BAB I PENDAHULUAN Tonsilitis Tonsilitis kronis merupakan merupakan penyakit yang yang paling sering sering terjadi terjadi pada tenggorokan tenggorokan terutama terutama pada usia muda. Penyakit Penyakit ini terjadi disebabkan disebabkan peradangan pada tonsil tonsil oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita penderita tonsilitis tonsilitis akut. Ketidaktepatan terapi antibiotik pada penderita tonsilitis akut akan merubah mikroflora pada tonsil, merubah struktur pada kripta tonsil dan adanya infeksi virus menjadi faktor predisposisi bahkan bahk an faktor penyebab terjadinya tonsilitis kronis. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh radang tenggorok yang berulang. Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak tangan, menghirup udara tetesan setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau berbagi peralatan atau sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan
remaja berusia 5-15
tahun yang paling mungkin untuk mendapatkan tonsilitis, tetapi dapat menyerang siapa saja. Hanya sekitar 30 % dari tonsilitis pada anak disebabkan oleh radang tenggorokan dan hanya 10% dari tonsilitis pada orang dewasa disebabkan oleh radang tenggorokan. Gejala klinik tonsilitis tonsilitis kronis adalah nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, kadang– kadang terasa seperti ada benda asing di tenggorok dimana mulut berbau, badan lesu, nafsu makan menurun, sakit kepala, dan badan terasa meriang–meriang.
1
BAB II LAPORAN KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI Nama Nama Maha Mahasis siswa wa
: Ste Stefan fanry ry Hari Hariyan yanto to (030. (030.08. 08.231 231)) : Ayunda Shinta Nurlailah (030.09.041) : Cynthia Ayu Permatasari (030.09.056)
`
: Maria Ulfa Noor Alika (030.09.144)
Dokter Pembimbi Pembimbing ng : dr. Satria Nugraha Nugraha W, Sp. THT-KL. THT-KL.
1.1 Identi Identitas tas
Nama
: An. Rezki
Usia
: 4 tahun & bulan
Jenis Jenis Kelamin Kelamin : Laki-Lak Laki-Lakii Agama
: Islam
Alamat
: Tambun
1.2 Anamne Anamnesis sis
1.2 1.2.1
1.2. 1.2.2 2
Keluha uhan Ut Utama ama
: Se Serin ring ba batuk pil pilek se sejak be berumur umur 3 se setenga engah h ta tahun
Keluhan Keluhan Tamb Tambahan ahan
: Tidur Tidur mengo mengorok rok dan dan sering sering terba terbangun ngun karen karenaa sulit sulit bernaf bernafas as
Riwa Riwaya yatt Peny Penyak akit it Sek Sekar aran ang g Pasien datang dengan keluhan sering batuk pilek sejak berumur 3 setengah tahun,
pasien mengaku saat batuk pilek muncul pasien sering ser ing merasa tenggorokannya tenggo rokannya mengganjal menggan jal dan sulit menelan, ibu pasien mengatakan batuk pilek bisa timbul 3 kali dalam sebulan dan merasa amandel pasien semakin membesar, selain itu ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien saat tidur sering mengorok dan sering terbangun karena sulit bernafas (gelagapan) dan cukup mengganggu.
2
1.2.3
Riwayat Penyakit Dahulu Ibu pasien mengatakan bahwa pasien sering mengalami batuk pilek sejak berumur
3,5 tahun, pasien juga memiliki riwayat kejang demam sampai 2 kali. kejang demam yang pasien alami terjadi pada saat pasien sedang sakit batuk pilek.
1.2.4
Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit serupa (-), alergi (-), asma(-), maag (-), hipertensi(-), diabetes
mellitus (-).
1.3 Pemeriksaan Fisik
1.3.1
1.3.2
Keadaan Umum & Tanda Vital a. Keadaan Umum
: Tampak Sakit Ringan
b. Kesadaran
: Kompos Mentis
Status Generalis a. Kepala
: Deformitas (-), Facies adenoid (-), Persebaran rambut merata
b. Mata
: Sklera ikterik -/- , konjungtiva anemis -/Refleks Cahaya Langsung +/+, Refleks Cahaya Tidak Langsung +/+
c. Leher
: Pembesaran kelenjar getah bening (-)
d. Thorax
: Dada simetris kanan-kiri, Retraksi (-)
Paru
: Suara Napas Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung
:Bunyi Jantung I/II Normal, Murmur (-), Gallop (-)
e. Abdomen
: Datar, Bising Usus (+) Normal, Supel, Nyeri Tekan (-) Organomegali (-)
f.
1.3.3
Ekstremitas
: Akral Hangat, Clubbing Finger (-)
Status Lokalis (THT) a. Pemeriksaan Telinga
Kanan Telinga Luar Normotia Hiperemis (-)
Kiri Daun Telinga Retroaurikular
Normotia Hiperemis (-) 3
Abses (-) Lapang Hiperemis (-) (-) (+) SDE
Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Abses (-) Liang Telinga Lapang/Sempit Warna epidermis Sekret Serumen Membran Timpani Pemeriksaan Fungsi Pendengaran Rine Weber Swabach Pemeriksaan
Fungsi
Lapang Hiperemis (-) (-) (+) SDE
Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Keseimbangan
b. Pemeriksaan Hidung Kanan
(-) (-) (-) (-) Lapang eutrofi eutrofi eutrofi Tenang Deviasi (-) (+) Tidak Dilakukan
Kiri Pemeriksaan Luar Deformitas Nyeri Tekan Dahi Pipi Krepitasi Rinoskopi Anterior Cavum Nasi Konka Inferior Konka Media Konka Superior Mukosa Septum Sekret Rhinoskopi Posterior
(-) (-) (-) (-) Lapang eutrofi eutrofi eutrofi Tenang Deviasi (-) (+) Tidak Dilakukan
c. Pemeriksaan Mulut dan orofaring Kanan
Tidak ada Merah muda Normoglossia Tidak ada Tidak ada Simetris Merah muda Tidak ada
Kiri Gigi karies Lidah Warna Bentuk Deviasi Tremor Arcus faring + uvula Simetris/tidak warna Bercak/eksudat
Tidak ada Merah muda Normoglossia Tidak ada Tidak ada Simetris Merah muda Tidak ada 4
Merah muda Tidak ada Tidak ada T3 Tidak hiperemis Tidak rata melebar Tidak ada Tidak hiperemis Tidak ada licin
Peritonsil Warna Edema Abses Tonsil Ukuran Warna Permukaan Kripta Detritus Dinding Faring Posterior Warna Jaringan granulasi Permukaan
Merah muda Tidak ada Tidak ada T2 Tidak hiperemis Tidak rata melebar Tidak ada Tidak hiperemis Tidak ada licin
1.4 Resume
Pasien laki-laki usia 4 tahun 7 bulan datang bersama ibunya, dengan keluhan sering batuk pilek sejak berumur 3 setengah tahun, pasien mengaku saat batuk pilek muncul pasien sering merasa sulit menelan, ibu pasien mengatakan batuk pilek bisa timbul 3 kali dalam sebulan dan merasa amandel pasien semakin membesar, selain itu ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien saat tidur sering mengorok dan sering terbangun karena sulit bernafas (gelagapan) dan cukup mengganggu. Pasien memiliki riwayat kejang demam dua kali sampai dirawat di rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan tonsil T3/T2 tidak hiperemis, kripta melebar, detritus (-). Pada pemeriksaan telinga didapatkan cerumen (+) pada kedua liang telinga. Setelah itu pasien dilakukan pemeriksaan laboraturium dan ditemukan Lab : LED 54 mm ; Leukosit 10,2 ribu/microliter ; Eosinofil 4 % ; Neutrofil Segment 46 % ; Limfosit 43% ; Hematokrit 35,9 % ; MCV ; 73,2 fL. Diagnosis pada pasien setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adalah Obstruksi Sleep Apneu, Tonsilitis Kronis, Hipertrofi Adenoid, dan Cerumen Probe. Tatalaksana pada pasien yaitu dilakukan Adenotonsilektomi dan diberikan pengobatan post operatif yaitu Ceftriaxon 1 x ½ gr dan Ketorolac 2 x ½ ampul. Pasien juga diharuskan diet lunak.
1.5 Diagnosis Kerja •
Tonsilitis Kronik
•
Suspek Hipertrofi Adenoid
•
Obstructive Sleep Apneu 5
•
Cerumen Probe
1.6 Diagnosis Banding •
Tonsilitis Akut
•
Tonsilofaringitis Kronis
1.7 Pemeriksaan Lanjutan •
Foto Polos Kepala Lateral (untuk melihat pembesaran adenoid)
1.8 Rencana Pengobatan •
Medikamentosa o
Pre-Op (Apabila pasien sedang mengalami eksaserbasi akut )
Cefixim 2 x 50 mg (dosis anak = 1,5-3mg/kgbb)
Metil prednisolon 3 x 2 tablet (dosis anak = 0,4-1,6/kgbb) antiinflamasi
Paracetamol
antibiotik
4 x 250 mg. (dosis anak = 120-250 mg)
analgesik
antipiretik o
•
Carbogliserin 5x5 tetes untuk melunakkan serumen sebelum di ekstraksi
Post-Op
Ceftriaxon 1 x ½ gr (dosis anak = 20-80 mg/kgbb)
Ketorolac 2 x ½ am (dosis anak = 0,5 mg/kgbb)
Non medika mentosa o
Pembedahan
o
Adenotonsilektomi
Edukasi (Post-op)
Diet Lunak
1.9 Prognosis
Ad Vitam
: Ad Bonam
Ad Sanationam
: Ad Bonam
Ad Functionam
: Ad Bonam
6
BAB III DISKUSI KASUS Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki usia 4 tahun 7 bulan dengan diagnosis Tonsilitis Kronik, Cerumen Probe, Obstructive Sleep Apneu, dan Suspek Hipertrofi Adenoid. Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dari anamnesis didapatkan secara allo anamnesis dari ibunya, dengan keluhan utama sering batuk pilek sejak berumur 3 setengah tahun, pasien mengaku saat batuk pilek muncul pasien sering merasa tenggorokannya mengganjal dan sulit menelan, ibu pasien mengatakan batuk pilek berulang dan bisa timbul 3 kali dalam sebulan dan merasa amandel pasien semakin membesar, selain itu ibu pasien juga mengatakan bahwa pasien saat tidur sering mengorok dan sering terbangun karena sulit bernafas (gelagapan) dan cukup mengganggu. Pasien memiliki riwayat kejang demam dua kali sampai dirawat di rumah sakit. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan tonsil T3/T2 tidak hiperemis, kripta melebar, detritus (-). Pada pemeriksaan telinga didapatkan cerumen (+) pada kedua liang telinga. Pada pemeriksaan kelenjar getah bening tidak terlihat Kelenjar Getah Bening yang membesar dan saat di palpasi tidak teraba kelenjar getah bening yang membesar. Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien di diagnosis kerja dengan Tonsilitis Kronik. Berdasarkan teori, peradangan yang berulang pada tonsil akan menyebabkan epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis yang selanjutnya pada proses penyembuhan akan terbentuk jaringan parut yang menyebabkan muara kripta melebar. Hal ini sesuai dengan riwayat pada pasien dan hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan.
7
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba Eustachius.1
A. Tonsil Palatina1,2
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masingmasing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: •
Lateral – muskulus konstriktor faring superior
•
Anterior – muskulus palatoglosus
•
Posterior – muskulus palatofaringeus
•
Superior – palatum mole
•
Inferior – tonsil lingual Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi
invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan
8
tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal Fosa Tonsil1,2
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal.
Pendarahan1,2,3
Tonsil mendapat pendarahan dari cabangcabang arteri karotis
eksterna, yaitu 1) arteri
maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal
Aliran getah bening1,2
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan1,2
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. 9
Imunologi Tonsil1,2
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel limfoid. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
B.
Tonsil Faringeal (Adenoid)
2
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi.
C. Tonsil Lingual1,2
STonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata
10
TONSILITIS AKUT A. DEFINISI
Tonsilitis akut merupakan infeksi tonsil akut yang menimbulkan demam, lemah, nyeri tenggorokan dan gangguan menelan, dengan gejala dan tanda setempat yang radang akut.1 Tonsilitis akut paling sering menyerang anakanak terutama yang berusia 5 sampai 10 tahun tetapi sekarang tidak jarang ditemukan pada usia dewasa. Penyebarannya dapat melalui droplet infection, tangan, dan berciuman.
B. ETIOLOGI
Tonsilitis akut paling sering disebabkan oleh bakteri Streptokokus beta hemolitikus group A.1 Namun ada juga yang disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Streptococcus pneumonia, Staphylococcus, dan Tuberculosis.4 kadang-kadang bakteri streptokokus nonhemolitikus atau streptococcus viridians ditemukan dalam biakan, biasanya pada kasuskasus berat. Streptokokus non-hemolitikus atau streptococcus viridians mungkin dibiakan dari tenggorokan orang yang sehat, khususnya pada musim dingin, dan pada saat epidemi infeksi pernapasan akut.1 Tonsilitis akut dapat juga disebabkan oleh virus, yang paling sering adalah Epstein Barr virus. Virus lain yang juga dapat menyebabkan tonsilitis adalah hemofilus influenza dan virus coxschakie.5
C. GEJALA
Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorokan dan nyeri sewaktu menelan, demam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui N.IX.5 Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis, dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membran semu. Kelenjar submandibula membengkak dan nyeri tekan.5 Ismus fausium tampak menyempit. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak udem dan hiperemis.1
11
D. TERAPI
Tonsilitis akut termasuk penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya (selflimiting disease) terutama pada pasien yang mempunyai daya tahan tubuh yang baik. Namun karena penyebab terbanyaknya disebabkan oleh bakteri maka sering diberikan antibiotic spectrum luas seperti golongan penicillin. Pada anak-anak difokuskan pada tirah baring dan asupan cairan. Obat lain diberikan untuk menangani gejala simptomatinya, seperti diberikan analgesic dan antipiretik.1 Efektifitas penggunaan obat kumur masih dipertanyakan karena pada aplikasinya cairan berkontak dengan dinding faring dan sedikit mengenai tonsila palatina. Pasien sebaiknya diberi petunjuk untuk menggunakan tiga gelas penuh cairan obat kumur setiap 2 jam. Ini dmaksudkan agar dapat mengurangi rasa sakit dan pembengkakan.4
E. KOMPLIKASI
Pada anak seringkali menimbulkan otitis media akut, sinusitis, abses peritonsil, abses parafaring, bronchitis, GNA, miokarditis, arthritis serta septicemia. Akibat hipertrofi tonsil akan menyebabkan pasien bernafas melalui mulut, tidur mendengkur (ngorok), gangguan tidur dikarenakan sleep apnea.5
12
TONSILITIS KRONIK A. DEFINISI
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Terjadinya perubahan
histologi pada tonsil, dan terdapatnya
jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.1 Mikroabses pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit. Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh dari sumber infeksi.6 Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.7 Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus.
B. ETIOLOGI
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) atau karena tonsilitis akut yang tidak diobati dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama yang terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif. Dari hasil penelitian Suyitno dan Sadeli (1995) : Streptokokus alfa merupakan penyebab tersering dan diikuti Stafilokokus aureus, Streptokokus beta hemolitikus grup A,
13
Stafilokokus epidermis dan kuman gram negatif yaitu enterobakter, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella dan E. coli yang didapat ketika dilakukan kultur apusan tenggorok.2
C. FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa faktor predisposisi timbulnya kejadian Tonsilitis Kronis, yaitu :2 •
Rangsangan kronis (rokok, makanan)
•
Higiene mulut yang buruk
•
Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah- ubah)
•
Alergi (iritasi kronis dari allergen)
•
Keadaan umum (kurang gizi, kelelahan fisik)
•
Pengobatan Tonsilitis Akut yang tidak adekuat
D. PATOFISIOLOGI
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena infeksi akibat dari penjagaan higiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-faktor lain, maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh kuman-kuman semuanya, akibat kuman yang bersarang di tonsil dan akan menimbulkan peradangan tonsil yang kronik. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi.8 Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena proses radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh Detr itus (ak umul asi epit el yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsil aris. Sewaktu-waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.2
14
E. MANIFESTASI KLINIS
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis ak ut y an g b er ul an g u la ng , a da ny a r as a s ak it ( ny er i) y an g t er us -m en er us p ad a tenggorokan (odinofagi), nyeri waktu menelan atau ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan pernafasan berbau.2 Tonsila akan memperlihatkan berbagai derajat hipertrofi dan dapat bertemu di garis tengah. Nafas penderita bersifat ofensif dan kalau terdapat hipertrofi yang hebat, mungkin terdapat obstruksi yang cukup besar pada saluran pernafasan bagian atas yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal.
F. PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari Tonsilitis Kronis yang mungkin tampak, yakni : 1. Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan sekitar, kripta yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti keju. 2. Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripta yang melebar dan ditutupi eksudat yang purulen.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : 2 T0 : Tonsil masuk di dalam fossa T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T2: 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
Atau Ukuran tonsil pada tonsilitis kronik dapat membesar (hipertrofi) atau atrofi. Pembesaran tonsil dapat dinyatakan dalam ukuran T1 – T4. Cody& Thane (1993) membagi pembesaran tonsil dalam ukuran berikut : 15
T1 = batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior uvula T2= batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula T3= batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula T4= batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula atau lebih.
G. DIAGNOSIS
Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut: 1. Anamnesa Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada leher. 2. Pemeriksaan Fisik Tampak tonsil membesar dengan adanya hipertrofi dan jaringan parut. Sebagian kripta mengalami stenosis, tapi eksudat (purulen) dapat diperlihatkan dari kripta-kripta tersebut. Pada beberapa kasus, kripta membesar, dan suatu bahan seperti keju atau dempul amat banyak terlihat pada kripta. Gambaran klinis yang lain yang sering adalah dari tonsil yang kecil, biasanya membuat lekukan, tepinya hiperemis dan sejumlah kecil sekret purulen yang tipis terlihat pada kripta. 3. Pemeriksaan Penunjang 16
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus, Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.2
H. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai berikut :1,2 1.
Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa) a. Tonsilitis Difteri Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi tiga golongan besar, umum, lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan pada ginjal dapat menimbulkan albuminuria. b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa) Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39˚C), nyeri di mulut, gigi dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang berbau ( foetor ex ore) dan kelenjar submandibula membesar. c. Mononukleosis Infeksiosa Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membran semu yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan regio inguinal. Gambaran darah khas, yaitu terdapat leukosit 17
mononukleosis dalam jumlah besar. Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).
2.
Penyakit Kronik Faring Granulomatus a. Faringitis Tuberkulosis Merupakan proses sekunder dari TBC paru. Keadaan umum pasien adalah buruk karena anoreksi dan odinofagi. Pasien juga mengeluh nyeri hebat di tenggorok, nyeri di telinga (otalgia) dan pembesaran kelenjar limfa leher. b. Faringitis Luetika Gambaran klinis tergantung dari stadium penyakit primer, sekunder atau tersier. Pada penyakit ini dapat terjadi ulserasi superfisial yang sembuh disertai pembentukan jaringan ikat. Sekuele dari gumma bisa mengakibatkan perforasi palatum mole dan pilar tonsil. c. Lepra ( Lues) Penyakit ini dapat menimbulkan nodul atau ulserasi pada faring kemudian menyembuh dan disertai dengan kehilangan jaringan yang luas dan timbulnya jaringan ikat. d. Aktinomikosis Faring Terjadi akibat pembengkakan mukosa yang tidak luas, tidak nyeri, bisa mengalami ulseasi dan proses supuratif. Blastomikosis dapat mengakibatkan ulserasi faring yang ireguler, superfisial, dengan dasar jaringan granulasi yang lunak.
Penyakit-penyakit diatas umumnya memiliki keluhan berhubungan dengan nyeri tenggorokan (odinofagi) dan kesulitan menelan (disfagi). Diagnosa pasti berdasarkan pada pemeriksaan serologi, hapusan jaringan atau kultur, foto X-ray dan biopsi jaringan.
I. KOMPLIKASI
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut : 2 1. Komplikasi sekitar tonsila •
Peritonsilitis: Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya trismus dan abses. 18
•
Abses Peritonsilar (Quinsy): Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
•
Abses Parafaringeal: Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
•
Abses
Retrofaring: Merupakan
pengumpulan
pus
dalam
ruang
retrofaring. Biasanya terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfe. •
Kista Tonsil: Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
•
Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil): Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.
2. Komplikasi Organ jauh
J.
•
Demam rematik dan penyakit jantung rematik
•
Glomerulonefritis
•
Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
•
Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
•
Artritis dan fibrositis.
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
Tonsilitis yang disebabkan oleh virus harus ditangani secara simptomatik. Obat kumur, analgetik, dan antipiretik biasanya dapat membantu. Gejala-gejala yang timbul biasanya akan hilang sendiri. Tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus perlu diobati dengan penisilin V secara oral, cefalosporin, makrolid, klindamicin, atau injeksi secara intramuskular penisilin benzatin G. Terapi yang menggunakan penisilin mungkin gagal (623%), oleh karena itu penggunaan antibiotik tambahan mungkin akan berguna. 1,2,3 19
Operatif
Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pasa pasien dengan tonsilitis kronik, yaitu berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.1
Indikasi Tonsilektomi
Menurut American Academy of Otolaryngology – Head and Neck Surgery (AAOHNS) (1995), indikator klinis untuk prosedur surgikal adalah seperti berikut:
Indikasi Absolut •
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
•
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
•
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
•
Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi
Indikasi Relatif
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik beta-laktamase resisten Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik 20
Obstruksi nasofaringeal dan orofaringeal yang berat sehingga boleh mengakibatkan terjadinya gangguan apnea ketika tidur merupakan indikasi absolute untuk surgery. Pada kasus yang ekstrim, obstructive sleep apnea ini boleh menyebabkan
HIPERTROFI ADENOID A. DEFINISI
A de no i d
m er up ak a n
p em be sa r an
j ar in ga n
l im fo id
p ad a
d in di ng
pos terior dari nasofaring dan termas uk dalam cincin Waldeyer sebagai salah s a tu d a ri s i st e m p r ta h an a n t u bu h . S e ca r a f i si o lo g is a d en o id m e ng a la mi hipertrofi pada masa anak-anak biasanya terlihat pada anak usia 3 tahun, lalu akan mengalami resolusi spontan dan menghilang pada usia sekitar 14 t a h u n. A p a b i la s e r i n g t e r j a di i n f e ks i s a l u ra n n a f a s b a g i a n a t a s m a k a d a p a t terjadi hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana da n su mb at an pada mulut tuba eustachius B. ETIOLOGI
Adenoid adalah pembesaran subepitelial dari limfosit pada minggu ke 16 kehamilan. Normalnya, pada saat lahir pada nasofaring dan adenoid banyak di temukan organisme dan terdapat pada bagian atas saluran pernafasan yang mulai aktif sesaat setelah lahir. Organisme-organisme tersebut adalah lactobacillus, streptococcus anaerobik, actynomycosis, lusobacteriurn dan nocardia mulai berkembang. Flora normal yang ditemukan pada adenoid antara lain alfa-hemolytic streptococcus,
euterococcus,
corynebacterium,
staphylococcus,
neissria,
micrococcus dan stomatococcus. Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menyebabkan gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA. C. GEJALA
Pasien dengan adenoid hipertrofi biasanya datang dengan keluhan rhinore, kualitas suara yang berkurang (hiponasal), dan obstruksi nasal berupa pernapasan
21
lewat mulut yang kronis (chronic mouth breathing), mendengkur, bisa terjadi gangguan tidur (obstructive sleep apnea), tuli konduktif (merupakan penyakit sekunder otitis media rekuren atau efusi telinga tengah yang persisten) dan muka adenoid.(1,2,5) D. TATALAKSANA
Tidak ada bukti yang mendukung bahwa adanya pengobatan medis untuk infeksi kronis adenoid, pengobatan dengan menggunakan antibiotik sistemik dalam jangka waktu yang panjang untuk infeksi jaringan limfoid tidak berhasil membunuh bakteri. Sebenarnya, banyak kuman yang mengalami resistensi pada penggunaan antibiotik jangka panjang. Beberapa penelitian menerangkan manfaat dengan menggunakan steroid pada anak dengan hipertrofi adenoid. Penelitian menujukkan bahwa selagi menggunakan pengobatan dapat mengecilkan adenoid (sampai 10%). Tetapi jika pengobatan tersebut itu dihentikan adenoid tersebut akan terulang lagi. Pada anak dengan efusi telinga tengah yang persisten atau otitis media yang rekuren, adeinoidektomi meminimalkan terjadinya rekuren. Indikasi adenoidektomi adalah : a. Sumbatan • Sumbatan hidung yang menyebabkan bernafas melalui mulut • Sleep apnea • Gangguan menelan • Gangguan berbicara • Kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid face) b. Infeksi • Adenoiditis berulang/kronik • Otitis media efusi berulang/kronik • Otitis media akut berulang c. Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
22
BAB V KESIMPULAN
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berfungsi sebagai filter/penyaring menyelimuti organisme yang berbahaya. Bila tonsil sudah tidak dapat menahan infeksi dari bakteri atau virus tersebut maka akan timbul tonsilitis. Tonsilitis adalah suatu proses inflamasi atau peradangan pada tonsil yang disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Tonsilitis Kronis adalah peradangan kronis Tonsil setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus. Secara klinis pada tonsilitis kronik didapatkan gejala berupa nyeri tenggorok atau nyeri telan ringan, mulut berbau, badan lesu, sering mengantuk, nafsu makan menurun, nyeri kepala dan badan terasa meriang. Pengobatan pasti untuk tonsilitis kronis adalah pembedahan pengangkatan tonsil (Adenotonsilektomi). Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana penatalaksanaan medis atau terapi konservatif yang gagal untuk meringankan gejala-gejala. Indikasi tonsilektomi pada tonsilitis kronik adalah jika sebagai fokus infeksi, kualitas hidup menurun dan menimbulkan rasa tidak nyaman.
23
DAFTAR PUSTAKA 1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed. Penyakit penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. pg: 330-44. 2. Soepardi EA, et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. pg:212-25. 3. Caparas MB, Lim MG. Basic Otolaryngology. Publication of comittee of the college of Medicine: University of the Philippines. 1998. pg: 149-59. 4. Lee, K.J., 2003, Essential Otolaryngology: Head and Neck Surgery, Eight Edition, McGraw-Hill Company: New York, Page. 452. 5. Rusmarjono, Efiaty A.S. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid . Dalam : Arsyad E, Iskandar N, Editor. Telinga, Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi Keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal. 217-225 6. Jackson C. Disease of the nose, throat and ear. 2nd ed. Philadelphia: WB Sunders Co. 1959. pg: 239-59. 7. Lee, K.J. MD. Essential Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2003. McGrawHill. 8. Robertson,
J.S. 2004.
Journal
of
Tonsilitis.
Available
at:
http://www.emedicine.com. Accessed on: April 2012.
24