.6 2.2.4.2 Bakteriologi Flora pada Appendix yang meradang berbeda dengan flora Appendix normal. Sekitar 60% cairan aspirasi yang didapatkan dari Appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob, dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi Appendix yang normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan Appendicitis acuta ke Appendicitis gangrenosa dan Appendicitis perforata. 1,2,7 Appendicitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi.
2)
Flora normal pada Appendix sama dengan bakteri pada Colon normal.
Flora pada Appendix akan tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di Appendix, Appendicitis acuta dan Appendicitis perforasi adalah Eschericia 17
coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. 1,2,7 Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada Appendicitis acuta 2 Bakteri Aerob dan Fakultatif Batang Gram (-)
Bakteri Anaerob Batang Gram (-)
Eschericia coli
Bacteroides fragilis
Pseudomonas aeruginosa
Bacteroides sp.
Klebsiella sp.
Fusobacterium sp.
Coccus Gr (+)
Batang Gram (-)
Streptococcus anginosus
Clostridium sp.
Streptococcus sp.
Coccus Gram (+)
Enteococcus sp.
Peptostreptococcus sp.
Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien Appendicitis perforata dan non perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau penyakit lain, dan pasien yang mengalami abscess setelah terapi Appendicitis. Perlindungan antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus Appendicitis non perforata. Pada Appendicitis perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal dan transperitoneal masih kontroversi. 2,6 2.2.4.3 Peranan lingkungan: diet dan higiene 7 Di awal tahun 1970an, Burkitt mengemukakan bahwa diet orang Barat dengan kandungan serat rendah, lebih banyak lemak, dan gula buatan berhubungan dengan kondisi tertentu pada pencernaan. Appendicitis, penyakit Divertikel, carcinoma Colorectal lebih sering pada orang dengan diet seperti di atas dan lebih jarang diantara orang yang memakan makanan dengan kandungan serta lebih tinggi. Burkitt mengemukakan bahwa diet rendah serat berperan pada perubahan motilitas, flora normal, dan keadaan lumen yang mempunyai kecenderungan untuk timbul fecalith.
18
2.5 MANIFESTASI KLINIS 2.5.1 Gejala Klinis Gejala Appendicitis acuta umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang didahului anoreksia.12,13 Gejala utama Appendicitis acuta adalah nyeri perut. Awalnya, nyeri dirasakan difus terpusat di epigastrium, lalu menetap, kadang disertai kram yang hilang timbul. Durasi nyeri berkisar antara 1-12 jam, dengan rata-rata 4-6 jam. Nyeri yang menetap ini umumnya terlokalisasi di RLQ. Variasi dari lokasi anatomi Appendix berpengaruh terhadap lokasi nyeri, sebagai contoh; Appendix yang panjang dengan ujungnya yang inflamasi di LLQ menyebabkan nyeri di daerah tersebut, Appendix di daerah pelvis menyebabkan nyeri suprapubis, retroileal Appendix dapat menyebabkan nyeri testicular.
1,2,3,7,8
Umumnya, pasien mengalami demam saat terjadi inflamasi Appendix, biasanya suhu naik hingga 38oC. Tetapi pada keadaan perforasi, suhu tubuh meningkat hingga > 39oC. Anoreksia hampir selalu menyertai Appendicitis. Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus. Umumnya, urutan munculnya gejala Appendicitis adalah anoreksia, diikuti nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka diagnosis Appendicitis diragukan.
2,8
Muntah yang
timbul sebelum nyeri abdomen mengarah pada diagnosis gastroenteritis. Sebagian besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada beberapa pasien terutama anak-anak.
2,3,8
Diare dapat timbul setelah terjadinya
perforasi Appendix.12,13 Tabel 2. Gejala Appendicitis acuta 9 Gejala* Nyeri perut Anorexia Mual Muntah Nyeri berpindah Gejala sisa
Frekuensi (%)
klasik
(nyeri
periumbilikal
100 100 90 75 50 kemudian 50
anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian
19
demam yang tidak terlalu tinggi) *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu; skor <6 dan skor >6. Selanjutnya ditentukan apakah akan dilakukan Appendectomy. Setelah Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasil PA diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu radang akut dan bukan radang akut.11 Tabel 3. Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis.2 Gejala Klinik Adanya migrasi nyeri Anoreksia Mual/muntah Nyeri RLQ Nyeri lepas Febris Leukositosis Shift to the left
Value Gejala 1 1 1 Tanda 2 1 1 Lab 2 1 Total poin 10 Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya dilakukan.2 Gejala Appendicitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu selama 6 jam. Pada penderita Appendicitis biasanya menunjukkan peningkatan nyeri dan tanda inflamasi yang khas.12,13 Pada pemeriksaan fisik, perubahan suara bising usus berhubungan dengan tingkat inflamasi pada Appendix. Hampir semua pasien merasa nyeri pada nyeri lokal di titik Mc Burney’s. Tetapi pasien dengan Appendix retrocaecal menunjukkan gejala lokal yang minimal. Adanya psoas sign, obturator sign, dan Rovsing’s sign bersifat konfirmasi dibanding diagnostik. Pemeriksaan rectal toucher juga bersifat konfirmasi dibanding diagnostik, khususnya pada pasien dengan pelvis abscess karena ruptur Appendix.12
20
Diagnosis Appendicitis sulit dilakukan pada pasien yang terlalu muda atau terlalu tua. Pada kedua kelompok tersebut, diagnosis biasanya sering terlambat sehingga Appendicitisnya telah mengalami perforasi. Pada awal perjalanan penyakit pada bayi, hanya dijumpai gejala letargi, irritabilitas, dan anoreksia. Selanjutnya, muncul gejala muntah, demam, dan nyeri.13 2.5.2 Tanda Klinis Anak-anak dengan Appendicitis biasanya lebih tenang jika berbaring dengan gerakan yang minimal. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak, pada akhirnya jarang didiagnosis sebagai Appendicitis, kecuali pada anak dengan Appendicitis letak retrocaecal. Pada Appendicitis letak retrocaecal, terjadi perangsangan ureter sehingga nyeri yang timbul menyerupai nyeri pada kolik renal.6 Penderita Appendicitis umumnya lebih menyukai sikap jongkok pada paha kanan, karena pada sikap itu Caecum tertekan sehingga isi Caecum berkurang. Hal tersebut akan mengurangi tekanan ke arah Appendix sehingga nyeri perut berkurang. 6
Gambar 5. Posisi yang dilakukan untuk mengurangi nyeri perut10 Appendix umumnya terletak di sekitar McBurney. Namun perlu diingat bahwa letak anatomis Appendix sebenarnya dapat pada semua titik, 360 o mengelilingi pangkal Caecum. Appendicitis letak retrocaecal dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri rectal.6 Secara teori, peradangan akut Appendix dapat dicurigai dengan adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (Rectal toucher). Namun, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
21
Appendicitis. Jika tanda-tanda Appendicitis lain telah positif, maka pemeriksaan rectal toucher tidak diperlukan lagi.6 Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik: 10
Rovsing’s sign Jika LLQ ditekan, maka terasa nyeri di RLQ. Hal ini menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif pada Appendicitis namun tidak spesifik.
Psoas sign Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan kanan pemeriksa memegang lutut pasien dan tangan kiri menstabilkan panggulnya. Kemudian tungkai kanan pasien digerakkan dalam arah anteroposterior. Nyeri pada manuver ini menggambarkan kekakuan musculus psoas kanan akibat refleks atau iritasi langsung yang berasal dari peradangan Appendix. Manuver ini tidak bermanfaat bila telah terjadi rigiditas abdomen.
Gambar 6. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign 10
Obturator sign Pasien terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini positif jika pasien merasa nyeri di hipogastrium saat eksorotasi. Nyeri pada manuver ini menunjukkan adanya perforasi Appendix, abscess lokal, iritasi M. Obturatorius oleh Appendicitis letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.
22
Gambar 7. Cara melakukan Obturator sign10
Gambar 8. Dasar anatomis Obturator sign10
Blumberg’s sign (nyeri lepas kontralateral) Pemeriksa menekan di LLQ kemudian melepaskannya. Manuver ini dikatakan positif bila pada saat dilepaskan, pasien merasakan nyeri di RLQ.
Wahl’s sign Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri pada saat dilakukan perkusi di RLQ, dan terdapat penurunan peristaltik di segitiga Scherren pada auskultasi.
Baldwin’s test Manuver ini dikatakan positif bila pasien merasakan nyeri di flank saat tungkai kanannya ditekuk.
Defence musculare Defence musculare bersifat lokal sesuai letak Appendix.
Nyeri pada daerah cavum Douglasi Nyeri pada daerah cavum Douglasi terjadi bila sudah ada abscess di cavum Douglasi atau Appendicitis letak pelvis.
23
Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher pada saat penekanan di sisi lateral
Dunphy’s sign (nyeri ketika batuk)
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG 2.6.1. Laboratorium2,3,6,7 Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/ mm3, biasanya didapatkan pada keadaan akut, Appendicitis tanpa komplikasi dan sering disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah putih normal tidak ditemukan shift to the left pergeseran ke kiri, diagnosis Appendicitis acuta harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari 18.000/ mm 3 pada Appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi Appendix dengan atau tanpa abscess. CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan. Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP ≥ 8 mcg/mL, hitung leukosit ≥ 11000, dan persentase neutrofil ≥ 75% memiliki sensitivitas 86%, dan spesifisitas 90.7%. Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit atau eritrosit dari iritasi Urethra atau Vesica urinaria seperti yang diakibatkan oleh inflamasi Appendix, pada Appendicitis acuta dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria. 2.6.2.Ultrasonografi1,2,6,7 Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis Appendicitis. Appendix diidentifikasi/ dikenal sebagai suatu akhiran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta.
24
Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis Appendicitis acuta tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen. Diagnosis Appendicitis acuta dengan USG telah dilaporkan sensitifitasnya sebesar 78%-96% dan spesifitasnya sebesar 85%-98%. USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut. USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai. Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periappendicitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila Appendicitis terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.
Gambar 9.Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 10 2.6.3. Pemeriksaan radiologi1,2,6,7 Foto polos abdomen jarang membantu diagnosis Appendicitis acuta, tetapi dapat sangat bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis banding. Pada pasien Appendicitis
25
acuta, kadang dapat terlihat gambaran abnormal udara dalam usus, hal ini merupakan temuan yang tidak spesifik. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila ditemukan sangat mendukung diagnosis. Foto thorax kadang disarankan untuk menyingkirkan adanya nyeri alih dari proses pneumoni lobus kanan bawah. Teknik radiografi tambahan meliputi CT Scan, barium enema, dan radioisotop leukosit. Meskipun CT Scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada USG, tapi jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya, CT Scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya Abscess appendix untuk melakukan percutaneous drainage secara tepat. Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada penemuan yang tidak spesifik akibat dari masa ekstrinsik pada Caecum dan Appendix yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar antara 50-48 %. Pemeriksaan radiografi dari pasien suspek Appendicitis harus dipersiapkan untuk pasien yang diagnosisnya diragukan dan tidak boleh ditunda atau diganti, memerlukan operasi segera saat ada indikasi klinis.
Gambar 10. Gambaran CT Scan abdomen: Appendicitis perforata dengan abscess dan kumpulan cairan di pelvis1
26
Gambar 11. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendix (panah) dengan appendicolith1
Tabel 4. Perbandingan USG dan CT Scan Appendix pada Appendicitis10 USG
CT Scan Appendix
Sensitivitas
85%
90-100%
Spesifitas
92%
95-97%
Penggunaan
Evaluasi pasien pada
Evaluasi pasien pada
Keuntungan
pasien Appendicitis Aman
pasien Appendicitis Lebih akurat
Relatif murah
Lebih baik dalam
Dapat menyingkirkan
mengidentifikasi Appendix
penyakit pelvis pada
normal, phlegmon dan
wanita
abscess
Lebih baik pada anak-anak Tergantung operator
Mahal
Secara teknik tidak
Radiasi ionisasi
adekuat dalam menilai gas
Kontras
Kerugian
Nyeri
27
2.7 DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari Appendicitis acuta pada dasarnya adalah diagnosis dari akut abdomen. Hal ini karena manifestasi klinik yang tidak spesifik untuk suatu penyakit tetapi spesifik untuk suatu gangguan fisiologi atau gangguan fungsi. Jadi pada dasarnya gambaran klinis yang identik dapat diperoleh dari berbagai proses akut di dalam atau di sekitar cavum peritoneum yang mengakibatkan perubahan yang sama seperti Appendicitis acuta. 2,6 Ada beberapa keadaan yang merupakan kontraindikasi operasi, namun pada umumnya proses-proses penyakit yang diagnosisnya sering dikacaukan oleh Appendicitis sebagian besar juga merupakan masalah pembedahan atau tidak akan menjadi lebih buruk dengan pembedahan. 2,6 Diagnosis banding Appendicitis tergantung dari 3 faktor utama: lokasi anatomi dari inflamasi Appendix, tingkatan dari proses dari yang simple sampai yang perforasi, serta umur dan jenis kelamin pasien. 2,6 1. Adenitis Mesenterica Acuta Diagnosis penyakit ini seringkali dikacaukan oleh Appendicitis acuta pada anak-anak. Hampir selalu ditemukan infeksi saluran pernafasan atas, tetapi sekarang ini telah menurun. Nyeri biasanya kurang atau bisa lebih difus dan rasa sakit tidak dapat ditentukan lokasinya secara tepat seperti pada Appendicitis. Observasi selama beberapa jam bila ada kemungkinan diagnosis Adenitis mesenterica, karena Adenitis mesenterica adalah penyakit yang self limited. Namun jika meragukan, satu-satunya jalan adalah operasi segera. 2. Gastroenteritis akut Penyakit ini sangat umum pada anak-anak tapi biasanya mudah dibedakan dengan Appendicitis. Gastroentritis karena virus merupakan salah satu infeksi akut self limited dari berbagai macam sebab, yang ditandai dengan adanya diare, mual, dan muntah. Nyeri hiperperistaltik abdomen mendahului terjadinya diare. Hasil pemeriksaan laboratorium biasanya normal. 3. Penyakit urogenital pada laki-laki. Penyakit urogenital pada laki-laki harus dipertimbangkan sebagai diagnosis banding Appendicitis, termasuk diantaranya torsio testis, epididimitis akut, karena nyeri epigastrik dapat muncul sebagai gejala lokal pada awal penyakit ini, Vesikulitis seminalis dapat juga menyerupai Appendicitis namun dapat dibedakan
28
dengan adanya pembesaran dan nyeri Vesikula seminalis pada waktu pemeriksaan Rectal toucher. 4. Diverticulitis Meckel Penyakit ini menimbulkan gambaran klinis yang sangat mirip Appendicitis acuta. Perbedaan preoperatif hanyalah secara teoritis dan tidak penting karena Diverticulitis Meckel dihubungkan dengan komplikasi yang sama seperti Appendicitis dan memerlukan terapi yang sama yaitu operasi segera. 5. Intususseption Sangat berlawanan dengan Diverticulitis Meckel, sangat penting untuk membedakan Intususseption dari Appendicitis acuta karena terapinya sangat berbeda. Umur pasien sangat penting, Appendicitis sangat jarang dibawah umur 2 tahun, sedangkan Intususseption idiopatik hampir semuanya terjadi di bawah umur 2 tahun. Pasien biasanya mengeluarkan tinja yang berdarah dan berlendir. Massa berbentuk sosis dapat teraba di RLQ. Terapi yang dipilih pada intususseption bila tidak ada tanda-tanda peritonitis adalah barium enema, sedangkan terapi pemberian barium enema pada pasien Appendicitis acuta sangat berbahaya. 6. Chron’s enteritis Manifestasi enteritis regional berupa demam, nyeri RLQ, perih, dan leukositosis sering dikelirukan sebagai Appendicitis. Selain itu, terdapat diare dan anorexia. Mual dan muntah yang jarang, dapat mengarahkan diagnosis kepada enteritis namun tidak menyingkirkan diagnosis Appendicitis acuta. 7. Perforasi ulkus peptikum Gejala perforasi ulkus peptikum menyerupai Appendicitis jika cairan gastroduodenal mengalir ke bawah di daerah caecal. Jika perforasi secara spontan menutup, gejala nyeri abdomen bagian atas menjadi minimal. 8. Epiploic appendagitis Epiploic appendagitis mungkin disebabkan oleh infark Colon sekunder dari torsi Colon. Gejala dapat minimal atau terjadi gejala abdomen yang dapat berlangsung hingga beberapa hari. Pasien tidak tampak sakit, jarang terjadi mual dan muntah, dan nafsu makan tidak berubah. Terdapat nyeri tekan pada daerah yang terkena. Pada 25% kasus, nyeri berlangsung terus menerus hingga epiploic appendage yang mengalami infark dioperasi. 9. Infeksi saluran kencing 29
Pyelonephritis acuta, terutama yang terletak di sisi kanan dapat menyerupai Appendicitis acuta letak retroileal. Rasa dingin, nyeri costo vertebra kanan, dan terutama pemeriksaan urine biasanya cukup untuk membedakan keduanya. 10. Batu Urethra Bila calculus tersangkut dekat Appendix dapat dikelirukan dengan Appendicitis retrocaecal. Nyeri alih ke daerah labia, scrotum atau penis, hematuria, dan atau tanpa demam atau leukositosis mendukung adanya batu. Pyelografi dapat memperkuat diagnosis. 11. Peritonitis Primer Peritonitis primer jarang menyerupai Appendicitis acuta simplex namun dapat ditemukan gambaran yang sangat mirip dengan peritonitis difus sekunder yang disebabkan oleh ruptur Appendix. Diagnosis ditegakkan dengan aspirasi peritoneal. Bila ditemukan bakteri coccus pada pewarnaan Gram, peritonitis tersebut adalah peritonitis primer dan terapinya adalah obat–obatan. Bila ditemukan bermacam–macam bakteri, peritonitis tersebut adalah peritonitis sekunder. 12. Purpura Henoch–Schonlein Sindrom ini biasanya terjadi 2-3 minggu setelah infeksi Streptococcus. Nyeri abdomen merupakan gejala yang paling menonjol, namun nyeri sendi, purpura dan nephritis juga hampir selalu ditemukan. 13. Yersiniosis Infeksi Yersinia menyebabkan berbagai macam gejala klinik, termasuk adenitis mesenterica, ileitis, colitis dan Appendicitis acuta. Umumnya infeksinya ringan dan self limited, namun pada beberapa dapat terjadi sepsis sistemik yang umumnnya sangat fatal bila tidak diobati. Kecurigaan pada diagnosis preoperatif tidak boleh menunda operasi, karena secara klinis Appendicitis yang disebabkan oleh Yersinia tidak dapat dibedakan dengan Appendicitis oleh sebab lainnya. Sekitar 5% dari kasus Appendicitis acuta disebabkan oleh infeksi Yersinia. 14. Kelainan–kelainan ginekologi Umumnya kesalahan diagnosis Appendicitis acuta tertinggi pada wanita dewasa muda disebabkan oleh kelainan–kelainan ginekologi. Angka rata-rata Appendectomy yang dilakukan pada Appendix normal yang pernah dilaporkan adalah 32%–45% pada wanita usia 15–45 tahun. Penyakit–penyakit organ reproduksi pada wanita sering dikelirukan sebagai Appendicitis, dengan urutan 30
yang tersering adalah PID, ruptur folikel de Graaf, kista atau tumor ovarium, endometriosis dan ruptur kehamilan ektopik. Laparoskopi mempunyai peranan penting dalam menentukan diagnosis.
Pelvic Inflammatory Disease (PID)
Infeksi ini biasanya bilateral tapi bila yang terkena adalah tuba sebelah kanan dapat menyerupai Appendicitis. Mual dan muntah hampir selalu terjadi pada pasien Appendicitis. Pada pasien PID hanya sekitar separuhnya.
Ruptur Folikel de Graaf
Ovulasi sering mengakibatkan keluarnya darah dan cairan folikuler serta nyeri yang ringan pada abdomen bagian bawah. Bila cairan sangat banyak dan berasal dari ovarium kanan, dapat dikelirukan dengan Appendicitis. Nyeri dan nyeri tekan agak difus. Leucositosis dan demam minimal atau tidak ada. Karena nyeri ini terjadi pada pertengahan siklus menstruasi, sering disebut mittelschmerz. 2.8 KOMPLIKASI 2.8.1. Perforasi Perforasi disebabkan keterlambatan penanganan terhadap paslen apendisitis akut. Perforasi disertai dengan nyeri yang lebih hebat dan demam tinggi (sekitar 38,3 0C). Biasanya perforasi tidak terjadi pada 12 jam pertama. Pada apendiktektomi yang dilakukan pada pasien usia kurang dari 10 tahun dan lebih dari 50 tahun, ditemukan 50 % nya telah mengalami perforasi . Akibat perforasi ini sangat bervariasi mulai dari peritonitis umum, sampai hanya berupa abses kecil yang tidak akan mempengaruhi manifestasi kliniknya.7 2.8.2. Peritonitis Peritonitis lokal dapat disebabkan oleh mikroperforasi sementara peritonitis umum dikarenakan telah terjadinya perforasi yang nyata. Bertambahnya nyeri dan kekakuan otot, ketegangan abdomen dan adinamic ileus dapat ditemui pada pasien apendisitis dengan perforasi.7 2.8.3. Appendicular infiltrat Appendicular infiltrat adalah Appendicular infiltrat adalah infiltrat/massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. Umumnya massa
31
Appendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa Appendix lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.16 2.9 PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pasien Appendicitis acuta yaitu 1,2,3,6,7 1. Pemasangan infus dan pemberian kristaloid untuk pasien dengan gejala klinis dehidrasi atau septikemia. 2. Puasakan pasien, jangan berikan apapun per oral 3. Pemberian obat-obatan analgetika harus dengan konsultasi ahli bedah. 4. Pemberian antibiotika i.v. pada pasien yang menjalani laparotomi. 5. Pertimbangkan kemungkinan kehamilan ektopik pada wanita usia subur dan didapatkan beta-hCG positif secara kualitatif. Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob. Teknik operasi Appendectomy 1,2,6,8: a. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal
Oblique
3. Dibuat sayatan otot, ada dua cara: a. Pararectal/ Paramedian
32
Sayatan/ incisi pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena fascianya ada 2 agar tidak tertinggal pada waktu penjahitan. Bila yang terjahit hanya satu lapis fascia saja, dapat terjadi hernia cicatricalis.
sayatan M.rectus abd.
M.rectus abd. ditarik ke medial 2 lapis
b. Mc Burney/ Wechselschnitt/ muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. 1) Incisi apponeurosis M. Obliquus abdominis externus dari lateral atas ke medial bawah.
Keterangan gambar: Satu incisi kulit yang rapi dibuat dengan perut mata pisau. Incisi kedua mengenai jaringan subkutan sampai ke fascia M. Obliquus abdominis externus. 2) Splitting M. Obliquus abdominis internus dari medial atas ke lateral bawah.
33
Keterangan gambar: Dari tepi sarung rektus, fascia tipis M. obliquus internus diincisi searah dengan seratnya ke arah lateral.
3) Splitting M. transversus abdominis arah horizontal.
Keterangan gambar: Pada saat menarik M. obliquus internus hendaklah berhati-hati agar tak terjadi
trauma
jaringan.
Dapat
ditambahkan,
bahwa
N.
iliohipogastricus dan pembuluh yang memperdarahinya terletak di sebelah lateral di antara M. obliquus externus dan internus. Tarikan yang terlalu keras akan merobek pembuluh dan membahayakan saraf.
34
4. Peritoneum dibuka.
Keterangan gambar: Kasa Laparatomi dipasang pada semua jaringan subkutan yang terpapar. Peritoneum sering nampak meradang, menggambarkan proses yang ada di bawahnya. Secuil peritoneum angkat dengan pinset. Yang nampak di sini ialah pinset jaringan De Bakey. Asisten juga mengangkat dengan cara yang sama pada sisi di sebelah dokter bedah. Dokter bedah melepaskan pinset, memasang lagi sampai dia yakin bahwa hanya peritoneum yang diangkat. 5. Caecum dicari kemudian dikeluarkan kemudian taenia libera ditelusuri untuk mencari Appendix. Setelah Appendix ditemukan, Appendix diklem dengan klem Babcock dengan arah selalu ke atas (untuk mencegah kontaminasi ke jaringan sekitarnya). Appendix dibebaskan dari mesoappendix dengan cara: Mesoappenddix ditembus dengan sonde kocher dan pada kedua sisinya, diklem, kemudian dipotong di antara 2 ikatan.
Keterangan gambar: Appendix dengan hati-hati diangkat agar mesenteriumnya teregang. Klem Babcock melingkari appenddix dan satu klem dimasukkan lewat mesenterium seperti pada gambar. Cara lainnya ialah dengan mengklem ujung bebas 35
mesenterium di bawah ujung appenddix. Appendix tak boleh terlalu banyak diraba dan dipegang agar tidak menyebarkan kontaminasi. 6. Appendix di klem pada basis (supaya terbentuk alur sehingga ikatan jadi lebih kuat karena mukosa terputus sambil membuang fecalith ke arah Caecum). Klem dipindahkan sedikit ke distal, lalu bekas klem yang pertama diikat dengan benang yang diabsorbsi (supaya bisa lepas sehingga tidak terbentuk rongga dan bila terbentuk pus akan masuk ke dalam Caecum).
7. Appendix dipotong di antara ikatan dan klem, puntung diberi betadine.
8. Perawatan puntung Appendix dapat dilakukan dengan cara: a. Dibuat jahitan tabak sak pada Caecum, puntung Appendix diinversikan ke dalam Caecum. Tabak sak dapat ditambah dengan jahitan Z. b. Puntung dijahit saja dengan benang yang tidak diabsorbsi. Resiko kontaminasi dan adhesi. c. Bila prosedur a+b tidak dapat dilaksanakan, misalnya bila puntung rapuh, dapat dilakukan penjahitan 2 lapis seperti pada perforasi usus.
36
9. Bila no.7 tidak dapat dilakukan, maka Appendix dipotong dulu, baru dilepaskan dan mesenteriolumnya (retrograde). 10. Dinding abdomen dijahit lapis demi lapis. b. Laparoscopic Appendectomy Laparoscopy dapat dipakai sebagai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopy sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Dengan menggunakan laparoscope akan mudah membedakan penyakit akut ginekologi dari Appendicitis acuta.1
Gambar 3.10. Posisi operasi Laparoscopic Appendectomy 1 2.10 KOMPLIKASI POST OPERASI 1
37
1. Fistel berfaeces Appendicitis gangrenosa, maupun fistel tak berfaeces; karena benda asing, tuberculosis, Aktinomikosis. 2. Hernia cicatricalis. 3. Ileus 4. Perdarahan dari traktus digestivus: kebanyakan terjadi 24–27 jam setelah Appendectomy, kadang–kadang setelah 10–14 hari. Sumbernya adalah echymosis dan erosi kecil pada gaster dan jejunum, mungkin karena emboli retrograd dari sistem porta ke dalam vena di gaster/ duodenum. 2.11 PROGNOSIS 2 Mortalitas dari Appendicitis di USA menurun terus dari 9,9% per 100.000 pada tahun 1939 sampai 0,2% per 100.000 pada tahun 1986. Faktor- faktor yang menyebabkan penurunan secara signifikan insidensi Appendicitis adalah sarana diagnosis dan terapi, antibiotika, cairan i.v., yang semakin baik, ketersediaan darah dan plasma, serta meningkatnya persentase pasien yang mendapat terapi tepat sebelum terjadi perforasi.
38
DAFTAR PUSTAKA 1. Lally KP, Cox CS, Andrassy RJ, Appendix. In: Sabiston Texbook of Surgery. 17th edition. Ed:Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2004: 1381-93 2. Jaffe BM, Berger DH. The Appendix. In: Schwartz’s Principles of Surgery Volume 2. 8th edition. Ed: Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. New York: McGraw Hill Companies Inc. 2005:111934 3. Way LW. Appendix. In: Current Surgical Diagnosis & Treatment. 11 edition. Ed:Way LW. Doherty GM. Boston: McGraw Hill. 2003:668-72 4. Human
Anatomy
205.
http://www.talkorigins.org/faqs/vestiges/vermiform_Appendix.jpg.
(online) Diakses
tanggal 9 Oktober 2015. 5. http://www.med.unifi.it/didonline/annoV/clinchirI/Casiclinici/Caso10/Appendi citis1x.jpg 6. Ellis H, Nathanson LK. Appendix and Appendectomy. In : Maingot’s Abdominal Operations Vol II. 10th edition. Ed: Zinner Mj, Schwartz SI, Ellis H, Ashley SW, McFadden DW. Singapore: McGraw Hill Co. 2001: 1191-222 7. Soybel DI. Appedix In: Surgery Basic Science and Clinical Evidence Vol 1. Ed: Norton JA, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, Thompson RW. New York: Springer Verlag Inc. 2000: 647-62 8. Prinz RA, Madura JA. Appendicitis and Appendiceal Abscess. In: Mastery of Surgery Vol II. 4th edition. Ed: Baker RJ, Fiscer JE. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. 2001: 1466-78 9. Hardin DM. Acute Appendicitis: Review and Update. American Academy of Family Physician News and Publication. 1999;60: 2027-34. Retrieved at October 20th 2011. From: http://www.aafp.org/afp/991101ap/2027.html 10. http://www.alkalizeforhealth.net/gifs/naturesplatform.gif 11. Owen TD, Williams H, Stiff G, Jenkinson LR, Rees BI. Evaluation of the Alvarado score in acute Appendicitis. Retrieved at June 25th 2007. From: http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fcgi? artid=1294889&blobtype=pdf
39