Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2005).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
A. PENGERTIAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik yang bersifat total maupun parsial (PERMENKES RI, 2014).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar (PERMENKES RI, 2014).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis, atau persendian pergelangan kaki (Muttaqin, 2008).
B. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur beban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan lari.
C. KLASIFIKASI FRAKTUR
1. Klasifikasi klinis
a. Fraktur tertutup
Bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur terbuka
Bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, karena adamya perlukaan kulit. Fraktur terbuka ada 3 derajat :
1) Derajat I
Luka <1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
2) Derajat II
Luka >1 cm, kerusakan jaringan lunak, fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang
3) Derajat III
Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi
c. Fraktur dengan komplikasi,missal malunion, delayed, union. Nonunion, infeksi tulang.
(Nanda NIC NOC 2013)
2. Berdasarkan jumlah garis
a. Simple fraktur : terdapat satu garis fraktur
b. Multiple fraktur : lebih dari satu garis fraktur
c. Comminutive fraktur : lebih banyak garis fraktur dan patah menjadi fragmen kecil
3. Berdasarkan luas garis fraktur
a. Fraktur inkomplit: tulang tidak terpotong secara total
b. Fraktur komplit : tulang terpotong secara total
c. Hair line fraktur : garis fraktur tidak tampak
4. Berdasarkan bentuk fragmen
a. Green stick : retak pada sebelah sisi tulang
b. Frakur transversal : fraktur fragmen melintang
c. Fraktur obligue : fraktur fragmen miring
d. Fraktur spiral : fraktur fragmen melingkar
(Nanda NIC NOC 2013)
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan warna.
Pertama, nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Kedua, setelah terjadi fraktur bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya, pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal. Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
Ketiga, pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
Keempat, saat ekstrimitas di periksa, teraba adanya derik tulang yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainya.
Dan yang terakhir, pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera (Smelzter dan Bare, 2002).
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Foto polos
umumnya dilakukan pemeriksaan dalam proyeksi AP dan lateral, untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur.
2. Pemeriksaan radiologi lainnya
Sesuai indikasi dapat dilakukan pemeriksaan berikut, antara lain: radioisotope scanning tulang, tomografi, artrografi, CT-scan, dan MRI, untuk memperlihatkan fraktur dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah rutin dan golongan darah
Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.
Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal. 5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah.
(PERMENKES RI, 2014).
F. PENATALAKSAAN
Menurut PERMENKES RI, 2014, penatalaksanaan dapat dilakukan dengan:
1. Lakukan penilaian awal akan adanya cedera lain yang dapat mengancam jiwa.
2. Pasang cairan untuk mengantisipasi kehilangan darah yang tidak terlihat misalnya pada fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang
3. Lakukan stabilisasi fraktur dengan spalk, waspadai adanya tanda-tanda kompartemen
menurut Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan)
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka.
Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus dan pelvis.
Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang dan jaringan lunak
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan, harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
I. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian keperawatan
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur ada berbagai macam meliputi:
1) Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan lalu lintas darat.
2) Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
3) Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik Muttaqin (2008)
4) Nyeri / kenyamanan
Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak ada nyeri akibat kerusakan syaraf (Gangguan sensibilitas). Spasme / kram otot (setelah imobilisasi), Sulit digerakkan, Deformitas, Bengkak , Perubahan warna , Kelemahan otot (PERMENKES RI, 2014).
5) Pemeriksaan Fisik
1) Inspeksi (look) Adanya deformitas dari jaringan tulang, namun tidak menembus kulit. Anggota tubuh tdak dapat digerakkan.
2) Palpasi (feel)
a) Teraba deformitas tulang jika dibandingkan dengan sisi yang sehat.
b) Nyeri tekan
c) Bengkak
d) Mengukur panjang anggota gerak lalu dibandingkan dengan sisi yang sehat.
e) Gerak (move)
Umumnya tidak dapat digerakkan
(PERMENKES RI, 2014).
2. Diagnosa keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan musculoskeletal
c. Ketidakefektifan perfusi jarinhgan perifer berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang factor pemberat (merokok, gaya hidup), diabetes mellitus, hipertensi
d. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
e. Resiko syok berhubungan dengan hipotensi, hipovolemi, hipoksemia, sepsis
f. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan zat kimia, radiasi, medikasi, perubahan pigmentasi
i. Defisit self care berhubungan dengan hambatan mobilitas
DEFINISI PENYAKIT
Fraktur adalah patahnya tulang, yang biasanya dialami hewan kecil akibat kecelakaan, terjatuh dan luka (Bleby & Bishop, 2015).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidayat, 2014).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2014).
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan punter mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Bruner & Sudarth, 2012).
Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.Suddarth (2012:2353)
Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan. Santoso Herman (2013:144)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2013:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625)
ETIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2013:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2013:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
Menurut (aragon, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma langsung/ direct trauma
Yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang).
2) Trauma yang tak langsung/ indirect trauma
Misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan
3) Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada resiko terjadinya penyakit yang mendasari dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
4) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntir
KLASIFIKASI
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2013:627)
Menurut Carpenito (2014:47) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:
1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur Patologik
Stuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
Klasifikasi fraktur secara umum :
1) Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris dst).
2) Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).
3) Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang samaa
4) Berdasarkan posisi fragmen :
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen
5) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
e) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
i. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
ii. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.
iii. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan lunak ekstensif.
6) Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a. Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b. Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
7) Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a. Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
At axim : membentuk sudut.
At lotus : fragmen tulang berjauhan.
At longitudinal : berjauhan memanjang.
At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
d. Fraktur Kelelahan : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e. Fraktur Patologis : Fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
KOMPLIKASI
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot. Gejala – gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidakseimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia. Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering (tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).
c. Fat Embolism Syndrom
Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor), tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman's Ischemia. Nekrosis avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik. Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama, pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri yang menetap pada saat menahan beban
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi karena trauma dan fraktur – fraktur dengan sindrom kompartemen atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih besar
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa. Kadang –kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini. Faktor – faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat patologis..
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
STADIUM PENYEMBUHAN FRAKTUR
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yg menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. X.Ray dilakukan untuk melihat bentuk patahan atau keadaan tulang yang cedera.
2. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
3. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
4. CCT kalau banyak kerusakan otot.
5. Pemeriksaan Darah Lengkap
Lekosit turun/meningkat, Eritrosit dan Albumin turun, Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, Laju Endap Darah (LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas, Pada masa penyembuhan Ca meningkat di dalam darah, traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Empat tujuan utama dari penanganan fraktur adalah :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka jaringan disekitar tulang yang patah tersebut. Untuk mengurangi nyeri tersebut, dapat diberikan obat penghilang rasa nyeri dan juga dengan tehnik imobilisasi (tidak menggerakkan daerah yang fraktur). Tehnik imobilisasi dapat dicapai dengan cara pemasangan bidai atau gips.
a. Pembidaian : benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang
b. Pemasangan gips
Merupakan bahan kuat yang dibungkuskan di sekitar tulang yang patah. Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh. Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
Immobilisasi dan penyangga fraktur
Istirahatkan dan stabilisasi
Koreksi deformitas
Mengurangi aktifitas
Membuat cetakan tubuh orthotik
Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan
Gips patah tidak bisa digunakan
Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien
Jangan merusak / menekan gips
Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk
Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama
2. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
Bidai dan gips tidak dapat mempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu diperlukan lagi tehnik yang lebih mantap seperti pemasangan traksi kontinyu, fiksasi eksternal, atau fiksasi internal tergantung dari jenis frakturnya sendiri.
a. Penarikan (traksi) :
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah. Metode pemasangan traksi antara lain :
Traksi manual
Tujuannya adalah perbaikan dislokasi, mengurangi fraktur, dan pada keadaan emergency
Traksi mekanik, ada 2 macam :
o Traksi kulit (skin traction)
Dipasang pada dasar sistem skeletal untuk sturktur yang lain misal otot. Digunakan dalam waktu 4 minggu dan beban < 5 kg.
o Traksi skeletal
Merupakan traksi definitif pada orang dewasa yang merupakan balanced traction. Dilakukan untuk menyempurnakan luka operasi dengan kawat metal / penjepit melalui tulang / jaringan metal.
Kegunaan pemasangan traksi, antara lain :
Mengurangi nyeri akibat spasme otot
Memperbaiki & mencegah deformitas
Immobilisasi
Difraksi penyakit (dengan penekanan untuk nyeri tulang sendi)
Mengencangkan pada perlekatannya
Prinsip pemasangan traksi :
Tali utama dipasang di pin rangka sehingga menimbulkan gaya tarik
Berat ekstremitas dengan alat penyokong harus seimbang dengan pemberat agar reduksi dapat dipertahankan
Pada tulang-tulang yang menonjol sebaiknya diberi lapisan khusus
Traksi dapat bergerak bebas dengan katrol
Pemberat harus cukup tinggi di atas permukaan lantai
PEMBEDAHAN
PENGERTIAN ORIF
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers
PENGERTIAN OREF
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi internal di mana prinsipnya tulang ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur atau remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami kerusakan fragmen tulang.
2. Keuntungan dan Komplikasi Eksternal Fiksasi
Keuntungan eksternal fiksasi adalah :
Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi awal da latihan awal untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena disuse dan imobilisasi dapat diminimalkan
Sedangkan komplikasinya adalah :.
a) Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
b) Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
c) Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non union .
d) Emboli lemak.
e) Overdistraksi fragmen.
PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) NIdentitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget's yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap
f. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya
i. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
Pemeriksaan fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
1.Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
2.Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
3.Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Sistem Integumen
o Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
Kepala
o Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
Leher
o Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
Muka
o Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
Mata
o Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
Telinga
o Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung
o Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
Mulut dan Faring
o Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
Thoraks
o Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
Paru
Inspeksi
1. Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
2. Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi
3. Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
Auskultasi
4. Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.
ANALISA KEPERAWATAN
NO
DATA PENUJANG
ANALISA DATA & PATOFLOW
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1
DS:
Klien mengeluh nyeri
DS:
Biasanya klien tampak meringis
Tanda-tanda vital menigkat
Sekala nyeri menigkat
Terdapat luka tekan
Kecelakaan
tarauma langsung
tekanan padatulang
tidak mampu meredam energy
yang terlalu besar
fraktur
merusak jaringan sekitar
pelepasan mediator nyeri
(histamine, prostaglandin, bradi kinin, serotonin)
Ditangkap resepator nyeri perifer
Inflak ke otak
Persepsi nyeri
nyeri
Nyeri
NO
DATA PENUJANG
ANALISA DATA & PATOFLOW
DIAGNOSA KEPERAWATAN
2
DS: -
DS:
Adanya luka post oprasi
Luka masih basah
Terjadi peningkatan leukosit
Luas pembedahan bertanbah
Terdapat tanda-tanda infeksi
Luka menjadi bau
Kecelakaan
tarauma langsung
tekanan padatulang
tidak mampu meredam energy
yang terlalu besar
fraktur
prosedur post oprasi
dilakukan tindakan pembedahan
terputusnya kontuinitas jaringan
luka masih bsah
tempat yang baik untuk mikroorganisme
resiko infeksi
Resiko infeksi
ANALISA KEPERAWATAN
NO
DATA PENUJANG
ANALISA DATA & PATOFLOW
DIAGNOSA KEPERAWATAN
3
DS:
Biasanya klien mengatakan ingin cpat sembuh
DS:
Gelisah
Insomnia
Ketakutan
Focus pada diri
kekhawatiran
Kecelakaan
tarauma langsung
tekanan padatulang
tidak mampu meredam energy
yang terlalu besar
fraktur
prosedur post oprasi
dilakukan tindakan pembedahan
kurang pengetahuan tentang penyakitnya
tidak mengetahui prosedur perawatan luka
cemas
Cemas
ANALISA KEPERAWATAN
NCP (RENCANA KEPERAWATAN)
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
1
Nyeri berhubungan dengan luka post oprasi di tandai dengan
DS:
Laporan secara verbal tentang nyeri
DO:
Posisi untuk menahan nyeri
Tingkah laku berhati-hati
Ganguan tidur
Terfokus pada diri sendiri
TTV Meningkat
Sekala nyeri meningkat
Tampak luka tekan
NOC
o Pain level
o Pain control
o Compont level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama…………..diharapkan masalah keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil:
Mampu mengontrol nyeri
Melaporkan nyeri berkurang
Sekala nyeri berkurang
TTV dalam rentang normal
Tidak mengalami ganguan tidur
Tidak terdapat luka tekan
1) Lakukan pengkajian secara komprensif termasuk lokasi karakteristik dan durasi
2) Observasi TTV
3) Kontrol lingkungan mempengaruhi nyeri, seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan
4) Bantu klien dan keluarga untuk mencari menemukan dukungan
5) Ajarkan tentang therapy non farmakologi
Teknik nafas dalam
Distraksi
Rileksasi
Kompres hangat
6) Tingkatkan istirahat
7) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgetik
8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah analgetik pertamakali
NCP (RENCANA KEPERAWATAN)
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
2
Resiko infeksi berhubungan dengan terputusnya kontuinitas jaringan ditandai dengan
DS: -
DO:
Adanya luka post oprasi
Mengobservasi apakah luka masih basah
Hasil LAB,Leukosit meningkat
TTV meningkat terutama suhu
Luas luka bertambah
Terdapat tanda-tanda infeksi
Luka menjadi bau
NOC
o Immune status
o Infection status
o Risk kontrol
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama………….. diharapkan masalah keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil:
Klien bebas dari infeksi
Menunjukan kemampuan untuk mencegah infeksi
Luka cepat sembuh
Jumlah leukosit dalam batas normal
TTV Normal terutama suhu
Tidak ada luka tekan
1) Pertahankan teknik asptik
2) Batasi pengunjung
3) Cuci tangan setiap dan sesudah tindakan keperawatan
4) Tingkatkan TTV
5) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local
6) Pertahankan teknik isolasi
7) Mengevaluasi suhu tubuh setiap 4 jam
8) Lakukan perawatan luka steril
9) Kolaborasi dengan dokter pemberian antibiotic
10) Ajarkan klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi
NCP (RENCANA KEPERAWATAN)
NO
DIAGNOSA KEPERAWATAN
RENCANA KEPERAWATAN
TUJUAN (NOC)
INTERVENSI (NIC)
3
Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakitnya
DS: -
Biasanya klien mengatakan ingin cepat sembuh
Kelien mengatakan ingin cepat pulang
DO:
Gelisah
Insomnia
Resah
Ketakutan
Focus pada diri sendiri
khawatiran
NOC
o control kecemasan tentang penyakit
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama………….. diharapkan masalah keperawatan dapat teratasi dengan criteria hasil:
klien mampu mengidentivikasi dan mengatasi kecemasan
tidak gelisah
tidak cemas
tidak resah
tidak insomnia
tidak ketakutan
tidak khawatir
1) gunakan pendekatan yang menyenangkan
2) jelaskan semua prosedur keperawatan yang akan di berikan
3) temani kilen untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
4) berikan informasi actual mengenai diagnosis, dan informasi penyakit
5) libatkan keluarga untuk mendampingi klien
6) dengarkan dengan penuh harapan
7) melakukan penkes tentang penyakitnya
8) intruksikan klien untuk mengunakan teknik rileksasi
DAFTAR PUSTAKA
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey: Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2015), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.