Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem munologis yang menyebabkan kerusakan multi organ . Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri.
Klasifikasi Lupus Eritematosus
Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu: 1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe : a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi: 1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus 2) Oral Discoid lupus Erythematosus 3) Lupus Erythematosus panniculitis b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE) 2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE) 3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE) Menurut European Assosiation of Oral Medicine lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi: 1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) 2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 3. Bullous form 4. Neonatal form (NLE) 5. Acute Cutaneous form (ACLE) 6. Subacute Cutaneous form (SCLE) 7. Chronic Cutaneous form (CCLE) 8. Childhood onset (CSLE) 9. Drug Induced (DILE)
Epidemiologi Lupus Eritematosus
Lupus Erithematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan antara 70.000-1.500.000 70.000-1.500. 000 orang mengidap lupus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak disbanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun. SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia, Hispanik, dan dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi ratarata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orangper tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat menjadi sukar dipahami Etiologi Lupus Eritematosus
Etiologi lupus eritematosus, seperti halnya penyakit autoimun lain, adalah tidak diketahui . Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Teori lainnya menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA. Faktor-faktor seperti paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus eritematosus sistemik. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA ( Human Leucocyte Antigen) / MHC ( Major Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus
eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody. Patogenesis Lupus Eritematosus
Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus, yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC ( Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari patogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan. MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS PADA RONGGA MULUT
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada lupus eritematosus, seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum, mukosa bukal, dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa sakit.
Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Infiltrasi limfosit kelenjar saliva minor ditemukan pada 50-75% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya rasa kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate yang tidak terstimulasi menurun pada banyak penderita lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrome. Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa aphtae ( canker sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis aphtous rekuren. Lesi
ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya berukuran kecil ( kurang dari 1 cm), terasa sakit, dapat ditemukan pada mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih besar, dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai plak berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus.
Lesi mirip lichen planus
Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa lesi herpes simplex labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil blister pada bibir dan gusi. Lesi ada selama dua sampai empat minggu, dapat sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus eritematosus mendapatkan terapi imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering yaitu hampir setiap bulan. Lesi non spesifik lainnya adalah Steven – Jhonson’s – Jhonson’s Syndrome (SJS). Penyakit ini merupakan komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS dipicu oleh obatobatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan, dan obat pain killer . Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital, dn kulit biasanya dua sampai empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada kulit disebut ”target” karena adanya konfigurasi melingkar. Bila lesi ini bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit.
Lesi harpes simplex
Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan thrush, yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putih-merah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut. Lesi biasanya asimtomatik, tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan kesulitan menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi imunosupresif adalah kanker pada mukosa seperti karsinoma sel skuamosa, yang mempengaruhi kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak putih (leukoplakia) atau plak merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah.
Lesi precancer leukoplakia