1
BAB 1 PENDAHULUAN Bab Pendahuluan ini akan membahas latar belakang penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Penelitian Depresi merupakan hal yang umum terjadi pada penderita kanker. Depresi sering diteliti karena gejala-gejala yang terjadi sering sulit dievaluasi ketika pasien menerima penanganan kanker. Lebih dari 100 studi menunjukkan 0-58% penderita kanker berhubungan dengan depresi yang tinggi (Massie, 2004). WHO
(2010)
menyatakan
bahwadepresi
menyebabkan
seseorang
kehilangan minat atau kesenangan, perasaan bersalah atau rendah diri, tidur terganggu atau hilangnya nafsu makan, energi rendah dan menurunnya konsentrasi. Dan yang paling buruk, depresi juga dapat menyebabkan bunuh diri. Kematian tragis yang terkait dengan depresi terhitung sekitar 850.000 nyawa setiap tahunnya (WHO, 2010). Guze & Robins (1970) meninjau 17 penelitian mengenai bunuh diri pada pasien dengan gangguan afektif di Inggris dan menyimpulkan bahwa 15% pasien bunuh diri disebabkan oleh depresi. Selanjutnya Goodwin & Jamison (1990) meninjau 13 penelitian lainnya di Inggris untuk mereplikasi hasil penelitian Guze & Robins dan sampai pada kesimpulan
2
bahwa 18,9% pasien bunuh diri meninggal kerena disebabkan oleh depresi (dalam Bostwick & Pankratz, 2000). Depresi dikaitkan dengan efek samping penyakit kronis yaitu krisis keuangan, kehilangan pekerjaan dan kemandulan. Sementara itu menurut Souza dkk.(2003) depresi sering diderita bersamaan dengan penyakit lainnya—seperti kanker, HIV, kardiovaskular—dimana penyakit tersebut dapat mendahului, menyebabkan, dan/atau adalah akibat dari depresi.Penelitian Souza dkk.(2003) menunjukkan bahwa orang yang mengalami depresi bersamaan dengan penyakit kronis cenderung memiliki gejala lebih parah dibandingkan depresi atau penyakit medis itu sendiri. Penelitian ini juga telah membuktikan lebih lanjut bahwa mengobati depresi juga dapat membantu meningkatkan hasil penyembuhan penyakit. Souza dkk. (2003) menunjukkan bahwa keadaan depresi yang lebih tinggi ditemukan pada orang yang mengalami chronic obstructive pulmonary disease/COPD (salah satu jenis penyakit kanker paru-paru) dibandingkan dengan orang yang sehat (tidak mengalami penyakit kronis). Hal ini terjadi karena orang yang didiagnosis menderita kanker akan mengalami pergolakan stres dan emosi. Isu penting yang akan mereka hadapi diantaranya takut akan kematian, rencana kehidupan, perubahan dalam citra tubuh dan self esteem, perubahan peran sosial serta gaya hidup. Meski begitu, tidak semua orang yang menderita kanker mengalami depresi (Souza dkk., 2003).
3
World Health Organisation/WHO menyatakan bahwa kanker merupakan salah satu dari empat penyakit terkemuka yang menjadi ancaman bagi kesehatan dan perkembangan masyarakat, diikuti oleh penyakit jantung, gangguan pernapasan akut dan diabetes (Cancer Research UK, 2011). Pada tahun 2008 diperkirakan 12,66 juta orang di dunia didiagnosis menderita kanker dan 7,56 juta orang diantaranya meninggal karena penyakit kanker (Cancer Research UK, 2011). Angka ini mencatat kanker paru-paru sebagai jenis kanker tertinggi yang diderita oleh laki-laki (terhitung 16,5 % dari seluruh kasus kanker yang diderita laki-laki) dan kanker payudara sebagai jumlah kasus kanker tertinggi yang diderita oleh perempuan (terhitung 23% dari seluruh kasus kanker yang diderita perempuan) di seluruh dunia (Cancer Research UK, 2011). Lebih dari setengah penderita kanker di dunia ditemukan di negara-negara berkembang. Tanpa adanya intervensi maka diperkirakan jumlah penderita kanker akan terus meningkat di dekade-dekade berikutnya (Cancer Research UK, 2011). Penelitian Souza dkk. (2003) dan Taylor (2009) menunjukkan adanya keterkaitan yang jelas antara depresi dan kanker. Meskipun sejumlah besar penelitian telah dilakukan sejak 20 tahun lalu, depresi sering tidak terdiagnosa dan tidak tertangani. Secara umum 25% dari penderita kanker diindikasikan mengalami depresi akan tetapi hanya 2% dari mereka yang memperoleh penanganan secara medis (menerima obat anti depresan), padahal pemberian diagnosis depresi secara benar dan penanganannya dapat sangat membantu dalam meningkatkan hasil pengobatan dan kualitas hidup para penderita kanker (National Institue of Mental Health/NIMH, 2010).
4
Hasil penelitian Institute Of Medicine atau IOM (1997) mengenai depresi menunjukkan bahwa kejadian hidup yang penuh stres berhubungan dengan meningkat atau munculnya depresi dan menyebutkan stress sebagai salah satu faktor resiko depresi. Penelitian ini menyatakan bahwa setiap gangguan mental memiliki kemungkinan disebabkan oleh resiko multifaktor, yaitu beberapa faktor yang bersatu sebagai gangguan mental tersebut. Berdasarkan laporan U.S. Department of Health and Human Services (1999) meskipun salah satu faktor resiko mungkin saja memegang peran terbesar dibandingkan faktor yang lainnya, interaksi dari faktor lain dapat menambah atau bersinergi dengan faktor terbesar tersebut untuk menyebabkan gangguan mental. NIMH (2010) juga menyatakan bahwa depresi tidak disebabkan oleh satu faktor, sebaliknya merupakan hasil dari kombinasi faktor genetik, biokimia, lingkungan dan psikologis. Menurut Farragher (1998), berdasarkan model biopsikososial, faktor biologis, psikologis dan sosial bisa menjadi penyebab, berhubungan ataupun menjadi konsekuensi kesehatan mental. Kejadian hidup yang penuh dengan stres seperti didiagnosis menderita kanker merupakan salah satu faktor psikologis yang menyebabkan perubahan biologis dan kemudian berdampak psikologis, biologis dan sosial (U.S. Department of Health and Human Services, 1999). Teori psikoanalisis Freud (1917/1950), teori kognitif Beck (1967, 1987) dan teori belajar Seligman (1974) menjelaskan pandangan mengenai depresi yang disebabkan oleh faktor psikologis (dalam Davison, Neale & Kring, 2002). Beberapa teori yang menyatakan terjadinya depresi secara psikologis tersebut
5
membuktikan pentingnya mengetahui faktor psikologis apa saja yang dapat menjadi penyebab terjadinya depresi. Faktor kepribadian sebagai salah satu faktor psikologis dikatakan memiliki kontribusi terhadap depresi dan kanker. Kaplan & Sadock (2003) menyatakan bahwa individu dengan gangguan kepribadian tertentu memiliki kemungkinan yang lebih untuk mengalami depresi dibandingkan dengan gangguan kepribadian lain (dalam Taylor, 2007). Sementara itu Le Shan & Worthington (1956) mengatakan bahwa diduga ada peran faktor kepribadian dalam pengembangan penyakit kanker (dalam Taylor, 2007). Eysenck (1970) juga berpendapat bahwa kombinasi antara penyakit kanker, faktor stres dan kepribadian dapat mengakibatkan kematian pada pasien kanker (dalam Feist & Feist, 2005). Menurut Bahnson (1981), hal ini dikarenakan pasien kanker menggunakan mekanisme pertahanan tertentu (dalam Taylor, 2007). Mekanisme pertahanan digunakan sesuai dengan kepribadian yang dimiliki seseorang. Oleh karena itu dikatakan bahwa tipe kepribadian mempunyai hubungan yang signifikan dengan depresi (Kuntjoro, 2002). Andini (2009) menyampaikan pandangan serupa dan mengatakan bahwa terdapat hubungan antara tipe kepribadian ekstrovert-introvert dengan depresi. Menurut Eysenck & Kissen (1962) orang yang memiliki tipe kepribadian neurosis (N) dengan skor tinggi menurut alat ukur Maudsley Personality Inventory lebih rentan mengalami depresi saat menerima diagnosis kanker paruparu dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor rendah (dalam Feist & Feist, 2005). Sejalan dengan pandangan tersebut, Pervin & John (2001) menyebutkan bahwa individu yang memiliki skor neurosis yang tinggi
6
menanggapi stres dengan cepat dan menunjukkan penurunan lebih lambat dalam mengatasi stres. Faktor psikologis lainnya yang mempengaruhi depresi pada penderita kanker adalah faktor kognitif, teori kognitif Beck (1979) menggunakan konsep cognitive triad untuk menjelaskan terjadinya depresi. Adanya diagnosa yang negatif, kondisi yang memburuk dan mengetahui ketidak-efektifan penanganan yang dijalaninya merupakan suatu stresor bagi penderita kanker. Hal ini akan menimbulkan suatu keyakinan pasien terkait kesehatannya atau yang disebut dengan health locus of control (HLC) sehingga menjadi penting untuk mempelajari dampak pengalaman dan penderitaan kanker (Naus dkk., 2007). Berdasarkan hasil penelitian lainnya diindikasikan bahwa keyakinan HLC pada penderita kanker dan bukan penderita kanker berbeda. Dalam penelitian ini juga ditunjukkan bahwa dimensi HLC merupakan dimensi yang paling tepat untuk menggambarkan afek negatif pada penderita kanker (Peter, 2008). Naus dkk.(2007) menemukan adanya hubungan antara HLC, depresi dan tingkat kecemasan pada penderita kanker payudara. Mereka kemudian melanjutkan penelitian tersebut dengan membandingkan wanita penderita kanker payudara dengan bukan penderita kanker payudara. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kecemasan pada keduanya. Namun begitu, ditemukan bahwa tingkat depresi dan HLC pada penderita kanker payudara lebih rendah.
7
Sejalan dengan itu Day & Macaskill (2007) menyatakan bahwa orang yang memiliki keyakinan atas apapun yang terjadi pada dirinya berasal dari faktor di luar dirinya atau yang disebut dengan Locus of Control (LOC) eksternal cenderung merasa mereka hampir tidak memiliki kontrol atas takdir mereka sehingga lebih rentan terhadap stres dan depresi. Dalam merespon penelitian mengenai kanker dan penyakti kronis, Wallstone dan rekannya menambahkan satu lokus yaitu God Locus of Health Control (GLoC). Dimensi GLoC ini bisa mengajukan kolaborasi LOC internal dan eksternal; GLoC yang tinggi mengindikasikan penerapan religious coping yang tinggi (aktif dalam beragama dan sering berdoa) (Krosch, 2009). Ada sebagian orang yang menggunakan religious coping untuk menghilangkan stres yang mereka alami karena manusia lebih cenderung kembali kepada Tuhan untuk memohon pertolongan dalam keadaan yang sangat tertekan (Raiya, 2008). Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan, religious coping terbukti merupakan salah satu jenis coping yang memiliki implikasi yang signifikan bagi kesehatan mental. Salah satu penelitian tersebut merupakan sebuah studi empiris akan berbagai kelompok yang menghadapi berbagai stres kehidupan. Penelitian ini juga menunjukkan terdapatnya hubungan yang signifikan antara religious coping dengan depresi (Raiya, 2008; Abernethy dkk., 2002). Menurut Koenig dkk.(2001) praktek agama dan kepercayaan adalah lazim dan penting bagiorang-orang di banyak negara di dunia. Meskipun Islam adalah agama terbesar kedua di dunia, studi empiris yang dilakukan menyangkut psikologi agama di kalangan umat Islam relatif sedikit (Raiya, 2008). Sementara
8
di Indonesia Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh penduduknya,
tercatat
88%
penduduk
Indonesia
beragama
Islam
(nuansaislam.com, 2011). Oleh karena itu religious coping yang diterapkan dalam penelitian ini adalah religious coping yang berkaitan dengan ajaran Islam. Beberapa bukti mengenai faktor-faktor psikologis di atas masih dibuktikan secara terpisah, belum terlihat ada yang menyatukan ketiga faktor psikologis di atas yaitu tipe kepribadian, HLC dan religious coping untuk kemudian dapat diteliti faktor mana yang memiliki kontribusi paling besar. Yang pertama, bagaimana interaksi antar variabel yang ada; dan yang kedua faktor mana yang paling berkaitan dengan depresi pada penderita kanker. Dengan pertimbangan tersebut, penelitian ini akan mengkaji dalam kaitannya satu dengan yang lain tipe kepribadian, HLC, religious coping dan depresi pada penderita kanker.
1.2 Pembatasan Masalah 1. Depresi Depresiyang digunakan dalam penelitian ini adalah depresi menurut definisi Beck (1967), depresi sebagai seperangkat kognitif negatif yang terdiri dari perilakuperilaku dan keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan (Beck, 1967) dengan menggunakan alat ukur Beck Depression Invemtory-II (BDI-II).
9
2. Tipe Kepribadian Tipe kepribadian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe kepribadian menurut Eysenck, Eysenck (1970) mendefinisikan kepribadian sebagai lebih atau kurang stabilnya ketahanan organisasi dari karakter seseorang, temperamen, kecerdasan dan fisik yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan (dalam Schultz & Schutz, 2005) dengan menggunakan alat ukur Eysenck Personality Questionnaire Revised- Short Form (EPQR-S). Ada 3 tipe kepribadian menurut Eysenck (1970) yaitu ekstrovert, neurosis dan psikosis (dalam Schultz & Schultz, 2005). Tipe kepribadian ekstrovert Orang yang memiliki tipe kepribadian ekstrovert adalah orang yang berorientasi pada dunia luar, lebih senang berinteraksi dengan orang, ramah, impulsif, petualang,
tegas
dan
dominan
sehingga
memiliki
emosi
yang
lebih
menyenangkan. Sebaliknya introvert berlawanan dengan karakteristik tersebut (Pervin & John, 2001). Tipe kepribadian neurosis Tipe kepribadian neurosis diartikan sebagai sifat-sifat seperti tegang, murung dan merendahkan diri (Pervin & John, 2001). Menurut Eysenck (1970) orang yang memiliki tipe kepribadian neurosis bereaksi lebih bahkan terhadapstres yang ringan sehingga menyebabkan tingkat emosi yang meningkat pada hampir setiap situasi sulit (dalam Schultz & Schultz, 2005).
10
Tipe kepribadian psikosis Tipe kepribadian psikosis ditandai oleh ciri-ciri agresif, antisosial, dingin, dan egosentris. Juga ditemukan pada orang yang kejam, suka bermusuhan serta tidak sensitif terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Selain itu, mereka juga memiliki masalah yang lebih besar dengan alkohol dan penyalahgunaan narkoba. Secara Paradoks, orang-orang yang memiliki tipe kepribadian psikosis juga bisa sangat kreatif (Pervin & John, 2001). Tipe kepribadian psikotis pada penelitian ini diukur melalui skala baku EPQR-S yang telah diadaptasi oleh peneliti. 3. Health Locus of Control Penelitian ini menggunakan teori HLCRotter (1954) yang mendefinisikan HLC sebagai tingkat keyakinan dimana para individu meyakini kesehatan mereka dikendalikan oleh faktor internal atau eksternal (dalam Robinson & Shaver, 1973) dengan menggunakan alat ukur Multidimensional HLC (MHLC). MHLC terdiri dari empat tipe HLC, termasuk skala subjective, chance/fate (kebetulan/takdir), other people (orang lain) dan doctor(dokter) serta ditambah sebuah skala untuk mengukur God HLC (O‘Hea dkk., 2009). Health locus of control subjective Adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya dikendalikan oleh dirinya pribadi (Krosch, 2009).
11
Health locus of control chance /fate Adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya disebabkan oleh takdir dan keberuntungan yang tidak dapat dirubah dan tidak dapat dijelaskan (Krosch, 2009). Health locus of control other people Adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya dipengaruhi oleh keluarga, teman dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya (Krosch, 2009). Health locus of control healthcare providers/doctors Adalah keyakinan seseorang bahwa kesehatannya dikendalikan oleh petugas medis/dokter (O‘Hea,dkk., 2009). Health locus of control god Adalah keyakinan seseorang bahwa kesehatannya dikendalikan oleh Tuhan (Krosch, 2009). 4. Religious coping Religious coping mengacu pada keyakinan beragama atau praktik untuk coping dengan hidup yang penuh stres (Abernethy dkk., 2002) dengan menggunakan alat ukur Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR). Contoh religious coping termasuk berdoa, mencari kenyamanan dalamsebuah keyakinan dan
12
mendapatkan dukungan dari anggota lainnya di tempat beribadah (Abernethy, dkk., 2002). Religious coping positif Menurut Pargament dkk. (2000), religious coping positif mencerminkan hubungan baik dengan Tuhan, sebuah keyakinan bahwa ada arti yang lebih besar untuk ditemukan dan rasa keterhubungan spiritual dengan orang lain (dalam Raiya, 2008). Religious coping negatif Menurut Pargament dkk. (2000), pola religious coping negatif melibatkan ekspresi hubungan yang kurang nyaman dan renggang dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan terhadap dunia serta suatu pertentangan dengan agama dalam menemukan dan menimbang signifikansi dalam hidup (dalam Raiya, 2008). 5. Kanker Adalah istilah umum untuk suatu kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh (WHO, 2010). Dalam penelitian ini penderita kanker adalah pasien yang didiagnosis menderita kanker dan yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat.
13
1.3 Perumusan Masalah Dalam penelitian ini, perumusan masalah disampaikan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh tipe kepribadian terhadap depresi pada penderita kanker? 2. Bagaimana pengaruh HLC terhadap depresi pada penderita kanker? 3. Bagaimana pengaruh religious coping terhadap depresi pada penderita kanker? 4. Bagaimana pengaruh tipe kepribadian, HLC dan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1.4.1.1 Tujuan Umum 1. Untuk mengukur pengaruh tipe kepribadian terhadap depresi pada penderita kanker. 2. Untuk mengukur pengaruh HLC terhadap depresi pada penderita kanker. 3. Untuk mengukur pengaruh religious coping terhadap depresi pada penderita kanker.
14
4. Untuk mengukur pengaruh tipe kepribadian, HLC dan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. 1.4.1.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengukur pengaruh tipe kepribadian ekstrovert terhadap depresi pada penderita kanker. 2. Untuk mengukur pengaruh tipe kepribadian neurosis terhadap depresi pada penderita kanker. 3. Untuk mengukur pengaruh tipe kepribadian psikosis terhadap depresi pada penderita kanker. 4. Untuk mengukur pengaruh HLC subjective terhadap depresi pada penderita kanker. 5. Untuk mengukur pengaruh HLC chance/fate terhadap depresi pada penderita kanker. 6. Untuk mengukur pengaruh HLC doctor terhadap depresi pada penderita kanker. 7. Untuk mengukur pengaruh HLC other people terhadap depresi pada penderita kanker. 8. Untuk mengukur pengaruh HLC God terhadap depresi pada penderita kanker. 9. Untuk mengukur pengaruh religious coping positif terhadap depresi pada penderita kanker.
15
10. Untuk mengukur pengaruh religious coping negatif terhadap depresi pada penderita kanker. 1.4.2 Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1.4.2.1 Manfaat Teoritis Peneliti berharap bahwa dari penelitian ini: 1.
Dapat mengembangkan pengetahuan mengenai pengaruh tipe kepribadian, HLC, religious coping terhadap depresi pada penderita kanker dalam kajian psikologis, khususnya bagi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dapat dijadikan langkah awal atau motivasi bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
1.4.2.2 Manfaat Praktis 1.
Hasil penelitian dapat membantu dan memberikan informasi yang berguna agar pihak yang berkepentingan dapat memahami hal-hal yang berkaitan dengan tipe kepribadian, HLC, religious coping dan depresi pada penderita kanker.
2.
Dapat memberi sumbangan pada bidang-bidang tertentu khususnya psikologi kesehatan dalam memberikan penanganan yang tepat kepada para penderita kanker secara psikologis.
16
3.
Dengan mengenali gejala depresi pada penderita kanker diharapkan penderita kanker mendapatkan penanganan yang tepat sesuai dengan kebutuhan mereka yang akan membantu kesembuhan penyakitnya.
1.5 Sistematika Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi beberapa bahasan berikut ini: BAB I
:
Pendahuluan: latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan
masalah,
tujuan dan
manfaat
penelitian
serta
sistematika penelitian. BAB 2 :
Kajian pustaka: sub bab depresi serta variabel yang menjadi model analisis, sub bab kerangka berpikir serta hipotesis penelitian.
BAB 3 :
Metode penelitian: partisipan penelitian, variabel penelitian, metode pengumpulan data, uji instrumen, metode analisa data serta uji validitas.
BAB 4 :
Hasil penelitian: karakteristik partisipan, uji hipotesis penelitian serta pengujian proporsi varians IV.
BAB 5 :
Kesimpulan, diskusi serta saran.
17
BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1 Depresi Menurut Barlow & Durand (2001), mengalami perasaan dasar atau mood depresi merupakan hal yang universal. Namun demikian, depresi dalam kategori gangguan psikologis lebih dari sekedar kondisi mild mood yang bersifat sementara. Depresi dalam ranah psikologi mendapatkan perhatian yang cukup besar karena dampak dari gangguan ini yang berpengaruh pada individu secara umum dan mengakibatkan individu tersebut tidak dapat berfungsi secara normal di lingkungannya. Rentang emosi yang dialami oleh seseorang yang mengalami depresi cenderung ekstrim, bertahan dalam periode waktu yang lama, serta sangat melelahkan secara fisik (Magdalena, 2007). 2.1.1 Definisi Depresi Depresi adalah seperangkat kognitif negatif yang terdiri dari perilakuperilaku dan keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan (Beck, 1967). Depresi dapat mengacu pada gejala perasaan subjektif mengenai kesedihan, perasaan kehilangan harapan dan putus asa yang terus menerus atau sindrom klinis munculnya mood depresi disertai dengan beberapa gejala tambahan, seperti keletihan, kehilangan energi, kesulitan tidur dan perubahan pola makan (Emery & Oltmanns, 2000).
18
Depresi merupakan suatu masa terganggunya fungsi individu yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, rasa putus asa dan tak berdaya serta gagasan bunuh diri (Kaplan & Saddock, 1998). Ciri khas lain dari depresi antara lain ketiadaannya emosi positif (kehilangan minat dan kenikmatan dalam melakukan kegiatan), penurunan mood, kognitif dan fisik (National Collaborating Centre for Mental Health, 2009). Berdasarkan buku ―PPDGJ-III‖ depresi dimasukkan dalam kategori gangguan suasana perasaan atau dengan kata lain gangguan afektif/mood (Maslim, 2003). Begitu juga dalam ―Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder-4th ed.-Text Revision (DSM-IV-TR)‖ depresi termasuk dalam kategori gangguan mood (mood disorder). Gangguan mood yang utama adalah gangguan depresi mayor dan gangguan bipolar, individu yang hanya mengalami episode depresif disebut mengalami gangguan depresif mayor, sedangkan individu yang mengalami episode manik saja disebut mengalami gangguan bipolar satu (American Psychology Association/APA, 2000). DSM IV-TR menyatakan bahwa depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan hilangnya perasaan memiliki kontrol atas diri serta pengalaman subjektif adanya penderitaan yang berat. Hal ini menyebabkan perubahan pada tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, pembicaraan dan fungsi vegetatif. Perubahan tersebut hampir selalu menyebabkan gangguan fungsi interpersonal, sosial dan pekerjaan (APA, 2000).
19
Menurut Rehm (1988), depresi merupakan sindrom yang melibatkan beberapa domain termasuk kognitif, emosional dan perilaku (dalam Magdalena, 2007). Orang yang mengalami depresi mungkin merasa sedih, gelisah, kosong, putus asa, tak berdaya, tidak berharga, bersalah dan mudah tersinggung. Mereka kehilangan minat akan kegiatan yang dulu menyenangkan, kehilangan nafsu makan, memiliki masalah berkonsentrasi misalnya dalam mengingat rincian atau membuat keputusan dan bahkan memikirkan atau mencoba untuk bunuh diri. Selain itu insomnia, tidur berlebihan, kelelahan, kehilangan energi, sakit, nyeri atau masalah pencernaan yang tidak bisa dihilangkan dengan pengobatan juga mungkin hadir (NIMH, 2009). Berdasarkan definisi-definisi di atas maka disimpulkan bahwa depresi adalah seperangkat kognitif negatif yang terdiri dari perilaku-perilaku dan keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan (Beck, 1967). Mengenai kognitif negatif lebih lanjut akan dijelaskan dalam model kognitif Beck. 2.1.2 Gejala Depresi Menurut Emery & Oltmanns (2000), berikut adalah beberapa gejala depresi: 1. Gejala emosional Mood tertekan atau tidak bahagia adalah gejala yang paling utama dari depresi. Kebanyakan orang yang mengalami depresi menggambarkan dirinya dengan perasaan suram, sedih dan putus asa. Mood orang yang mengalami depresi
20
berbeda dengan kesedihan umum yang mungkin muncul karena kejadian seperti kehilangan seseorang yang dicintai. Orang yang depresi juga takut kejadian yang menimpa dirinya akan menjadi lebih buruk daripada yang mereka persiapkan atau merasa takut bahwa orang lain tidak bisa menutupi ketidakmampuannya. Mereka terkadang juga melaporkan mengalami ketegangan yang kronis dan tidak bisa tenang. 2. Gejala kognitif Selain terjadi perubahan dalam emosi, orang depresi juga mengalami perubahan dalam berpikir yaitu mengenai dirinya dan hal-hal di sekitarnya. Orang depresi sering berpikir secara lambat, memiliki masalah dengan konsentrasi dan mudah bingung. Selain itu perasaan bersalah dan tidak berharga juga sering menyertai. Pasien yang mengalami depresi menyalahkan diri mereka untuk halhal yang salah. Mereka hanya fokus memperhatikan hal-hal paling negatif dari dirinya, lingkungannya dan masa depannya, seperti kombinasi yang dinamakan “depressive triad”oleh Beck dkk. (1979). 3. Ide bunuh diri Banyak orang yang mengalami ide-ide untuk merusak dirinya ketika depresi. Ketertarikan untuk bunuh diri biasanya berkembang secara bertahap dan bisa dimulai sejak penderita depresi tersebut merasa kehidupan ini bukanlah hidup yang bermakna. Beberapa perasaan tersebut secara langsung juga menimbulkan kehilangan kesenangan yang didampingi dengan mood depresi. Dimana rasa bersalah dan gagal bisa mendukung orang yang depresi untuk mempertimbangkan melakukan bunuh diri. Orang yang depresi bisa meyakini bahwa mereka
21
akanlebih baik mati atau keluarganya akan hidup lebih bahagia dan sukses tanpa dirinya. Keterpakuan pada pemikiran-pemikiran tersebut kemudian mendukung rencana percobaan bunuh diri. 4. Gejala somatis Gejala somatis berhubungan dengan fungsi dasar tubuh dan fisiologis. Gejala somatis ini mencakup lelah, nyeri dan perubahan selera makan dan pola tidur. Masalah tidur merupakan hal yang paling sering terjadi, khususnya kesulitan untuk tidur. Awalnya gangguan ini umumnya muncul disebabkan oleh gejala kognitif yang disebutkan di atas, yaitu khawatir akan akhir dari masalah yang dialami dan tidak bisa tenang. Pada beberapa kasus gejala orang yang mengalami depresi adalah tidur lebih lama dari biasanya. Orang depresi juga sering mengalami perubahan nafsu makan. Beberapa melaporkan makan lebih banyak dari biasanya, lebih sedikit dari biasanya, bahkan tidak makan sama sekali. Bagi mereka makanan tidak lagi terasa enak. Orang yang mengalami depresi biasanya kehilangan ketertarikan pada beberapa aktivitas yang seharusnya menyenangkan dan digemari. Salah satu contohnya adalah kehilangan gairah seks.Mereka lebih sedikit mengajak pasangannya untuk melakukan hubungan seks atau hampir tidak menikmati hubungan seks jika pasangannya mengajak. Bermacam-macam sakit juga merupakan dampak dari depresi; ada yang mengeluh sering sakit kepala dan nyeri otot. Keluhan-keluhan ini dapat berkembang menjadi keterpakuan terhadap fungsi tubuh dan takut akan penyakit.
22
5. Gejala perilaku Istilah retardasi psikomotor menggambarkan beberapa hal dari perilaku yang mungkin berdampingan dengan onset depresi. Perilaku yang paling sering ditunjukkan oleh pasien depresi adalah gerak yang lamban. Gerakan ini bisa berupa melambannnya langkah dan bicara bahkan beberapa menjadi benar-benar tidak bergerak dan juga berhenti berbicara. Pasien depresi juga terkadang berhenti sejenak yaitu beberapa menit sebelum menjawab pertanyaan. 2.1.3 Dampak Depresi Sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa depresi biasanya akan disertai dengan penyakit fisik seperti asma, jantung koroner, sakit kepala dan maag (Lestari, 2003). Sementara itu depresi juga bisa meningkatkan resiko seseorang
terserang
penyakit
karena
kondisi
depresi
yang
cenderung
meningkatkan sirkulasi adrenalin dan kortisol sehingga menurunkan tingkat kekebalan tubuhnya. Selain itu penyakit menjadi mudah menghidap karena orang yang terkena depresi sering kehilangan nafsu makan, kebiasaan makanannya juga berubah (terlalu banyak makan atau sulit makan), kurang berolahraga, mudah lelah dan sulit tidur sehingga daya tahan tubuh mereka menurun (Lestari, 2003). 2.1.4 Faktor Resiko Depresi Faktor resiko adalah variabel biologis, psikologis ataupun sosial budaya yang meningkatkan kemungkinan untuk berkembang atau munculnya sebuah gangguan mental (U.S. Department of Health and Human Services, 1999).
23
Hasil penelitian IOM (1997) menyatakan bahwa setiap gangguan mental memiliki kemungkinan disebabkan oleh resiko multifaktor, yaitu beberapa faktor bersatu sebagai penyebabnya. Meskipun salah satu faktor resiko mungkin merupakan penyebab terbesar dari yang lainnya, interaksi dari faktor lain menambah atau bersinergi dengan faktor tersebut untuk menyebabkan gangguan mental (U.S. Department of Health and Human Services, 1999). Menurut Farragher (1998), berdasarkan model biopsikososial, faktor biologis, psikologis dan sosial dapat menjadi penyebab, berhubungan ataupun menjadi konsekuensi terkait kesehatan mental. Kejadian hidup yang penuh stres seperti didiagnosis menderita kanker merupakan salah satu faktor psikologis yang menyebabkan perubahan biologis dan kemudian berdampak psikologis, biologis dan sosial. Ketika pasien menerima diagnosis bahwa ia menderita kanker, sensori korteks otak secara bersamaan mencatat informasi yang ada dan kemudian digerakkan ke perubahan biologis yang menyebabkan jantung berdetak lebih cepat. Karena itu pasien mungkin segera mengalami ketakutan akan kematian yang kemudian meningkat menjadi kecemasan atau depresi. Kecemasan dan depresi dalam hal ini disebut sebagai konsekuensi dari diagnosis kanker. Dan dalam beberapa kasus, depresi disebabkan oleh hormon yang berkaitan dengan kanker itu sendiri. Selain itu mengalami kecemasan atau depresi juga menyebabkan perubahan dalam perilaku seperti penarikan diri secara sosial sehingga konsekuensi sosial juga mungkin menjadi konsekuensi atas diagnosa kanker (dalam U.S. Department of Health and Human Services, 1999).
24
2.1.5 Teori Psikologis Depresi Menurut Davison, Neal & Kring (2002), terdapat berbagai teori psikologis mengenai depresi, diantaranya: 2.1.5.1 Teori Psikoanalisis Menurut Freud (1917/1950), potensi depresi diciptakan pada awal masa kanak-kanak. Pada periode oral, kebutuhan seorang anak dapat kurang dipenuhi atau dipenuhi secara berlebihan sehingga menyebabkan seseorang terpaku pada tahap ini dan tergantung pada pemenuhan kebutuhan instingtual yang menjadi ciri tahap ini. Dengan terbawanya kondisi fiksasi pada tahap oral tersebut ke dalam tahap kematangan psikoseksual, seorang anak dapat memiliki kecenderungan untuk sangat tergantung pada orang lain untuk mempertahankan harga dirinya. Dengan adanya rasa ketergantungan maka jika ia kehilangan seseorang yang dicintainya, apakah karena kematian atau perpisahan atau berkurangnya kasih sayang, maka akan timbul berbagai perasaan negatif terhadap orang-orang yang dicintainya dan kemudian orang yang dicintainya akan menjadi objek kebencian atau kemarahannya sendiri. Kemarahan orang yang ditinggalkan kepada orang yang meninggalkannya terus dipendam, berkembang menjadi proses menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri sendiri dan depresi yang berkelanjutan. Orang-orang yang sangat mandiri diyakini sangat rentan terhadap proses tersebut. Inilah yang menjadi dasar pandangan yang diterima secara luas yaitu pandangan psikodinamika yang menganggap depresi sebagai kemarahan terpendam yang berbalik menyerang diri sendiri (dalam Davison, Neale & Kring, 2002).
25
2.1.5.2 Teori Kognitif 2.1.5.2.1 Model Kognitif Beck Beck menjelaskan terjadinya depresi menggunakan model kogntifnya, dimana model ini mendalilkan tiga konsep spesifik untuk menjelasan terjadinya depresi secara psikologis (Beck, 1979), yaitu : 1. Concept of cognitive triad (segitiga kognitif depresi) Cognitive triad atau segitiga kognitif depresi berisi tiga pola kognitif utama yang menyebabkan penderita memandang dirinya, masa depannya dan pengalamannya secara ideosinkratik, yaitu didominasi oleh pola-pola kognitif yang negatif (Beck, 1979). a. Pandangan negatif tentang diri sendiri Memandang diri sendiri sebagai tak berharga, penuh kekurangan, tidak memadai, tidak dapat dicinta dan sebagai kurang keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai kebahagiaan. b. Pandangan negatif terhadap lingkungan Memandang lingkungan memaksakan tuntutan yang berlebihan dan atau memberikan hambatan yang tidak mungkin dilampaui yang terus menerus menyebabkan kegagalan dan kehilangan. c. Pandangan negatif terhadap masa depan
26
Memandang masa depan tak ada harapan dan meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan untuk mengubah hal-hal menjadi lebih baik. Harapan orang tersebut terhadap masa depan hanyalah kegagalan dan kesedihan yang berlanjut serta kesulitan yang tidak pernah usai. Aktifnya tiga pola kognitif negatif di ataslah yang kemudian menghasilkan tanda-tanda dan gejala-gejala depresi. Pada akhirnya model kognitif ini juga dapat menjelaskan gejalafisik dari depresi, karena pandangan negatif akan masa depan dapat mendukung kelemahan psikomotor seseorang. 2. Scheme (skema) Unsur utama yang kedua dari model kognitif berisi konsep skema. Konsep ini digunakan untuk menjelaskan mengapa penderita depresi mempertahankan penyebab rasa sakit dan sikap mengalahkan diri walaupun terdapat bukti objektif dari faktor-faktor positif dalam hidupnya. Beck memandang konsep negatif mengenai self di dunia sebagai cetakan mental atau skema-skema kognitif yang diadopsi saat masa kanak-kanak atas dasar pengalaman belajar awal kanak-kanak (Beck, 1979).
3. Cognitive error (informasi yang salah) Pada
individu
depresi
ditemukan
karakteristik
pemikiran
yang
mencerminkan berbagai penyimpangan dari kenyataan. Kesalahan sistematik dalam pemikiran penderita menambah kepercayaan terhadap keakurasian konsep
27
negatifnya walaupun bukti yang sebenarnya sangat berlawanan (Beck, 1979). Kesalahan memproses informasi tersebut adalah: 1. Arbitrary inference, yaitu proses yang menggambarkan sebuah kesimpulan ketika bukti yang ada bertentangan dengan fakta. 2. Selective abstraction, yaitu keterpakuan pada satu detail dari sebuah konteks, mengabaikan fitur lainnya yang ada dalam situasi dan mengkonseptualisasikan keseluruhannya atas dasar detail tersebut. 3. Overgeneralization, yaitu pendistorsian pemikiran individu dengan generalisasi yang berlebihan (membesar-besarkan) berdasarkan aturan dari beberapa kejadian yang negatif. 4. Magnification dan minimization, yaitu salah merefleksikan kejadian signifikan yang sangat besar atau sebaliknya memperkecil atau merendahkan diri. 5. Personalization, yaitu usaha menghubungkan semua kejadian eksternal dengan dirinya padahal tidak ada dasar yang menghubungkan. Absolutistic
dichotomous
thinking,
yaitu
kecenderungan
untuk
menempatkan semua pengalaman dalam satu atau dua kategori yang berlawanan; contohnya sempurna atau tidak sempurna, orang yang suci atau orang yang penuh dosa. Dalam menggambarkan dirinya, individu tersebut memilih pengelompokkan negatif yang ekstrim (Beck, 1979).
28
2.1.5.2.2 Teori Belajar Seligman (learned helplessness model) Depresi terjadi bila seorang individu mengalami suatu peristiwa yang tidak dapat dikendalikannya, kemudian juga merasa tidak mampu menguasai masa depan (Barlow & Durand, 2001). Dalam Davison, Neale & Kring (2002) terdapat beberapa perkembangan mengenai teori ketidak berdayaan/ keputusasaan, yaitu: a. Ketidak-berdayaan yang dipelajari (learned helplessness) Premis dasar teori ini adalah bahwa kepasifan dan perasaan tidak mampu bertindak dan mengendalikan hidupnya terbentuk melalui pengalaman yang tidak menyenangkan dan trauma yang tidak berhasil dikendalikan oleh individu yang kemudian memicu depresi. b. Atribusi dan learned helplessness Teori ini merupakan revisi dari teori learned helplessness di atas. Dimana seseorang menjadi depresi bila mereka mengatribusikan hasil-hasil yang buruk pada kesalahan karakter pribadi, global dan stabil.Atribusi disini berarti penjelasan yang diberikan seseorang atas perilakunya. c. Teori keputus-asaan (hopelessness theory) Teori ini mendalilkan bahwa depresi disebabkan oleh kondisi putus asa, suatu ekspektasi bahwa hasil yang diinginkan tidak akan terjadi atau yang tidak diinginkan akan terjadi dan bahwa orang yang bersangkutan tidak dapat memberikan tanggapan untuk mengubah situasi tersebut.
29
2.2 Tipe Kepribadian 2.2.1 Definisi Tipe Kepribadian Menurut Salmans (1997), tipe kepribadian mengacu pada klasifikasi psikologis dari tipe individu yang berbeda. Tipe kepribadian berawal dari trait kepribadian yang membentuk kelompok yang lebih kecil dari kecenderungan perilaku. Tipe mengacu padaperbedaan antara orang-orang secara kualitatif, sedangkan trait mengacu pada perbedaan orang-orang secara kuantitatif. 2.2.2 Tipe Kepribadian Eysenck Eysenck (1970) mendefinisikan kepribadian sebagai lebih atau kurang stabilnya ketahanan organisasi dari karakter, temperamen, kecerdasan dan fisik seseorang yang menentukan penyesuaian yang unik terhadap lingkungan. Karakter menunjukkan lebih atau kurang stabilnya seseorang dan sistem perilaku konatif (kemauan) yang menetap; temperamen menunjukkan lebih atau kurang stabilnya seseorang dan sistem perilaku afektif (emosi) yang menetap; kecerdasan menunjukkan lebih atau kurang stabilnya seseorang dan perilaku kognitif (kecerdasan) yang menetap; fisik menunjukkan lebih atau kurang stabilnya seseorang dan sistem konfigurasi tubuh dan neuroendokrin yang menetap (dalam Ryckman, 2008). Eysenck (1970) memperkenalkan hierarki empat tingkatorganisasi perilaku:
30
Tingkat terendah adalah tindakan atau kognisi khusus, perilaku individu atau pikiran yang mungkin merupakan atau bukan merupakan karakteristik seseorang. Tingkat kedua adalah tindakan atau kognisi habit, yaitu tanggapan yang muncul kembali dalam kondisi serupa. Tingkat ketiga, yaitu trait. Beberapa kebiasaan yang berkaitanyang direspon dari sebuah habit. Eysenck mendefinisikan trait sebagai "disposisi kepribadian penting semi-permanen". Trait adalah sesuatu yang didefinisikan denganistilah significant intercorrelations antara perilaku kebiasaan yang berbeda. Eysenck menempatkan fokus pada tingkat keempat, yaitu tipe atau superfactors. Tipe terdiri dari beberapa trait yang saling terkait (dalam Ryckman, 2008). 2.2.3 Dimensi Kepribadian Eysenck Tipologi Eysenck adalah hierarki yang teratur yang terdiri dari type, trait dan habit. Tipe adalah yang paling abstrak, diikuti oleh trait dan kemudian habit (Schultz & Schultz, 2005). Pada sejumlah faktor analisis kepribadian yang dikumpulkan dari populasi subyek yang berbeda di seluruh dunia, Eysenck (1970) mendasari dua faktor yang dengan mudah dapatdiberi label introvert/ekstrovert dan kestabilan/neurosis. Kemudian berdasarkan analisis statistik, ia merumuskan dimensi yang ketiga, yaitu kontrol impuls/psikosis. Menurut Eysenck, ketiga
31
dimensi tersebut adalah jenis perbedaan utama individu yang paling berguna dalam menggambarkan fungsi kepribadian (dalam Ryckman, 2008). Dalam Schultz & Schultz (2005) tiga dimensi kepribadian tersebut dipaparkan sebagai berikut: 1. E-extrovert versus introversi 2. N-neurosis versus kestabilan emosi 3. P-psikosis versus kontrol impuls/atau berfungsi sebagai superego. 2.2.3.1 Tipe Kepribadian Ekstrovert Seorang ekstrovert adalah orang yang berorientasi pada dunia luar, lebih suka bergabung dengan orang lain, ramah, impulsif, petualang, tegas dan dominan. Selain itu, orang yang mendapat skor ekstrovert tinggi menggunakan alat ukur Eysenck Personality Inventory ditemukan mengalami emosi lebih menyenangkan dibandingkan mereka yang mendapat skor ekstrovert rendah. Introvert dilaporkan berlawanan dengan karakteristik ini (Pervin & John, 2001). Eysenck tertarik dengan bagaimana seorang ekstrovert introvert mungkin berbeda secara biologis dan genetik. Eysenck menemukan bahwa seorang ekstrovert memiliki tingkat dasar cortical arousal yang lebih rendah dibandingkan seorang introvert. Karena tingkat cortical arousal untuk seorang ekstrovert rendah, ia membutuhkan serta secara aktif mencari kegembiraan dan stimulasi. Sebaliknya, seorang introvert menghindari kegembiraan dan stimulasi karena tingkat cortical arousal nya sudah tinggi. Akibatnya, seorang introvert bereaksi
32
lebih kuat dibanding seorang ekstrovert terhadap stimulasi sensori (Pervin & John, 2001). Penelitian
Bullock
&
Cilliland
(1993);
Stemalck
(1997)
telah
membuktikan bahwa seorang introvert menunjukkan kepekaan lebih besar terhadap rangsangan tingkat rendah dan memiliki ambang nyeri lebih rendah dibanding seorang ekstrovert. Penelitian lain mendukung teori perbedaan respon terhadap stimulasi sensori; perbedaan tersebut dapat dikaitkan dengan variasi di tingkat cortical arousal, namun demikian, seperti yang diprediksikan Eysenck, perbedaan-perbedaan ini adalah berdasarkan genetik (dalam Schultz & Schultz, 2005). Susunan hierarkis karakteristik yang terkait dengan extrovert dipaparkan pada gambar 2.1: Extraversion
Sociable
Lively
Carefree
Active
Dominant
Assertive e Surgent e
Sensation-Seeking
Venturesome
Gambar 2.1 Traits Membangun Tipe Ekstrovert(Pervin & John, 2001) 2.2.3.2 Tipe Kepribadian Neurosis Eysenck (1970) menyatakan bahwa sebagian besar neurosis diwariskan dan merupakan produk genetika dibandingkan produk belajar atau pengalaman. Hal ini diwujudkan dalam bentuk biologis stabilitas emosional dan neurosis
33
sebagai karakteristik perilaku yang berbeda pada orang-orang (dalam Pervin & John, 2001). Orang yang memiliki skor neurosis tinggi menunjukkan aktivitas yang lebih besar di daerah-daerah otak yang mengendalikan cabang simpatik sistem saraf otonom. Sistem alarm tubuh inilah yang merespon stres atas peristiwa stres atau berbahaya dengan meningkatnya denyut jantung, aliran darah ke otot dan pelepasan adrenalin. Eysenck (1970) berpendapat bahwa dalam neurosis, sistem saraf simpatik bereaksi berlebihan bahkan untuk stres ringan serta mengakibatkan hipersensitivitas kronis. Kondisi ini menyebabkan emosionalitas meningkat sebagai respon terhadap hampir semua situasi sulit. Karena itulah pasien neurosis bereaksi secara emosional terhadap peristiwa yang dianggap tidak signifikan oleh orang lain. Perbedaan-perbedaan dalam reaktivitas biologis terkait dimensi neurosis adalah bawaan. Seseorang dapat diprediksikan lebih cenderung terhadap neurosis atau terhadap kestabilan emosi secara genetik (dalam Schultz & Schultz, 2005). Dimensi neurosis didefinisikan oleh sifat-sifat seperti tegang, murung dan merendahkan diri. Susunan hierarki karakteristik yang terkait dengan faktor ini dipaparkan dalam Gambar 2.2:
34
Neuroticism
Anxious
Depressed
Irrational
Guilt Feelings
Shy
Moody
Low Self Esteem
Tense
Emotional
Gambar 2.2 Traits Membangun Tipe Neurosis(Pervin & John, 2001) 2.2.3.3 Tipe Kepribadian Psikosis Orang yang mencatat nilai psikosis tinggi memiliki ciri-ciri agresif, antisosial, tangguh (though-minded), dingin dan egosentris. Terkadang mereka juga kejam, suka bermusuhan dan tidak sensitif akan kebutuhan dan perasaan orang lain. Selain itu orang memiliki nilai psikosis tinggi dilaporkan memiliki masalah yang lebih besar dengan alkohol dan penyalahgunaan narkoba. Paradoksnya, orang-orang yang mendapat skor psikosis tinggi di juga dapat sangat kreatif (Pervin & John, 2001). Dalam pandangan Eysenck (1970), masyarakat membutuhkan keragaman yang disediakan oleh orang-orang yang ditandai oleh semua aspek dari tiga dimensi kepribadian di atas. Namun demikian, beberapa orang akan beradaptasi dengan lingkungan sosial secara lebih baik dibandingkan orang yang lain. Orang yang memiliki skor psikosis tinggi, misalnya, ditandai oleh perilaku bermusuhan dan agresif, dapat terganggu secara emosional, menunjukkan kecenderungan kriminal atau menyalurkan sifat-sifat agresif terhadap pekerjaan-pekerjaan yang
35
diterima secara sosial seperti melatih sekolah sepak bola (dalam Schultz & Schultz, 2005). Susunan hierarkis karakteristik yang terkait dengan faktor psikosis dipaparkan dalam Gambar 2. 3:
Psychoticism
Aggressive
Antisocial
Cold
Egocentric
Unemphatic
Impersonal
Creative
Impulsive
Tough-Minded
Gambar 2.3 Traits Membangun Tipe Psikosis (Pervin & John, 2001) Penelitian telah menunjukkan bahwa trait dan dimensi kepribadian Eysenck diusulkan tetap stabil sepanjang rentang kehidupan dari masa kanakkanak sampai dewasa. Situasi mungkin dapatberubah tapi dimensi tersebut tetap konsisten. Misalnya, anak introvert cenderung untuk tetap introvert sampai menjadi dewasa (Ryckman, 2008). 2.2.4 Kepribadian dan Penyakit Eysenck (1970) menunjukkan bahwa adanya hubungan antara kepribadian dan penyakit tidak membuktikan bahwa faktor psikologis semata yang menyebabkan kanker dan penyakit jantung. Akan tetapi, penyakit ini disebabkan oleh interaksi dari banyak faktor (Feist & Feist, 2005). Menurut Feist & Feist
36
(1997), terkait penyakit kanker, faktor yang menjadi resiko termasuk kebiasaan merokok, diet, mengkonsumsi alkohol, praktik seksual, riwayat keluarga, latar belakang etnis serta faktor kepribadian. Eysenck (1996) berpendapat bahwa merokok saja tidak menyebabkan penyakit kanker atau jantung koroner, tetapi ketika digabungkan dengan faktor-faktor stres dan kepribadian, akan ikut memberikan kontribusi pada kematian akibat kedua penyakit tersebut (dalam Feist &Feist, 2005). 2.2.5 Kepribadian dan Depresi Menurut Eysenck & Kissen (1962), orang yang memiliki skor neurosis tinggi (N), yang diukur menggunakan Maudsley Personality Inventory, lebih rentan
mengalami
depresi
saat
menerima
diagnosis
kanker
paru-paru
dibandingkan dengan mereka yang memiliki skor rendah. Eysenck & Kissen (1962) menjelaskan bahwa orang neurosis akut sangat peka akan hal-hal yang menakutkan. Jika orang ini seorang introvert, ia akan belajar menghindari situasi yang menyebabkan kepanikan itu secepat mungkin, bahkan ada yang langsung panik walaupun situasinya belum terlalu gawat, orang inilah yang disebut mengidap fobia. Sementara seorang introvert lainnya akan mempelajari perilakuperilaku yang dapat menghilangkan kepanikan mereka seperti memeriksa segala sesuatunya berulang kali atau mencuci tangan berulang kali karena ingin memastikan tidak ada kuman yang akan membuat mereka sakit, seorang neurosis yang ekstrovert akan mengabaikan dan dengan cepat melupakan hal-hal yang menakutkan mereka. Mereka memakai mekanisme pertahanan klasik, seperti
37
penolakan dan represi. Misalnya mereka dengan mudah akan melupakan akhir pekan yang buruk (dalam Feist& Feist, 2005) Dari penjelasan-penjelasan di atas maka jelaslah bahwa setiap jenis tipe kepribadian akan memunculkan prilaku-perilaku tertentu yang berbeda bagi tiap individu. Perilaku-perilaku tersebut juga berhubungan dengan kesehatan dan depresi. Tingkat persepsi atau keyakinan individu mengenai kesehatan mereka yang disebut HLC dicerminkan melalui perilaku kesehatan mereka (Bastani dkk., 2010).
2. 3 Health Locus of Control (HLC) 2.3.1 Definisi 2.3.1.1 Locus of control (LOC) Rotter (1954) mengembangkan konstruk LOC sebagai salah satu komponen teori belajar sosial. Kecenderungan terjadinya perilaku, misalnya potensi perilaku, bermacam-macam berdasarkan: a) Harapan bahwa reinforcement tertentu akan terjadi sebagai hasil dari sebuah perilaku. b) Nilai dari reinforcement yang diharapkan. c) Komponen dari situasi yang diberikan, yaitu kelekatan terhadap situasi, misalnya ketika seseorang pelajar memutuskan belajar untuk menghadapi suatu
38
ujian karena harapannya bahwa belajar akan menghasilkan harapan yang diinginkan seperti mendapat nilai A, nilai pelajar untuk mendapatkan A itulah yang disebut dengan kelekatan terhadap situasi (dalam Keedy, 2009). Dalam teori ini reinforcement adalah suatu tindakan, kondisi atau kejadian yang mempengaruhi seseorang bergerak untuk menuju suatu tujuan. Positive reinforcement adalah beberapa konsekuensi yang meningkatkan kecenderungan suatu perilaku akan terjadi (dalam Keedy, 2009). LOC tidak menggambarkan apakah perilaku individu itu berdasarkan tujuan/keinginan individu tersebut.LOC menggambarkan apakah individu mempersepsi reinforcement tertentu sebagai hasil dari perilakunya atau faktor lain seperti takdir, keberuntungan atau dukungan dari orang lain (Keedy, 2009). Dalam psikologi sosial LOC mengacu pada sejauh mana individu percaya bahwa mereka dapat mengontrol peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi mereka. Konsep ini dikembangkan oleh Rotter (1954) dan sejak itu menjadi sebuah aspek penting dari studi kepribadian (Robinson & Shaver, 1973). 2.3.1.2 Health Locus of Control Konstruk LOC di atas berguna untuk mempelajari harapan bagi kesehatan yang berhubungan dengan perilaku. Penerapan konstruk LOC dalam hubungannya dengan perilaku kesehatan dikenal sebagai HLC (Keedy, 2009).HLC dapat didefiniskan sebagai keyakinan seseorang mengenai apakah kekuatan dari dalam atau luar yang mengendalikan kesehatan mereka. Seseorang bisa saja meyakini bahwa merekalah yang memiliki kontrol terbanyak atas kesehatan mereka atau
39
sebaliknya, bahwa orang lain—petugas kesehatan atau kesempatan/takdir—yang memainkan peranan yang lebih dalam memprediksi hasil medis (O‘Hea dkk., 2009). 2.3.2 Multidimensional Health Locus of Control (MHLC) Konstruk HLC diukur dengan menggunakan skala MHLC yang dipublikasikan
oleh
Walstone,
Walstone
&
DeVellis
(1978).
MHLC
dikembangkan untuk mengukur HLC sebagai salah satu faktor dari teori belajar sosial yang menghitung kecenderungan individu pada perilaku tertentu yang berhubungan dengan kesehatan (dalam Keedy, 2009). Skala MHLC memiliki tiga dimensi utama. Dua di antaranya adalah dimensi eksternal: yang pertama powerful other health locus of control (PHLC), yaituharapan individu bahwa orang lain mislanya dokter, perawat, keluarga, teman yang mengendalikan kesehatannya (powerfull others), yang kedua adalah chance health locus of control (CHLC) yaitu keyakinan seseorang bahwa faktor kesempatan (chance) seperti kesempatan, takdir atau keberuntunganyang mengendalikan kesehatannya. Dan satu skala lainnya adalah dimensi internal yaitu subjective health locus of control (IHLC). Dimensi PHLC kemudian dipecah menjadi 2 sub skala yaitu HLC khusus terhadap ahli kesehatan atau dokter (doctor health locus of control/DHLC) dan HLC terhadap orang lain secara umum (other health locus of control/OHLC) (Keedy, 2009). Oleh karena itu MHLC terdiri menjadi empat skala yaitu internal, chance /fate, other people dan doctor. Namun, dalam penelitian ini dimensi
40
internal diganti dengan nama subjective dengan alasan penamaan yang diberikan oleh pembuat alat ukur yang dianggap tidak mutual exclusive. Baru-baru ini telah ditambah sebuah skala untuk mengukur keadaan dimana seseorang meyakini bahwa Tuhan yang paling mengendalikan penyakit spesifik yang ia miliki, yaitu God health locus of control (God HLC) atau biasa diesbut God health locus control (GLoC). MHLC ini merupakan replikasi dari 5 strukutur faktor yang dikombinasikan dari skala Form C MHLC dan God HLC (O‘Hea dkk., 2009).
Tabel 2.1 Four Loci of The Health Control (Krosch, 2009) Domain Type
Locus Name
Description
Internal
Internal
personal control overhealth status andoutcomes
External
Powerful Others
Health care professionals, family, friends, and influential others control over health
External
Chance
Fate, luck or unchangeable/unexpla inable reasons for health status and outcomes
Internal or Internal/External Collaborative
God
A supreme being‘s control over one‘s health status and outcomes
41
2.3.2.1 Health Locus of Control Subjective Berdasarkan Krosch (2009) HLC subjective adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya dikendalikan oleh dirinya pribadi.Burish dkk.(2004) membuktikan bahwa HLC eksternal yang tinggi berhubungan dengan penyesuaian psikologis yang lebih baik pada pasien kanker (dalam Kuhn, 2007). Sedangkan HLC subjective yang tinggi berhubungan dengan tingkatan depresi yang lebih tinggi untuk individu yang memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi (Naus dkk., 2007). 2.3.2.2 Health Locus of Control Chance /Fate HLC chance/fate adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya disebabkan oleh takdir, keberuntungan yang tidak dapat dirubah dan tidak dapat dijelaskan (Krosch, 2009). 2.3.2.3 Health Locus of Control Other People HLCother people adalah keyakinan seseorang bahwa status dan hasil kesehatannya dipengaruhi oleh keluarga, teman dan orang-orang yang berpengaruh di sekitarnya (Krosch, 2009). 2.3.2.4 Health Locus of Control Healthcare Providers/ Doctors HLC healthcare providers/doctors adalah keyakinan seseorang bahwa kesehatannya dikendalikan oleh petugas medis/dokter (O‘Hea dkk., 2009). Menurut Kuhn (2007), ada kemungkinan bahwa doctor control belief berhubungan dengan kesehatan yang lebih adaptif, tetapi ini belum diuji terpisah
42
dari powerfull other control belief dalam populasi penelitian yang ia lakukan. Kuhn (2007) juga menyatakan bahwa dalam banyak populasi penyakit kronis, secara berkesinambungan HLC subjective dan doctor yang tinggi dapat membuat seseorang menjadi lebih adaptif terhadap kesehatannya, seperti kebutuhan untuk mendengarkan saran dari seseorang dokter yang menjadi sangat penting. 2.3.2.5 Health Locus of Control God/ The God Locus of Control (GLoC) Dalam menanggapi penelitian mengenai kanker dan penelitian lainnya mengenai penyakit kronis, Wallston dan koleganya menambahkan satu lokus, yaitu HLC God untuk menaksir bagaimana seseorang memberi tanggung jawab mengenai status kesehatannya terhadap Tuhan (Krosch, 2009). Item skala GLoC dapat digunakan bersamaan dengan MHLC atau secara terpisah sebagai instrument sendiri. Dimensi GLoC ini bisa merepresentasikan HLC internal dan eksternal (Krosch, 2009). 2.3.3 Health Locus of Control dan Kondisi Medis Variabel-variabel kontekstual dapat memainkan peran dalam keyakinan HLC; sakit adalah salah satu variabel kontekstual yang dapat mempengaruhi keyakinan HLC. Tipe-tipe penyakit dapat mempengaruhi keyakinan HLC dan interaksinya dengan hasil psikologis. HLC seseorang bisa berbeda-beda pada tiap penyakit; dengan demikian HLC seseorang yang mengalami penyakit kanker juga dapat berbeda (O‘Hea, dkk., 2009).
43
Cummings & Pargament (2010) membuktikan di antara pasien dengan kondisi medis bahwa salah satu faktor yang memprediksi kesehatan adalah religious coping. Dimana hasil kesehatan ini diperoleh dari gabungan atas keyakinan, sikap dan perilaku mengenai kesehatan (Cummings & Pargament, 2010).
2. 4 Religious Coping 2.4.1 Religious/Agama Menurut Wulff (1997) kata "agama" berasal dari bahasa Latin religio, yang dikatakan beberapa cendekia biasa digunakan untuk menunjuk sesuatuyang lebih besar daripada kekuatan manusia, yang menuntutseseorang untuk merespon dengan cara tertentu untuk menghindari beberapa konsekuensi yang mengerikan (dalam Raiya, 2008). Smith (1963) menjelaskan bahwa kata religio dimaksudkan sebagai "sesuatu yang dilakukan, atau menyangkut yang dirasakan seseorang secara mendalam, atau mengenai kemauan seseorang, yang menuntut ketaatan atau mengancam bencana atau menawarkan reward atau mengikat seseorang menjadi sebuah komunitas" (dalam Raiya, 2008). Pargament (1997) menegaskan bahwa karena agama sangat kompleks dan pribadi, tidak ada definisi tunggal yang benar-benar memadai, oleh karena itu tugas kita adalah membangun sebuah definisi agama yang relevan dengan fenomena yang menarik (dalam Raiya, 2008). Menurut Al Issa (2000), karena
44
multidimensionalitas agama, konsep agama yang luas mungkin tidak berguna kecuali jika didefinisikan secara operasional (dalam Raiya, 2008). Lebih lanjut Pargament (1997) menjelaskan bahwa agama adalah "mencari makna dengan cara-cara yang berkaitan dengan yang suci". Definisi ini mencakup dua elemen penting: ―mencari makna‖ dan ―suci‖. Pencarian mengacu pada proses penemuan kesucian, suci setelah telah ditemukan dan transformasi yang suci ketika tekanan internal atau eksternal memerlukan perubahan. Pencarian juga dapat dipahami sebagai beberapa cara yang digunakan seseorang untuk mencapai tujuan mereka dan tujuan itu sendiri (dalam Lucero, 2010). Penjelasan mengenai agama dilanjutkan oleh Tarakeshwar, Pargament & Mahoney (2003) yang mengatakan bahwa agama dapat diwujudkan melalui berbagai dimensi di mana kesucian terlibat, seperti ideologi, perilaku etis, pengalaman emosional, hubungan sosial, dan belajar. Tujuan yang akan dicapai hanya sebagai ragam, yaitu termasuk mencapai tujuan pribadi seperti arti dalam hidup dan pengembangan diri, mencapai tujuan sosial seperti keintiman dengan orang lain dan berakhir hanya di dunia serta mencapai kesucian seperti kedekatan dengan Tuhan dan hidup dengan moral dan etika (dalam Lucero, 2010). Pargament & Mahoney (2002) mendefinisikan suci sebagai makhluk Illahi, kekuatan yang lebih tinggi atau Tuhan dan aspek lain dari kehidupan yang mengambil karakter Ilahi berdasarkan hubungan mereka dengan Tuhan. Menurut definisi ini, segala aspek kehidupan dapat mengambil karakter yang luar biasa melalui kerjasama dengan, atau representasi, keIlahian. Apa yang membuat agama
45
khas adalah keterlibatan suci dalam jalur dan tujuan yang mendefinisikan pencarian individu untuk sebuah signifikansi (dalam Lucero, 2010). Karena definisi Pargament (1997) tentang agama tersebut di atas berlaku untuk orang dari keyakinan yang berbeda, maka definisi ini berkontribusi terhadap dasar konseptual penelitian ini. 2.4.2 Religious Coping Menurut Lucero (2010), agama dapat berinteraksi dengan semua tahapan proses coping dan agama juga dapat mengambil berbagai bentuk dalam kegiatan coping tertentu. Ketika seseorang sakit, banyak hal yang terkait dengan keyakinan dan praktik agama. Keterlibatan agama muncul untuk menghilangkan sakit, khususnya untuk sakit yang serius dan mengakibat ketidakmampuan, coping dan pengalaman psikologis tumbuh lebih baik dari pengalaman kesehatan mereka yang negatif, dibanding melawan atau menghadapai pengalaman tersebut (Koenig dkk, 2001). Religious coping mengacu pada keyakinan beragama atau praktik untuk coping dengan hidup yang penuh stres (Abernethy dkk., 2002). Contoh religious coping termasuk berdoa, mencari kenyamanan dari sebuah keyakinan dan memberikan dukungan dari anggota lainnya di tempat beribadah (Abernethy dkk., 2002). Pargament (1997) menunjukkan bahwa ketersediaan religious coping di dalam diri seseorang mengorientasikan kerangka dan secara keseluruhan menarik karakter dari agama yang membantu menentukan bagaimana dan kapan orangorang beralih ke agama dalam menghadapi masalah (dalam Lucero, 2010). Agama
46
dan coping bertautan antar individu yang lebih berkomitmen dan terlibat dalam agama mereka (Lucero, 2010). Pargament (1997) mendefinisikan tiga jenis religious coping: 1. Pendekatan mengarahkan diri/self directing approach mengacu pada strategi coping dimana orang hanya mengandalkan diri mereka sendiri selama peristiwa stres dan sengaja mengecualikan Tuhan. 2. Pendekatan menunda/deffering approach mengacu pada strategi coping di mana tanggung jawab untuk mengatasi masalah ditangguhkan kepada Tuhan. 3. Pendekatan kolaboratif/collaborative approach mengacu pada persepsi seorang individu bahwa ada tanggung jawab bersama antara dia dan Tuhan dalam menghadapi situasi stres. Dengan demikian, kesesuaian antara gayacoping yang dipilih dan stresor sangat penting. Ketika suatu bentuk coping yang dipilih agama tidak beradaptasi dengan tuntutan perubahan stresor, berbagai hasil psikososial dan kesehatan yang tidak diinginkan dapat berlimpah, termasuk gejala peningkatan depresi dan kecemasan (dalam Lucero, 2010). Berdasarkan definisi-denfinisi di atas maka dapat disimpulkan religious coping adalah keyakinan beragama seseorang untuk melakukan coping dalam situasi hidup yang penuh stress,baik menjadi semakin dekat dengan Tuhan atau malah sebaliknya yaitu menyalahkan Tuhan.
47
2.4.3 Religious Coping dan Depresi Abernethy dkk.(2002) membuktikan bahwa ada hubungan yang signifikan antara religious coping dengan depresi. Pasangan yang menggunakan tingkatan religious coping yang sedang tercatat lebih sedikit mengalami depresi disbanding yang menggunakan tingkatan religious coping lebih rendah atau lebih tinggi (Abernethy dkk., 2002). Efek yang bermanfaat dari agama juga telah dibuktikan dengan dimensi lain dari kesehatan mental dan penyakit, seperti harga diri dan penguasaan, gejala depresi, kecemasan, dan penyesuaian emosional. Secara keseluruhan, literatur ini menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara keterlibatan agama, spiritual dan kesehatan mental (Raiya, 2008). Agama digunakan dalam coping oleh sebagian besar partisipan, dengan angka prevalensi mencapai setinggi 91% (Raiya, 2008). Studi empiris berbagai kelompok menghadapi berbagai stres kehidupan menunjukkan bahwa religious coping memiliki implikasi signifikan bagi kesehatan mental (Raiya, 2008). Sebuah badan besar penelitian empiris telah menunjukkan hubungan antara keterlibatan agama, spiritual, kesehatan fisik, obat/penyalahgunaan alkohol dan kesehatan mental (Raiya, 2008). Berdasarkan penelitian cross-sectional dan longitudinal Koenig dkk., (2001) ditemukan hubungan yang signifikan antara kehadiran agama dan indikator status kesehatan, termasuk kondisi tertentu seperti hipertensi, langkah-langkah umum kecacatan fungsional dan mortalitas secara keseluruhan. Koenig dkk. (2001) menemukan bahwa keterlibatan agama secara
48
bermakna dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah; menunjukkan individu dengan keterlibatan agama yang lebih tinggi memiliki kemungkinan untuk hidup lebih lama dibanding orang yang lebih rendah dalam keterlibatan agama (Raiya, 2008). 2.4.4 Dimensi Religious Coping Terdapat dua tingkat tinggi pola religious coping: satu pola yang terdiri dari metode religious coping positif dan yang lain terdiri dari metode religious coping negatif. Metode positif religious coping mencerminkan hubungan aman dengan Tuhan, keyakinan bahwa ada arti yang lebih besar untuk ditemukan dan rasa keterhubungan spiritual dengan orang lain. Sebaliknya, pola religious coping negatif melibatkan ekspresi hubungan yang kurang baik dengan Tuhan, pandangan yang lemah terhadap dunia dan usaha menemukan dan melestarikan signifikansi dalam hidup tanpa merujuk kepada Tuhan (Raiya, 2008). Beberapa penelitian oleh Pargament dkk.(2000) telah menunjukkan hubungan yang signifikan antara metode religious coping positif dan negatif sertaberbagai hasil psikologis dan fisik. Metode religious coping positif berkaitan dengan kesehatan mental yang lebih baik sementara religious coping negatif berkaitan dengan distres yang lebih besar (dalam Raiya, 2008). Koenig, Pargament & Nielsen (1998) serta Pargament dkk.(2000) membuktikan bahwa pola positif dari religious coping telah terkait dengan berbagai hasil psikososial. Pargament (2000) menjelaskan bahwa pola positif dari religious coping berbanding terbalik dengan gejala depresi, terutama bentuk-
49
bentuk positif dari religious coping yang melibatkan penafsiran peristiwa hidup yang mengakibatkan stres dalam kerangka cinta Tuhan, bekerja bersama-sama dengan Tuhan dan mengandalkan dukungan dari orang orang yang beragama lainnya. Bentuk positif religious coping juga terkait dengan tingkat yang lebih besar dari impuls control, problem solving, self esteem dan kesehatan fisik sebaik perubahan hidup yang positif (dalam Lucero, 2010). Lucero (2010) menjelaskan religious coping negatif juga menunjukkan hubungan yang relatif konsisten dengan variabel lain. Mereka yang menggunakan strategi religious coping yang lebih negatif mengalami tingkat beban hidup, stres dan masalah negatif lainnya yang lebih tinggi. Koenig dkk. (1998) melaporkan bahwa pola-pola religious coping negatif terkait langsung dengan laporan peningkatan gejala depresi seperti melihat
Tuhan seakan-akan sedang
menghukumnya (dalam Lucero, 2010). 2.4.5 Skala Religious coping Penelitian
ini
menggunakan
Psychological
Measure
of
Islamic
Religiousness (PMIR) untuk mengukur religious coping. PMIR mengukur beberapa subskala, yaitu: Islamic Dimensions, Islamic Religious Conversion, Islamic Positive Religious coping, Islamic Negative Religious coping, Islamic Religious Struggle, Islamic Religious Internalization-Identification, Islamic Religious Internalization-Introjection, and Islamic Religious Exclusivism (Raiya, 2008). Akan tetapi hanya dua subskala yang relevan yang akan digunakan dalam
50
penelitian ini, yaitu subskala Islamic Positive Religious coping dan Islamic Negative Religious coping. Islamic Positive Religious Coping Subscale- Short Form. Menurut
Pargament
dkk.(2000), metode religious coping positif
mencerminkan hubungan aman dengan Tuhan, sebuah keyakinan bahwa ada arti yang lebih besar untuk ditemukan dan rasa keterhubungan spiritual dengan orang lain (dalam Raiya, 2008). Untuk mengukur sejauh mana partisipan muslim menggunakan metode ini, item Islamic Positive Religious coping subscale-short form yang termasuk dalam sub-skala ini mengacu pada stres kehidupan umum. Para peserta diminta untuk menanggapi masing-masing dari tujuh item dalam subskala ini pada skala mulai dari 1 ("Saya tidak melakukan hal ini sama sekali.") sampai 4 ("Saya sering melakukan ini."). Nilai yang lebih tinggi pada sub-skala ini mencerminkan religious coping yang lebih positif (Raiya, 2008). Islamic Negative Religious Coping Subscale- Short Form Menurut Pargament dkk.(2000), pola religious coping negatif melibatkan ekspresi dari hubungan yang kurang baik dengan Tuhan, pandangan yang lemah terhadap dunia serta berusaha menemukan dan melestarikan signifikansi dalam hidup tanpa merujuk kepada Tuhan (dalam Raiya, 2008). Pola religious coping diukur dengan menggunakan Islamic Negative Religious coping subscale-short form. Partisipan diminta untuk menanggapi setiap lima item subskala ini pada skala mulai dari 1 ("Saya tidak melakukan hal ini sama sekali.") sampai 4 ("Saya
51
sering melakukan ini."), nilai yang lebih tinggi pada sub-skala ini mencerminkan religious coping yang lebih negatif (Raiya, 2008). 2.4.6 Religious Coping dan Kanker Cummings & Pargament (2010) membuktikan bahwa pasien kanker di Jerman yang mengatakan bahwa mereka menggunakan religious coping positif diindikasikan lebih sedikit mengalami depresi.Selain itu, Koenig (1998) juga melakukan penelitian longitudinal pada 1000 pasien dengan gagal jantung atau kanker paru-paru kronis yang juga didiagnosis mengalami depresi.Pasien yang memiliki skor tinggi dalam komposisi yang mengukur berdoa, mempelajari kitab, menyaksikan program religius dan hasilnya menunjukkan jangka waktu mengalami depresi yang lebih sedikit (Cummings & Pargament, 2010).
2.5 Kanker 2.5.1 Definisi Menurut WHO (2010), kanker adalah istilah umum untuk kelompok besar penyakit yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari tubuh.istilah lain yang digunakan adalah tumor ganas dan neoplasma. Kanker adalah kondisi pertumbuhan sel yang tidak normal (Levy, Dignan & Shirreffs, 1984 dalam Sarafino, 2002). Kanker juga dapat dilihat sebagai sebuah penyakit sel dan memiliki karakteristik berupa pembentukan sel bebas yang akan membentuk neoplasma berbahaya (Sarafino, 2002). Sheridan & Radmacher (1992)
52
menyatakan bahwa kanker merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan selsel berlipat ganda secara tidak terkontrol (dalam Sarafino, 2002).Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kanker merupakan suatu penyakit sel yang membuat sel-sel dalam tubuh tumbuh secara abnormal. 2.5.2 Jenis Kanker Berdasarkan Hahn & Payne (2003) jenis-jenis kanker dilihat dari organ mana yang diserang oleh kanker, yaitu: 1.Paru-paru Kanker paru-paru merupakan salah satu kanker yang mematikan, karena kanker ini baru terdeteksi setelah mencapai stadium lanjut. Hanya 14 % penderita kanker paru-paru dapat selama 5 tahun setelah diagnosis. Sebanyak 12 % dari penderita kanker paru-paru memiliki penyebab genetik. 2.Payudara Kanker payudara merupakan penyebab kematian kedua akibat kanker pada perempuan. Faktor-faktor yang memungkinkan perempuan terkena kanker antara lain: perempuan yang memulai periode menstruasi lebih awal dan mengalami menopause terlambat, perempuan yang tidak memiliki atau memiliki anak pertama di kala tua dan perempuan yang memiliki faktor resiko di dalam keluarga. Selain itu, perempuan yang mengkonsumsi makanan dengan lemak jenuh yang tinggi dan memiliki lemak berlebih di area pinggang juga lebih rentan mengidap kanker.
53
3.Serviks Kanker serviks sering terjadi pada perempuan di Indonesia.Kematian yang diakibatkan oleh kanker rahim ini mulai berkurang sejak 1950, dikarenakan tersedianya Pap test. Faktor resiko yang berpengaruh yaitu usia terlalu muda saat melakukan intercourse, jumlah pasangan seksual, sejarah kemandulan, infeksi HPV dan jaringan lemak berlebih di area pinggang. 4.Indung telur Kebanyakan kanker ini diderita oleh perempuan berusia lebih dari 40 tahun, tidak memiliki anak dan memulai menstruasi lebih awal. Gangguan pencernaan, membuang gas serta lambung tidak enak kadang menjadi simptoma kanker indung telur. 5.Kolon dan rektum Kanker colorectal merupakan suatu kombinasi dan penyebab kematian setelah kanker paru-paru dan payudara. Kanker ini dapat ditemui pada individu dengan pola makan kandungan lemak jenuh tinggi dari daging merah dan rendah buah serta sayuran yang mengandung vitamin dan serat antioksidan. 6.Pankreas Kanker pancreas merupakan kanker yang mematikan, dengan jumlah penderita yang selamat hanya 4% selama 5 tahun setelah diagnosis.
54
7.Kulit Kanker kulit biasa ditemukan pada individu yang bekerja di bawah teriknya matahari. Pemaparan di bawah sinar matahari secara kronis saat remaja awal dan akhir terlibat dalam menyebabkan seseorang menderita kanker kulit. 2.5.3 Penyebab Kanker Menurut Sarafino (2002) kanker dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan,
akan
tetapi
stres
dapat
meningkatkan
pembentukan
dan
perkembangan penyakit tersebut. Faktor terkuat yang menyebabkan kanker yaitu herediter yang dipercaya mencapai 5 hingga 10 % penyakit (Taylor, 2007). Selain itu, faktor lingkungan juga berperan penting sebagai penyebab penyakit kanker (Taylor, 2009). Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan kanker meliputi rokok, makanan, radiasi ultraviolet, polusi perumahan dan perkantoran dan lainlain. Selain itu, faktor perilaku juga dapat menjadi resiko utama untuk kanker (Taylor, 2007). 2.5.4 Faktor Emosi dan Kanker Berdasarkan Taylor (2007) faktor emosi seperti stres, depresi dan penekanan emosi telah diteliti dan menghasilkan bahwa mereka juga dapat menyebabkan kanker. Brannon & Feist (1997) menemukan bahwa penekanan atau penolakan amarah secara signifikan berhubungan dengan diagnosis kanker payudara di kemudian hari (dalam Taylor, 2007).
55
2.5.5 Faktor Kepribadian dan Kanker Brannon & Feist (1997) menyatakan bahwa terdapat model kepribadian yang rawan kanker. Dimana subjek dikelompokan ke dalam empat tipe (dalam Taylor, 2007). 1. Tipe I memiliki karakteristik hubungan interpersonal yang dekat, memiliki ketidakberdayaan dan pasrah terhadap stres, memiliki reaksi rasional tanpa emosi terhadap peristiwa hidup dan sulit mengekspresikan amarah atau rasa takut. 2. Tipe II berkarakteristik mudah frustasi, cenderung menyalahkan orang lain terhadap distres dan kesedihan mereka serta biasanya bereaksi pada frustasi dengan amarah, agresi dan gejolak emosi. 3. Tipe III berada di antara tipe I dan II yang bereaksi tidak konsisiten terhadap peristiwa dalam hidup. 4. Tipe IV merupakan kepribadian yang paling sehat secara psikologis, rasa kemadirian yang tinggi dan dasar perasaan kesejahteraan. Penelitian ini menghasilkan 45% kematian pada tipe I disebabkan oleh kanker dimana hanya 5% kematian dari tipe II berdasarkan kanker. Hanya 5 % dari tipe III yang meninggal akibat kanker dan 10% meninggal akibat penyakit jantung. Sedangkan tipe IV hanya 5% meninggal akibat kombinasi kanker dan penyakit jantung (Brannon & Feist, 1997 dalam Taylor, 2007).
56
2.5.6 Keterkaitan Kanker Dengan Depresi Pasien dengan penyakit kronis sering mengalami penolakan, kecemasan dan depresi jangka panjang. Namun reaksi-reaksi ini (terutama depresi) sering tidak terdiagnosa, tumpang tindih dengan gejala atau treatment dari penyakit itu, dan dianggap normal sehingga tidak mendapat penanganan yang tepat (Taylor, 2009). Saat mengalami sakit kronis seseorang mengalami lima tahap untuk menyesuaikan diri saat dihadapi dengan kenyataan mengenai kematian yang digambarkan oleh Kübler-Ross (1969) dalam buku klasik nya On Death and Dying. Lima tahap kesedihan adalah garis besar untuk proses menyesuaikan diri saat menghadapi kenyataan mengenai kematian dan tidak perlu harus diikuti secara berurutan. Seseorang bisa melewati tahap-tahap pada waktu yang berbeda, beralih di antaranya selama kesedihan mereka. Mereka bisa kembali ke tahap yang lain bila diperlukan. Tidak ada ketetapan untuk berapa banyak waktu yang dihabiskan pada setiap tahap tertentu. Satu tahap bisa berjangka waktu yang lebih lama bagi seseorang dari pada tahap-tahap yang lain (Kübler-Ross, 1969). Lima tahapan mekanisme coping seseorang saat mengalami penyakit kronis tersebut adalah: 1. Penolakan dan isolasi (denial & isolation)
57
Penolakan dan isolasi adalah reaksi alami dalam respon terhadap peristiwa mengejutkan dan kegagalan untuk menyerap besarnya kematian yang dekat atau tiba-tiba. Seseorang mungkin menolak diagnosis terminal atau prognosis untuk pemulihan. Mereka mungkin mengisolasi diri dari orang lain karena takut dikelilingi oleh kebenaran. Penolakan dan isolasi adalah mekanisme pertahanandimaksudkan untuk membantu menyerap besarnya kematian. Tahap ini membantu orang dengan menawarkan kerangka waktu untuk memilah-milah rasa sakit. 2. Kemarahan (anger) Selama tahap ini menjadi lebih sulit untuk terus menyangkal dan mengisolasi diri dari kematian. Sebagai realisasi dari realitas mulai muncul, orang yang sekarat atau orang di sekitarnya atau dia dapat melampiaskan emosi mereka melalui kemarahan. Orang marah karena hal ini terjadi padanya, atau orang yang dicintai marah karena seseorang yang dia cintai sedang sekarat. Kemarahan bisa dilepaskan dalam berbagai cara, fokus kemarahan pada keluarga, teman, pengasuh, atau profesional kesehatan. Mereka mungkin berteriak, melempar benda, atau tidak masuk akal dalam upaya untuk merujuk nyeri mereka dari kematian. 3. Perundingan (bargaining) Suatu mekanisme pertahanan tawar menawar lemah ternyata dalam rangka untuk menunda kematian seseorang atau kematian orang yang dicintai. Hal ini terjadi pada orang yang benar-benar mulai menyadari validitas kematian. Seringkali orang tersebut akan berusaha untuk tawar-menawar dengan kekuatan yang lebih
58
tinggi untuk menunda kematian sampai setelah peristiwa tertentu atau kesempatan. 4. Depresi (depression) Selama tahap ini, orang yang sekarat atau orang yang dicintai mungkin mulai memisahkan dirinya sendiri dari situasi. Hal ini dilakukan dalam persiapan untuk kematian yang dekat. Ia mungkin menghindari berkunjung atau berbicara dengan orang tersebut, ia dapat menghindari subjek sepenuhnya ketika berbicara dengan teman atau keluarga. Upaya ini dimulai pemisahan fisik sebelum kematian. 5. Penerimaan (acceptance) Penerimaan dicapai hanya dengan melengkapi tahap lain dari kesedihan. Meskipun akan selalu merasakan rasa kehilangan dan kesedihan setelah kematian, akan datang rasa berdamai dengan kematian dan memiliki perasaan damai daripada kemarahan. Ini adalah tahap kesedihan yang mengaktifkan kemampuan untuk terus maju dalam hidup (Kübler-Ross, 1969). Tahapan kanker berhubungan dengan depresi mungkin mengindikasikan sebuah hubungan potensial antara tingkatan sakit dan ketidakmampuan pasien kanker dengan depresi (Abernethy dkk., 2002). Maka dapat disimpulkan bahwa dalam menderita kanker, depresi merupakan suatu tahap yang pasti akan dialami oleh seseorang bergantung pada tingkat keparahan penyakit tersebut.
59
2.6 Kerangka Berpikir Depresi disebabkan oleh multifaktor atau beberapa faktor resiko. Dalam model biopsikososoial penyebab depresi dibagi atas tiga faktor, antara lain faktor biologis, psikologis dan sosial budaya. Dimana ketiga faktor tersebut bisa berhubungan ataupun menjadi konsekuensi atas depresi. Terjadinya depresi secara psikologis dibuktikan oleh berbagai teori diantaranya psikoanalitik Freud (1917/1950), teori kognitif Beck (1967, 1987) dan teori belajar Seligman (1974) (dalam Davison, Neale & Kring, 2002). Untuk itu perlu dilihat faktor psikologis apa saja yang menyebabkan depresi pada penderita kanker. Salah satu faktor psikologis yang paling berhubungan dengan depresi adalah kepribadian.Kepribadian tertentu dikatakan memiliki implikasi yang signifikan terhadap depresi. Untuk mengetahui kepribadian apa yang dimiliki seseorang maka dibuatlah tipe kepribadian oleh tokoh-tokoh psikologi diantaranya adalah tipe kepribadian menurut Eysenck. Eysenck (1970) membagi tiga dimensi utama tipe kepribadian seseorang yaitu ekstrovert, neurosis dan psikosis (dalam Schutz & Schultz, 2005). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki tipe kepribadian neurosis lebih rentan mengalami depresi ketika didiagnosis menderita kanker. Untuk itu penelitian ini akan membuktikan bagaimana hubungan dari masing-masing dimensi tipe kepribadian Eysenck terhadap depresi pada penderita kanker. Faktor psikologis lainnya yang juga mempengaruhi depresi pada penderita kanker adalah faktor kognitif dimana teori kognitif Beck (1979) menggunakan
60
konsep Cognitive Triad untuk menjelaskan terjadinya depresi. Diagnosa yang negatif, kondisi yang memburuk dan ketidak efektifan penanganan yang dijalani akan menjadi sebuah stresor yang kemudian menimbulkan suatu keyakinan pasien terhadap kesehatnnya atau yang disebut dengan HLC. HLC dibagi menjadi 5 dimensi yaitu subjective, chance/fate, doctor, other people dan God.Orang yang memiliki HLC subjective dikatakan lebih rentan terhadap stres dan depresi. Faktor psikologis selanjutnya yang juga menunjukkan hubungan dengan depresi adalah coping. Pemilihan coping yang tidak sesuai memiliki hubungan dengan tingginya derajat depresi (Konginan, 2007). Berdasarkan penelitianpenelitian yang dilakukan terbukti bahwa salah satu jenis coping yang memiliki implikasi yang signifikan bagi kesehatan mental adalah religious coping (Raiya, 2008). Penelitian tersebut juga menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan religious coping negatif dengan depresi. Berikut adalah kerangka berpikir dalam penelitian ini:
61
Faktor Biologis Genetik Usia Jenis Kelamin Stadium Klinis Kanker
Faktor Psikologis F Tipe Kepribadian Ekstrovert Neurosis Psikosis
DEPRESI
Health Locus of Control Subjective
PADA
Chance
PENDERITA
Powerful Other
KANKER
Doctors God
Religious Coping Positif Negatif
Faktor Sosial Budaya Suku Dukungan Sosial Stressfull Event Status Sosial Agama
Gambar 2.4 Kerangka Berpikir Penelitian Keterangan;
: Area penelitian
: Area di luar penelitian
62
2.7 Hipotesis Penelitian 1. Terdapat pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian, HLC dan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. 2. Terdapat pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian terhadap depresi pada penderita kanker. a. Terdapat pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian ekstrovert terhadap depresi pada penderita kanker. b. Terdapat pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian neurosis terhadap depresi pada penderita kanker. c. Terdapat pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian psikosis terhadap depresi pada penderita kanker. 3. Terdapat pengaruh yang signifikandari HLC terhadap depresi pada penderita kanker. a. Terdapat pengaruh yang signifikan dari HLC subjective terhadap depresi pada penderita kanker. b. Terdapat pengaruh yang signifikan dari HLC chance/fate terhadap depresi pada penderita kanker. c. Terdapat pengaruh yang signifikan dari HLC other people terhadap depresi pada penderita kanker. d. Terdapat pengaruh yang signifikan dari HLC doctors terhadap depresi pada penderita kanker. e. Terdapat pengaruh yang signifikan dari HLC God terhadap depresi pada penderita kanker.
63
4. Terdapat pengaruh yang signifikan dari religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. a. Terdapat pengaruh yang signifikan dari religious coping positif terhadap depresi pada penderita kanker. b. Terdapat pengaruh yang signifikan dari religious coping negatif terhadap depresi pada penderita kanker.
64
BAB 3 METODE PENELITIAN Pada bab ini akan dipaparkan tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi operasional variabel serta uji validitas instrumen.
3.1 Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini adalah para penderita kanker berusia dewasa yang berobat ke Rumah Sakit Kanker Dharmais.Rumah Sakit Kanker Dharmais merupakan salah satu rumah sakit khusus penderita kanker di Jakarta Barat. Guilford & Fruchter (1978) menyatakan bahwa sampel pada suatu penelitian kuantitatif harus berjumlah sedikitnya 30 orang untuk memenuhi perhitungan statistik standar sehingga distribusi sampling dari setiap statistik yang dihitung mendekati kurva normal. Kerlinger & Lee (2000) menambahkan bahwa jika semakin besar sampel maka akan semakin kecil kesalahan (error) dalam penelitian. Oleh karena itu jumlah sampel dalam penelitian ini diusahakan sebesar mungkin, akan tetapi yang dapat diperoleh peneliti adalah 124 orang. Yang terdiri dari 45 orang pasien rawat inap dan 79 orang pasien rawat jalan di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik nonprobability sampling. Adapun kriteria populasi yang harus dipenuhi adalah:
65
1. Pasien kanker yang berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais yang berusia antara 19-60 tahun, dimana pada usia ini adalah tahapan usia dewasa seseorang. 2. Pasien yang beragama Islam, agarsesuai dengan teori dan alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu religious coping Islam. 3. Pasien kanker yang mampu dan bersedia menjadi responden. Pada awalnya peneliti menyebarkan 150 kuesioner namun pada tahap pengisian terdapat beberapa kuesioner yang tidak terisi lengkap dikarenakan kondisi fisik pasien yang tidak memungkinkan untuk mengisi seluruh pertanyaan dalam kuesioner dan beberapa lainnya pasien yang beragama non muslim sehingga jumlah partisipan dalam penelitian ini adalah 124 orang.
3.2 Variabel Penelitian Variabel penelitian yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu: 1. Depresi 2. Tipe kepribadian-Ekstrovert 3. Tipe kepribadian-Neurosis 4. Tipe kepribadian-Psikosis 5. Health locus of control-Subjective
66
6. Health locus of control-Chance 7. Health locus of control-Powerful other 8. Health locus of control-Doctor 9. Health locus of control-God 10. Religious coping- Positif 11. Religious coping- Negatif Dependet Variable (DV) dalam penelitian ini adalah depresi, sedangkan variabel lainnya merupakan Independent Variable (IV).
3.3 Definisi Operasional Variabel Berikut ini definisi operasional dari masing-masing variabel dalam penelitian ini: 1. Depresi Depresi adalah seperangkat kognitif negatif yang terdiri dari perilakuperilaku dan keyakinan-keyakinan negatif mengenai diri sendiri, dunia dan masa depan. Dalam penelitian ini skor tentang depresi diperoleh dari data dimana responden merespon item-item yang ada di dalam Beck Depression Inventory II (BDI-II) yaitu sebuah self-report yang menggambarkan depresi seseorang dengan melihat skala sikapnya.
67
2.Tipe kepribadian Tipe kepribadian adalah skor yang diperoleh dari data dimana responden merespon item-item yang ada di dalam Eysenck Personality Questionnaire Revised-Scale (EPQR-S) yaitu sebuah self-report yang menggambarkan tipe kepribadian seseorang dengan melihat skala sikapnya. Terdapat tiga aspek yang diukur, yaitu: a. Ekstrovert (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang memiliki tipe kepribadian dengan trait: berorientasi pada dunia luar, suka bergabung dengan orang lain, bersemangat, ramah, petualang, tegas, dominan dan lain-lain). b. Neurosis (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang memiliki tipe kepribadian dengan trait: pencemas, emosional, labil, pemalu, rendah diri dan lain-lain). c. Psikosis (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang memiliki tipe kepribadian dengan trait: agresif, egosentris, antisosial, tidak berempati, tangguh, kreatif dan lain-lain). 3. Health locus of control Skor tipe kepribadian diperoleh dari data responden dalam merespon itemitem Multidimensional Health Locus of Control (MHLC) yaitu sebuah self-report yang menggambarkan keyakinan seseorang mengenai siapa yang mengendalikan kesehatannya. Terdapat lima aspek yang diukur, yaitu; a. Subjective (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang berkeyakinan bahwa dirinya sendiri yang mengendalikan kesehatannya).
68
b. Chance (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang berkeykinan bahwa kesempatan/ takdir yang mengendalikan kesehatannya). c. Powerful Other (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang berkeyakinan bahwa orang lain, seperti keluarga dan lingkungan yang mengendalikan kesehatannya). d. Doctor (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang berkeyakinan bahwa dokter/ petugas medis yang mengendalikan kesehatannya). e. God (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang berkeyakinan bahwa Tuhan yang mengendalikan kesehatannya). 4. Religious coping Skor religious coping diperoleh dari data dimana responden merespon itemitem yang ada di dalam 2 subskala dari Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR): Islamic Positive Religious coping subscale-short form dan Islamic Negative Religious coping subscale-short form yaitu sebuah self-report yang menggambarkan keyakinan dan sikap seseorang terhadap Tuhan dan agamanya ketika menghadapi masalah dalam hidup. Terdapat dua aspek yang diukur, yaitu: a. Positif (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang mempraktikkan hubungan yang lebih kuat dengan Tuhan dalam keadaan menderita penyakit kanker). b. Negatif (skor tinggi pada aspek ini menunjukkan individu yang mempraktikkan hubungan yang renggang dengan tuhan atau menjauhi Tuhan dalam keadaan menderita penyakit kanker).
69
3.4 Instrumen Pengumpulan Data Penelitian
ini
menggunakan
empat
instrumen
penelitian
untuk
mengumpulkan data. Instrumen yang digunakan adalah Beck Depression Inventory II (BDI-II), Eysenck Personality Questionnaire Revised- Short Form (EPQR-S), Multidimensional Health Locus of Control (MHLC) dan dua subskala dari Psychological Measure of Islamic Religiousness(PMIR), yaitu Islamic Positive Religious Coping Subscale-short Form dan Islamic Negative Religious Coping Subscale-short Form. Bukti bahwa alat-alat ukur yang digunakan ini sudah valid dan reliabel adalah sudah digunakan oleh beberapa penelitian, diantaranya Massie (2004); Naus dkk (2007) serta Souza (2003) dalam mengukur depresi, Francis, Lewis & Ziebert (2006) dalam mengukur tipe kepribadian, Afifi (2007); Bastani (2010); Peter (2008) serta Krosch (2009) dalam mengukur health locus of control, Abernethy (2002); Lucero (2010) serta Raiya (2008) dalam mengukur religious coping. Namun, karena diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka peneliti akan menguji kembali validitas alat-alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini selain menyampaikan deskripsi dari masing-masing alat ukur tersebut seperti tercantum pada penjelasan berikut: 1. Depresi Untuk mengukur depresi pada penderita kanker peneliti menggunakan skala baku yang dibuat oleh Beck (1967) yaitu BDI-II. Dimensi ini terdiri atas 21 kriteria utama dari depresi. Masing-masing kriteria memuat sebuah kelompok pernyataan dan masing-masing kelompok terdiri dari empat pilihan pernyataan. Rentang skor berkisar antara 0-3 untuk masing-masing pernyataan (pernyataan A-
70
pernyatan D). Pernyataan yang paling sesuai dengan kriteria depresi memiliki skor paling tinggi (skor 0 untuk pilihan pernyataan A, skor 1 untuk pilihan pernyataan B dan seterusnya hingga skor 3 untuk pilihan jawaban D). Sementara item no 16 (mengenai perubahan pola tidur) dan item no 18 (mengenai perubahan nafsu makan) memuat 7 pilihan (A, B1, B2, C1, C2, D1 dan D2) untuk membedakan antara meningkat atau menurunnya perilaku namun cara penskoringanannya tetap sama dengan item lainnya. Pada skripsi ini peneliti hanya melampirkan contoh item dari alat ukur depresi. Jika berminat untuk memperoleh alat ukur ini, maka silahkan hubungi peneliti. Berikut ini adalah blueprint BDI-II: Tabel 3.1 Penjelasan Aspek dan Indikator Skala Depresi (BDI-II) No Aspek Indikator No Item* 1 Depresi Kesedihan 1 Pesimisme 2 Kegagalan masa lalu 3 Kehilangan kesenangan 4 Perasaan bersalah 5 Perasaan hukuman 6 Tidak menyukai diri 7 Kegawatan diri 8 Pikiran atau keinginan untuk bunuh diri 9 Menangis 10 Agitasi 11 Kehilangan minat 12 Keraguan 13 Tidak berharga 14 Kehilangan energy 15 Perubahan pola tidur 16 Lekas marah 17 Perubahan nafsu makan 18 Kesulitan konsentrasi 19 Kelelahan 20 Kehilangan ketertarikan untuk 21 melakukan hubungan seks Keterangan: tanda *=item lihat lampiran halaman 22
Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
71
2. Tipe Kepribadian Untuk mengukur tipe kepribadian yang dimiliki penderita kanker peneliti menggunakan skala baku yang dibuat oleh Eysenck, yaitu Eysenck Personality Questionnaire Revised- Shortform (EPQR-S). Skala ini dibuat untuk mengukur kepribadian pada orang dewasa yang telah dikembangkan dan direvisi dalam periode lebih dari 50 tahun. Awalanya skala dibuat oleh Eysenck pada tahun 1952 dan dinamakan Maudsley Medical Questionnaire (MMQ) yang terdiri atas 40 item, kemudian pada tahun 1959 Eysenck mengembangkannya menjadi Maudsley Personality Inventory (MPI) yang terdiri dari 48 item, lalu Eysenck Personality Inventory (EPI) pada tahun 1964 yang terdiri dari 57 item, kemudian Eysenck Personality Questionnaire (EPQ) pada tahun 1975 yang terdiri dari 90 item dan selanjutnya menjadi Eysenck Personality Questionnaire Revised (EPQR) yang terdiri dari 100 item. Skala inilah yang kemudian dibuat menjadi Short Form oleh Eysenck & Berret pada tahun 1985 yang bernama Eysenck Personality Questionnaire Revised- Short Form (EPQR-S) yang terdiri atas 4 skala dan masing-masing terdiri atas 12 item (Francis, Lewis& Ziebertz, 2006). Item yang dibuat oleh Eysenck berupa pertanyaan yang membutuhkan respon jawaban ‗ya‘ atau ‗tidak‖. Bagi item favorable, pilihan jawaban ―ya‖ memiliki skor 1 sedangkan pilihan jawaban ―tidak‖ memiliki skor 0 dan skor sebaliknya bagi item unfavorable (―ya‖ = 0, ―tidak‖ = 1). Pada skripsi ini peneliti hanya melampirkan contoh item dari alat ukur tipe kepribadian. Jika berminat untuk memperoleh alat ukur ini, maka silahkan hubungi peneliti. Berikut ini adalah blueprint dari EPQR-S:
72
Tabel 3.2 Penjelasan Aspek dan Item Skala Tipe Kepribadian (EPQR-S) No
Aspek
No. item*
Jumlah
Favorable
Unfavorable 27, 41
1
Ekstrovert
3,7,11,15,19,23,32,36,44,48
12
2
Neurosis
1,5,9,13,17,21,25,30,34,38,42,46
3
Lie Scale
4, 16,45
8,12,20,24,29,33,37,40,47
12
4
Psikosis
10,14,22,31,39
2,6,18,26,28,35,43
12
12
Keterangan: tanda *=lihat lampiran halaman 23 3. Health locus of control Untuk mengukur HLC yang digunakan oleh penderita kanker, peneliti menggunakan
skala
baku
Multidimensional
Health
Locus
of
Control
(MHLC).Skala MHLC memiliki tiga dimensi utama. Dua di antaranya adalah dimensi eksternal: powerful other health locus of control (PHLC) dan chance health locus of control (CHLC). Dan satu skala lainnya adalah dimensi internal yaitu subjective health locus of control (IHLC) yang dalam penelitian ini diganti namanya menjadi subjective health locus of control (SHLC). Dimensi PHLC kemudian dipecah menjadi 2 sub skala yaitu HLC khusus terhadap ahli kesehatan atau dokter (doctor health locus of control/DHLC) dan HLC terhadap orang lain secara umum (other health locus of control/OHLC) (Keedy, 2009). Oleh karena itu MHLC terdiri menjadi empat skala yaitu subjective, chance /fate, other people dan doctor. Namun, baru-baru ini telah ditambah sebuah skala untuk mengukur keadaan dimana seseorang meyakini bahwa Tuhan yang paling mengendalikan
73
penyakit spesifik yang ia miliki, yaitu God health locus of control (God HLC) atau biasa diesbut God health locus control (GLoC). MHLC ini merupakan replikasi dari 5 strukutur faktor yang dikombinasikan dari skala Form C MHLC dan God HLC (O‘Hea dkk., 2009). MHLC terdiri dari 24 pernyataan: 6 item untuk mengukur SHLC, 6 item untuk mengukur CHLC, 3 item untuk mengukur DHLC, 3 item untuk mengukur PHLC dan 6 item untuk mengukur GLoC. Pemberian skor MHLC berupa likert yaitu dengan memberikan 4 pilihan jawaban bagi masing-masing item dengan skor 1 untuk pilihan jawaban sangat tidak setuju, skor 2 untuk pilihan jawaban tidak setuju, skor 3 untuk pilihan jawaban setuju dan skor 4 untuk pilihan jawaban sangat setuju. Berikut ini adalah blueprint dari alat ukur yang digunakan: Tabel 3.3 Penjelasan Aspek dan Item Skala Health Locus of Control (MHLC) No
Aspek
No. item*
Jumlah
1
Subjective
1,5,6,7,14,20
6
2
Chance
3,9,13,15,17,18
6
3
Powerful other
12,19,23
3
4
Doctor
4,11,21
3
5
God
2,8,10,16,22,34
6
Keterangan: tanda *=lihat lampiran A hal.24 Contoh butir soal dari skala di atas adalah, ―saya bertanggung jawab secara langsung mengenai kondisi kesehatan saya‖, ―keberuntungan memainkan
74
peranan penting dalam peningkatan kesehatan saya‖ dan ―bantuan dari orang lain menentukan seberapa cepat kesehatan saya membaik‖. 4. Religious coping Untuk mengukur religious coping yang digunakan penderita kanker dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua subskala dari skala baku Psychological Measure of Islamic Religiousness (PMIR) yang dibuat oleh Abu Raiya yaitu Islamic Positive Religious coping subscale-short form yang terdiri dari 7 item dan Islamic Negative Religious coping subscale-short form yang terdiri dari 5 item. Masing-masing item dinilai dengan cara memberikan skor 1 untuk pilihan jawaban ―saya tidak melakukan hal ini sama sekali‖ hingga skor 4 untuk pilihan jawaban ―saya sering melakukan ini‖. Berikut ini adalah blueprint dari alat ukur yang digunakan: Tabel 3.4 Penjelasan Aspek dan Item Skala Religious Coping (PMIR) No
Aspek
No. item*
Jumlah
1
Religious coping positif
1,2,3,4,5,6,7
7
2
Religious coping
8,9,10,11,12
5
negative Keterangan: tanda *=lihat lampiran A hal. 25 Contoh butir soal dari skala di atas adalah, ―ketika saya menghadapi masalah, saya mencari hubungan yang lebih kuat dengan Allah‖, ―ketika saya menghadapi masalah dalam hidup, saya mencari cinta dan perlindungan Allah‖ dan ―ketika
75
saya menghadapi maslah dalam hidup, saya percaya bahwa saya sedang dihukum atas tindakan saya yang buruk‖.
3.5 Uji Validitas Instrumen Dalam penelitian ini validitas konstruk dari setiap instrument diuji dengan analisis faktor konfirmatori (Confirmatory Factor Analysis/CFA). Adapun yang dimaksud dengan CFA adalah bagian dari analisis faktor yang digunakan untuk menguji sejauh mana masing-masing item valid di dalam mengukur apa yang ingin diukur. Jadi, berbeda dengan analisis faktor eksploratori (Exploratory Factor Analysis/EFA) yang digunakan ketika seseorang ingin menentukan ada berapa faktor yang ingin diukur (ekstraksi) dan menentukan item mana mengukur faktor yang mana (rotasi). Sedangkan pada CFA peneliti yang menetapkan ada berapa faktor dan menetapkan item mana yang dirancang untuk mengukur faktor yang mana. Oleh karena itu pada CFA kegiatannya adalah menguji hipotesis sesuai dengan penetapan banyaknya faktor maupun struktur faktor tersebut. Dalam penelitian ini yang diuji adalah sebuah model unidimensional (satu faktor) dan jika ternyata model ini fit dengan data maka dapat dilakukan uji hipotesis apakah masing-masing item signifikan di dalam mengukur apa yang hendak diukur. Untuk menguji hal ini peneliti menggunakan software listrel (Joreskog & Sorbom, 1999). Caranya terdiri dari tiga langkah, yaitu: 1. Menguji apakah hanya satu faktor saja yang menyebabkan item-item saling berkorelasi (hipotesis unidimensionalitas item).
76
Hipotesis ini diuji dengan chi-square. Untuk memutuskan apakah memang tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi yang dihitung menurut teori/model. Jika hasil chi-square tidak signifikan (p>0.05), maka hipotesis nihil yang menyatakan bahwa ―tidak ada perbedaan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data dan model‖ tidak ditolak yang artinya item yang diuji mengukur satu faktor saja (unidimensional). Sedangkan, jika nilai chi-square signifikan (p<0.05) maka hipotesis nihil tersebut ditolak yang artinya item-item yang diuji ternyata mengukur lebih dari satu faktor (multidimensional).
Dalam keadaan demikian maka peneliti melakukan
modifikasi terhadap model dengan cara memperbolehkan item-item saling berkorelasi tetapi dengan tetap menjaga bahwa item hanya mengukur satu faktor (unidimensional).
Jika
sudah
diperoleh
model
yang
fit
(tetapi
tetap
unidimensional) maka dilakukan langkah selanjutnya. 2. Menganalisis item mana yang menjadi sumber tidak fit. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui item mana yang menjadi sumber tidak fit, yaitu: a. Melakukan uji signifikansi terhadap koefisien muatan faktor dari masingmasing item dengan menggunakan t-test. Jika nilai t yang diperoleh pada sebuah item tidak signifikan (t<1.96) maka item tersebut akan didrop karena dianggap tidak signifikan sumbangannya terhadap pengukuran yang sedang dilakukan. b. Melihat arah dari koefisien muatan faktor (factor loading). Jika suatu item memiliki muatan faktor negatif, maka item tersebut didrop karena tidak sesuai
77
dengan pengukuran (berarti semakin tinggi nilai pada item tersebut semakin rendah nilai pada faktor yang diukur). c. Sebagai kriteria tambahan (optional) dapat dilihat juga banyaknya korelasi partial antar kesalahan pengukuran, yaitu kesalahan pengukuran pada suatu item yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran pada item lain. Jika pada suatu item terdapat terlalu banyak korelasi seperti ini (lebih dari tiga), maka item tersebut juga akan didrop. Alasannya adalah karena item yang demikian selain mengukur apa yang ingin diukur juga mengukur hal lain (multidimensional item). 3. Menghitung faktor skor. Jika langkah-langkah di atas telah dilakukan, maka diperoleh item-item yang valid untuk mengukur apa yang ingin diukur. Item-item inilah yang kemudian diolah untuk mendapatkan faktor skor pada tiap skala. Dengan demikian perbedaan kemampuan masing-masing item dalam mengukur apa yang hendak diukur ikut menentukan dalam menghitung faktor skor (true score). True score inilah yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis tidak menggunakan row score/skor mentah (hasil menjumlahkan skor item). Oleh karena itu sebenarnya tidak diperlukan informasi tentang reliabilitas masing-masing alat ukur (misalnya, cronbach alpha) karena true score itu reliabilitasnya sama dengan satu (100%). Untuk
kemudahan
di
dalam
penafsiran
hasil
analisis
maka
penulis
mentransformasikan faktor skor yang diukur dalam skala baku (Z score) menjadi
78
T score yang memiliki mean=50 dan standar deviasi (SD)=10 sehingga tidak ada responden yang mendapat skor negatif. Adapun rumus T score adalah: Tscore = (10 x skor faktor) + 50 3.5.1 Uji Validitas Konstruk Skala Depresi Pada skala depresi terdapat 21 item. Peneliti telah melakukan uji validitas terhadap skala ini. Peneliti menguji apakah 21 item yang ada bersifat unidimensional, artinya benar hanya mengukur depresi. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor diperoleh model tidak fit, dengan Chi – Square =444.25, df = 189, P-value = 0.00000, RMSEA = 0.105. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit seperti gambar 3.1 di bawah ini:
79
Gambar 3.1 Hasil Analisis Faktor Konfirmatorik Depresi
Berdasarkan gambar di atas, diperoleh Chi – Square =184.48, df = 158, Pvalue = 0.07341, RMSEA = 0.037. Karena P-value telah menghasilkan nilai >0.05 (signifikan) maka dinyatakan bahwa model dengan satu faktor dapat diterima, bahwa seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu depresi meskipun beberapa item bersifat multidimensional pada dirinya masing-masing.
80
Kemudian peneliti melihat apakah item tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus menentukan apakah item tersebut perlu didrop atau tidak. Dalam hal ini yang diuji adalah hipotesis nihil tentang koefisien muatan faktor dari item. Pengujiannya dilakukan dengan melihat nilai t bagi setiap koefisien muatan faktor, seperti pada tabel 3.5 di bawah ini: Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Depresi No item. Koefisien Standar error Nilai t Signifikan 1. 0.60 0.09 7.06 V 2. 0.38 0.09 4.52 V 3. 0.50 0.09 5.68 V 4. 0.58 0.09 6.11 V 5. 0.34 0.09 3.56 V 6. 0.46 0.09 5.20 V 7. 0.65 0.08 8.19 V 8. 0.57 0.09 6.69 V 9. 0.80 0.08 10.43 V 10. 0.43 0.09 5.00 V 11. 0.60 0.09 7.06 V 12. 0.60 0.08 7.44 V 13. 0.57 0.09 6.62 V 14. 0.77 0.08 9.63 V 15. 0.50 0.09 5.65 V 16. 0.57 0.08 6.97 V 17. 0.47 0.09 5.33 V 18. 0.44 0.09 5.12 V 19. 0.58 0.08 6.83 V 20. 0.45 0.09 5.05 V 21. 0.26 0.09 2.97 V Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
Pada tabel di atas dapat terlihat bahwa seluruh item signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif. Dengan demikian
81
tidak ada item yang didrop. Pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran item yang saling berkorelasi. Artinya dapat disimpulkan bahwa item item tersebut bersifat multidimensional atau tidak hanya mengukur satu faktor saja. Dalam model pengukuran ini terdapat beberapa kesalahan pengukuran yang saling berkorelasi satu sama lain, namun hanya tiga item yang memiliki lebih dari tiga kesalahan pengukuran yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item lainnya, yaitu item 4, 5 dan 20. Dengan demikian item 4, 5 dan 20 didrop dan tidak digunakan dalam analisa. Langkah terakhir yaitu menghitung faktor skor dari item - item depresi yang tidak didrop. Faktor skor lebih tepat digunakan karena secara teoritis tidak mengandung kesalahan pengukuran (true score). Jadi penghitungan faktor skor ini tidak menjumlahkan item–item variabel pada umumnya, tetapi justru dihitung true score pada tiap item. Setelah didapatkan faktor skor, peneliti mentransformasikan faktor skor menjadi T skor.T skor memiliki dua fungsi, yaitu pertama untuk menyamakan skala pengukuran yang berbeda-beda. Hal ini hampir sama ketika menghitung Z skor, perbedaannya pada Z skor memiliki rentangan mean = 0 dan standar deviasi = 1, sedangkan T skor memiliki rentangan mean = 50 dan standar deviasi = 10. Kemudian yang kedua, untuk menghindari nilai minus pada faktor skor agar pembaca mudah memahami interpretasi hasil penelitian.
82
3.5.2 Uji Validitas Konstruk Skala Tipe kepribadian Skala ini memiliki empat dimensi, yaitu tipe kepribadian ekstrovert, neurosis, lie scale dan psikosis. Dimana masing-masing dimensi terdiri dari 12 item. 3.5.2.1 Tipe Kepribadian Ekstrovert Peneliti menguji apakah 12 item yang ada bersifat unidimensional mengukur tipe kepribadian dari dimensi tipe kepribadian ekstrovert. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi– Square=231.10, df=54, P-value=0.00000, RMSEA=0.153. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan nilai Chi–Square=52.89, df=38, P-value=0.05486, RMSEA=0.056. Sehingga dapat diartikan seluruh item mengukur satu faktor saja yaitu tipe kepribadian dalam dimensi tipe kepribadian ekstrovert. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item tipe kepribadian ekstrovert:
83
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Tipe Kepribadian dalam Dimensi Tipe Kepribadian Ekstrovert No item. Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
3
0.60
0.08
7.18
V
7
0.71
0.08
8.87
V
11
0.64
0.08
7.62
V
15
0.66
0.08
8.11
V
19
0.48
0.09
5.28
V
23
0.34
0.09
3.69
V
27
0.09
0.10
9.80
V
32
0.74
0.08
9.05
V
36
0.57
0.09
6.57
V
41
0.40
0.04
4.53
V
44
-0.15
0.09
-1.66
X
48
0.67
0.08
8.17
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.6 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t bagi item no 44 tidak signifikan. Selanjutnya melihat muatan faktor dari item apakah ada yang bermuatan negatif. Dari nilai koefisien item diperoleh item yang bermuatan faktor negatif yaitu item no 44. Dengan demikian item no 44 akan didrop. Artinya bobot nilai pada item tersebut tidak ikut dianalisis dalam penghitungan faktor skor. Sedangkan jika dilihat dari hasil pengukuran korelasi antar item. Item-item yang menunjukkan lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, yaitu item 15 dan 27. Dengan demikian item yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah 15, 27 dan 44.
84
3.5.2.2 Tipe Kepribadian Neurosis Peneliti menguji apakah 12 item mengukur tipe kepribadian dalam dimensi tipe kepribadian neurosis. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=235.01, df=54, P-value=0.00000, RMSEA=0.155. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=53.05, df=40, Pvalue=0.08111, RMSEA=0.051. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item tipe kepribadian neurosis: Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Tipe Kepribadian dalam Dimensi Tipe Kepribadian Neurosis No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
1
0.51
0.08
6.01
V
5
0.61
0.09
7.03
V
9
0.66
0.08
8.14
V
13
0.91
0.07
12.72
V
17
0.38
0.09
4.32
V
21
0.63
0.09
7.28
V
25
0.68
0.08
8.59
V
30
0.57
0.08
6.98
V
34
0.40
0.09
4.71
V
38
0.80
0.08
9.89
V
42
0.45
0.08
5.55
V
46
0.56
0.09
6.26
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
85
Berdasarkan tabel 3.7 di atas, dapat dilihat bahwa nilai t dari seluruh item yang ada signifikan (t>1,96). Selain itu juga tidak terdapat satupun koefisien yang bermuatan negatif. Namun, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran item yang saling berkorelasi. Pada hasil pengukuran korelasi kesalahan item dapat dilihat item-item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, yaitu item no 21. Dengan demikian item dari tipe keribadian neurosis yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah item 21. 3.5.2.3 Tipe Kepribadian Lie Scale Peneliti menguji apakah 12 item mengukur tipe kepribadian dalam dimensi tipe kepribadian lie scale. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=231.10, df=54, P-value=0.00000, RMSEA=0.152. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=52.89, df=38, Pvalue=0.05486, RMSEA=0.05. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item tipe kepribadian lie scale:
86
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Tipe Kepribadian dalam Dimensi Tipe Kepribadian Lie Scale No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
4
0.60
0.08
7.18
V
8
0.71
0.08
8.87
V
12
0.64
0.08
7.62
V
16
0.66
0.08
8.11
V
20
0.48
0.09
5.28
V
24
0.34
0.09
3.69
V
29
0.09
0.10
0.98
X
33
0.74
0.08
9.05
V
37
0.57
0.09
6.57
V
40
0.40
0.09
4.53
V
45
-0.15
0.09
-1.66
X
47
0.67
0.08
8.10
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.9 di atas, dapat dilihat bahwa nilai tpada item 29 dan 45 tidak signifikan (t<1,96) sementara terdapat satu item yang koefisiennya bermuatan negatif yaitu item 45. Selain itu, pada model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran item yang saling berkorelasi. Pada hasil pengukuran korelasi kesalahan item dapat dilihat item-item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, yaitu item no 29. Dengan demikian item dari tipe keribadian lie scale yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah item 29 dan 45.
87
3.6.2.4 Tipe Kepribadian Psikosis Peneliti menguji apakah 12 item mengukur tipe kepribadian dalam dimensi tipe kepribadian psikosis. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor,diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=353.70, df=54, Pvalue=0.00000, RMSEA=0.212. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=40.38, df=32, Pvalue=0.14689, RMSEA=0.046. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item tipe kepribadian psikosis: Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Tipe Kepribadian dalam Dimensi Tipe Kepribadian Psikosis No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
2
0.33
0.10
3.31
V
6
0.42
0.09
4.41
V
10
0.60
0.09
6.89
V
14
0.30
0.10
3.17
V
18
0.58
0.09
6.40
V
22
0.48
0.09
5.26
V
26
0.61
0.09
6.74
V
28
0.47
0.10
4.61
V
31
0.62
0.09
4.57
V
35
0.42
0.09
4.57
V
39
0.74
0.08
8.79
V
43
0.45
0.09
5.12
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Berdasarkan tabel 3.9 di atas, dapat dilihat bahwa tidak seluruh item signifikan (t>1,96) dan seluruh koefisien item bermuatan positif. Namun, pada
88
model pengukuran ini terdapat kesalahan pengukuran item yang saling berkorelasi. Pada hasil pengukuran korelasi kesalahan item dapat dilihat item-item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya, yaitu item no 2, 28 dan 35. Dengan demikian item dari tipe keribadian lie scale yang akan didrop dengan tidak ikut dianalisis adalah 2, 8 dan 35. 3.5.3 Uji Validitas Konstruk Skala Health Locus of Control Skala ini memiliki lima dimensi, yaitu health locus of control subjective, chance, powerful other, doctors dan god. Dimana masing-masing dimensi terdiri dari 6 item, 6 item, 3 item, 3 item dan 6 item. 3.5.3.1 Health Locus of Control Subjective Peneliti menguji apakah enam item pada dimensi HLC subjective bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi HLC. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=37.23, df=9, P-value=0.00002, RMSEA=0.160. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=6.54, df=7, P-value=0.47816 , RMSEA=0.000. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item HLC subjective:
89
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item HLC dalam Dimensi HLC Subjective No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
1
0.75
0.08
9.33
V
5
0.79
0.08
10.01
V
6
0.80
0.08
10.08
V
7
0.49
0.09
5.48
V
14
0.73
0.08
8.98
V
20
0.65
0.08
7.66
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.10 di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan tidak ada satu item yang bermuatan negatif yang berarti tidak ada item yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki lebih dari tiga kesalahan pengukuran yang berkorelasi dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan, seluruh item digunakan untuk analisa. 3.5.3.2 Health Locus of Control Chance Peneliti menguji apakah enam item pada dimensi HLC chance bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari HLC. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=38,83, df=9, P-value=0,00001, RMSEA=0,164. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=5,28, df=5, P-value=0,39232, RMSEA=0.020. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item HLC chance:
90
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item HLC dalam Dimensi HLC Chance No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
3
0.40
0.10
4.13
V
9
0.47
0.10
4.85
V
13
0.45
0.12
3.78
V
15
0.66
0.10
6.62
V
17
0.84
0.11
7.64
V
18
0.20
0.10
1.92
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.11 di atas dapat dilihat bahwa terdapat satu item yang tidak signifikan yaitu item 18 (dimana t <1,96) akan tetapi tidak ada satu item pun yang memiliki koefisien bermuatan negatif, oleh karena itu maka item 18 didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan item 18 tidak digunakan untuk analisa. 3.5.3.3 Health Locus of Control Doctors Peneliti menguji apakah tiga item pada dimensi HLC doctors bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari HLC. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh mdoel fit dengan Chi–Square=0.00, df=0, P-value=1.00000, RMSEA=0.000. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item HLC doctors:
91
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item HLC dalam Dimensi HLC Doctor No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
4
0.59
0.11
5.14
V
11
0.53
0.11
4.80
V
21
0.71
0.12
5.72
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.12 di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan tidak ada satupun item yang memiliki koefisien bermuatan negatif yang berarti tidak ada item yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan, seluruh item digunakan untuk analisa. 3.5.3.4 Health Locus of Control Powerful Other Peneliti menguji apakah tiga item pada dimensi HLC powerful other bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari HLC. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model fit dengan Chi–Square=0.00, df=0, P-value=1.00000, RMSEA=0.000. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item HLC powerful other: Tabel 3.13 Muatan Faktor Item HLC dalam Dimensi HLC Powerful Other No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
12
0.51
0.09
5.75
V
19
0.83
0.09
9.42
V
23
0.94
0.09
10.83
X
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
92
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat satu item yang tidak signifikan (t<1,96) yaitu item 23, namun tidak ada satupun item yang memiliki koefisien yang bermuatan negatif, artinya hanya item 23 yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan item yang tidak digunakan untuk analisa adalah item 23. 3.5.3.5 Health Locus of Control God Peneliti menguji apakah enam item pada dimensi HLC God bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari HLC. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model tidak fit dengan Chi–Square=19.02, df=9, P-value=0.02501, RMSEA=0.095. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square=13.11, df=8, P-value=0.10825, RMSEA=0.072. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item HLC god: Tabel 3.14 Muatan Faktor Item HLC dalam Dimensi HLC God No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
2 0.48 0.09 5.39 8 0.61 0.09 7.12 10 0.59 0.09 6.70 16 0.73 0.08 8.90 22 0.84 0.08 11.06 24 0.84 0.08 11.09 Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan
V V V V V V
93
Dari tabel 3.14 di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan tidak ada satupun item yang memiliki koefisien bermuatan negatif, artinya tidak ada item yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan seluruh item digunakan untuk analisa. 3.5.4 Uji Validitas Konstruk Skala Religious Coping Skala ini memiliki dua dimensi, yaitu religious coping positif dan negatif. Dimana masing-masing dimensi terdiri dari 7 item dan 5 item. 3.5.4.1 Religious Coping Positif Peneliti menguji apakah tujuh item pada dimensi religious coping positif bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari religious coping. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model
tidak
fit
dengan
Chi–Square=278.34,
df=14,
P-value=0.00000,
RMSEA=0.392. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi–Square =5.62, df=8, Pvalue=0.58945, RMSEA=0.000. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item religious coping positif:
94
Tabel 3.15 Muatan Faktor Item Religious Coping dalam Dimensi Religious Coping Positif No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
1
0.65
0.08
8.00
V
2
0.76
0.08
9.92
V
3
0.71
0.08
8.95
V
4
0.82
0.07
11.04
V
5
0.91
0.07
13.14
V
6
0.95
0.07
14.23
V
7
0.93
0.07
13.69
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.15 di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan tidak ada satupun item yang memiliki koefisien bermuatan negatif, artinya tidak ada item yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan seluruh item digunakan untuk analisa. 3.5.4.2 Religious Coping Negatif Peneliti menguji apakah lima item pada dimensi religious coping negatif bersifat unidimensional mengukur satu faktor yaitu dimensi dari religious coping. Dari hasil awal analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, diperoleh model
tidak
fit
dengan
Chi–Square=39.43,
df=5,
P-value=0.00000,
RMSEA=0.237. Namun, setelah dilakukan modifikasi terhadap model dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu
95
samalainnya, maka diperoleh model dengan fitChi–Square=3.89, df=4, Pvalue=0.42156, RMSEA=0.000. Berikut ini adalah tabel muatan faktor item religious coping negatif: Tabel 3.16 Muatan Faktor Item Religious Coping dalam Dimensi Religious Coping Negatif No item.
Koefisien
Standar error
Nilai t
Signifikan
8
0.95
0.07
13.20
V
9
0.40
0.09
4.50
V
10
0.91
0.07
12.36
V
11
0.36
0.09
4.00
V
12
0.63
0.08
7.64
V
Keterangan : tanda V = signifikan (t > 1,96) ; X = tidak signifikan Dari tabel 3.16 di atas dapat dilihat bahwa seluruh item signifikan (t >1,96) dan tidak ada satupun item yang memiliki koefisien bermuatan negatif, artinya tidak ada item yang didrop. Kemudian pada model pengukuran korelasi kesalahan pengukuran tidak terdapat item yang memiliki lebih dari tiga korelasi kesalahan pengukuran dengan kesalahan pengukuran item lainnya. Dengan demikian secara keseluruhan seluruh item digunakan untuk analisa.
3.6 Prosedur Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:
96
1. Persiapan Sebelum turun ke lapangan, peneliti merumuskan masalah yang akan diteliti kemudian mengadakan studi pustaka untuk melihat masalah tersebut dari sudut pandang teoritis. Setelah mendapatkan teori-teori secara lengkap kemudian menyiapkan, membuat dan menyusun alat ukur yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan menggunakan skala baku berupa BDI-II, EPQR-S, MHLC dan PMIR. Kemudian peneliti menentukan sampel penelitian yaitu pasien kanker Rumah Sakit Kanker Dharmais yang diambil melalui teknik non probability sampling dan melakukan proses permintaan izin penelitian kepada pihak Rumah Sakit. Perizinan dimulai dari perizinan kepada direktur Sumber Daya Manusia (SDM), setelah itu diteruskan kepada Diklat dan didiskusikan secara internal, baru kemudian memperoleh izin dan mengurus administrasi lalu presentasi singkat mengenai maksud dan tujuan penelitian kepada narasumber (pembimbing). Selanjutnya peneliti mengurus perizinan ke masing-masing kepala ruang instalasi (rawat jalan dan rawat inap), setelah itu kepada kepala ruang rawat inap dari masing-masing kelas. 2. Pelaksanaan Melakukan pendekatan kepada responden untuk bersedia menjadi partisipan, dengan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian lalu menanyakan kesediaan responden untuk ikut dalam penelitian kemudian memberikan alat ukur yang telah disediakan kepada responden yang dilakukan di Rumah Sakit Kanker
97
Dharmais. Berawal selama satu minggu di rawat inap, kemudian satu minggu selanjutnya di rawat jalan. Selanjutnya melakukan pengolahan data. 3.7 Metode Analisis Data Berikut adalah skema hipotesis dalam penelitian ini: TIPE KEPRIBADIAN Ekstrovert Neurosis Psikosis
HEALTH LOCUS OF CONTROL
e
Subjective Chance Powerful Other Doctor God
RELIGIOUS COPING Positif Negatif
Gambar 3.2 Skema Hipotesis Penelitian
DEPRESI
98
Dalam rangka menguji hipotesis penelitian, peneliti menggunakan metode analisis regresi berganda (multiple regression analysis) yaitu suatu metode untuk menguji signifikan tidaknya pengaruh dari sekumpulan variabe bebas (IV) terhadap satu variabel terikat (DV). Berikut ini persamaan regresi yang digunakan dalam penelitian ini: Y= a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+b6X6+b7X7+b8X8+b9X9+b10X10+ e Dengan keterangan: Y
= depresi
a
= intercept
b
= koefisien regresi
X1
= tipe
X2
= tipe kepribadian-neurosis
X3
= tipe kepribadian-psikosis
X4
= health locus of control- subjective
X5
= health locus of control- chance
X6
= health locus of control- powerful other
X7
= health locus of control- doctor
X8
= health locus of control- god
X9
= religious coping- positif
X10
= religious coping- negatif
e
= residu, yang dalam hal ini adalah seluruh IV selain 10 IV dalam penelitian ini yang mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak diteliti.
kepribadian-ekstrovert
Adapun data yang analisis dengan persamaan di atas adalah hasil pengukuran yang sudah ditransformasi ke dalam true score. Dalam hal ini, true score adalah skor faktor yang diukur dengan menggunakan software SPSS 17.0
99
dengan menggunakan item-item yang valid. Dengan demikian maka tidak perlu lagi dilaporkan reliabilitasnya. Tujuan true score adalah agar koefisien regresi tidak mengalami attenuasi atau under estimated (yaitu koefisien regresi yang terhitung lebih rendah dari yang seharusnya sehingga tidak signifikan). True score inilah yang kemudian akan diteliti dengan analisis regresi berganda untuk menguji hipotesis penelitian yang dibahas pada BAB 2. Dalam analisis regresi berganda, besarnya presentase/proporsi varians depresi yang dipengaruhi oleh bervariasinya seluruh IV yang diteliti bisa diukur dengan menggunakan R2, dimana:
Adapun jumlah kuadrat regresi bisa diperoleh jika semua koefisien regresi telah dihitung. Rumus untuk mengitung jumlah kuadrat regresi adalah: SSreg=
=
, dimana:
= Dan rumus untuk menghitung jumlah kuadrat y total adalah: SSy = diuji signifikan atau tidaknya dengan F tes. Rumus F tes adalah: , dimana: SSres= n= banyaknya sampel k= banyaknya IV dengan df = k dan n-k-1
100
Jika
signifikan (P<0.05) berarti besarnya proporsi varians Y yang
dipengaruhi oleh oleh ketiga faktor psikologis (tipe kepribadian, health locus of control dan religious coping) secara keseluruhan adalah signifikan. Jika telah terbukti
signifikan maka peneliti akan menguji variabel mana
dari 10 IV yang signifikan. Dalam hal ini peneliti menguji signifikan atau tidaknya koefisien regresi (b) dengan t-test. Dimana rumusnya:
= koefisien regresi variabel yang ke
Jika
memiliki skor t>|1.96| maka koefisen regresi variabel tersebut
dinyatakan signifikan, sebaliknya jika t< 1.96 maka variabel tersebut dinyatakan tidak signifikan (dalam taraf signifikansi 0,05 atau 5%). Selain itu sebagai tambahan peneliti juga akan menghitung dan menguji proporsi/presentase varians yang merupakan sumbangan/pengaruh dari masingmasing IV. Untuk itu penulis melakukan analisis terhadap perubahan
mulai
dari satu IV, kemudian dua IV dan seterusnya hingga 10 IV. Semua penghitungan ini dilakukan dengan software SPSS 17.0. Kemudian khusus untuk hipotesis no 2, 3 dan 4 penulis menguji dengan bertambahnya R2change berdasarkan himpunan IV, yang dalam hal ini adalah:
101
1. Pengaruh tipe kepribadian dengan menguji R2 123, dimana x1, x2 danx3 adalah variabel tipe kepribadian. Uji signifikan untuk himpunan tipe kepribadian dengan F test, yaitu: F=
2. Menguji pengaruh health locus of control dengan menguji R2 change yaitu dengan menghitung R212345678 terlebih dahulu, dimana R245678 adalah variabel HLC dan R2123 adalah variabel tipe kepribadian seperti di atas. Kemudian peneliti mengurangi R212345678-R2123 dengan df 5 dan n-5-1, dimana angka 5 adalah selisih dari jumlah IV kedua R2 tersebut. Uji signifikan untuk himpunan HLC dengan F test, yaitu:
F= 3. Menguji pengaruh religious coping dengan menguji R2 change yaitu dengan menghitung R212345678910 terlebih dahulu, dimana R2910 adalah variabel religious coping, R245678 adalah variabel HLC dan R2123 adalah variabel tipe kepribadian seperti di atas. Kemudian peneliti mengurangi R2 12345678910-R212345678 dengan df 2 dan n-10-1, dimana angka 2 adalah selisih dari jumlah IV kedua R2 tersebut. Uji signifikan untuk himpunan religious coping dengan F test, yaitu:
F=
102
BAB 4 HASIL PENELITIAN Pada bab ini peneliti akan membahas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan. Pembahasan tersebut meliputi dua bagian yaitu karakteristik sampel serta uji hipotesis penelitian.
4.1 Karakteristik Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah 124 pasien kanker di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat, baik yang di rawat inap maupun rawat jalan. Selanjutnya akan dijelaskan gambaran sampel berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, stadium klinis kanker, lama sakit dan pekerjaan pada tabel di bawah ini:
103
Tabel 4.1 Karakteristik Sampel Penelitian Karakteristik Sampel Penelitian Usia Pasien* Dewasa awal Dewasa madya Dewasa akhir Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah SD SMP SMA ≥ Diploma Lama didiagnosis sakit ≤ 6 bulan 7-12 bulan ≥ 13 bulan Stadium Kanker** 1 2 3 4 Status Pekerjaan Bekerja Tidak Bekerja Katagori Depresi*** Minimal Ringan Sedang Berat
Sampel N=124 n (%) 21 (16,9) 48 (38,7) 55 (44,4) 40 (32,3) 84 (67,7) 4 (3,2) 18 (14,5) 12 (9,7) 53 (42,7) 37 (29,8) 46 (37,1) 43 (34,7) 35 (28,2) 4 (3,2) 18 (14,5) 12 (9,7) 53 (42,7) 70 (56,5) 54 (43,5) 23 (18,6) 47 (37,9) 43 (34,7) 11 (8,8)
*usia dewasa: awal 19-30 tahun, madya: 31-45 tahun, akhir: 46-60 tahun **berdasarkan diagnosis dokter ***skor depresi: 0-9 minimal;10-16 ringan; 17-29 sedang; 30-63 berat.
104
Dari tabel 4.1 di atas peneliti dapat menyampaikan beberapa hal: 1. Usia sampel dibagi berdasarkan tahapan perkembangan manusia dimana usia dewasa terpecah menjadi tiga tahapan yaitu dewasa awal, dewasa madya dan dewasa akhir. Sampel yang mendominasi dalam penelitian ini adalah sampel dengan usia dewasa akhir sebanyak 44,4% dan dewasa madya sebanyak 38,7 % dari 124 sampel. 2. Berdasarkan jenis kelamin, sampel yang terbanyak adalah penderita kanker dengan jenis kelamin perempuan dibandingkan jenis kelamin laki-laki dengan presentase jenis kelamin perempuan sebesar 67,7% dari 124 sampel. 3. Berdasarkan latar belakang pendidikan, peneliti membagi sampel menjadi 5 kategori yaitu sampel dengan latar belakang tidak menempuh pendidikan formal (tidak sekolah), pendidikan terakhir SD, pendidikan terakhir SMP, pendidikan terakhir SMA serta yang terakhir sampel yang berlatar belakang pendidikan diploma atau lebih tinggi. Sampel terbanyak dalam penelitian ini adalah penderita kanker yang berlatar belakang pendidikan terakhir SMA dengan presentase 42,7% dari 124 sampel. 4. Berdasarkan lama didiagnosis menderita penyakit kanker, peneliti membagi sampel menjadi tiga kategori yaitu 0-6 bulan, 7-12 bulan serta lebih dari 1 tahun. Sampel terbanyak dalam penelitian ini adalah penderita kanker yang telah didiagnosis menderita penyakit kanker oleh dokter selama kurang dari atau sama dengan 6 bulan dengan presentase 37,1% dari 124 sampel.
105
5. Berdasarkan stadium klinis kanker, sampel dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4, yaitu stadium 1,2,3 dan 4. Dalam penelitian ini sampel terbanyak adalah penderita kanker yang didiagnosis mengalami stadium klinis kanker lanjut yaitu stadium 4 dengan presentase 42,7% dari 124 sampel. 6. Berdasarakan status ekonomi, peneliti membagi sampel menjadi dua kategori, yaitu yang bekerja dan yang tidak bekerja. Dalam penelitian ini sampel terbanyak adalah penderita kanker yang bekerja dengan presentase 56,5% dari 124 sampel. 7. Berdasarkan kategori depresi penderita kanker dikategorikan menjadi empat, yaitu depresi minimal, ringan, sedang sampai depresi berat. Dalam penelitian ini sampel terbanyak adalah penderita kanker yang mengalami depresi ringan dan sedang dengan presentase 37,9% dan 34,7% dari 124 sampel.
4.2 Uji Hipotesis Penelitian Pada tahapan ini peneliti menguji hipotesis dengan teknik analisis regresi berganda dengan bantuan software SPSS 17.0. 4.2.1 Analisis Regresi Berganda Seperti yang sudah disebutkan pada BAB 3, dalam regresi terdapat hal yang dilihat yaitu melihat apakah IV berpengaruh signifikan terhadap DV, kedua melihat besaran R square untuk mengetahui berapa persen (%) varians DV yang dijelaskan oleh IV, kemudian terakhir melihat signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing – masing IV.
106
Dari hasil analisis regresi berganda yang dilakukan dengan bantuan software SPPS 17.0 diperoleh R squaredengan nilai df1=11 dan 112 dan F=7.069 (pada taraf signifikansi 5%) seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.2 di bawah ini: Tabel 4.2 R Square
Model Summary Change Statistics Sig. F Model 1
R
R Square a
.640
.410
Adjusted R Square .352
Std. Error of the Estimate 7.39431
R Square Change .410
F Change 7.069
df1
df2
Change
11 112
a. Predictors: (Constant), RCNEGATIF, HLCPOWERFULOTHER, RCPOSITIF, TKEPSIKOSIS, HLCDOCTOR, HLCGOD, HLCCHANCE, TKENEUROSIS, HLCINTERNAL, TKELIESCALE, TKEEKSTROVERT
Dari tabel di 4.2 di atas, dapat dilihat bahwa perolehan Rsquare sebesar 0.410 atau sebesar 41%. Artinya, sebesar 41% bervariasinya depresi pada penderita kanker dipengaruhi oleh semua IV dalam penelitian ini, sedangkan 69% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.Kemudian peneliti melakukan uji F untuk menganalisis pengaruh dari keseluruhan IV terhadap depresi pada penderita kanker. Adapun hasil uji F dapat dilihat pada tabel 4.3 berikut ini:
.000
107
Tabel 4.3 ANOVA Pengaruh Keseluruhan IV Terhadap DV ANOVAb Model 1
Sum of Squares
Df
Mean Square
Regression
4251.672
11
386.516
Residual
6123.693
112
54.676
10375.365
123
Total
F
Sig.
7.069
.000a
a. Predictors: (Constant), RCNEGATIF, HLCPOWERFULOTHER, RCPOSITIF, TKEPSIKOSIS, HLCDOCTOR, HLCGOD, HLCCHANCE, TKENEUROSIS, HLCINTERNAL, TKELIESCALE, TKEEKSTROVERT b. Dependent Variable: depresi
Dari tabel 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa nilai p (Sig.) pada kolom paling kanan adalah 0.000 atau p=0.000 dengan nilai p<0.05 maka hipotesis nihil yang menyatakan tidak ada pengaruh yang signifikan dari keseluruhan IV terhadap depresi pada penderita kanker ditolak. Artinya, bahwa ada pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian-ekstrovert, neurosis dan psikosis, health locus of control-subjective, chance, powerfull other, doctors dan god serta religious coping positif dan negatif terhadap depresi pada penderita kanker. Kemudian peneliti melihat koefisien regresi dari masing-masing IV. Dengan ketentuan jika t>1.96 maka koefisien regresi tersebut signifikan yang berarti IV tersebut memiliki pengaruh yang signifikan terhadap depresi pada penderita kanker. Adapun besarnya koefisien regresi dari masing-masing IV terhadap depresi pada penderita kanker dapat dilihat pada tabel 4.4 berikut ini:
108
Tabel 4.4 Koefisien Regresi a
Coefficients
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error
31.217
13.659
-.269
.097
TKENEUROSIS
.533
TKELIESCALE TKEPSIKOSIS
Coefficients Beta
t
Sig.
2.285
.024
-.243
-2.772
.007
.088
.514
6.032
.000
.014
.081
.014
.174
.862
-.045
.097
-.041
-.463
.644
.037
.083
.037
.451
.653
HLCCHANCE
-.068
.092
-.060
-.744
.458
HLCDOCTOR
-.005
.094
-.004
-.050
.960
HLCPOWERFULOTHER
-.008
.078
-.008
-.102
.919
.150
.079
.148
1.897
.060
RCPOSITIF
-.025
.078
-.025
-.316
.752
RCNEGATIF
.060
.076
.061
.790
.431
TKEEKSTROVERT
HLCSUBJECTIVE
HLCGOD
a. Dependent Variable: depresi
Berdasarkan tabel 4.4 di atas dapat diketahui persamaan regresi sebagai berikut: y’ = 31.217 - 0.269 x1 tipe kepribadian ekstrovert + 0.533 x2 tipe kepribadian neurosis + 0.14 x3 tipe kepribadian lie scale - 0.045 x4 tipe kepribadian psikosis + 0.037 x5 HLC subjective - 0.068 x6HLC chance – 0.005 x7 HLC doctor – 0.008 x8HLC powerful other + 0.150 x9 HLC god – 0.025 x10religious coping positif+ 0.060 x11religious coping negatif. Dengan keterangan: y‘ adalah nilai prediksi untuk regresi jika semua IV diketahui nilainya.
109
Pada tabel tersebut dapat dilihat bahwa: 1. IV yang signifikan adalah tipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian neurosis, sedangkan IV lainnya tidak signifikan. 2. IV yang memiliki arah pengaruh positif terhadap depresi pada penderita kanker adalah: tipe kepribadian neurosis, health locus of control subjective, health locus of control god dan religious coping negatif. Sementara IV yang memiliki arah pengaruh negatif terhadap depresi pada penderita kanker adalah: tipe kepribadian ekstrovert, tipe kepribadian psikosis, health locus of control chance, health locus of control doctor, health locus of control powerful other dan religious coping positif. Koefisien regresi B merupakan koefisien regresi yang tidak terstandar (unstandardized) dalam penggunaan skala yang berbeda-beda. Oleh karena itu koefisien regresi B tidak dapat melihat koefisien regresi mana yang lebih tinggi. Untuk dapat membandingkan koefisien regresi maka harus dilihat koefisien terstandar (standardized coefficient) beta. Dari koefisien beta ini, dapat dilihat bahwa angka koefisien regresi yang lebih besar menunjukkan pengaruh yang lebih kuat. Berikut ini adalah urutan IV yang memiliki pengaruh dari yang terkuat hingga terlemah (berdasarkan nilai beta):
110
Tabel 4.5 Ranking Beta No
Independent Variabel
Koefisien beta
1
Tipe kepribadian neurosis
.514
2
Tipe keribadian ekstrovert
-.243
3
Health locus of control god
.148
4
Religious copingnegative
.061
5
Health locus of control chance
-.060
6
Tipe kepribadian psikosis
-.041
7
Health locus of control subjective
8
Religious coping positif
-.025
9
Health locus of control powerful other
-.008
10
Health locus of control doctor
-.004
.037
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dalam penelitian ini tipe kepribadian neurosis merupakan IV yang memiliki pengaruh paling kuat terhadap depresi pada penderita kanker, diikuti dengan tipe kepribadian ekstrovert dan seterusnya hingga health locus of control doctor sebagai IV yang memiliki pengaruh paling lemah terhadap depresi pada penderita kanker. Adapun, penjelasan dari masing-masing IV adalah sebagai berikut: 1. Pada variabel tipe kepribadian, HLC dan religious coping peneliti menganalisis dampak dari seluruh IV terhadap depresi. Berdasarkan hasil uji F didapat nilai F adalah 7.069 (sig < 0.05), maka hipotesis 1 yang menyatakan ada pengaruh yang signifikan seluruh IV terhadap depresipada penderita kanker
111
diterima.Artinya ada pengaruh yang signifikan dari tipe kepribadian, HLC dan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. Kemudian, langkah selanjutnya melihat hasil pengukuran R square, hasil pengkuruan dapat dilihat pada lampiran. Berdasarkan perolehan R square sebesar 0.410 atau 41,0%. Artinya proporsi varians dari depresi yang dijelaskan oleh semua IV adalah sebesar 41%, sedangkan 69% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini. 2. Pada variabel tipe kepribadian berdasarkan R2 dari masing-masing IV (lihat tabel 4.6) diperoleh R21sebesar 0,189, R22 sebesar 0,195 dan R23 sebesar 0,001 sehingga R2123sebesar 0,385 (R21+R22+R23). Sementara 1-R2123= 1-0,385= 0,615. Artinya variabel-variabel tipe kepribadian memberikan sumbangan sebesar 38,5% dalam bervariasinya depresi pada penderita kanker dengan keadaan pengaruh health locus of control dan religious coping dikonstankan (tidak ada variasi). Kemudian untuk mengukur signifikansinya, peneliti membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf signifikansi 5%, jika Fhitung>Ftabel maka pengaruh IV terhadap DV dinyatakan signifikan. Adapun df=k dan n-k-1 maka dalam variabel ini diperoleh df=3 dan 120. Maka:
F=
Dengan Ftabel= 2,68
= 25,6
112
Fhitung>Ftabel maka dapat dinyatakan bahwa pengaruh tipe kepribadian terhadap depresi signifikan.Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 2 diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian terhadap depresi pada penderita kanker. a. Pada variabel tipe kepribadian ekstrovert memiliki nilai koefisien regresi sebesar -0.269 dan signifikansi sebesar 0.007 dengan R2 sebesar 0,189 yang berarti bahwa variabel tipe kepribadian ekstrovert secara negatif mempengaruhi depresi pada penderita kanker dan secara signifikan dengan sumbangan sebesar 18,9%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 2a diterima, yang artinya semakin tinggi tipe kepribadian ekstrovert maka semakin rendah depresi pada penderita kanker. b. Pada variabel tipe kepribadian neurosis diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,533 dan signifikansi sebesar 0.000 dengan R2 sebesar 0,195 yang berarti bahwa variabel tipe kepribadian neurosis secara positif mempengaruhi depresi pada penderita kanker dan secara signifikan dengan sumbangan sebesar 19,5%. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 2b diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan antara tipe kepribadian neurosis terhadap depresi pada penderita kanker. c. Pada variabel tipe kepribadian psikosis diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.045 dan signifikansi sebesar 0.644, yang berarti bahwa variabel tipe kepribadian psikosissecara positif mempengaruhi depresi pada penderita kanker tetapi tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 2c
113
ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan tipe kepribadian psikosis terhadap depresi pada penderita kanker. 3.Pada variabel health locus of control berdasarkan R2 dari masing-masing IV (lihat tabel 4.6) diperoleh R24 sebesar 0,001, R25 sebesar 0,001, R26 sebesar 0,000, R27 sebesar 0,000 dan R28 sebesar 0,020. Nilai R245678 adalah R212345678-R2123yaitu: 0,407-0,385=0,022. Artinya variabel-variabel health locus of control memberikan sumbangan sebesar 2,2% dalam bervariasinya depresi pada penderita kanker dengan keadaan pengaruh tipe kepribadiandan religious coping dikonstankan (tidak ada variasi). Sementara 1-R212345678= 1-0,022= 0,978. Kemudian untuk mengukur signifikansinya, peneliti membandingkan F hitung dengan Ftabel dengan taraf signifikansi 5%, jika F hitung>Ftabel maka pengaruh IV terhadap DV dinyatakan signifikan. Adapun df=k dan n-k-1 maka dalam variabel ini diperoleh df=5 dan 115.
Maka : F=
= 0,5
Dengan Ftabel=2,29 Fhitung
114
a. Pada variabel HLC subjective diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.037 dan signifikansi sebesar 0.653, yang berarti bahwa variabel HLC subjective secara positif mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 3a ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan HLC subjective terhadap depresi pada penderita kanker. b. Pada variabel HLC chance diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.068 dan signifikansi sebesar 0.458, yang berarti bahwa variabel HLC chance secara negatif mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 3b ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan HLC chance terhadap depresi pada penderita kanker. c. Pada variabel HLC doctor diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.005 dan signifikansi sebesar 0.960, yang berarti bahwa variabel HLC doctor secara negatif mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 3c ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan HLC doctor terhadap depresi pada penderita kanker. d. Pada variabel HLC powerful other diperoleh nilai koefisien regresi sebesar -0.008 dan signifikansi sebesar 0.919, yang berarti bahwa variabel HLC powerful other secara negatif mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 3d ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan HLC powerful other terhadap depresi pada penderita kanker.
115
e. Pada variabel HLC God diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0.150 dan signifikansi sebesar 0.060, yang berarti bahwa variabel HLC God secara positif mempengaruhi depresi pada penderita kanker namun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 3e ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan HLC God terhadap depresi pada penderita kanker. 4.Pada variabel religious coping berdasarkan R2 dari masing-masing IV (lihat tabel 4.6) diperoleh R29sebesar 0,000 dan R210sebesar 0,003. Nilai R2910 R212345678910
-
adalah
R212345678 yaitu: 0,410-0,407= 0,003. Artinya variabel-variabel
religious coping memberikan sumbangan sebesar 0,3% dalam bervariasinya depresi pada penderita kanker dengan keadaan pengaruh tipe kepribadian dan religious coping dikonstankan (tidak ada variasi). Sementara 1-R212345678910= 10,003=
0,997.
Kemudian
untuk
mengukur
signifikansinya,
peneliti
membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan taraf signifikansi 5%, jika Fhitung>Ftabel maka pengaruh IV terhadap DV dinyatakan signifikan. Adapun df=k dan N-k-1 maka dalam variabel ini diperoleh df=2 dan 113.
Maka : F =
= 0,17
Dengan Ftabel= 3,08 Fhitung
116
ditolak yaitu tidak ada pengaruh yang signifikan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. a. Pada variabel religious coping positif memiliki nilai koefisien regresi sebesar 0.025 dan signifikansi sebesar 0.752, yang berarti bahwa variabel religious coping positif secara negatif mempengaruhi depresi pada penderita kanker dan secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis 4a ditolak yang artinya tidak ada pengaruh yang signifikan religious coping positif terhadap depresi pada penderita kanker. b. Pada variabel religious coping negatif diperoleh nilai koefisien regresi sebesar 0,060 dan signifikansi sebesar 0.431, yang berarti bahwa variabel religious coping negatif secara positif mempengaruhi depresi pada penderita kanker dan secara signifikan. Sehingga dapat disimpulkan pada variabel ini, hipotesis 4b ditolak yang artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara religious coping negatif terhadap depresi pada penderita kanker. 4.2.2 Pengujian Proporsi Varians Independent Variabel Sebagai tambahan penulis memuat informasi mengenai proporsi varians. Pengujian pada tahapan ini bertujuan untuk melihat apakah signifikan tidaknya penambahan (incremented) proporsi varians dari tiap IV, yang mana IV tersebut dianalisis secara satu per satu. Pada tabel 4.6 di bawah ini, kolom pertama adalah IV yang dianalisis secara satu per satu, kolom ke-dua merupakan penambahan varians DV dari tiap IV yang dianalisis satu per satu tersebut, kolom ke-tiga merupakan nilai murni varians DV dari tiap IV yang dimasukkan secara satu per
117
satu, kolom ke-empat adalah nilai F hitung bagi IV yang bersangkutan, kolom DF adalah derajat bebas bagi IV yang bersangkutan pula, yang terdiri dari numerator dan denumerator, kolom F tabel adalah kolom mengenai nilai IV pada tabel F dengan DF yang telah ditentukan sebelumnya, nilai kolom inilah yang akan dibandingkan dengan kolom nilai F hitung. Apabila nilai F hitung lebih besar daripada F tabel, maka kolom selanjutnya, yaitu kolom signifikan akan dituliskan signifikan dan sebaliknya. Besarnya proporsi varians pada depresi dapat dilihat pada tabel 4.6 berikut: Tabel 4.6 Kontribusi Varians IV Terhadap DV No.
Variabel
R R square Square change .189 .189
1
Tipe kepribadian ekstrovert
2
Tipe kepribadian neurosis
.383
3
Tipe kepribadian psikosis
4
F (df1, df2)
Signifikan
8.341 (1, 122)
.000*
.195
38.207 (1, 121)
.000*
.384
.001
.129 (1, 119)
.720
Hlc subjective
.385
.001
.264 (1, 118)
.608
5
Hlcchance
.387
.001
.210 (1, 117)
.647
6
Hlcpowerful other
.387
.000
.012 (1, 116)
.911
7
Hlcdoctor
.387
.000
.001 (1, 115)
.978
8
Hlcgod
.406
.020
3.761 (1, 114)
.055
9
Religious coping positif
.406
.000
.055 (1, 113)
.815
10
Religious coping negatif .410
.003
.625 (1, 112)
.431
Keterangan : R Square Change =proporsi varian, sig*< 0.05
Dari tabel 4.6 di atas, dapat disampaikan informasi sebagai berikut: 1. Variabel aspek tipe kepribadian ekstrovert memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 18.9 % bagi bervariasinya depresi, sumbangan ini
118
signifikan dengan nilai F dari R square change=28.341, p<0.05 dan df1=1, df2=122. 2. Variabel aspek tipe kepribadian neurosis memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 19.5% bagi bervariasinya depresi, sumbangan ini signifikan dengan nilai F dari R square change=38.207, p<0.05 dan df1=1, df2=121. 3. Variabel aspek tipe kepribadian psikosis memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 0.1% bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.129, p>0.05 dan df1=1, df2=119 sehingga tidak signifikan. 4. Variabel aspek HLC subjective memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 0.1% bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.264, p>0.05 dan df1=1, df2=118 sehingga tidak signifikan. 5. Variabel aspek HLC chance memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 0.1% bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.210, p>0.05 dan df1=1, df2=117 sehingga tidak signifikan. 6. Variabel aspek HLCdoctor tidak memberi sumbangan atau pengaruh (0%) bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.012, p>0.05 dan df1=1, df2=116 sehingga tidak signifikan.
119
7. Variabel aspek HLC powerful other tidak memberi sumbangan atau pengaruh (0%) bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change= 0.001, p>0.05 dan df1=1, df2=115 sehingga tidak signifikan. 8. Variabel aspek HLC god memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 2% bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change= 3.761, p>0.05 dan df1=1, df2=114 sehingga tidak signifikan. 9. Variabel religious coping positif tidak memberi sumbangan atau pengaruh (0%) bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.055, p>0.05 dan df1=1, df2=113 sehingga tidak signifikan. 10. Variabel religious coping negatif memberi sumbangan atau pengaruh sebesar 0.3% bagi bervariasinya depresi, dengan nilai F dari R square change=0.625, p>0.05 dan df1=1, df2=112 sehingga tidak signifikan. Sebagai kesimpulan dari bagian ini adalah bahwa hanya ada dua IV dari sepuluh IV, yaitu tipe kepribadian ekstrovert dan tipe kepribadian neurosis yang mempengaruhi depresi secara signifikan, jika dilihat dari besarnya pertambahan R2 yang dihasilkan setiap kali dilakukan penambahan IV (sumbangan proporsi varian yang diberikan).
120
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Pada bab ini, peneliti akan memuat kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian ini.
5.1 Kesimpulan Dari penelitian ini peneliti menyimpulkan bahwa: 1. Ada pengaruh bersama yang signifikan dari tipe kepribadian, HLC dan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker. 2. Ada pengaruh signifikan tipe kepribadian terhadap depresi pada penderita kanker dengan arah pengaruh sebagai berikut: Tipe kepribadian ekstrovert berpengaruh negatif secara signifikan. Tipe kepribadian neurosis berpengaruh positif secara signifikan. Tipe kepribadian psikosis berpengaruh negatif, namun tidak secara signifikan. 3. Tidak ada pengaruh yang signifikan health locus of control (HLC) terhadap depresi pada penderita kanker, namun ada kecenderungan yang menunjukkan arah pengaruh sebagai berikut:
121
HLC subjective dan HLC god berpengaruh positif, namun tidak secara signifikan. HLC chance, HLC doctor dan HLC powerful other berpengaruh negatif, namun tidak secara signifikan. 4. Tidak ada pengaruh yang signifikan religious coping terhadap depresi pada penderita kanker, namun ada kecenderungan yang menunjukkan arah pengaruh sebagai berikut: religious coping positif berpengaruh negatif, namun tidak secara signifikan. religious coping negatif berpengaruh positif, namun tidak secara signifikan.
5.2 Diskusi Dari hasil penelitian ini, ditemukan bahwa terdapat beberapa faktor psikologis yang dinilai berpengaruh terhadap munculnya depresi pada penderita kanker: 1. Tipe kepribadian, HLC dan religious coping perlu dipertimbangkan dalam menangani depresi pada penderita kanker karena peran bersama dari ketiganya yang terlihat cukup penting.
122
2. Tipe kepribadian berperan penting terhadap munculnya depresi pada penderita kanker. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa tipe kepribadian ekstrovert berpengaruh negatif secara signifikan terhadap depresi. Artinya, para penderita kanker yang bertipe kepribadian ekstrovert tidak mudah mengalami depresi. Hasil ini didukung oleh penelitian Eysenck & Kissen (1962) yang menyatakan bahwa penderita kanker dengan tipe kepribadian ekstrovert memiliki karakterisitik kepribadian yang tidak mudah panik, sering mengabaikan serta mudah melupakan hal-hal buruk yang terjadi sehingga mereka tidak rentan mengalami depresi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa tipe kepribadian neurosis berpengaruh positif secara signifikan terhadap depresi. Artinya, para penderita kanker dengan tipe kepribadian neurosis mudah mengalami depresi. Feist & Feist (2005) menyatakan bahwa penderita kanker dengan tipe kepribadian neurosis memiliki karakteristik yang mudah cemas dan sangat peka terhadap hal-hal yang menakutkan sehingga mereka rentan mengalami depresi. Hasil penelitian ini menemukan bahwa penderita kanker dengan tipe kepribadian psikosis cenderung tidak mudah mengalami depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Penelitian Pervin & John (2001) mendukung hasil penelitian ini, menemukan bahwa mereka yang berkepribadian psikosis memiliki karakteristik anti sosial dan tidak peka terhadap lingkungan sehingga tidak rentan mengalami depresi. Namun
123
demikian, penelitian Feist & Feist (2005) bertolak belakang dengan hasil penelitian ini dengan menemukan bahwa secara genetik orang dengan tipe kepribadian psikosis rentan terhadap stress. Ada berbagai perbedaan pendapat dari hasil penelitian sebelumnya mengenai tipe kepribadian psikosis dengan depresi. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut khusus tipe kepribadian psikosis mengenai kaitannya dengan depresi pada penderita kanker agar dapat memberikan gambaran pengaruh tipe kepribadian psikosis terhadap depresi. 3. Keyakinan penderita kanker mengenai faktor di dalam/di luar diri yang memengaruhi kesehatan mereka—disebut dengan health locus of control (HLC)—perlu dipertimbangkan dalam mencegah terjadinya depresi pada penderita kanker. Hasil penelitian ini menemukan bahwa HLC eksternal yang meliputi HLC chance, HLC powerful other dan HLCdoctor memiliki pengaruh negatif terhadap depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Hasil ini didukung oleh penelitian Burish dkk. (2004) yang menemukan bahwa orang dengan HLC eksternal (HLC chance, HLC powerful other dan HLC doctor) memiliki penyesuaian psikologis yang lebih baik sehingga tidak rentan mengalami depresi (dalam Kuhn, 2007). Penyesuaian psikologis yang lebih baik tersebut terjadi karena adanya keyakinan penderita kanker terhadap takdir (HLC chance), dukungan dari orang lain (HLC other) dan saran dari dokter yang dapat membantu kesembuhan mereka (HLC doctor).
124
Hasil penelitian ini menemukan bahwa HLC subjective memiliki pengaruh positif terhadap depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Hasil ini didukung oleh Naus dkk. (2007) yang menemukan bahwa HLC subjective memiliki pengaruh positif terhadap depresi karena saat penderita kanker meyakini bahwa kondisi mereka sepenuhnya merupakan tanggung jawab diri sendiri maka akan muncul banyak perasaan menyalahkan diri sehingga terjadi depresi. Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa HLC God memiliki pengaruh positif terhadap depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Krosch (2009) mendukung penelitian ini dengan menyatakan bahwa penderita kanker yang memiliki HLC God memberi tanggung jawab atas status kesehatan mereka sepenuhnya kepada Tuhan. Dengan keyakinan tersebut akan muncul pikiran-pikiran menyalahkan Tuhan yang dianggap tidak memenuhi harapan sehingga terjadi depresi pada penderita kanker. 4. Penyelesaian masalah dengan merujuk kepada Tuhan—disebut dengan religious coping—perlu dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya depresi pada penderita kanker. Hasil penelitian ini menemukan bahwa religious coping positif memiliki pengaruh negatif terhadap depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Hasil ini didukung oleh Lucero (2010) yang menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan religious coping positif
125
cenderung tidak mengalami depresi karena mereka menanggapi masalah dengan menunjukkan cinta serta meminta pertolongan dari Tuhan. Di sisi lain, hasil penelitian menemukan bahwa religious coping negatif berpengaruh positif terhadap depresi, walaupun tidak diperoleh hasil yang signifikan. Hasil ini didukung oleh Lucero (2010) dan Raiya (2008) yang menemukan bahwa orang-orang yang menggunakan religious coping negatif rentan mengalami depresi karena mereka menanggapi masalah sebagai hukuman dari Tuhan atau dengan menyalahkan Tuhan serta menjauhkan diridari Tuhan. Berbeda halnya dengan HLC God yang merupakan keyakinan atau pemikiran-pemikiran penderita kanker bahwa Tuhan yang mengendalikan kesehatannya sehingga tidak ada tindakan atau usaha yang dilakukan sebagai reaksi melainkan hanya sebuah sikap pasrah, religious coping negatif bukan hanya berupa pemikiran tetapi juga sebuah praktik atau tindakan yang muncul atas pikiran-pikiran negatif terhadap Tuhan.
5.3 Saran Untuk penelitian lebih lanjut peneliti memiliki beberapa saran: 5.3.1 Saran Teoritis 1. Peneliti menyarankan agar meneliti tipe kepribadian ekstrovert dan neurosis lebih jauh dan membatasi partisipan dengan jenis kanker yang spesifik,
126
menimbang hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya faktor kepribadian tersebut dalam memengaruhi depresi pada penderita kanker. 2. Peneliti menyarankan agar menggunakan alat ukur yang lebih sederhana dan lebih mudah untuk dikerjakan, menimbang keterbasan kondisi fisik penderita kanker dalam mengerjakan kuesioner. 5.3.2 Saran Praktis 1. Dalam memberikan penanganan pada penderita kanker: Agar lebih memerhatikan tipe kepribadian yang berbeda-beda pada penderita kanker khususnya tipe kepribadian ekstrovert dan neurosis yang memiliki pengaruh signifikan terhadap depresi. 2. Pendekatan multidisiplin yang melibatkan beberapa disiplin ilmu sebagai berikut: Psikolog/psikiater: agar meningkatkan pemberian konseling pada penderita kanker mengingat tingginya kebutuhan mereka untuk berbagi dan mengatasi kekhawatiran yang dihadapi atas kondisi kesehatan mereka dengan tipe kepribadian, cara mempersepsi keadaan dan penerimaan diri yang berbeda-beda. Dokter: agar memberikan saran-saran yang mendukung penyembuhan fisik dengan disertai oleh dukungan psikis demi terciptanya penyesuaian psikologis terhadap kesehatan yang lebih baik. Rohaniawan: agar memberi arahan kepada para penderita kanker untuk menerapkan cara penyelesaian masalah yang merujuk ke agama dengan
127
mendekatkan diri kepada Tuhan dan memberikan keyakinan bahwa kondisi menderita kanker merupakan suatu takdir karena pada saat manusia tidak mampu lagi untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, berserah kepada Tuhan merupakan cara terbaik untuk menghindari depresi. 3. Pendekatan keluarga dan lingkungan: Melibatkan peran serta anggota keluarga penderita kanker maupun lingkungan sosial pendukungnya (tetangga, teman sesama penderita, dokter, perawat, rohaniawan) agar penderita kanker merasa memiliki perhatian dan kepedulian dari orang lain dalam menjalani proses pengobatannya. Sehingga mereka memiliki semangat untuk menjalani kehidupan dan tidak mudah mengalami depresi.
128
DAFTAR PUSTAKA
Abernethy, A. D., Chang, H. T., Seidlitz, l., Evinger, J. S. & Duberstein, P. (2002). Religious coping and depression among spouses of people with lung cancer. Psychosomatic, 43, 456–463. Adiyo, R. (2010). Beberapa faktor psikologis yang mempengaruhi prestasi belajar mahasiswa di bidang statistika. (Skripsi Sarjana). Jakarta: Fakultas Psikologi UIN. Afifi, M. (2007). Health locus of control and depressive symptoms among adolescent in Alexandria, Egypt.Eastren Mediterranean Health Journal, 13, 1043-1052. American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorder (4th ed.), Text Revision: DSM-IV-TR. Washington, DC: American Psychiatric Publishing, Inc. Anastasi, A. & Urbina, S. (2007). Tes psikologi edisi ke 7 (Terjemahan). Jakarta: PT Indeks. Andini, N. S. (2009). Hubungan tipe kepribadian ekstrovert dan introvert dengan depresi pada lanjut usia di Panti Sosial Tresna Wredha Budhi Dharma Yogyakarta 2008. (Skripsi Sarjana). Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Barlow, D. H. & Durand, V. M. (2001). Abnormal psychology: an interrogative approach (2nded). San Diego, CA: Wadsworth/ Thomas Learning. Bastani, F., Hashemi, S., Bastani, N. & Haghani H. (2010).Impact of preconception health education on health locus of control and selfefficacy in women. Eastern Mediteranean Health Journal (EMHJ), 16, 369-401. Beck, A. T. (1967). Depression: Clinical, Experimental and Theoritical Aspects. USA: Harper and Row Published Incorporated. Beck, A. T., Rush, A.J., Shaw, B.F.& Emery, G. (1979).Cognitive Therapy of Depression. NY: The Guilford Press. Bostwick, J.M. & Pankratz, V.S. (2000). Affective disorders and suicide risk: A reexamination. Am J Psychiatry, 157, 1925-1932.
129
Cancer Research UK. (2011). Cancer Stats, Cancer Worldwide. UK: World Health Organization (WHO). Diunduh dari http://info.cancerresearchuk.org/prod_consump/groups/cr_common/@ nre/@sta/documents/generalcontent/cr_077058.pdf Cummings, J. P., & Pargament, K. I. (2010). Medicine for the spirit: Religious coping in individuals with medical conditions. Religions, 1, 28-53. doi:10.3390/rel1010028. Davison, C. G., Neale, M. J. & Kring, A. M. (2002). Psikologi Abnormal edisi ke 9 (Terjemahan). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Emery, R. E. & Oltmanns, T. F. (2000). Essentials of abnormal psychology. New York: Prentice Hall. Feist, J. & Feist, G. J. (2002). Theories of personality (5th, international ed.). NY: Mc Graw Hill Company. Feist, J. & Feist, G. J. (2005). Theories of personality (7th, international ed.). NY: Mc Graw Hill Company. Francis, L. J., Lewis, C. A. & Ziebertz, H. G. (2006). The short-form revised Eysenck Personality Questionnaire (EPQR-S): A German edition. Social Behavior and Personality, 34(2), 197-204. Guilford, J.P. & Fruchter, B. (1978). Fundamental Statistics in Psychology and Education. Auckland: McGraw Hill Book Co. Guze, S. B.& Robins, E. (1970). Suicide and primary affective disorders.The British Journal Of Psychiatry, 117, 437-438. Hahn, D.B.& Payne, W.A. (2003). Focus on health (6thed.). USA, NY: Mc Graw Hill Company. Insitute Of Medicine [IOM]. (1997). Improving health in the community. A role for performance monitoring. Committee on Using Performance Monitoring to Improve Community Health. National Academy Press. Washington DC. Iskandarsyah, A. (2006). Hubungan antara HLC dan tingkat depresi pada pasien gagal ginjal kronis di RS. Ny. R.A. Habibie Bandung. (Skripsi Sarjana). Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran, Bandung. Kaplan, H.I. & Sadock, B.J. (1998). Synopsis of psychiatry. Philadelphia: Lippincott, Williams, Wilkens.
130
Keedy, N. H. (2009). HLC, self-efficacy, and multidisciplinary intervention for chronic back pain. (Doctor‘s Dissertation). The University Of Iowa. Iowa City, Iowa. Kerlinger, F. N. (2006). Asas-asas penelitian behavioral (Terjemahan). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kerlinger, F. N. & Lee, H. B. (2000). Foundation of behavioral research (4thed.) USA: Harcourt College Publishers. Koenig, H. G., Larson, D. B., & Larson, S. S. (2001). Religion and Coping with Serious Medical Illness. The Annals of Pharmacotherapy, 35, 352-359. Konginan, A. (2007). Depresi pada penderita kanker. Pusat pengembangan paliatif dan bebas nyeri. R.S.U. dr. Soetomo Surabaya. Krosch, S. (2009). Insight into the health control beliefs of american samoans. Result of an adapted multidimensional health locus of control. American Samoa Community Cancer Network. Kübler-Ross, E. (1969). On death and dying,what the dying have to teach doctors, nurses, clergy and their own families. New York: Macmillan Publishing Company. Kuhn, R. A. (2007). Health locus of control in hiv: healthy individuals with low CD4 cells versus an hiv-positive comparison group. (Master‘s Thesis). University Of Miami, Coral Gables, Florida. Lestari, E. W. (2007). Depresi akibat trauma masa kanak-kanak. (Skripsi Sarjana). Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Lucero.S.M. (2010). Religious coping with the stressors of a first time pregnancy as a predictor of adjustment among husbands and wives. (Master‘s Thesis). Bowling Green State University, Ohio, United States. Magdalena, D. G. (2007). Perbandingan analisis depresi dan kepribadian pada pasangan kembar identik. (Tesis Master). Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Maltby, J., Day, L. & Macaskill, A. (2007). Personality, individual differences and intelligence. Harlow: Pearson Prentice Hall.
131
Maslim, R. (2003). Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas dari PPDGJIII. Jakarta: Unika Atma Jaya. Massie, M. J. (2004). Prevalence of depression in patients with cancer.Journal of the National Cancer Institute Monographs, 32, 57-71. National Collaborating Centre for Mental Health.(2009). Depression. The treatment and management of depression in adults. London (UK): National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE). Naus, M.J., Phillip, M. L., Lowrey, S.A., Ichler, M. D. & Parrot, C.E. (2007). Breast cancer survivors and well-women: A comparison of depression, anxiety, and health locus of control. Health Psychology Research Group (HPRG). University Of Houston. National Institue Of Mental Health (NIMH). (2010). Depression. U.S. Department Of Health & Human Services. National Institutes of Health. NIH publication No. 08 3561 revised 2008. Diunduh dari http://www.nimh.nih.gov/site-info/index-rss.atom Nuansaislam.com. (2011). Jumlah muslim Indonesia. Diunduh Senin 10 Januari 2011 dari http://www.nuansaislam.com/index.php?option=com_content&view=a rticle&id=635:jumlah-muslim-indonesia&catid=58:duniaislam&Itemid=182 O‘Hea, E. L., Bodenlos, J. S., Moon, S., Grothe, K. B., & Brantley, P. J. (2009). The multidimensional health locus of control scales: Testing the factorial structure in sample of African American medical patients. Ethnicity & Disease, 19. Peter, M.P. (2008). The multidimensional impact of health locus of control on distress in breast cancer survivors and their peers. (Dissertation). June 2008. Pervin, L. A., & John, O. P. (2001). Personality theory and research (8thed.). USA: Wadsworth. Raiya, H. A. (2008). A psychological measure of Islamic religiousness: evidence for relevance, reliability and validity. (Doctor‘s Dissertation). Bowling Green State University, Ohio, United States. Robinson, J. P. & Shaver, P. R. (Eds.).(1973). Measures of social psychological attitudes. USA: The University of Michigan. Ryckman, R. M. (2008). Theories of personality (9thed.).USA : Wadsworth.
132
Salmans, S. (1997). Depression: questions you have- answers you need. People‘s Medical Society. Sarafino, E. P. (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions (4thed). The College of New Jersey. Souza, C. B., Cendon, S., Cavalhero, L., Jardim, J.R. & Bogosian, M. (2003). Anxiety, depression and traits of personality in COPD patiens. Psicologia, Saude & Doencas, 4(1), 149-162. Taylor, S. E. (2009). Health psychology (7thed.). University of California, Los Angeles: Mc Graw Hill Company. Taylor, S. E. (2007). Health psychology (5thed.). University of California, Los Angeles: Mc Graw Hill Company. U.S. Department of Health and Human Services. Mental Health: A Report of the Surgeon General—Executive Summary. Rockville, MD: U.S. Department of Health and Human Services, Substance Abuse and Mental Health Services Administration, Center for Mental Health Services, National Institutes of Health, National Institute of Mental Health, 1999. Wakefield, J. C., Schmitz, M. F., First, M. B., & Horwitz, A. V. (2007). Extending the bereavement exclusion for major depression to other losses: Evidence from the national comorbidity survey. Arch Gen Psychiatry, 64(4), 433-440. World Health Organization. (2010). Mental Health.Depression. What is depression. Diunduh 21 Juli 2011dari http://www.who.int/mental_health/management/depression/definition/ en/