CRITICAL JURNAL REVIEW
1. Judul Jurnal
Samsuri, Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan Era Reformasi Di Indonesia. Cakrawala Pendidikan, Juni 2011, Th. XXX, No. 2, Halaman 261-281
2. Pendahuluan
Pembaharuan Pendidikan Kewarganegaraan telah bergeser kepada paradigma pembentukan warga negara demokratis sebagaimana idealitas universal dari misi pendidikan
kewarganegaraan.
Sebagaimana
telah
diketahui,
bahwa
paradigma
kewarganegaraan di Indonesia selama lebih dari tiga dekade era orde baru lebih banyak menitikberatkan kepada pembentukan karakter kepatuhan warga negara (siswa) terhadap tafsir resmi rezim politik. Artikel ini mengkaji politik kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan era reformasi di Indonesia. Sebagaimana pendapat Cogan (1998:5) tentang pertautan antara Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia sebelum dan selama Orde baru mencerminkan kepentingan kekuasaan yang cenderung menjadi indoktrinasi dan pembentukan ideologi hegemoni dari pada aspek pendidikan itu sendiri. Artikel ini juga mengkaji kebijakan standar isi Pendidikan Kewarganegaraan berdasar pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No.22 Tahun 2006 tentang standar isi untuk satuan pendidikan Dasar dan Menengah.
3.
Ringkasan Isi Jurnal
Sejalan
dengan
tuntutan
global
terhadap
peran
penting
pendidikan
kewarganegaraan, Indonesia telah mengalami pergeseran paradigmatik pendidikan kewarganegaraan. Paradigma baru ini memfokuskan diri pada upaya untuk membentuk peserta didik sebagai masyarakat kewargaan (civil society) dengan memberdayakan warga negara melalui proses pendidikan agar dapat berpartisipasi aktif dalam sistem pemerrintahan negara yang demokratis (Muchson,2004:32). Sehubungan dengan paradigma baru itu, kajian pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk para peserta didik agar memiliki kompetensi sebagai “warga negara yang baik” dalam hal (1) civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan); (2) civic skills (keterampilan
kewarganegaraan); dan (3) civic dispositions (karakter kewarganegaraan) (Muchson, 2004:33). Kajian pendidikan kewaerganegaraan yang mulai diperkenalkan menjelang 2004 (KBK) oleh banyak kalangan dinilai sangat ke ring dengan muatan nilai moral, khususnya nilai moral pancasila, namun sarat dengan kajian konsep-konsep politik dan hukum. Sebelum KBK, mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dalam PMP ataupun PPKn didominasi oleh materi nilai-nilai moral pancasila, hal ini menggambarkan PMP atau PPKn lebih merupakan pendidikan Budi Pekerti bukan seperti tujuan PKn yang sebenarnya. Cakupan subtansi kajian dan kompetensi kewarganegaraan yang diharapkan dari PKn itu sendiri, yaitu pembentukan warganegara yang baik ( good citizen) dalam warga negara demokratis yang bertanggung jawab dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan sistem politik negaranya. UU Sisdiknas 2003 sebagaimana UU sisdiknas 1989 mendudukan posisi PKn sebagai mata kajian pengembangan kepribadian mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, bersama-sama dengan mata pelajaran agama dan bahasa. Berbeda dengan UU sisdiknas 1989 yang selain mencantumkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, maka dalam UU sisdiknas 2003 tidak ada lagi nama mata pelajaran pendidikan Pancasila, tetapi hanya Pendidikan Kewarganegaraan. Standar isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana tampak dalam lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 22 Tahun 2006 memberikan pemaknaan sebagai berikut. Pertama, orientasi Pendidikan Kewarganegaraan telah berpijak kepada kajian antardisiplin yang jelas, yaitu bidang politik, hukum, dan moral (Pancasila). Kedua, akibat dari pengkajian Pendidikan Kewarganegaraan yang mengacu kepada standar keilmuan yang umum berlaku sebagai Pendidikan Kewarganegaraan di negaranegara demokratis ialah bahwa standar isi kajian tidak lagi bergantung pada pergantian rezim. Ketiga, akibat lain dari pengkajian Pendidikan Kewarganegaraan yang mengacu kepada standar keilmuan ialah makin jelas siapa saja yang berhak melakukan proses pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di sekolah. Reformasi Pendidikan Kewarganegaran dapat dimaknai sebagai titik temu kepentingan dua hal. Secara internal, perubahan politik melalui gerakan reformasi Critical Jurnal Review
nasional telah mendorong pembaharuan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari gerakan reformasi pendidikan nasional secara keseluruhan. Pilihan reformasi Pendidikan Kewarganegaraan tidak semata-mata merubah paradigma kajian yang menekankan kepada penguasaan subject matters yang dominan aspek afektif, tetapi bergeser (berganti) kepada paradigma kajian yang menekankan kepada penguasaan kompetensi kewarganegaraan bagi para siswa meliputi aspek pengetahuan (materi kajian), aspek keterampilan/kecakapan dan aspek perilaku. Secara eksternal, wacana penguatan masyarakat kewargaan pasca-Perang Dingin di sejumlah negara bekas komunis di Eropa Timur ataupun rezim otoriter di Afrika Selatan telah mendorong perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai cara membentuk warga negara demokratis. 4. Analisis
Pembahasan dalam jurnal yang di tulis Samsuri tentang Kebijakan Pendidikan Kewarganegaraan Era Reformasi di Indonesia memaparkan sejarah bagaimana kebijakan terkait dengan kedudukan PKn sebagai mata pelajaran yang dapat memberikan pendidikan karakter di Indonesia untuk mewujudkan the good citizenship (warga negara yang baik). Kritik yang dominan terhadap Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan ialah sedikitnya kajian Pancasila yang dilakukan secara eksplisit di kelas. Setelah pencabutan Ketetapan MPR tentang P4, kajian Pancasila dalam pendidikan kewarganegaraan di Indonesia telah menimbulkan persoalan. Kajian Pancasila yang kering sejak awal tampaknya sudah disadari, meski sudah ada dalam SI Pendidikan Kewarganegaraan itu sendiri. Kritik yang acapkali muncul terhadap SI Pendidikan Kewarganegaraan antara lain bagian kajian Pancasila secara eksplisit. Dari delapan ruang lingkup kajian PKn, materi Pancasila merupakan salah topik yang dibahas tersendiri mulai sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Upaya menghilangkan kajian Pancasila dalam Standart Isi Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sesuatu yang mustahil, hal yang absurd . Persoalannya bukan kepada seberapa eksplisit Pancasila ditonjol-tonjolkan sebagai materi Pendidikan Kewarganegaraan. Namun, sebarapa fungsional Pancasila sebagai great ought kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi ruh dan jiwa pendidikan kewarganegaraan itu sendiri
di Indonesia, untuk membedakannya dengan model sebelumnya di masa Orde Baru. Dengan demikian, Pancasila sebagai dasar negara betul-betul bermakna. Dari sinilah, pengembangan SI Pendidikan Kewarganegaraan menjadikan Pancasila sebagai pancaran nilai yang aktual dan fungsional, tidak semata-mata menjadi rumusan normatif, dalam berbagai topik, meskipun ada satu topik khusus tentang Pancasila itu sendiri. Disini penulis sepakat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan bukan hanya sebagai pendidikan budi pekerti saja tetapi juga melainkan pendidikan politik dan hukum. Dalam tulisan tersebut beliau berargumentasi bahwa UU Sisdiknas 2003 sudah benar dan tepat tidak mencantumkan Pancasila di belakang kata pendidikan yang mana dapat menurunkan posisi Pancasila sebagai dasar negara, yang tidak boleh di reduksi sebagai pelabelan-pelabelan, apabila kita cermati dari argumen tersebut memang jika kita berbicara masalah PKn tentu tidak lepas dari dasar sistem politik (di Indonesia “Pancasila”), PKn yang ada di Indonesia sudah pasti yang menjadi pijakan dasarnya adalah Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Terkait dengan kebijakan kurikulum pendidikan kewarganegaraan, kurikulum sekolah tidaklah netral karena merupakan hasil interaksi antara pemerintah, masyarakat dan pendidik professional yang saling memperebutkan pengaruh kepentingan. Pernyataan ini menjadi relevan ketika menyimak perjalanan pendidikan kewarganegaraan yang dikembangkan sesuai dengan kepentingan terutama pemerintah, di sejumlah negara. Kepentingan
pemerintah
dalam
kebijakan
pendidikan,
khususnya
pendidikan
kewarganegaraan, menjadikan bobot dan penempatannya dalam kurikulum sekolah menjadi berbeda-beda di setiap negara. Dengan demikian perlu adanya penegasan tujuan PKn yang selalu disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, maksudnya bukan hanya membangun warga negara yang baik ( good citizen) semata melainkan juga membentuk warga negara yang cerdas (smart citizen) dalam menghadapi permasalahan lingkungan kehidupannya. Warga negara bisa dikatakan baik dan cerdas apabila ia memiliki civic knowledge (pengetahuan/penalaran kewarganegaraan), civic skills (keterampilan kewarganegaraan), civic dispositions (sikap/watak kewarganegaraan), civic confidence (keyakinan diri
Critical Jurnal Review
kewarganegaraan),
civic
commitment (komitmen
competence (kemampuan kewarganegaraan).
kewarganegaraan),
dan
civic