BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Informasi perkembangan kependudukan merupakan informasi strategis dan sangat dibutuhkan
oleh
berbagai
pihak.
Dalam
menentukan
kebijakan
dan
perencanaan
pembangunan, pemerintah memperhatikan informasi ini. Demikian juga para pelaku bisnis, dalam merencanakan strategi pengembangan usahanya juga menggunakan informasi kepndudukan. Adanya UU No. 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan telah memperkokoh upaya pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana dalam mendukung pembangunan nasional jangka panjang menuju penduduk tumbuh seimbang 2015 dan mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera. Undang-undang No. 52 Tahun Tahun 2009 2009 juga memberikan gambaran gambaran bahwa
aspek-aspek
kependudukan secara fungsional mambentuk satu kesatuan ekosistem. Dengan demikian arah kebijakan pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan senantiasa memperhatikan aspek kependudukan atau sering dikenal dengan sebutan ”pem bangunan ”pem bangunan berwawasan kependudukan dan berkelanjutan”, berkelanjutan” , yang mana kebijakan ini perlu didukung dengan kebijakan yang menyangkut pengendalian penduduk. Pada saat ini diharapkan terjadi pergeseran paradigma yang mengedepankan pola pembangunan yang berwawasan kependudukan. Pembangunan yang demikian mengandung dua makna, pertama: pembangunan pertama: pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan kondisi penduduk yang ada; kedua: kedua: pembangunan sumber daya manusia, yaitu pembangunan yang lebih menekankan kualitas sumber daya manusia dibandingkan peningkatan infrastruktur semata. Kedepan perencanaan pembangunan maupun implementasinya tidak dapat lagi mengabaikan peran penduduk sebagai objek maupun subjek atau agen pembangunan. pembangunan. Berkaitan dengan tugas dan fungsinya tersebut, serta agar dapat memberikan gambaran informasi yang akurat berkaitan berkaita n dengan demografi kependudukan bagi pihak-pihak yang terkait dan masyarakat pada umumnya, maka dilakukan penyusunan buku profil kependudukan.
1
1.2 Tujuan
memberikan gambaran informasi yang akurat berkaitan dengan demografi kependudukan serta perkembangan kependudukan di Jawa Timur sampai dengan tahun 2010 bagi pihak pihak yang terkait dan masyarakat pada umumnya. umumnya.
1.3 LANDASAN HUKUM
Undang-Undang Dasar tahun 1945;
Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional;
Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025;
Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga;
Perpres No. 62 tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;
Perka BKKBN No. 72 tahun 2011 tentang Struktur Kelembagaan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;
Perka BKKBN No. 82 tahun 2011 tentang Struktur Kelembagaan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi
2
BAB II JUMLAH, KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI PENDUDUK
Jumlah penduduk di suatu wilayah pada tahun tertentu dipengaruhi oleh tiga komponen demografi yaitu kelahiran (birth), (birth), kematian (death) (death) dan perpindahan penduduk (migration). Kelahiran (migration). Kelahiran yang terjadi akan bersifat penambahan sedang kematian akan bersifat pengurang terhadap jumlah penduduk. Begitu pula halnya dengan migrasi, jumlah penduduk yang masuk bersifat penambahan dan penduduk yang keluar bersi fat pengurang.
2.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Penduduk Provinsi Jawa Timur dari waktu ke waktu terus bertambah. Pertambahan penduduk ini sudah tentu membawa konsekuensi penyediaan fasilitas umum yang memadai dan kesempatan kerja yang menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduk. Sebagaimana tabel dibawah, dapat dilihat bahwa pada sensus penduduk tahun 1980 penduduk Jawa Timur berjumlah 29.188.852 jiwa, dan setelah sepuluh tahun pada sensus penduduk tahun 1990 penduduk Jawa Timur meningkat menjadi 32.503.815 jiwa atau terdapat peningkatan rata-rata sebesar 1,08% per p er tahun. Pada pelaksanaan sensus berikutnya (2000) penduduk Jawa Timur telah bertambah menjadi 34.765.998 jiwa atau terjadi peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 0,70% pertahun. Pada pelaksanaan Sensus Penduduk 2010 penduduk Jawa Timur telah bertambah menjadi 37.476.757 jiwa atau terjadi peningkatan jumlah penduduk rata-rata sebesar 0,76% pertahun. Tabel 1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk Jawa Timur Tahun 1980-2010 Sumber Data
Jumlah Penduduk
Tingkat Pertumbuhan Pertumbuhan
Sensus Penduduk 1980
29.188.852 jiwa
1,49
Sensus Penduduk 1990
32.503.815 jiwa
1,08
Sensus Penduduk 2000
34.765.998 jiwa
0,70
Sensus Penduduk 2010
37.476.757 jiwa
0,76
Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas adalah modal dasar dan merupakan potensi bagi peningkatan pembangunan di segala bidang. Namun demikian apabila jumlah penduduk yang besar tersebut tidak diikuti dengan pengembangan kualitas kualita s penduduk, maka justru akan berbalik menjadi beban pembangunan dan dapat mengurangi hasil-hasil pembangunan yang seharusnya seha rusnya dinikmati rakyat. Pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya dihasil kannya akan habis di konsumsi seiring dengan bertambahnya penduduk. Kualitas penduduk 3
merupakan elemen esensi dalam produktivitas. Terlebih lagi di era globalisasi dan persaingan bebas seperti sekarang ini, kita tidak mungkin hanya h anya mengandalkan jumlah penduduk yang besar. Penduduk yang besar memang menjadi pasar yang potensial, namun apabila dayabelinya rendah, justru akan makin terjebak menjadi bangsa yang konsumtif. Oleh karena itu untuk memberdayakan penduduk baik sebagai sasaran pembangunan pembangunan maupun sebagai pelaksana pembangunan diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk, mengembangkan kualitas penduduk dan kualitas keluarga yang pelaksanaannya diselenggarakan secara menyeluruh dan terpadu antar sektor pemerintahan dan antara pemerintah dengan masyarakat. Keberhasilan upaya pengendalian tingkat pertumbuhan penduduk dapat diketahui dari data tingkat laju pertumbuhan penduduk, melihat hasil pengukuran tingkat fertilitas khususnya data tingkat kelahiran kasar atau Crude Birth Rate (CBR) dan tingkat kelahiran total atau Total Fertility Rate (TFR). Sedangkan upaya pengembangan kualitas penduduk dapat diketahui dari data tentang tingkat kematian bayi atau Infant Mortality Rate (IMR), Angka Harapan Hidup (AHH), tingkat pendidikan serta partisipasi penduduk dalam bekerja, dimana indikator kompositnya adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Upaya pembinaan kualitas keluarga dapat diketahui dari perkembangan keluarga, perkembangan pasangan usia subur (PUS) dan tahapan keluarga. Pada tahun 2010 apabila dilihat dari sebarannya ternyata tingkat pertumbuhan penduduk antar kabupaten/kota tidak merata. Lima daerah dengan tingkat pertumbuhan penduduk tertinggi yaitu: Kab. Sidoarjo (2,21 %), Kab. Gresik (1,60 %), Kab. Sampang (1,60 %), Kab. Pamekasan (1,46 %), Kota Probolinggo (1,27 %). Sedangkan daerah dengan tingkat pertumbuhan penduduk penduduk terendah yaitu :
Kab. Lamongan
: -0,02 %
Kab. Ngawi
: 0,06 %
Kab. Magetan
: 0,08 %
Kab. Ponorogo
: 0,16 %
Kab. Pacitan
: 0,29 %
4
Tabel 2. Jumlah Penduduk Tahun 2000-2010 dan Proyeksi 2011 Menurut Kab/Kota di Jatim NO
KABUPATEN/KOTA
SP 2000
01
Kab. Pacitan
525,758
SUPAS 2005 545,670
02
Kab. Ponorogo
841,449
03
Kab. Trenggalek
04
Kab. Tulungagung
05
SP 2010
PROYEKSI 2011 *)
540,881
542,420
869,642
855,281
856,674
649,883
665,070
674,411
676,916
929,833
969,461
990,158
996,405
Kab. Blitar
1,064,643
1,065,838
1,116,639
1,121,976
06
Kab. Kediri
1,408,353
1,429,137
1,499,768
1,509,230
07
Kab. Malang
2,244,415
2,336,363
2,446,218
2,467,370
08
Kab. Lumajang
965,192
999,525
1,006,458
1,010,681
09
Kab. Jember
2,187,657
2,261,477
2,332,726
2,347,752
10
Kab. Banyuwangi
1,488,791
1,514,605
1,556,078
1,562,975
11
Kab. Bondowoso
688,651
698,504
736,772
741,765
12
Kab. Situbondo
603,705
605,208
647,619
652,179
13
Kab. Probolinggo
1,004,967
1,021,279
1,096,244
1,105,818
14
Kab. Pasuruan
1,366,605
1,398,122
1,512,468
1,527,883
15
Kab. Sidoarjo
1,563,015
1,697,435
1,941,497
1,984,062
16
Kab. Mojokerto
908,004
969,299
1,025,443
1,037,993
17
Kab. Jombang
1,126,930
1,222,499
1,202,407
1,210,229
18
Kab. Nganjuk
973,472
989,693
1,017,030
1,021,497
19
Kab. Madiun
639,825
641,596
662,278
664,569
20
Kab. Magetan
615,254
617,492
620,442
620,965
21
Kab. Ngawi
813,228
827,728
817,765
818,228
22
Kab. Bojonegoro
1,165,401
1,228,939
1,209,973
1,214,528
23
Kab. Tuban
1,051,999
1,063,375
1,118,464
1,125,336
24
Kab. Lamongan
1,181,660
1,187,065
1,179,059
1,178,804
25
Kab. Gresik
1,005,445
1,118,841
1,177,042
1,195,736
26
Kab. Kab. Bangkalan
805,048
889,590
906,761
917,614
27
Kab. Sampang
750,046
835,122
877,772
891,688
28
Kab. Pamekasan
689,225
762,876
795,918
807,459
29
Kab. Sumenep
985,981
1,004,758
1,042,312
1,048,120
30
Kota Kediri
244,519
248,640
268,507
271,030
31
Kota Blitar
119,372
126,776
131,968
133,297
32
Kota Malang
756,982
790,356
820,243
826,857
33
Kota Probolinggo
191,522
211,142
217,062
219,799
34
Kota Pasuruan
168,323
171,136
186,262
188,157
35
Kota Mojokerto
108,938
111,860
120,196
121,383
36
Kota Madiun
163,956
171,390
170,964
171,680
37
Kota Surabaya
2,599,796
2,611,506
2,765,487
2,782,627
38
Kota Batu
168,155
179,092
190,184
192,539
34,765,998
36,058,107
37,476,757
37,764,241
JATIM
Sumber: BPS, SP 2000, Supas 2005, SP 2010 *) Proyeksi Penduduk sesuai dengan asumsi LPP SP 2000-SP 2010 (0.76%)
5
Tabel 3. Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) Per Tahun Periode Tertentu di Jawa Timur KABUPATEN
2000-2005
2005-2010
2000-2010
01
Pacitan
0.753
-0.178
0.286
02
Ponorogo
0.667
-0.335
0.165
03
Trenggalek
0.467
0.282
0.374
04
Tulungagung
0.845
0.427
0.636
05
Blitar
0.023
0.943
0.482
06
Kediri
0.296
0.978
0.636
07
Malang
0.813
0.931
0.872
08
Lumajang
0.707
0.140
0.423
09
Jember
0.672
0.628
0.650
10
Banyuwangi
0.347
0.546
0.447
11
Bondowoso
0.287
1.082
0.683
12
Situbondo
0.050
1.375
0.711
13
Probolinggo
0.325
1.439
0.881
14
Pasuruan
0.461
1.598
1.028
15
Sidoarjo
1.678
2.746
2.211
16
Mojokerto
1.326
1.142
1.234
17
Jombang
1.655
-0.334
0.656
18
Nganjuk
0.334
0.551
0.442
19
Madiun
0.056
0.642
0.348
21
Ngawi
0.357
-0.244
0.056
22
Bojonegoro
1.076
-0.313
0.379
23
Tuban
0.217
1.024
0.620
24
Lamongan
0.092
-0.136
-0.022
25
Gresik
2.179
1.028
1.602
26
Bangkalan
2.034
0.386
1.207
27
Sampang
2.191
1.010
1.598
28
Pamekasan
2.069
0.859
1.462
29
Sumenep
0.381
0.743
0.562
KOTA 30
Kediri
0.338
1.562
0.948
31
Blitar
1.221
0.813
1.017
32
Malang
0.874
0.751
0.813
33
Probolinggo
1.986
0.559
1.270
34
Pasuruan
0.335
1.723
1.026
35
Mojokerto
0.535
1.460
0.997
36
Madiun
0.898
-0.050
0.423
37
Surabaya
0.091
1.162
0.625
38
Batu
1.279
1.219
1.249
0.739
0.781
0.760
JATIM Sumber: BPS, SP 2000, Supas 2005, SP 2010
6
2.2. Komposisi Umur
Pada uraian ini umur penduduk dikelompokkan menurut usia produktif dan non produktif. Cara ini bermanfaat untuk menghitung atau mengetahui angka besaran ketergantungan. Berdasarkan pengelompokan ini, penduduk yang berusia 15 – 64 tahun dianggap usia produktif, sedangkan penduduk penduduk usia 0 – 14 tahun dan usia diatas 65 tahun dianggap tidak produktif. Tabel 4. Jumlah Penduduk Propinsi Jawa Timur Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Th 2000 dan 2010 Kelompok
Tahun 2000
Tahun 2010
Umur
Laki-laki
0 – 14 th
4.553.176
4.316.585
8.870.469
25,51
4.724.653
4.486.631
9.211.284
24,58
15 – 64 th
11.740.784
12.083.625
23.823.731
68,53
12.642.240
12.946.813
25.589.053
62,28
899.312
1.172.516
2.071.798
5,96
1.136.623
1.539.797
2.676.420
7,14
17.193.272
17.572.726
34.765.998
100
18.503.516
18.973.241
37.476.757
100
65 th – keatas Jumlah
Perempuan
Total
%
Laki-laki
Perempuan
Total
%
Dari tabel 5. yang disajikan tersebut terlihat bahwa dari tahun 2000 ke tahun 2010 kelompok penduduk usia produktif cenderung menurun, sebaliknya penduduk usia non produktif justru semakin meningkat. Angka – angka ini tentu memiliki pengaruh dan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan penduduk. Melalui angka ketergantungan dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, setiap 100 orang usia produktif menanggung 46 orang yang tidak produktif. Kondisi tersebut tentu berbeda dengan tahun 2000 dimana setiap 100 orang usia produktif menanggung beban sekitar 45 orang usi a tidak produktif. Tabel 5. Sex Ratio Penduduk Jawa Timur Tahun 2000 dan Tahun 2010 Kelompok
Sex Ratio
Umur
Tahun 2000
Tahun 2010
0 – 14 th
105,5
105,3
15 – 64 th
97,2
97,6
65 th – keatas
76,7
73,8
Jumlah
97,8
97,5
Dari tabel tersebut diatas dapat diketahui bahwa Sex Ratio untuk semua kelompok umur adalah 97,52 tahun 2010 sedikit menurun daripada tahun 2000 sebesar 97,8. Bila dirinci menurut kelompok usia produktif dan tidak produktif, maka Sex Ratio pada kelompok umur dibawah 15 tahun adalah 105,3, kelompok umur produktif 97,6, dan sex ratio kelompok umur diatas 65 tahun sebesar 73,8.
7
2.3. Kepadatan Penduduk
Tingkat kepadatan penduduk suatu wilayah menggambarkan kondisi dan kemampuan wilayah dalam menampung sejumlah penduduk sesuai dengan kapasitasnya. Bagi suatu wilayah yang tingkat pertumbuhan penduduknya relatif tinggi akan mempunyai problem kependudukan karena tingkat kepadatannya terus meningkat. Daya dukung wilayah terhadap penduduk, amat ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan sumber daya alam, pangan, lapangan kerja/usaha serta kemampuan daerah bersangkutan dalam penyediaan fasilitas sosial. Oleh karena itu, dirasakan perlu menampilkan angka kepadatan penduduk pada suatu wilayah agar dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan. Tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten/Kota Se-Jawa Timur sangat bervariasi dan masih timpang. Kepadatan penduduk di kota umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan desa. Hasil sensus penduduk 2010 menunjukan 47,58 persen bertempat tinggal di daerah perkotaan dan 52,42 persen di daerah perdesaan. Dan dari sisi persebaran, persentase distribusi penduduk menurut kabupaten/kota bervariasi, yang terendah sebesar 0,32 persen di Kota Mojokerto dan yang tertinggi sebesar 7,38 persen di Kota Surabaya. Kota Surabaya adalah wilayah dengan kepadatan penduduk tertinggi 8.355 jiwa/km.. Tabel 6. Tingkat Kepadatan Penduduk Jawa Timur Tahun 2010 Kabupaten
Kepadatan/Km 2
Kabupaten
Kepadatan/Km 2
01
Pacitan
381
21
Ngawi
587
02
Ponorogo
575
22
Bojonegoro
523
03
Trenggalek
542
23
Tuban
566
04
Tulungagung
860
24
Lamongan
670
05
Blitar
637
25
Gresik
951
06
Kediri
985
26
Bangkalan
696
07
Malang
708
27
Sampang
714
08
Lumajang
557
28
Pamekasan
999
09
Jember
697
29
Sumenep
498
10
Banyuwangi
432
11
Bondowoso
469
30
Kediri
3,891
12
Situbondo
392
31
Blitar
3,999
13
Probolinggo
661
32
Malang
7,457
14
Pasuruan
1,017
33
Probolinggo
4,020
15
Sidoarjo
2,700
34
Pasuruan
4,902
16
Mojokerto
1,053
35
Mojokerto
6,010
17
Jombang
1,079
36
Madiun
5,028
18
Nganjuk
792
37
Surabaya
8,355
19
Madiun
655
38
Batu
942
20
Magetan
880
Jawa Timur
781
8
KOTA
BAB III FERTILITAS (KELAHIRAN)
3.1. Jumlah Kelahiran dan Angka Kelahiran Kasar /Crude Birth Rate (CBR)
Salah satu faktor yang ikut berperan dalam penghitungan angka pertumbuhan penduduk adalah fertilitas (kelahiran). Untuk mengetahui tingkat kelahiran hidup antara lain dengan menggunakan rumus CBR. CBR adalah banyaknya kelahiran hidup pada setiap seribu orang penduduk. Dari data pada tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa tingkat kelahiran kasar di Jawa Timur dari waktu ke waktu terus menurun. Namun demikian perlu mendapat perhatian karena dengan jumlah Penduduk Jawa Timur yang besar, dengan CBR 16,12 tersebut maka jumlah kelahiran selama setahun adalah sebanyak 603.638 kelahiran. Ini artinya setiap bulan ada kelahiran sejumlah 50.303 kelahiran dan setiap hari ada 1.677 kelahiran.
Tabel 7. Tingkat Kelahiran Kasar (CBR) Sumber Data
Tingkat Kelahiran Kasar (CBR)
Sensus Penduduk 1990
24,25
Sensus Penduduk 2000
20,59
Sensus Penduduk 2010
16,12
Sumber : Sensus Penduduk diolah
9
Tabel 8 Jumlah Kelahiran dan CBR Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 KABUPATEN/KOTA
01
Pacitan
02
Ponorogo
03
Trenggalek
04
Jumlah Kelahiran Tahun 2010
CBR Th. 2010
7.174
13.263
11.509
13.456
9.395
13.930
Tulungagung
15.605
15.760
05
Blitar
17.228
15.428
06
Kediri
24.887
16.594
07
Malang
39.876
16.301
08
Lumajang
15.450
15.351
09
Jember
39.220
16.813
10
Banyuwangi
24.052
15.457
11
Bondowoso
10.867
14.749
12
Situbondo
10.013
15.462
13
Probolinggo
18.736
17.091
14
Pasuruan
25.384
16.783
15
Sidoarjo
33.539
17.275
16
Mojokerto
16.934
16.514
17
Jombang
20.249
16.840
18
Nganjuk
15.996
15.728
19
Madiun
9.460
14.284
20
Magetan
8.530
13.749
21
Ngawi
11.625
14.215
22
Bojonegoro
17.413
14.391
23
Tuban
16.762
14.987
24
Lamongan
17.116
14.517
25
Gresik
20.749
17.628
26
Bangkalan
17.286
19.063
27
Sampang
17.090
19.470
28
Pamekasan
13.682
17.190
29
Sumenep
15.290
14.669
71
Kota Kediri
4.614
17.183
72
Kota Blitar
2.220
16.821
73
Kota Malang
13.648
16.639
74
Kota Probolinggo
3.777
17.400
75
Kota Pasuruan
3.430
18.414
76
Kota Mojokerto
2.030
16.888
77
Kota Madiun
2.650
15.503
78
Kota Surabaya
46.607
16.853
79
Kota Batu
3.129
16.452
603.638
16.107
JATIM
Sumber : BPS, Data Makro 2010
10
3.2 Angka Kelahiran Menurut Umur Ibu (ASFR) Usia 20-24 tahun dan Angka Kelahiran Umum (General Fertility Rate)
Terdapat variasi mengenai besar kecilnya kelahiran antar kelompok-kelompok penduduk tertentu, karena tingkat fertilitas penduduk ini dapat dibedakan menurut jenis kelamin, umur, status perkawinan atau kelompok-kelompok penduduk lainnya (Mantra BI, 2009). Di antara kelompok perempuan usia reproduksi (15-49) terdapat variasi kemampuan melahirkan. ASFR (Age Specific Fertility Rate)/Angka kelahiran menurut umur ibu merupakan banyaknya kelahiran per 1000 wanita pada kelompok umur tertentu. Kelompok umur 20-24 memiliki tingkat fertilitas yang tertinggi, berikut ini disampaikan data ASFR untuk kelompok umur wanita Tabel 9 ASFR 20-24 dan GFR Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jatim 2010 ASFR 20-24 Tahun 2010
GFR Th. 2010
Kab. Pacitan
123
52.6
02
Kab. Ponorogo
113
54.4
03
Kab. Trenggalek
126
53.2
04
Kab. Tulungagung
121
58.2
05
Kab. Blitar
127
61.1
06
Kab. Kediri
124
63.1
07
Kab. Malang
116
61.5
08
Kab. Lumajang
111
56.1
09
Kab. Jember
118
61.9
10
Kab. Banyuwangi
122
58.8
11
Kab. Bondowoso
106
54.8
12
Kab. Situbondo
106
55.1
13
Kab. Probolinggo
115
61.1
14
Kab. Pasuruan
108
57.3
15
Kab. Sidoarjo
96
57.7
16
Kab. Mojokerto
115
58.6
17
Kab. Jombang
120
62.1
18
Kab. Nganjuk
120
59.5
19
Kab. Madiun
117
56.2
20
Kab. Magetan
116
56.1
21
Kab. Ngawi
120
54.6
22
Kab. Bojonegoro
114
52.6
23
Kab. Tuban
112
53.8
24
Kab. Lamongan
109
53.1
25
Kab. Gresik
109
67
26
Kab. Bangkalan
113
69.5
27
Kab. Sampang
112
69.9
28
Kab. Pamekasan
102
59.2
No
KABUPATEN/KOTA
01
11
Tabel 9 Lanjutan .. ASFR 20-24 Tahun 2010
GFR Th. 2010
Kab. Sumenep
100
50.7
30
Kota Kediri
102
60.6
31
Kota Blitar
112
61.5
32
Kota Malang
78
55.2
33
Kota Probolinggo
110
61.2
34
Kota Pasuruan
109
64.1
35
Kota Mojokerto
102
59.2
36
Kota Madiun
93
56.2
37
Kota Surabaya
79
54.6
38
Kota Batu
112
59.5
85
58
No
KABUPATEN/KOTA
29
JATIM
3.3 Child Woman Ratio (CWR) CWR adalah rasio balita terhadap setiap wanita usia subur sebagai ukuran yang dipergunakan untuk mengetahui rasio jumlah anak usia di bawah 5 tahun (balita ) terhadap wanita usia subur pada waktu tertentu. Metode penghitungan ini sering dipergunakan bila tidak tersedia data yang rinci tentang kelahiran. Jika angka CWR mengecil pada setiap tahun, berarti telah terjadi penurunan tingkat fertilitas. Artinya semakin kecil CWR semakin menurun pula angka fertilitas demikian pula sebaliknya. Tabel 10 Child Woman Ratio (CWR) Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 KABUPATEN/KOTA
CWR
KABUPATEN/KOTA
CWR
01
Kab. Pacitan
0.2674
20
Kab. Magetan
0.2861
02
Kab. Ponorogo
0.278
21
Kab. Ngawi
0.2723
03
Kab. Trenggalek
0.2686
22
Kab. Bojonegoro
0.2649
04
Kab. Tulungagung
0.2937
23
Kab. Tuban
0.2655
05
Kab. Blitar
0.3137
24
Kab. Lamongan
0.2641
06
Kab. Kediri
0.3184
25
Kab. Gresik
0.2924
07
Kab. Malang
0.3024
27
Kab. Sampang
0.3086
08
Kab. Lumajang
0.2735
28
Kab. Pamekasan
0.3022
09
Kab. Jember
0.2932
29
Kab. Sumenep
0.2685
10
Kab. Banyuwangi
0.2909
30
Kota Kediri
0.2412
11
Kab. Bondowoso
0.2659
31
Kota Blitar
0.2841
12
Kab. Situbondo
0.2547
32
Kota Malang
0.3026
13
Kab. Probolinggo
0.2899
33
Kota Probolinggo
0.2476
14
Kab. Pasuruan
0.2705
34
Kota Pasuruan
0.2971
15
Kab. Sidoarjo
0.2815
35
Kota Mojokerto
0.3095
16
Kab. Mojokerto
0.2886
36
Kota Madiun
0.2997
17
Kab. Jombang
0.3051
37
Kota Surabaya
0.2721
18
Kab. Nganjuk
0.2988
38
Kota Batu
0.2542
19
Kab. Madiun
0.2908
JATIM
12
0.2967
3.4.Total Fertility Rate (TFR)/ Angka Kelahiran Total
Total Fertility Rate (TFR) atau Angka Kelahiran Total adalah suatu cara untuk mengetahui banyaknya rata-rata jumlah anak yang dilahirkan setiap wanita usia reproduktif hingga akhir masa reproduksinya. Adapun data TFR Jawa Timur adalah sebagaimana tersebut dibawah ini. Tabel.11 Total Fertility Rate (TFR) Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Metode Own Children KABUPATEN/ KOTA
KABUPATEN/ KOTA
TFR
TFR*
01
Kab. Pacitan
1.969
21
Kab. Magetan
2.018
02
Kab. Ponorogo
2.036
22
Kab. Ngawi
1.878
03
Kab. Trenggalek
1.944
23
Kab. Bojonegoro
1.865
04
Kab. Tulungagung
2.061
24
Kab. Tuban
1.913
05
Kab. Blitar
2.211
25
Kab. Lamongan
2.015
06
Kab. Kediri
2.219
26
Kab. Gresik
2.376
07
Kab. Malang
2.213
27
Kab. Sampang
2.329
08
Kab. Lumajang
1.993
28
Kab. Pamekasan
1.969
09
Kab. Jember
2.131
29
Kab. Sumenep
1.789
10
Kab. Banyuwangi
2.126
30
Kota Kediri
2.083
11
Kab. Bondowoso
1.941
31
Kota Blitar
2.151
12
Kab. Situbondo
1.917
32
Kota Malang
1.829
13
Kab. Probolinggo
2.091
33
Kota Probolinggo
2.082
14
Kab. Pasuruan
1.930
34
Kota Pasuruan
2.156
15
Kab. Sidoarjo
1.900
35
Kota Mojokerto
1.990
16
Kab. Mojokerto
2.022
36
Kota Madiun
1.992
17
Kab. Jombang
2.164
18
Kab. Nganjuk
2.107
37 38
Kota Surabaya Kota Batu
1.773 2.022
19
Kab. Madiun
2.130
20
Kab. Nganjuk
2.089
JATIM
2.011
Efektivitas program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia dalam pengendalian jumlah penduduk, telah diakui oleh bangsa-bangsa di dunia. Hal ini dapat dirunut dari sejarah pertumbuhan penduduk yang awalnya begitu cepat sebelum adanya program KB, menjadi jauh lebih lambat setelah ada program KB. Sejak dicanangkan oleh pemerintah sebagai salah satu prioritas program pembangunan pada tahun 1970, program KB mampu menekan Total Fertility Rate (TFR) lebih dari setengah dari kondisi pada awal program. Jika pada tahun 1970 TFR di Indonesia masih sebesar 5,6 anak, maka kini sudah turun menjadi 2,3 per ibu (SDKI 2007, TFR yang diperbarui). Selama kurun waktu 1970 – 2000 program KB telah mampu menekan kelahiran sekitar 80 juta jiwa. Sebelumya, Prof. Dr. Widjojo Nitisastro memprediksi, jumlah penduduk 13
Indonesia di tahun 2000 diperkirakan mencapai 280 juta jiwa. Namun berkat program KB yang ditangani secara serius, pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia dapat ditekan menjadi ”hanya 200 juta” dengan laju pertumbuhan penduduk yang relative rendah. Bahkan pada tahun 2009 mampu mencegah 100 juta kelahiran. Adapun tren TFR di Jawa Timur berdasarkan hasil sensus penduduk adalah sebagai berikut :
Gambar 1. Tren TFR di Jawa Timur 6 5,61
5
4,72
4,68
4
JATIM
3,56
3,33
3
2,46
2
2,34 1,71
2,41 2,01
1 0 1965 1970 1975 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 Sumber : BPS, 2010
Jika pada awal tahun 70-an seorang wanita di Jawa Timur rata-rata memiliki 4,7 anak selama masa reproduksinya, maka pada tahun 80-an menunjukkan tingkat kelahiran menurun menjadi 3.56 anak. Penurunan TFR ini terus berlangsung hingga tahun 2000 (TFR 1,71). Kemudian hasil sensus penduduk 2010 menunjukan adanya peningkatan TFR menjadi 2,01. Meningkat dan menurunnya tingkat kelahiran tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor paling dominan yang mempengaruhi TFR adalah CPR (Contraceptive Prevalence Rate) yaitu prevalensi pemakai alat kontrasepsi dengan suatu metode. Semakin tinggi angka CPR (kesertaan ber-KB) maka akan semakin rendah TFR. Adapun faktor lain yang mempengaruhi TFR adalah Usia Kawin Pertama (UKP), jumlah anak lahir hidup (ALH). Semakin rendah usia kawin pertama maka semakin lama masa reproduki yang dimiliki oleh pasangan tersebut sehingga semakin memiliki peluang untuk memiliki anak banyak. Oleh karena itu salah satu program dalam pengendalian penduduk adalah pendewasaan usia kawin pertama. Hasil susenas 2010 menunjukan CPR di Jawa Timur adalah 64,16%. Sedangkan ratarata usia kawin pertama penduduk Jawa Timur adalah 19,65 tahun. Meskipun saat ini ratarata jumlah anak yang dimiliki oleh wanita selama masa reproduksinya adalah 2,01, namun masih ada pasangan yang memiliki anak lebih dari 3 yaitu seban yak 25,41%.
14
Tabel .12 Kabupaten/Kota
CPR
ALH 3+
UKP
01
Pacitan
73.08
22.61
19.93
02
Ponorogo
60.00
21.65
20.87
03
Trenggalek
64.96
22.1
19.19
04
Tulungagung
54.01
25.01
20.62
05
Blitar
61.75
22.13
20.45
06
Kediri
60.74
31.26
20.65
07
Malang
68.38
27.64
19.71
08
Lumajang
66.43
20
18.92
09
Jember
62.78
27.76
18.31
10
Banyuwangi
61.76
25.89
19.27
11
Bondowoso
67.03
21.92
17.08
12
Situbondo
66.86
20.09
16.65
13
Probolinggo
63.99
24.93
17
14
Pasuruan
68.32
24.84
18.93
15
Sidoarjo
67.78
23.84
21.83
16
Mojokerto
75.01
31.33
19.73
17
Jombang
70.13
26.92
20.47
18
Nganjuk
74.55
28.79
20.22
19
Madiun
63.52
26.94
20.27
20
Magetan
64.88
20.51
20.74
21
Ngawi
67.17
24.95
20.15
22
Bojonegoro
73.54
21.09
18.95
23
Tuban
69.67
21.46
19.17
24
Lamongan
67.04
27.03
18.98
25
Gresik
67.70
19.81
20.43
26
Bangkalan
36.66
35.01
18.64
27
Sampang
49.83
41.22
17.86
28
Pamekasan
52.64
30.02
18.11
29
Sumenep
52.69
15.29
17.81
30
Kota Kediri
57.21
27.78
21.66
31
Kota Blitar
58.70
30.83
21.73
32
Kota Malang
63.66
25.74
21.68
33
Kota Probolinggo
64.85
27.99
20.46
34
Kota Pasuruan
62.64
33.68
20.87
35
Kota Mojokerto
63.82
34.51
21.82
36
Kota Madiun
55.75
28.7
22.97
37
Kota Surabaya
61.94
26.19
21.53
38
Kota Batu
69.07
20.81
20.5
Jawa Timur
64.16
25.41
19.65
15
BAB IV MORTALITAS (KEMATIAN)
4.1 Infant Mortality Rate (IMR) atau Angka Kematian Bayi (AKB)
Peristiwa mortalitas (kematian) pada dasarnya merupakan kejadian akhir dari peristiwa morbiditas (kesakitan). Dengan demikian upaya pencegahan (preventif) terhadap morbiditas jauh lebih efektif daripada upaya pengobatan (kuratif) dalam
menurunkan
kejadian mortalitas. Morbiditas dan mortalitas penduduk adalah kejadian yang selalu berubah-ubah, karena dipengaruhi oleh banyak faktor baik medis maupun non-medis. Di Propinsi
Jawa
Timur
sendiri
pembangunan
di
bidang
kesehatan
memperlihatkan
perkembangan yang cukup bermakna. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, berbagai kemajuan telah berhasil dicapai seperti terjadinya penurunan angka kematian bayi, balita dan meningkatnya angka harapan hidup. Bayi dan Balita merupakan golongan masyarakat yang dianggap paling rawan dari aspek kesehatan. Indikator yang berkaitan dengan kesakitan dan kematian bayi dan balita merupakan indikator penting untuk mengukur kondisi sosial dan kesehatan masyarakat. Mengapa demikian? Karena indikator ini terkait dengan kondisi lingkungan yang buruk, kemiskinan dan buta huruf yang selanjutnya digunakan sebagai tolok ukur hasil pembangunan sosial ekonomi suatu negara. Oleh karenanya ada yang berpendapat bahwa taraf hidup kesehatan bayi dan balita adalah salah satu faktor yang mempengaruhi pembangunan suatu negara. Hal ini dimungkinkan karena bagaimana pun juga anak-anak adalah generasi penerus sehingga merupakan sumber daya manusia guna menunjang pembangunan di masa mendatang. Sesuai dengan komitmen MDG’s, pada tahun 2015 seluruh negara harus mampu menekan Angka Kematian Bayi hingga 20 per 1.000 kelahiran hidup. Adanya target penurunan Angka Kematian Bayi yang dicantumkan dalam MDG’s ini menunjukkan betapa penting untuk menjadi perhatian kalangan pemerintah terhadap upaya-upaya penurunan AKB. AKB di Indonesia secara umum telah mengalami penurunan yang cukup drastis di berbagai provinsi di Indonesia, termasuk Jawa Timur. Berdasarkan sensus penduduk 1990 AKB di Jawa Timur 64, menurun menjadi 44 pada tahun 2000 dan menurun lagi menjadi 29,9 pada tahun 2010. Penurunan angka kematian bayi identik dengan peningkatan angka harapan hidup (AHH). AHH mencerminkan lamanya usia seorang bayi baru lahir diharapkan hidup. Adapun Rincian AKB dan AHH per kabupaten/kota dapat dilihat dalam tabel 13.
16
Tabel 13 AKB dan AHH Provinsi Jawa Timur Tahun 2009 dan Tahun 2010 Kabupaten/Kota
AKB Th 2009
AKB Th. 2010
AHH Th. 2009
AHH Th. 2010
01
Pacitan
24.57
23.54
71.04
71.25
02
Ponorogo
30.72
28.97
69.62
69.89
03
Trenggalek
23.79
22.55
71.36
71.61
04
Tulungagung
24.13
23.07
71.24
71.42
05
Blitar
26.99
24.60
70.65
70.87
06
Kediri
31.15
29.86
69.42
69.62
07
Malang
33.46
32.10
68.70
68.94
08
Lumajang
41.34
39.67
66.87
67.08
09
Jember
59.13
57.74
62.66
62.89
10
Banyuwangi
40.6
38.29
67.18
67.45
11
Bondowoso
58.71
56.62
62.92
63.15
12
Situbondo
57.74
56.45
63.02
63.19
13
Probolinggo
67.89
65.45
60.84
61.06
14
Pasuruan
55.36
53.34
63.70
63.93
15
Sidoarjo
28.18
25.43
70.31
70.57
16
Mojokerto
29.27
27.89
69.97
70.22
17
Jombang
28.81
28.05
69.99
70.17
18
Nganjuk
33.59
32.27
68.67
68.89
19
Madiun
33.16
32.07
68.72
68.95
20
Magetan
24.90
23.88
70.92
71.13
21
Ngawi
30.85
29.10
69.58
69.85
22
Bojonegoro
40.26
39.41
67.01
67.15
23
Tuban
38.22
36.96
67.56
67.81
24
Lamongan
36.62
34.58
68.03
68.19
25
Gresik
25.40
24.29
70.73
70.98
26
Bangkalan
56.91
55.69
63.16
63.37
27
Sampang
62.59
58.92
62.34
62.61
28
Pamekasan
56.24
53.72
63.59
63.84
29
Sumenep
50.95
49.85
64.53
64.76
30
Kota Kediri
28.61
27.29
70.18
70.40
31
Kota Blitar
22.27
20.94
71.94
72.19
32
Kota Malang
29.30
27.85
69.96
70.23
33
Kota Probolinggo
30.16
28.35
69.83
70.08
34
Kota Pasuruan
42.42
41.97
66.33
66.46
35
Kota Mojokerto
23.74
22.80
71.34
71.52
36
Kota Madiun
25.21
24.27
70.81
70.99
37
Kota Surabaya
27.13
24.32
70.71
70.97
38
Kota Batu
32.17
30.52
69.15
69.42
31.41
29.99
69.35
69.58
Jawa Timur
17
Dari tabel diatas dapat diamati bahwa IMR di Jawa Timur mengalami menurunan dari waktu ke waktu. Pada tahun 2010, setiap seribu kelahiran hidup terdapat 30 bayi yang mati. Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya yang angkanya sebesar 44,0, maka ini dapat disebut sebagai peningkatan kualitas yang cukup tajam. Menurunnya tingkat kematian bayi tersebut disebabkan oleh semakin meningkatnya pengetahuan dan kesadaran penduduk dalam melaksanakan pola hidup sehat dan meningkatnya gizi keluarga serta diimbangi dengan peningkatan pelayanan kesehatan oleh pemerintah dengan jangkauan yang lebih luas. Menurut Henry Mosley dan Lincoln C. Chen (1988), untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak perlu melibatkan semua determinan sosial budaya dan ekonomi dengan melalui sejumlah variabel antara atau intermediate variables. Variabel tersebut adalah : Faktor ibu, yang meliputi umur, paritas dan jarak kelahiran. Kedua, faktor pencemaran lingkungan yang terdiri diri udara, makanan, air, jari, kulit, zat penular kuman penyakit, tanah dan serangga pembawa penyakit (vektor). Ketiga, faktor kekurangan gizi yang meliputi kalori, protein, gizi mikro dan vitamin, dan mineral. Keempat, faktor luka terdiri dari kecelakaan dan luka yang disengaja. Kelima, faktor pengendalian penyakit perorangan seperti usaha-usaha preventif perorangan dan perawatan dokter. Dalam kerangka analisis tersebut faktor sosial ekonomi mendapat penekanan. Disebutkan bahwa sekitar 98% bayi yang baru lahir akan dapat bertaan hidup hingga usia 5 tahun dalam lingkungan yang terpeliharan secara optimal. Mengecilnya probabilitas kelangsunan hidup anak disebabkan oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, biologi dan lingkungan. Sebenarnya apabila dikaji secara umum, kematian akan selalu dikaitkan dengan kesehatan. Tetapi perlu diingat bahwa kesehatan tidak dapat menjelaskan perubahan tingkat kematian secara berdiri sendiri tanpa harus dikaitkan dengan faktor yang lain, seperti sosioekonomi, budaya, demografi dan kesehatan. Pendapatan mempengaruhi kematian secara tidak langsung. Pendapatan akan mempengaruhi tingkat konsumsi yang berkaitan dengan kesehatan, seperti misalnya makanan, perumahan, sanitasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pendapatan yang tinggi akan memperbaiki tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan menurunkan mortalitas. Variabel sosio-ekonomi yang lain yang berkaitan dengan kematian bayi adalah pendidikan, terutama pendidikan ibu. Alasannya bahwa ibu mempunyai peranan penting dalam merawat kesehatan dan hidup bayi di rumah. Mengapa demikian ? Pertama, ibu yang berpendidikan diharapkan keluarga dari tradisi, tidak terlalu fatalistik terhadap penyakit dan dapat mengadopsi alternatif modern untuk perawatan anak dan juga dalam terapi. Kedua, Seorang ibu yang berpendidikan akan mudah memahami saran-saran dari dokter maupun 18
perawat dan ketiga, ibu yang berpendidikan dapat merubah sifat-sifat tradisional hubungan antar keluarga yang mempunyai efek terhadap perawatan anak. Pendapat lainnya mengatakan bahwa pendidikan memainkan dua peranan, yaitu dalam hal pencegahan (preventif) dan pengontrolan. Yang berkaitan dengan pencegahan misalnya pemberian makanan yang higienes dan sehat untuk anak, sedang yang berkitan dengan pengontrolan misalnya kesadaran untuk menggunakan fasilitas kedokteran. Ibu yang berpendidikan akan memberinya kekuatan dan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan secara mandiri. Dengan sendirinya dalam keadaan yang memaksa si ibu akan lebih tanggap untuk melakukan yang terbaik bagi si anak, tanpa harus menunggu orang lain. Variabel budaya sebenarnya tidak berpengaruh secara langsung. Variabel tersebut beroperasi melalui variabel sosio-ekonomi. Agama, misalnya, yang biasanya dimasukkan dalam indikator budaya, selalu diakitkan dengan peranan wanita dalam keluarga (female role), yang akhirnya berhubungan dengan perawatan anak (Mahadevan, et al. 1986). Beberapa studi juga menunjukkan adanya hubungan antara etnis sebagai variabel budaya dengan tingkat kematian bayi. Tetapi seperti halnya agama, variabel etnis juga berpengaruh secara tidak langsung terhadap kematian bayi melalui variabel sosio-ekonomi. Variabel budaya dan juga variabel demografi yang terkait dengan kematian bayi adalah pemilihan jenis kelamin anak, dimana ada perbedaan perhatian terhadap jenis kelamin anak dalam banyak hal, misalnya makanan, perawatan, pendidikan, dan lain-lain. 4.2. Maternal Mortality Rate (MMR) atau Angka Kematian Ibu (AKI)
Di Propinsi Jawa Timur, walaupun kualitas data mengenai angka kematian ibu masih bisa
diperdebatkan namun setidaknya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk
merumuskan kebijakan yang terkait dengan penurunan angka kematian ibu. Menurut data Laporan Kematian Ibu (LKI), diketahui bahwa AKI Jawa Timur sebesar 94 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2001, kemudian menurun menjadi 69 per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2004, kemudian meningkat lagi menjadi 72 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2009. Jawa Timur adalah satu diantara delapan propinsi yang menyumbang 70% angka kematian ibu di Indonesia (Cholil, 1999). Selain itu menurut Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2001, disebutkan bahwa bila dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain di Pulau Jawa, maka Jawa Timur menempati urutan kedua terburuk setelah Jawa Barat dalam hal penurunan angka kematian ibu. Penyebab langsung dari AKI ini adalah eklampsia, infeksi dan perdarahan. Untuk eklampsia dan infeksi, cenderung menurun. Namun, tidak begitu halnya dengan perdarahan,
19
yang mengalami peningkatan, yaitu 34.67% menjadi 39.95%. Hal ini juga terjadi pada persentase ibu hamil yang termasuk kadar Hbnya kurang dari 11 gr%, yang meningkat dari 4.80% menjadi 5.57%. Sementara itu dari penyebab tidak langsung dikarenakan di beberapa daerah di propinsi Jawa Timur seperti di Madura dan daerah Tapal Kuda, masih berkembang budaya untuk menikah di usia dini sehingga kehamilan pertama dialami pada usia kurang dari 21 tahun yang masuk dalam kelompok kehamilan risiko tinggi. Oleh karena itu perlunya dilakukan peramalan angka kematian ibu di Jawa Timur untuk mengetahui capaian AKI pada tahun mendatang sehingga dapat diambil sebuah kebijakan dalam perencanaan program pelayanan kesehatan ibu hamil menuju capaian AKI Nasional 2015.
20
BAB V HUMAN DEVELOPMENT INDEX (HDI) ATAU INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM)
Menurut UNDP, penduduk adalah kekayaan nyata suatu bangsa. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa konsep pembangunan manusia sebagai suatu upaya pembangunan (formation) kemampuan diri manusia, yang mengandung empat unsur, yaitu produktivitas (productivity), pemerataan (equity), kesinambungan (sustainability), dan pemberdayaan (empowerment). Hal ini dapat dicapai melalui program pembangunan yang menitik-beratkan pada peningkatan kemampuan dasar manusia yaitu meningkatnya derajat kesehatan, berupa umur panjang dan hidup sehat, mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai agar dapat digunakan untuk mempertinggi partisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif serta mendapat penghasilan yang mencukupi dengan daya beli yang layak. Berdasarkan konsep ini, membangun manusia berarti meningkatkan sumber daya manusia (SDM) dalam arti yang luas meliputi aspek jasmani dan rohani, material dan spiritual dalam skala individu maupun sosial yang pada akhirnya harus mampu menjadi sumber daya pembangunan secara komprehensif. Seperti
halnya
pembangunan
ekonomi,
pembangunan
manusia
memerlukan
ketersediaan analisis data guna perencanaan dan pengambilan kebijakan agar tepat sasaran, juga perlu dievaluasi sejauh mana pembangunan yang dilaksanakan mampu meningkatkan kualitas hidup manusia (penduduk) sebagai obyek pembangunan. Salah satu alat ukur yang lazim digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Walaupun tidak semua aspek pembangunan manusia dapat diukur melalui penghitungan IPM mengingat sangat luasnya dimensi pembangunan manusia, tetapi paling tidak IPM dapat menggambarkan hasil pelaksanaan pembangunan manusia menurut tiga komponen indikator kemampuan manusia yang sangat mendasar yaitu; derajat kesehatan, kualitas pendidikan serta akses terhadap sumber daya ekonomi berupa pemerataan tingkat daya beli masyarakat. Bagi Pemerintah Provinsi Jawa Timur, sekurang kurangnya Indikator Indeks Pembangunan Manusia ini mempunyai empat makna. Pertama, IPM dapat dijadikan sebagai acuan untuk melihat sejauhmana keberhasilan program pembangunan kesejahteraan sosial yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Kedua, IPM dapat dimanfaatkan sebagai alat bantu perencanaan pembangunan daerah ( Planning Tool), yang lebih mengakomodasikan dimensi pembangunan sosial menuju peningkatan kualitas hidup manusia. Ketiga, dalam jangka panjang, data IPM dapat bermanfaat sebagai planing tool 21
ataupun menjanjikan keunggulan sebagai alat evaluasi dan review method terhadap proses perencanaan. Keempat, sebagai salah satu alat analisis, IPM menjanjikan sejumlah keunggulan karena lebih mengambarkan pemerataan hasil pembangunan dan langsung menyentuh hasil pembagunan manusia dengan indikator kesejahteraan sosialnya (tingkat kesehatan, kualitas pendidikan, dan akses terhadap sumber daya ekonomi). Kondisi IPM Provinsi Jawa Timur mengalami fluktuatif bila diukur mulai sebelum krisis sampai tahun 2010. Pada tahun 1996 IPM Provinsi Jawa Timur sebesar 65,5, pada tahun 1999 mengalami penurunan menjadi 61,8. Kemudian pada tahun 2002 kembali mengalami kenaikan menjadi 62,64 dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi 65,89 dimana posisi ini hampir sama dengan kondisi sebelum krisis ekonomi. Selanjutnya IPM tahun 2008 sebesar 70,38 dan tahun 2010 menjadi 71,55. Peningkatan IPM Provinsi Jawa Timur dari tahun 2002 sampai 2010 ini menunjukkan bahwa stabilitas ekonomi dan pembangunan manusia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membaik dan tentu saja tidak terlepas dari kontribusi komponen penentunya.
Gambar 2: Nilai IPM Provinsi Jawa Timur Tahun 1996-2010
22
Tabel 14. Indeks Pembangunan Manusia Propinsi dan Nasional Tahun 1996-2010 Tahun 1996
Tahun 1999
Tahun 2005
Tahun 2010
Provinsi
IPM
Ranking
IPM
Ranking
IPM
Ranking
IPM
Ranking
1. Nanggroe Aceh Darussalam
69.4
9
65.3
12
69.05
18
71.70
17
2. Sumatera Utara
70.5
7
66.6
8
72.03
8
74.19
8
3. Sumatera Barat
69.2
11
65.8
9
71.19
9
73.78
9
4. Riau
70.6
6
67.3
4
73.63
3
76.07
3
5. Jambi
69.3
10
65.4
11
70.95
11
72.74
13
6. Sumatera Selatan
68.0
15
63.9
16
70.23
13
72.95
10
7. Bengkulu
68.4
12
64.8
13
71.09
10
72.92
11
8. Lampung
67.6
16
63.0
18
68.85
19
71.42
21
9. Bangka Belitung
-
-
-
-
70.68
12
72.86
12
10. Kepulauan Riau
-
-
-
-
72.23
7
75.07
6
11. DKI Jakarta
76.1
1
72.5
1
76.07
1
77.60
1
12. Jawa Barat
68.2
14
64.6
15
69.93
14
72.29
15
13. Jawa Tengah
67.0
17
64.6
14
69.78
16
72.49
14
14. Yogyakarta
71.8
2
68.7
2
73.50
4
75.77
4
15. Jawa Timur
65.5
22
61.8
22
68.42
22
71.65
18
16. Banten
-
-
-
-
68.80
20
70.48
23
17. Bali
70.1
8
65.7
10
69.78
15
72.28
16
18. Nusa Tenggara Barat
56.7
26
54.2
26
62.42
32
65.20
32
19. Nusa Tenggara Timur
60.9
24
60.4
24
63.59
31
67.26
31
20. Kalimantan Barat
63.6
23
60.6
23
66.20
28
69.15
28
21. Kalimantan Tengah
71.3
5
66.7
7
73.22
5
74.64
7
22. Kalimantan Selatan
66.3
19
62.2
21
67.44
26
69.92
26
23. Kalimantan Timur
71.4
4
67.8
3
72.94
6
75.56
5
24. Sulawesi Utara
71.8
3
67.1
6
74.21
2
76.09
2
25. Sulawesi Tengah
66.4
8
62.8
20
68.47
21
71.14
22
26. Sulawesi Selatan
66.0
21
63.6
17
68.06
23
71.62
19
27. Sulawesi Tenggara
66.2
20
62.9
19
67.52
24
70.00
25
28. Gorontalo
-
-
-
-
67.46
25
70.28
24
29. Sulawesi Barat
-
-
-
-
65.72
29
69.64
27
30. Maluku
68.2
67.2
5
69.24
17
71.42
20
31. Maluku Utara
-
-
-
-
66.95
27
69.03
30
32. Irian Jaya Barat
-
-
-
-
64.83
30
69.15
29
33. Papua
60.2
25
62.08
33
64.94
33
Indonesia
67.7
13
25
58.8 64.3
Sumber: BPS Pusat
23
69.57
72.27
Tabel 15 Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kab/Kota Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Kabupaten/Kota
Indeks Harapan Hidup
Indeks Pendidikan
Indeks PPP
IPM
Kabupaten/Kota 01
Pacitan
77.09
76.13
62.49
71.91
02
Ponorogo
74.82
72.8
63.4
70.34
03
Trenggalek
77.69
78.15
63.78
73.21
04
Tulungagung
77.37
80.11
62.4
73.29
05
Blitar
76.44
77.93
66.47
73.62
06
Kediri
74.37
79.2
61.59
71.72
07
Malang
73.24
75.09
63.31
70.55
08
Lumajang
70.14
71.1
62.13
67.79
09
Jember
63.14
70.22
61.24
64.87
10
Banyuwangi
70.75
73.02
62.66
68.81
11
Bondowoso
63.59
62.86
61.91
62.79
12
Situbondo
63.66
66.1
62.93
64.23
13
Probolinggo
60.1
63.5
64.78
62.79
14
Pasuruan
64.89
73.69
64.13
67.57
15
Sidoarjo
75.96
86.87
66.16
76.33
16
Mojokerto
75.37
80.35
64.17
73.3
17
Jombang
75.28
79.17
63.74
72.73
18
Nganjuk
73.14
76.34
62.72
70.74
19
Madiun
73.25
75.21
61.05
69.83
20
Magetan
76.88
77.23
64.04
72.72
21
Ngawi
74.75
71.06
60.63
68.82
22
Bojonegoro
70.25
71.18
59.08
66.84
23
Tuban
71.36
71.3
62.1
68.25
24
Lamongan
71.98
74.11
62.79
69.63
25
Gresik
76.63
82.15
64.34
74.37
26
Bangkalan
63.96
66.77
62.83
64.52
27
Sampang
62.69
52.31
63.76
59.58
28
Pamekasan
64.73
66.54
61.95
64.41
29
Sumenep
66.26
64.23
65.41
65.3
71
Kota Kediri
75.66
87.72
65.13
76.17
72
Kota Blitar
78.65
86.68
66.52
77.28
73
Kota Malang
75.39
89.59
66.32
77.1
74
Kota Probolinggo
75.13
80.36
66.76
74.09
75
Kota Pasuruan
69.11
83.99
66.96
73.35
76
Kota Mojokerto
77.53
86.45
66.03
76.67
77
Kota Madiun
76.65
88.53
64.27
76.48
78
Kota Surabaya
76.62
87.78
67.14
77.18
79
Kota Batu
74.03
84.58
64.44
74.35
74.29
74.94
65.42
71.55
Jawa Timur
24
Keterkaitan antar komponen penentu IPM dapat dijelaskan bahwa apabila penduduk Provinsi Jawa Timur bisa terbebas dari angka buta huruf yang berarti angka melek hurufnya tinggi dan rata-rata lama sekolahnya tinggi maka kondisi ini akan menunjang keberhasilan dalam mencerdaskan penduduk Jawa Timur. Kondisi semacam ini pula akan menunjang keberhasilan pelayanan kesehatan, karena penduduk telah mempunyai pengetahuan sehingga mengerti akan pentingnya kesehatan yang selanjutnya sadar dan melaksanakan sesuai dengan kebutuhan kesehatannya. Demikian juga semua upaya pelayanan kesehatan yang berorientasi pada penyadaran pentingnya hidup sehat diperlukan pendidikan yang memadai. Apabila penduduk telah mempunyai pendidikan yang memadai, maka akan mudah diberi bekal pengetahuan dan keterampilan yang ada hubungannya dengan kesehatan melalui penyuluhan kesehatan masyarakat. Tentunya penyuluhan ini disesuaikan dengan pengetahuan, adat istiadat, kebudayaan dan keyakinan serta kepercayaan masyarakat sehingga pelayanan kesehatan dapat diterima dengan mudah. INDEKS PENDIDIKAN PROV. JAWA TIMUR 2010 (74,94)
1. 2.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kab. Ponorogo Kab. Ngawi
Kab. Pacitan Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Blitar Kab. Kediri Kab. Sidoarjo Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Magetan
10. Kab. Gresik 11. Kota Kediri 12. Kota Blitar 13. Kota Malang 14. Kota Probolinggo 15. Kota Mojokerto 16. Kota Madiun 17. Kota Surabaya
INDEKS HARAPAN HIDUP PROV. JATIM 2010 (74,29)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Bojonegoro
9. Kab. Tuban 10. Kab. Lamongan 11. Kab. Bangkalan 12. Kab. Sampang 13. Kab. Pamekasan 14. Kab. Sumenep
1. 2. 3. 4. 5.
Kab. Malang Kab. Nganjuk Kab. Madiun Kota Pasuruan Kota Batu
Keterangan: Kab./Kota yang berada di posisi kanan dari garis vertikal (Indeks Pendidikan) dan berada di posisi atas dari garis horizontal (Indeks Harapan Hidup) Provinsi Jawa Timur a dalah Kab./Kota dengan kondisi lebih baik.
Gambar 3. Posisi Indeks Pendidikan dan Harapan Hidup Per Kabupaten/ Kota Berdasarkan Rata Rata Provinsi Jawa Timur Tahun 2010
25
Sebagai contoh dari kaitan pendidikan dengan kesehatan adalah pendidikan ibu sangat penting dikaitkan dengan kematian bayi. Ibu mempunyai peranan penting dalam merawat kesehatan dan hidup bayi di rumah. Tiga alasan mengapa pendidikan ibu mempunyai peranan penting dalam menurunkan angka kematian bayi. Pertama, ibu yang berpendidikan diharapkan tidak terlalu fatalistik terhadap penyakit dan dapat mengadopsi alternatif modern untuk perawatan anak dan juga dalam terapi. Kedua, seorang ibu yang berpendidikan akan mudah memahami saran-saran dari petugas kesehatan dan ketiga, ibu yang berpendidikan dapat merubah sifat-sifat tradisional hubungan antar keluarga yang mempunyai efek terhadap perawatan anak. Ibu yang berpendidikan akan memberinya kekuatan dan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan secara mandiri. Dengan sendirinya dalam keadaan yang memaksa si ibu akan lebih tanggap untuk melakukan yang terbaik bagi si anak, tanpa harus lama menunggu keputusan orang lain. Selanjutnya kaitan ekonomi dengan kesehatan dapat dijelaskan bahwa daya beli sangat menentukan apakah penduduk Provinsi Jawa Timur mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang dibutuhkan. Kemampuan daya beli ini diimbangi oleh tarif pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat setempat. Bila daya beli tinggi dan diimbangi tarif pelayanan kesehatan yang juga tinggi, maka pelayanan kesehatan hanya dapat dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, sedangkan untuk masyarakat menengah kebawah tidak mampu menikmatinya. Akibatnya akan berpengaruh terhadap kesakitan, kematian dan harapan hidup karena tidak meratanya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Pendapatan mempengaruhi permintaan pemeliharaan kesehatan (pelayanan kesehatan) karena kesehatan mempunyai faktor spesifik yang menurut para ahli ekonomi kesehatan adalah 1) adanya hubungan (asosiasi) antara tingginya pendapatan dengan besarnya permintaan khususnya pelayanan kesehatan dan 2) harga berperan menentukan demand pemeliharaan kesehatan. Pendapatan memungkinkan orang untuk memilih metode pengobatan yang ada. Karena pendapatan akan menyesuaikan metode pengobatan yang dipakai atau dimanfaatkan. Pendapatan seseorang adalah tumpuan dalam kelangsungan hidupnya, sehingga pendapatan yang diterima tiap bulan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan seseorang baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya maupun untuk pemenuhan kebutuhan yang sifatnya tiba-tiba, misalnya insiden sakit. Sakit merupakan keadaan yang datangnya tidak terduga sehingga perlu diantisipasi untuk menyisihkan sebagian pendapatan.
26
INDEKS DAYA BELI PROV. JAWA TIMUR 2010 (65,42) 1. Kab. Pacitan 2. Kab. Ponorogo 3. Kab. Trenggalek
4.Kab Tulungagung 5.Kab. Kediri 6.Kab. Mojokerto
7. 8. 9. 10. 11.
Kab. Jombang Kab. Magetan Kab. Ngawi Kab. Gresik Kota Madiun
1.Kab. Blitar 2.Kab. Sidoarjo 3.Kota Kediri 4.Kota Blitar
5.Kota Malang 6.Kota Probolinggo 7.Kota Mojokerto 8.Kota Surabaya
INDEKS HARAPAN HIDUP PROV. JATIM 2010 (74,29) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kab. Malang Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwang Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Nganjuk
10.Kab. Madiun 11.Kab. Bojonegor 12.Kab. Tuban 13.Kab. Lamongan 14.Kab. Bangkalan 15.Kab. Sampang 16.Kab. Pamekasa 17.Kab. Sumenep 18.Kota Batu
1. Kota Pasuruan
Keterangan: Kabupaten / Kota yang berada di posisi kanan dari garis vertikal (Indeks Daya Beli) dan berada di posisi atas dari garis horizontal (Indeks Harapan Hidup) Provinsi Jawa Timur adalah Kab./Kota dengan kondisi lebih baik.
Gambar 4.
Posisi Indeks Daya Beli dan Indeks Harapan Hidup Per Kabupaten / Kota Berdasarkan Rata Rata Provinsi Jawa Timur Tahun 2010
Dengan daya beli yang baik, diharapkan masyarakat akan dapat menikmati pelayanan kesehatan. Dengan dapat menikmati pelayanan kesehatan secara merata ditunjang gizi yang baik, imunisasi lengkap dan dengan program keluarga berencana secara mandiri akan meningkatkan Angka Harapan Hidup Pendapatan mempengaruhi kematian secara tidak langsung. Pendapatan akan mempengaruhi tingkat konsumsi yang berkaitan dengan kesehatan, seperti misalnya makanan, perumahan, sanitasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Pendapatan yang tinggi akan memperbaiki tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan menurunkan mortalitas.
27
INDEKS PENDIDIKAN PROV. JAWA TIMUR 2010 (74,94) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kab. Blitar Kab. Sidoarjo Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Surabaya
INDEKS DAYA BELI PROV. JATIM 2010 (65,42)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kab. Ponorogo Kab. Lumajang Kab. Jember Kab. Banyuwangi Kab. Bondowoso Kab. Situbondo Kab. Probolinggo Kab. Pasuruan Kab. Ngawi
10. Kab. Bojonegoro 11. Kab. Tuban 12. Kab. Lamongan 13. Kab. Bangkalan 14. Kab. Sampang 15. Kab. Pamekasan 16. Kab. Sumenep
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Kab. Pacitan Kab. Trenggalek Kab. Tulungagung Kab. Kediri Kab. Malang Kab. Mojokerto Kab. Jombang Kab. Nganjuk Kab. Madiun
10. Kab. Magetan 11. Kab. Gresik 12. Kota Madiun 13. Kota Batu
Keterangan: Kabupaten / Kota yang berada di posisi kanan dari garis vertikal (Indeks Pendidikan) dan berada posisi di atas dari garis horizontal (Indeks Daya Beli) Provinsi Jawa Timur adalah kabupaten/kota dengan kondisi yang lebih baik.
Gambar 5. Posisi Indeks Pendidikan dan Indeks Daya Beli Per Kabupaten /Kota Berdasarkan Ratarata Provinsi Jawa Timur Tahun 2010
Kaitan antara pendidikan dan ekonomi dapat dijelaskan bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan wawasan seseorang. Seseorang yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang lebih rasional serta lebih mudah menerima ide-ide dan tata cara kehidupan baru dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah atau tidak berpendidikan. Selain itu, tingkat pendidikan juga mempengaruhi seseorang untuk bersikap. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang makin mudah pula orang tersebut menentukan sikap, lebih kaya dengan pilihan-pilihan untuk bertindak, banyak alternatif yang ditemukannya Hubungan pendidikan dan produktifitas kerja juga tercermin juga dalam penghasilan. Pendidikan yang lebih tinggi mengakibatkan produktifitas kerja yang lebih tinggi dan oleh karena itu penghasilan juga lebih tinggi. Dengan demikian pendidikan dan latihan dipandang sebagai investasi yang imbalannya dapat diperoleh beberapa tahun kemudian dalam bentuk pertambahan hasil kerja. Bentuk investasi di bidang pendidikan dan latihan seperti itu 28
dinamakan human capital. Asumsi dasar dari teori human capital adalah bahwa sesorang dapat meningkatkan penghasilannya melalui peningkatan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti, di satu pihak, meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang, tetapi dipihak lain menunda penerimaan penghasilan selama satu tahun karena mengikuti pendidikan dan latihan tersebut. Kontribusi Upaya Pengendalian Kuantitas Penduduk dalam IPM Dalam kaitan dengan kesehatan, peran program KB dalam pencegahan kehamilan
yang tidak diinginkan dan kehamilan dengan resiko tinggi serta perawatan kehamilan, kelahiran dan perawatan pasca melahirkan akan menyelamatkan beberapa nyawa ibu dari kematian maternal. Perawatan prenatal dan kemampuan mencegah resiko tinggi untuk melahirkan akan membantu mencegah kematian bayi dan anak. Anak anak dari keluarga besar cenderung kurang mendapatkan perawatan kesehatan dan anak anak yang lahir dari kehamilan yang tidak diinginkan memiliki resiko kematian lebih tinggi dibandingkan dengan anak anak dan kehamilan yang direncanakan. Penggunaan kontrasepsi akan memperkecil jumlah keluarga dan memperpanjang jarak kelahiran. Kedua hal tersebut akan meningkatkan investasi keluarga untuk kesehatan dan nutrisi sehingga akan menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan. Dalam kaitan dengan ekonomi. Pada tingkat makro bahwa penurunan kelahiran akan mempercepat perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara.
Gambar 5. Peran KB dalam Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia
29
Dalam kaitan dengan pendidikan, keluarga dengan anak sedikit dan jarak kelahiran yang lebar akan memungkinkan mereka berinvestasi untuk pendidikan anaknya. Hal itu akan memberikan keuntungan khusus bagi anak perempuan karena umumnya anak perempuan memperoleh prioritas yang rendah dibandingkan anak laki-laki. Anak perempuan yang keluar dari sekolah (DO) umumnya lebih rendah aksesnya terhadap pelayanan KB.
30
BAB VI KEMISKINAN DAN KESEJAHTERAAN
Kemiskinan merupakan keadaan dimana terjadi kekurangan atau ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pakaian, makanan, tempat berlindung dan air minum. Kemiskinan juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi kemiskinan itu sendiri. Berdasarkan kesepakatan Millenium Development Goals (MDGs) kemiskinan merupakan hal utama yang harus diperhatikan dan diberantas setiap negara. Hal ini dikarenakan tingkat kemiskinan suatu negara akan berdampak pula terhadap kesehatan dan keamanan masyarakat. Begitu pula di Jawa Timur. Masalah kemiskinan telah mendapat perhatian serius melalui digalakkannya berbagai program pengentasan kemiskinan. Perkembangan pembangunan suatu daerah dapat dipantau dari indikator makro pembangunan diantaranya kemiskinan. Dari tahun ke tahun jumlah penduduk miskin di Jawa Timur cenderung menurun. Selama periode Maret-September 2011 persentase penduduk miskin di Jawa Timur turun 0,38 poin persen atau menjadi 13,85 persen di bulan September 2011. Penduduk miskin selama periode Maret-September 2011 turun sebanyak 128,9 ribu penduduk atau menjadi 5.227,31 ribu penduduk di bulan September 2011. Penurunan persentase kemiskinan percepatannya tidak secepat tahun-tahun sebelum
Jumlah Penduduk Miskin di Jawa Timur
8.000,0
7.155,3
6.651,3 6.022,6
6.000,0
5.529,3
5.356,2
4.000,0 2.000,0 2007
2008
2009
2010
2011
Sumber : BPS, 2010
atau cenderung melandai. Hal ini diduga lebih disebabkan hardcore poverty yang terjadi. Upaya pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk menanggulangi hardcore poverty dilakukan dengan berbagai program pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan modal. Penduduk miskin sebanyak 66,82 persen tinggal di daerah pedesaan atau sebanyak 3,493 ribu jiwa. Angka tersebut jika dibagi dengan jumlah penduduk secara aggregat pada masing-masing wilayah yaitu pedesaan dan perkotaan menunjukkan persentase penduduk miskin untuk daerah pedesaan sebesar 17,55 persen dan 9,66 persen untuk daerah perkotaan. Tingkat kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dari pada daerah perkotaan. Ini menunjukan masih adanya disparitas antara desa dan kota. 31
Tabel 16. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Per Provinsi di Indonesia Tahun 2011 Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin (Ribu) (%) Propinsi Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa Nangroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Papua Barat Papua Indonesia
176.02 691.13 140.49 141.92 108.17 409.15 95.28 241.94 25.32 106.35 363.42 2 654.69 2 092.51 304.34 1 768.23 335.53 92.95 448.14 117.04 84.47 29.36 59.47 92.14 77.25 61.90 137.02 29.84 19.29 29.68 59.60 8.09 10.78 35.27 11 046.75
718.78 790.18 301.59 340.13 164.51 665.66 208.33 1 056.77 46.74 23.21 0.00 1 993.93 3 014.85 256.55 3 587.98 354.96 73.28 446.63 895.87 295.64 117.54 135.15 155.77 117.65 361.74 695.89 300.17 178.98 135.19 300.72 89.22 239.06 909.53 18 972.18
894.81 1 481.31 442.09 482.05 272.67 1 074.81 303.60 1 298.71 72.06 129.56 363.42 4 648.63 5 107.36 560.88 5 356.21 690.49 166.23 894.77 1 012.90 380.11 146.91 194.62 247.90 194.90 423.63 832.91 330.00 198.27 164.86 360.32 97.31 249.84 944.79 30 018.93
13.69 10.75 7.42 6.37 11.19 15.15 17.74 12.27 4.11 7.35 3.75 9.26 14.12 13.16 9.87 4.61 3.91 23.67 12.50 6.33 3.91 3.84 4.06 7.46 9.46 4.61 4.80 5.37 10.77 10.24 2.80 6.05 4.60 9.23
21.87 11.89 10.07 9.83 7.53 13.73 17.39 18.54 7.35 7.65 13.32 17.14 21.82 18.19 9.75 4.65 16.90 23.36 9.59 7.89 6.34 11.21 9.37 17.89 13.57 18.24 25.65 14.83 30.54 11.58 39.56 41.58 15.72
19.57 11.33 9.04 8.47 8.65 14.24 17.50 16.93 5.75 7.40 3.75 10.65 15.76 16.08 14.23 6.32 4.20 19.73 21.23 8.60 6.56 5.29 6.77 8.51 15.83 10.29 14.56 18.75 13.89 23.00 9.18 31.92 31.98 12.49
Sumber: BPS Pusat
Asumsi
dasar
bahwa
kemiskinan
merupakan
satu-satunya
faktor
penyebab
pengangguran, sementara ini dapat digunakan sebagai “pintu” masuk analisis kondisi masyarakat di Jawa Timur. Tetapi hubungan kausalaitas keduanya akan nampak jelas jika mencermati hubungan data yang ditampilkan berikut ini. Sebagai gambaran awal, kondisi
32
kemiskinan di Jawa Timur dari periode tahun 2002 sampai tahun 2007 dapat dilihat dalam Tabel dibawah ini. Tabel 17 Jumlah dan Persentase Angka Kemiskinan dan Pengangguran di Jawa Timur Tahun
2002
2003
Pendk.Miskin
7,181,757
Persentase
Penganggur Persentase
2004
2005
2006
2007
7,064,289
6,979,564
8,390,996
7,455,655
7,137,699
20,34%
19,52%
19,10%
22,51%
19,89%
18,84%
846,296
870,094
1,011,170
1,082,221
1,051,295
1,366,503
4,74%
5,0%
5,5%
5,82%
5,62%
6,79%
Sumber : BPS Provinsi Jawa Timur dalam angka, 2008 Dilihat dari selisih angka kemiskinan pada tahun 2005 dan tahun 2006 yang hanya turun 2,62 persen, sementara angka pegangguran mencapai 8,19 persen, maka dapat diartikan bahwa program pengentasan kemiskinan di Jawa Timur masih dibawah 10 persen atau tepatnya baru mencapai 9,81 persen. Selanjutnya, bila dihubungkan dengan angka pengangguran, bisa jadi angka ini berkorelasi, Artinya pengangguran baru yang setiap tahun muncul dari tambahan angkatan kerja baru inilah yang menjadi keluarga miskin baru. Angkatan kerja baru yang notabene adalah kelompok usia muda, sehingga sangat beralasan bahwa golongan angkatan kerja ini menjadi kelompok pengangguran terdidik. Dengan demikian, pada saat yang sama dilakukan program pengentasan kemiskinan sekaligus program perluasan kesempatan kerja baru yang baru tersedia setiap tahunnya. Indikator utama ketenagakerjaan yang sering digunakan sebagai indikasi keberhasilan dalam menangani masalah pengangguran adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), yang merupakan perbandingan antara jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja. Besarnya angka pengangguran terbuka mempunyai implikasi sosial yang luas karena mereka yang tidak bekerja tidak mempunyai pendapatan. Semakin tinggi angka pengangguran terbuka maka semakin besar potensi kerawanan sosial yang ditimbulkannya, contohnya kriminalitas. Sebaliknya semakin rendah angka pengangguran terbuka maka semakin stabil kondisi sosial dalam masyarakat. Sangatlah tepat jika pemerintah seringkali menjadikan indikator ini sebagai tolok ukur keberhailan pembangunan.
33
Tabel 18 Ekonomi Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan Provinsi Jawa Timur Tahun 2010 Kabupaten/Kota
Pert. Ekonomi 6.52
TPT
TPAK
0.87
83
Penganggur
% Pra KS
% KS 1
3,031
23.94
11.7
01
Pacitan
02
Ponorogo
6.13
3.83
73.74
18,898
26.98
21.73
03
Trenggalek
6.1
2.15
74.3
8,312
22.56
21.93
04
Tulungagung
6.82
3.50
72.73
19,021
20.58
20.7
05
Blitar
6.81
2.24
70.13
13,276
20.18
24.93
06
Kediri
6.53
3.75
68.04
28,634
16.22
20.94
07
Malang
6.22
4.49
68.26
56,425
19.48
20.53
08
Lumajang
5.92
3.17
63.78
15,459
12.65
20.01
09
Jember
6.16
2.71
66.36
31,472
18.14
23.52
10
Banyuwangi
6.63
3.92
70.24
32,415
20.8
20.89
11
Bondowoso
5.64
1.59
71.48
6,450
42.1
22.44
12
Situbondo
5.62
3.13
71.78
11,289
31.64
18.67
13
Probolinggo
6.46
2.02
73.28
12,190
32.94
24.96
14
Pasuruan
6.76
3.49
70.12
27,678
21.59
23.17
15
Sidoarjo
6.19
8.35
68.81
83,603
4.62
10.93
16
Mojokerto
6.81
4.84
70.51
26,381
15.82
18.91
17
Jombang
6.31
5.27
68.31
32,175
21.32
21.87
18
Nganjuk
6.75
3.64
65.66
18,364
32.3
24.8
19
Madiun
5.92
5.55
68.03
19,282
25.82
18.24
20
Magetan
5.83
2.41
78.75
9,217
12.19
14.84
21
Ngawi
6.19
4.80
70.73
21,476
57.35
8.48
22
Bojonegoro
12.26
3.29
67.88
20,723
52.07
16.59
23
Tuban
6.62
2.86
69.96
17,116
46.79
14.87
24
Lamongan
6.9
3.62
66.4
21,615
36.07
13.32
25
Gresik
6.93
7.70
67.07
45,199
17.17
14.69
26
Bangkalan
5.44
5.79
67.51
25,008
23.19
35.2
27
Sampang
5.33
1.77
72.3
7,868
40.59
32.97
28
Pamekasan
5.84
3.53
74.72
15,471
40.54
25.65
29
Sumenep
5.73
1.89
73.9
11,343
23.07
29.05
30
Kota Kediri
5.91
7.39
66.54
9,923
9.89
18.15
31
Kota Blitar
6.33
6.66
66.16
4,371
5.56
13.85
32
Kota Malang
6.52
8.68
63.81
34,085
11.19
17.55
33
Kota Probolinggo
6.04
6.85
63
5,444
3.39
14.53
34
Kota Pasuruan
6.33
7.23
63.29
5,956
12.09
22.74
35
Kota Mojokerto
6.56
7.52
68.26
4,623
10.77
20.45
36
Kota Madiun
6.92
9.52
66.63
8,342
1.6
16.26
37
Kota Surabaya
7.08
6.84
63.02
91,390
5.82
24.05
38
Kota Batu
7.06
5.55
68.24
5,418
11.57
18.29
Jawa Timur
6.67
4.25
69.08
828,943
23.6
20.64
34
Ukuran angkatan kerja lainnya yang sering digunakan adalah tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK), yaitu angka yang menunjukkan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Angka TPAK dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui penduduk yang aktif bekerja ataupun mencari pekerjaan. Bila angka TPAK kecil maka dapat diduga bahwa penduduk usia kerja banyak yang tergolong bukan angkatan kerja baik yang sedang sekolah maupun mengurus rumah tangga dan lainnya. Dengan demikian angka TPAK dipengaruhi oleh faktor jumlah penduduk yang masih bersekolah dan penduduk yang mengurus rumah tangga. Kedua faktor tersebut dapat pula dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan sosial budaya. Pada tahun 2000, TPAK di Indonesia mencapai angka 68 persen, meningkat sangat tajam dibandingkan tahun 90-an yang hanya berkisar 50 persen (Priyono,2002). Sejalan dengan peningkatan TPAK di Indonesia, TPAK Jawa Timur juga mengalami peningkatan. Bahkan di akhir tahun 2000-an TPAK Jawa Timur berkisar 69 persen. Peningkatan TPAK ini merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan khususnya pembangunan ekonomi.
Angka Buta Huruf dan Tingkat Pendidikan Penduduk Jawa Timur
Potensi keaksaraan merupakan landasan penting untuk menjadikan setiap warga negara menjadi individu yang berkualitas. Sehingga mereka pun dapat mengenal dunia, memahami faktor yang memengaruhi lingkungan, berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional, membangun demokrasi dan memperkuat identitas budayanya. Kesenjangan pengetahuan dalam masyarakat yang sering menjadi masalah sosial, politik dan ekonomi dapat dikurangi karena masyarakatnya melek huruf dan berpendidikan. Maju atau tidaknya suatu daerah sangat di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu daerah di pengaruhi oleh faktor pendidikan . Dengan pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan manusia maka manusia tersebut akan semakin tangguh dalam mengarungi arus kemajuan jaman dan menjalani kehidupan. Sampai saat ini, masih ada 11,98% penduduk Jawa Timur yang buta huruf. Data tingkat pendidikan menunjukkan bahwa 2,7% penduduk Jawa Timur tidak bersekolah, 9,1% tidak tamat SD, 38,7% tamat SD, 22,5% tamat SMP dan 27% penduduk jawa Timur tamat SMA+. Sebagian besar penduduk Jawa Timur masih berpendidikan SMP ke bawah. 35
Tabel 18 Persentase Buta Huruf dan Tingkat Pendidikan Penduduk Jawa Timur Tahun 2010 Kabupaten/Kota
% Buta Huruf 8.42
Tdk Sklh
Tdk Tmt SD
Tmt SD
Tmt SMP
0.3
5.7
42
32.7
Tmt SMA+ 19.3
01
Pacitan
02
Ponorogo
13.22
2.2
8.3
39.9
23.1
26.4
03
Trenggalek
7.17
1.2
2.1
49.8
29.5
17.4
04
Tulungagung
6.48
0
2.4
41.8
27.3
28.5
05
Blitar
7.82
0.7
6.3
34.1
30.7
28.2
06
Kediri
6.55
1.6
6.1
37.4
25.6
29.3
07
Malang
10.22
1.6
10.4
41.7
25.6
20.7
08
Lumajang
13.69
2.8
9.7
49.7
16.4
21.3
09
Jember
16.84
2.5
16
45.3
19.7
16.5
10
Banyuwangi
13.5
1
10.2
37.8
27.7
23.3
11
Bondowoso
24.36
4.6
19.7
52
13.8
9.9
12
Situbondo
21.4
6.7
14.5
48.4
16.1
14.2
13
Probolinggo
21.94
5.6
18.9
52.4
11.1
12
14
Pasuruan
10.8
3.2
18.8
45.5
18.5
14.1
15
Sidoarjo
2.59
0.7
4.8
20.8
19.1
54.6
16
Mojokerto
5.89
1.4
8
38.6
27.2
24.9
17
Jombang
7.48
1.1
6.4
33.6
28.7
30.1
18
Nganjuk
9.52
1.2
6.7
43.6
23.1
25.5
19
Madiun
10.76
1
8
40
20.4
30.5
20
Magetan
9.56
0.7
3.2
27.2
28.8
40.1
21
Ngawi
14.85
5.4
9.8
38.9
23.6
22.4
22
Bojonegoro
15.41
2.4
7.3
45.2
24.9
20.2
23
Tuban
14.24
3.7
5
51.7
20.7
18.8
24
Lamongan
12.57
2.1
7.7
35.9
28.1
26.2
25
Gresik
5.53
0.7
2.3
32.5
27.9
36.6
26
Bangkalan
17.16
10.7
13.4
55.8
8
12.1
27
Sampang
34.96
23.6
21.7
39
7.5
8.2
28
Pamekasan
19.54
5.9
12.5
47.9
17
16.6
29
Sumenep
21.35
10.4
11.2
39.1
24.8
14.6
30
Kota Kediri
2.39
0.4
3
18.8
27.8
50
31
Kota Blitar
2.76
0
1.2
17.4
22.1
59.3
32
Kota Malang
2.7
1
6.9
23.8
20.5
47.9
33
Kota Probolinggo
7.66
3.7
5.4
29.8
17.7
43.4
34
Kota Pasuruan
3.69
1.8
6.3
29.8
20
42.1
35
Kota Mojokerto
2.85
0.4
3.5
18
18.3
59.9
36
Kota Madiun
2.2
0.4
0.4
16.6
17
65.5
37
Kota Surabaya
1.69
1
4.3
21.6
20.8
52.2
38
Kota Batu
1.26
0.5
3.4
30.1
24.9
41.1
11.98
2.7
9.1
38.7
22.5
27
Jawa Timur
36
Kondisi Perumahan dan Lingkungan
Kondisi perumahan dapat dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Rumah yang layak sebaiknya mampu memenuhi syarat kesehatan bagi penghuninya. Beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan status kelayakan sebuah rumah diantaranya luas lantai yang ditempati, jenis atap terluas, jenis dinding terluas dan kepemilikan sarana dan prasarana penunjang lainnya seperti listrik, air minum dan tempat pembuangan air besar. Dengan kondisi semacam ini, keadaan perumahan beserta lingkungannya dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan rumah tangga dan juga tingkat kesejahteraan masyarakat. Disisi lain, program kesehatan lingkungan yang bertujuan menjaga, membentuk/mencapai dan melestarikan keadaan lingkungan yang sehat, bersih dan nyaman juga dilakukan. Hal ini disadari bahwa perumahan saat ini tidak hanya sekedar tempat berteduh tetapi merupakan cermin kehidupan masyarakat, sehingga perlu terwujudnya rumah sehat yang dapat memberikan rasa nyaman dan nikmat bagi penghuninya. Di Jawa Timur, rata-rata penduduk memiliki luas lantai 21,46 M 2. Dan kondisi perumahan penduduk Jawa Timur 81,28% non tanah. Selain itu, lingkungan mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap kesehatan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian semua indikator lingkungan belum dapat digunakan karena keterbatasan sumberdaya sehingga faktor-faktor lingkungan yang ditampilkan masih terbatas pada faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kejadian penyakit antara lain adalah penyediaan air bersih dan kepemilikan jamban septik. Ketersediaan air bersih merupakan upaya pengendalian lingkungan dan perilaku manusia untuk memerangi penyakit terutama penyakit menular pada saluran pencernaan seperti diare. Oleh karena itu salah satu upaya yang dilakukan adalah menjaga kualitas air. Jumlah penduduk Jawa Timur yang memiliki Akses Air Bersih sebanyak 93,3 %. Dan dari aspek sumber air minum, dapat dikatakan kondisinya masih jauh dari kondisi ideal. Sumber air minum merupakan sumber air yang digunakan oleh rumah tangga untuk minum seharihari. Sumber air minum masyarakat Jawa Timur 26,4% adalah ledeng dan air kemas. Sementara itu, cakupan jamban septik di Jawa Timur adalah 56,87%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase cakupan jamban septik di Jawa Timur masih rendah. Kondisi perumahan dan lingkungan dapat menggambarkan status kesejahteraan dan kesehatan suatu masyarakat. Secara keseluruhan kondisi perumahan dan lingkungan penduduk Jawa Timur dapat dilihat dalam tabel 19.
37
Tabel 19 Kondisi Perumahan dan Lingkungan Kabupaten/Kota
Luas Lantai
Non Tanah
Air Bersih
Air Kemas dan Ledeng
Jamban Septik
Kabupaten 01
Pacitan
23.03
72.39
83.5
11.95
39.74
02
Ponorogo
27.23
76.13
96.74
15.4
63.79
03
Trenggalek
22.71
88.3
69.83
6.85
49.9
04
Tulungagung
21.87
89.37
96.17
17.24
68.48
05
Blitar
25.42
90.6
93.59
4.96
49.55
06
Kediri
21.29
89.6
94.84
3.9
61.01
07
Malang
21.55
88.77
96.98
14.2
56.23
08
Lumajang
18.01
93.12
96.07
15.36
40.13
09
Jember
18.37
89.79
93.15
10.01
42.08
10
Banyuwangi
22.47
88.03
88.68
10.35
54.49
11
Bondowoso
18.1
69.24
88.4
6.7
22.12
12
Situbondo
16.86
69.93
89.32
12.09
29.21
13
Probolinggo
19.45
69.87
84.85
13.23
26.83
14
Pasuruan
17.01
87.73
95.56
20.28
49.65
15
Sidoarjo
19.62
95.43
99.11
48.46
82.07
16
Mojokerto
20.44
85.07
96.11
11.27
68.05
17
Jombang
20.86
86.75
98.98
16.27
66.07
18
Nganjuk
23.29
71.99
96.34
8.48
59.57
19
Madiun
33.49
72.4
92.86
11.47
61.07
20
Magetan
30.97
88.25
94.71
37.02
72.65
21
Ngawi
36.59
41.72
95.44
17.68
42.41
22
Bojonegoro
29.34
40.06
95.85
17.33
40.79
23
Tuban
23.56
61.77
95.92
27.83
49.81
24
Lamongan
22.62
68.29
85.12
54.67
67.77
25
Gresik
19.03
84.2
93.5
65.96
83.84
26
Bangkalan
16.28
73.95
97.22
18.82
25.68
27
Sampang
21.73
42.13
73.16
19.55
29.57
28
Pamekasan
17.49
63.49
91.96
11.71
34.02
29
Sumenep
17.37
86.49
94.91
10.7
28.46
30
Kota Kediri
20.53
94.91
99.84
29.89
89.98
31
Kota Blitar
22.16
98.57
93.64
20.51
93.48
32
Kota Malang
21.33
94.71
99.3
54.8
81.64
33
Kota Probolinggo
18.85
88.87
100
42.91
77.29
34
Kota Pasuruan
17.96
98.51
99.34
60.89
71.78
35
Kota Mojokerto
23.36
97.75
100
58.68
93.09
36
Kota Madiun
26.11
96.49
99.52
75.6
94.9
37
Kota Surabaya
18.41
96.52
99.2
98.48
96.43
38
Kota Batu
20.46
94.73
99.18
61.51
78.21
Jawa Timur
21.46
81.28
93.73
26.4
56.87
38
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1.
Jumlah penduduk Jawa Timur berdasarkan sensus penduduk 2010 sebanyak 37.476.757 jiwa, terdiri dari 18.503.516 laki-laki dan 18.973.241perempuan. Kabuapten/Kota di Jawa Timur yang jumlah penduduknya paling banyak adalah Kota Surabaya yang mencapai 2.765.487 jiwa diikuti oleh Kabupaten Malang sebesar 2.446.218 jiwa dan Kabupaten Jember 2.332.726 jiwa.
2.
Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate = CBR) adalah jumlah kelahiran per 1000 penduduk untuk periode 1 tahun. Dikatakan kasar, karena sebagai penyebutnya adalah jumlah penduduk keseluruhan, tanpa mempertimbangkan resiko kelahiran. Di Jawa Timur, per 2010 CBR nya adalah sebesar 15.754. Ini artinya jumlah kelahiran selama setahun di Jawa Timur adalah sebanyak 590.408 kelahiran, setiap bulan ada 49.201 kelahiran dan setiap hari ada 1.640 kelahiran.
3.
Angka Kelahiran Menurut Umur Ibu (Age Spesific Fertilit y Rate = ASFR) adalah jumlah kelahiran per 1000 perempuan reproduktif yang dirinci menurut usia. Ukuran ASFR ini lebih halus daripada CBR karena penyebutnya adalah penduduk yang beresiko untuk melahirkan yaitu perempuan usia reproduktif.
Di Jawa Timur, ada sebanyak 112
kelahiran per 1000 perempuan usia usia 20-24 tahun. 4.
Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate = TFR) adalah rata rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan selama masa reproduktifnya. Ukuran fertilitas ini adalah ukuran yang sangat penting untuk mengetahui keberhasilan pengendalian penduduk di suatu daerah. Di Jawa Timur, rata rata jumlah anak yang dilahirkan oleh perempuan selama masa reproduksinya adalah sebesar 2,02 anak (SP 2010 metode own children).
5.
Angka Reproduksi Kasar (Gross Reproducive Rate = GRR) adalah jumlah anak perempuan yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa r eproduksi. Anak yang dilahirkan ini adalah khusus berjenis kelamin perempuan, dengan maksud anak perempuan akan menggantikan ibunya untuk melahirkan. Di Jawa Timur Tahun 2010, GRR nya sebesar 0,9541, artinya bahwa anak perempuan yang dilahirkan sebanyak 0,9541per perempuan selama masa reproduksi.
6.
IPM Jawa Timur telah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 IPM Jawa Timur adalah sebesar 65,89 meningkat menjadi 70,38 pada tahun 2008 dan
39
meningkat lagi menjadi 71,55 pada tahun 2010. Kabupaten dengan IPM tertinggi adalah Kota Blitar yaitu 77,18 7.
Situasi derajat kesehatan penduduk Jawa Timur sudah baik. AHH meningkat, AKB menurun, dan mayoritas masyarakat sudah menyadari arti penting kesehatan lingkungan. Hanya saja masih terdapat penduduk yang tidak memiliki jamban septik sebesar 43,13%.
8.
Secara umum, Jawa Timur telah memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik yaitu 6.67. Kabupaten dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi adalah Kabupaten Bojonegoro yaitu 12.26, disusul kemudian oleh Kota Surabaya (7.08) dan Kota Batu (7.06).
9.
Sampai saat ini, masih ada 11,98% penduduk Jawa Timur yang buta huruf. Data tingkat pendidikan menunjukkan bahwa 2,7% penduduk Jawa Timur tidak bersekolah, 9,1% tidak tamat SD, 38,7% tamat SD, 22,5% tamat SMP dan 27% penduduk jawa Timur tamat SMA+. Sebagian besar penduduk Jawa Timur masih berpendidikan SMP ke bawah.
7.2. Saran
1.
Program pengendalian penduduk melalui program Keluarga Berencana harus terus mendapat perhatian karena jumlah penduduk Jawa Timur tergolong besar, rangking kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Perlu dilakukan sosialisasi yang tepat sasaran dan berkelanjutan, hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan pendidikan dan pemahaman wanita terutama tentang KB, usia kawin pertama dan memperketat usia kawin pertama.
2.
Perlu upaya yang lebih serius dalam program pemberantasan buta huruf agar Jawa Timur bebas buta huruf. Wajib belajar 12 tahun yang menjadi program andalan Jawa Timur hendaknya benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat agar tingkat pendidikan penduduk Jawa Timur dapat meningkat.
40