BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Dan sebab adanya hukum tersebut maka timbul permasalahan hukum kematian seseorang diantaranya ialah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia itu. Hukum Islam khususnya hukum keluarganya termasuk hukum warisnya telah lama dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam Indonesia atas dasar kemauan sendiri sebagai konsekuensi iman dan penerimaan mereka terhadap agama Islam. Di sini penulis mencoba untuk membahas sedikit tentang waris. Dari sejarah hukum waris di indonesia sejak zaman kolonial belanda hingga pasca kemerdekaan, selain itu penulis juga mencoba membahas mengenai asas-asas hukum waris dan juga problematika pembagian waris yang dari dulu hingga sekarang tengah di alami oleh masyarakat Indonesia.
B. Tujuan Pembahasan 1. Mengulas pengertian dari mawaris 2. Mengulas Sejarah Hukum Islam (Waris) Sebelum Islam. 3. Mengulas Sejarah Hukum Islam (Waris) di Indonesia. 4. Mengulas Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam. 5. Mengetahui bagaimanakah
Islam dan Keadilan Sosial dalam Pembagian
Waris? 6. Mengulas Problematika Pembagian Waris.
1
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertia Mawaris1 Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya.Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris mewaris.Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris menurut ketentuan syara’. Ilmu Fara’idh dapat didefiniskan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits adalah nama lain bagi Ilmu Fara’idh.Untuk mengetahui siapa-siapa yang memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris yang ditinggalkan. Akemudian baru ditetapkan, siapa diantara mereka yang mendapat bagian dan yang tidak mendapat bagian.Sumber hukum Islam tentang waris adalah asal hukum islam tentang waris. Sumber Hukum Islam tersebut adalah : 1. Al-qur’an 2. As-sunah 3. Ijma’ 4. Ijtihad
B. Sejarah Hukum Islam (Waris) Sebelum Islam Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam. Ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia sebagaimana ditegaskan Rasulullah saw.
ٌ ﻀﺔ َ ْاﻟ ِﻌ ْﻠ ُﻢ ﺛَ َﻼﺛَﺔٌ َو َﻣﺎ ِﺳ َﻮى َذﻟِﻚَ ﻓَﮭ َُﻮ ﻓَﻀْ ٌﻞ آﯾَﺔٌ ُﻣﺤْ َﻜ َﻤﺔٌ أَوْ ُﺳﻨﱠﺔٌ ﻗَﺎﺋِ َﻤﺔٌ أَوْ ﻓَ ِﺮﯾ ٌﻋَﺎ ِدﻟَﺔ 1
http://bahankuliyah.blogspot.com/2014/04/hukum-kewarisan.html/ di akses pada / 07/04/2015/ 11 : 28 2
“Ilmu ada tiga, dan yang selain itu adalah kelebihan, yaitu; ayat muhkamah (yang jelas penjelasannya dan tidak dihapuskan), atau sunah yang shahih, atau faraidh (pembagian warisan) yang adil." (HR. Abu Dawud no. 2499) Sebelum datangnya Islam, manusia saling mewarisi dengan cara-cara mereka. Hukum waris pada saat itu sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. Masyarakat jahiliyah, degan pola yang bercorak kesukuan (tribalism) memiliki kebiasaan berpindah-pindah (nomaden), suka berperang dan merampas jarahan. Sebagian lagi dari mereka bermata pencaharian dagang. Ciri-ciri tersebut tampaknya sudah menjadi kultur atau budaya yang mapan. Karena itu, budaya tersebut ikut membentuk nilai-nilai, sistem hukum dan social yang berlaku saat itu. Kekuatan fisik selalu menjadi ukuran baku didalam sistem hukum warisan yang diberlakukannya. 2 Adapun dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada zaman sebelum Islam hingga awal masa Islam adalah sebagai berikut: 1. Pertalian kerabat (al-qarabah); 2. Janji setia (al-bilf wa al-mu’aqadab) Janji setia adalah dorongan kemauan bersama untuk saling membela jiwa raga dan kehormatan mereka. Adapun isi janji tersebut kurang lebih sebagai berikut: “Darahku darahmu, pertumpahan darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu damaiku damaimu, kamu mewarisi hartamu aku mewarisi hartamu, kamu dituntut darahmu karena aku dan aku dituntut darahku karena kamu, dan diwajibkan membayar denda sebagai ganti nyawaku, aku pun diwajibkan membayar denda sebagai pengganti nyawamu”. Dasar ini masih berlaku hingga masa-masa awal hukum Islam, dan masih dibenarkan menurut Surat An-Nisa': 33. Namun dasar pewarisan ini tidak sesuai dengan apa yang di ajarkan dalam hukum islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya satu hadits yang menegaskan bahwa hal tersebut terhapuskan dengan adanya firman Allah swt. Rasulullah saw. bersabda : 2
Suhrawardi K. Lubis, komis simanjuntak, Hukum Waris Islam : Lengkap Dan Praktis , (Jakarta: Sinar Grafika, cet . 2, 2008 ), hlm. 6 3
ﺖ َﺣ ﱠﺪﺛَﻨِﻲ َﻋﻠِ ﱡﻲ ﺑ ُْﻦ ُﺣ َﺴ ْﯿ ٍﻦ ﻋ َْﻦ أَﺑِﯿ ِﮫ ﻋ َْﻦ ﯾَ ِﺰﯾ َﺪ ٍ َِﺣ ﱠﺪﺛَﻨَﺎ أَﺣْ َﻤ ُﺪ ﺑ ُْﻦ ُﻣ َﺤ ﱠﻤ ِﺪ ْﺑ ِﻦ ﺛَﺎﺑ ﺿ َﻲ ﱠ اﻟﻨﱠﺤْ ِﻮ ﱢ َﷲُ َﻋ ْﻨﮭُ َﻤﺎ ﻗَﺎ َل } َواﻟﱠ ِﺬﯾﻦ ِ س َر ٍ ي ﻋ َْﻦ ِﻋ ْﻜ ِﺮ َﻣﺔَ ﻋ َْﻦ ا ْﺑ ِﻦ َﻋﺒﱠﺎ ْ ﻋَﺎﻗَﺪ ُ ِﺼﯿﺒَﮭُ ْﻢ { َﻛﺎنَ اﻟ ﱠﺮ ُﺟ ُﻞ ﯾُ َﺤﺎﻟ ْﺲ ﺑَ ْﯿﻨَﮭُ َﻤﺎ َ ﻒ اﻟ ﱠﺮ ُﺟ َﻞ ﻟَﯿ ِ ََت أَ ْﯾ َﻤﺎﻧُ ُﻜ ْﻢ ﻓَﺂﺗُﻮھُ ْﻢ ﻧ َ ْ ﺎل ﺗَ َﻌﺎل َوأُوﻟُﻮ ُ ﻧَ َﺴﺐٌ ﻓَﯿَ ِﺮ اﻷرْ َﺣ ِﺎم َ ِث أَ َﺣ ُﺪھُ َﻤﺎ ْاﻵ َﺧ َﺮ ﻓَﻨَ َﺴ َﺦ َذﻟ َ َﻚ ْاﻷَ ْﻧﻔَﺎ ُل ﻓَﻘ ْﺾ ُ ﺑَ ْﻌ ٍ ﻀﮭُ ْﻢ أَوْ ﻟَﻰ ِﺑﺒَﻌ Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Tsabit, telah menceritakan kepadaku Ali bin Husain, dari ayahnya dari Yazid An Nahwi dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radliallahu 'anhuma, ia berkata; firman Allah: “Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya." Dahulu seorang laki-laki saling bersumpah dengan orang lain yang tidak memiliki nasab dengannya, kemudian yang satu mewarisi yang lainnya. Kemudian hal tersebut dihapuskan oleh Surat Al Anfal:
"Orang-orang
yang
mempunyai
hubungan
kerabat
itu
sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) " ( HR.Abu Daud, no.2532)3 3.
Pengangkatan anak (at-tabanni) atau adopsi. Pada masa jahiliyah, pengangkatan anak menyebabkan anak itu dijadikan dan berstatus sebagai anak kandung bagi orang yang mengangkatnya dan dinasabkan kepada bapak angkatnya, bukan kepada bapak kandungnya. Ini berarti, seorang anak laki-laki yang menjadi anak angkat, jika telah dewasa dapat menjadi ahli waris dari bapak angkatnya. Bangsa Arab pada zaman jahiliyah memiliki sifat kekeluargaan patrilinear. Tradisi pembagian harta waris pada zaman itu berpegang teguh pada tradisi yang telah diwariskan oleh nenek moyang atau leluhur mereka, yaitu anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan dilarang mempusakai harta peninggalan ahli warisnya yang telah meninggal. Hal ini terus berlaku sampai permulaan Islam.
3
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Judul asli: Al-Mawaaris Fisy-Syarii’ati; Islamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah, Penerjemah: A. M. Basalamah, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 9, 2001), hlm. 21-24 4
4. karena ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan karena persaudaraan (muakhkhah) antara kaum Muhajirin dan Anshar, (masa awal Islam).4 Pada masa itu, Rasulullah SAW mempersaudarakan sesama kaum Muhajirin dan antara kaum Muhajirin dan Anshar, dan menjadikan persaudaraan ini sebagai salah satu sebab untuk saling mewarisi harta peninggalan. Hijrah dan muakhkhah pada masa itu dibenarkan oleh Allah swt. dalam Surat Al-Anfal: 72.
“ Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orangorang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi.5 dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan 4
http://achmadyanimkom.blogspot.com/2008/12/ilmu-faraidh-sejarah-dasar-hukumdan.html/ di akses pada / 07/04/2015/ 13 : 42 5
Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakanakan mereka bersaudara kandung 5
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. C. Sejarah Hukum Islam (Waris) di Indonesia6 Berikut ini adalah rentetan sejarah s di indonesia : 1. Masa sebelum Pemerintahan Kolonial Belanda Berbicara tentang sejarah hukum Islam di Indonesia tentunya berkaitan erat dengan masuknya agama Islam sekarang di nusantara. Ahli sejarah mengemukakan bahwa agama Islam masuk ke nusantara pada abad ke-1 H (7 M), dan ada yang berpendapat pada abad ke-7 H (13 M). Menyangkut sejarah dan kedudukan hukum Islam dalam tata hukum Indonesia secara singkat dapat di uraikan sebagai berikut. Yakni ketika Ibnu Batutah singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 M, ia telah mengagumi kemampuan sultan Al- Malik Azh-Zhahir dalam berdiskusi tentang pelbagai permasalahan Islam dan ilmu fiqih. Ibnu Batutah juga mengemukakan bahwa sultan Al-Malik Azh-Zhahir bukan hanya seorang raja akan tetapi juga merupakan seorang ahli hukum Islam (fuqoha).
Kemudian dari samudra pasai syi’ar agama Islam menyebar ke
seluruh persada nusantara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa agama Islam telah lebih dahulu berkembang dan dilaksanakan sebelum kolonial Belanda menginjakkan kakinya di bumi nusantara. 2. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Dalam perkembangan sejarah Indonesia tercatat bahwa pada abad ke 16 (1596 M) organisasi perusahaan dagang belanda yang di kenal dengan sebutan VOC (vereenigde Oost Indische Compagnie = Gabungan Perusahaan Dagang Belanda India Timur) merapat di pelabuhan Banten Jawa Barat. Semula maksudnya hanya sekedar untuk berdagang , namun perkembangan lebih lanjut tujuan tersebut berubah haluan, yaitu ingin menguasai kepulauan Indonesia sehingga VOC mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai pedagang dan sebagai badan pemerintahan. 6
Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Judul asli: Al-Mawaaris Fisy-Syarii’ati; Islamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah, Penerjemah: A. M. Basalamah, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 9, 2001), hlm. 24-26 6
Dalam rangka melaksanakan fungsi tersebut, maka VOC menggunakan hukum Belanda untuk daerah-daerah yang telah di kuasainya, dan tentunya secara ber angsur-angsur VOC juga membentuk badan-badan peradilan. Walaupun badan-badan peradilan sudah di bentuk tentunya tidak dapat berfungsi efektif. Hal ini patut terjadi, sebab dalam statuta Jakarta 1642 di sebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang di pakai oleh rakyat sehari-hari. Dalam
sejarah
perkembangan
hukum
di
Indonesia
lebih
lanjut
dikemukakan, bahwa brdasarkan kindisi di atas ( tidak efektifnya badan peradilan yang di ciptakan VOC ), maka VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun “ compedium yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan islam”. Lebih lanjut hasil pekerjaan Freijer ini di sempurnakan pula oleh para pendahulu dan ulama’ Islam pada saat itu. 3. Masa Pendudukan Jepang Pada masa pendudukan Jepang, semua peraturan perundang-undangan yang ada pada zaman kolonial Belanda dinyatakan masih tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum pemerintahan Dai Nippon. Pada masa ini Lembaga Peradilan Agama tetap di pertahankan, akan tetapi namanya di ubah menjadi Scorioo Hooin dan Mahkamah Agung Islam Tinggi namanya di ubah menjadi Kaikoo Kootoo. Perubahan ini di dasarkan kepada pasal 3 aturan peralihan bala tentara jepang (osamu seizu) pada tanggal 17 maret 1942. 4. Masa Pasca Kemerdekaan Dengan dikumandagkannya Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, maka seluruh sistem hukum yang ada semuanya berdasarkan kepada sistem hukum Nasional, sebab pada tanggal 18 Agustus telah ditetapkan Undang-undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar negara. Perumusan dasar Negara lebih lanjut, yang dilakukan oleh wakil rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955, muncul tiga usul tentang dasar Negara : Pancasila, Islam dan Sosialis Ekonomi. Sebelumya pada zaman kolonial Belanda, hukum Islam dipandang sebagai bagian dari sistem hukum adat (terutama sekali masalah hukum perkawinan), selain itu dalam hal kewarisan masyarakat sering mempergunakan 7
hukum adat, oleh karena itu persoalan kewarisan dimasukkan ke dalam kekuasaan Pengadilan Negeri dan diadili berdasarkan hukum adat (pada waktu itu, bahkan sampai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, disahkan dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI tahun 1989 Nomor 49, keputusan pengadilan agama mempunyai kekuatan hukum apabila keputusan ini telah diperkuat oleh Pengadilan Negeri).Namun akhirnya teori resepsi ini dihapus berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 11 tanggal 3 Desember 1960. Sementara itu Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (sekarang disebut BPHN) dalam suatu keputusannya yang dikeluarkan pada tanggal 28 Mei 1962 mengenai hukum kekeluargaan juga telah menetapkan asas-asas hukum kekeluargaan Indonesia, yang mana dalam pasal 12 ditetapkan sebagai berikut; 1.
Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan yaitu sistem parental, yang diatur dengan undang-undang, dengan menyesuaikan sistem-sistem lain yang terdapat dalam hukum adat kepada sistem parental.
2.
Hukum waris untuk seluruh rakyat diatur secara bilateral individual, dengan kemungkinan adanya variasi dalam sistem bilateral tersebut untuk kepentingan golongan Islam yang memerlukannya.
3.
Sistem keutamaan dan sistem penggantian dalam hukum waris pada prinsipnya sama untuk seluruh Indonesia, dengan sedikit perubahan bagi hukum waris Islam.
4.
Hukum adat dan yurisprudensi dalam bidang hukum kekeluargaan diakui sebagai hukum pelengkap di sisi hukum perundang-undangan. Sampai tidak berlakunya lagi Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 pada 27 Maret 1968 tidak satupun undang-undang muncul di bidang hukum perkawinan dan hukum kewarisan walaupun oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional telah disiapkan RUU Peraturan Pelengkap Pencatatan Perkawinan, RUU Hukum Perkawinan, RUU Hukum
Waris.
Sebaliknya
di
bidang
yurisprudensi
dengan
keputusan-keputusan Mahkamah Agung sejak tahun 1959 telah diciptakan beberapa keputusan dalam bidang hukum waris nasional menurut sistem bilateral secara judge made law. Di sini terlihat di
8
bidang hukum waris, nasional yang bilateral lebih mendekati hukum Islam dari pada hukum adat. D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam7 Asas hukum kewarisan dalam Islam dapat diklasifikasikan kedalam lima bagian, yakni: 1. Asas Ijbari Secara
etimologi
“Ijbari”
mengandung
arti
paksaan,
yaitu
melakukan sesuatu diluar kehendak sendiri. Dalam hal hukum waris berarti terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal kepada yang masih hidup terjadi dengan sendirinya. Artinya tanpa adanya perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari pewaris. Dengan perkataan lain adanya kematian pewaris secara otomatis hartanya beralih kepada ahli warisnya. Asas Ijbari ini dapat dilihat dari berbagai segi yaitu: Pertama, dari peralihan harta. Kedua, dari segi jumlah harta yang beralih. Ketiga, dari segi kepada siapa harta itu akan beralih. Kententuan asas Ijbari ini dapat dilihat antara lain dalam ketentuan Qs. An-Nisa ayat 7 yang menjelaskan bahwa: “Bagi seorang laki-laki maupun perempuan ada nasib dari harta peninggalan orang tuanya atau dari karib kerabatnya.” 2. Asas Bilateral Yang dimaksud dengan asas bilateral dalam hukum kewarisan Islam adalah seseorang menerima hak kewarisan bersumber dari kedua belah pihak kerabat, yaitu dari garis keturunan perempuan maupun keturunan laki-laki. Asas bilateral ini secara tegas dapat ditemui dalam Qs. An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Asas bilateral ini juga berlaku pula untuk kerabat garis kesamping (yaitu melalui ayah dan ibu). 3. Asas Individual Pengertian asas individual ini adalah: setiap ahli waris (secara individu) berhak atas bagian yang didapatkan tanpa terikat kepada ahli waris lainya. Dengan demikian, ahli waris secara individu berhak mendapatkan semua harta yang telah menjadi bagianya.
7
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, cet. 3, 2008), hlm. 82-86 9
4. Asas keadilan berimbang Asas keadilan berimbang maksudnya adalah keseimbangan antara hak dengan kewajiban dan keseimbangan antara yang diperoleh dengan kebutuhan dan kegunaan. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Dasar hukum asas ini adalah dalam ketentuan Alquran surat An-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 179. 5. Kewarisan Akibat Kematian Hukum waris Islam memandang bahwa terjadinya peralihan harta hanya semata-mata karena adanya kematian. Rasulullah saw. bersabda:
ﻀﺎ ُؤهُ َو َﻣ ْﻦ َ َﻲ ﻗ ﻗَﺎ َل أَﻧَﺎ أَوْ ﻟَﻰ ﺑِ ْﺎﻟ ُﻤ ْﺆ ِﻣﻨِﯿﻦَ ِﻣ ْﻦ أَ ْﻧﻔُ ِﺴ ِﮭ ْﻢ ﻓَ َﻤ ْﻦ ﺗُ ُﻮﻓﱢ َﻲ َو َﻋﻠَ ْﯿ ِﮫ َدﯾ ٌْﻦ ﻓَ َﻌﻠَ ﱠ ﺖ َ ﺗَ َﺮ ِ َك َﻣ ًﺎﻻ ﻓَﮭُ َﻮ ﻟِ َﻮ َرﺛ Beliau bersabda: "Aku lebih berhak atas kaum Muslimin dari diri mereka sendiri. Barangsiapa meninggal sedangkan dia masih memiliki tanggungan hutang, maka sayalah yang akan melunasinya. Dan barangsiapa masih meninggalkan harta warisan, maka harta tersebut untuk ahli warisnya." (HR. Muslim, no.3040) Dengan kata lain harta seseorang tidak dapat beralih apabila belum ada kematian. Apabila pewaris masih hidup maka peralihan harta tidak dapat dilakukan dengan pewarisan.
E. Islam dan Keadilan Sosial dalam Pembagian Waris Sering kita jumpai pertengkaran dalam lapisan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia dalam masalah pembagian harta warisan, masing-masing pihak yang bertengkar punya keinginan yang sama yaitu keadilan atau bahkan masing-masing pihak ingin mendapat bagian yang lebih banyak dari yang lain. Namun keadilan yang dipahami oleh masyarakat secara umum adalah kesamaan dalam pembagian, padahal keadilan yang adil adalah menempatkan sesuatu sesuai porsinya. Jika kita sedikit menengok sejarah nenek moyang kita bangsa Indonesia pada sekitar abad 17 dan sebelumnya, tentu hati kita akan sedikit tersentuh dan 10
bersyukur akan keberadaan kita yang jauh lebih baik dan lebih bisa menikmati hidup dibanding nenek moyang kita, tentunya kita mengenal budaya waktu itu bahwa seorang perempuan yang bersuami harus berakhir hidupnya bersamaan dengan meninggalnya sang suami dan terpaksa dibakar hidup-hidup bersama mayat sang suami, disini terlihat hak untuk hidup bagi seorang istri sangat dibatasi oleh umur suami, jika untuk hidup saja seorang istri begitu terikat apalagi hak untuk memiliki harta tentunya lebih terikat lagi, namun ada kemungkinan kepemilikan bagi perempuan elite. Hal itu pun bukan hanya terjadi di Nusantara bahkan terjadi di setiap peradaban-peradaban yang berkembang saat itu seperti halnya di Yunani, India, Cina, dan terjadi pula di Jazirah Arab, hal itu terjadi jauh sebelum Islam datang, bahkan budaya jahilyah waktu itu seorang perempuan termasuk harta warisan, dan bisa diwarisi oleh kerabatnya, hingga pada akhirnya Islam melarang praktek pewarisan perempuan dan memberi perempuan hak untuk mendapat dan memiliki harta, Islam juga melarang seseorang menikahi perempuan yang pernah dikawini ayahnya. Allh swt. Berfirman: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan .”(QS: (4)An Nisa’ : 22).
F. Problematika Pembagian Waris Sampai sekarang problematika pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga, di samping karena keserakahan dan ketamakan manusia, di antara problematika pembagian waris antara lain adalah: 1. Perbedaan bagian antara laki-laki dan perempuan8 Hingga saat ini, yang masih ramai diperdebatkan adalah masalah bagian laki-laki dua kali lebih banyak dari pada perempuan,sebagaimana telah dijelaskan dalam Qs. An-nisa’:11
8
http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosialdalam.html/diaskes/pada/07/04/2015/17:04 11
........ “ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan9 dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua10, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta........ Lalu bagaimana solusi yang tepat agar pembagian itu adil menurut kedua belah pihak yang menginginkan kesamaan?. Budaya Arab hingga saat ini masih banyak yang mengikuti aturan satu banding dua, namun perempuan juga tidak di suruh bekerja, segala kebutuhannya ditanggung sang suami, juga kebutuhan anak-anaknya, mahar untuk perempuan yang akan dinikahi sangat mahal, maka wajar dan terhitung adil jika perempuan arab mendapat porsi warisan satu banding dua, juga budaya poligami marak di bangsa Arab bagi mereka yang mampu memberi keadilan financial pada istriistrinya, toh sebagai perempuan yang di madu mereka juga tidak rugi dan tidak disuruh bekerja. Hal demikian tentunya berbeda dengan budaya Asia atau Indonesia pada khususnya. Dimana budaya asal mereka adalah budaya hindu dan budha, dan budaya ini berkebalikan dengan budaya Islam. Seperti yang kita ketahui, budaya di India bahwa seorang perempuanlah yang bekerja dan yang membayar mahar terhadap laki-laki yang akan menjadi suaminya. Hal semacam itu bisa juga kita lihat di Bali atau masyarakat yang masih berbudayakan Hindu atau Budha.
9
Bagian laki-laki dua kali bagian perempuan adalah karena kewajiban laki-laki lebih berat dari perempuan, seperti kewajiban membayar maskawin dan memberi nafkah. (Lihat surat An Nisaa ayat 34). 10 Lebih dari dua Maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.
12
Islam masuk ke Indonesia dengan tanpa membuang secara total budaya setempat, sebagaimana Rasulullah saw. menyebarkan ajaran Islam di Arab. Contohnya, budaya tawwaf di Ka’bah. Dari sini, jika kita lihat Indonesia yang punya budaya perempuan bekerja, tentunya kita tidak bisa melarang mereka, akan tetapi memberikan batasan-batasan tertentu agar tidak bertentengan dengan Syariat Islam. Pada dasarnya hasil kerja perempuan adalah hak milik pribadi perempuan itu sendiri, namun realita yang terjadi hasil kerja itu dipakai untuk membiayai rumah tangga yang seharusnya menjadi tanggung jawab laki-laki. Sampai disini rasanya tidak adil jika pembagian warisan kepada laki-laki lebih banyak dari perempuan. Lalu bagaimana seharusnya pembagian yang sesuai porsi dan adil baik secara budaya maupun syairat Islam. Salah satu terobosan yang dapat diperhitungkan adalah dengan pembagian harta pada anak laki-laki dan perempuan dilakukan ketika orang tuanya masih hidup secara hibah, disini tidak ada aturan laki-laki lebih banyak dari perempuan, jadi agar tidak terjadi kecemburuan sosial setiap anak diberi bagian yang sama. Sebab, yang namanya warisan itu terjadi setelah pewaris itu meninggal dunia. Nah, setelah harta itu dibagikan secara hibah entah diserahkan langsung atau masih dalam catatan, tentunya mereka sudah tidak iri hati terhadap yang lain. Dan harta orang tua tidak dihabiskan untuk dibagi-bagikan akan tetapi paling tidak masih ada sedikit untuk mencukupi hidupnya hingga masanya selesai. Dengan begitu, setelah orang tua meninggal harta warisnya tidak terlalu banyak dan setiap anak sudah cukup rata dikasih hibah. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara bagi kaum laki-laki bersedia menyumbangkan sedikit dari bagian mereka kepada kaum perempuan hingga jumlah yang diterima masing-masing sama. 2. Beda agama11 Kewarisan beda agama merupakan salah satu dari persoalan kontemporer dalam pemikiran hukum Islam kontemporer. Di satu sisi nas al-Qur’an tidak
11
http://www.fikihkontemporer.com/2013/02/bagian-harta-warisan-untuk-anak-yang.html/ di akses pada / 07/04/2015/10:46 13
menjelaskan tentang bagian ahli waris untuk non muslim12, namun di sisi lain tuntutan keadaan dan kondisi menghendaki hal yang sebaliknya. Dialektika antara hukum dan tuntutan perkembangan zaman tersebut jelas menjadi problem besar bagi hukum kewarisan Islam. Dalam konteks ini menarik untuk mencermati putusan yang diambil oleh Hakim di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memberikan bagian harta bagi ahli waris non muslim dan memberikan status ahli waris dari pewaris muslim bagi ahli waris non muslim. Dalam putusannya tersebut seorang ahli waris non muslim mendapatkan harta bagian dari pewaris muslim sebanyak harta yang diterima oleh ahli waris muslim dalam posisi yang sama.13 Memang benar kalau hanya melihat keumuman dalil tentang pembagian warisan dalam surat An Nisa':
ُﻮﺻﯿ ُﻜ ُﻢ ﱠ ﷲُ ﻓِﻲ أَوْ َﻻ ِد ُﻛ ْﻢ ِ ﯾ "Allah mensyari'atkan bagi kalian (tentang pembagian harta warisan) untuk anak-anak kalian...." (QS. An Nisa' : 11), orang kafir pun termasuk didalamnya. Namun dalam hadits tidak dijelaskan bahwa orang non muslim dapat mewarisi harta dari orang muslim, begitupun sebaliknya. Rasulullah saw. bersabda:
ُ ﻻَ ﯾَ ِﺮ ث اﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ ُﻢ اﻟ َﻜﺎﻓِ َﺮ َوﻻَ اﻟ َﻜﺎﻓِ ُﺮ اﻟ ُﻤ ْﺴﻠِ َﻢ "Orang Islam tidak bisa mewarisi orang kafir, begitu juga orang kafir tidak bisa mewarisi orang islam" (Shohih Bukhori, no.6267)
12
Ayat yang sering dijadikan sebagai dasar terhalangnya non muslim mewarisi pewaris muslim adalah Q. S. al-Nisa (4): 141: وﻟﻦ ﯾﺠﻌﻞ ﷲ ﻟﻠﻜﻔﺮ ﯾﻦ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺆ ﻣﻨﯿﻦ ﺳﺒﯿﻼ. Ayat ini sebenarnya merupakan ayat yang bersifat umum dan tidak menunjuk langsung pada larangan bagi non-muslim untuk menerima harta warisan dari keluarganya yang muslim. Bahkan surat al-Nisa ayat 141 ini juga sering dijadikan dalil untuk melarang perkawinan beda agama. Apabila dipahami secara utuh, ayat tersebut adalah lebih merujuk kepada orang-orang munafik, dalam hal terjadinya peperangan, yang senantiasa menunggu-nunggu peluang yang baik dan hanya menguntungkan bagi diri mereka. Lihat Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, t.t.), hlm. 326 ; Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik al-Qur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), hlm. 209. 13 http://panatuna.net/index.php?option=com_content&view=article&id=30:pembaharuanhukum-waris-islam-oleh-hakim-di-indonesia&catid=10:artikel/ di akses pada / 07 / 04/2015/ 11 : 21 14
Para fuqpoha' menerangkan bahwa terputusnya hubungan warisan antara anak yang kafir dengan orang tua yang Islam itu dikarenakan asas dasar dari hubungan waris adalah muwalah (menguasai/hubungan dekat) dan munashoroh (tolong menolong) dan tolong menolong dalam hal ini sudah tidak ada lagi, meskipun terdapat hubungan darah diantara mereka, karena sudah dilarang oleh agama. Sedangkan mengenai masalah akhlaknya, dimana akhlak anak yang murtad dianggap lebih baik dari pada anak yang islam ini tidak ada kaitannya dengan masalah pembagian warisan. Sebab pembagian warisan itu tidak didasarkan dari akhlak seseorang, tapi berdasarkan kedekatan hubungan dengan ketentuan adanya persamaan agama antara orang yang mewariskan harta dan orang yang mewarisi harta.
15
BAB III KESIMPULAN
Kata Al Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Hukum waris Islam merupakan ekspresi penting hukum keluarga Islam. Ia merupakan separuh pengetahuan yang dimiliki manusia. Sebelum datangnya Islam, manusia saling mewarisi dengan caracara mereka. Hukum waris pada saat itu sangat dipengaruhi oleh sistem sosial yang dianut oleh masyarakat yang ada. Adapun dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada zaman sebelum Islam hingga awal masa Islam adalah sebagai berikut: 1. Pertalian kerabat (al-qarabah); 2. Janji setia (al-bilf wa al-mu’aqadab) 3. Pengangkatan anak (at-tabanni) atau adopsi. 4.
karena ikut hijrah dari Mekkah ke Madinah, dan karena persaudaraan (muakhkhah) antara kaum Muhajirin dan Anshar, (masa awal Islam).
Selaain itu ada pula asas-asas hukum waris antara lain yakni: 1. Asas Ijbari 2. Asas Bilateral 3. Asas Individual 4. Asas keadilan berimbang 5. Kewarisan Akibat Kematian Di Indonesia sendiri terdapat problem dalam hal pembagian waris antara lain problem mengenaai jumlah waris yang di terima laki-laki dua kali lipat dari waris yang ditrima perempuan, dan problem ini dapat di selesaikan salah satunya dengan cara pembagian harta pada anak laki-laki dan perempuan dilakukan ketika orang tuanya masih hidup secara hibah, disini tidak ada aturan laki-laki lebih banyak dari perempuan, jadi agar tidak terjadi kecemburuan sosial setiap anak diberi bagian yang sama.
16
DARTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, cet. 3, 2008) Departemen Agama RI, al-Qur'an dan Tafsirnya (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, t.t.) Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah, Tafsir Tematik alQur'an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) http://achmadyanimkom.blogspot.com/2008/12/ilmu-faraidh-sejarah-dasar-hukumdan.html/ di akses pada / 07/04/2015/ 13 : 42 http://bahankuliyah.blogspot.com/2014/04/hukum-kewarisan.html/
di
akses
pada
/
07/04/2015/ 11 : 28 http://muallimku.blogspot.com/2007/11/islam-dan-keadilan-sosialdalam.html/diaskes/pada/07/04/2015/17:04 http://panatuna.net/index.php?option=com_content&view=article&id=30:pembaharuanhukum-waris-islam-oleh-hakim-di-indonesia&catid=10:artikel/ di akses pada / 07 / 04/2015/ 11 : 21 http://www.fikihkontemporer.com/2013/02/bagian-harta-warisan-untuk-anak-yang.html/ di akses pada / 07/04/2015/10:46 Muhammad Ali ash-Shabuni, Pembagian Waris Menurut Islam, (Judul asli: Al-Mawaaris Fisy-Syarii’ati; Islamiyyah ‘Alaa Dhau’ al-Kitaab was Sunnah, Penerjemah: A. M. Basalamah, Jakarta: Gema Insani Press, cet. 9, 2001) Suhrawardi K. Lubis, komis simanjuntak, Hukum Waris Islam : Lengkap Dan Praktis , (Jakarta: Sinar Grafika, cet . 2, 2008 )
17