17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Belakangan ini, banyak terjadi kasus bencana alam maupun non-alam, pembunuhan, pemekorsaan, dan lain-lain. Seringkali jenazah yang ditemukan sudah tidak berbentuk sehingga sangat sulit untuk mengenalinya. Sementara itu, jenazah perlu dikembalikan kepada keluarga dari korban. Maka dari itu, diperlukan identifikasi terhadap jenazah tersebut. Identifikasi diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Sementara identifikasi secara forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan.
Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban.
Ada beberapa cara untuk identifikasi dengan non-dental, dan salah satunya adalah dengan DNA. DNA dapat menjadi sebuah alat untuk identifikasi karena pada intinya setiap makhluk hidup memiliki kandungan DNA. Metode DNA adalah salah satu teknik paling tepercaya untuk mengidentifikasi. Identifikasi melalui DNA sangat membantu karena sifatnya pasti/ definitif dan tidak berubah, mungkin terjadi kelainan-kelainan tertentu tetapi pola dari apa yang kita periksa tidak berubah, cuma ada keburukannya tergantung dari tempat dimana sumber-sumber tersebut ditemukan, misalkan lembab, banyak jamur, itu akan merusak DNA, tetap bisa dilakukan pemeriksaan tapi akan membutuhkan waktu lebih lama.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk lebih mengerti arti identifikasi secara umum.
b. Untuk mengerti peran forensik dalam proses pengidentifikasian jenazah.
c. Untuk mengerti salah satu jenis identifikasi forensik non-dental, yaitu melalui analisis DNA
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini adalah agar:
a. Masyarakat akan lebih mengerti perihal identifikasi korban secara forensik.
b. Pengidentifikasian forensik secara analisis DNA dapat dikembangkan lagi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Identifikasi secara umum
2.1.1 Pengertian identifikasi
Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup maupun mati, berdasarkan ciri khas yang terdapat pada orang tersebut. Identifikasi juga diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetahui identitas seseorang melalui sejumlah ciri yang ada pada orang tak dikenal, sedemikian rupa sehingga dapat ditentukan bahwa orang itu apakah sama dengan orang yang hilang yang diperkirakan sebelumnya juga dikenal dengan ciri-ciri itu. Identifikasi forensik merupakan usaha untuk mengetahui identitas seseorang yang ditujukan untuk kepentingan forensik, yaitu kepentingan proses peradilan (Dr. Amri, 2000).
2.1.2 Macam cara identifikasi
Objek identifikasi dapat berupa orang yang masih hidup atau yang sudah meninggal dunia. Identifikasi terhadap orang tak dikenal yang masih hidup meliputi:
Penampilan umum (general appearance), yaitu tinggi badan, berat badan, jenis kelamin, umur, warna kulit, rambut dan mata. Melalui metode ini diperoleh data tentang jenis kelamin, ras, perkiraan umur dan tingi badan, kelainan pada tulang dan sebagainya.
1. Perbedaan Umur Jenis Kelamin Pria Dan Wanita
2. Pakaian
3. Sidik jari
4. Jaringan parut
5. Tato
6. Kondisi mental
7. Antropometri
Tugas melakukan identifikasi pada orang hidup tersebut menjadi tugas pihak kepolisian. Dalam hal-hal tertentu dapat dimintakan bantuan dokter, misalnya pada kasus pemalsuan identitas di bidang keimigrasian atau kasus penyamaran oleh pelaku kejahatan (Dr. Amri, 2000).
Sedangkan identifikasi terhadap orang yang sudah meninggal dunia dapat dilakukan terhadap:
1. Jenazah yang masih baru dan utuh
2. Jenazah yang sudah membusuk dan utuh
3. Bagian-bagian dari tubuh jenazah
2.1.3 Teknik identifikasi forensik
Kegiatan identifikasi korban bencana massal (Disaster Victim Identification) menjadi kegiatan yang penting dan dilaksanakan hampir pada pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Dengan identifikasi yang tepat selanjutnya dapat dilakukan upaya merawat, mendoakan serta akhirnya menyerahkan setiap kejadian yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah yang banyak. Tujuan utama pemeriksaan identifikasi pada kasus musibah bencana massal adalah untuk mengenali korban. Proses identifikasi ini sangat penting bukan hanya untuk menganalisis penyebab bencana, tetapi memberikan ketenangan psikologis bagi keluarga dengan adanya kepastian identitas korban. Disaster Victim Identification (DVI) adalah suatu definisi yang diberikan sebagai sebuah prosedur untuk mengidentifikasi korban mati akibat bencana massal secara ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan dan mengacu pada standar baku Interpol (1). Proses DVI meliputi 5 fase yang pada setiap fase memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lain. Proses DVI menggunakan bermacam-macam metode dan teknik. Interpol telah menentukan adanya Primary Identifier yang terdiri dari fingerprint (FP), dental records (DR) dan DNA serta Secondary Identifiers yang terdiri dari medical (M), property (P) dan photography (PG), dengan prinsip identifikasi adalah membandingkan data antemortem dan postmortem. Primary identifiers mempunyai nilai yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan secondary identifiers. Setiap bencana massal yang menimbulkan banyak korban jiwa, baik akibat Natural Disaster ataupun Man Made Disaster, memiliki spesifikasi tertentu yang berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain. Perbedaan ini menyebabkan tindakan pemeriksaan identifikasi dengan skala prioritas bahan yang akan diperiksa sesuai dengan keadaan jenazah yang ditemukan. Kejadian bencana massal tersebut akan menghasilkan keadaan jenazah yang mungkin dapat intak, separuh intak, membusuk, tepisah berfragmen-fragmen, terbakar menjadi abu, separuh terbakar, terkubur ataupun kombinasi dari bermacam-macam keadaan (Prawestiningtyas et al, 2009).
Masalah akan timbul dengan berbagai variasi tingkat kesulitan dimana tindakan identifikasi termudah dan sederhana yaitu secara visual tidak lagi dapat digunakan. Demikian juga pada jenazah yang mengalami pembusukan lanjut, pemeriksaan identifikasi primer berdasarkan sidik jari akan sulit dilakukan, maka dapat digantikan dengan pemeriksaan gigi geligi karena gigi bersifat lebih tahan lama terhadap proses pembusukan. Namun keadaan gigi tersebut juga dipengaruhi faktor lingkungan tempat jenazah itu berada. Fakta pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa identifikasi korban meninggal massal melalui gigi geligi mempunyai kontribusi yang tinggi dalam menentukan identitas seseorang. Pada kasus Bom Bali I, korban yang teridentifikasi berdasarkan gigi geligi mencapai 56%, pada kecelakaan lalu lintas bis terbakar di Situbondo mencapai 60%. Laporan kasus ini menyajikan proses identifikasi korban bencana pada kejadian kapal tenggelam dan pesawat udara yang terbakar di darat. Jenazah korban tenggelamnya KM Senopati Nusantara, jenazah mengalami pembusukan lanjut yang berarti disertai dengan tidak utuhnya jaringan tubuh. Sebaliknya pada jenazah korban terbakarnya Pesawat Garuda GA 200 PK-GZC Boeing 737-400 jurusan Jakarta-Yogyakarta, jenazah ditemukan terpanggang menjadi separuh arang. Mempelajari dua kasus yang berbeda tersebut dapat dijadikan dasar dalam menentukan prioritas identifikasi primer akibat perbedaan keutuhan jaringan tubuh sesuai dengan modus kejadian kecelakaan. Perbedaan ini akan sangat mempengaruhi pelaksanaan fase rekonsiliasi dalam upaya pelepasan dan penyerahterimaan jenazah kepada keluarga yang bersangkutan. Dari tempat dan cara kejadian yang berbeda juga ternyata memberikan keberhasilan identifikasi yang berbeda. Hal ini selain dipengaruhi oleh media, juga dipengaruhi oleh kondisi kekuatan jaringan ikat yang masih intak terhadap proses pembusukan, serta lamanya jenazah terpapar dengan media pembusukan Meskipun terdapat skala prioritas pemeriksaan namun prosedur dan tahap pemeriksaan harus dikerjakan seluruhnya baik pemeriksaan primer dan pemeriksaan sekunder (Prawestiningtyas et al, 2009).
Kesulitan pemeriksaan identifikasi juga dipengaruhi kejadian bencana yang bersifat open disaster. Bencana tersebut merupakan kejadian bencana dengan jumlah korban meninggal tidak dapat diketahui secara pasti dan jelas sehingga tidak dapat ditentukan apakah memiliki kesamaan jumlah dengan nama pada daftar manifest penumpang yang dinyatakan dalam keadaan meninggal. Tidak semua korban dapat dievakuasi dan tidak semua proses identifikasi dapat dilakukan sesuai dengan harapan. Contohnya dari tragedi tenggelamnya kapal penumpang KM Senopati Nusantara di perairan Rembang, Jawa Tengah pada akhir tahun 2006 yang menewaskan ratusan korban jiwa, korban-korban tersebut tidak bisa dievakuasi secara keseluruhan dan mayoritas telah mengalami pembusukan lanjut pada saat ditemukan di tengah laut sehingga hanya 36 jenazah yang dapat dievakuasi. Dari ke 36 jenazah tersebut hanya 13 jenazah (36%) saja yang dapat teridentifikasi dan diserahkan kepada keluarga yang berhak. Jenazah tersebut merupakan jenazah tenggelam di air laut dengan rentang waktu bervariasi mulai dari hanya 2 hari ditemukan setelah kejadian hingga 3 minggu setelah kejadian. Hal tersebut sangat mempengaruhi keutuhan dan dapat menghilangkan tanda khas seorang individu sebagai bahan pemeriksaan identifikasi forensik. Dari 36 jenazah yang dapat dievakuasi 13 dari 36 jenazah tersebut dapat dilakukan identifikasi dan sesuai berdasarkan kombinasi pemeriksaan primer (primary identifiers) dan sekunder (secondary identifiers). Satu dari 13 jenazah (7.7%) yang teridentifikasi memiliki kondisi fisik membusuk awal sehingga dapat dilakukan pula teknik identifikasi sederhana secara visual (photography) yang dikonfirmasi dengan data pemeriksaan primer gigi dan sekunder medis dan properti. Mayoritas, terdapat 10 dari 13 jenazah (77%) teridentifikasi melalui kombinasi data-data pemeriksaan sekunder (secondary identifiers) melalui pemeriksaan data medis (medical) dan properti (property). Terdapat 3 dari 13 jenazah (23%) yang berhasil diidentifikasi melalui data kombinasi pemeriksaan primer dan sekunder, yaitu: 1 jenazah diidentifikasi dengan kombinasi data pemeriksaan primer gigi dan data sekunder medis dan fotografi, 1 jenazah melalui kombinasi data pemeriksaan primer gigi beserta gigi tiruan lepasan yang ditemukan didalamnya (dental records) dan data sekunder medis dan properti dan 1 jenazah diidentifikasi melalui kombinasi data pemeriksaan primer DNA serta data pemeriksaan sekunder medis dan properti. Tidak ada identifikasi dari 13 jenazah tersebut yang dapat dilakukan dari pemeriksaan postmortem murni berdasarkan pemeriksaan primer saja (Prawestiningtyas et al, 2009)
2.1.4 Hukum terkait identifikasi korban meninggal
Dasar hukum dan undang-undang bidang kesehatan yang mengatur identifikasi jenazah adalah antara lain: Berkaitan dengan kewajiban dokter dalam membantu peradilan diatur dalam KUHAP pasal 133:
1. Dalam hal penyidik untuk membantu kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokterdan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegasuntuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
3. Mayat yang dikirimkan kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuatkan identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang diilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat (Budiyanto et al, 1997).
2.2 Bencana
2.2.1 Pengertian Bencana
Menurut UU RI No. 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Dalam definisi yang mengacu pada UN-ISDR (International Strategy for Disaster Reduction), bencana didefinisikan sebagai "gangguan serius terhadap suatu sistem, komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian manusia, material, ekonomi atau lingkungan yang meluas melampaui kemampuan mereka (komunitas atau masyarakat yang terkena dampak) untuk mengatasinya dengan sumber daya mereka sendiri".
2.2.2 Hukum Terkait Bencana
Secara garis besar, Undang-Undang No. 24/2007 membahas mengenai penyelenggaraan penanggulangan bencana dari landasan nilai, kelembagaan, distribusi kewenangan dan aturan hukum. Berdasarkan fokus bahasan dari tiap pasal, maka Undang-Undang No. 24/2007 dapat dibagi menjadi beberapa segmen sebagai berikut:
Pasal 1-4 Definisi dan nilai dasar
Pasal 1 berisi pengertian dari istilah-istilah yang menjadi acuan dalam undang-undang ini. Pasal-pasal selanjutnya berisi nilai dasar, prinsip-prinsip dan tujuan dari penanggulangan bencana.
Pasal 5-9 Distribusi kewenangan
Segmen ini membahas mengenai pembagian kewenangan pemerintah pusat dan daerah, serta tanggung jawab yang meliputi kewenangan tersebut.
Pasal 10-25 Lembaga Pemerintah dalam penanggulangan bencana
Segmen ini membahas mengenai institusi pemerintah yang secara khusus ditunjuk untuk menangani penanggulangan bencana, baik ditingkat pusat maupun daerah beserta struktur, tugas dan fungsinya. Institusi tersebut adalah BNPB di pusat dan BPBD di daerah.
Pasal 26-30 Peran masyarakat dan entitas non pemerintah
Segmen ini menjelaskan mengenai hak dan distribusi peran dari pihak diluar pemerintah, yaitu masyarakat, lembaga usaha (perusahaan) serta lembaga internasional.
Pasal 31-59 Penyelenggaraan penanggulangan bencana
Segmen ini membahas mengenai prinsip dasar penyelenggaraan penanggulangan bencana dan tahapan-tahapan beserta alur penyelenggaraan dari tiap tahap.
Pasal 60-70 Aturan pendanaan
Pasal 71-73 Pengawasan
Pasal 74-85 Hukum dan aturan pelengkap
2.3 DNA
2.3.1 Pengertian DNA
DNA atau Deoxyribo Nucleic Acid merupakan asam nukleat yang menyimpan semua informasi tentang genetika. DNA inilah yang menentukan jenis rambut, warna kulit, dan sifat-sifat khusus dari manusia. DNA ini akan menjadi cetak biru (blue print) ciri khas manusia yang dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya. Sehingga dalam tubuh seorang anak, komposisi DNA-nya sama dengan tipe DNA yang diturunkan dari orang tuanya (Muhtarom, 2009).
Secara bahasa, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) tersusun dari kata-kata "deocyribosa" yang berarti gula pentosa, "nucleic" yang lebih dikenal dengan nukleat berasal dari kata "nucleus" yang berarti inti serta "acid" yang berarti zat asam ( Suryo, 2001).
Secara terminologi DNA merupakan persenyawaan kimia yang paling penting, yang membawa keterangan genetik dari sel khususnya atau dari makhluk dalam keseluruhannya dari satu generasi ke generasi berikutnya. DNA adalah bahan kimia utama yang berfungsi sebagai penyusun gen yang menjadi unit penurunan sifat (hereditas) dari induk kepada keturunannya (Suryo, 2001). Dengan demikian maka dapat diambil pengertian bahwa DNA adalah susunan kimia makro molecular yang terdiri dari tiga macam molekul, yaitu : gula pentose, asam fosfat, dan basa nitrogen, yang sebagian besar terdapat dalam nukleas hidup yang akan mengatur program keturunan selanjutnya (Muhtarom, 2009).
Keberadaan DNA sangatlah erat hubungannya dengan ilmu di bidang biologi yang sampai sekarang pengembangannya tetap dilakukan oleh para ahli. Seiring perkembangannya, saat ini tidak lagi terbatas untuk keperluan di bidang biologi semata, akan tetapi telah dimanfaatkan oleh keilmuan lain seperti perindustrian, pertanian, farmasi, ilmu forensik, dan bidang keilmuan lainnya (Muhtarom, 2009).
Suatu kemajuan ilmiah yang sangat penting terjadi pada tahun 1869, ketika Friederich Miescher, seorang ahli kimia berkebangsaan Swiss dapat mengisolir molekul DNA dari sel spermatozoa dan dari nukleus sel-sel darah merah burung. Ia mengemukakan bahwa nukleus sel tidak terdiri dari karbohidrat, protein ataupun lemak, melainkan juga terdiri dari zat yang mempunyai kandungan fosfor yang sangat tinggi. Oleh karena zat itu terdapat dalam nukleus sel, maka zat itu disebut nuklein dan nama ini kemudian lebih dikenal dengan asam nukleat dikarenakan asam juga ikut menyusunnya. Asam nukleat ini terdiri dari dua tipe, yaitu asam deoksiribonukleat (deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA) dan asam ribonukleat (ribonucleic acid atau disingkat RNA) (Muhtarom, 2009).
Penelitian mengenai DNA ternyata terus berlanjut, pengembangan selanjutnya oleh Robert Feulgen pada tahun 1914 yang mengemukakan tes warna yang dilakukannya terhadap DNA yang kemudian penelitiannya ini dikenal di kalangan biologi dengan istilah reaksi Feulgen. Pada tahun 1944, Avery, MacLeod, dan Mc Carthy mengemukakan bahwa DNA mempunyai hubungan langsung dengan keturunan. MEskipun pada rentang waktu yang jauh sebelumnya, Mendel (1860) juga telah mengemukakan bahwa hereditas itu dipindahkan melalui sel telur dan sperma, meskipun belum mengemukakan secara langsung bahwa DNA juga ikut dipindahkan melalui dua bibit penting itu. Selanjutnya penelitian dilakukan oleh Edwin Chargaff pada tahun 1947 yang mengemukakan bahwa DNA terdiri dari bagian yang sama dari basa purin dan piramidin serta adenine dan timin terdapat dalam proporsi yang sama dan begitu juga halnya dengan sitosin dan guanin (Muhtarom, 2009).
Penelitian berikutnya dilakukan oleh Maurice Wilkins yang menggunakan difraksi sinar X dalam mempelajari struktur protein dengan metode kritalografi. Dalam penemuannya mengemukakan bahwa basa-basa purin dan pirimidin dalam molekul DNA terletak dalam jarak 3,4 Å ( 1 angstrӧm = 0,001 mikron = 0,000001 mm) mereka juga mengemukakan bahwa molekul DNA itu tidak berbentuk sebagai sebuah garis lurus, akan tetapi berpilin sebagai spiral dan setiap 34 Å merupakan satu spiral penuh. Berangkat dari penelitian ini, penemuan yang cukup besar dilanjutkan oleh James Watson yang berkebangsaan Amerika dan Francis Crick yang berkebangsaan Inggris menemukan struktur double helix dari susunan DNA. Keduanya mengemukakan hal ini berdasarkan hasil foto dengan metode kritalografi sinar X yang mereka ambil dari laboratorium Maurice Wilkins yang dibantu oleh Rosalind Franklin. Kebenaran teori double helix yang dikemukakan oleh Watson dan Crick ini diperkuat oleh Kornberg yang membuat molekul DNA dalam sistem sel bebas. Sebagai bahan genetik yang lengkap, DNA dipergunakan dalam ilmu kedokteran kehakiman pada tahun 1960-an sekitar tujuh tahun setelah penemuan Watson dan Crick yang pertama kali diterapkan di Inggris (Muhtarom, 2009).
Seiring dengan bergulirnya waktu, perkembangan DNA sebagai suatu penemuan besar tidak lagi berbatas hanya sekedar sebagai sebuah pita informasi, akan tetapi pada saat ini telah jauh berkembang dengan sangat pesat. Penemuan-penemuan dari generasi ke generasi semakin melengkapi dan memberikan manfaat baru. Beberapa hal baru yang menggunakan tehnik DNA antara lain menyelidiki seorang pelaku tindak kriminal berdasarkan kecocokkan sampel DNA yang ditemukan di tempat terjadinya suatu tindak kejahatan. Teknik ini terutama sangat membantu dalam masalah pembuktian tindak pidana yang berupa kekerasan seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan, dan tindak pidana lainnya (Muhtarom, 2009).
Pada intinya setiap makhluk hidup memiliki kandungan DNA. DNA sendiri terdapat di dalam sel, di mana bagian terbesar dari DNA terdapat di dalam nukleus, terutama dalam kromosom. Sebagaimana hasil penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya oleh Meischer bahwa banyak zat yang ditemukan dalam nukleus sel yang kemudian dinamai dengan nuklein yang kemudian nama ini diubah menjadi asam nukleat. Asam nukleat terdapat pada hampir semua sel makhluk hidup yang berfungsi untuk menyimpan dan mentransfer informasi genetik, kemudian memberikan informasi secara tepat untuk mensintesis protein yang khas bagi masing-masing sel. Di dalam kromosom inti sel terdapat DNA yang berbentuk untaian rangkap atau double helix. Apabila terjadi pembelahan inti sel, maka kromosom juga membelah dan demikian juga dengan molekul DNA. DNA tidak hanya terdapat dalam kromosom akan tetapi juga dapat ditemui pada sitoplasma dan mitokondria, akan tetapi dengan kadar yang lebih sedikit dibanding dengan yang terdapat dalam kromosom (Muhtarom, 2009).
2.3.2 Strukur DNA
James Watson and Francis Crick tahun 2003 telah membuka wawasan baru tentang penemuan model struktur DNA. Publikasi dari model double heliks DNA ini disusun berdasarkan penemuan:
1. Penemuan struktur asam nukleat dari (Pauling & Corey, 2003)
2. Pola difraksi DNA (Single-crystal X-ray analysis) (Wilkins & Franklin, 2003)
3. Pola perbandingan jumlah A-T, G-C (1:1) dari Chargaff atau dikenal sebagai Hukum Ekivalen Chargaff yaitu sebagai berikut :
a. Jumlah purin sama dengan pirimidin
b. Banyaknya adenin sama dengan timin, juga jumlah glisin sama dengan sitosin.
DNA terbentuk dari empat tipe nukleotida, yang berikatan secara kovalen membentuk rantai polinukleotida (rantai DNA atau benang DNA) dengan tulang punggung gula-fosfat tempat melekatnya basa-basa. Dua rantai polinukleotida saling berikatan melalui ikatan hidrogen antara basa-basa nitrogen dari rantai yang berbeda. Semua basa berada di dalam double helix dan tulang punggung gula-fosfat berada di bagian luar. Purin selalu berpasangan dengan pirimidin (A-T, G-C). Perpasangan secara komplemen tersebut memungkinkan pasangan basa dikemas dengan susunan yang paling sesuai. Hal ini bisa terjadi bila kedua rantai polinukleotida tersusun secara antiparallel (Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas, 2006).
Gambar 1. Struktur basa pirimidine (Cytosine, Thimine, Urasil), purine (Adenine, Guanine), Gula pentosa, ribonucleic acid, dan deoxyribonucleic acid.
.
Gambar 2. Pembentukan secara skematik struktur dsDNA dari gula
fosfat dan basa nukleotida (A). Dua ikatan hidrogen dari AT dan 3 ikatan hidrogen untuk GC (B).
DNA merupakan senyawa organic yang memiliki berat molekul paling besar dari semua senyawa yang ditemukan dalam kromatin inti sel (>99) dan dua organel sitoplasma (<1) mitokondria dan plasmid (kloroplas) (Harun Yahya, 2003). Dalam keadaan natural DNA terletak berpasangan yang man kedua utas yang berpasangan itu memiliki ikatan hydrogen lewat basanya dan berpasangan kedua utas tersebut bersifat tetap, dimana A (adenine) T ( timin ) sedangkan G (guanine) berpasangan dengan C (citosin) ( Neil A, 2002).
Asam nukleat tersusun atas nukleotida, yang bila terurai terdiri dari gula, fosfat, dan basa yang mengandung nitrogen. Karena banyaknya nukleotida yang menyusun molekul DNA, maka molekul DNA merupakan polinukleotida. Molekul yang menyusun DNA terdiri dari (Harun Yahya, 2003):
Gula pentose. Molekul gula yang menyusun DNA sebuah pentose yaitu deoksiribosa.
Asam fosfat.
Basa nitrogen.
Basa nitrogen yang menyusun molekul DNA terdiri atas 2 tipe yang dibedakan menjadi :
Pirimidin, basa ini dibedakan lagi menjadi 2 yaitu sitosin (S) dan timin (T).
Purin, basa ini juga dibedakan menjadi 2 yaitu yang terdiri dari adenine (A) dan guanine (G).
Gambar 3. Susunan Basa DNA
Gambar 4. Bentuk skematik double-helix DNA
2.3.3 Polimorfisme penggunaan DNA dalam forensik genetik
Pengenalan teknik biologi molekuler, terutama analisis DNA, untuk identifikasi manusia adalah kemajuan terbaru dalam kedokteran hukum. Upaya substansial telah terus-menerus telah dibuat dalam upaya untuk mengidentifikasi mayat dan sisa-sisa manusia setelah perang, masalah sosial-politik dan bencana massal. Selain itu, karena dinamika sosial kota-kota besar, selalu ada kasus orang hilang, serta mayat tak dikenal dan sisa-sisa manusia yang ditemukan. Dalam beberapa tahun terakhir, ada juga peningkatan permintaan untuk penggalian sisa-sisa manusia untuk menentukan hubungan genetik dalam gugatan perdata dan tindakan pengadilan.
Deteksi asam deoksiribonukleat (DNA) polimorfisme telah menjadi alat yang ampuh dalam identifikasi, sejak penggunaan pertama dalam kerja kasus penyelidikan forensik, oleh Jeffreys et.al (1985). Perkembangan teknologi untuk mendapatkan polimorfisme DNA dan studi validasi mereka telah sangat cepat. Pada mayat, DNA degradasi sangat cepat, bahkan dalam periode post-mortem awal. Degradasi jaringan lunak sangat jelas setelah interval waktu yang singkat, konsekuensinya peningkatan bakteri cepat yang wajar dalam mayat membusuk, terutama pada mereka yang terkena suhu panas di negara tropis seperti Brasil.
Ada beberapa teknologi DNA yang digunakan dalam penyelidikan forensik antara lain:
Polimorfisme Panjang Fragmen restriksi (RFLP)
RFLP adalah teknik untuk menganalisis variabel panjang fragmen DNA yang dihasilkan dari mencerna sampel DNA dengan jenis khusus dari enzim. Enzim ini, sebuah endonuklease pembatasan, memotong DNA pada pola urutan tertentu tahu sebagai situs endonuklease pembatasan pengakuan. Ada atau tidak adanya pengakuan situs tertentu dalam sampel DNA menghasilkan variabel panjang fragmen DNA, yang dipisahkan menggunakan elektroforesis gel. Mereka kemudian hibridisasi dengan probe DNA yang mengikat urutan DNA komplementer dalam sampel. RFLP adalah salah satu aplikasi pertama analisis DNA untuk penyidikan forensik. Dengan perkembangan baru, teknik DNA-analisis yang lebih efisien, RFLP tidak digunakan sebanyak dulu karena membutuhkan jumlah yang relatif besar DNA.Selain itu, sampel rusak oleh faktor lingkungan, seperti kotoran atau cetakan, tidak bekerja baik dengan RFLP.
Analisis PCR
Reaksi berantai polimerase (PCR) digunakan untuk membuat jutaan salinan tepat DNA dari sampel biologis. amplifikasi DNA dengan PCR memungkinkan analisis DNA pada sampel biologi sekecil beberapa sel-sel kulit. Dengan RFLP, sampel DNA harus tentang ukuran seperempat. Kemampuan PCR untuk memperkuat jumlah kecil seperti DNA memungkinkan bahkan sampel yang sudah terdegradasi untuk dianalisis. Great perawatan, bagaimanapun, harus diambil untuk mencegah kontaminasi dengan bahan biologis lain selama mengidentifikasi, mengumpulkan, dan memelihara sampel.
STR Analisis
Short tandem repeat (STR) teknologi yang digunakan untuk mengevaluasi daerah-daerah tertentu (lokus) dalam DNA nuklir. Variabilitas di daerah STR dapat digunakan untuk membedakan satu profil DNA dari yang lain. Federal Bureau of Investigation (FBI) menggunakan satu set standar dari 13 daerah STR khusus untuk CODIS. CODIS adalah sebuah program perangkat lunak yang beroperasi lokal, negara, dan database nasional profil DNA dari pelaku dihukum, bukti TKP belum terpecahkan, dan orang hilang. Kemungkinan bahwa dua individu akan memiliki profil DNA yang sama 13-lokus adalah sekitar satu dalam satu milyar.
Analisis DNA mitokondria
Analisis DNA mitokondria (mtDNA) dapat digunakan untuk menguji DNA dari sampel yang tidak dapat dianalisis dengan RFLP atau STR. DNA nuklir harus diekstrak dari sampel untuk digunakan dalam RFLP, PCR, dan STR, namun, analisis mtDNA menggunakan DNA yang diekstraksi dari organel seluler lain yang disebut mitokondria yang. Sedangkan sampel biologis yang lebih tua yang kekurangan bahan bernukleus seluler, seperti rambut, tulang, dan gigi, tidak dapat dianalisis dengan STR dan RFLP, mereka dapat dianalisis dengan mtDNA. Dalam penyelidikan kasus yang sudah terpecahkan selama bertahun-tahun, mtDNA sangat berharga.
Y-Kromosom Analisis
Kromosom Y trurn langsung dari ayah ke anak, sehingga analisis penanda genetik pada kromosom Y ini sangat berguna untuk menelusuri hubungan antara laki-laki atau untuk menganalisis bukti biologis melibatkan kontributor beberapa laki-laki.
Metode identifikasi yang sangat kuat ini bermanfaat dalam pemeriksaan paternitas, dalam memecahkan maslah-masalah imigrasi, dalam penyelidikan kriminal, dan dalam memantau transplantasi sumsum tulang. Penggunaan PCR untuk analisis sangat bermanfaat dalam analisa forensik, karena identifikasi dapat dilakukan hanya dari sedikit sampel, darah, akar rambut, kulit, atau jaringan lain.
2.4 Metode analisis DNA untuk identifikasi korban meninggal
Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah. Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban. Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA. Singkatan dari deoxyribonucleic acid, DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu. Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai. Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal. Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya (Rizal, 2005).
2.4.1 Keunggulan metode analisis DNA
Asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan molekul berisi informasi pada semua sel hidup dalam tubuh manusia untuk menjalankan fungsinya. Asam nukleat merupakan senyawa-senyawa polimer yang menyimpan semua informasi tentang genetika (Evan P., Sinly. 2007). DNA juga mengontrol pewarisan karakteristik dari orang tua kepada keturunannya. Dengan pengecualian kembar identik , DNA setiap orang adalah unik, yang membuat pengambilan sampel DNA yang berguna untuk memecahkan kejahatan, mengidentifikasi korban bencana, dan menemukan orang hilang.
Penemuan tehnik Polymerase Chain Reaction (PCR) memberikan hasil DNA fingerprint yang merupakan gambaran pola potongan DNA dari setiap individu. Karena setiap individu mempunyai DNA fingerprint yang berbeda maka dalam kasus forensik, informasi ini bisa digunakan sebagai bukti kuat kejahatan di pengadilan (Evan P., Sinly. 2007).
Profiling DNA dapat memainkan peran penting dalam memecahkan kejahatan, karena memiliki potensi untuk menghubungkan serangkaian kejahatan dan atau untuk menempatkan tersangka di TKP. DNA dapat membantu untuk membuktikan tersangka bersalah (http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DNA).
Langkah pertama dalam mendapatkan profil DNA untuk perbandingan adalah pengumpulan sampel dari TKP dan sampel referensi dari tersangka . Sampel biasanya diperoleh dari darah , rambut atau cairan tubuh . Kemajuan teknologi memungkinkan DNA sampel yang akan diperoleh dari jejak DNA yang lebih kecil yang ditemukan di TKP. Menggunakan metode ilmu forensik, sampel dianalisis, menghasilkan profil DNA yang dapat dibandingkan dengan profil DNA lain dalam database. Hal ini menciptakan kesempatan bagi ' hits' - orang-ke - scene , adegan -to - adegan atau hubungan orang - ke-orang - di mana koneksi sebelumnya tidak diketahui.
Ilmuwan forensik menggunakan DNA yang terletak dalam darah, sperma, kulit, liur atau rambut yang tersisa di tempat kejadian untuk mengidentifikasi kemungkinan tersangka, sebuah proses yang disebut fingerprinting genetika atau pemrofilan DNA (DNA profiling). Dalam pemrofilan, short tandem repeats dan minisatelit, dibandingkan. Bagian ini adalah bagian panjang relatif dari bagian DNA yang berulang. Pemrofilan DNA dikembangkan pada 1984 oleh genetikawan Inggris Alec Jeffreys dari Universitas Leicester, dan pertama kali digunakan untuk mendakwa Colin Pitchfork pada 1988 dalam kasus pembunuhan Enderby di Leicestershire, Inggris (http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_deoksiribonukleat).
Banyak yurisdiksi membutuhkan terdakwa dari kejahatan tertentu untuk menyediakan sebuah contoh DNA untuk dimasukkan ke dalam database komputer. Hal ini telah membantu investigator menyelesaikan kasus lama di mana pelanggar tidak diketahui dan hanya contoh DNA yang diperoleh dari tempat kejadian (terutama dalam kasus perkosaan antar orang tak dikenal). Metode DNA adalah salah satu teknik paling tepercaya untuk mengidentifikasi seorang pelaku kejahatan, tetapi tidak selalu sempurna, misalnya bila tidak ada DNA yang dapat diperoleh, atau bila tempat kejadian terkontaminasi oleh DNA dari banyak orang. Identifikasi melalui DNA sangat membantu karena sifatnya pasti/ definitif dan tidak berubah, mungkin terjadi kelainan-kelainan tertentu tetapi pola dari apa yang kita periksa tidak berubah, cuma ada keburukannya tergantung dari tempat dimana sumber-sumber tersebut ditemukan, misalkan lembab, banyak jamur, itu akan merusak DNA, tetap bisa dilakukan pemeriksaan tapi akan membutuhkan waktu lebih lama (http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9161).
Yang digunakan untuk pemeriksaan DNA adalah bagian dari tubuh orang yang ingin dites dan juga pembandingnya. Umumnya bagian tubuh yang lebih mudah dilakukan pemeriksaan adalah darah atau melakukan swap mukosa pipi. Sedangkan, jika menggunakan rambut, akan diperlukan tingkat kesulitan yang lebih tinggi.
Jika menggunakan sampel darah, maka yang diambil adalah sel darah putih dan bukan sel darah merahnya. Hal ini dikarenakan sel darah merah tidak memiliki inti sel yang merupakan pengujian paling akurat (inti sel tidak bisa berubah).
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Pada tanggal 16 Febuari 1998, pesawat Airbus 300-600 R dengan 182 penumpang dan 14 awak kabin terbang dari Bali, Indonesia, dan mengalami kecelakaan di jalan Tol Provinsi nomor 15 dan apartemen pada bagian utara dari bandara udara Chiang Kai-Shek di Taoyuan, Taiwan. 196 orang yang berada di dalam pesawat, ditambah 4 orang yang sedang berada di jalan tol dan 2 orang di apartemen terbunuh dalam peristiwa ini. Jasad dari ke-202 orang ini dibawa ke daerah seluas 2 km 2. Ribuan serpihan tersisa, yang diidentifikasikan sebagai jaringan tubuh manusia, yang didapatkan dari lokasi kejadian. Dari ke-202 korban, rekam medik, kenampakan patologis, dan personal affects hanya berhasil mengidentifikasi 19 korban. Dari 685 sampel jaringan dar lokasi kejadian, dibawa ke Criminal Investigation Bureau dan Central Police University untuk diidentifikasi secara analisis DNA.
Bencana massal, seperti kecelakaan pesawat, membutuhkan identifikasi yang positif dari korban. Metode tradisional dari Disaster Victim Identification (DVI) mengandalkan data antemortem (AM) seperti rekam medik, pola dermal ridge, dan personal affects. DNA typing telah menjadi alat yang dipakai pada DVI saat data AM tidak dapat diketahui.
Ada beberapa cara yang digunakan pada identifikasi DNA, yang meliputi:
Ekstraksi DNA
DNA dari jaringan otot dan sampel darah diekstraksi dari QI-Aamp Tissue Kit (QIAGEN, USA) dan dikuantifikasi dengan metode Quantiblot.
Analisis DNA
Genotip ABO diuji menggunakan metode PCR-RFLP. Loci Short Tandem Repeat (STR) diamplifikasi dengan penggunaan Perkin-Elmer Profiler Kit yang mengamplifikasi 9 loci mitrosatelit, dan tes seks amelogenin. Antara 1 sampai dengan 25 ng dari DNA ditambahkan ke PCR dan amplifikasi dilakukan berdasarkan instruksi pembuat menggunakan PE Applied Biosystems 9600 atau 2400 thermacycler. Data diambil dan dianalisis oleh sistem komputer GeneScan
Tes Statistik
Dari 9 loci STR, didapatkan dari hasil pengujian bahwa ada kecocokan acak sebesar 1,2 x 10-12 dan power of exclusion sebesar 0,9998 untuk trio dan 0,9936 untuk duo pada tes keturunan pada populasi Cina di Taiwan. Perbandingan statistik dilakukan oleh peraturan pembagian alel tunggal untuk perbandingan orangtua/anak dan determinasi kesaudaraan dari dua orang. Karena banyak jumlah anggota keluarga yang merupakan korban dari bencana, perhitungan Paternity Index (PI) merupakan cara yang paling baik untuk membandingkan genotip.
Dari hasil tes DNA, ditemukan bahwa ada 37 kelompok keluarga dengan 74 individu yang tidak terelasi dengan korban yang lain dan 13 anggota keluarga yang sama secara tragis terbunuh pada insiden ini. 201 sampel darah yang diberikan oleh pihak keluarga dari korban yang tidak di kenali untuk mencari relasi persaudaraan dan orang tua-anak. Diantara keluarga itu termasuk 32 orang tua dengan anak yang hilang, 45 orang tua tunggal dengan anak yang hilang, dan 51 anak dengan orang tua yang hilang. Sebagai tambahan ada 20 orang tua tunggal yang menjadi korban dan meninggalkan anak dan orang tua satunya sebagai perbandingan. Selain itu juga ada seorang anak kembar yang kehilangan saudara kembarnya.
Dari kasus ini dapat dilihat bahwa identifikasi DNA sangat penting untuk pengidentifikasian korban, khususnya karena DNA bersifat sangat spesifik dan berbeda. Kekurangan penggunaan metode ini terletak pada mahalnya tes DNA, tetapi dengan peralatan yang canggih dan profesional, identifikasi menggunakan DNA harusnya bukan merupakan masalah yang besar.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang didapat adalah bahwa DNA merupakan metode pengidentifikasian forensik non-dental yang sangat penting dan dapat mengidentifikasi banyak sekali korban bencana saat tidak ada data Antemortem (AM) yang tersedia. Selain itu, DNA juga bersifat spesifik pada setiap individu sehingga proses pengidentifikasian dapat dilakukan dengan lebih baik dan akurat.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah untuk meningkatkan pengidentifikasian melalui DNA dengan menyediakan dana dan prasarana, mengingat betapa tingginya keberhasilan identifikasi dengan menggunakan metode ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amri A. 2007, "Ilmu Kedokteran Forensik" hal. 178-203, Percetakan Ramadan, Medan.
Asep M, 2007, "Himpunan Peraturan Perundang Undangan Penanggulangan Bencana", Bandung: Fokus Media; 2007. h.1-6 .
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S.1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
DNA Forensik Sebagai National Security. http://www.ristek.go.id/index.php/module/News+News/id/9161. Accessed on November 2nd, 2013.
Dr. Amri Amir, DSF. Kapita Selekta Kedokteran Forensik. 1st ed. Medan: USU Press, 2000.
Eddy S, 2006, "DVI in Indonesia an Overview" DVI Workshop, Bandung.
Evan P., Sinly. 2007. DNA fingerprint, Metode Analisis Kejahatan pada Forensik. http://www.chem-is-try.org/artikel_kimia/berita/dna_fingerprint_metode_analisis_kejahatan_pada_forensik/. Accessed on December 1st, 2013.
Fatchiyah dan Estri Laras Arumingtyas. Kromosom, Gen,DNA, Synthesis Protein dan Regulasi. Universitas Brawijaya. Malang. 2006.
Fessenden dan Fessenden. 1986. Kimia Organik Jilid 2 Edisi Ketiga. Diterjemahkan oleh Aloysius Hadyana Pudjaatmaka. Penerbit Erlangga. Jakarta
Harrison. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 13, Volume 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Henky, Safitry Oktavinda, 2012, "Identifikasi Korban Bencana Massal: Praktik DVI Antara Teori dan Kenyataan"¸ Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences. 2(1): 5-7.
http://www.interpol.int/INTERPOL-expertise/Forensics/DNA. Accessed on November 26th, 2013.
http://id.wikipedia.org/wiki/Asam_deoksiribonukleat. Accessed on September 23rd, 2013.
International Criminal Police Organization, 1998, Disaster Victim Identification Guide, GB Version.
Irawan, Bambang. 2003. DNA fingerprinting pada Forensik, Biologi sebagai Bukti Kejahatan. Majalah Natural Ed. 7/Thn. V/April 2003. Bandar Lampung
Muhtarom, Ali. 2009. Tes DNA (Deoxyribo Nucleic Acid) Sebagai Alat Bukti Hubungan Nasab dalam Perspektif Hukum Islam pp. 53-60. Yogyakarta : Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Neil A. Campbell dkk. Biologi, alih bahasa Rahayu Lestari et.all. Jakarta. 2002
Nei, M. 1987. Molecular Evolutionary Genetics. Columbia University Press. New York.
Prawestiningtyas, Eriko, Agus Mochammad Algozi.2009. Identifikasi Forensik Berdasarkan Pemeriksaan Primer dan Sekunder Sebagai Penentu Identitas Korban pada Dua Kasus Bencana Massal. Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. XXV No. 2, Agustus 2009 pp.87-89
Ridley, M. 1991. Masalah-masalah Evolusi. Diterjemahkan A. F. SAIFUDDIN. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta.
Rizal, M. Wahyu. 2005. Tes DNA : Mengendus Jejak Kejahatan. Majalah Natural Ed. 11/Thn. VII/Agustus 2005. Bandar Lampung
S Haymer David. 1993, Resolution of Population of theMediterananean Fruit Fly at the DNA Level Using Random Primers for Polymerase Chain Reaction. Journal Genom 37 (1) : 994
Slamet P, Peter S, Yosephine L, Agus M, 2004, "Pedoman Penatalaksanaan Identifikasi Korban Mati pada Bencana Massal" hal.23, Departemen Kesehatan Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Jakarta.
Suryo. 2001. Genetika Srata I cetakan ke-9 pp. 59. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.
Yahya, H. Rahasia DNA Kebenaran yang diungkapkan oleh Proyek Genom Manusia, alih bahasa Halfino Berry. Bandung. 2003.
.