A. PENDAHULUAN
NEOPOSITIVISME
Dalam paradigma positivisme hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan perundang-undangan dipikirkan sebagai suatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-
MAKALAH UNTUK PRESENTASI FILSAFAT HUKUM RABU, 10 OKTOBER 2012 SEMESTER GASAL TA. 2012/2013
undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang. 1 Pemikiran ini diilhami oleh ajaran Montesquieau yang sangat mendewakan eksistensi undang-undang. 2 Undang-undang dianggap
DOSEN : DR. JUFRINA RIZAL, S.H., M.A. DR. AGUS BROTO SUSILO, S.H., M.A.
menjamin kestabilan dan dapat diverifikasi melalui metode ilmiah yang selalu diunggulkan oleh kaum Positivis. Para penganut aliran ini menghindari semua ucapan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Dengan ini, ilmu
DISUSUN OLEH: ENRICO SIMANJUNTAK NPM : 110 615 0263
pengetahuan fisika dan matematika sebagai ilmu pengetahuan yang ideal. Oleh karena itu, mereka mengambil oper metode empiris dan analitis sebagai satusatunya metode yang sah. Dalam perkembangannya, Positivisme hukum yang lahir sebagai reaksi terhadap pemikiran hukum kodrat kemudian mendapatkan kritikan dari Felix M. Podimattam, sebagaimana dikutip oleh Fernando M. Manullang sbb : “…recuding natural law to a detailed code, nicely drawn up with the help of deductive logic, absolutely normative in all circumstances, ready
PROGRAM MAGISTER HUKUM PEMINATAN HUKUM DAN KEHIDUPAN KENEGARAAN UNIVERSITAS INDONESIA 2012
1
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum, Genta Publishing, Publishing, Jogyakarta, 2011. Hal. 1. Dalam positivisme hukum, norma hukum positif diaplikasikan ke dalam struktur kasus-kasus konkret dengan maksud membuat putusan hakim lebih dapat memberikan jaminan kepastian hukum, prediktibilitas hukum dan stabilitas hukum.
2
Pandangan Montesquieu Montesquieu tentang tugas hakim, khususnya khususnya dapat kita baca dari kutipan De l’esprit des lois (Jiwa Dari Undang-Undang) : “…mungkin saja terjadi bahwa undang-undang, mampu melihat jauh ke depan (berpendangan (berpendangan jernih) dan sekaligus buta, dalam beberapa kasus tertentu, menjadi terlalu keras dan kaku. Namun hakim-hakim dari Bangsa yang bersangkutan, sebagaimana telah kami katakan, tidak lebih ketimbang dari sekadar mulut yang menyuarakan kata-kata dari undang-undang, badan tak berjiwa, yang tidak mampu meniadakan meniadakan keberlakuan maupun kekerasan dari undang-undang tersebut ” . Di Belanda, kutipan dari Montesquieau seringkali ditafsirkan bahwa apa yang dimaksudkan adalah bahwa tugas dari hakim hanyalah corong dari pembentuk undang-undang. Dengan kata lain, bahwa hakim hanyalah corong dari pembentuk undang-undang, sedemikian sehingga Peradilan hanya menerapkan bunyi harafiah dari aturan perundang- undangan…sekarang ini untuk berbagai alasan timbul keraguan apakah benar Montesquieau dengan metafora “la bouche de la loi” sungguh bermaksud menyatakan bahwa hakim hanyalah corong dari pembentuk undang-undang, bahwa hakim hanya menerapkan bunyi aturan peraturan perundang-undangan dan selanjutnya bahwa “loi” hanya berarti “undang-undang”. Selengkapnya lihat Prof. Dr. Ph. Visser t hooft, Filsafat Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta : “Filosofie van de Rechtsweteschap” , Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahayangan Bandung, Penerbitan Tidak Berkala, No. 4 Tahun 2002, hal 5253.
2
for automatic application. While natural law ethics is not a strict 3 legalisme, it has tended to be legalistic.
3 6
happiness for the greatest number . Berdasarkan uraian tersebut diatas, dapatlah
dipahami perbedaan makna positivisme dengan hukum positif.
Salah satu tesis positivisme adalah adanya independensi antara hukum dengan moralitas, “ the positivistic thesis on the conceptual independence of law 4
Sampai abad XVIII aspek normatif hukum menjadi pokok pemikiran bagi para pemikir, seperti Thomas Aquinas, J. Locke, Imannuel Kant, dsb. Dalam abad XX
from morality ”. Sedangkan menurut K. Bartens terdapat hubungan yang erat
munculah kritik terhadap ilmu pengetahuan. Perkembangan ini menyebabkan suatu
antara moral dengan hukum. Dikemukakan lebih lanjut bahwa hukum tidak berarti
keraguan bagi para sarjana tentang kebenaran ucapan ilmiah. Pada zaman dulu
banyak, kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas hukum akan kosong.
Ilmu pengetahuan merupakan biang keladi segala optimisme hidup. Sekarang ini,
Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Dalam masa
kritik terhadap ilmu pengetahuan menghilangkan harapan untuk pernah mendapat
Kekaisaran Roma sudah terdapat pepatah : “Quid leges sine moribus ?” yang artinya
kepastian. Namun banyak filsuf tetap berkeyakinan bahwa jalan ilmu pengetahuan
apa artinya undang-undang jika tidak disertai moralitas?. 5 Namun bagi Prof. Bagir
merupakan satu-satunya jalan yang membuka kemungkinan untuk mencapai
Manan perlu dihindari salah pengertian bahwa positivisme bermaksud mengecilkan
kebenaran. Pengetahuan bukan ilmiah tidak dapat dipercaya sama sekali. Dalam
arti suatu nilai atau moral. Menurut Mantan Ketua Mahkamah Agung ini, kaum
situasi dilema ini aliran-aliran filsafat baru timbul. Filsuf-filsuf aliran ini mencari
positivisme, sebagaimana dicontohkan oleh Hart, menempatkan nilai moral sangat
jalan keluar dari problema pengetahuan dengan menyelidiki isi pengertian dan
penting sebagai landasan hukum yang baik. Yang dipersoalkan hanya lingkup kajian.
bahasa secara mendalam 7.
Teori hukum menurut positivisme tidak memasukan sistem nilai sebagai objek
Perjuangan tak akan pernah berhenti. Jemu dengan gagasan dan abstraksi-
kajian. Objek kajian hanyalah hukum sebagai norma yang menjelma dalam bentuk
abstraksi, manusia berbalik kepada fakta-fakta yang konkret dan positif. Karena
hukum positif. Dengan perkataan lain, dalam menilai paham positivisme tidak boleh
kecewa ia kembali lagi ke ide-ide da n prinsip-prinsip metafisik. 8 Hukum harus tetap,
dikaitkan atau dicampur dengan masalah penerapan hukum (law applying).
6
Prof., Dr., H. Bagir Manan, S.H., M.CL., Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Penerbit Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, Desember 2004. Hal.x —kata pengantar.
7
Bagi kaum realisme hukum, termasuk kaum Critical Legal Studies, menganggap faktor bahasa sebagai salah satu biang kerok mengapa putusan-putusan hukum tidak pernah bagus. Bahasa selalu tidak pasti, ambigius, interpretatif, tanpa batas, manipulatif, open-endend dan sebagainya yang mempunyai arti menurut selera yang menggunakannya. Kedua kaum ini mengritik aturanaturan hukum (rule) yang selalu overstated dan understated. Aturan hukum yang menyatakan orang dewasa jika berumur 21 tahun bisa understated tetapi bisa juga sekaligus understated. Sebab bisa saja seorang yang belum berumur 21 tahun tetapi sudah dewasa. Ini merupakan aturan hukum yang understated. Namun demikian banyak juga orang yang meskipun sudah berumur 21 tahun tetapi yang bersangkutan belum dewasa. Sehingga aturan ini sifatnya overstated. Pandangan kaum realisme hukum adalah ketidakberdayaan dari aturan hukum untuk mengatur dengan tepat suatu fakta hukum, kecuali jika aturan hukum tersebut dibaca lagi dengan melihat maksud yang sebenarnya (purposive). Dr. Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 95.
8
Apabila ditelaah aliran hukum progresif yang digagas oleh Prof. Satjipto Rahardjo dapat ditemukan jejak-jejak metafisik dalam pencarian sumber hukum dan keadilan antara lain ia mengutip Deepak Copra, budaya hukum di Jepang dsb. Ulasan mendalam tentang kedudukan “hukum progresif” dalam aliran -aliran filsafat hukum dapat dibaca dari tulisan Sidharta dalam “Posisi Pemikrian Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran -Aliran Filsafat Hukum : Sebuah Diagonis Awal, selengkapnya dalam Moh. Mahfud et all, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif, Urgensi dan Kritik , Epistema Institute, Jakarta, 2011. Inti gagasan tulisan Sidharta tersebut menyatakan bahwa hukum progresif adalah sebuah resultante dari pemikiran-pemikiran besar filsafat hukum yang kemudian ingin ditempatkan dalam konteks keindonesiaan. Hal. 71.
Positivisme adalah kajian teoritik tentang hukum. Dalam penerapan positivisme mengakui pentingnya tujuan hukum. Jeremmy Bentam (cikal bakal paham positivisme), menyatakan hukum harus bertujuan untuk mencapai the greatest
3
E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai , Kompas, Jakarta, 2007. Hal. 77.
4
Materi Kuliah Program Magister Hukum Filsafat Hukum Jilid I, Dosen : Dr. Agus Brotosusilo, S.H., MA., Fakultas Hukum Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Topik : “ Modern In Analytical and Normative Jurisprudence” , hal. 341.
5
K. Bertens, Etika, Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 2000. Hal. 41. Kendati diakui bahwa terdapat hubungan yang erat, bahkan hubungan subordinasi antara moral dan hukum, namun K. Bertens mengakui perbedaan antara hukum dan moral dalam tataran normatif yakni : 1). Hukum lebih dikodifikasi dari moralitas; 2) Hukum membatasi diri kepada tingkah laku lahiriah, sedangkan moral juga menyangkut sikap bathin seseorang; 3) Sanksi hukum dapat dipaksakan sebaliknya sanksi moral tidak dapat dipaksakan dan 4) Moralitas didasarkan kepada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat sedangkan hukum didasarkanatas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral.
4
5
dan hukum tidap dapat tinggal diam. Karena itu seluruh pemikiran tentang hukum
berubah bersamanya. 11 Dua tipe pokok positivisme dalam teori hukum ialah
harus berusaha keras menertibkan tuntutan-tuntutan yang bertentangan dengan
positivisme “analitikal” dan “fungsional”, atau “pragmatis”. Positivisme analitik
kebutuhan akan stabilitas dan kebutuhan akan perubahan. Inilah konteks sejarah
menerima norma-norma hukum dasar —seperti yang disusun oleh pembuat
lahirnya aliran neopositivisme.
undang-undang—sebagai
sesuatu
yang
harus
diterima,
dan
memusatkan
perhatiannya pada analisa konsepsi-konsepsi hukum dan hubungan atas dasar
B.
ALIRAN NEOPOSITIVISME.
pembagian yang tegas antara “ada” dan “yang seharusnya ada”. Positivisme
fungsional atau pragmatis menganggap bahwa kenyataan-kenyataan sosial adalah Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum di antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertiban, maka penekanannya diletakan pada
penentu konsepsi-konsepsi hukum. Bentuk ekstrim dari realisme sosial adalah Marxisme yang menganggap b ahwa semua hukum sebagai “super struktur” yang ditentukan oleh dasar ekonomi, yakni pada pemilikan alat-alat produksi. 12
kebutuhan akan stabilitas dan kepastian. Hans Kelsen menuduh semua teori hukum alam telah menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan-kekuasaan yang ada dan menekan setiap perubahan. 9 Pada dasarnya dapat dikatakan bahwa neopositivisme merupakan sintesa antara aliran positivisme dengan aliran empirisme. Hal ini dapat dilihat dari rekam jejak aliran neopositivisme yang lahir sebagai reaksi dari pesatnya perkembangan
Letak perbedaan antara neopositivisme (modern) dengan positivisme abad yang sebelumnya adalah dalam hal perhatian (dan sekaligus kritik) yang lebih besar dari neopositivisme terhadap aspek logika dan kepada hubungan yang erat antara logika dan bahasa. Namun persamaan dari kedua aliran ini adalah baik neopositivisme maupun positivisme sama-sama menolak segala kebenaran dalam ucapan-ucapan yang tidak dapat dibenarkan secara ilmiah.13
ilmu pengetahuan sendiri pada permulaan abad XX. Perkembangan ilmu tersebut, turut mempengaruhi bidang ilmu hukum, sebagaimana ditandai dengan masuknya ilmu psikologi untuk menyelidiki limu hukum. Kemudian Sosiologi Hukum mendapat giliran berikutnya. Hukum seperti yang tampak kenyataanya menjadi perhatian para pemikir sosiologi hukum. 10 Menurut W. Friedman, positivisme analitik menekankan pada logika dan kepatuhan kepada hukum tertulis, cenderung menganggap stabilitas dan kepastian sebagai objek penafsiran hukum yang paling penting. Sebaliknya teori ulitaritarian dan sosiologis cenderung menekankan pada perubahan isi hukum, karena mereka menganggap hal tersebut bertentangan dengan latar belakang sosialnya dan kebutuhan akan hidup. Cara-cara memperoleh kesenangan dan mengindari
Neopositivisme berkembang dalam beberapa variasi pemikiran. Misalnya, empirisme di Amerika Serikat memiliki variasi tersendiri yakni dalam aliran pragmatisme. Inti ajaran pragmatisme adalah menyangkal kemungkinan bagi manusia untuk mendapat suatu pengetahuan teoritis yang benar. Oleh karena itu, ide-ide perlu diselidiki dalam praktek hidup. Menurut Pierce, salah satu tokoh penganut aliran ini, ide-ide diterangkan dengan jalan analisis. Metode analisis ini harus digunakan secara fungsional yakni dengan menyelidiki seluruh konteks suatu pengertian dalam praktek hidup. kebenaran merupakan hasil penyelidikan situasi secara empiris. Oleh karena itu, kata pragmatis tepat digunakan oleh Pierce dalam arti empiris atau eksperimental. Sikap pragmatis ini di Amerika dianggap sebagai realistis. Oleh karena itu, aliran ini disebut aliran realisme hukum. Di Skandinavia
penderitaan, berubah bersama keadaan-keadaan sosial, sehingga hukum pun harus
9
10
Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum/W.Friedmann, Penerjemah, Muhammad Arifin, Jakarta, Rajagrafindo, 1993, judul asli : Legal Theory, Stevens & Sons, London, 1960., hal. 37. Bandingkan dengan A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990. Hal. 49-50.
11
Friedmann, Op. Cit , hal. 38.
12
Ibid . hal. 39.
13
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982. Hal. 175-175.
6
munculah suatu mahzab realisme hukum, tetapi mahzab ini mencari kebenaran suatu pengertian dalam situasi tertentu dengan mengg unakan ilmu psikologi.
7
C. JOHN RAWLS (1921-2010) SEBAGAI SALAH SATU EKSPONEN NEOPOSITIVISME.
Gugatan dan kritikan terhadap paham positivisme dalam hukum yang dilakukan oleh aliran realisme hukum dimana aliran realisme hukum tersebut menyatakan bahwa hukum adalah subjektif, telah merangsang para pemikir hukum
1. BIOGRAFI SINGKAT
selanjutnya untuk mencari jalannya sendiri-sendiri, termasuk yang dilakukan oleh aliran Critical Legal Studies. Para pemikir hukum tersebut umumnya mengkritik,
Ketika berbicara tentang konsep keadilan, tentunya para
meremehkan, mengembangkan, membentuk kembali atau menafsirkan kembali
pakar ilmu filsafat, hukum, ekonomi, dan politik di seluruh
temuan dari aliran realisme hukum. Pemikiran kembali terhadap hukum oleh para
belahan dunia, tidak akan melewati pelbagai teori yang
pemikir tersebut bermuara kepada usaha untuk mencari dasar-dasar objektif
dikemukakan oleh John Rawls. Melalui karya-karyanya, seperti A Theory of Justice, Political Liberalism, dan The Law
terhadap pembuatan putusan hukum.
of Peoples, Rawls dikenal sebagai salah seorang filsuf
Pada umumnya, respon terhadap ajaran subjektifitas hukum dari aliran
Amerika kenamaan di akhir abad ke-20. Didasari oleh telaah
realisme hukum terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kelompok kiri radikal dan
pemikiran lintas disiplin ilmu secara mendalam, John Rawls
kelompok tengah konservatif. Kelompok kiri radikal yang kemudian melahirkan
dipercaya sebagai salah seorang yang memberi pengaruh
aliran Critical Legal Studies itu, mencoba menganalisis lebih jauh tentang
pemikiran cukup besar terhadap diskursus mengenai nilai-
subjektivitas pengambilan keputusan tentang hukum, dengan menyatakan bahwa
nilai keadilan hingga saat ini.
hukum baru natural dan netral jika dapat dipisahkan dengan politik dan sosial, dimana aliran Critical Legal Studies mengemukakan bahwa hal tersebut mustahil dilakukan. Sedangkan kubu tengah konservatif mencoba mengabaikan prinsip subjektivitas hukum sebagaimana dikembangkan oleh aliran realisme hukum dan mencoba mencari bentuk baru dari objektivitas h ukum.
14
Pemilik nama lengkap John Borden (Bordley) Rawls ini dilahirkan di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 21 Februari 1921 dari pasangan William Lee Rawls dan Anna Abel Stump. Di usia remajanya, Rawls sempat bersekolah di Baltimore untuk beberapa saat dan kemudian pindah pada sekolah keagamaan di Connecticut. Walaupun keluarganya hidup dalam keadaan yang mumpuni, John Rawls mengalami dua peristiwa yang cukup menyedihkan di masa mudanya. Dalam dua tahun berturut-turut, dua adik laki-lakinya meninggal akibat penyakit yang ditularkan darinya, yaitu diphtheria dan pneumonia . Rawls amat merasa bersalah atas terjadinya peristiwa tersebut. Namun demikian, kakak laki-lakinya yang dikenal sebagai seorang atlet ternama di Princeton University selalu memberikan semangat dan dorongan moral kepada Rawls. Akhirnya, setelah berhasil menyelesaikan sekolahnya, John Rawls menyusul jejak kakaknya untuk berkuliah di Princeton University pada 1939. Karena ketertarikan dan pemahamannya yang amat mendalam pada ilmu filsafat, dirinya
14
Dr. Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 92-93.
kemudian terpilih untuk bergabung dalam The Ivy Club yaitu sebuah kelompok elit
8
9
akademis terbatas, dimana Woodrow Wilson, John Marshal II, Saud bin Faisal bin
kesempatan untuk mengajar dan menjadi Guru Besar di Massachusetts Institute of
Abdul Aziz, serta Bill Ford pernah menjadi bagian dari keanggotannya.
Technology (MIT). Dua tahun setelahnya, John Rawls memilih pindah untuk
Pada 1943, setelah berhasil lulus dengan gelar Bachelor of Arts (B.A.), John
mengajar secara penuh di Harvard University, tempat dimana dirinya mengabdi
Rawls langsung bergabung menjadi tentara. Liku perjalanan kehidupannya dimulai
hingga akhir hayat. Selama masa hidupnya, John Rawls sempat dipercaya untuk
pada saat terjadinya Perang Dunia II ketika dirinya diangkat sebagai prajurit infantri
memegang beberapa jabatan penting. Di antaranya, yaitu Presiden American
dengan tugas penempatan di kawasan negara-negara Pasifik, seperti Papua Nugini,
Association of Political and Legal Philisopher (1970-1972), Presiden the Eastern
Filipina, dan Jepang. Akibat pengalaman pahitnya sebagai saksi hidup atas
Division of the American Philosophical Association (1974), dan Professor Emeritus
terjadinya tragedi penjatuhan bom atom di kota Hiroshima, Rawls mengundurkan
di James Bryant Conant University, Harvard (1979). Selain itu, dirinya juga terlibat
diri dari karir kemiliterannya pada 1946. Tidak lama setelah itu, dirinya kembali ke
aktif dalam the American Philosophical Society, the British Academy, dan the
Princeton University dan menulis disertasi doktoralnya di bidang filsafat moral.
Norwergian Academy of Science. Sejak 1995 Rawls terpaksa harus meninggalkan
Pada masa-masa inilah Rawls pertama kali dipengaruhi oleh rekan dan
pekerjaannya secara perlahan akibat penyakit stroke yang telah melemahkan daya
pembimbingnya dari Wittgensteinean, Norman Malcolm, yang mengajarkan dirinya
jelajah berpikirnya. Tepat pada 24 November 2002 di rumahnya (Lexington), John
untuk menghindari jeratan kontroversi metafisis. Tiga tahun kemudian, Rawls
Rawls menghembuskan nafas terakhirnya akibat gagal jantung. Pada saat itu,
menikah dengan Margaret Warfield Fox Rawls, seorang wanita yang kemudian
dirinya meninggalkan seorang istri, Margaret Fox, dan empat orang anak, yaitu
membantunya melakukan penulisan indeks ter hadap buku “Nietzsche”.
Anne Warfield, Robert Lee, Alexander Emory, dan Elizabeth Fox, serta empat orang
Setelah sukses mempertahankan disertasi doktoralnya yang berjudul “A
cucu yang masih belia. 15
Study in the Grounds of Ethical Knowledge: Considered with Reference to Judgment on the Moral Worth of Character” , John Rawls akhirnya menyandang gelar Doctor
2. Karya Monumental Rawls
of Philosophy (Ph.D.) dari Princeton University pada 1950. John Rawls kemudian
dipercaya untuk mengajar pada almamaternya hingga 1952, sebelum akhirnya melanjutkan studi di Oxford University, Inggris, melalui program Fulbright Fellowship. Di Universitas inilah dirinya sangat dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran tentang teori kebebasan di bidang hukum dan filsafat politik, seperti yang dikemukakan oleh Herbert Lionel Adolphus (H.L.A.) Hart dan Isaiah Berlin. Apabila John Rawls mencoba untuk mengkaji konsepsi mengenai praktik-praktik sosial (social practices) yang dikenalkan oleh Hart guna mengeksplorasi kelemahan utilitarianisme, maka konsepsi mengenai persandingan antara kebebasan negatif (negative liberty ) dan kebebasan positif ( positive liberty ) diperolehnya dari pemikiran Berlin. Sekembalinya
Hampir sebagian besar filsuf dari seluruh dunia menyepakati bahwa karyakarya ilmiah dan monumental dari John Rawls telah memberikan kontribusi pemikiran yang akan terus diperbincangkan di ranah filsafat. Karya-karyanya tersebut memiliki gagasan pemikiran lintas disipin ilmu yang memicu perhatian serius berbagai kalangan, mulai dari para praktisi ekonomi, pakar hukum, ahli politik, pengamat sosiologi, hingga penggiat teologi. Karena keunikan dan kedalaman pemikirannya, karya ilmiah Rawls terlihat berbeda apabila dibandingkan dengan para filsuf kontemporer lainnya. Sehingga tidak jarang baik para ahli maupun hakim pengadilan di berbagai negara mengambil gagasan Rawls sebagai rujukan utamanya, tidak terkecuali di Indonesia sekalipun. Karya besar Rawls mulai beredar di awal 1950-an yang tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional
ke
Amerika
Serikat,
John
Rawls
melanjutkan
karir
ternama. Beberapa artikel yang dikenal luas tersebut, misalnya “Two Concept of
akademiknya di Cornell University dan secara bertahap dirinya diangkat sebagai Guru Besar Penuh pada 1962. Tidak lama kemudian, Rawls juga memperoleh
15
Pan Mohamad Paiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi untuk Edisi April-Mei 2009.
10
11
Rules” (Philosophical Review, 1955), “Constitutional Liberty and the Concept of
terhadap gagasan dan pemikiran dari Thomas Hobbes, John Locke, Jospeh Butler,
Justice” (Nomos VI, 1963), “Distributive Justice: Some Addenda” (Natural Law Forum,
J.J. Rousseau, David Hume, J.S. Mill, dan Karl Marx.
1968), “Some Reason for the Maximin Criterion” (American Economic Review,
Dari beragam pemikiran yang dituangkan dalam karya-karyanya tersebut di
1974), “A Kantian Conception of Equality” (Cambridge Review, 1975), dan “The Idea
atas, terdapat beberapa konsep Rawls yang memperoleh apresiasi dan perhatian
of an Overlapping Consensus” (Oxford Journal for Legal Studies, 1987).
luas dari beragam kalangan, diantaranya yaitu: (1) Keadilan sebagai bentuk
Selain memberikan kontribusi pemikiran dalam bentuk tulisan untuk bab-
kejujuran, yang bersumber dari prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kesempatan
bab khusus pada beragam buku ilmiah, John Rawls juga telah membuahkan
yang sama, serta prinsip perbedaan ( two principle of justices ), (2) Posisi asali dan
setidaknya 7 (tujuh) buku fenomenal yang dianggap oleh banyak kalangan telah
tabir ketidaktahuan ( the original position and veil of ignorance ); (3) Ekuilibrium
mampu membangkitkan kembali diskursus akademik di bidang filsafat. Pertama, “A
reflektif ( reflective equilibrium ), (4) Kesepakatan yang saling tumpang-tindih
Theory of Justice” (1971). Buku yang diterbitkan oleh Belkap Press (Cambridge) ini,
(overlapping consensus ), dan (5) Nalar publik ( public reason ).16 Berdasarkan sederet
telah dicetak kembali pada 1991 dengan beberapa penyempurnaan di dalamnya.
karya dan sejumlah gagasannya tersebut, John Rawls dipercaya telah memberikan
Hingga kini, buku yang yang dikenal dengan sebutan populer “TJ” tersebut telah
penyegaran terhadap dunia ilmu pengetahuan, bahkan sejumlah bukunya telah
diterjemahkan setidaknya ke dalam 27 bahasa berbeda.
dinominasikan untuk memperoleh National Book Award. Oleh karenanya, Rawls
Kedua , “Political
Liberalism” (1993). Buku yang diterbitkan oleh Columbia University Press ini dikenal
dianugerahi beberapa penghargaan berkelas, seperti Shchock Prize for Logic and
dengan sebutan popular “PL”. Setelah dicetak kembali pada 1996, buku tersebut
Philosopy (1999) dan National Humanities Medal (1999). Untuk mengenang dan
kian syarat isinya dengan adanya penambahan tul isan yang berjudul “Reply to
menghormati kontribusi pemikirannya bagi masyarakat dunia, John Rawls dijuluki
Habermas”. Ketiga , “The Law of Peoples” (1999) yang diterbitkan oleh Harvard
sebagai “Asteroid 16561 Rawls”.
University Press. Buku ini merupakan perpaduan dari dua karya Rawls yang cukup terkenal,
yaitu “The
Law
of
Peoples” dan “Public
Reason
3. Nilai-Nilai Pemikiran Rawls
Revisited” .
Di dalam buku “TJ”, John Rawls mencoba untuk menganalisa kembali
Kemudian, keempat, “Collected Papers” (1999). Buku yang juga diterbitkan oleh Harvard University Press ini merupakan kompilasi dari karya-karya singkatnya yang
permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan merekonsiliasikan antara
telah disunting secara baik oleh Samuel Freeman. Kelima, “Lectures on the History
prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls mengakui bahwa karyanya
of Moral Philosophy” . Buku ini merupakan intisari dari perkuliahan yang diberikan
tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial ( social contract ) yang pada awalnya
oleh Rawls mengenai filsafat moral modern pada masa 1600-1800. Disunting oleh
diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti John Locke, Jean Jacques
Barbara Herman, buku ini juga menguraikan penjelasan Rawls tentang pemikiran
Rousseau, dan Immanuel Kant. Namun demikian, gagasan sosial kontrak yang
dari
A
dibawa oleh Rawls sedikit berbeda dengan para pendahulunya, bahkan cenderung
Restatement” (2000). Diterbitkan oleh Belknap Press, Cambridge, buku ini memuat
untuk merevitalisasi kembali teori-teori kontrak klasik yang bersifat utilitarianistik
ringkasan yang lebih singkat mengenai gagasan utama Rawls mengenai filsafat
dan intuisionistik. Dalam hal ini, kaum utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai
politik. Terakhir, ketujuh, “Lectures on the History of Political Philosophy” (2007).
suatu keadaan dimana masyarakat dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan
Inilah buku pertama yang mengurai kembali perkuliahan John Rawls selepas
secara sama-rata. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari
Hume,
Leibniz,
Kant,
dan
Hegel. Keenam, “Justice
as
Fairness:
meninggalnya pada 2002. Buku ini memaparkan teropong perspektif Rawls 16
Ibid .
12
13
hadirnya institusi-institusi sosial ( social institutions). Akan tetapi, menurutnya,
Rawls menjelaskan bahwa para pihak di dalam posisi asali masing-masing
kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu
akan mengadopsi dua prinsip keadilan utama. Pertama, setiap orang memiliki hak
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya
yang sama atas kebebasan-kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel
masyarakat lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls
dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial
sebagai perspektif “liberal -egalitarian of social justice” .
dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga: (a) diperoleh manfaat sebesar-
Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip
besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, dan (b) jabatan-
keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal
jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana
dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of
adanya persamaan kesempatan yang adil.
ignorance ). Sebagaimana pada umumnya, setiap teori kontrak pastilah memiliki
Prinsip pertama tersebut dikenal dengan “prinsip kebebasan yang sama”
suatu hipotesis dan tidak terkecuali pada konsep Rawls mengenai kontrak keadilan.
(equal liberty principle ), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik ( political of
Dirinya berusaha untuk memosisikan adanya situasi yang sama dan setara antara
liberty ), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi ( freedom of speech
tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih
and expression), serta kebebasan beragama ( freedom of religion). Sedangkan
tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial,
prinsip kedua bagian (a) disebut dengan “prinsip perbedaan” ( difference principle )
tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Sehingga, orang-
dan pada bagian (b) dinamakan dengan “prinsip persamaan kesempatan” ( equal
orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara
opportunity principle ).
seimbang.
“Prinsip perbedaan” pada bagian (a) berangkat dari prinsip ketidaksamaan
Kondisi demikianlah yang dimaksud oleh Rawls sebagai “posisi asali” yang
yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan
bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ci ri rasionalitas
kelompok masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan
(rationality ), kebebasan ( freedom), dan persamaan ( equality ) guna mengatur
yang terkandung pada bagian (b) tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas
struktur dasar masyarakat ( basic structure of society ). Hipotesa Rawls yang tanpa
kemampuan semata, namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari
rekam historis tersebut sebenarnya hampir serupa dengan apa yang dikemukakan
kualitas tersebut. Sehingga dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat
oleh Thomas Nagel sebagai “pandangan tidak darimanapun ( the view from
adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat
nowhere ), hanya saja dirinya lebih menekankan pada versi yang sangat abstrak dari
dipandang sebagai suatu nilai yang adil berdasarkan persepktif Rawls. Selain itu,
“the State of Nature” .
prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban dasar, sementara
Sementara itu, konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh
pada prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial dan ekonomi
Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat diperkenankan jika
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,
memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap kelompok masyarakat
sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang
yang kurang beruntung ( the least advantage).
tengah berkembang. Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring
Dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls meneguhkan
masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil. Itulah sebabnya
adanya aturan prioritas ketika antara prinsip satu dengan lainnya saling
mengapa Rawls menyebut teorinya tersebut sebagai “justice as fairness”.
berhadapan. Jika terdapat konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di atas prinsip kedua, sedangkan prinsip kedua (b) harus
14
15
diutamakan dari prinsip kedua (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan
ditempuh demi menjamin dan mernbawa manfaat bagi semua orang.
masayarakat yang adil Rawls berusaha untuk memosisikan kebebasan akan hak -hak
memberikan tempat dan menghargai hak setiap orang untuk menikmati suatu
dasar sebagai nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya
hidup yang layak sebagai manusia, termasuk mereka yang paling tidak beruntung.
jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau
Berlandaskan dari prinsip umum tersebut di atas , Rawls merumuskan kedua prinsip
posisi tertentu. Pada akhirnya, Rawls juga menisbatkan bahwa adanya pembedaan
keadilan sebagai berikut: First, each person is to have an equal right to the most
tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat
extensive basic liberty compatible with similar liberty for others; Second, social and
terbesar bagi orang-orang yang paling tidak beruntung.
17
Rawls
economic inequlities are to be range so that they are both (a) reasonable expected
Sedangkan dalam pandangan Abdul Ghofur Anshori, kebebasan : dan
to be to every one's advantage, and (b) attached to positions and offices open to all.
kesamaan merupakan unsur yang menjadi bagian inti teori keadilan. Rawls
Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru
menegaskan bahwa kebebasan dan kesamaan seharusnya tidak dikorbankan demi
terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga memberikan
manfaat sosial atau ekonomi, betapapun besarnya manfaat yang dapat diperoleh
keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas pada kebebasan. Ini
dari sudut itu. Rawls percaya bahwa suatu perlakuan yang sama bagi semua
merupakan dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan dengan demikian juga
anggota masyarakat yang terakomodasi dalam keadilan formal atau juga disebut
membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai Fairness dari teori-teori yang
keadilan regulatif, sesungguhnya mengandung pengakuan akan kebebasan dan
dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam cakrawala teologis. Untuk
kesamaan bagi semua orang. Teori keadilan Rawls yang disebut prinsip-prinsip
terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, Rawls menegaskan bahwa
pertama keadilan itu, diolah dari dari suatu konsep keadilan yang lebih umum yang
keduanya harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya serial order. Dengan
dirumuskannya sebagai berikut : All social values -- liberty and opportunity, income
pengaturan seperti itu, Rawls menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-
and wealth, and the bases ofself-respect-rare to be distributed equally unless and
kebebasan dasar tidak dapat ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini
18
unequal distribution of any, or all, of these values is to everyone 's advantage .
Lebih lanjut menurut Abdul Ghofur Anshori, ada dua hal yang penting dapat dicatat sehubungan dengan konsep keadilan umum tersebut.
berarti prinsip keadilan yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan
Pertama,
pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip
kebebasan ditempatkan sejajar dengan nilai-nilai lainnya, dan dengan itu juga
keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan dasar
konsep umum keadilan tidak memberi tempat istimewa terhadap kebebasan. Hal
dalam konsep keadilan. 19
ini berbeda dengan konsep keadilan Rawls yang berakar pada prinsip hak dan
Teori keadilan yang diciptakan melalui kacamata Rawls sudah dipastikan
bukan pada prinsip manfaat. Kedua, keadilan tidak selalu berarti s emua orang harus
akan menjadi topik perdebatan hangat di kalangan para filsuf etik dan politik dari
selalu mendapatkan sesuatu dalam jumlah yang sama; keadilan tidak selalu berarti
bermacam mahzab pemikiran. Hingga kini banyak para pakar lintas disiplin yang
semua orang harus diperlakukan secara sama tanpa memperhatikan perbedaan-
mendukung gagasan Rawls, namun tidak sedikit pula yang menentangnya. Selaku
perbedaan penting yang secara objektif ada pada setiap individu; ketidaksamaan
rekan sejawatnya di Harvard University, Robert Nozick menjadi orang pertama yang
dalam distribusi nilai-nilai sosial selalu dapat dibenarkan asalkan kebijakan itu
melancarkan kritik secara terbuka terhadap “A Theory of Justice” melalui bukunya yang berjudul “Anarchy, State and Utopia” (1974). Umumnya hingga saat ini, kedua
17
Ibid .
18
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum : Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008. Hal. 59.
19
Ibid . hal. 59-60.
16
17
pelbagai
yang disetujui oleh para pihak sepanjang kesepakatan tersebut terbuka untuk
ketidaksetujuan Nozick selaku kaum “libertian justice” terhadap konsep Rawls
dibicarakan secara damai, logis, adil, dan bijaksana, serta melepaskan adanya klaim-
mengenai prinsip moral ( moral principle ), aturan-aturan ( roles), jejak sejarah
klaim atas kebenaran yang universal ( universal truth).
buku
tersebut
selalu
dibaca
bersandingan
untuk
mengetahui
(historical trace), dan keadilan distibutif ( distributive justice).20
Dengan demikian, John Rawls telah menyempurnakan prinsip-prinsip
Secara umum, kritikan yang muncul tersebut juga mempertanyakan
keadilannya menjadi sebagai berikut : Pertama, setiap orang memiliki klaim yang
keabsahan dan keberfungsian premis-premis keadilan Rawls apabila dihadapkan
sama untuk memenuhi hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang
pada kondisi-kondisi khusus dan pola kehidupan masyarakat dunia yang terus
kompatibel dan sama jenisnya untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik
berkembang, seperti misalnya terhadap keadilan internasional ( international
yang sama dijamin dengan nilai-nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan
justice). Namun demikian, bagi John Rawls k ritikan tersebut justru dimanfaatkannya
ekonomi dapat dipenuhi atas dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-
sebagai dasar penyempurnaan dari teori kedilan yang tengah dikembangkannya.
jabatan dan posisi-posisi yang dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya
Namun kemudian, melalui bukunya “Political Liberalism” (1993), Rawls mencoba
persamaan kesempatan yang adil; dan (b) diperuntukan sebagai kebermanfaatan
untuk menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam
sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan.
“TJ”. Beragam perluasan masalah ( problem of extension) yang muncul di kemudian
Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam “TJ” dan “PL” tersebut terletak
hari, berusaha dijawab olehnya dalam “PL” yang tidak hanya sebatas bagaimana
pada konsep yang awalny a disebut sebagai “hak yang sama” (equal rights) menjadi
cara membentuk keadilan sosial, namun juga bagaimana politik yang adil, bebas,
“klaim yang sama” (equal claim), serta adanya modifikasi terhadap frasa “sistem
dan teratur dapat terus dipelihara dalam konteks kekinian serta situasi sosial yang
kemerdekaan-kemerdekaan dasar” (system of basic liberties) menjadi “skema
ditandai dengan adanya keanekaragaman agama, filsafat, dan doktrin moral. Dalam
pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan-kemerdekan
bukunya tersebut, Rawls tidak saja memperkenalkan gagasan yang disebutnya
dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties ).
sebagai “overlapping consensus” guna membentuk kesepakatan terhadap keadilan
Berbeda dengan dua maha karya Rawls sebelumnya, buku “The Law of
dan kesamaan diantara warga negara yang memiliki pandangan keyakinan agama
Peoples” (1999) mengurai secara komprehensif mengenai perspektif keadilan pada
dan filosofis yang berbeda- beda, namun juga menguraikan ide tentang “nalar
ranah politik internasional. Rawls mengupas diskursus mengenai keberadaan kaum
publik” ( public reason) sebagai penalaran bersama dari seluruh warga negara.
minoritas untuk memperoleh posisi kekuasaan di dalam negara dan membuka
Berbeda dengan konsepsi dan paham kebebasan berpolitik yang
adanya kemungkinan partisipasi politik hanya dengan pembahasan bertingkat,
ditawarkan oleh John Locke atau John Stuart Mill yang lebih mengedepankan
selain tentunya juga melalui mekanisme pemilihan umum. Pandangannya
filsafat kebebasan budaya dan metafisik, melalui “PL” John Rawls mencoba untuk
mengenai keadilan distributif secara global juga dipaparkan secara sistematis,
memperkuat argumentasi dari adanya kemungkinan kesepakatan yang lebih bebas
misalnya mengenai konsep bantuan luar negeri yang cukup menarik untuk
tanpa memperhatikan kedalaman dari nilai-nilai keyakinan agama dan metafisik
disimak.21 21
20
Robert Paul Wolff yang menulis “Understanding Rawls: A Critique and Reconstruction of A Theory of Justice” (1977) dari persepktif marxist dan Michael Walzer dari kelompok komunitarian melalui karyanya “Spheres of Justice” (1983), juga sama-sama menunjukkan ketidaksetujuannya terhadap konsep keadilan yang didengungkan oleh John Rawls. Bahkan Amartya Sen dan G.A. Cohen turut pula mengkritisi teori Rawls atas kedalaman dan keseriusan basis egalitariannya. Pan Mohamad Paiz, Op. Cit.
Walaupun Rawls mengakui bahwa bantuan harus diberikan kepada pemerintah di suatu negara yang tidak mampu melindungi hak asasi manusia karena alasan-alasan ekonomi, namun dirinya menekankan bahwa bantuan yang diberikan secara terus-menerus dan tanpa batas akan menimbulkan suatu permasalahan moral yang amat berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadi sangat tergantung karena merasa kebutuhannya akan selalu dijamin oleh negara-negara yang memberikan bantuan tersebut. Selain pandangan-pandangan global sebagaimana diuraikan di atas, diskursus yang
18
4. Relevansi Konstitusi Menurut Pan Mohamad Paiz, prinsip-prinsip keadilan yang disampaikan oleh John Rawls pada umumnya sangat relevan bagi negara-negara dunia yang sedang berkembang, seperti Indonesia misalnya. Relevansi tersebut semakin kuat tatkala hampir sebagian besar populasi dunia yang menetap di Indonesia masih
19
freedoms of citizens) yang dimuat di dalam Bab XA tentang Hak Asasi Manusia,
diantaranya yaitu Pasal 28E UUD 1945 mengenai kebebasan memeluk agama ( freedom of religion ), kebebasan menyatakan pikiran sesuai hati nurani ( freedom of conscience), serta kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat ( freedom of assembly and speech).
Begitu pula dengan prinsip kedua bagian pertama sebagai prinsip
tergolong sebagai masyarakat kaum lemah yang hidup di bawah garis kemiskinan. Akan tetapi, apabila dicermati jauh sebelum terbitnya karya-karya Rawls mengenai “keadilan sosial” (social justice), bangsa Indonesia sebenarnya telah menancapkan
dasar kehidupan berbangsa dan bernegaranya atas dasar keadilan sosial. Dua kali istilah “keadilan sosial” disebutkan di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Dengan demikian, keadilan sosial telah diletakkan menjadi salah satu landasan dasar dari tujuan dan cita negara (staatsidee) sekaligus sebagai dasar filosofis bernegara ( filosofische gro ndslag ) yang termaktub pada sila kelima dari Pancasila. Artinya, memang sejak awal the founding parents mendirikan Indonesia atas pijakan untuk mewujudkan keadilan sosial baik untuk warga negaranya sendiri maupun masyarakat dunia. Dalam konsepsi Rawls, keadilan sosial tersebut dapat ditegakkan melalui koreksi terhadap pencapaian keadilan dengan cara memperbaiki struktur dasar dari institusi-institusi sosial yang utama, seperti misalnya pengadilan, pasar, dan konstitusi negara. Lebih lanjut, ia kemukakan, apabila kita sejajarkan antara prinsip keadilan Rawls dan konstitusi, maka dua prinsip keadilan yang menjadi premis utama dari teori Rawls juga tertera dalam konstitusi Indonesia, terlebih lagi setelah adanya perubahan UUD 1945 melalui empat tahapan dari 1999 sampai dengan 2002. Prinsip kebebasan yang sama ( equal liberty principle ) tercermin dari adanya ketentuan mengenai hak dan kebebasan warga negara ( constitutional rights and
22
perbedaan (difference principle ), Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip yang sama pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Dari sinilah dasar
penerapan affirmative action atau positive discriminat ion dapat dibenarkan secara konstitusional. Pengaturan demikian sama halnya dalam Konstitusi India yang menerapkan sistem “reservation” untuk mengangkat kelas terbelakang ( backward class) di bidang pendidikan dan sosial berdasarkan Pasal 15 ayat (4) dan Bagian IV
tentang “Directive Principles of State Policy” Konstitusi India. Terhadap prinsip persamaan kesempatan ( equal opportunity principle ) sebagai prinsip kedua bagian kedua dari teori keadilan Rawls, Konstitusi Indonesia secara tegas juga memberikan jaminan konstitusi (constitutional guarantee) yang serupa, sebagaimana salah satunya termuat pada Pasal 28D ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terlepas dari adanya kesengajaan ataupun tidak, Indonesia secara nyata telah memasukan prinsip-prinsip keadilan yang digagas oleh John Rawls ke dalam batang tubuh Konstitusi. Begitu pula dalam praktik ketatanegaraan seharihari, walaupun tidak selalu digunakan, eksistensi teori keadilan Rawls telah malang melintang penggunaanya baik di muka persidangan maupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Ahli-ahli Hukum Tata Negara seringkali merujuk pemikiran Rawls ketika menafsirkan makna dan esensi keadilan yang terkandung di dalam
dikembangkan oleh Rawls juga termasuk namun tidak terbatas pada permasalahan seputar humaniter, imigrasi, dan pengayaan nuklir ( nuclear proliferation). Dirinya juga memberikan lingkup dan ciri-ciri ideal seorang negarawan dan pemimpin politik di suatu negara yang harus mampu meneropong kebutuhan generasi selanjutnya, menciptakan dan memajukan keharmonisan hubungan internasional, serta menyelesaikan permasalahan domestik secara adil. Salah satu pendapatnya yang menimbulkan kontroversi yaitu mengenai pemberian legitimasi terhadap intervensi militer seandainya terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara. Namun demikian, Rawls mensyaratkan agar antara negara dan masyarakat harus diusahakan terlebih dahulu menyelesaikan permasalahan tersebut secara damai sebelum dibukanya kemungkinan intervensi militer, Pan Mohamad Paiz, Ibid .
Konstitusi, sebagaimana misalnya terekam dalam Perkara Nomor 51-52-59/PUUVI/2008 dan Perkara Nomor 3/PUU-VII/2009. Dalam
konteks
prinsip-prinsip
keadilan,
Mahkamah
Konstitusi
berpandangan bahwa keadilan tidak selalu berarti memperlakukan sama kepada
22
Ibid.
20
setiap
orang.
Menurut
Mahkamah,
keadilan
haruslah
diartikan
21
dengan
“memperlakukan sama terhadap hal -hal yang sama, dan memperlakukan berbeda
D. Penutup
terhadap hal- hal yang memang berbeda”. Sehingga, apabila terhadap hal -hal yang berbeda kemudian diperlakukan sama, justru akan menjadi tidak adil. Pemaknaan yang demikian telah dituangkan dalam pelbagai Putusan Mahkamah Konstitusi, di antaranya yaitu Putusan Nomor 070/PUU-II/2004, Putusan Nomor 14-17/PUUV/2007
dan
Putusan
Nomor
27/PUU-V/2007.
Terakhir
kali
Mahkamah
menggunakan teori Rawls dalam pertimbangan hukumnya yaitu dalam Putusan Nomor 53/PUU-VI/2008 bertanggal 15 April 2009 pada paragraf [3.19] butir kedelapan.
Masa lahirnya dua buku pertama karya John Rawls seringkali disebut sebagai zaman keemasan bagi pengembangan teori tentang keadilan, sebab keduanya telah memunculkan perdebatan intelektual terhangat sepanjang abad k e20. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan oleh Tom Campbell, diskursus mengenai “keadilan” hingga kini terus memperoleh tempat utama dan pertama dalam
perdebatan normatif di bidang filsafat politik dan moral. Meskipun di kalangan masyarakat awam, politisi, dan filsafat telah terdapat kesamaan pandangan mengenai keutamaan keadilan sebagai nilai-nilai politik dan moral, namun hingga
Masih terkait dengan konstitusi, Rawls juga menggarisbawahi bahwa keadilan dapat tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan terintegralisasinya hak dan kewajiban konstitutional yang berlandaskan nilai-nilai moral. Dengan kata lain, Rawls juga menempatkan moral konstitusi ( constitutional morality ) untuk menentukan apakah institusi-institusi yang diatur di dalamnya
kini dapat dikatakan belum ada titik temu kesamaan mengenai makna dan lingkupnya. Dalam hal ini, teori keadilan sosial yang diusung oleh para Rawlsian selaku kaum liberal-egalitarian menempati posisi sentral apabila dibandingkan dengan pandangan keadilan berdasarkan perspektif liberal, utilitaris, libertarian, komunitarian, marxist, dan feminis.
sudah bersifat adil. Oleh karenanya menurut Rawls, antara moral dan konstitusi, keduanya saling membutuhkan satu sama lain guna mewujudkan tatanan dasar kehidupan sosial dan bernegara. Artinya, konstitusi haruslah berlandaskan nilainilai moral dan sebaliknya juga agar berlaku efektif maka nilai-nilai moral harus didukung oleh konstitusi.
Amerika
yang beranekaragam, menjadikan pengembangan prinsip tersebut merebak secara cepat dan luas bak cendawan di musim hujan. Namun demikian, adanya
23
kelemahan-kelemahan konsepsi Rawls sebagaimana diutarakan oleh kelompok arus
Sehubungan dengan hal ini, Friedmann mengemukakan mekanisme konstitusi
Kesepadanan antara prinsip-prinsip keadilan Rawls dengan karakteristik negara-negara berkembang, khususnya yang memiliki latar belakang masyarakat
Serikat
yang
kompleks,
untuk
menjaga
batas-batas
perubahannya, dalam arti untuk menjaga kestabilan hukum, teknik atau cara perubahannya tunduk pada pemikiran yang mengaturnya. Cita-cita hukum yang tertinggi menentukan penggunaan mekanisme, sesuai yang ditentukan semula. 24
utama
pemikir
lainnya,
selain
harus
dijadikan
catatan
penting
dalam
pengimplementasiannya, juga harus didudukkan secara proporsional dalam perdebatan akademisnya, sehingga pengembangan diskursus tentang keadilan tidak akan pernah pudar semata- mata untuk menyempurnakan konsepsi “keadilan sosial” yang seadil -adilnya. Terlebih lagi, Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas
telah menempatkan keadilan sosial sebagai pilar utama untuk mewujudkan cita negara dalam membentuk negara kesejahteraan ( welfare state). 23
Terhadap konsep demokrasi, John Rawls memilih pelaksanaanya berdasarkan demokrasi konstitusional ( constitutional democracy ) yang diwujudkan dengan keberadaan badan-badan perwakilan yang keanggotaannya dipilih melalui cara-cara yang adil. Kendatipun demikian, Rawls tetap membuka ruang adanya pembatasan terhadap kebebasan berpolitik. Akan tetapi pembatasan tersebut haruslah memberikan jaminan dan manfaat yang sama bagi kelompok atau golongan yang kurang beruntung ( the least advantaged ). Ibid .
24
Friedman, Loc. Cit . Hal. 39.
22
DAFTAR BACAAN
Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum : Sejarah, Aliran dan Pemaknaan , Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2008. A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia , Kanisius, Yogyakarta, 1990. Bagir Manan, Prof., Dr., H., S.H., M.CL., Hukum Positif Indonesia (Suatu Kajian Teoritik), Penerbit Fakultas Hukum UII Yogyakarta, Yogyakarta, Desember 2004. E.Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai , Kompas, Jakarta, 2007. Friedmann, W., Teori dan Filsafat Hukum/W.Friedmann, Penerjemah, Muhammad Arifin, Jakarta, Rajagrafindo, 1993, judul asli : Legal Theory, Stevens & Sons, London, 1960. K. Bertens, Etika, Gramedi Pustaka Utama, Jakarta, 2000. Munir Fuady, Dr., Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Moh. Mahfud et all, Satjipto Rahardjo dan Hukum Progresif, Urgensi dan Kritik , Epistema Institute, Jakarta, 2011. Materi Kuliah Program Magister Hukum Filsafat Hukum Jilid I, Dosen : Dr. Agus Brotosusilo, S.H., MA., Fakultas Hukum Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Topik : “ Modern In Analytical and Normative Jurisprudence” . Pan Mohamad Paiz, Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi untuk Edisi AprilMei 2009. Ph. Visser t hooft, Prof. Dr., Filsafat Ilmu Hukum , diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta : “Filosofie van de Rechtsweteschap” , Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahayangan Bandung, Penerbitan Tidak Berkala, No. 4 Tahun 2002. Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah , Kanisius, Yogyakarta, 1982. Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum , Genta Publishing, Jogyakarta, 2011.