Makalah
Terapi nutrisi pada pasien sindrom metabolik
Disusun Oleh : Dara Putri Para Medika
G99162094
Pembimbing : Septian Adi Permana dr., Ap.An., M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR. MOEWARDI SURAKARTA 2018 0
BAB 1 PENDAHULUAN
Sindrom metabolik didefinisikan sebagai sekelompok kondisi klinis tertentu yang meliputi obesitas sentral, hiperglikemia, dislipidemia dan hipertensi. Faktorfaktor penyusun sindrom metabolik tersebut menjadi faktor risiko yang bermakna untuk pengembangan terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2 (DMt2) (Bahadir et al ., ., 2007). Resistensi insulin dan obesitas sentral diduga menjadi patogenesis yang mendasari terjadinya sindrom metabolik (IDF, 2006). Prevalensi sindrom metabolik di Asia Timur sekitar 8-13% pada pria dan 218% pada wanita dan mencapai 40% pada usia 60 tahun. Prevalensi sindrom metabolik juga meningkat pada ras tertentu, di Amerika Serikat tertinggi pada ras Afrika Amerika Amerika karena mereka mempunyai kondisi obesitas, hipertensi dan diabetes. Peningkatan sindrom metabolik pada ras tertentu membuat kriteria diagnosis bervariasi (Wang, 2012). Diet dan aktivitas fisik adalah hal yang penting dalam perkembangan sindrom metabolik. Hal tersebut berpotensi menurunkan tingkat keparahan, menurunkan progresivitas semua risiko metabolik, dan dapat menunda terapi menggunakan obat pada pasien sindrom metabolik. Untuk alasan itu, intervensi utama untuk menangani sindrom metabolik adalah terapi gaya hidup.
1
BAB 1 PENDAHULUAN
Sindrom metabolik didefinisikan sebagai sekelompok kondisi klinis tertentu yang meliputi obesitas sentral, hiperglikemia, dislipidemia dan hipertensi. Faktorfaktor penyusun sindrom metabolik tersebut menjadi faktor risiko yang bermakna untuk pengembangan terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2 (DMt2) (Bahadir et al ., ., 2007). Resistensi insulin dan obesitas sentral diduga menjadi patogenesis yang mendasari terjadinya sindrom metabolik (IDF, 2006). Prevalensi sindrom metabolik di Asia Timur sekitar 8-13% pada pria dan 218% pada wanita dan mencapai 40% pada usia 60 tahun. Prevalensi sindrom metabolik juga meningkat pada ras tertentu, di Amerika Serikat tertinggi pada ras Afrika Amerika Amerika karena mereka mempunyai kondisi obesitas, hipertensi dan diabetes. Peningkatan sindrom metabolik pada ras tertentu membuat kriteria diagnosis bervariasi (Wang, 2012). Diet dan aktivitas fisik adalah hal yang penting dalam perkembangan sindrom metabolik. Hal tersebut berpotensi menurunkan tingkat keparahan, menurunkan progresivitas semua risiko metabolik, dan dapat menunda terapi menggunakan obat pada pasien sindrom metabolik. Untuk alasan itu, intervensi utama untuk menangani sindrom metabolik adalah terapi gaya hidup.
1
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Definsi
Sindrom Metabolik merupakan kumpulan perubahan metabolik termasuk obesitas sentral, hipertensi, dislipedemia, hiperglikemia yang meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes (Grundy et al., 2004). Konsep dari Sindroma metabolik telah ada sejak 80 tahun. Pada tahun 1920, dua dokter dari Austria (Karl Hitzenberger dan Martin Rictcher-Quittener) dan satu orang Spanyol Gregorio Maranon meneliti hubungan antara tekanan darah dan diabetes mellitus pada beberapa pasien. Pada saat yang sama, Kylin menjelaskan sindrom hipertensi-hiperglikemia-hiperurisemia. Pada 1947, pernyataan Vague yang menarik perhatian bahwa tumpukan jaringan adiposa tubuh bagian atas sebagai fenotipe obesitas
yang sering berhubungan dengan abnormalitas pada pasien
dengan diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. Pada tahun 1988, Reaven menjelaskan tentang “X Sindrom”. Dia memberikan hipotesis bahwa resistensi insulin merupakan etiologi tersering untuk kerusakan toleransi glukosa, hiperinsulinemia, dislipemia, dan hipertensi. Sindrom metabolik juga disebut sebagai sindrom resistensi insulin (Sarafidis,2006).
B. Epidemiologi
Prevalensi dari Sindrom Metabolik meningkat dengan cepat di d unia, sejajar dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan diabetes, ini dapat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang harus dipikirkan. Prevalensi Sindrom Metabolik bervariasi mulai dari 4% hingga 84% tergantung dari kriteria yang
2
dipakai, begitu pula parameter lain seperti usia, jenis kelamin, populasi, dan perbedaan etnis (Kolovou, 2007).
Gambar 1. Prevalensi Sindrom Metabolik (Cameron,2004)
C. Etiologi
Etiologi utama dari Sindrom Metabolik adalah Resistensi Insulin dan obesitas sentral/abdominal . Faktor genetik dan lingkungan juga berpengaruh terjadinya Sindroma Metabolik. Diperkirakan hanya 10% dari Sindrom Metabolik yang dijelaskan oleh kerentanan genetik, sisanya sisanya 90% perubahan pada lingkungan lingkungan dan atau interaksi epigenetik dengan potensi pewarnaan herditer (Bremer, 2012). Asupan energi yang terus menerus melalui diet karbohidrat, lemak dan protein dan tak terimbangi oleh aktivitas fisik, bisa menciptakan timbunan dari produk oksidasi ok sidasi mitokondria, hal tersebut berkaitan dengan disfungsi d isfungsi mitokondria
3
progresif dan resistensi insulin. Selain itu, komposisi makanan dan asupan kalori tampaknya dengan cepat mengatur mikrobiota usus, yang berinteraksi dengan selsel epitel host secara tidak langsung untuk mengontrol pengeluaran dan penyimpanan energi (Sweeney, 2013; Tilg, 2011).
Gambar 2. Etiolo i Sindrom Metabolik Bremer,2012 D. Diagnosis
Beberapa kriteria diagnosis telah diajukan oleh organisasi-organisasi berbeda selama satu decade terakhir. Definisi Sindrom metabolik secara resmi pertama kali dibuat oleh WHO pada tahun 1998. Sindrom Metabolik diidentifikasi sebagai
resistensi
insulin
diseratai
dengan
dua
kriteria
lain
(obesitas,
hipertrigliseridemia, HDL-kolesterol rendah, hipertensi, dan peningkatan ekskresi albumin pada urin)(Alberty,1998).
4
Tabel 1. Kriteria WHO untuk Sindrom Metabolik
Resistensi insulin diidentifikasi sebagai salah satu dari yang berikut:
Diabetes Melitus tipe 2
Gula darah puasa terganggu
Toleransi glukosa terganggu
Jika GDP<100mg/dl , hiperinsulinemia
Disertai 2 kriteria sebagai berikut:
BMI> 30kg/m2 atau Waist to hip ratio > 0.9 (pria) atau 0.85 (wanita)
Triliserida ≥ 150 mg/dl
HDL-Kolesterol <35 mg/dl atau <39 mg/dl (wanita)
Tekanan darah ≥140/90 mmHg atau dalam pengobatan
Ekskresi albumin dalam urin ≥20 μg/min atau rasio albumin/kreatinin ≥20 mg/g
Pada tahun 1999, European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) menyarankan bahwa istilah yang lebih tepat adlah sindrom resistensi insulin dan memodifikasi kriterianya menjadi hiperinsulinemia puasa ditambah 2 faktor lain dengan menggunakan titik potong yang berbeda dari yang digunakan oleh WHO (Tabel 2). American Association of Clinical Endocrinologists (AACE) juga merekomendasikan istilah ini dengan pernyataan yang menekankan bahwa seseorang yang memiliki resiko tinggi bukan hanya diabetes mellitus tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler, tetapi juga untuk penyakit lain yang berhubungan dengan resistensi insulin (sindrom polikistik ovarium, non-alcohol fatty liver disease, sleep apneu dan bentuk kanker tertentu) (Tabel 3) (Balkau, 1999; Einhorn, 2002).
5
Tabel 2. Kriteria EGIR untuk Sindrom Resistensi Insulin
Resistensi Insulin-hiperinsulinemia: 25% nilai insulin puasa dari populasi non diabetes Ditambah 2 atau lebih kriteria berikut:
Lingkar pinggang ≥ 94 cm (pria) atau ≥ 80cm (wanita) atau BMI ≥ 30kg/m2
Gula darah puasa ≥110mg/dl dan < 126 mg/dl
Trigiserida ≥180 mg/dl atau HDL-Kolesterol ≤ 40/dl
Tekanan darah ≥140/90 mmHg atau dalam pengobatan
Tabel 3. Kriteria AACE untuk Sindrom Resistensi Insulin
Trigiserida ≥ 150 mg/dl
HDL-Kolesterol < 40/dl (pria) atau HDL-Kolesterol <50 mg/dl (wanita)
Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau dalam pengobatan
Gula darah 2 jam post puasa > 140 mg/dl dan <200mg/dl
Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP) Adult Treatment Panel III (ATP-III) menyederhanakan definisi sindrom metabolik untuk memudahkan penggunanya. Kriteria ATP III terdapat 3 atau 5 faktor risiko: abnormalitas lingkar pinggang, trigliserida tinggi, HDLkolesterol rendah, Tekanan darah tinggi dan Gula darah puasa yang tinggi (tabel 4). Kriteria ini diperbaharui tahun 2005 disesuaikan dengan pembaruan dari American Diabetes Association (ADA) terhadap nilai normal gula darah puasa normal kurang dari 100 mg/dl (Grundy, 2005; NCEP, 2001).
6
Tabel 4. Kriteria TP III untuk Sindrom Metabolik
Tiga atau lebih dari kriteria tersebut:
Lingkar pinggang ≥ 102 cm (pria) atau ≥ 88cm (wanita)
Trigiserida ≥ 150 mg/dl
HDL-Kolesterol < 40/dl (pria) atau HDL-Kolesterol <50 mg/dl (wanita)
Tekanan darah ≥130/85 mmHg atau dalam pengobatan
Gula darah puasa > 110 mg/dl
Meskipun klasifikasi-klasifikasi ini setuju dengan komponen esensial dari sindrom ini (hiperglikemima, obesitas, hipertensi dan dislpidemia), mereka memiliki perbedaan dibeberapa kriteria dan titik potongnya. Definisi WHO dan EGIR mempertimbangkan bahwa Resistensi Insulin dan atau intoleransi glukosa merupakan hal yang esensial untuk sindrom ini, berbeda dengan ATP III yang mempertimbangkan hal tersebut hanya menjadi salah satu kriteria saja. Juga, orang dengan DM tidak termasuk pada kriteria EGIR dan AACE, tetapi mungkin termasuk di klasifikasi yang lain. Untuk menyatukan perbedaan klasifikasi, Internasional Diabetes Federation (IDF) menetapkan definisi baru dari Sindrom Metabolik yang didalamnya obesitas sentral sebagai kriteria yang diperlukan, dan membuat titik potong untuk pertamakalinya untuk menetapkan obesitas sentral di berbagai etnis (tabel 5) (Alberti, 2005).
7
Tabel 5. Kriteria IDF untuk Sindrom Metabolik
Obesitas Sentral ( Lingkar pinggang ≥ 90 cm (pria) atau ≥ 80cm (wanita) untuk etnis Asia
Trigiserida ≥ 150 mg/dl atau dalam pengobatan
HDL-Kolesterol < 40/dl (pria) atau HDL-Kolesterol <50 mg/dl (wanita)
Tekanan Sistolik ≥ 130 atau Diastolik ≥85 atau dalam pengobatan
Gula darah puasa ≥ 110 mg/dl atau sebelumnya didiagnosis DM tipe 2
Pada 2009, IDF, American Heart Association (AHA) dan National Heart Lung and Blood Institute mencapai konensus untuk kriteria Sindrom Metabolik (tabel 6) yang memakai titik potong yang berbeda pada lingkar pinggang sesuai etnis dan mempertimbangkan semua kriteria untuk menetapkan sindrom ini (Alberti, 2009).
Tabel 6. Kriteria Konsensus untuk Sindrom Metabolik: IDF-AHA/NHLBI
Teradapat 3 dari kriteria berikut:
Peningkatan lingkar pinggang, menyesuaikan etnis. ≥ 90 cm (pria) atau ≥ 80cm (wanita) untuk etnis Asia
Tekanan Sistolik ≥ 130 atau Diastolik ≥85 atau dalam pengobatan
Gula darah puasa ≥ 110 mg/dl atau dalam pengobatan
Trigiserida ≥ 150 mg/dl atau dalam pengobatan
HDL-Kolesterol < 40/dl (pria) atau HDL-Kolesterol <50 mg/dl (wanita)
8
E. Komponen sindrom metabolik
Klasifikasi ATP III mempertimbangkan 6 komponen dari sindrom metabolik. Masing masing dari mereka berhubungan dengan peningkatan risiko untuk penyakit kardiovaskuler. Namun, kriteria ATP III tidak memberikan pendekatan sensitivitas untuk mengidentifikasi resistensi insulin individu ( sesnstivitas 46%, spesifisitas 93%) (Cheal,2004).
Gambar 3. Komponen dari sindrom metabolic (Cheal,2004). A. Obesitas Sentral Peningkatan adipositas berhubungan dengan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Indeks massa tubuh yang lebih besar dari 25 kg / rn2 meningkatkan risiko kejadian penyakit kardiovaskuler. Kegemukan dan obesitas dikaitkan dengan resistensi insulin. Namun, obesitas sentral (diukur dengan lingkar pinggang atau pinggang ke panggul rasio) lebih kuat menjadi faktor risiko metabolik daripada indeks massa tubuh (IMT). Peningkatan jaringan adiposa intra-abdomen atau visceral mengakibatkan tingginya asam lemak bebas yang merupakan derivat jaringan adipose
9
(FFA) ke hati melalui sirkulasi splanknik, sedangkan peningkatan lemak di subkutan abdominal akan melepaskan produk lipolisis ke dalam sirkulasi sistemik dan menghindari lebih banyak efek langsung metabolisme di hati (misalnya, produksi glukosa, sintesis lipid, dan sekresi protein
protrombotik
seperti
fibrinogen
dan
inhibitor
aktivator
plasminogen-1) (gambar 3) (Eckel,2005). Meskipun lingkar pinggang adalah indikator paling terpercaya untuk mengukur adipositas visceral, tidak ada kesepakatan universal dalam cara mengukurnya. Saat ini protokol WHO merekomendasikan bahwa pengukuran dilakukan di tengah antara titik tertinggi dari krista iliaka dan bagian
bawah
tulang
rusuk,
sementara
NIH
merekomendasikan
menggunakan titik tertinggi dari puncak iliaka untuk mengambil pengukuran (Shuster, 2012). Meskipun pengukuran antropometrik (lingkar pinggang, rasio pinggang dan pinggul, diameter perut sagital) dirancang untuk memberikan komposisi tubuh secara kasar, namun hanya CT scan dan MRI yang menyediakan pengukuran langsung area cross-sectional atau pengukuran volumetrik jaringan adiposa visceral (Shuster, 2012).
B. Dislipedemia Dislipidemia aterogenik pada sindrom metabolik ditandai oleh hipertrigliserida dan kadar HDL-kolesterol rendah. Ada juga perubahan lain dalam lipoprotein: peningkatan partikel sisa, lipoprotein apo-B, dan adanya partikel LDL padat yang kecil (Eckel,2005). Untuk alasan yang masih belum jelas, subyek yang resisten terhadap insulin biasanya memiliki resistensi insulin hepatik yang selektif atau terdisosiasi ; yaitu, mereka memiliki homeostasis glukosa yang terganggu (yang mengarah ke peningkatan output glukosa hepatic), tetapi meningkatkan lipogenesis insulin-mediated hepatic de novo. Peningkatan 10
fluks FFA ke hati menghasilkan peningkatan produksi apo-B yang mengandung trigliserida yang kaya, lipoprotein dengan densitas sangat rendah (VLDL) (Gambar 3). Selain itu, Resistensi insulin juga bisa mengurangi konsentrasi lipoprotein lipase (LPL) di jaringan perifer ( yaitu di jaringan adiposa lebih dari otot). Perubahan dalam LPL ini, tampaknya berkontribusi
lebih
sedikit
terhadap
hipertrigliseridemia
daripada
overproduksi VLDL (Bremer, 2012). Pengurangan HDL-kolesterol adalah konsekuensi dari perubahan komposisi HDL dan metabolisme. Dalam pengaturan hipertrigliseridemia, partikel HDL kehilangan kolesterol dan mendapatkan trigliserida, membuat partikel lebih kecil dan lebih padat. Perubahan komposisi lipoprotein ini menghasilkan peningkatan pembersihan HDL dari sirkulasi. Komposisi LDL juga dimodifikasi dengan cara yang sama, muncul sebagai partikel LDL padat kecil yang mungkin lebih aterogenik. Rendahnya HDL-kolesterol dan tingkat trigliserida yang lebih tinggi menyertai adipositas yang lebih besar selama masa dewasa, tetapi pentingnya variabilitas batas trigliserida dapat menjadi prediktor atau prekursor penyakit kardiovaskuler. Efek trigliserida secara konsisten terbukti terkait dengan penyakit kardiovaskular pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria (Wilson,2004). C. Hipertensi Hipertensi telah menjadi elemen yang kontroversial dari sindrom resistensi insulin dan menyiratkan bahwa proses fisiologis lainnya terlibat dalam etiopatogenesis. Penting untuk dicatat bahwa insulin merupakan vasodilator ketika diberikan secara intravena kepada orang yang memiliki berat badan normal, dengan efek sekundernya untuk reabsorbsi sodium di dalam ginjal. Pada kasus Resistensi Insulin, efek vasodilator dari insulin dapat hilang, namun efek ginjal untuk reabsorbsi sodium masih ada. Asam lemak itu sendiri dapat memediasi vasokontriksi relatif. Insulin juga 11
meningkatkan aktivitas saraf simpatik, efek yang mungkin juga dapat muncul pada pasien resistensi insulin (Eckel,2005). Disamping itu, obesitas mungkin dapat mengarah kepada hipertensi melalui mekanisme yang berbeda.: peningkatan tonus pembuluh darah dapat terjadi karena penurunan bioavabilitas dari NO yang diakibatkan oleh peningkatan stress oksidatif, peningkatan tonus simpatik, peningkatan konsentrasi asimetris dimetilargine dan peningkatan angiotensinogen oleh jaringan lemak yang memicu aktivasi renin-angiotensin system (Dandona, 2005). D. Intoleransi Glukosa Kadar Glukosa telah dikaitkan dengan perkembangan penyakit kardiovaskuler dalam populasi. Pada pria berusia 35-64 tahun dengan DM tipe 2, risiko untuk sebagian besar kejadian penyakit kardiovaskuler setidaknya dua kali lipat untuk pria non-diabetes, dan wanita diabetes memiliki risiko yang lebih tinggi (risiko tiga kali lipat dibandingkan dengan
non-diabetes).
Oleh
karena
itu,
karena
risiko
penyakit
kardiovaskuler telah dibawa oleh diabetes sendiri, beberapa penulis menganggap bahwa mungkin tidak masuk akal untuk pasien dengan diabetes tipe-2 untuk mengetahui apakah mereka juga memenuhi kriteria sindrom metabolik, mengingat bahwa pasien-pasien ini harus dikecualikan dari definisi sindrom metabolik (Wilson, 2004). Kerusakan dalam kerja insulin dalam metabolisme glukosa termasuk berkurangnya kemampuan hormon untuk menekan produksi glukosa oleh hati dan ginjal, dan untuk memediasi penyerapan glukosa dan metabolisme dalam jaringan sensitif insulin (yaitu, terutama otot dan jaringan adiposa). Untuk mengimbangi defek dalam aksi insulin, sekresi insulin meningkat, dengan perkembangan hiperinsulinemia. Di sisi lain, resistensi insulin juga terdapat dalam sel beta pankreas, menyiratkan
12
bahwa sinyal yang menghasilkan sekresi insulin glucose-dependent telah dimodifikasi, dan asam lemak adalah kandidat utama untuk ini (lipotoxicity). Secara klinis kelainan ini dimanifestasikan di berbagai tahapan: gangguan glukosa puasa, gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2 (Eckel,2005). E. Keadaan Proinflamasi Hubungan sindrom metabolik dengan peradangan didokumentasikan dengan baik dan secara klinis ditandai oleh tingginya tingkat protein Creaktif (CRP). Tingkat CRP adalah prediktor independen dari kejadian penyakkt kardiovaskuler baru. Dalam penelitian baru-baru ini, 18 lokus yang berhubungan dengan kadar CRP diidentifikasi dalam analisis asosiasi genome. Adiposit menghasilkan sitokin inflamasi (misalnya TNF-alpha, IL-6) yang menstimulasi sintesis CRP di hati. Ada bukti bahwa makrofag yang berada di jaringan adiposa mungkin juga bertanggung jawab untuk sekresi sitokin ini, baik secara lokal maupun ke dalam sirkulasi sistemik. Juga, kadar adiponektin (hormon yang disekresikan oleh adiposit yang meningkatkan sensitivitas insulin dan yang memiliki efek antiinflamasi) menurun pada pasien dengan sindrom metabolic
(Dehghan,2011;
Eckel,2005). F. Keadaan Protrombotik Pasien dengan sindrom metabolik memiliki keadaan prothrombotik ditandai dengan tingginya tingkat inhibitor plasminogen-1 (PAI-1) dan fibrinogen. Yang terakhir adalah protein fase akut, yang sintesis hepatalnya dirangsang oleh sitokin proinflamasi (Eckel,2005). G. Manifestasi lain Pasien dengan sindrom metabolik lebih rentan terhadap beberapa penyakit, seperti penyakit ovarium polikistik, hiperurisemia, obstructive sleep apnea, dan perlemakan hati non-alkohol (NAFLD) dan lain-lain (Eckel,2005). 13
Spektrum perlemakan hati non-alkohol (NAFLD) berkisar dari steatosis asimtomatik hingga steatohepatitis non-alkohol (NASH) dan sirosis. Hingga 20% pasien dengan NASH dapat berkembang menjadi sirosis. Steatosis hati terjadi ketika asam lemak bebas, dirilis dalam regulasi resistensi insulin dan sindrom metabolik dan diambil oleh hati. Penambahan trauma biokimiawi, termasuk stres oksidatif, regulasi mediator inflamasi, dan disregulasi apoptosis, dapat bersatu untuk menghasilkan peradangan (memproduksi NASH) dan sirosis. Prevalensi NAFLD sangat dipengaruhi oleh kelompok ras / etnis; misalnya di Amerika Serikat itu sering terjadi pada orang Hispanik, menunjuk pada interaksi antara kerentanan genetik dan pengaturan nutrisi (Bremer, 2012; Lewis, 2010).
F. Intervensi gaya hidup pada sindrom metabolik
Obesitas sentral adalah etiologi utama dalam perkembangan sindrom metabolik. WHO telah mengidentifikasi beberapa faktor utama kematian di dunia. Delapan faktor risiko dari 61% kematian dengan penyebab penyakit kardiovaskuler, termasuk didalamnya tekanan darah tinggi, tingginya Indeks Massa Tubuh (IMT), kolesterol tinggi, gula darah tinggi, rendahnya konsumsi buah dan sayur dan kurangnya aktivitas fisik. Beberapa faktor yang disebutkan termasuk dalam definisi sindrom metabolik (Gortmaker,2011; Swinburn,2011). Diet dan aktivitas fisik adalah hal yang penting dalam perkembangan sindrom metabolik. Hal tersebut berpotensi menurunkan tingkat keparahan, menurunkan progresivitas semua risiko metabolik, dan dapat menunda terapi menggunakan obat pada pasien sindrom metabolik. Untuk alasan itu, intervensi utama untuk menangani sindrom metabolik adalah terapi gaya hidup. Hal tersebut terdiri dari penurunan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, diikuti dengan diet anti aterogenik dan berhenti merokok. Ketika kita menemukan pasien dengan sindrom metabolik, penilaian gaya hidup harus diperkenalkan, diperkuat dan 14
dimonitor. Penurunan berat badan (5-10% dari berat tubuh) dan aktivitas fisik sederhana (30 menit setiap hari) adalah target yang direkomendasikan (Eckel, 2005; Mozaffarian,2011;.Grundy,2012)
G. Diet
Diet yang ideal untuk seseorang dengan sindrom metabolik harus meningkatkan sensitifitas insulin dan mencegah atau memperbaiki matabolisme yang terkait dan abnormalitas kardiovaskuler. Banyak orang dengan sindrom metabolik kelebihan berat badan dan obesitas yang penyebab utamanya adalah resistensi insulin. Penurunan berat badan yang efektif mampu memperbaiki semua faktor risiko yang berhubungan dengan sindrom metabolik dan nantinya akan menurunkan faktor risiko terjadinya diabetes tipe 2. Penurunan berat badan dapat memperbaiki sensitifitas insulin dalam proporsi yang besar dibandingan dengan obat. Terapi dari obesitas terdiri dari perubatah diet, latihan, modifikasi tingkah laku, dan pada beberapa pasien dibutuhkan pengobatan atau pembedahan. Intervensi diet untuk menurunkan asupan energi dan aktifitas fisik bertujuan untuk meningkatkan pengeluaran energy sebagai terapi umum yang digunakan pasien kelebihan berat badan atau obesitas. Berbeda dengan terapi menggunakan obat-obatan atau pembedahan, diet dan aktivitas fisik dapat dicapai dengan modifikasi gaya hidup. Penurunan berat badan dan peningkatan aktifitas fisik memiliki keuntungan masingmasing delam pencegahan diabetes. Berbagai macam jenis diet telah dipakai untuk terapi obesitas. Pendekatan diet ini bervariasi mulai dari rekomendasi varietas total energi, kadar makronutrien (lemak, karbohidrat, protein), indeks glikemik, densitas energi, pengaturan porsi. Namun, sampai saat ini tak ada satupun pendekatan yang telah terbukti secara signifikan lebih baik dari yang lain, dan penurunan berat badan bertahap adalah faktor utama dalam pencapaian hasil yang diinginkan (Horton,2009).
15
a. Asupan energi Kadar energi dalam diet adalah penentu utama dalam menurunkan berat badan. Diet dapat diklasifikasikan sebagai: i. Diet rendah kalori: 12-20 kkal/kg Berat badan ideal/ h ari (50-70 kJ/kg), biasanya berkisar antara 800-1500 kkal/hari ii. Diet sangat rendah kalori : < 12kkal/kg berat badan ideal/hari (<50kJ/kg), biasanya kurang dari 800 kkal/hari Diet rendah kalori biasanya dapat menurunkan berat badan sekitar 8% dalam 6 bulan terapi. Berbeda dengan diet sangat rendah kalori biasanya menghasilkan penurunan berat badan hingga 15% -20% dalam 4 bulan. Sedangkan, diet sangat rendah kalori berhubungan dengan kurang baiknya dalam mempertahankan penurunan berat badan, dan berat badan mudah kembali naik dibandingkan dengan diet rendah kalori, jadi penurunan berat badan dalam 1 tahun setelah terapi dengan diet sangat rendah kalori tidak ada bedanya dengan diet rendah kalori. Banyak penulis dan panduan klinis merekomendasikan 500-1000 kkal/hari untuk diet pada pasien obesitas. Yang akan menghasilkan penurunan berat badan 0,45-0,9 kg dalam 1 minggu. Penting diingat bahwa hubungan antara penurunan berat badan dan waktu itu tidak linear, dengan menurunnya kemiringan kurva seiring berjalannya waktu (Hall,2010). Kebutuhan energi pasien sehari hari dapat diestimasi dari rumus dari Institute of Medicine’s Dietary Reference Intake for Energy untuk pasien obesitas (Institute of Medicine, 2002): Pria
TEE Total Energi Expenditure/ Total Pengeluaran Energi
16
AF ( Activity factor ) bergantung pada PAL ( physical activity level ):
AF= 1
jika aktivitasnya tidak aktif: PAL ≥ 1< 1,4
AF= 1,12
jika aktivitasnya ringan:
PAL ≥1,4<1,6
AF= 1,29
jika aktivitasnya aktif:
PAL ≥1,6< 1,9
AF= 1,59
jika aktivitasnya sangat aktif: PAL≥ 1,9<2,5
Wanita
TEE Total Energi Expenditure/ Total Pengeluaran Energi
AF ( Activity factor ) bergantung pada PAL ( physical activity level ):
AF= 1
jika aktivitasnya tidak aktif: PAL ≥ 1< 1,4
AF= 1,16
jika aktivitasnya ringan:
PAL ≥1,4<1,6
AF= 1,27
jika aktivitasnya aktif:
PAL ≥1,6< 1,9
AF= 1,44
jika aktivitasnya sangat aktif: PAL≥ 1,9<2,5
b. Distribusi makronutrien Secara umum telah diterima bahwa komposisi makronutrien suatu diet tidak mempengaruhi penilaian penurunan berat batdan. Sedangkan, beberapa konsep mengenai makronutrien utama telah diajukan dalam diet untuk pasien obesitas (Magkos, 2009):
17
Diet
rendah
lemak:
merupakan
pendekatan
standar
yang
dipertimbangkan untuk terapi pasien obesitas. Distribusi klasik dari makronutrien dalam diet untuk obesitas terlihat pada gambar 4, kolom kiri, dekat dengan rekomendasi untuk gaya hidup sehat. Meskipun banyak dokter berikan rekomendasi untuk diet ini, penurunan berat badan dengan diet rendah lemak dan penurunan berat badan dengan diet lain itu cukup sama, terutama setelah 12 bulan. Disamping itu, beberapa data menyarankan bahwa pasien obesitas yang berhasil mempertahankan penurunan berat badan jangka panjang, mengkonsumsi kalori dengan persentase lebih rendah dari lemak (Toblas, 2015).
Gambar 4. Diet untuk Sindrom Metabolik (Toblas, 2015).
Diet rendah karbohidrat: dalam beberapa tahun terakhir, penggunaan diet rendah karbohidrat telah menjadi fokus banyak penelitian. Pada semua penelitian, penurunan berat badan saat 3 dan 6 bulan pada subjek yang diacak, menggunakan diet rendah karbohidrat kurang lebih dua kali lipat (4-5 kg lebih banyak penuruan berat badan) dari grup diet rendah lemak. Namun, ketika pasien kontrol 1 tahun, penurunan berat badan tidak signfikan berbeda antara grup-grup tersebut. Tampaknya manfaat positif berasal dari pengurangan asupan
18
energi, dan bukan dari pembatasan karbohidrat itu sendiri. Diet rendah karbohidrat lebih bermanfaat dalam trigliserida serum dan konsentrasi HDL-C dibandingkan dengan diet rendah lemak, tetapi diet rendah lemak lebih bermanfaat dalam konsentrasi LDL-C serum. Tidak diketahui apakah perubahan ini terkait dengan efek menguntungkan jangka panjang pada penyakit jantung koroner. Kandungan rendah vitamin antioksidan, serat makanan dan kandungan tinggi dalam lemak total adalah penyebab kekhawatiran karena efek jangka panjang mereka, baik pada kesehatan global atau kesehatan kardiovaskular khususnya, belum dapat dievaluasi (Frigolet, 2011). Diet tinggi protein: Mengganti karbohidrat dengan protein juga telah diusulkan sebagai metode untuk menurunkan berat badan. Beberapa k euntungan telah ditunjukkan: konservasi massa tubuh tanpa lemak yang lebih baik, respon insulin postprandial yang lebih rendah, efek kenyang yang lebih besar dan menurunnya nilai trigliserid. Studi terbaru, Diogenes (Diet, obesity and Genes), telah diselidiki keberhasilan dari diet cukup lemak
yang bervariasi pada
kandungan protein dan indeks glikemik dalam pencegahan berat badan kembali naik dan obesitas terkait faktor pada fase awal penurunan berat badan. Kombinasi rendah protein dan rendah indeks glikemik adalah yang paling menguntungkan dalam hal sensitivitas tinggi pengurangan C reaktif protein. Namun, perbandingan dari diet tinggi protein iso energik dengan diet tinggi karbohidrat standar telah gagal untuk menunjukkan perbedaan penurunan berat badan. Ada juga yang harus diperhatikan bahwa diet ini dapat meningkatkan ekskresi kalsium urin dan pergantian tulang. Oleh karena itu, diet ini tidak bisa dipakai untuk terapi jangka panjang pada pasien sindrom metabolik (Fransworth,2003;Gogebakan,2011). Penting untuk menekankan bahwa total asupan energi dan kepatuhan dengan terapi nutrisi yang ditentukan lebih penting daripada distribusi makronutrien (Dansinger,2005).
19
c. Rekomendasi diet untuk sindrom metabolik Rekomendasi diet spesifik untuk pasien dengan sindrom metabolik telah dikemukakan (tabel 7) (Ricardi, 2000). Tabel 7. Rekomendasi diet untuk sindrom metabolik Sumber Gizi
Rekomendasi
Energi
↓ asupan energi hingga ↓ 5-10% dari berat badan tubuh atau berat badan yang ingin dipertahankan
Karbohidrat
↑ makananan indeks glikemik rendah ↑ asupan serat Hindari kentang, roti, pasta, nasi, sereal manis, minuman ringan, jus yang diberi pemanis
Protein
↑ ikan, rendah kandungan susu, protein nabati
Lemak
↓ lemak jenuh (<10% energi) dna asam lemak trans (<2% energi) ↑ asam lemak tak jenuh tunggal Gunakan minyak zaitun murni sebagai bahan dasar minyak untuk memasak
Lainnya
↓ asupan garam <6g/hari ↓ asu pan alkohol <2-3 gelas/hari
Energi:
Asupan
energi
harus
memungkinkan
pasien
untuk
mempertahankan berat badan, jika dapat diterima, atau sebaliknya untuk menguranginya dengan 5 hingga 10%. Penting bagi pasien untuk belajar membuat pilihan makanan yang baik, seperti makanan energi rendah, dan untuk
20
mengurangi porsi yang disajikan untuk mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi. Karbohidrat: Makanan dengan Indeks Glikemik rendah mungkin memiliki efek yang menguntungkan pada sensitivitas insulin dan tingkat lipid. Diet rendah indeks glikemik (tinggi dalam susu dan buah, tetapi rendah dalam kentang dan sereal) dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas insulin dan metabolisme lipid dan dengan penurunan faktor inflamasi kronis. Namun, tinjauan sistematis telah gagal untuk membuktikan manfaat ini. Respons glikemik terhadap makanan tertentu yang dicerna sebagai bagian dari makanan dapat diubah oleh banyak faktor, seperti metode persiapan dan pengaruh makanan yang diserap bersamaan pada motilitas usus. Namun demikian, buah buahan, sayuran, kacang-kacangan, dan sereal gandum dianggap sebagai komponen penting dari diet yang direkomendasikan. Sebaliknya, roti, kentang, pasta, dan beras olahan, semuanya dengan GI lebih tinggi, harus dikonsumsi secara hemat . Karbohidrat cair dikaitkan dengan kenyang lebih rendah dibandingkan dengan karbohidrat yang dikonsumsi dalam bentuk padat. Minuman ringan dan jus manis dianggap sebagai penyebab utama epidemi obesitas dan harus dihindari atau dihilangkan (Rivellese,2012; Hu,2013). Protein: Ikan, olahan susu rendah lemak, protein nabati dan daging tanpa lemak direkomendasikan. Beberapa penulis memberikan hipotesis bahwa sumber protein ini mengurangi resistensi insulin dibandingkan dengan daging merah, tetapi lebih banyak bukti diperlukan. Lemak: Kualitas lemak lebih penting daripada kuantitas. Mengikuti gaya diet Mediterania, asupan asam lemak tak jenuh tunggal harus merupakan 2025% dari total energi. Proporsi 60-70% dari asupan energi sebagai karbohidrat berindeks glikemik rendah bersama dengan asam lemak tak jenuh tunggal menjadi pilihan terbaik pada individu dengan sindrom metabolik. Pendekatan ini memfasilitasi kepatuhan dengan rekomendasi diet, karena memungkinkan pengurangan kurang drastis dari jumlah total lemak. Di sisi lain, lemak jenuh 21
dan asam lemak trans harus dibatasi hingga <10% dan <2% dari asupan energi, masing-masing. Sinyal yang datang dari tinjauan sistematis dan meta-analisis terbaru menunjukkan kurangnya asosiasi lemak jenuh dengan semua penyebab kematian, penyakit kardiovaskular, stroke atau DM tipe 2, tetapi bukti heterogen dengan keterbatasan metodologis. Asam lemak ω-3 memiliki efek anti trombotik dan dapat menurunkan risiko kardiovaskular. Pasien harus ingat bahwa kepadatan energi makanan berkorelasi langsung dengan kandungan lemaknya dan berkorelasi terbalik dengan kadar airnya. Penggunaan makanan dengan kepadatan energi rendah mungkin merupakan pendekatan yang tidak efektif untuk mengobati obesitas (Riccardi,2004). Distribusi
makronutrien:
Ketika
pembatasan
energi
ditentukan,
persentase protein sering lebih tinggi dari 20% dari total energi. Lemak dapat ditingkatkan hingga 35-40%, jika asam lemak tak jenuh tunggal ditambah karbohidrat berindeks glikemik rendah tambahkan hingga 60-70%. Dalam hal ini, karbohidrat dikurangi menjadi 40-45% dari total energi (Gbr. 4). Beberapa penulis menganjurkan diet 30-40-30 untuk pasien dengan sindrom metabolk dan diabetes tipe 2. Makanan yang termasuk dan dikeluarkan dari diet ini serupa dengan yang direkomendasikan di atas. Nutrisi lain: Menurut studi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), asupan garam sebaiknya tidak lebih tinggi dari 6 g natrium klorida / hari. Asupan alkohol harus kurang dari 2-3 minuman / hari (<30 g / hari) pada pria dan 1-2 (<20 g) pada wanita. Meskipun konsumsi alkohol sederhana dikaitkan dengan penurunan risiko relatif penyakit panas koroner, konsumsi alkohol dapat memperburuk faktor-faktor lain yang terkait dengan MS, seperti steatohepatitis atau trigliserida. d. Pola diet yang spesifik Banyak makanan dikonsumsi bersama, yang mengarah ke banyak interaksi potensial antara nutrisi dan makanan yang berbeda. Pengaruh dari semua ini dalam patogenesis dan pengobatan sindrom metabolik kurang p enting 22
daripada efek dari pola diet keseluruhan. Mereka tidak secara langsung terukur, tetapi mereka dikategorikan menurut metode statistik yang berbeda, baik d engan indeks diet atau dengan analisis faktor dan klaster. Beberapa pendekatan diet telah dianjurkan untuk pengobatan sindrom metabolik (Martinez,2013). Pendekatan diet khusus berikut telah direkomendasikan: Diet Mediterania mungkin bermanfaat bagi individu dengan sindrom metabolik. Dalam studi yang membandingkan diet Mediterania (tinggi buah-buahan, sayuran, kacangkacangan, biji-bijian, dan minyak zaitun) dengan diet rendah lemak, subjek dalam kelompok diet Mediterania mengalami penurunan berat badan yang lebih besar, tekanan darah yang lebih rendah, profil lipid yang lebih baik, peningkatan resistensi insulin, dan tingkat yang lebih rendah d ari marker inflamasi dan fungsi endotel (Tortosa,2007;Panlagua,2007). Dalam penelitian PREDIMED , 7.447 peserta, yang memiliki risiko kardiovaskular tinggi tetapi tanpa penyakit kardiovaskuler saat pendaftaran, diacak ke kelompok kontrol yang menerima saran untuk mengurangi diet lemak atau diet Mediterania yang tidak dibatasi energi, dilengkapi dengan minyak zaitun murni atau kacang. Diet Mediterania secara signifikan berhubungan dengan pengurangan relatif 30% dalam risiko kejadian penyakut kardiovaskular utama (infark miokard, stroke atau kematian akibat kardiovaskular)(Estruch,2013). Mendukung temuan uji klinis tunggal, analisis meta yang mencakup lebih dari 500,000 subjek kelebihan berat badan dan obesitas, menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan diet rendah lemak, diet Mediterania meningkatkan faktor risiko kardiovaskular dan penanda inflamasi vascular (Kastorini,2011). Diet DASH (Diet Dietary to Stop Hypertension) ditandai dengan peningkatan konsumsi susu rendah lemak, buah dan sayuran, serat dan gandum utuh dan penurunan asupan biji-bijian olahan, l emak jenuh dan total lemak. Diet ini membatasi asupan natrium setiap hari hingga 2 400 mg dan lebih tinggi dalam asupan susu daripada diet Mediterania. Diet DASH dikembangkan sebagai sarana untuk mengurangi tekanan darah dengan pola diet yang bertentangan 23
dengan nutrisi saja (Sacks,1995). Ketika dibandingkan dengan diet mengurangi berat badan yang menekankan pada pemilihan makanan sehat, diet DASH mencapai perbaikan yang lebih besar dalam trigliserida, total, LDL dan tekanan darah diastolik kolesterol HDL, dan glukosa puasa, bahkan setelah mengendalikan penurunan berat badan (Azadbakht, 2005). Diet DASH dapat mencegah terjadinya diabetes mellitus tipe 2. Oleh k arena itu, diet DASH dapat mencegah dan mengobati faktor risiko yang terkait dengan sindrom metabolik (Liese, 2009). Diet dengan makanan indeks glikemik rendah, menggantikan biji-bijian olahan dengan gandum utuh, buah-buahan dan sayuran, dan menghilangkan minuman indeks glikemik tinggi, mungkin sangat bermanfaat bagi pasien dengan sindrom metabolic (Jebb, 2010; Vrollx,2010). Pendekatan yang berbeda adalah mengidentifikasi pola diet yang meningkatkan prevalensi komponen Metabolik Syndrome dan penyakit kardiovaskuler pada akhirnya. Dalam diet studi INTERHEART diklasifikasikan sebagai "Oriental", "Western" atau "Prudent" . Dalam cara yang sangat sederhana, kandungan tahu dan kedelai serta berbagai saus lainnya dapat mendefinisikan diet oriental. Sebaliknya, diet western tinggi dalam makanan yang digoreng, camilan asin, telur dan daging. Sedangkan, diet prudent memakai buah dan sayuran dalam jumlah besar.Konsep kami saat ini mengenai diet dan penyakit kardiovaskuler, diet western dikaitkan dengan Infark Miokard Akut, diet oriental tidak memiliki hubungan dengan itu, dan diet yang prudent memiliki efek perlindungan pada tingkat yang lebih tinggi. Hasil serupa mengenai peran diet Western dalam kejadian sindrom metabolik diamati dalam studi ARIC (Atherosclerosis Risk in Communities) (Iqbal, 2008; Lutsey,2008). Kami telah mendiskusikan rekomendasi untuk nutrisi individu dan pola diet khusus. Namun, seperti yang telah kami katakan di atas, penting untuk menekankan bahwa faktor terpenting yang terkait dengan hasil jangka panjang yang lebih baik adalah motivasi pasien untuk mengikuti rekomendasi diet. 24
Akibatnya, tingkat keberhasilan sebanding dengan kepatuhan terhadap rejimen diet baru daripada untuk kandungan atau kombinasi makronutrien tertentu. Dalam dua studi penting yang membandingkan empat jenis diet yang berbeda, para peneliti menemukan hubungan kurva linier kuat antara kepatuhan diet yang dilaporkan sendiri dan penurunan berat badan global, terlepas dari diet khusus yang dipilih (Dansinger,2005;Sacks,2009).
H. Latihan
Aktivitas fisik dipandang sebagai faktor penting yang dapat dimodifikasi, yang berkontribusi terhadap risiko obesitas dan penyakit terkait. Meningkatnya kegemukan dan berkurangnya kebugaran dikaitkan dengan peningkatan risiko untuk hipertensi,
hiperkolesterolemia,
dan
sindrom
metabolik,
bahkan
ketika
memperhitungkan faktor-faktor lain. Namun, peningkatan kebugaran mengurangi efek peningkatan indeks massa tubuh dan peningkatan persentase lemak tubuh, dan sebaliknya. Karena itu, kunci untuk memotivasi pasien dengan sindrom metabolik baik untuk mempertahankan berat badan normal dan untuk meningkatkan tingkat kebugaran mereka, bukan hanya satu atau yang lain (Lee,2012). Hanya menganjurkan latihan secara umum kepada pasien adalah panduan yang tidak memadai dan tidak mungkin mencapai hasil yang diinginkan. Hoffman dkk pada tahun 2016 memberikan edukasi kepada penyedia layanan kesehatan tentang cara menetapkan olahraga secara lebih spesifik.
a. Manfaat Kegiatan Fisik Gaya hidup modern dicirikan oleh berkurangnya aktivitas fisik di tempat kerja dan selama waktu senggang. Banyak individu dengan sindrom metabolik memiliki kehidupan yang tidak aktif. Penurunan aktivitas fisik menambah risiko obesitas, diabetes, penyakit arteri koroner fatal dan non-fatal (CAD), serta semua penyebab kematian. Sebaliknya, subjek yang paling aktif secara fisik memiliki penurunan kejadian CAD, dengan korelasi terbalik 25
konstan: semakin tinggi tingkat aktivitas, semakin rendah tingkat CAD. Sejumlah penelitian telah mengidentifikasi beberapa mekanisme yang dapat menjelaskan
konsekuensi
menguntungkan
dari
aktivitas
fisik
pada
perkembangan penyakit ini. Diantaranya adalah efek anti-aterogenik, antitrombotik, anti-iskemik, dan anti disritmik. Aktivitas fisik mencegah dan membantu
mengobati
banyak
faktor
risiko
aterosklerotik
(Colberg,2010;Balducci,2014). Secara umum, efek latihan pada faktor-faktor risiko ini secara substansial kurang dari yang dicapai oleh terapi farmakologis. Namun, dikombinasikan dengan penurunan berat badan dan perbaikan dalam komposisi makanan, efek latihan mungkin lebih relevan (Thompson,2003; Lee,2014). b. Karakterisasi Latihan Dari sudut pandang klinis, setiap aktivitas fisik harus dinilai berdasarkan lima fitur: intensitas, frekuensi, durasi, mode, dan perkembangan. Sehubungan dengan konsep pertama, penting untuk membedakan antara intensitas absolut dan relatif: Intensitas absolut: tingkat pengeluaran energi selama latihan. Biasanya dinyatakan dalam MET, di mana 1 MET setara dengan laju metabolik istirahat ~ 3,5 mL O2/ kg.menit. Satu MET adalah energi yang dikonsumsi selama kondisi istirahat, seperti menonton televisi, dan kira-kira sama den gan 1 kcal / kg berat badan per jam. Di sisi lain, jalan cepat dengan kecepatan 4,8 km / jam (3 mil / jam) memiliki intensitas mutlak 4 MET. Tabel 3 dan 4 mencantumkan persyaratan energi berbagai kegiatan kehidupan sehari-hari dan waktu luang. MET dapat diubah menjadi kilokalori dengan rumus berikut: kilokalori per menit = [(METs x 3,5 x berat badan dalam kilogram) / 200).
26
Tabel 8. kebutuhan energi dari kegiatan sehari-hari, MET Berkebun (tanpa pengangkatan) 4.4
Menyapu rumput 4.0
Tugas rumah tangga, usaha sedang 3.5
Mengendarai kendaraan 1.0
Mengangkat barang terus menerus 4.0
Duduk, aktivitas ringan 1.5
Memuat / membongkar mobil 3.0
Membuang sampah 3.0
Berbaring dengan tenang 1.0
Menyedot debu 3.5
Mengepel 3.5
Berjalan dengan anjing 3.0
Memotong rumput (mesin ) 4.5
Berjalan dari rumah ke mobil atau bis 2.5 Menyiram tanaman 2.5
Tabel 9. kebutuhan energi dari aktivitas ringan, MET Menari 2.9
Panjat tebing (tanpa beban) 6.9
Golf (dengan mobil) 2.5
Panjat tebing (beban 5 kg) 7.4
Golf (tanpa mobil) 4.4
Jogging (10 menit) 10.2
Menunggang kuda (berjalan) 2.3
Bersepeda (santai) 3.5
Berjalan ( 7,2 km/jam) 2.5
Bersepeda (sedang) 5.7
Berjalan (10,8 km/jam) 3.3
Berenang (lambat) 4.5
Berjalan (14,4 km/jam) 4.5
Berenang 7.0
Squash 12.1
Tenis 5.0
c. Rekomendasi untuk latihan Dalam Program Pencegahan Diabetes (lihat di bawah) tujuan untuk latihan fisik pengeluaran kalori setidaknya 700 kkal / minggu dari aktivitas fisik. Tujuan ini digambarkan sebagai setidaknya 150 menit setiap minggu aktivitas fisik sedang dalam intensitas yang sama dengan jalan cepat. Kegiatan lain yang biasanya setara adalah tari aerobik, mengendarai sepeda, dan berenang.
27
Sebagai alternatif, telah dilaporkan bahwa intensitas aktivitas yang diperlukan untuk meningkatkan pengkondisian fisik mungkin serendah 4 0% dari VO2 max selama 20 menit 3 kali per minggu. Namun, masih ada perdebatan tentang kemungkinan ambang batas kegiatan untuk manfaat dan rekomendasi umum adalah untuk berolahraga setiap hari. Ringkasan komponen utama dari resep latihan, sesuai dengan prinsip FITT, diberikan pada Tabel 10 (Mcinnis,2003). Pengaruh intensitas dan durasi aktivitas fisik atas penurunan berat badan seperti yang dijelaskan dalam pedoman klinis dirangkum dalam Tabel 11.
Tabel 10. Prinsip FITT Komponen
Rekomendasi
Frekuensi
3-5
hari/minggu.
olahraga
yang
lebih
sering
diperbolehkan, tetapi pastikan bahwa kebiasaan olahraga harus teratur Intensitas
mulai dengan intensitas rendah hingga sedang dan secara bertahap berkembang selama beberapa minggu atau bulan. penekanan harus pada peningkatan durasi daripada intensitas
Waktu
30-60 menit, gunakan perkembangan secara bertahap beberapa pertandingan singkat menghasilkan manfaat yang sama seperti satu pertandingan panjang dari total durasi yang sama
Tipe
kegiatan berisiko rendah ( cth. berjalan, bersepeda, berenang) yang nyaman, mudah diakses, dan dirasakan menyenangkan oleh peserta
28
Tabel 11. Panduan untuk intervensi fisik untuk menurunkan berat badan Tujuan
Intensitas Aktivitas
Menit/minggu
Mencegah kenaikan berat badan
Sedang
150-250
Penurunan berat badan yang
Sedang
>250
sedang
225-420
signifikan secara klinis Penurunan berat badan yang signifikan
I. Keuntungan penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang disengaja, bahkan penurunan kecil ~5% dari berat awal, dapat memperbaiki atau mencegah banyak faktor risiko terkait obesitas: resistensi insulin, sindrom metabolik dan diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, hipertensi, penyakit paru dan peradangan. Ada sedikit informasi yang datang dari uji klinis acak yang telah mempelajari apakah penurunan berat badan yang disengaja mempengaruhi
mortalitas
penyakit
kardiovaskuler.
Karena
berat
badan
memodifikasi banyak faktor risiko penyakit kardiovaskular, dapat diasumsikan bahwa penurunan berat badan akan menurunkan kejadian kardiovaskular atau kematian (Orchard,2005). Beberapa tahun yang lalu, kami mempelajari hasil uji LOOK AHEAD (Action for Health in Diabetes). Itu adalah penelitian multisenter yang dilakukan pada 5145 pria atau wanita kelebihan berat badan atau obesitas dengan diabetes tipe 2. Tujuan utamanya adalah untuk menguji hipotesis bahwa intervensi gaya hidup dapat mengurangi kejadian kejadian penyakit kardiovaskuler pada pasien ini. Tentu saja, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk mengamati efek dari intervensi gaya
29
hidup pada pasien yang berisiko mengembangkan DM, karena mereka sudah memiliki gangguan ini. Banyak faktor risiko lain yang dipengaruhi secara positif, seperti penurunan berat badan, remisi diabetes, kontrol tekanan darah, dengan pengurangan diabetes dan obat antihipertensi, peningkatan steatosis hati, gangguan tidur, depresi, inkontinensia urin pada wanita dan disfungsi ereksi pada pria, dengan konsentrasi rendah dari sensitivitas tinggi C Reactive Protein, Plasminogen activator inhibitora (PAl-1) dan HDL Cholesterol, dan akhirnya kualitas hidup yang lebih baik. Perubahan ini merupakan manfaat kesehatan yang besar dari modifikasi gaya hidup yang layak dikejar (Annuzzi,2014).
30
BAB IV KESIMPULAN
Sindrom Metabolik merupakan kumpulan perubahan metabolik termasuk obesitas sentral, hipertensi, dislipedemia, hiperglikemia yang meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler dan diabetes. Obesitas sentral adalah etiologi utama dalam perkembangan sindrom metabolik. Faktor risiko dari kematian dengan penyebab penyakit kardiovaskuler, termasuk didalamnya tekanan darah tinggi, tingginya Indeks Massa Tubuh (IMT), kolesterol tinggi, gula darah tinggi, rendahnya konsumsi buah dan sayur dan kurangnya aktivitas fisik. Beberapa faktor yang disebutkan termasuk dalam deifinisi sindrom metabolik. Pola makan dan aktivitas fisik adalah hal yang penting dalam pengembangan sindrom metabolik. Untuk alasan itu, intervensi utama untuk menangani sindrom metabolik adalah terapi gaya hidup. Hal tersebut berpotensi menurunkan tingkat keparahan, menurunkan progresivitas semua risiko metabolik, dan dapat menunda terapi menggunakan obat pada pasien sindrom metabolik.
31
DAFTAR PUSTAKA
Alberti KGMM, Zimmet PZ, Shaw JE. The metabolic syndrome: a new world-wide definition from the International Diabetes Federation consensus. Lancet 2005; 366: 1059-62. Alberti KGMM, Eckel RH, Grundy SM, et al. Harmonizing the Metabolic Syndrome. A Joint Intenm Statement of the International Diabetes Federation Task Force on Epidemiology and prevention; National Heart, Lung, and Blood Institute; American
Heart
Association;
World
Heart
Federation;
International
Atherosclerosis Society; and International Association for the Study of Obesity. Circulation 2009; 120: 1640-5. Azadbakht L, Mirmiran P, Esmaillzadeh A, et al. Beneficial effects of a Dietary Approaches to Stop Hypertension eating plan on features of the metabolic syndrome. Diabetes Care 2005; 28:2823-283 1. Balducci S, Sacchetti M, Haxhi J, Orlando G, D’Errico V, Fallucca S, et al. Physical exercise as therapy for type 2 diabetes mellitus. Diabetes Metab Res Rev 2014; 30 Suppl 1:13 — 23. Balkau B, Chailes MA. Comment on the provisional report from the WHO consultation: European Group for the Study of Insulin Resistance (EGIR). Diabet Med 1999; 16: 442-3. Bremer AA, Mietus-Snyder M, Lustig RH. Toward a unifying hypothesis of metabolic syndrome. Pediatrics 2012; 129: 557-70. Cameron A, Shaw JE, Zimmet PZ. The metabolic syndrome: prevalence in worldwide populations. Endocrinol Metab Clin North Am 2004; 33: 351-75.
32
Cheal KL, Abbasi F, Lamendola C, McLaughlin T, Reaven GM, Ford ES. R elationship to insulin resistance of the Adult Treatment Panel III diagnostic criteria for identification of the metabolic syndrome. Diabetes 2004; 53: 1195-1200. Colberg SR, Sigal RJ,Fernhall B, Regensteiner JG, Blissmer Bi, Rubin RR, ChasanTaber L, Albright AL, Braun B; American College of Sports Medicine; American Diabetes Association. Exercise and type 2 diabetes: the American College of Sports Medicine and the American Diabetes Association: joint position statement. Diabetes Care 2010; 33:e147-67. Dandona P, Aijada A, Chaudhuri A, Mohanty P, Garg R. Metabolic Syndrome. A comprehensive perspective based on interactions between ob esity, diabetes, and inflammation. Circulation 2005; 111: 1448-54. Dansinger ML, Gleason JA, Griffith JL, Selker HP, Schaefer EJ. Comparison of the Atkins, Ornish, Weight Watchers, and Zone diets for weight loss and heart disease risk reduction: a randomized trial. JAMA 2005; 293:43 -53. Dehghan A, Dupuis J, Barbalic M, et al. Meta-analysis of genome-wide association studies in > 80000 subjects identifies multiple loci for C-reactive protein levels. Circulation 2011; 123: 731-8. Eckel RH, Grundy SM, Zimmet PZ. The metabolic syndrome. The Lancet 2005; 365: 1415-28. Einhorn D, Reaven GM, Cobin RH. American College of Endocrinology position statement on the insulin resistance syndrome. Endocr Pract 2002; 9: 236-52. Estruch R, Ros E, Salas-Salvado J, Coyas M, Corella D, Aros F, et al. Primary prevention of cardiovascular disease with a Mediterranean diet. N EngI J Med. 2013; 368:1279 — 90.
33
Executive Summary of The Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation And Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). JAMA 2001; 285: 2486-97. Fransworth E, Luscombe ND, Noakes M et al. Effect of a high-protein, energy restricted diet on body composition, glycemic cont rol, and lipid concentrations in overweight and obese hypersinulinemic men and women. Am J Clin Nutr 2003; 78:31-9. Frigolet ME, Ramos Barragán VE, Tamez González M. Low-carbohydrate diets: a matter of love or hate. Ann Nutr Metab 2011; 58:320-34. Epub 2011 Oct 7. Gogebakan O, Kohl A, Osterhoff MA, van Baak MA, Jebb SA, Papadaki A, et al. Effects of Weight Loss and Long-Term Weight Maintenance With Diets Varying in Protein and Glycemic Index on Cardiovascular Risk Factors: The Diet, Obesity, and Genes (DiOGenes) Study: A Randomized, Controlled Trial. Circulation 2011; 124:2829-38. Gortmaker SL, Swinburn BA, Levy D, Carter R, Mabry PL, Finegood DT, Huang T, Marsh T, Moodie ML. Changing the future of obesity: science, policy and action. Lancet 2011; 378:838-847. Grundy SM, Brewer B, Cleeman JI, et al. Definition of Metabolic Syndrome. Report of the National Heart, Lung, and Blood Institute/American Heart Association Conference on Scientific Issues Related to Definition. Circulation 2004; 109: 433-8. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, et al. Diagnosis and management of the metabolic syndrome. An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute Scientific Statement. Executive Summary. Circulation 2005; 112: e285-90. 34
Grundy SM. Pre-diabetes, metabolic syndrome, and cardiovascular risk. J Am CoIl Cardiol 2012; 59:635-43. Hall KD. Predicting metabolic adaptation, body weight change, and energy intake in humans. Am J Physiol Endocrinol Metab 2010; 298: E449 — E466. Hu FB. Resolved: theie is sufficient scientific evidence that decreasing sugarsweetened beverage consumption will reduce the prevalence of obesity and obesity-related diseases. Obes Rev 2013; 14:606 — 19. Hoffmann TC, Maher CG, Briffa T, Sherrington C, Benneil K, Alison J, Singh MF, Glasziou PP. Prescribing exercise interventions for patients with chronic conditions. CMAJ. 2016 Mar 14. pu: cmaj.150684 Horton ES. Effects of Lifestyle Changes to Reduce Risks of Diabetes and Associated Cardiovascular Risks: Results from Large Scale Efficacy Trials. Obesity 2009; 17 (suppl 39):S43-S48. Institute of Medicine. Dietary Reference Intakes for Energy, Ca rbohydrate, Fiber, Fat, Fatty Acids, Cholesterol, Protein, and Amino Acids. Food and Nutrition Board, washington, DC, National Academy Press, 2002. Iqbal R, Anand S, Ounpuu S, Islam S, Zhang X, Rangarajan S, et al. Dietary patterns and the risk of acute myocardial infarction in 52 countries: results of the INTERHEART study. Circulation 2008; 118:1929-37. Jebb SA, et al. Effect of changing the amount and type of fat and carbohydrates on insulin sensitivity and cardiovascular risk: the RISCK tnal. Am J Clin Nutr 2010; 92: 748-758. Kastorini CM, Milionis HJ, Esposito K, et al. The effect of Mediterranean diet on metabolic syndrome and its components: a meta-analysis of 50 studies and 534,906 individuals. J Am Coil Cardiol 2011; 57:1299-1313. 35
Kolovou GD, Anagnostopoulou KK, Saipea KD, Mikhailidis DP. The prevalence of metabolic syndrome in various populations. Am J Med Sd 2007; 333: 362-71. Lee DC, Sui X, Church TS, Lavie CJ, Jackson AS, Blair SN. Changes in fitness and fatness on the development of cardiovascular disease risk factors: Hypertension, metabolic syndrome, and hypercholesterolemia. J Am Coil Cardiol 2012; 59:665-671. Lewis JR, Mohanty SR. Nonalcoholic fatty liver disease: a review and update. Dig Dis Sci 2010; 55: 560-78. Liese AD, Nichols M, Sun X, DAgostino RB, Haffner SM. Adherence to the DASH Diet Is Inversely Associated With Incidence of Type 2 Diabetes: The Insulin Resistance Atherosclerosis Study. Diabetes Care 2009; 32:1434-6. Lutsey PL, Steffen LM, Stevens J. Dietary intake and the development of the metabolic syndrome: the Atherosclerosis Risk in Communities study. Circulation 2008; 117:754-61. Magkos F, Yannakoulia M, Chan JL, Mantzoros CS. Management of the Metabolic Syndrome and Type 2 Diabetes through Lifestyle Modification. Annu Rev Nutr 2009; 29:223-256. Martínez-González MA, Martín-Calvo N. The major European dietary patterns and metabolic syndrome. Rev Endocr Metab Disord (2013) 14:265 — 271. Mozaffarian D, Hao T, Rimm EB, Willett WC, Hu FB. Changes in diet and lifestyle and long-term weight gain in women and men. N EngI J Med 2011; 364: 2392 — 404. Paniagua JA, de la Sacristana AG, Sanchez E, Romero I, Vidal-Puig A, Berral FJ, et al. A MUFA-rich diet improves posprandial gluco se, lipid and GLP-1 responses in insulin-resistant subjects. J Am CoIl Nutr 2007; 26:434-44. 36
Riccardi G, Rivellese AA. Dietary treatment of the metabolic syndrome — the optimal diet. BrJ Nutr 2000; 83 (Suppl 1):S143-8. Riccardi G, Giacco R, Rivellese AA. Dietary fat, insulin sensitivity and the metabolic syndrome. Clin Nutr 2004; 23:447-456. Rivellese AA, Giacco R, Costabile G. Dietary carbohydrates for diabetics. Curr Atheroscler Rep 2012; 14:563-9. Sacks FM, Obarzanek E, Windhauser MM, Svetkey LP, Volimer WM, McCullough M, et al. Rationale and design of the Dietary Approaches to Stop Hypertensiontrial (DASH): A multicentre controlled-feeding study of dietary patterns to lower blood pressure. Annals of Epidemiology 1995; 5:108-18. Sarafidis PA, Nilsson PM. The metabolic syndrome: a glan ce at its history. J Hypertens 2006; 24: 621-6. Shuster A, Patlas M, Pinthus JH, Mourtzakis M. The clinical importance of visceral adiposity: a critical review of methods for visceral tissue analysis. Br) Radiol 2012; 85: 1-10. Sweeney TE, Morton JM. The human gut microbiome: a review of the effect of obesity and surgically induced weight loss. JAMA Surg 2013; 148: 563-9. Swinburn BA, Sacks G, Hall KD, McPherson K, Finegood DT, Moodie ML, Gortmaker SL. The global obesity pandemic: shaped b y global drivers and local environments. Lancet 2011; 378:804-815. Tilg H, Kaser A. Gut microbiome, obesity, and metabolic dysfunction. J Clin Invest 2011; 121: 2126-32. Tobias D. K., Chen M., Manson J. E., Ludwig D. S., willett W, Hu F. B. Effect of lowfat diet interventions versus other diet interventions on long-term weight change
37
in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Diabetes Endocrinol 2015; 3:968-979. Tortosa A, Bes-Rastrollo M, Sanchez-Villegas A, et al. Mediterranean diet inversely associated with the incidence of metabolic syndrome: the SUN prospective cohort. Diabetes Care 2007; 30:2957-9. Vrolix R, et al. Effects of glycemic load on metabolic risk markers in subjectsvwith mci-eased risk of developing metabolic syndrome. Am J Clin Nutr 2010;92: 366-74. Wilson PWF. Estimating cardiovascular disease risk and the metabolic syndrome: a Framingham view. Endocrinol Metab Clin N Am 2004; 33: 467-81.
38