BAB II LANDASAN TEORETIS
2.1.
Teori Belajar
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Berdasarkan suatu teori belajar, diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil belajar. Belajar didefinisikan sebagai suatu proses di mana seseorang atau individu berubah perilakunya sebagai sebagai akibat hasil adanya pengalaman (Dahar, 1996 : 11). Belajar merupakan kegiatan yang membawa manusia pada perkembangan pribadi yang seutuhnya, meliputi perkembangan kognitif, afektif dan psikomotorik. Para ahli pembelajaran menekankan proses belajar bertumpu pada struktur kognitif dengan alasan struktur kognitif dapat mempengaruhi perkembangan afektif ataupun penampilan seseorang. Belajar bukanlah sekedar mengumpulkan pengetahuan. Belajar adalah proses mental yang terjadi dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan perilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan li ngkungan yang disadari. Banyak teori yang membahas tentang terjadinya perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat manusia menurut pandangan John Locke dan hakikat manusia menurut Leibnitz.
��
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme pasif. Dengan teori tabularasanya, Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulisi apa kertas itu sangat tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu, memunculkan aliran belajar behavioristik-elementeristik. Berbeda dengan pandangan Locke, Leibnitz mengaggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif. Manusia merupakan sumber daripada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat; manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat manusia menurut pandangan Leibnitz ini kemudian melahirkan aliran belajar kognitif-holistik. Teori-teori belajar yang termasuk ke dalam kelompok behavioristik di antaranya : a. b. c. d. e.
Koneksionisme, dengan tokohnya Thorndike. Classical conditioning, dengan tokohnya Pavlop. Operant conditioning, yang dikembangkan oleh Skinner. S kinner. Systematic behavior , yang dikembangkan oleh Hull. Contiguous conditioning, yang dikembangkan oleh Guthrie.
Sedangkan, teori-teori yang termasuk ke dalam kelompok kognitif-holistik di antaranya : a. b. c. d. e.
Teori Gestalt, dengan tokohnyas Kofka, Kohler, dan Wertheimer. Teori Medan (Field Theory), dengan tokoh Lewin. Teori Organismik, yang dikembangkan oleh Wheeler. W heeler. Teori Humanistik, dengan tokohnya Maslow dan Rogers. Teori Konstruktivistik, dengan tokohnya Jean Piaget.
��
Menurut teori behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya (Budiningsih, 2004 : 20). Teori behaviouristik mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku si pembelajar. Oleh sebab itu apa saja yang diberikan guru (stimulus) dan apa saja yang dihasilkan siswa (respon) semuanya harus dapat diamati dan dapat diukur. Faktor lain yang juga dianggap penting oleh aliran bahaviouristik adalah faktor penguatan ( reinforcement ). ). Penguatan adalah apa saja yang dapat memperkuat timbulnya respon. Bila penguatan ditambahkan maka respon semakin kuat. Menurut teori belajar kognitif-holistik, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan dan lain sebagainya (Baharuddin, 2007 : 87). Jadi dengan kata lain menurut teori kognitif-holistik, kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih daripada itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar.
��
Penguatan atau reinforcement juga terdapat dalam aliran kognitif-holistik namun berbeda. Perbedaannya adalah behaviouristik memandang reinforcement sebagai elemen yang penting untuk menjaga atau menguatkan perilaku, sedangkan reinforcement dalam pandangan kognitif-holistik sebagai sebuah sumber feedback
apakah kemungkinan yang terjadi jika sebuah perilaku diulang lagi.
2.1.1. Teori Belajar Konstruktivistik
Teori konstruktivistik merupakan teori-teori baru dalam psikologi pendidikan. Teori konstruktivistik menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Bagi siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide. Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan baru. Siswa harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Siswa diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang segala sesuatu yang dihadapinya. Siswa akan terbiasa dan terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah
yang
dihadapinya,
mandiri,
kritis,
kreatif
dan
mampu
mempertanggungjawabkan pemikirannya secara rasional. Guru atau pendidik
��
berperan membantu agar proses pengkonstruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru dituntut untuk lebih memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan pengetahuan siswa. Evaluasi konstruktivistik menggunakan goal-free evaluation yaitu suatu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi pada tujuan spesifik (Budiningsih, 2004: 59). Teori konstruktivistik ini dikembangkan oleh Jean Piaget. Setiap individu memiliki kemampuan untuk mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya dengan jalan berinteraksi secara terus menerus dengan lingkungannya. Implikasi dari teori ini adalah pembelajaran harus disediakan bahan ajar yang secara konkrit terkait dengan kehidupan nyata dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi secara aktif dengan lingkungannya. Prinsip yang penting dalam teori konstruktivistik adalah guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Trianto, 2007 : 13 - 14). Menurut Yamin, (2008 : 54), ciri-ciri pembelajaran dengan menggunakan teori konstruktivistik adalah sebagai berikut : 1) 2) 3)
Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia. Belajar merupakan proses yang aktif di mana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
��
4)
5)
Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerjasama dengan orang lain. Belajar harus disituasikan dalam latar ( setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas bukan merupakan kegiatan yang terpisah.
Sementara menurut Budiningsih, (2004 : 65) karakteristik pembelajaran menggunakan teori konstruktivistik adalah : 1). Membebaskan siswa dari belenggu kurikulum yang berisi fakta-fakta lepas yang sudah ditetapkan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan ide secara lebih luas. 2). Menempatkan siswa sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide-ide atau gagasannya, kemudian memformulasikan kembali ide-ide tersebut, serta membuat kesimpulan-kesimpulan. 3). Guru bersama-sama siswa mengkaji pesan-pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, di mana terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi. 4). Guru mengakui bahwa proses belajar serta penilaianya merupakan suatu usaha yang kompleks, sukar dipahami, tidak teratur, dan tidak mudah dikelola. Jadi proses belajar dan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivistik siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Guru dapat memfasilitasi proses ini dengan menggunakan cara-cara yang membuat sebuah informasi menjadi bermakna dan relevan bagi siswa. Untuk itu guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau mengaplikasikan ide-ide mereka sendiri, di samping mengajarkan siswa untuk menyadari akan strategi belajar mereka sendiri.
��
2.1.2. Model Pembelajaran Konstruktivistik
Prinsip-prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik telah melahirkan berbagai macam model pembelajaran, dan dari berbagai macam model pembelajaran tersebut terdapat pandangan yang sama, bahwa dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivistik adalah discovery learning, reception learning, assisted learning, active learning, the accelerated learning, quantum learning, cooperative learning, dan contextual teaching and learning (Baharuddin, 2007 : 129).
Ide-ide konstruktivis modern banyak berlandaskan pada teori Vygotsky yang telah digunakan untuk menunjang metode pengajaran yang menekankan pada pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis kegiatan, dan penemuan. Vygotsky mengemukankan pembelajaran merupakan suatu perkembangan pengertian. Ia membedakan adanya dua pengertian yang spontan dan yang ilmiah. Pengertian spontan adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak sehari-hari. Pengertian ilmiah adalah pengertian yang didapat dari ruang kelas atau yang diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep itu saling berhubungan terus menerus. Apa yang dipelajari siswa di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya (Poedjiadi, 2005 : 72). Sumbangan dan teori Vygotsky adalah penekanan pada bakat sosiokultural dalam pembelajaran. Menurut Vygotsky, pembelajaran terjadi saat anak bekerja
��
dalam zona perkembangan proksimal ( zone of proximal development ). Zona perkembangan proksimal adalah jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya dengan tingkat perkembangan potensial. Tingkat perkembangan sesungguhnya adalah kemampuan pemecahan masalah secara mandiri sedangkan tingkat perkembangan potensial adalah kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa melalui kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. Dengan demikian, tingkat perkembangan potensial dapat disalurkan melalui model pembelajaran kooperatif (Isjoni, 2007 : 39). Ide penting lain dari Vygotsky adalah scaffolding yaitu memberikan sejumlah bantuan kepada anak pada tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian menguranginya dan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengambil alih tanggung jawab saat mereka mampu. Bantuan tersebut berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah pada langkah-langkah pemecahan, memberi contoh, ataupun hal-hal lain yang memungkinkan pelajar tumbuh mandiri. Teori Vygotsky menjelaskan ada hubungan langsung antara domain kognitif dengan sosial budaya. Kualitas berpikir siswa dibangun di dalam ruang kelas, sedangkan aktivitas sosialnya dikembangkan dalam bentuk kerjasama antara pembelajar dengan pembelajar lainnya yang lebih mampu di bawah bimbingan orang dewasa yaitu guru.
��
2.2.
Pembelajaran Kooperatif
2.2.1. Landasan Pemikiran
Pembelajaran yang bernaung dalam teori konstruktivis salah satunya adalah pembelajaran kooperatif. Pembelajaran kooperatif ( cooperative learning) muncul dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika mereka saling berdiskusi dengan temannya. Siswa secara rutin bekerja dalam kelompok untuk saling membantu memecahkan masalahmasalah yang kompleks. Hakekat sosial dan penggunaan kelompok sejawat menjadi aspek utama dalam pembelajaran kooperatif (Trianto, 2007: 41) Cooperative learning berasal dari kata cooperative yang artinya
mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim (Isjoni, 2007 : 15). Slavin, (2005 : 8) mengemukakan, “ In cooperative learning methods, students work together in four member teams to master material intially presented by the teacher ”. Berdasarkan uraian tersebut, cooperative laerning adalah suatu
model pembelajaran di mana sistem belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. Anita Lie, (2002 : 28) menyebutkan cooperative learning dengan istilah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur. Cooperative learning hanya berjalan jika sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang didalamnya siswa bekerja secara
��
terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah anggota kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Siswa dalam kelas kooperatif belajar bersama dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 4-6 orang siswa yang sederajat tetapi heterogen dalam kemampuan, jenis kelamin, suku/ras, namun satu sama lain saling membantu. Tujuan dibentuknya kelompok adalah untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat terlibat aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar. Selama bekerja dalam kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang disajikan oleh guru dan saling membantu teman sekelompoknya untuk mencapai ketuntasan belajar.
2.2.2. Karakteristik Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok serta memberikan kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama siswa yang berbeda latar belakangnya (Trianto, 2007 : 43) Struktur tujuan kooperatif terjadi jika siswa dapat mencapai tujuan mereka hanya jika siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Tujuan-tujuan pembelajaran mencakup tiga jenis tujuan penting, yaitu hasil belajar
akademik,
penerimaan
terhadap
keterampilan sosial (Ibrahim, dkk, 2000 : 7).
��
keragaman
dan
pengembangan
Hasil belajar akademik ditunjukkan melalui peningkatan nilai atau prestasi siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik dan terjadi perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar siswa. Di samping itu juga memberi keuntungan pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Penerimaan keragaman merupakan penerimaan secara luas dari orang-orang yang berbeda
berdasarkan
ras,
budaya,
kelas
sosial,
kemampuan
dan
ketidakmampuannya. Pembelajaran kooperatif memberikan peluang bagi siswa dari berbagai latar belakang dan kondisi untuk bekerja dengan saling bergantung pada tugas-tugas akademik dan melalui struktur penghargaan kooperatif akan belajar saling menghargai satu sama lain. Pengembangan keterampilan sosial penting dilakukan dan melalui pembelajaran kooperatif mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi sebagai salah satu dari beberapa indikator keterampilan sosial. Beberapa ciri dari pembelajaran kooperatif adalah (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelomponya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan (Isjoni, 2007 : 20). Sementara menurut Slavin (2005 : 26-27) ada tiga konsep sentral yang menjadi karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu penghargaan kelompok, pertanggungjawaban individu, dan kesempatan yang sama untuk berhasil.
��
Pembelajaran kooperatif menurut Anita Lie (2002 : 31) mengandung lima prinsip yaitu : 1). Prinsip ketergantungan positif ( positive interdependence) Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung kepada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompoknya. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota. Dengan demikian, semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan. 2). Tanggung Jawab Perseorangan ( Individual Accountability) Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip yang pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya. Setiap anggota harus memberikan yang terbaik untuk keberhasilan kelompoknya. Untuk mencapai hal tersebut, guru perlu memberikan penilaian terhadap individu dan juga kelompok. Penilaian individu bisa berbeda, akan tetapi penilaian kelompok harus sama. 3). Interaksi tatap muka ( face to face promotion interaction) Pembelajaran kooperatif memberikan ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan. Interaksi tatap muka akan memberikan pengalaman yang berharga kepada setiap anggota kelompok untuk bekerja
��
sama, menghargai setiap perbedaan, memanfaatkan kelebihan masing-masing anggota dan mengisi kekurangan masing-masing. 4). Partisipasi dan komunikasi ( participation communication) Pembelajaran kooperatif melatih siswa untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak. Oleh sebab itu, sebelum melakukan kooperatif, guru perlu membekali siswa dengan kemampuan berkomunikasi. 5). Evaluasi proses kelompok Pembelajaran kooperatif menuntut pengajar menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif. Waktu evaluasi tidak perlu diadakan setiap kali ada kerja kelompok, tetapi diadakan selang beberapa waktu setelah beberapa kali pembelajar terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat kepada siswa (student centered ), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak bisa bekerjasama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Pembelajaran kooperatif menunjukkan bahwa dapat meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik, unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit dan membantu siswa menumbuhkan kemampuan
��
berpikir kritis. Pembelajaran kooperatif dapat memberikan keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik.
2.2.3
Metode Pembelajaran Kooperatif
Terdapat beberapa variasi dari pembelajaran kooperatif, setidaknya ada lima pendekatan yang menerapkan pembelajaran kooperatif menurut Trianto (2007 : 49) yaitu : 1)
Student Teams Achievement Division (STAD)
2)
Tim Ahli ( Jigsaw)
3)
Investigasi Kelompok ( Group Investigation)
4)
Think Pair Share (TPS)
5) Numbered Head Together (NHT). Masing-masing metode akan dijabarkan sebagai berikut : 1). Student Teams Achievement Division (STAD) STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana dan merupakan metode yang paling baik untuk permulaan bagi para guru menggunakan pendekatan kooperatif. STAD terdiri atas lima komponen utama yaitu : presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual dan rekognisi tim. Tiap pelajaran dalam STAD dimulai dengan presentasi pelajaran tersebut di dalam
kelas.
Presentasi
tersebut
haruslah
mencakup
pembukaan,
pengembangan dan pengarahan praktis tiap komponen dari keseluruhan
��
pelajaran, kegiatan-kegiatan tim dan kuisnya mencakup latihan dan penilaian yang independen secara berturut-turut. 2). Tim Ahli ( Jigsaw) Jingsaw telah dikembangkan dan diujicobakan oleh Elliot Aroson dan temanteman dari Universitas Texas, dan diadopsi oleh Slavin dan teman-teman di Universitas John Hopkins. Langkah-langkah pembelajaran Jingsaw sebagai berikut : •
Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6 orang)
•
Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
•
Setiap anggota kelompok membaca sub bab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya.
•
Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.
•
Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas mengajar teman-temannya.
•
Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa dikenai tagihan berupa kuis individu.
3). Investigasi Kelompok (Group Investigation) 4). Think Pair Share (TPS) Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan
jenis
pembelajaran
kooperatif
��
yang
dirancang
untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Dikembangkan pertama kali oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland. Think pair share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas dan prosedur yang digunakan dalam think pair share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespon dan saling membantu. Langkah-langkah atau fase think pair share sebagai berikut : •
Berpikir (thinking) Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
•
Berpasangan ( pairing) Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan.
•
Berbagi (sharing) Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan
��
sampai
sekitar
sebagian
pasangan
mendapat
kesempatan
untuk
melaporkan hasil diskusi (Trianto, 2007 : 61 -62). 5). Numbered Head Together (NHT). Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama adalah
merupakan
jenis
pembelajaran
kooperatif
yang
dirancang
untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser
Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT yaitu : Fase 1 : penomoran Dalam fase ini guru membagi siswa ke dalam kelompok 3 – 5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5. Fase 2 : mengajukan pertanyaan Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau berbentuk arahan. Fase 3 : berpikir bersama Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim.
��
Fase 4 : menjawab Guru memanggil suatu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas. Variasi pembelajaran kooperatif di atas merupakan alternatif metode mengajar dalam kelompok yang dapat diterapkan guru untuk meningkatkan kecakapan siswa dalam belajar kelompok, karena dalam pembelajaran kooperatif mengandung beberapa prinsip yang mampu meningkatkan keberhasilan belajar siswa sebagai anggota kelompok maupun sebagai individu.
2.3.
Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)
2.3.1. Metode Investigasi Kelompok
Pengertian metode dalam pendidikan digunakan untuk menunjukkan serangkaian kegiatan guru yang terarah menyebabkan siswa belajar. Metode dapat pula diaanggap sebagai cara atau prosedur yang keberhasilannya adalah di dalam belajar, atau sebagai alat yang menjadikan mengajar menjadi efektif. Jika dianggap bahwa metode sebagai suatu proses maka akan terdiri dari beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut dapat dikombinasikan atau dipisahkan untuk difungsikan
secara
keseluruhan
oleh
guru
sebagai
penanggung
jawab
pembelajaran. Oleh sebab itu, metode mengajar merupakan salah satu aspek pokok dalam masalah sentral pendidikan. Metode yang baik menurut Wahab (2007 : 38) adalah bersifat pribadi. Metode harus merupakan sesuatu yang sudah disusun dan dikembangkan guru
��
bukan sekedar kegiatan rutin. Sumbangan guru harus merupakan sesuatu yang didasarkan pada kekinian, yang hanya mungkin melalui pengalaman. Metode yang baik juga harus menghubungkan dirinya dengan pengalaman siswa. Metode yang berhasil meliputi guru dan siswa karena metode adalah proses bukan tindakan. Secara harafiah investigasi diartikan sebagai “penyelidikan dengan mencatat atau merekam fakta-fakta, melakukan peninjauan dengan tujuan memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang suatu peristiwa, sifat atau suatu penyelidikan” (Anwar, 2001 : 193). Tidak jauh berbeda dengan pendapat tersebut, Echols dan Shadily (2000 : 331) mengartikan investigasi (investigation), adalah pemeriksaan, pengusutan terhadap suatu kasus, research (penyelidikan, penelitian). Pada prinsipnya investigasi merupakan suatu kegiatan melakukan penyelidikan terhadap peristiwa, masalah atau topik tertentu melalui pengumpulan fakta-fakta atau informasi-informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang suatu persoalan. Metode investigasi kelompok ( Group Investigation) adalah sebuah bentuk pembelajaran kooperatif yang berasal dari pemikiran tokoh-tokoh terkemuka yang berorientasi pendidikan seperti John Dewey dan Herbert A. Thelen. Pandangan Dewey terhadap kooperasi di dalam kelas sebagai sebuah prasyarat untuk bisa menghadapi berbagai masalah kehidupan yang kompleks dalam masyarakat demokrasi. Kelas adalah sebuah tempat kreatifitas kooperatif di mana guru dan siswa membangun proses pembelajaran yang didasarkan pada perencanaan mutual dari berbagai pengalaman, kapasitas dan kebutuhan siswa masing-masing. Pihak
��
yang belajar adalah partisipan aktif dalam segala aspek kehidupan sekolah, membuat keputusan yang menentukan tujuan terhadap apa yang mereka kerjakan. Kelompok dijadikan sebagai sarana sosial dalam proses ini. Rencana kelompok adalah satu metode untuk mendorong keterlibatan maksimal para siswa. Metode investigasi kelompok diperoleh dari pembelajaran di kelas dengan premis bahwa baik domain sosial maupun intelektual proses pembelajaran sekolah melibatkan nilai-nilai yang didukungnya. Adanya dialog interpersonal atau dimensi rasa sosial dari pembelajaran di dalam kelas akan mendukung implementasi metode investigasi kelompok. Komunikasi dan interaksi kooperatif di antara teman sekelas akan mencapai hasil terbaik dilakukan dalam kelompokkelompok kecil di mana terjadi pertukaran di antara teman sekelas dan sikap-sikap kooperatif dapat terus bertahan. Metode investigasi kelompok ( Group Investigation) dikembangkan dari penggabungan pandangan-pandangan proses sosial yang demokratik dengan penggunaan strategi-strategi intelektual atau ilmiah untuk membantu manusia menciptakan pengetahuan dan masyarakat yang teratur dengan baik. John
Dewey
dalam
bukunya
“ Democrasy
and
Education”
merekomendasikan bahwa keseluruhan sekolah merupakan miniatur demokrasi di mana siswa berpartisipasi dalam pengembangan sistem sosial dan diharapkan melalui partisipasi tersebut secara bertahap, belajar bagaimana menerapkan metode ilmiah untuk kesempurnaan masyarakat manusia. (Wahab, 2007 : 60). Metode investigasi kelompok termasuk kelompok metode mengajar yang mendasarkan pada pengalaman belajar siswa ( experienced-based
��
learning
situation). Pengalaman belajar siswa diharapkan dapat mengarahkan pada
metode-metode ilmiah, dapat dikembangkan dan diterapkan dalam situasi kehidupan siswa sehari-hari. Metode investigasi kelompok ( Group Investigation) diartikan sebagai penggabungan antara strategi mengajar bentuk dan dinamika proses demokrasi dengan proses inkuiri akademik. (Wahab, 2007 : 60). Jadi metode investigasi kelompok adalah metode pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa, masalah atau topik tertentu melalui pengumpulan fakta-fakta atau informasi-informasi guna memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang suatu persoalan sehingga siswa berperan aktif menginvestigasi, bekerjasama dalam kelompok dan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator selama pembelajaran berlangsung.
2.3.2. Peran Guru dan Siswa dalam Metode Investigasi Kelompok
Siswa dan guru dituntut berperan aktif melaksanakan sejumlah kegiatan akademik dan nonakademik yang membangun norma-norma perilaku kooperatif yang sesuai di dalam kelas. Investigasi kelompok sebelumnya menuntut pelatihan dalam kemampuan komunikasi dan sosial. Untuk itu perlu dibentuk tim atau landasan kerja. Group investigation sesuai untuk proyek-proyek studi yang terintegrasi
berhubungan dengan hal-hal semacam penguasaan, analisis dan mensintesiskan
��
informasi sehubungan dengan upaya menyelesaikan masalah yang bersifat multiaspek. (Slavin, 2008 : 216). Tugas akademik haruslah menyediakan kesempatan bagi anggota kelompok untuk memberikan berbagai macam kontribusi dan dirancang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tidak bersifat faktual (seperti siapa, apa, kapan dan sebagainya). Sebagai bagian dari investigasi, para siswa mencari informasi dari berbagai sumber baik di dalam maupun di luar kelas. Sumber-sumber seperti (bermacam-macam buku, institusi, dan orang) menawarkan sederetan gagasan, opini, data, solusi ataupun posisi yang berkaitan dengan masalah yang sedang dipelajari. Para siswa selanjutnya mengevaluasi dan mensintesiskan informasi yang disumbangkan oleh tiap anggota kelompok supaya dapat menghasilkan laporan kelompok. Eksistensi investigasi kelompok adalah sebagai wahana untuk mendorong dan membimbing keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Keterlibatan siswa di dalam proses pembelajaran merupakan hal yang sangat esensial karena siswa adalah sentral dari keseluruhan kegiatan pembelajaran. Karena itu kebermaknaan pembelajaran sesungguhnya akan sangat tergantung pada bagaimana
kebutuhan
siswa
dalam
memperoleh
dan
mengembangkan
pengetahuan nilai-nilai, serta pengalaman mereka dapat terpenuhi secara optimal melalui kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan. Keaktifan siswa melalui metode investigasi kelompok ini diwujudkan dalam aktivitas saling bertukar pikiran melalui komunikasi yang terbuka dan
��
bebas serta kebersamaan mulai dari kegiatan merencanakan sampai pada pelaksanaan pemilihan topik-topik investigasi. Kondisi ini akan memberikan dorongan yang besar bagi para siswa untuk belajar menghargai pemikiranpemikiran dan kemampuan orang lain serta saling melengkapi pengetahuan dan pengalaman-pengalaman
masing-masing
karena
diyakini
melalui
metode
investigasi kelompok yang di dalamnya sangat menekankan pentingnya komunikasi dan saling bertukar pengalaman, akan memberikan lebih banyak manfaat dibandingkan jika siswa melakukan tugas secara perseorangan. Peran guru di kelas ketika melaksanakan metode investigasi kelompok adalah sebagai nara sumber dan fasilitator. Guru berkeliling di antara kelompokkelompok yang ada untuk melihat bahwa siswa bisa mengelola tugasnya dan membantu tiap kesulitan yang dihadapi siswa dalam berinteraksi di kelompoknya masing-masing, termasuk masalah dalam kinerja terhadap tugas-tugas khusus yang berkaitan dengan proyek pembelajaran. Peran guru ini dipelajari sepanjang waktu seperti halnya peran siswa. Pertama dan yang paling penting, guru harus membuat model kemampuan komunikasi dan sosial yang diharapkan dari para siswa. Ada banyak kesempatan bagi guru sepanjang waktu sekolah untuk memikirkan berbagai variasi peran kepemimpinan, seperti dalam diskusi dengan seluruh kelas atau dengan kelompok-kelompok kecil. Dalam diskusi ini guru membuat model-model dari berbagai kemampuan : mendengarkan, membuat ungkapan, memberi reaksi yang tidak menghakimi, mendorong partisipasi dan sebagainya. Diskusi ini dapat
��
ditambahkan dan ditujukan pada penentuan tujuan pembelajaran jangka pendek dan sebagai sarana untuk meraihnya.
2.3.2. Langkah-langkah Metode Investigasi Kelompok
Menurut Slavin, (2008 : 218), tahap-tahap metode investigasi kelompok (Group Investigation), dibagi dalam enam tahap, yaitu : Tahap 1 : Mengidentifikasi topik dan mengatur murid ke dalam kelompok Tahap 2 : Merencanakan tugas yang dipelajari Tahap 3 : Melaksanakan investigasi Tahap 4 : Menyiapkan laporan akhir Tahap 5 : Mempresentasikan laporan akhir Tahap 6 : Evaluasi Masing-masing tahap dilaksanakan dengan mengadaptasi pedomanpedoman dari latar belakang, umur dan kemampuan para murid, penekanan waktu, namun semua pedoman ini cukup bersifat umum yang dapat dilaksanakan dalam skala kondisi kelas yang luas. Tahap-tahap di atas dijabarkan dalam langkah-langkah berikut : Tahap 1 mengidentifikasikan topik dan mengatur murid ke dalam kelompok a.
Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah topik dan mengkategorikan saran-saran.
b.
Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari topik yang telah mereka pilih.
��
c.
Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan harus bersifat heterogen.
d.
Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan memfasilitasi pengaturan.
Tahap 2 merencanakan tugas yang akan dipelajari Para siswa merencanakan bersama mengenai : apa yang kita pelajari ? Bagaimana kita mempelajarinya ? Siapa melakukan apa ? (pembagian tugas). Untuk tujuan atau kepentingan apa kita menginvestigasi topik ini ? Tahap 3 melaksanakan investigasi a.
Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data dan membuat kesimpulan.
b.
Tiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya.
c.
Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi dan mensintesis semua gagasan.
Tahap 4 menyiapkan laporan akhir a.
Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari proyek mereka.
b.
Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka.
c.
Wakil-wakil
kelompok
membentuk
sebuah
mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi.
��
panitia
acara
untuk
Tahap 5 mempresentasikan laporan akhir a.
Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai macam bentuk.
b.
Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan pendengarannya secara aktif.
c.
Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas.
Tahap 6 evaluasi a.
Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik tersebut, mengenai tugas yang mereka kerjakan, mengenai keefektifan pengalamanpengalaman mereka.
b.
Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa.
c.
Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi. Sementara
menurut
penjelasan
student.fkip.uns.ac.id/materi-kelas/)
Sri
Lestari
langkah-langkah
(http://srilestari.
metode
investigasi
kelompok tersebut diperinci sebagai berikut : 1. Guru membagi kelas ke dalam kelompok heterogen 2. Guru menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok 3. Guru memanggil ketua kelompok dan setiap kelompok mendapat tugas satu materi/tugas yang berbeda dari kelompok lain 4. Masing-masing kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif yang bersifat penemuan 5. Setelah selesai diskusi, juru bicara kelompok menyampaikan hasil pembahasan kelompok 6. Guru memberikan penjelasan singkat sekaligus memberikan kesimpulan 7. Evaluasi 8. Penutup.
��
2.4.
Keterampilan Sosial
2.4.1. Rumusan Keterampilan Sosial
Salah satu tujuan dari pembelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah bagaimana mengembangkan keterampilan sosial untuk menjalani kehidupan masyarakat, apalagi saat ini pendidikan PKn diperhadapkan pada tantangan globalisasi di mana kehidupan masyarakat cenderung berubah ke arah pengelolaan informasi dengan masalah-masalah yang semakin rumit sehingga pemecahan permasalahan memerlukan pendekatan baru yang sesuai dengan tantangan tersebut. Hal ini ditunjang dengan perkembangan IPTEK terutama teknologi informasi
yang
pembelajaran
semakin
diperlukan
meluas metode
perkembangannya. mengajar
atau
Dampaknya
dalam
mentransformasi
ilmu
pengetahuan yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang tinggi. Pemanfaatan informasi dan teknologi harus memperhatikan nilai-nilai sosial budaya dan lingkungan pendidikan dapat dilakukan ketika mengembangkan pembelajaran berbasis pengembangan keterampilan sosial. Menurut ASCD
keterampilan dasar dalam proses pembelajaran IPS
diidentifikasikan untuk dikembangkan adalah : (1) keterampilan berpikir, (2) keterampilan bekerjasama, (3) keterampilan pengendalian diri, dan (4) keterampilan dalam pemanfaatan peluang kerja. Para pakar pendidikan IPS di Australia (Al Muchtar, 2007 : 146) merumuskan keterampilan sosial terdiri dari : 1) 2) 3) 4)
keterampilan mengumpulkan, menganalisis, mengolah informasi mengkomunikasikan gagasan dan informasi keterampilan merencanakan mengorganisasi kegiatan bekerjasama dalam kelompok majemuk
��
5) 6) 7)
menggunakan teknik matematika memecahkan masalah menggunakan produk teknologi
Keterampilan adalah pengembangan kemampuan menggunakan dan mengamalkan
pengetahuan
dan
ide-ide
melalui
keterampilan
berfikir,
keterampilan sosial, keterampilan akademis dan keterampilan meneliti (Bloom dalam Mutyono TJ, 1980 : 14). Begitu juga menurut Jarolimek (1993 : 9) keterampilan di dalam tujuan untuk ilmu-ilmu sosial meliputi keterampilan sosial, pembelajaran keterampilan dan kebiasaan bekerja, keterampilan di dalam kelompok dan keterampilan berfikir. Sedangkan kata sosial banyak yang mengartikan masyarakat, sehingga kalau secara bahasa keterampilan sosial dapat diartikan sebagai kesanggupan/ kemampuan seseorang untuk mewujudkan pengetahuan dan pemahamannya, tentang masyarakat dan bagaimana cara bergaul dengan masyarakat tersebut ke dalam perbuatan sehingga orang yang berketerampilan sosial tersebut dapat bergaul dan diterima oleh masyarakatnya.
2.4.2
Aspek-aspek Keterampilan Sosial
Keterampilan sosial menurut Jarolimek, 1993 (Maryani, 2009 : 9) adalah diawali (1) Living and working together; taking turns; respecting the rights of others; being socially sensitive, (2) Learning self-control and self-direction, and
(3) Sharing ideas and experience with others.
��
Dari pernyataan Jarolimek tersebut di atas nampak bahwa keterampilan sosial terbagi ke dalam tiga aspek utama yaitu : 1)
Hidup dan bekerjasama dengan yang lain, yang dimaksud dengan hidup bekerjasama dengan yang lain yaitu : a. Memberikan kesempatan kepada orang lain di dalam kelompok untuk sama-sama mendapatkan hak dan kewajiban yang sama b. Membiasakan
anggota
kelompok
untuk
saling
menghormati
dan
berpandangan positif kepada anggota yang lain. c. Peka terhadap sesama, sehingga turut merasakan penderitaan orang lain, seperti dalam satu tubuh manusia kalau satu bagian merasa sakit maka yang lainpun ikut merasakan sakitnya. Hidup bekerjasama tidak mungkin tumbuh dengan sendirinya maka harus diajarkan kepada siswa. Sifat dasar manusia ada yang mendukung hidup kerjasama tetapi ada pula yang rnenghalangi. Sifat dasar yang mendukung yaitu sifat ketergantungan kepada yang lain, sedangkan sifat yang menghalangi yaitu sifat egois, mau menang sendiri dan rasa ingin dipuji (di atas yang lain) . Sifat baik dan buruk manusia tersebut kalau tidak diluruskan dengan aturan agama, maka sifat itu akan berkembang menjadi permusuhan antar manusia yang menyebabkan manusia itu hancur. Kerjasama dapat melahirkan kedamaian, sedang kedamaian itu akan membuat manusia berkarya dengan tenang. Di sekolah yang memupuk suasana kerjasama biasanya berprestasi, sehingga kebiasaan kerjasama ini harus dibiasakan di sekolah. Karena di sekolah siswa tunduk pada aturan sekolah dan guru maka
��
di lingkungan itu, guru dapat membiasakannya lewat kegiatan pembelajaran misalnya dengan diadakan tugas kelompok baik di dalam maupun di luar kelas. 2)
Belajar mengontrol diri dan pimpinan. Di dalam sebuah kelompok, untuk terciptanya suasana yang harmonis antara anggota kelompok, maka perlu dibuat aturan mainnya. Di dalam pelaksanaan aturan biasanya sering ada kesalahpahaman antar anggota atau ada anggota/pimpinan kelompok yang lupa melaksanakan aturan tersebut. Pada saat pelanggaran aturan inilah diperlukan adanya kontrol baik dalarn diri anggota atau diri pimpinan maupun dari orang lain sesama anggota. Kontrol ini sangat penting sekali artinya guna keberlangsungan kelompok. Kontrol dapat dilakukan dengan cara nasihat-menasihati sampai pada tindakan hukuman.
3)
Tukar menukar pendapat. Di dalam tukar menukar pendapat, pembelajaran di sekolah dapat melatihkan dan membiasakannya melalui diskusi kelompok. Kebiasaan mengeluarkan pendapat dapat memupuk jiwa pemberani dan sikap menerima pendapat orang lain walau pendapat itu berbeda dengan dirinya. Dengan berbeda pendapat tersebut kelompok menjadi dinamis, kedinamisan inilah yang akan menghantarkan kelompok ke arah kemajuan. Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan
sosial itu memuat aspek-aspek keterampilan untuk hidup bekerjasama; keterampilan untuk mengontrol diri dan orang lain; keterampilan untuk saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya; saling bertukar pikiran dan
��
pengalaman sehingga tercipta suasana yang menyenangkan bagi setiap anggota dari kelompok tersebut. Cara-cara keterampilan sosial yang dapat dikembangkan kepada siswa adalah sebagai berikut : 1) Membuat rencana dengan orang lain 2) Partisipasi dalam usaha meneliti sesuatu 3) Partisipasi produktif dalam diskusi kelompok 4) Menjawab secara spontan pertanyaan orang lain 5) Memimpin diskusi kelompok 6) Bertindak secara bertanggung jawab 7) Menolong orang lain. Menurut Muchtar (2007 : 147-148), keterampilan sosial yang semestinya dikembangkan dalam pembelajaran IPS dalam kaitan dengan tantangan global adalah : 1) Mampu mencari, memilah dan mengolah informasi 2) Mampu mempelajari hal-hal baru untuk memecahkan masalah seharihari 3) Memiliki keterampilan berkomunikasi baik lisan maupun tulisan 4) Memahami dan menghargai dan mampu bekerjasama dengan orang lain yang majemuk 5) Mampu mentransformasikan kemampuan akademik dan beradaptasi dengan perkembangan masyarakat global. Jadi keterampilan sosial adalah keterampilan yang harus dimiliki individu untuk berinteraksi secara sosial dengan orang lain. Keterampilan bekerjasama dengan orang lain dalam kelompok, keterampilan menghargai pendapat orang lain, keterampilan pengendalian diri dalam bersikap dan bertingkah laku, dan
��
keterampilan mentransformasikan pengalaman belajar dalam kehidupan seharihari ke masyarakat.
2.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keterampilan Sosial
Faktor-faktor yang memmpengaruhi keterampilan sosial seseorang digolongkan oleh Natawidjadja (2003 : 3) adalah : a. Faktor dalam ialah faktor-faktor yang dimiliki oleh manusia sejak dilahirkan. Didalamnya termasuk kecerdasan, bakat khusus, jenis kelamin, sifat-sifat dan kepribadiannya. b. Faktor-faktor luar, yaitu faktor-faktor yang dihadapi oleh individu pada waktu dan setelah dilahirkan, terdapat dalam lingkungan, meliputi : keluarga, sekolah, masyarakat, kelompok sebaya dan lingkungan fisik. c. Faktor-faktor yang diperoleh apabila faktor dalam terpadu dengan faktor luar, meliputi : sikap, emosi, kebiasaan dan kepribadian. Setiap kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri siswa. Secara sinergi perubahan tingkah laku tersebut dipengaruhi oleh faktor pendukung yang secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi hasil belajar.
2.5.
Pembelajaran PKn
Pendidikan Kewarganegaraan
Kewarganegaraan ( citizenship),
dalam
merupakan
��
kurikulum mata
2004
pelajaran
yang
disebut pada
pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio kultural, bahasa, dan suku bangsa untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depiknas, 2003:7). Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003, dinyatakan bahwa: " Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimuat dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi". Hal ini berarti bahwa Pendidikan Kewarganegaraan diberbagai jenjang pendidikan harus tetap ditingkatkan dan dikembangkan untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan mewujudkan warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Dengan demikian melalui PKn atau civic education diharapkan melahirkan warga negara yang baik. Dari makna yang universal tersebut kita akan mudah memaknai PKn yang khas Indonesia, yang diberi label dengan nama Kewarganegaraan, di mana jati diri masyarakat dan bangsa adalah Pancasila sebagai landasan nilai-normanya. Menurut
Somantri
(2001:159),
memberikan
batasan
terhadap
kewarganegaraan, yang menyat �kan bahwa : "Pendidikan adalah seleksi dan adaptasi dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk mencapai salah satu tujuan IPS". Pendapat di atas lebih menekankan kepada materi atau bahan dari Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan makna PKn secara lebih luas dan lengkap dikemukakan oleh Djahiri (2002:91) sebagai berikut : "PPKN sebagai bagian pendidikan ilmu kewarganegaraan atau PKn dimanapun dan kapanpun sama/mirip, yakni program dan rekayasa pendidikan untuk membina dan membelajarkan anak menjadi warga negara yang baik, iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
��
memiliki nasionalisme (rasa kebangsaan) yang kuat/mantap, sadar serta mampu membina serta melaksanakan hak dan kewajiban dirinya sebagai manusia, warga masyarakat dan bangsa negaranya, taat asas/ketentuan (rule of law), demokratis dan partisipatif, aktif-kreatif-positif dalam kebhinnekaan kehidupan masyarakat-bangsa-negara madani ( civil society) yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta kehidupan yang terbuka, mendunia (global) dan moderen tanpa melupakan jati diri masyarakat bangsa dan negaranya". Selanjutnya Djahiri (2005 : 22), berpendapat dari pengertian di atas menyatakan bahwa, pada hakekatnya pendidikan kewarganegaraan (PKn) atau civic education adalah program pendidikan pembelajaran yang
secara
progmatik dan prosedural berupaya untuk memanusiakan ( humanizing)
aktif dan
membudayakan serta memperdayakan ( empowering) manusia/ anak didik (diri dan kehidupannya) menjadi warga negara yang baik dalam NKRI. Sedangkan menurut Wahab (2001), bahwa PKn di Indonesia sebagai salah satu wahana transformasi demokrasi telah mengalami beberapa kali perubahan nama sejalan dengan perkembangan dan pasang surutnya perjalanan politik bangsa Indonesia. Konsep-konsep pendidikan kewarganegaraan yang telah dikenal selama ini secara teoritik dapat dikatakan telah memadai namun yang menjadi persoalan adalah implementasinya dalam pengajaran, dengan demikian harus pula diakui bahwa beberapa konsep diantaranya perlu penegasan dan penajaman makna sehingga dapat memberi implikasi positif bagi pengembangan perilaku warganegara yang diharapkan oleh masyarakat. Penguatan-penguatan konsep yang berorientasi pada tuntutan nilai-nilai dan keyakinan yang berkembang dalam masyarakat tersebut yang pada akhirnya akan bermuara pada aplikasi nilai-nilai moral dan keyakinan dalam konteks
��
berbangsa dan bernegara merupakan hal yang harus memperoleh perhatian serius dalam pengembangan konsep dan paradigma pendidikan kewarganegaraan baru tersebut dengan demikian yang penting bahwa konsep kewaganegaraan yang dikembangkan
itu
haruslah
mengandung
pengetahuan,
keterampilan-
keterampilan, nilai-nilai, dan disposisi yang idealnya dimiliki oleh warganegara (Wahab, 2006 : 62). Untuk mengembangkan konsep-konsep pendidikan kewarganegaraan yang baru tersebut didasari oleh adanya pengaruh dari dalam dan luar sistem politik sebuah negara seperti juga halnya dengan Indonesia akan berpengaruh terhadap penyiapan individu warganegara, secara singkat diuraikan oleh Wahab (2006 : 63), adalah hal-hal yang dianggap berpengaruh itu diantaranya : 1. Gagalnya penerapan konsep pendidikan kewarganegaraan yang lalu, sebagai akibat dan penekanan pada kebenaran yang bersifat monovision dan sama sekali mengabaikan kemungkinan multivision atau jika itu dilakukan hanya bersifat semu. 2. Terjadinya perubahan sistem politik yang lebih mengarah pada upaya reformasi di berbagai bidang kehidupan baik sosial dan budaya, politik itu sendiri, ekonomi dan hukum yang meliputi sistem pendidikan umumnya dan pendidikan kewarganegaraan khususnya. 3. Perubahan pada atribut warganegara yang oleh Cogan (1998) dikelompokkan ke dalam lima kategori seperti berikut : • a sense of identity • the enjoyment of certain rights • the fulfillment of corresponding obligations • a degree of interest and involvement in public affairs, and.. • an acceptance of basic societal values. (Cogan; 1998:2-3) 4. Pengaruh kecenderungan global yang bersifat umum meliputi: The global economy", "Technology and Communications" dan "Population and environment ”. Kecenderungan-kecenderungan global itu secara langsung ataupun tidak langsung. 5. Kecenderungan global pendidikan kewarganegaraan untuk demokrasi.
��
Sedangkan menurut pendapat Sanusi (CST.Kansil, 2005 : 8), mengatakan bahwa civic education adalah civics yang memilih orientasinya pada fungsi pendidikan dalam arti usaha-usaha dan proses pembinaan warga negara. Dengan demikian dapat dibedakan antara civic dan civic education, civic bertugas mendeskripsikan dan menganalisis bagaimana adanya kontinum variabel para warga negara itu (dalam kriteria dan ukuran konstitusi), sedangkan civic education
bertugas
untuk
meluruskan,
memperluas,
menyehatkan,
mengembangkan dan membina kontinum variabel tersebut pada kualitas dan taraf yang lebih tinggi atau menunjukan alternatif-alternatif jalan dan usaha ke arah itu menurut kriteria dan ukuran konstitusi. PKn (civic education) merupakan salah satu bidang kajian yang mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor "value basic education". Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut : Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlaq mulia, cerdas, partisipatif dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoritik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotor yang bersifat konvluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara pragmatik dirancang sebagai subjek pelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai ( content embeding values) dan pengalaman belajar ( learning experience) dalam bentuk
��
berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. (Budimansyah, 2006) Pembelajaran PKn menurut kurikulum 2004 termasuk pada program pembelajaran normatif. Program normatif adalah kelompok mata pelajaran yang berfungsi membentuk peserta didik menjadi pribadi utuh, yang memiliki normanorma kehidupan sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial baik sebagai warga negara Indonesia maupun sebagai warga dunia. Program normatif diberikan agar peserta didik bisa hidup dan berkembang selaras dalam kehidupan pribadi, sosial dan bernegara. Program ini berisi mata pelajaran yang lebih menitik beratkan pada norma, sikap dan perilaku yang harus diajarkan, ditanamkan dan dilatihkan pada peserta didik, di samping kandungan pengetahuan dan keterampilan yang ada di dalamnya. Hal ini sejalan dengan pembelajaran PKn menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, bahwa PKn dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. PKn sebagai kajian ilmu kependidikan yang memusatkan perhatian pada pengembangan warga negara yang cerdas, demokratis dan religius serta memiliki karakteristik yang multidimensional, perlu dilihat dalam tiga kedudukan. Pertama, PKn sebagai suatu bidang kajian ilmiah mengenai " civic virtue" dan
"civic culture" yang menjadi landasan PKn sebagai program kurikuler dan
��
gerakan sosial budaya kewarganegaraan. Kedua, PKn sebagai program kurikuler yang memiliki visi dan misi pengembangan kualitas warga negara yang cerdas, demokratis, dan religius baik dalam lingkungan pendidikan di sekolah maupun di luar sekolah, yang berfungsi sebagai dasar orientasi dari keseluruhan upaya akademis untuk memahami fenomena dan masalah-masalah sosial secara interdisipliner, sehingga siswa dapat mengambil keputusan yang jernih dan bernalar serta memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi individu, masyarakat, bangsa dan negara. Ketiga, PKn sebagai gerakan sosial budaya kewarganegaraan yang sinergistik dilakukan dalam upaya membangun " civic virtue" dan "civic culture" melalui partisipasi aktif secara cerdas, demokratis dan
religius dalam lingkungannya. (Winataputra, 1999: 23) Menurut Muchtar (2000 : 6 - 7), mata pelajaran PKn dijelaskan sebagai berikut : Mata pelajaran ini memiliki potensi yang sangat strategis sebagai pendidikan demokrasi, karena secara etismologis dikembangkan dalam tradisi citizenship education antara lain mengembangkan nilai demokrasi untuk menegakkan negara hukum. Dengan demikian, sangat menarik dikaji dan dikembangkan agar program pendidikan ini mampu mengembangkan nilai-nilai demokrasi sehingga peserta didik memiliki wawasan dan kemampuan untuk berpikir, bersikap dan bertindak demokratis. Jadi dapat disimpulkan bahwa PKn adalah program pendidikan yang bertujuan untuk membentuk warga negara yang berpikir, bersikap, bertindak, berkembang dan berinteraksi dengan cerdas, kritis analitis, berpartisipasi aktif dan bertanggung jawab terhadap diri, lingkungan masyarakat, berbangsa, bernegara dan berkehidupan dunia yang dijiwai nilai-nilai agama, budaya, hukum, keilmuan, serta watak yang bersemangat, bergelora dan mewujudkan sikap demokratis
��
dalam negara Indonesia yang religius, adil, beradab dan bersatu, bermasyarakat yang berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Oleh karena itu, fokus dan target utama dari pembelajaran PKn adalah pembekalan pengetahuan, pembinaan sikap perilaku, dan pelatihan keterampilan sebagai warga negara demokrasi, taat hukum dan taat asas dalam kehidupan masyarakat madani ( civil society). CICED (1999) merekomendasikan kualifikasi program PKn sebagai berikut adalah : 1. Multi vision, dimensional, media dan sumber serta multi evaluasi. 2. Menyerap sejumlah pendekatan seperti penekatan nilai, objektif dan proses, siswa, pendekatan lingkungan serta penilaian portofolio. 3. Memilih dan menetapkan secara jelas hal-hal sebagai berikut: a. Sejumlah tuntutan keharusan kurikulum (antara lain: asas, visi dan misi pendekatan, pola KBM) yang sekiranya mampu dilaksanakan para guru dan penulis PKn di lapangan. b. Kemampuan belajar minimal yang harus dicapai siswa pada setiap kelas dan jenjang. c. Pokok bahasan yang kegunaannya tinggi bagi siswa dengan memperhitungkan usia dan tingkat kemampuan belajar siswa serta lingkungannya, namun harus tetap memberikan kekuasaan profesional pada guru/penulis mengembangkan rencana program pembelajaran. d. Buku standar siswa dan guru serta referensi lokal yang memenuhi persyaratan yang diharapkan oleh kurikulum. e. Mengurangi dan atau meniadakan ketumpangtindihan bahan ajar yang membingungkan/bermasalah. f. Harus dibina keterkaitan yang tinggi antara pembelajaran PKn persekolahan dengan kemasyarakatan. Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa PKn merupakan salah satu mata pelajaran yang mempunyai tugas membentuk perilaku dan kepribadian serta membina sikap dan moral peserta didik yang sudah menjadi bagian integral dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari.
��
2.5.1. Pendekatan Pendidikan Kewarganegaraan
Kurikulum pendidikan nasional menyatakan bahwa PKn merupakan salah satu dari bentuk pendidikan moral dan nilai yang dilembagakan berdasarkan nilainilai luhur bangsa Indonesia. Dimana pembelajaran PKn diarahkan pada ranah moral yang diharapkan dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku sehari-hari yang berdasarkan nilai moral pancasila. PKn juga sebagai usaha untuk membekali siswa dengan budi pekerti, pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antara sesama warga negara dan warga negara dengan negara, dan pendidikan bela negara sehingga warga negara kelak dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Menurut Djahiri dan Abdul Azis Wahab (1999 : 41) yang selama ini digunakan sebagai pendekatan dalam PKn ada 3 pola atau tipe, yaitu sebagai berikut : 1. Pendekatan L. Kohlberg : Cognitive Moral Development , yakni meyakini bahwa nilai moral dan norma hanya akan mempribadi apabila melalui struktur kognitif. 2. Pendekatan L. Metclif dan Iman Ghazali (Keagamaan Umumnya) yang mengamati pembinaan dan personalisasi nilai, moral dan norma dari siswa atau interaksi. Pengetahuan dunia afektif untuk menyerap dan mempribadikan nilai, moral dan norma akan melahirkan prinsip atau keyakinan yang akan dijadikan acuan berpikir dan berprilaku, di mana dalam agama dituntut yakin dan iman dahulu sebelum berpikir dan berbuat.
��
3. Pendekatan Albert Bandura dan Skinner (juga kaum Behavioralis dan Sosiologis) yang mengatakan pembinaan dan personalitas nilai, moral dan norma melebihi perlakuan dan penerimaan apa yang ada dan dilakukan, sehingga nilai, moral dan norma seolah-olah merupakan sosial dan “ behavior conduct ” yang harus dilakoni, yang mana diharapkan lahir keyakinan secara
essensial dan kebermaknaannya mampu diterima oleh daya nalarnya. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu bentuk kajian lintas bidang keilmuan pada dasarnya telah memenuhi kriteria dasar formal suatu disiplin seperti yang dikemukakan Duffy (Sumantri, 1993 : 45) yakni mempunyai “Community of scholars, a body of thinking, speaking and writing; a method of approach to knowledge” dan mewadahi tujuan masyarakat dan warisan sistem
nilai”. Jadi pendekatan pendidikan kewarganegaraan diarahkan kepada ranah moral berupa tindakan atau perilaku yang baik dapat diterima di masyarakat sesuai dengan norma hidup yang berlaku di masyarakat.
2.5.2. Ruang Lingkup Pendidikan Kewarganegaraan
Ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan berdasarkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tahun 2006 meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pailisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan
��
2. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berfakta di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional 3. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan intemasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM 4. Kebutuhan warga negara meliputi: hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat. Kebebasan berorganisasi. Kemerdekaan.. mengeluarkan pendapat, menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara 5. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi 6. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi pmerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Penuh dalam masyarakat demokrasi. 7. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,. 8. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi Jadi ruang lingkup mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan di SMA adalah membahas tentang persatuan dan kesatuan bangsa, norma hukum dan peraturan, hak asasi manusia dan permasalahannya, kebutuhan warga negara, konstitusi negara, kekuasaan dan politik, pancasila, serta globalisasi.
2.5.3. Manfaat dan Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan
Secara
umum
Pendidikan
Kewarganegaraan
bertujuan
untuk
mengembangkan potensi individu warganegara Indonesia yang memiliki wawasan, disposisi, serta keterampilan intelektual dan sosial kewarganegaraan yang memadai, yang memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
��
dan bernegara dan dunia. Selain memiliki tujuan, PKn memiliki fungsi sebagai wahana untuk membentuk warga negara yang cerdas, terampil dan berkarakter yang setia kepada bangsa dan negara Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berfikir dan bertindak sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945" (Depdiknas, 2001 : 5). Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain serta berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Dengan demikian PKn diharapkan dapat mewujudkan warga negara yang baik (good citizenship), salah satu perwujudannya adalah dapat membentuk karakter bangsa yang sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia. Hal ini sesuai dengan visi dan misi PKn seperti yang terdapat dalam Kurikulum Depdiknas (2002:3) bahwa : Visi mata pelajaran PKn adalah terwujudnya suatu mata pelajaran yang berfungsi sebagai sarana pembinaan watak bangsa ( national and character building) dan pemberdayaan warga negara". Sedangkan misinya adalah
warga negara yang baik, yakni warga negara yang memiliki kesadaran politik, kesadaran hukum, dan kesadaran moral.
��
Untuk mencapai visi dan misi tersebut, pembelajaran PKn di Sekolah Menengah Pertama (SMP), berdasarkan kurikulum 2004 (Depdiknas 2003 : 5) bahwa: "Secara garis besar mata pelajaran kewarganegaraan di SMA harus memuat beberapa dimensi, antara lain : a. Dimensi pengetahuan kewarganegaraan ( civics knowledge), yang mencakup bidang politik, hukum dan moral. Secara terterinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasarkan hukum ( rule of law), dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, sejarah nasional, hak dan kewajiban warga negara, hak asasi manusia, hak sipil, dan hak politik. b. Dimensi keterampilan kewarganegaraan ( civics skills), mencakup antara lain keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya : berperan secara aktif mewujudkan masyarakat madani (civil society), keterampilan mempengaruhi jalannya pemerintahan, dan proses pengambilan keputusan politik, keterampilan memecahkan masalah, kerja sama, keterampilan mengelola konflik. c. Dimensi nilai-nilai kewarganegaran ( civics values), mencakup antara lain percaya diri, komitmen, penguasaan atas nilai religius, norma dan nilai luhur, nilai keadilan, demokratis, toleransi, kebebasan individu, kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan perlindungan terhadap minoritas. Dari apa yang telah diuraikan di atas, Hal ini sesuai dengan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi 2004, yang sekarang lebih disempurnakan menjadi kurikulum tingkat satuan pendidikan 2006, pada intinya visi dan misi mata pelajaran PKn akan lebih dioptimalkan menjadi mata pelajaran yang sangat strategis dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam Kurikulum Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Tahun 2006, dalam BSNP tersebut dinyatakan bahwa PKn merupakan mata pelajaran yang mefokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara Indonesia
��
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dan warga negara yang taat kepada nilai-nilai
dan
prinsip-prinsip
dasar
demokrasi
konstitusional
Indonesia.
Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta. Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watakwatak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. Ada empat isi pokok pendidikan kewanganegaraan, yakni: 1)
Kemampuan dasar dan kemampuan kewarganegaraan sebagai sasaran pembentukan;
2)
Standar
materi
kewarganegaraan
sebagai
muatan
kurikulum
dan
pembelajaran; 3)
Indikator pencapaian sebagai kriteria keberhasilan pencapaian kemampuan;
4)
Rambu-rambu umum pembelajaran sebagai rujukan alternatif bagi para guru. Pembelajaran merupakan program kegiatan suatu proses, serta perbuatan
yang ditempuh guru dan siswa untuk mewujudkan proses belajar secara efektif dan efisien. Pembelajaran PKn memperhatikan komponen-komponen pengaturan guru dan siswa, mengolah dalam pesan, tujuan belajar evaluasi yang
��
dikembangkan. Keempat komponen tersebut tidak dapat dipisahkan dalam suatu rangkaian kegiatan pembelajaran. Menurut Badan Standar Nasional (BSNP) Tahun 2006, tujuan mata pelajaran PKn adalah sebagai berikut. Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut : 1)
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan
2)
Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas, dalam kegiatan masyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta anti korupsi.
3)
Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4)
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn, secara umum
mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional maupun global. PKn merupakan bidang studi yang bersifat multi aspek dengan konteks lintas bidang keilmuan. Mata pelajaran PKn mempunyai dua kajian ontologis. Menurut Chresore ( dalam Winataputra dan Sapriya, 2003:95) memiliki ontologi pokok ilmu politik, khususnya yang berkaitan dengan konsep
Political
Democracy untuk aspek duty and right of citizen. Dari ontologi pokok ini,
��
berkembang konsep civics, yang secara harfiah diambil dari bahasa latin yaitu "Civicus " yang berarti warga negara yang pada zaman Yunani Kuno, yang pada akhirnya diakui secara akademis sebagai awalnya "Civics education" yang kemudian di Indonesia disebut sebagai PKn. PKn
memiliki
dua
dimensi
ontologi,
yakni
obyek
telaah
dan
pengembangan. Obyek telaah kewarganegaraan menurut Lickona (1992 dalam Winataputra, 2006) adalah sebagai berikut : Keseluruhan aspek idiil, instrumental, dan praktis Kewarganegaraan, yang secara internal dan ekstrenal mendukung sistem kurikulum dan pembelajaran Kewarganegaraan di sekolah dan di luar sekolah, serta format gerakan sosio-kultural Kewarganegaraan masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan obyek pengembangan adalah keseluruhan ranah kognitif, afektif dan psikomotorik yang menyangkut status, hak, dan kewajibannya sebagai warga negara, yang perlu dimuliakan dan dikembangkan secara programatik guna mencapai kualitas warga negara yang cerdas, dan baik, dalam arti demokratis, religius dan berkeadaban dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Selanjutnya menurut Winataputra, obyek telaah meliputi aspek idiil, instrumental, dan praktis. Aspek Idiil PKn adalah landasan dan kerangka filosofis yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muara PKn di Indonesia, yakni landasan dan tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Aspek instrumental PKn adalah sarana programatik kependidikan sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil. Termasuk ke dalam aspek instrumental adalah kurikulum, bahan belajar, guru, media dan sumber belajar, alat penilaian belajar, ruang belajar, dan lingkungan. Aspek praktis PKn adalah perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan
��
yang kasat mata, yang pada hakekatnya merupakan penerapan konsep, prinsip, prosedur, nilai dalam PKn. Sedangkan obyek pengembangan meliputi ranah sosial-psikologis. Ranah ini meliputi keseluruhan potensi sosial-psikologis yang oleh Bloom dkk (1956), juga oleh Kratswohl (1962), dikatagorikan ke dalam ranah kognitif, afektif dan psikomotorik, yang secara programatik diupayakan untuk ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya melalui kegiatan pendidikan. (Winataputra, 2006 : 13) Sejalan dengan pemikiran di atas, maka PKn menurut Winataputra (2006 : 14) dapat direkonseptualisasikan bahwa : Aspek kepribadian warga negara yang perlu dikembangkan adalah keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa / kecerdasan ruhiyah, kecerdasan emosional sebagai warga negara (a.l. kepekaan sosial, cinta tanah air, tertib, memiliki integritas, partisipatif), keberadaban/ ahlak mulia, kepercayaan diri, komitmen tehadap kehidupan demokrasi (a.l. sadar akan kewajiban dan hak, menjunjung tinggi hukum, menjungjung tinggi hak asasi manusia, dan terbuka) dan tanggung jawab sebagai warga negara ( sicio-civic responsibility). Maka PKn merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang seperti diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945, serta mengemban misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembelajaran
Pendidikan
Kewarganegaraan
merupakan
sebuah
pembelajaran yang berusaha membina para siswa menjadi manusia di masa depan yang akan hidup dengan nilai-nilai dari Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Nasionalisme dan Kebangsaan serta memiliki tanggung jawab yang penuh.
��
Sejalan dengan uraian tersebut di atas maka hal ini dijelaskan oleh Wahab (1996 : 26) karakteristik Pembelajaran Kewarganegaraan adalah sebagai berikut : Pendidikan Kewarganegaraan juga bertujuan mengembangkan kompetensi-kompetensi dasar dari warga negara untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan sebagai warga negara. Pelatihan yang dibutuhkan meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan agar kualitas partisipasinya sebagai warga negara benar-benar dapat diandalkan. Secara epistemologis PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan pengembangan dari salah satu dari lima tradisi social studies yaitu citizenship transmition (Barr, Barrt, dan Shemis dalam Winataputra dan Sapriya, 2003 : 95).
Kegiatan epistemologi kewarganegaraan mencakup metodologi penelitian dan metodologi pengembangan. Kajian kebermaknaan dalam PKn berkaitan dengan berbagai manfaat dari hasil penelitian dan pengembangan dalam PKn yang telah dicapai bagi pendidikan PKn di dunia. Hasil penelitian dan pengembangan Pendidikan Sosial dan Kewarganegaraan, dalam dunia persekolahan banyak memberikan manfaat dalam merancang program pendidikan guru, meningkatkan kualitas kemampuan guru, meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan kualitas sarana dan sumber belajar, dan meningkatkan kualitas penelitian dan pengembangan. Adapun
kerangka
sistemik
Pendidikan
Kewarganegaraan
menurut
Budimansyah (Depdiknas, 2003:1), dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut : a. PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berahlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab; b. PKn secara teoritik dirancang sebagai subyek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang
��
bersifat saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan Bela negara; c. PKn secara programatik dirancang sebagai subyek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai ( Content embedding values) dan pengalaman belajar ( learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. d. Sekolah sebagai lembaga resmi pendidikan memiliki peranan dan tanggung jawab yang sangat besar guna mempersiapkan peserta didiknya untuk menjadi warga negara yang baik seperti yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional.
Beberapa upaya yang telah dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tersebut, salah satunya adalah dengan menyelenggarakan program pendidikan kepada peserta didik yang dapat menumbuhkan kemampuannya sebagai warga negara yang baik melalui mata pelajaran PKn. Seperti yang dikatakan Idrus Affandi (2001 : 7) bahwa : "Ilmu Kewarganegaraan merupakan aplikasi dari ilmu politik yang diperuntukan bagi persekolahan". Maka PKn merupakan pengajaran membina peserta didik agar melek politik, dengan demikian PKn dikenal memiliki fungsi sebagai pendidikan nilai-moral dan sebagai pendidikan politik.
2.6.
Penelitian-penelitian Terdahulu yang Relevan
Pemaparan temuan-temuan penelitian di dalam kerangka kajian teoritik tulisan ini sesungguhnya merupakan salah satu komponen awal dan menjadi dasar serta arah bagi langkah-langkah penelitian selanjutnya. Oleh sebab itu paparan berikut difokuskan untuk mengungkapkan hasil-hasil penelitian terdahulu berkenaan dengan investigasi ataupun investigasi kelompok dalam berbagai implementasinya.
��
Melalui sebuah topik pembahasan tentang Promoting Group Investi-gation in a Graduate Level ITV Classroom : Reflection and Recoornedation Peters, Oaks
dan Parkey (2000), mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa dua aspek paling mendasar yang terjadi dari pengembangan model investigasi adalah; (1) mendorong ketelibatan siswa untuk berpikir secara optimal ( thoughtfulness), (2) menumbuhkan kemampuan untuk memberikan respon terhadap teknik-teknik yang sulit (responding to technical difficulities). Di samping kedua dampak utama tersebut, model ini menurutnya juga mampu meningkatkan kebersamaan di kelas dan kohesivitas kelompok ( classroom community and group cohesiveness). Dalam suatu Cultic Studies telah dilakukan sebuah investigasi terhadap tanggapan secara psikologis kelompok abusive pada beberapa sekolah sasaran yang dilakukan oleh Langone (2003: 1), exexutive director Cultic Studies Journal dan
menemukan
perbedaan
secara
jelas
tentang
dua
kelompok
yang
diperbandingkan, yaitu kelompok subjek yang berasal dari Boston dan Katolik atau lulusan InterVarsity dalam aspek abusive. Sebuah review model penelitian berbasis komputer pada precollege science classrooms, Strantford (2003: 1) memaparkan pembahasan dari beberapa
hasil penelitian tentang pengembangan model penelitian atau investigasi dalam berbagai bidang ilmu atau beberapa aspek pembelajaran yang berbeda. Penelitian antara lain dilakukan oleh Fuertzeig (1992), yang difokuskan pada penggunaan dan keuntungan visualisasi di dalam
model-based inquiry activities dan
menemukan bahwa model investigasi dalam beberapa hal mampu mendorong
��
pengalaman kerja yang lebih kongkrit dan menumbuhkan motivasi yang tinggi terhadap siswa-siswa sekolah tinggi. Seperti juga model investigasi kelompok yang mengharuskan siswa mengamati langsung proses pembelajaran di kelas sebagai suatu model, penelitian serupa juga telah dilakukan oleh Smith & Blankinship (1999 : 1), yang menemukan bahwa model visualisasi ini adalah merupakan cara di mana siswa melaksanakan class inquiry. Melalui pengamatan langsung terhadap proses ini siswa akan lebih mudah mendeteksi pola-pola dan menyusun pemikiran terhadap data yang kompleks. Lebih lanjut dijelaskan bahwa di dalam aktivitasnya siswa menggunakan kamera dan video untuk menginvestigasi dan menjelaskan fenomena-fenomena yang komplek. Dengan demikian pada akhimya siswa mampu menyusun model kualitatif untuk menyimpulkan temuan-temuan mereka. Sebuah laporan tertulis tentang Effective Teaching Strategies, Lesson from Research and Practice, Killen (1998 : 99) mengungkapkan bahwa di dalam
banyak cara, model investigasi kelompok (GI) tidak jauh berbeda dengan strategi penelitian siswa (student research). Pada awal pembahasannya dikemukakan bahwa model investigasi atau penelitian siswa akan sangat berhasil untuk membantu siswa dalam belajar bilamana isu yang diinvestigasi tersebut realistik dan memiliki kompleksitas kelayakan. Lebih lanjut dalam tulisannya dipaparkan beberapa bentuk investigasi siswa dan efektivitas dari penerapan model ini terutama terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman siswa sebagaimana di antaranya dipaparkan berikut :
��
Penelitian
yang
dilakukan
Podani
(1994),
yang
mendeskripsikan
bagaimana mengajarkan siswa untuk menggunakan metode penelitian sejarah untuk menemukan berbagai cerita (sejarah). Metode tersebut temyata mampu mendorong motivasi siswa untuk mendapatkan informasi-informasi yang iebih aktual dan lebih beragam dari berbagai sumber dibandingkan dengan mereka hanya belajar dari buku-buku yang sudah tersedia. Langone (2003:2), di samping membahas efektivitas investigasi, juga memaparkan secara tegas tentang rasionalitas pentingnya dikembangkan metode atau pendekatan ini di dalam mewujudkan hasil belajar yang lebih mendalam. Dikemukakan bahwa perubahan-perubahan teknologi terjadi demikian cepatnya, dan text books dengan cepat menjadi out dated . Kegiatan yang dilakukannya adalah menugaskan kepada siswa-siswa untuk melakukan investigasi dan selanjutnya membaca secara kritis, mengevaluasi dan menulis kembali catatancatatan tentang Soviet Union guna merefleksikan perubahan-perubahan yang terjadi. Melalui pembahasannya diungkapkan bahwa kegiatan seperti ini mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan siswa di dalam menempatkan dan mengevaluasi informasi serta memberikan dorongan yang besar sehingga mereka mampu mengekpresikan ide-ide mereka dalam menulis. Killen (1998 : 100) juga memiliki perhatian yang besar dalam mencermati aktivitas guru-guru bahasa dalam mengembangkan minat membaca dan menulis bagi anak-anak. Menurutnya guru-guru bahasa seringkali menemui kesulitan di dalam
menemukan
ide-ide
yang
menarik.
Melalui
penelitiannya
ia
mendeskripsikan bagaimana siswa-siswa dibimbing untuk melakukan penelitian
��
dan menulis paper secara individual di dalam bahasa perancis, dan untuk selajutnya hasil-hasil final dari kegiatan tersebut dipergunakan sebagai sumber bagi seluruh anggota di dalam kelas. Lee (2000), bahkan telah melakukan investigasi yang berlanjut terhadap berbagai aktivitas yang dapat dipergunakan relevan dengan keadaan saat ini untuk suatu pengkajian berbagai konsep dan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan-kegiatan dari seluruh produk manufaktur. la menekankan bahwa dalam kebanyakan pelajaran dan unit-unit di dalam sains dan teknologi dapat diorganisasi sekitar kehidupan seperti permasalahan memperoleh makanan, pakaian, perumahan, transportasi dan komunikasi yang kesemuanya itu dapat dikenal dan dijabarkan secara jelas melalui investigasi terhadap objek-objek yang dilakukan manusia. Gambaran-gambaran kegiatan yang dikemukakan di atas dalam kegiatan pembelajaran dilakukan dalam bentuk : (1) penggunaan workshop dan fasilitas laboratorium, (2) pengelompokan guru-guru ( teaming of teachers), (3) mata pelajaran antar displin ilmu (interdisciplinary subject matter ), ), (4) melakukan investigasi terhadap kegiatan belajar ( investigation of learning activities), dan (5) co-operative co-operative learning). Kesemuanya ini merupakan bentuk-bentuk kegiatan yang
sangat baik dan penggunaan the real-world problems sebagai fokus pembelajaran. Penjelasan ini semakin memperkokoh temuan yang diungkapkan Roth (1991), yang menemukan bahwa berbagai bentuk aktivitas dengan menggunakani the real-world seperti investigasi atau penelitian siswa mampu memberikan dorongan
(motivasi bagi siswa, seperti yang dilakukannya terhadap penggunaan komputer
��
untuk mengembangkan pengertian konseptual, menghubungkan situasi-situasi permasalahan kepada model-model matematika, dan menggunakan model-model tersebut untuk menganalisis masalah the real-world yang lainnya. Cara-cara seperti ini menurutnya sangat mudah dipergunakan dengan sedikit modifikasi di dalam mengajarkan teknologi. Selain objek-objek investigasi sebagaimana dipaparkan di atas terdapat beberapa investigasi yang terarah pada pengembangan kemampuan siswa mengumpulkan berbagai informasi melalui internet sebagaimana dilakukan oleh Niskanen (2003 : 3). Kegiatan yang dilakukan oleh siswa adalah mengumpulkan data-data original dari internet untuk menjawab sejumlah pertanyaan tentang pendidikan di dalam negara mereka, dan mencari bentuk-bentuk komunikasi di dalam mendukung masyarakat global. Penelitian siswa semacam ini telah memberikan manfaat yang besar guna memperkaya m emperkaya pengetahuan pengetahuan siswa tentang t entang the real-world dan meningkatkan penalaran mereka untuk melakukan kedalaman
analisis Di samping penelitian di atas terdapat beberapa penelitian lain tentang metode investigasi kelompok dan juga tentang keterampilan sosial yang telah dilakukan di beberapa tempat atau sekolah di Indonesia, beberapa telah dipublikasikan dalam karya tulis ilmiah di perguruan tinggi. Penelitian Aunurrahman,
tersebut
tahun
2005
antara
lain
tentang
penelitian
model
yang
investigasi
dilakukan kelompok
oleh untuk
meningkatkan kemampuan profesional calon guru dalam proses pembelajaran nilai-nilai moral pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (studi terhadap
��
kemampuan mahasiswa sebagai calon guru PKn di STKIP PGRI Pontianak). Secara
substansial
penelitian
ini
diarahkan
untuk
menemukan
dan
mengembangkan model investigasi kelompok yang sesuai dan aplikatif bagi upaya peningkatan kemampuan profesional guru dalam proses pembelajaran nilainilai moral Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Kewarganegaraan. Model ini dikembangkan dikembangkan melalui mata kuliah Profesi Kependidikan pada mahasiswa Program Studi PPKn STKIP PGRI Pontianak. Dengan memadukan pendekatan kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini menemukan beberapa hal sebagai berikut: (1) secara nyata model investigasi kelompok yang dikembangkan mampu meningkatkan pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang proses pembelajaran nilai-nilai moral PPKn, menumbuhkan rasa tanggung jawab, kehangatan hubungan dan penghargaan terhadap orang lain serta meningkatkan wawasan tentang investigasi kelompok sebagai salah satu model pembelajaran, (2) untuk meningkatkan efektivitas hasil pengembangan model, maka tahapan dari mekanisme dan prosedur pengembangan model harus dilakukan secara terintegrasi mulai dari langkah penemuan dan perumusan model konseptual sampai uji coba secara luas, (3) koordinasi yang intensif antara dosen dan mahasiswa serta sekolah tempat investigasi menjadi prasyarat yang sangat mendasar untuk mewujudkan efektivitas model yang dikembangkan, (4) alat pengumpulan data di samping observasi dan wawancara perlu dilengkapi dengan dialog langsung kepada siswa, (5) upaya-upaya peningkatan kemampuan profesional guru PPKn di sekolah belum menyentuh aspek-aspek esensial pembelajaran dan pembinaan moral siswa secara khusus, (6) dalam upaya peningkatan kemampuan mahasiswa sebagai
��
calon guru, STKIP PGRI Pontianak terus melakukan beberapa langkah terutama peningkatan kualitas tenaga pengajar dan pembenahan kurikulum. Namun masih belum optimal dalam pendayagunaan lembaga-lembaga kemahasiswaan serta mengupayakan perubahan pendekatan perkuliahan dosen yang sebagian besar masih menerapkan pendekatan konvensional. Berdasarkan temuan tersebut direkomendasikan: (1) pengembangan lebih luas model ini untuk berbagai mata kuliah bagi upaya peningkatan pengetahuan dan perluasan pengalaman mahasiswa, (2) pengembangan model ini hendaknya didahului dengan pembahasan dan pemberian bekal pengetahuan yang memadai kepada mahasiswa terutama tentang mekanisme pengumpulan data dan analisis temuan, (3) institusi STKIP sebagai LPTK harus mampu menjabarkan secara kongkrit dan jelas profil lulusan yang diharapkan dan secara progresif mengembangkan langkah-langkah inovatif guna mewujudkan peran lembaga secara optimal, (4) dalam berbagai keterbatasannya, penelitian ini memberikan banyak inspirasi akan perlunya penelitian lanjutan untuk memperdalam atau memperluas temuan-temuan penelitian ini. Penelitian yang dilakukan oleh Arif Syaifurrohman yaitu penerapan model investigasi kelompok terhadap kelompok enam siswa kelas X-2 SMA Laboratorium UM Malang Tahun Ajaran 2005-2006 untuk meningkatkan motivasi belajar sejarah. Hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa motivasi belajar sejarah siswa masih rendah. Salah satu penyebab rendahnya motivasi belajar sejarah ini adalah kecenderungan penerapan pola pembelajaran yang masih berpola pada metode ceramah saja. Sedangkan kegiatan kelompok
��
jarang sekali dilakukan. Selain itu hasil observasi juga menunjukkan bahwa tingkah laku siswa yang kurang positif dalam mengikuti pelajaran di kelas. Terdapat beberapa anak yang memiliki kecenderungan untuk berkelompok dan berbicara sendiri bahkan terkadang mengganggu temannya yang sedang menyimak. Salah satu pembelajaran yang diduga dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan motivasi belajar sejarah siswa adalah metode pembelajaran kooperatif model investigasi kelompok.
Model investigasi
kelompok terdiri dari enam tahap yaitu: (1) kelas menentukan sub topik dan organisasi ke dalam kelompok-kelompok, (2)
rencana kelompok-kelompok
penyelidikan, (3) kelompok-kelompok penyelidikan melaksanakan rencana penyelidikan, (4) kelompok-kelompok penyelidikan merencanakan presentasi, (5) kelompok-kelompok penyelidikan melaksanakan presentasi dan (6) evaluasi. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan motivasi belajar sejarah siswa SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang Kelas X-2 tahun ajaran 2005-2006. Penelitian dilaksanakan pada semester I tahun pelajaran 2005-2006 mulai bulan November 2005 sampai dengan bulan Januari 2006. Penelitian ini menggunakan pendekatran kualitatif dan jenis penelitiannya Classroom Action Research. Penelitian tindakan terdiri dua siklus, masing-masing
siklus terdiri dari : rencana tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Subjek penelitian adalah satu kelompok belajar kooperatif yakni kelompok enam dari siswa kelas X-2 yang berjumlah enam orang siswa. Hasil analisis dan refleksi tindakan pada siklus 1 dan siklus 2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan motivasi baik dalam proses pembelajaran yaitu ditunjukkan
��
dengan semakin meningkatnya aktivitas dan keterampilan kooperatif siswa dan setelah penerapan pembelajaran kooperatif model investigasi kelompok yang ditunjukkan dengan peningkatan skor angket motivasi belajar sejarah siswa. Peningkatan aktivitas dan keterampilan kooperatif siswa yang sangat menonjol pada tiap-tiap siklus. Dalam hal motivasi belajar siswa, masing-masing subjek penelitian yaitu CAB, K, MIT, MR, TYA dan YNP mengalami peningkatan persentase jumlah skor angket motivasi masing-masing adalah 1,6%, 0%, 12%, 5,6%, 13,6% dan 7,2%. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap kelompok enam siswa kelas X-2 SMA Laboratorium UM Malang tahun ajaran 2005-2006 menunjukkan terdapat peningkatan motivasi belajar setelah dilaksanakannya penerapan
model
pembelajaran
investigasi
kelompok.
Dengan
adanya
peningkatan tersebut diharapkan guru bidang studi melaksanakan kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan metode yang lebih bervariasi. Salah satunya adalah dengan menggunakan model pembelajaran investigasi kelompok. Penelitian lain tentang investigasi kelompok adalah penelitian yang dilakukan oleh Ani Aisyah tahun 2006 dengan judul pengaruh penerapan model pembelajaran investigasi kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika (siswa kelas X di SMAN 6 Bandung). Penelitian ini bertitik tolak pada permasalahan bagaimana pengaruh penerapan model pembelajaran investigasi kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada kelompok siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui pengaruh model pembelajaran investigasi kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada kelompok siswa
��
berkemampuan tinggi, sedang dan rendah, (2) Mengetahui aktivitas siswa selama proses pembelajaran, (3) Mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran investigasi kelompok. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas X SMA Negeri 6 Bandung. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster random sampling, diperoleh tiga kelas sebagai kelas eksperimen. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan rancangan penelitian pretest postest satu kelompok. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan pemecahan masalah matematika, angket, jurnal harian dan lembar observasi. Data kuantitatif yang terkumpul dari instrumen diolah dengan menggunakan uji Anava satu jalur. Berdasarkan analisis data kuantitatif melalui uji Anava satu jalur diperoleh kesimpulan
bahwa
terdapat
perbedaan
kemampuan
pemecahan
masalah
matematika pada kelompok tinggi, sedang, dan rendah setelah diterapkannya model pembelajaran investigasi kelompok. Dengan perkataaan lain kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelompok tinggi lebih baik daripada pada kelompok sedang dan rendah, dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada kelompok sedang lebih baik daripada kelompok rendah. Sedangkan dari hasil analisis data kualitatif diperoleh kesimpulan bahwa siswa pada umumnya memberikan respon positif terhadap pembelajaran investigasi kelompok, dan aktivitas siswa lebih dominan daripada aktivitas guru. Dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran investigasi kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa kelompok tinggi, sedang dan rendah.
��
Penelitian yang dilakukan oleh Joko Sutrisno Ab, tahun 2006 tentang kemampuan
pemecahan
masalah
siswa
dalam
geometri
melalui
model
pembelajaran investigasi kelompok (studi eksperimen pada siswa kelas II SLTPN 4 Bandar Lampung). Dalam pembelajaran geometri saat ini, aktivitas guru masih sangat besar dibandingkan dengan aktivitas siswa. Masih banyak guru yang dalam pembelajaran geometri kurang memberikan kesempatan siswa aktif, serta kurang mewujudkan interaksi antar siswa. Kecenderungan pembelajaran yang demikian berpengaruh terhadap rendahnya hasil belajar siswa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menelaah efektivitas pembelajaran investigasi kelompok terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa dalam geometri, dibandingkan dengan pembelajaran model STAD dan konvensional. Selain itu untuk mengetahui aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran menggunakan model investigasi kelompok serta untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran geometri yang menggunakan model investigasi kelompok. Disain eksperimen yang digunakan berbentuk Pretest-Posttest Control Group Design. Populasinya adalah siswa kelas II SLTP Negeri 4 Bandar Lampung. Tiga kelas diambil sebagai sampel, satu kelas dijadikan kelas eksperimen yang dalam pembelajaran geometri menggunakan
model
investigasi
kelompok,
satu
kelas
dengan
model
pembelajaran tipe STAD, dan satu kelas lagi menggunakan model pembelajaran konvensional. Dari analisis varians (ANAVA) yang dilanjutkan dengan uji-t pada taraf signifikan 0,05 diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam geometri yang pembelajarannya menggunakan model investigasi kelompok dengan siswa yang dalam pembelajarannya
��
menggunakan model STAD. Rataan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam geometri yang pembelajarannya menggunakan model investigasi k elompok lebih baik daripada siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan model pembelajaran konvensional. Jika ditinjau dari persentase ketuntasan belajar, kemampuan
pemecahan
masalah
siswa
dalam
geometri
yang
dalam
pembelajarannya menggunakan model investigasi kelompok lebih baik dari siswa yang pembelajarannya menggunakan model STAD maupun model konvensional. Selama pembelajaran geometri menggunakan model investigasi kelompok, aktivitas siswa yang dominan adalah berdiskusi antar sesama siswa. Sedangkan aktivitas guru lebih banyak mengamati kegiatan siswa, memotivasi, dan memberi petunjuk dan membimbing kegiatan siswa. Respon siswa terhadap pembelajaran geometri menggunakan model investigasi kelompok sangat baik. Pada umumnya siswa merasa senang dengan pembelajaran menggunakan model investigasi kelompok dan berminat untuk mengikuti pembelajaran berikutnya. Dengan demikian model pembelajaran kooperatif khususnya model investigasi kelompok perlu dijadikan model alternatif dalam rangka meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa dalam geometri.
Salah satu penelitian tentang keterampilan sosial dilakukan oleh Erliany Syaodih,
yaitu
meningkatkan
pengembangan
keterampilan
model
sosial.
pembelajaran
Pelaksanaan
kooperatif
pembelajaran
untuk
kooperatif
merupakan langkah implementasi dari rencana pembelajaran kooperatif, berisi rincian dari prosedur pembelajaran. Sama dengan pada prosedur ada empat langkah utama yang merupakan sintaks dari model pembelajaran kooperatif hasil
��
pengembangan,
yaitu
langkah
:
orientasi,
eksplorasi,
pendalaman
dan
penyimpulan. Langkah Orientasi atau kegiatan awal pembelajaran merupakan langkah untuk mendorong kelas memusatkan perhatian terhadap pembelajaran; Langkah Eksplorasi atau kegiatan inti pertama, merupakan langkah untuk mengajak dan mendorong siswa untuk mencari dan menemukan fakta, pengetahuan, masalah dan pemecahan; Langkah Pemantapan atau kegiatan inti kedua, merupakan langkah untuk memperdalam, memperluas, memantapkan, memperkuat penguasaan materi dan kemampuan yang telah dicapai pada langkah eksplorasi; dan Langkah Penyimpulan atau kegiatan akhir pembelajaran, merupakan langkah untuk menyimpulkan atau merangkumkan dan menegaskan tentang apa yang telah dipelajari. Model pembelajaran kooperatif hasil pengembangan memiliki kelebihan dibandingkan dengan model pembelajaran biasa (ekspositori) dalam dua aspek yang menjadi sasaran pembelajaran, yaitu penguasaan: keterampilan sosial dan pengetahuan. Kelebihan dari model pembelajaran ini diperlihatkan oleh perbedaan tingkat penguasan yang cukup berarti dari hasil tes akhir dibandingkan dengan hasil tes awal, baik dalam aspek keterampilan sosial maupun pengetahuan IPS. Temuan tersebut diperkuat oleh hasil analisis perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen atau yang menggunakan model pembelajaran kooperatif memiliki tingkat penguasaan dalam aspek keterampilan sosial dan pengetahuan yang lebih tinggi dan perbedaannya cukup berarti dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dalam tes awal pasangan-pasangan tersebut tidak menunjukkan
��
perbedaan yang berarti, atau perbedaannya berarti tetapi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pada tes akhir. Penelitian yang dilakukan oleh Rambat Nur Sasongko, tahun 2001 tentang model pembelajaran aksi sosial untuk pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial (studi eksperimental pada mahasiswa peserta kuliah kerja nyata Universitas Bengkulu). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya gejala erosi nilai-nilai dan keterampilan sosial di kalangan mahasiswa. Untuk mengatasi hal tersebut, salah satunya dengan membenahi sistem pendidikan di perguruan tinggi, melalui penerapan model pembelajaran aksi sosial pada Kukerta. Atas dasar itu, dapat dirumuskan permasalahan penelitian, apakah model pembelajaran aksi sosial efektif untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial pada mahasiswa peserta Kukerta. Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas model pembelajaran aksi sosial dalam menengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial pada mahasiswa peserta Kukerta. Diharapkan dapat tercipta inovasi model dalam bentuk manual praktis yang bermanfaat bagi pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial mahasiswa. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan disain empat kelompok Solomon. Subjek penelitian berjumlah 120 orang mahasiswa peserta Kukerta yang dipilih secara random. Instrumen yang digunakan terdiri atas tiga set, yakni : (1) pedoman perlakuan penggunaan model, (2) kuesioner nilai-nilai sosial, dan (3) kuesioner keterampilan sosial. Analisis data menggunakan statistik deskriptif, kovarians, korelasi dan regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa model pembelajaran aksi sosial efektif untuk mengembangkan nilai-nilai dan keterampilan sosial mahasiwa peserta Kukerta.
��
Dengan menerapkan model ini, mahasiswa menjadi meningkat nilai-nilai dan keterampilan sosialnya. Mereka lebih prososial dan lebih terampil bersosial. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak menerima perlakuan model, lebih rendah tingkatannya. Mahasiswa yang prososial lebih memiliki rasa kasih sayang, bertanggung jawab, dan serasi hidupnya. Demikian pula mahasiswa yang terampil bersosial, lebih matang dalam perilaku terhadap lingkungan, interpersonal, diri sendiri, dan tugas-tugasnya. Selain hal tersebut, ditemukan juga bahwa nilai-nilai sosial menentukan keterampilan sosial, demikian pula sebaliknya. Rekomendasi penelitian ini diantaranya : (1) model pembelajaran aksi sosial dapat dijadikan solusi alternatif dalam pengembangan nilai-nilai dan keterampilan sosial mahasiswa, dan (2) disediakan manual praktis penggunaan model pembelajaran aksi sosial. Penelitian yang dilakukan oleh Elan, tahun 2005 tentang upaya menumbuhkan keterampilan sosial siswa dalam partisipasinya sebagai warga negara melalui pendekatan belajar mengajar kontekstual (suatu studi deskriptif proses belajar mengajar pendidikan pancasila dan kewarganegaran di SMA Negeri Haugeulis Kabupaten Indramayu, Jawa Barat). Pendekatan belajar mengajar konstektual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannnya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Penelitian ini diarahkan untuk menngetahui upaya guru PKn dalam menumbuhkan sikap keterampilan sosial siswa, yaitu seperti: perencanaan PBM untuk menumbuhkan
��
sikap keterampilan sosial siswa, materi, kendala, dan upaya apa yang dilakukan dalam mengatasi kendala menumbuhkan sikap keterampilan sosial siswa dalam partisipasi sebagai warga negara. Landasan teoritik yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai sosial sebagai sandaran hidup bermasyarakat siswa, yaitu meliputi konsep pembelajaran kontekstual, konsep keterampilan sosial, dan konsep warga negara yang baik. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif, sedangkan alat pengumpul datanya melalui berberapa cara, yaitu observasi, wawancara, angket, studi literatur dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan belajar mengajar kontekstual telah dilakukan oleh guru PKn dalam menumbuhkan sikap keterampilan sosial siswa, yaitu dengan menyusun rencana pengajaran, melengkapi administrasi pembelajaran, menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi, melakukan evaluasi, dan mengumumkan hasil ujian siswa. Pengaruh pelaksanaan mengajar belajar dengan menggunakan pendekatan kontekstual antara lain: 1). tumbuh kembali motivasi belajar siswa karena proses belajar mengajar kontekstual berlangsung dalam suasana yang menyenangkan karena digali dari pengalaman belajar siswa. 2). mereka dapat berbuat dan bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat seperti toleransi, tanggung jawab, memiliki jiwa wirausaha, tolong menolong, kerja sama, dan disiplin. 3). Mereka mampu berpartisipasi sebagai warga negara yang baik di masyarakat. 4). Mereka memiliki budi pekerti luhur. Disamping keberhasilan tersebut, kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait perlu ditingkatkan. Selain itu ada penambahan waktu bagi pelajaran PKn di kelas dan sarana prasarana yang
��
memadai secara kualitas dan kuantitas guna lebih mendukung pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan. Sejumlah hasil penelitian yang dipaparkan di atas memberikan arah yang jelas tentang manfaat atau dampak dari penggunaan metode investigasi kelompok dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa, baik yang berdampak langsung maupun tidak langsung. Hal ini semuanya menjadi sangat penting artinya untuk memperkokoh landasan serta arah penelitian ini.
��