CASE REPORT BRAIN TUMOR
Diajukan untuk memenuhi persyaratan Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing : Dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. S
Disusun oleh : Rachmad Alsy Setiafadi
J510170007
Pinasty Adi Astri
J510170054
Hexi Dwi Putri Lestari
J510170084
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RSUD HARJONO S. PONOROGO UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH SURAKARTA 2017
i
CASE REPORT BRAIN TUMOR
Yang diajukan oleh : Rachmad Alsy Setiafadi
J510170007
Pinasty Adi Astri
J510170054
Hexi Dwi Putri Lestari
J510170084
Telah disetujui dan disahkan oleh Tim Pembimbing Neurologi Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pembimbing pertama Nama
: Dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S
( .................... .................... )
Pembimbing kedua Nama
: Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. Sp. S
( .................... .................... )
Dipresentasikan dihadapan Penguji pertama Nama
: Dr. Hj. Mutia Sinta, Sp. S
( .................... .................... )
Penguji kedua Nama
: Dr. Dwi Kusumaningsih, Sp. Sp. S
ii
( .................... .................... )
STATUS PASIEN A. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. P
Umur
: 36 tahun
Jenis Kelamin
: Pria
Pekerjaan
: Buruh tambang
Alamat
: Dukuh Munggung 01/03, Pulung, Ponorogo
No Register
: 03 96 xx
Tanggal Pemeriksaan : 10 - 11 - 2017 (10.30 (10.30 WIB)
B. RIWAYAT PENYAKIT 1. KELUHAN UTAMA Kejang dan kelemahan anggota gerak kiri 2. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Pasien mengeluh anggota gerak kiri lemah dan nyeri kepala di bagian atas. Anggota gerak kiri merasa tidak sekuat seperti biasanya sehingga gerakannya terbatas, dan belum membaik sampai dibawa ke IRD. Pasien mengatakan nyeri kepala terjadi sudah 1 bulan terakhir, kadang-kadang muncul dan tidak semakin memberat. Nyeri kepala terasa cekot-cekot , dan muncul secara tibatiba, terutama ketika melakukan pekerjaan yang berat. Dari alloanamnesis didapatkan pasien kejang selama 2 menit lalu pasien tertidur selama 10 menit. Sewaktu terbangun pasien mengeluhkan kelemahan anggota gerak kiri, pada saat ditanyakan kejangnya pasien tidak tahu apabila kejang. Pasien pertama kali mengalami kejang saat bekerja di Kalimantan pada tahun 2012, saat kejang waktu itu pasien sadarkan diri dan lemas lalu membaik dan dapat beraktivitas kembali dan pergi berobat. Pasien mengaku tidak rutin kontrol berobat, lalu pasien
1
pulang ke Jawa. Pasien berada di Jawa selama 3 tahun dan pasien tidak mengalami kejang. Setelah 3 tahun di Jawa J awa pasien kembali ke Kalimantan tahun 2015, sejak tahun 2015 sampai saat ini pasien terkadang mengalami kejang, pasien tidak ingat berapa kali tetapi pasien mengatakan lebih dari 10 kali tanpa disertai kelemahan anggota gerak. Kemudian setelah itu pasien kembali ke Jawa tahun 2017, dan mengalami kejang terakhir tanggal 6 November 2017 disertai kelemahan anggota gerak kiri. Pasien tidak mengeluhkan adanya (mual, muntah, demam, gangguan BAK dan BAB). Pasien mengaku bekerja sebagai buruh tambang dari pagi sampai sore, kondisi waktu bekerja dibawah terik matahari. Pasien mengaku saat bekerja di Kalimantan sering beraktivitas dan jarang istirahat, terkadang setelah pulang bekerja pasien dengan temantemannya berkumpul sambil minum alkohol dan merokok. Terkadang pasien juga olahraga dengan menjadi guru karate. Setelah pulang ke Jawa pasien juga jarang beristirahat karena pasien lembur mengerjakan servisan elektronik.
3. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Stroke
: disangkal
Hipertensi
: disangkal
Diabetes Melitus
: disangkal
Trauma
: disangkal
Penyakit Jantung
: disangkal
Kejang
: (+) kejang pertama tahun 2012 durasi ± 2 menit
Tumor
: disangkal
Opname
: disangkal
Alergi makanan & obat
: disangkal
Penyakit yang diderita saat ini
: disangkal
2
4. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Stroke
: disangkal
Hipertensi
: disangkal
Diabetes Melitus
: disangkal
Trauma
: disangkal
Penyakit Jantung
: disangkal
Kejang
: disangkal
Tumor
: disangkal
Penyakit yang diderita saat ini
: disangkal
5. RIWAYAT KEBIASAAN
Merokok
: pasien merokok 1 bungkus / hari
Konsumsi alkohol
: diakui (kadang-kadang)
Olah raga
: diakui
Angkat beban berat
: diakui
C. PEMERIKSAAN FISIK 1) Vital Sign TD
: 120/80 mmHg
N
: 86 x/menit
RR
: 18 x/menit
S
: 37,3˚C
2) Status Internus a
Kepala
: CA (-/-) SI (-/-)
b
Leher
: PKGB(-/-)
c
Thorax
:
Pulmo
: Inspeksi
: Simetris, Massa (-)
Palpasi
: Fremitus (+/+)
3
Perkusi
: Sonor (+/+)
Auskultasi
: SDV(+/+) Wheezing(-/-)Rhonki(-/-)
Cor
: Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi
: Redup, Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi d
Abdomen
: BJ I/II reguler, bising(-/-)
:
Inspeksi
: Dinding perut lebih rendah dari dada
e
Palpasi
: Massa(-) Nyeri tekan (-)
Perkusi
: Timpani
Auskultasi
: Peristaltik (+)
Ektremitas
:
Edema
Akral
-
-
-
-
H
H
H
H
Kesan Status Internus : dalam batas normal
3) Status Neurologis a. Kesadaran
:
Glasgow Coma Scale : E4 V5 M6
b. Meningeal Sign
:
Kaku kuduk
4
: (-)
Brudzinski I
: (-)
Brudzinski II
: (-)
Brudzinski III
: (-)
Brudzinski IV
: (-)
Kernig
: (-)
c. Nervus Cranialis
: Sulit diidentifikasi karna
Nervus
Pemeriksaan
Dextra
Sinistra
N. Olfactorius
Daya Pembau
Normal
Normal
N. Opticus
Visus
≥ 2⁄ 60
Buta Warna N. Occulomotorius
≥ 2⁄ 60
-
-
Pupil
3mm
3mm
Reflek Cahaya
Miosis
Miosis
M.rectus
lateralis Normal
Normal
Superior M.rectus
lateralis
Inferior
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
Normal
kontraksi
kontraksi
pada
pada
musculus
musculus
maseter
maseter
kontraksi
kontraksi
pada
pada
musculus
musculus
Membuka mata
N. Trochlearis
M.obliquus superior
N. Trigeminus
Motorik : -Menggigit
-Membuka mulut
pterygoideus pterygoideus
5
Sensorik : -Sensibilitas
Normal
Normal
N. Abducens
M.rectus lateralis
Normal
Normal
N. Facialis
Motorik a.Mengangkat alis
a. +
a. +
b.Mengerutkan dahi
b. +
b. +
c.Menutup mata
c. +
c. +
d.Menggembungkan
d. +
d. +
e. +
e. +
pipi e.Tersenyum
Sensorik 2/3 +
+
+
+
b.Nistagmus
-
-
N.
a. Tersedak
a. -
a. -
Glossopharingeus
b. Faring
b. simetris
b. simetris
c. Reflek muntah
c. +
c. +
Bersuara
Tidak sengau
Tidak sengau
Tidak nyeri
Tidak nyeri
-Memalingkan
Kontraksi
Kontraksi
kepala
pada
pada
muskulus
muskulus
strenokleido-
strenokleido-
mastoideus
mastoideus
-Pengecapan anterior N.
a.Pendengaran
Vestibulochoclearis (gesekan jari)
N. Vagus
Menelan N. Accesorius
6
-Mengangkat bahu
N. Hypoglossus
Kontraksi
Kontraksi
pada
pada
muskulus
muskulus
trapezius
trapezius
Menjulurkan lidah
Kesan Nervus Cranialis
Simetris
: dalam batas normal
d. Motorik : Gerakan
B
B
B
B
555 444
Kekuatan
555 444 Trofi
Klonus
E
E
E
E
: Patella & Ankle (-)
Reflek Fisiologis BPR
:
+2 +2
KPR
+2 +2 TPR
+2 +2 +2 +2
+2 +2
APR
+2 +2
+2 +2 +2 +2
Reflek Patologis
:
Pemeriksaan
Dextra
Sinstra
Hoffman
-
-
Tromner
-
-
Babinski
-
-
Chaddock
-
-
Gonda
-
-
Stransky
-
-
7
Mandel B
-
-
Rosolimo
-
-
Oppenhim
-
-
Gordon
-
-
Schaffer
-
-
Kesan Motorik
: Dalam batas normal
e. Sensorik Eksteroseptif No
Pemeriksaan
1
Nyeri
2
Taktil
Ektremitas +
+
+
+
+
+
+
+
Propioseptif No
Pemeriksaan
1
Tekan
2
Gerak
Ektremitas +
+
+
+
+
+
+
+
f. Fungsi Cerebelum
Finger to nose
: (+/+)
Heel to shin
: (+/+)
Romberg test
: (+/+)
Rebound phenomen
: (+/+)
Kesan : Dalam batas normal
8
g. Provokasi Nyeri
Laseque sign
: (-/-)
Patrick sign
: (-/-)
Kontrapatrick sign
: (-/-)
Kesan : Dalam batas normal
h. Fungsi Vegetatif
Miksi
: 4-6 x sehari ± 350 cc, warna kuning jernih, darah (-)
Defekasi
: DBN, Konstipasi (-), konsistensi lunak, darah (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaan Laboratorium No
Parameter
Jumlah
Satuan
Nilai Rujukan
1.
WBC
16.9
10 3/uL
4000-10000 /uL
2.
Lymph#
1.4
uL
0.8-4.0
3.
Mid#
0.9
uL
0.1-1.5
4.
Gran#
14.6
uL
2.0-7.0
5.
Lymph%
8.1
%
20.0-40.0
6.
Mid%
5.5
%
3.0-15.0
7.
Gran%
86.4
%
50.0-70.0
8.
RBC
5.27
uL
3,50-5,5 / uL
9.
HGB
16.5
gr/dl
11,0-16,0 g/dl
10.
HCT
47.0
%
37-54%
11.
MCV
89.1
femtoliter
80-100 fl
12.
MCH
31.3
Pikograms
27-34 pg
13.
MCHC
35.1
g/dl
32-36 g/dl
14.
RDW-CV
14.0
%
11.0-16.0
15.
RDW-SD
47.8
fL
35.0-58.0
9
16.
PLT
191
uL
150.000-450.000/uL
17.
MPV
10.9
fL
6.5-12
18.
PDW
16.0
19.
PCT
2.08
Ml/l
1.08-2.82
20.
P-LCC
88
uL
30-90
21.
P-LCR
46.0
%
11.0-45.0
9.0-17.0
Kimia Darah No
Parameter
Jumlah
Satuan
Nilai Rujukan
1.
TG
56
mg/dl
20-200
2.
CHOL
138
mg/dl
20-200
3.
HDL
41
mg/dl
40-200
4.
LDL
97
mg/dl
<130
5.
Ureum
19.3
mg/dl
10-50
6.
Kreatinin
1.20
mg/dl
0.6-1.3
7.
Asam Urat
9.0
mg/dl
2.5-7.0
8.
SGOT
27
U/L
1-37
9.
SGPT
29
U/L
1-40
10.
Gamma GT
46
U/L
0-30
10.
ALP
112
U/L
30-120
11.
Protein total
7.0
g/dl
6.2-8.5
12.
ALB
4.1
g/dl
3.5-5.3
13.
GLB
2.4
g/dl
1.5-3.0
14.
Bilirubin total
0.4
mg/dl
0.2-1.2
15.
Bilirubin direk
0.24
mg/dl
0-0.5
10
2. CT Scan a. Tanpa Kontras
11
b. Dengan Kontras c.
12
E. RESUME Pasien mengeluh anggota gerak kiri lemah dan nyeri kepala di bagian atas, nyeri kepala terjadi sudah 1 bulan terakhir, kadang-kadang muncul dan tidak semakin memberat. Nyeri kepala terasa cekot-cekot , dan muncul secara tiba-tiba, terutama ketika melakukan pekerjaan yang berat. Pasien dibawa ke IRD dengan riwayat kejang selama 2 menit kemudian pasien tidak sadar selama 10 menit. Sewaktu terbangun pasien mengeluhkan kelemahan anggota gerak kiri, pada saat ditanyakan kejangnya pasien tidak tahu apabila kejang. Pasien pertama kali mengalami kejang tahun 2012, saat kejang waktu itu pasien sadarkan diri dan lemas lalu membaik dan dapat beraktivitas kembali dan pergi berobat. Pasien me ngaku tidak rutin kontrol berobat, lalu pasien pulang ke Jawa. Pasien berada di Jawa selama 3 tahun dan pasien tidak mengalami kejang. Setelah 3 tahun di Jawa pasien kembali ke Kalimantan, sejak tahun 2015 sampai saat ini pasien tidak ingat berapa kali tetapi pasien mengatakan kejang terjadi lebih dari 10 kali tanpa disertai kelemahan anggota gerak. Kemudian setelah itu pasien kembali ke Jawa tahun 2017, dan mengalami kejang terakhir tanggal 6 November 2017 disertai kelemahan anggota gerak kiri. Pasien tidak mengeluhkan adanya (mual, muntah, demam, gangguan BAK dan BAB). Pasien mengaku bekerja sebagai buruh tambang dari pagi sampai sore, kondisi waktu bekerja dibawah terik matahari. Pasien sering beraktivitas dan jarang istirahat, terkadang setelah pulang bekerja pasien dengan teman-temannya berkumpul sambil minum alkohol dan merokok. Terkadang pasien juga olahraga dengan menjadi guru karate. Setelah pulang ke Jawa pasien juga jarang beristirahat karena pasien lembur mengerjakan servisan elektronik.
13
F. DIAGNOSIS Diagnosis klinis
: Hemiparese sinistra, konvulsi
Diagnosis topis
: Temporoparietalis dekstra
Diagnosis etiologi
: Brain tumor
G. PLANNING
Diagnostik
: CT Scan (sudah dilakukan)
Terapi
: Metil Prednisolon 8mg 2 x 1 Ranitidine 2 x 1 Asam Folat 1 x 1 Ikalep 250mg 1 x 1
H. PROGNOSIS
Disease
: Dubia
Discomfort
: Dubia
Disatistaction : Dubia
Disability
: Dubia
Death
: Dubia ad malam
14
BRAIN TUMOR
A. Definisi
Tumor otak adalah pertumbuhan sel-sel otak yang abnormal di dalam otak. Tumor otak primer apabila pertumbuhan sel abnormal terjadi pertama kali di dalam otak bukan merupakan metasa se dari tumor di organ lainnya. Tumor otak mempunyai sifat yang berlainan dibandingkan tumor di tempat lain. Walaupun secara histologis jinak, mungkin akan bersifat ganas karena letaknya berdekatan atau di sekitar struktur vital dan dalam rongga tertutup. Tumor otak primer adalah tumor yang tumbuh langsung dari jaringan intrakranial, baik dari otak itu sendiri, central nervus system, maupun selaput pembungkus otak (selaput meningen) (American Brain Tumor Association (ABTA), 2012). Tumor otak merupakan penyebab kematian kedua pada kasus kanker yang terjadi pada anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun. Tumor otak juga merupakan penyebab kematian yang kedua dari semua kasus kanker yang terjadi pada pria berusia 20-39 tahun. Selain itu tumor otak merupakan penyebab kematian nomor lima dari seluruh pasien kanker pada wanita yang berusia 20-39 tahun (ABTA, 2012). B. Faktor Risiko
Beberapa studi telah meneliti factor risiko dari tumor otak, akan tetapi penelitian mengenai etiologi masih sangat minimal. Sejauh ini yang sudah jelas dapat diidentifikasi adalah ionizing radiation yang merupakan factor risiko terjadinya glioma dan meningioma. Selain itu, factor lain seperti trauma kepala, alergi, makanan, tembakau dan alcohol dapat meningkatkan risiko munculnya tumor otak primer. Akhir-akhir ini berkembang penelitian mengenai peran virus (Polyomaviruses dan Herpesviruses) dan genetic terhadap tumor otak.
15
Faktor risiko yang dapat meningkatkan insidensi tumor otak Factor Risiko Radiation
Ionizing Electromagnetic radioation Cell phones and radiofrequency radioation
Head trauma Allergies Diet and vitamis
N-nitroso compounds Fat intake Aspartame ingestion
Tobacco Alcohol Chemicals
Hair dyes and sprays Traffic-related air pollution
Infection
Simian virus 40 Human Cytomegalovirus Polyomaviruses Toxoplasma infection Varicella zoster
Genetics
Neurofibromatosis type 1 Neurofibromatosis type 2 Von Hippel-Lindau syndrome Li-Fraumeni syndrome Turcot syndrome Basal cell nervus syndrome Adenomatous polyposis syndrome
Occupational exposure
Electrical workers and electromagnetic fields Agriculture
workers
exposed
to
pesticides,
herbicides and fungicides Other industries (vinyl chloride, petrochemical and rubber industries)
(Strong, et al ., 2015)
16
C. Patologi Tumor Otak Primer 1. Tumor Neuroglia Primer (Glioma)
Glioma merupakan tumor otak primer paling banyak dijumpai (50%) yang pada orang dewasa letaknya berada di supratentorial dan berasal dari korteks dan hemisfer otak. Pada anak-anak 70% terletak di infratentorial yang berasal dari serebelum, batang otak, dan mesensefalon. Rasio antara penderita pria dan wanita adalah 55:45. Penatalaksanaan tumor ini yaitu dengan bedah atau kemoterapi (Satria, 2011). a) Astrositoma
Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen yang berkisar
dari
lesi
berbatas
tegas
tumbuh
lambat
seperti
astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas seperti glioblastoma multiforme. Tumor Astrositik dapat dibagi menjadi astrositik fibriler (infiltratif), astrositoma pilositik dan beberapa varian yang jarang (Kumar et al., 2007). Tumor astrositoma merupakan tipe tumor SSP yang paling banyak (38,6%) dan berlokasi di korteks frontoparietal (G. Aryal, 2011). Astrositoma merupakan tumor tersering pada anak dengan insidensi puncak usia 5 – 9 tahun pada laki-laki dan 10 – 14 tahun untuk wanita (Katchy et al., 2013). 1) Neoplasma Astrositik Difus Neoplasma astrositik difus merupakan tumor yang biasa terjadi pada dewasa muda dan ditandai dengan tingkat diferensiasi seluler yang tinggi dan pertumbuhan yang lambat. Astrositoma difus dapat terjadi di seluruh SSP namun biasanya terletak supratentorial dan memiliki kecenderungan intrinsik
untuk
berkembang
menjadi
astrositoma anaplastik dan akhirnya menjadi glioblastoma (Louis et al., 2007).
17
2) Astrositoma Pilositik Astrositoma pilositik merupakan tumor WHO grade I yang timbul lambat dan berbatas tegas (Louis et al., 2007). Pada penampang mikroskopis sering ditemukan daerah kistik, serat Rosenthal yang eosinofilik terang, dan butir-butir eosinofilik kaya-protein (badan granular hialin) (Kumar et al., 2007). Astrositoma pilositik muncul di sepanjang neuraxis, namun pada pediatrik populasi tumor lebih muncul dalam daerah infratentorial. Lokasi tumor ini meliputi saraf optik (glioma saraf optik), chiasma optikum, talamus dan ganglia basal, hemisfer, serebelum, dan batang otak. Pada anak-anak, lokasi paling umum di supratentorial. Astrositoma pilositik yang terjadi di sumsum tulang belakang kurang sering, namun tidak jarang, dan pada anak-anak mewakili sekitar 11% dari tumor tulang belakang (Louis et al., 2007). 3) Glioblastoma Multiforme Glioblastoma multiforme merupakan tumor otak primer kelompok neuroepitel tersering dan neoplasma yang paling ganas (Kohler et al., 2011; Louis et al., 2007). Tumor ini biasanya menyerang orang dewasa dan terutama berlokasi di hemisferium. Glioblastoma dapat timbul cepat secara de novo, tanpa lesi prekursor yang sering disebut glioblastoma primer. Sedangkan glioblastoma sekunder berkembang secara perlahan dari difus astrositoma (WHO grade II) atau anaplastik astrositoma (WHO grade III). Karena sifatnya yang invasif, glioblastoma tidak dapat sepenuhnya direseksi dan meskipun mendapat radioterapi atau kemoterapi, kurang dari setengah pasien yang dapat bertahan lebih dari satu tahun (Louis et al., 2007). Bahkan berdasarkan registri kanker oleh Beasty A. Kohler dkk, 5 years survival untuk penderita glioblastoma yang berusia 40 – 60 tahun hanya 5% (Kohler et al., 2011).
18
Prognosis lebih jelek pada pasien usia tua dibandingkan pasien muda tidak dapat dihungkan dengan perifokal edema (Seidel et al., 2011). Infiltrasi
dari
glioblastoma
sering
meluas
ke
korteks yang berdekatan dan melalui corpus callosum ke belahan kontralateral. Glioblastoma yang berlokasi ganglia basal dan talamus juga tidak jarang, terutama pada anak-anak. Glioblastoma dari batang otak jarang terjadi dan sering menyerang
anak-anak.
Serebelum
dan
sumsum
tulang
belakang merupakan lokasi yang paling jarang ditempati oleh neoplasma ini (Louis et al., 2007). b) Oligodendroma
Oligodendroglioma merupakan tumor grade II WHO yang berkaitan dengan hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom
19
dan
lengan
pendek
kromosom
1.
Secara
mikrioskopis terdapat sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam sering dikelilingi oleh halo jernih perinukleus. Sel neoplastik cenderung berkumpul disekitar neuron asli, sutatu fenomena yang sering disebut sebagai satelitosis (Kumar et al., 2007; Louis et al., 2007) Oligodendroglioma muncul terutama di korteks hemisfer otak. Sekitar 50-65% dari pasien menderita oligodendroglioma di lobus frontal, diikuti dengan penurunan frekuensi oleh lobus temporal, parietal dan oksipital. Keterlibatan lebih dari satu lobus otak atau tumor bilateral umum terjadi. Ada pula pasien yang dilaporkan menderita oligodendroglioma dalam fossa posterior, ganglia basal, batang otak atau sumsum tulang belakang (Louis et al., 2007). c) Ependimoma
Ependimoma merupakan tumor yang tumbuh lambat dan umumnya pada anak-anak dan dewasa muda, yang berasal dari
19
dinding ventrikel atau dari kanal tulang belakang dan terdiri dari neoplastik sel ependimal (Louis et al., 2007). Secara histologis, ependimoma didominasi oleh sel panjang dengan prosesus menyebar disekitar pembuluh darah (perivaskuler pseudorosette) atau lumen (ependimal rosette), ependimal rosette merupakan rekapitulasi struktur ependim normal. Varian lain, ependimoma maksopapilar, sering ditemukan di filum terminal korda spinalis (Kumar et al., 2007) Tumor ini dapat terjadi dimanapun sepanjang sistem ventrikel dan dalam kanal tulang belakang. Ependimoma paling sering berkembang di ventrikel keempat dan sumsum tulang belakang, diikuti oleh ventrikel lateral dan ventrikel ketiga. Pada orang dewasa, ependimoma infratentorial dan tulang belakang timbul dengan frekuensi yang hampir sama, sedangkan ependimoma infratentorial jelas mendominasi anak dan dewasa muda.(Louis et al., 2007). Pada tumor intrakranial, ependeimoma lebih sering muncul
pada
Ependimoma
ventrikel biasanya
keempat
(Kumar
menempati
fossa
et
al.,
2007).
posterior
(sudut
cerebellopontine) (Parker, MacDonald, & Vezina, 2010). d) Medulloblastoma
Medulloblastoma adalah tumor embrional invasif di otak kecil dengan manifestasi terutama pada anak-anak, yang dominan diferensiasi saraf dan memiliki kecenderungan inheren untuk bermetastasis
melalui
jalur
cairan
serebro
spinal
(CSS).
Peningkatan risiko medulloblastoma ditemukan pada anak yang lahir prematur (rasio kejadian standar 3.1). Substitusi folat dalam diet ibu hamil memiliki fungsi sebagai pelindung terhadap pertumbuhan medulloblastoma pada anak-anak diklaim pada penelitian sebelumnya, tapi tidak dikonfirmasi dalam studi yang lebih baru (Louis et al., 2007). Medulloblastoma terdiri atas sel kecil primitif dengan sedikit sitoplasma. Sel neoplastik kadang
20
membentuk rosette kecil, yang disebut rosette Homer Wright di sekitar inti fibrilar (Kumar et al., 2007). Setidaknya 75% dari medulloblastoma anak timbul di daerah vermis, dan terproyeksi ke ventrikel keempat. Keterlibatan hemisfer serebelum meningkat pada usia dewasa. Kebanyakan tumor terletak di belahan adalah dari desmoplastik atau subtipe nodular (Louis et al., 2007). 2. Neoplasma Neuron a) Tumor sel ganglion
Ganglioglioma merupakan tumor neuroepitel yang berdiferensiasi baik dan tumbuh perlahan-lahan. Tumor ini terdiri dari sel neoplastik, sel ganglion matang, baik hanya terdiri dari sel neuron saja ( gangliocytoma) atau kombinasi dengan sel glial neoplastik (ganglioglioma). Perbedaan paling sering diamati pada pasien yang mengalami epilepsi untuk waktu yang lama (Louis et al., 2007). Tumor ini dapat terjadi diseluruh SSP, termasuk serebrum, batang otak, serebelum, sumsum tulang belakang, saraf optik, hipofisis dan kelenjar pineal. Mayoritas dari ganglioglioma berlokasi di lobus temporal (> 70%) (Louis et al., 2007) b) Tumor Neuroepitel Disembrioplastik (DNT)
Tumor neuroepitel disembrioplastik (DNT) merupakan tumor jinak. Biasanya berupa neoplasma glialneuronal supratentorial yang terjadi pada anak-anak atau dewasa muda. DNT biasanya ditemukan di kortikal dan dengan kejang parsial yang resistan terhadap obat (Louis et al., 2007). DNT terdiri atas campuran neuron matur, daerah mirip oligodendroglioma dan astrosit (Kumar et al., 2007). DNT dapat berlokasi di setiap bagian korteks supratentorial, tetapi paling sering berada di lobus temporal, terutama melibatkan struktur mesial. DNT juga dapat berada di daerah ventrikel
21
lateral, septum pelucidum, regio trigonoseptal, otak tengah, serebelum dan batang otak (Louis et al., 2007). 3. Neoplasma Interparenkim Primer a) Limfoma System Saraf Pusat (SSP) Primer
Limfoma SSP Primer biasanya berupa tumor sel Limfosit B yang secara mikroskopis mirip dengan neoplasma non-Hodgkin dengan predominansi sel besar dan lesi agresif dengan pola pertumbuhan angiosentrik (Kumar et al., 2007). Sekitar 60% dari limfoma SSP primer terdapat di ruang supratentorial, termasuk lobus frontal (15%), temporal (8%), parietal (7%) dan oksipital (3%), ganglia basalis atau daerah periventrikular (10%) dan corpus calosum (5%) , fossa posterior (13%) (Louis et al., 2007). b) Neoplasma Sel Granulativum
Secara mikroskopis neoplasma sel geminativum terdiri atas sel besar dengan batas jelas, sitoplasma jernih kaya glikogen dan nukleus bulat dengan nukleolus jelas. Sel sering tersusun dalam lobulus-lobulus kevil dengan sekat fibrosa diantaranya. Biasanya terdapat serbukan imfosit dan kadang-kadang menutupi sel neoplastik (Kumar et al., 2007). Seperti tumor sel germinal extragonadal lainnya, germ cell tumor SSP terutama mempengaruhi garis tengah: 80% atau lebih timbul dalam struktur ventrikel ketiga, dengan daerah dari kelenjar pineal (lokasi asal paling sering), diikuti oleh kompartemen suprasellar (Louis et al., 2007). c) Hemangioblastoma
Hemangioblastoma merupakan tumor yang tumbuh secara perlahan. Secara mikroskopis tumor ini terdiri atas campuran pembuluh darah halus dan sel stroma berbusa kaya-lemak yang asal selnya tidak diketahui (Kumar et al., 2007).
22
Hemangioblastoma dapat terjadi pada semua bagian dari sistem saraf. Tumor yang sporadis terjadi terutama di serebelum, biasanya di hemisfer, sedangkan hemangioblastoma yang terkait sindrom VHL dapat tumbuh multipel dan mempengaruhi batang otak , sumsum tulang belakang dan saraf lain di otak kecil. Lesi di daerah supratentorial dan sistem saraf perifer jarang terjadi (Louis et al., 2007). 4. Meningioma
Meningioma biasanya melekat pada bagian dalam permukaan duramater. Kebanyakan meningioma jinak dan sesuai dengan WHO kelas I. Tertentu subtipe histologis atau meningioma dengan kombinasi spesifik dari morfologi parameter yang terkait dengan kurang hasil klinis yang menguntungkan dan sesuai WHO nilai II (atipikal) dan III (anaplastik atau ganas) (Louis et al., 2007). Tumor ini berkaitan dengan hilangnya sebagian atau seluruh kromosom 22 yang menyebabkan delesi gen NF2. Massa tumor terdiri dari sel-sel bentuk oval sampai lonjong; tumbuh hiperplastis membentuk struktur kisaran dan pada bagian tengah tampak pembentukan psammoma bodies (massa kalsifikasi konsentris); diantara kelompok-kelompokan sel-sel tumor dibatasi jaringan ikat dan proliferasi pembuluh darah (Kumar et al., 2007). Meningioma paling sering tumbuh araknoid mater di kubah kranium (supratentorial terutama didaerah parasagital dan infratentorial, yaitu disamping medial os petosum dekat sudutserebelopontin) dan medulla spinalis (biasanya terletak di bagian T.4 sampai T.8) (Kumar et al., 2007).
23
D. Manifestasi klinis
1. Tumor Neuroglia Primer (Glioma) a.Astrositoma 1) Neoplasma Astrositik Difus Astrositoma difus dapat menempati setiap wilayah di SSP, tetapi kebanyakan sering berkembang di area supratentorial, lobus frontal dan lobus temporal baik pada anak-anak maupun orang dewasa. Batang otak dan tulang belakang adalah lokasi tersering berikutnya. Astrositoma difus ini paling jarang berlokasi di otak kecil (Louis et al., 2007). Kejang adalah gejala yang umum, meskipun dalam studi retrospeksi
kelainan
halus
seperti
kesulitan
berbicara,
perubahan sensasi, visi, atau beberapa perubahan motorik mungkin telah hadir sebelumnya. Tumor yang berlokasi di lobus frontal dapat menyebabkan perubahan perilaku atau kepribadian. Setiap perubahan tersebut mungkin telah hadir selama berbulan-bulan sebelum diagnosis, tetapi gejala mungkin juga berupa onset yang mendadak (Louis et al., 2007). 2) Astrositoma Pilositik Astrositoma pilositik menghasilkan defisit neurologis fokal atau tanda-tanda non-lokalisasi, misalnya makrosefali, sakit kepala, endokrinopati, atau peningkatan tekanan intrakranial. Kejang jarang terjadi karena lesi jarang melibatkan korteks serebral (Louis et al., 2007). 3) Glioblastoma Multiforme Gejala dan tanda-tanda yang umum dari glioblastoma berupa gejala peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, mual, muntah dengan disertai papil edema. Sepertiga pasien dapat mengalami kejang epilepsi. Gejala neurologis non-
24
spesifik seperti sakit kepala dan perubahan kepribadian juga dapat terjadi (Louis et al., 2007). b. Oligodendroma Terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (misal, nyeri kepala). Selain itu bisa juga terdapat kelainan fokal yang berkaitan dengan lokasinya (misal, kejang) (Kumar et al., 2007) c. Ependimoma Manifestasi klinis tumor ini tergantung pada lokasi yang ditempatinya. Gejala utama berupa mulipel defisit saraf kranial seperti palsi N.VI dan N.VIII, penurunan pendengaran, dan sulit menelan. Ependimoma infratentorial mungkin hadir dengan tanda-tanda dan gejala hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial, seperti sakit kepala, mual, muntah dan pusing. Keterlibatan struktur fossa posterior dapat menyebabkan ataksia serebelar, gangguan visual, pusing dan paresis. Pasien dengan ependimoma supratentorial menunjukkan fokus defisit neurologis, kejang dan gejala hipertensi intrakranial. Pembesaran kepala dapat ditemui pada anak-anak di bawah usia dua tahun (Louis et al., 2007; Parker, MacDonald, & Vezina, 2010). d. Medulloblastoma Manifestasi
klinis
yang
timbul
termasuk
ataksia
trunkal,
gangguan berjalan, hipertensi intrakranial sekunder untuk gejala obstruksi aliran CSS dan lesu, sakit kepala dan muntah pada pagi hari (Louis et al., 2007). 2. Neoplasma Neuron a.Tumor sel ganglion Gejala bervariasi sesuai dengan ukuran dan lokasi tumor. Tumor di serebrum biasanya dikaitkan dengan riwayat kejang dengan durasi mulai dari satu bulan sampai 50 tahun sebelum diagnosis, dengan interval mean atau median durasi 6 – 25 tahun. Untuk tumor yang melibatkan batang otak atau sumsum tulang belakang, mean durasi
25
gejala sebelum diagnosis secara berturut-turut adalah 1,25 dan 1,4 tahun. Ganglioglioma maupun glangliositoma merupakan tumor yang paling sering berkaitan dengan epilepsi kronik lobus temporal (Louis et al., 2007). b.Tumor Neuroepitel Disembrioplastik (DNT) Pasien dengan DNT supratentorial biasanya datang dengan keluhan kejang parsial yang resistan terhadap obat, dengan atau tanpa generalisasi sekunder dan tidak ada defisit neurologis. Lamanya durasi kejang sebelum bedah intervensi dapat bervariasi dari hitungan minggu hingga dasawarsa, yang menyebabkan variabilitas dalam usia dari pasien di diagnosis patologis (Louis et al., 2007). 3. Neoplasma Interparenkim Primer a. Neoplasma Sel Granulativum Manifestasi klinis tumor sel germinal SSP dan durasinya bervariasi tergantung jenis histologis dan lokasi. Tumor wilayah pineal sering menekan dan menghambat cairan serebrospinal, sehingga
terjadi
hidrosefalus
progresif
dengan
hipertensi
intrakranial. Tumor sel germinal suprasellar biasanya terletak pada Chiasm optik, menyebabkan gangguan visual dan sering mengganggu sumbu hipotalamus-hipofisis (Louis et al., 2007). b. Hemangioblastoma Gejala umumnya muncul berupa gangguan aliran CSS karena kista tumor atau massa padat. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial
dan
hidrosefalus.
Hemangioblastoma
memproduksi erythropoietin, dan hal ini dapat menyebabkan polisitemia sekunder (Louis et al., 2007) 4. Meningioma Meningioma umumnya tumbuh lambat dan menghasilkan tanda dan gejala neurologis karena kompresi struktur yang berdekatan; defisit neurologis yang spesifik tergantung pada lokasi tumor. Sakit kepala
26
dan kejang sering menggambarkan munculnya meningioma (Louis et al., 2007).
E. Diagnostik
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan
dobel,
strabismus,
gangguan
keseimbangan,
kelumpuhan ekstremitas gerak, dsb), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi kognitif (National Cancer Institute, 2015). 2. Pemeriksaan status generalis dan status neurologis. a. Pemeriksaan Neurooftalmologi Kanker otak melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras pengllihatan dan gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa kanker otak dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor regio sella, tumor regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak. Pemeriksaan ini juga berguna untukmengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi) pada tumor-tumor tersebut (National Cancer Institute, 2015). b. Pemeriksaan Fungsi Luhur Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada kanker otak, khususnya pada tumor glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak, maupun mekanisme
27
tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi, atau radioterapi. Oleh karena itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional kanker otak, serta mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan sangat membantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan berdasarkan hendaya yang (National Cancer Institute, 2015). F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium Terutama untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi), yaitu: a.
Darah lengkap
b.
Hemostasis
c.
LDH
d.
Fungsi hati, ginjal, gula darah
e.
Serologi hepatitis B dan C
f.
Elektrolit lengkap
2. Pemeriksaan radiologis a.
CT Scan dengan kontras
b.
MRI dengan kontras, MRS, DWI
c.
PET CT (atas indikasi)
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI dengan kontras. CT scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menyingkirkan
28
diagnosis banding, demikian juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi (NCCN Clinical Practice Guidelines of Oncology,2015) 3. Pemeriksaan cairan serebrospinal Dapat
dilakukan
pemeriksaan
sitologi
dan
flowcytometry
untuk
menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat atau kecurigaan metastasis
leptomeningeal
atau
penyebaran
kraniospinal,
seperti
ependimoma (NCCN Clinical Practice Guidelines of Oncology,2015). G. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana Penurunan Tekanan intrakranial Pasien
dengan
kanker
otak
sering
datang
dalam
keadaan
neuroemergency akibat peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini terutama diakibatkan oleh efek desak ruang dari edema peritumoral atau edema difus, selain oleh ukuran massa yang besar atau ventrikulomegali karena obstruksi oleh massa tersebut. Edema serebri dapat disebabkan oleh efek tumor maupun terkait terapi, seperti pasca operasi atau radioterapi. Gejala yang muncul dapat berupa nyeri kepala, mual dan muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran (Castro et al, 2003). Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah dapat terlihat dalam 24-36 jam. Agen yang direkomendasikan adalah deksametason dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16-20mg/hari intravena lalu tappering off 2-16 mg (dalam dosis terbagi) bergantung pada klinis. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksamethason pada situasi yang berat, seperti pascaoperasi (Castro et al, 2003). Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stressulcer, miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan,
29
Cushingoid dan sebagainya. Sebagian besar dari efek samping tersebut bersifat reversible apabila steroid dihentikan Selain efek samping, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian steroid yakni interaksi obat. Kadar antikonvulsan serum dapat dipengaruhi oleh deksametason seperti fenitoin dan karbamazepin, sehingga membutuhkan monitoring. Pemberian deksametason dapat diturunkan secara bertahap, sebesar 25-50% dari dosis awal tiap 3-5 hari, tergantung dari klinis pasien. Pada pasien kanker otak metastasis yang sedang
menjalani
radioterapi,
pemberian
deksametason
bisa
diperpanjang hingga 7 hari (Castro et al, 2003). 2. Pembedahan Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel. Kanker otak yang terletak jauh di dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor. Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor (Rees & Jeremy, 2004). Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam. Pada operasi biopsi stereotaktik dilakukan penentuan lokasi target dengan komputer dan secara tiga dimensi (3D scanning). Pasien akan dipasang frame stereotaktik di kepala kemudian dilakukan CT scan. Hasil CT scan diolah dengan software planning untuk ditentukan koordinat target. Berdasarkan data ini, pada saat operasi akan dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu lubang (burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian jarum biopsi akan dimasukkan ke arah
30
tumor sesuai koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli patologi anatomi (Rees & Jeremy, 2004). Pada keadaan peningkatan tekanan intrakranial akibatn sumbaran cairan otak, dapat dilakukan pemasangan pirau ventrikuloperitoneal (VP shunt). Pada glioma derajat rendah dilakukan reseksi tumor secara maksimal dengan tujuan utama perbaikan gejala klinis. Pada pasien dengan total reseksi dan subtotal reseksi tanpa gejala yang mengganggu, maka cukup dilakukan follow up MRI setiap 3 – 6 bulan selama 5 tahun dan selanjutnya setiap tahun (Louis DN et al, 2007). Bila operasi tetap menimbulkan gejala yang tidak dapat dikontrol dengan obat simtomatik, maka radioterapi dan kemoterapi merupakan pilihan selanjutnya. Pada glioma derajat tinggi maka operasi dilanjutkan dengan radioterapi dan kemoterapi. Pilihan teknik anestesi untuk operasi intrakranial adalah anestesi umum untuk sebagian besar kasus, atau sedasi dalam dikombinasikan dengan blok kulit kepala untuk kraniotomi awake (sesuai indikasi) (Louis DN et al, 2007). 3. Radioterapi Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis kanker otak. Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai adjuvant pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery / radiotherapy, dan IMRT (Jaffe RA et al, 2014). 1. Low-Grade Gliomas (Grade I dan II) a. Volume tumor ditentukan dengan menggunakan imejing pre dan post-operasi, menggunakan MRI (T2 dan FLAIR) untuk gross tumor volume (GTV) b. Clinical Target Volume (CTV) = GTV ditambah margin 1-2 cm, mendapatkan dosis 45-54 Gy dengan 1,8 – 2Gy/fraksi
31
2. High-Grade Gliomas (Grade III dan IV) a. Volume tumor ditentukan menggunakan imejing pre dan postoperasi, menggunakan MRI (T1 dan FLAIR/T2) untuk gross tumor volume (GTV) b. Lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase c. Dosis yang direkomendasikan adalah 60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti 55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 Gy/fraksi dapat dilakukan jika volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma grade III d. Pada pasien dengan KPS yang buruk atau pada pasien usia tua, hipofraksinasi yang diakselerasi dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi yang digunakan antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40.5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi Kemoterapi sistemik dan terapi target (targeted therapy) Kemoterapi pada kasus kanker otak saat ini sudah banyak digunakan karena diketahui dapat memperpanjang survival rate dari pasien terutama pada kasus astrositoma derajat ganas.
Glioblastoma
merupakan
tipe
yang
bersifat
kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini sedang berkembang penelitian
mengenai
kegunaan
temozolomid
dan
nimotuzumab pada glioblastoma Jaffe RA et al, 2014). Sebelum
menggunakan
agen-agen
diatas,
harus
dilakukan
pemeriksaan: 1. EGFR (epidermal growth factor receptor). 2. MGMT (methyl guanine methyl transferase). Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal
32
mungkin. Kemoterapi biasa digunakan sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau radioterapi Jaffe RA et al, 2014). 4. Kemoterapi Intratekal Tatalaksana kanker otak dengan menggunakan kemoterapi seringkali terhambat akibat penetrasi kemoterapi sistemik yang rendah untuk menembus sawar darah otak. Pemberian kemoterapi intratekal merupakan salah satu upaya untuk memberikan agen antikanker langsung pada susunan saraf pusat. Kemoterapi intratekal dapat diberikan sebagai salah satu tatalaksana leptomeningeal metastasis pada keganasan darah, seperti leukemia dan limfoma. Tindakan ini dilakukan melalui prosedur lumbal pungsi atau menggunakan Omaya reservoir Jaffe RA et al, 2014). 5. Tatalaksana Nyeri Pada kanker otak, nyeri yang muncul biasanya adalah nyeri kepala. Berdasarkan patofisiologinya, tatalaksana nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker pada umumnya. Nyeri kepala akibat kanker otak bisa disebabkan akibat traksi langsung tumor terhadap reseptor nyeri di sekitarnya. Gejala klinis nyeri biasanya bersifat lokal atau radikular ke sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik. Pada kasus ini pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak menimbulkan efek sedasi atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker otak pada umumnya. Oleh karena itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20mg/berat badan perkali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih dominan, maka golongan antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti gabapentin 100-1200mg/hari, maksimal 3600mg/hari (Bozzeti F, 2013). Nyeri kepala tersering adalah akibat peningkatan tekanan intrakranial, yang jika bersifat akut terutama akibat edema peritumoral. Oleh karena itu tatalaksana utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan glukokortikoid seperti deksamethason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan derajat nyerinya (Bozzeti F, 2013).
33
6. Tatalaksana Kejang Epilepsi merupakan kelainan yang sering ditemukan pada pasien kanker otak. Tiga puluh persen pasien akan mengalami kejang sebagai manifestasi awal. Bentuk bangkitan yang paling sering pada pasien ini adalah bangkitan fokal dengan atau tanpa perubahan menjadi umum sekunder. Oleh karena tingginya tingkat rekurensi, maka seluruh pasien kanker otak yang mengalami kejang harus diberikan antikonvulsan. Pemilihan antikonvulsan ditentukan berdasarkan pertimbangan dari profil efek samping, interaksi obat dan biaya (Bozzeti F, 2013). Obat
antikonvulsan
yang
sering
diberikan
seperti
fenitoin
dan
karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat berinteraksi dengan obatobatan, seperti deksamethason dan kemoterapi. Alternatif lain mencakup levetiracetam, sodium valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin. Levetiracetam lebih dianjurkan (Level A) dan memiliki profil efek samping yang lebih baik dengan dosis antara 20-40 mg/kgBB, serta dapat digunakan pasca operasi kraniotomi (Bozzeti F, 2013). 7. Psikiatri Pasien dengan kanker otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, baik bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi, dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses
tatalaksana
terhadap
pasien.
Oleh
karena
itu,
diperlukan
pendampingan mulai dari menyampaikan informasi tentang diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan selanjutnya. Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan paliatif (Miller KR, 2013). 8. Penilaian Fungsional Menggunakan Karnofsky Performance Score, dinilai saat awal masuk dan saat keluar dari perawatan.
34
9. Perawatan Paliatif Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi paliatif dan dilakukan terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif (Miller KR, 2013).
35
Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana
H. Komplikasi 1. Ganguan Fungsi Luhur a.
Komplikasi tumor otak yang paling ditakuti selain kematian adalah gangguan fungsi luhur. Gangguan ini sering diistilahkan dengan gangguan
kognitif
dan
neurobehavior
sehubungan
dengan
kerusakan fungsi pada area otak yang ditumbuhi tumor atau terkena pembedahan maupun radioterapi. b.
Neurobehavior adalah keterkaitan perilaku dengan fungsi kognitif dan lokasi / lesi tertentu di otak. Pengaruh negatif tumor otak adalah gangguan fisik neurologist, gangguan kognitif, gangguan tidur dan mood, disfungsi seksual serta fatique.
36
c.
Gangguan kognitif yang dialami pasien tumor otak bisa dievaluasi dengan berbagai tes. Di antaranya adalah Sickness Impact Profile, Minesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI), dan Mini mental State Examination (MMSE). Komponen kognitif yang dievaluasi adalah kesadaran, orientasi lingkungan, level aktivitas, kemampuan bicara dan bahasa, memori dan kemampuan berpikir, emosional afeksi serta persepsi (Scanlon C, 2010).
2. GANGUAN WICARA a.
Gangguan wicara sering menjadi komplikasi pasien tumor otak. Dalam hal ini kita mengenal istilah disartria dan aphasia.
b.
Disartria adalah gangguan wicara karena kerusakan di otak atau neuromuscular perifer yang bertanggung jawab dalam proses bicara. Tiga langkah yang menjadi prinsip dalam terapi disartria adalah meningkatkan kemampuan verbal, mengoptimalkan fonasi, serta memperbaiki suara normal.
c.
Afasia merupakan gangguan bahasa, bisa berbentuk afasia motorik atau sensorik tergantung dari area pusat bahasa di otak yang mengalami
kerusakan.
Fungsi
bahasa
yang
terlibat
adalah
kelancaran (fluency), keterpaduan (komprehensi) dan pengulangan (repetitif). Pendekatan terapi untuk afasia meliputi perbaikan fungsi dalam
berkomunikasi,
lingkungan
dan
mengurangi
memastikan
ketergantungan
sinyal-sinyal
komunikasi
pada serta
menyediakan peralatan yang mendukung terapi dan metode alternatif. Terapi wicara terdiri atas dua komponen yaitu bicara prefocal dan latihan menelan (Scanlon C, 2010). 3. GANGUAN POLA MAKAN a.
Disfagi merupakan komplikasi lain dari penderita ini yaitu ketidakmampuan menelan makanan karena hilangnya refleks menelan. Gangguan bisa terjadi di fase oral, pharingeal atau oesophageal. Komplikasi ini akan menyebabkan terhambatnya asupan nutrisi bagi penderita serta berisiko aspirasi pula karena
37
muntahnya makanan ke paru. Etiologi yang mungkin adalah parese nervus glossopharynx dan nervus vagus. Bisa juga karena komplikasi radioterapi. b.
Diagnosis ditegakkan dengan videofluoroscopy. Gejala ini sering bersamaan dengan dispepsia karena space occupying process dan kemoterapi yang menyebabkan hilangnya selera makan serta iritasi lambung. Terapi untuk gejala ini adalah dengan sonde lambung untuk pemberian nutrisi enteral, stimulasi, dan modifikasi kepadatan makanan (makanan yang dipilih lebih cair/lunak) (Scanlon C, 2010).
4.
KELEMAHAN OTOT Kelemahan otot pada pasien tumor otak umumnya dan yang mengenai
saraf
khususnya
ditandai
dengan
hemiparesis,
paraparesis dan tetraparesis. Pendekatan terapi yang dilakukan menggunakan
prinsip
stimulasi
neuromusculer
dan
inhibisi
spastisitas. Cara lain adalah dengan EMG biofeedback, latihan kekuatan otot, koordinasi endurasi dan pergerakan sendi (Scanlon C, 2010). 5. GANGUAN PENGLIHATAN DAN PENDENGARAN a.
Tumor otak yang merusak saraf yang terhubung ke mata atau bagian dari otak yang memproses informasi visual (visual korteks) dapat menyebabkan masalah penglihatan, seperti penglihatan ganda atau penurunan lapang pandang.
b.
Tumor otak yang mempengaruhi saraf pendengaran - terutama neuromas akustik - dapat menyebabkan gangguan pendengaran di telinga pada sisi yang terlibat otak (Scanlon C, 2010).
38
DAFTAR PUSTAKA
American Brain Tumor Association (ABTA). 2012. About Brain Tumors a Primer for Patients and Caregivers. Chicago : ABTA. Pp. 76 – 78. Aryal G. 2011. Hystopatological pattern of central nervous system tumor : a three year retrospective study. Journal of Pathology of Nepal. 1: 22-25. Bozzeti F. Nutritional support of the oncology patient. Critical Reviews in Oncology/Hematology 2013;87:172-200 Castro, MG, Cowen, R, Williamson, IK, et al. Current and Future Strategies for the Treatment of Malignant Brain tumors. Elsevier science inc, 2003. Department of Essential Medicines and Pharmaceutical Policies – WHO. WHO guidelines on the pharmacological treatment of persisting pain in children with medical illnesses. WHO Press. Perancis. 2012. ESMO Guidelines Working Group. Clinical practice guidelines, Management of cancer pain: ESMO clinical practice guidelines. Annals of Oncology 23 (supplement7):vii139-vii154,2012 Jaffe
RA.,
Schmiesing
CA.,
Golianu
B.
Intracranial
Surgery,
pada
Anesthesiologist’s Manual of Surgical Procedures, ed. 5. Wolters Kluwer Health. Philadelphia. 2014 Katchy KC, Alexander S, Al-Nashmi NM, and Al-Ramadan A. 2013. Epidemiology of primary brain tumors in childhood and adolescence in Kuwait. Springer Plus. 2: 58. Kohler BA, Ward E, McCarthy BJ, Schymura MJ, Ries LA, Eheman C, Jemal A, Anderson RN, Ajani UA, Edwards BK. Annual report to the nation on the status of cancer, featuring tumors of the brain and other nervous system. J Natl Cancer Inst. 2011;103:714 – 736. Kumar, V., Cotran, R.S., dan Robbins S.L. 2007. Buku Ajar Patologi. Edisi 7; alih Bahasa, Brahm U, Pendt ;editor Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto, Nurwany Darmaniah, Nanda Wulandari.-ed.7-Jakarta: EGC.
39