UNIVERSITAS INDONESIA
HAK ATAS INFORMASI LINGKUNGAN: REFLEKSI ATAS PENGATURAN DAN PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI PEMENUHAN AKSES INFORMASI DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
TESIS
HENRI SUBAGIYO 0906581044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM SALEMBA JANUARI 2013
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
HAK ATAS INFORMASI LINGKUNGAN: REFLEKSI ATAS PENGATURAN DAN PENERAPAN KETENTUAN MENGENAI PEMENUHAN AKSES INFORMASI DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA
TESIS Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum
HENRI SUBAGIYO 0906581044
FAKULTAS HUKUM PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM KEKHUSUSAN HUKUM TENTANG KENEGARAAN SALEMBA JANUARI 2013
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
:
Henri Subagiyo
NPM
:
0906581044
Tanda Tangan
:
Tanggal
:
7 Januari 2013
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh :
Nama
: Henri Subagiyo
NPM
: 0906581044
Program Studi : Magister Ilmu Hukum Judul Tesis
: Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan
Penerapan Ketentuan Mengenai Pemenuhan Akses Informasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H.) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
Ditetapkan di : Depok Tanggal
: 21 Januari 2013
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadiran Allah SWT, karena atas berkat dan rahmatNya saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilatarbelakangi atas kondisi pelaksanaan pemenuhan akses informasi lingkungan dalam perlindungan dan pengelolaan ingkungan hidup yang belum mendapat perhatian maksimal dari para pihak terkait. Pada kesempatan ini saya ingin menyampaikan ucapan terima kepada: 1. RM. Andri G. Wibisana, LL.M., Ph.D., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran didalam membantu penulis dalam penyusunan tesis ini; 2. Seluruh jajaran dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, yang telah memberikan fasilitas dan bantuan selama penulis menjalani pendidikan magister; 3. Rekan-rekan kerja di Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang telah
mendukung
kerja
penulis
termasuk
dalam
upaya
mendorong
implementasi keterbukaan informasi di Indonesia; 4. Ida Syafrida Harahap, Kiran Nahdan, dan Razita Saskara yang telah banyak memberikan motivasi untuk penyelesaian studi ini. Akhirnya saya berharap tesis ini dapat membawa wacana baru bagi pemenuhan akses informasi lingkungan di era keterbukaan informasi publik di Indonesia.
Bogor, 7 Januari 2013 Henri Subagiyo
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Henri Subagiyo
NPM
: 0906581044
Program Studi : Magister Ilmu Hukum Fakultas
: Hukum
Jenis Karya
: Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif ( Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan Penerapan Ketentuan mengenai Pemenuhan Akes Informasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data ( database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di
: Bogor
Pada tanggal : 7 Januari 2013 Yang menyatakan,
(Henri Subagiyo)
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
ABSTRAK
Nama : Program Studi : Judul :
Henri Subagiyo Magister Ilmu Hukum Hak atas Informasi Lingkungan: Refleksi atas Pengaturan dan Penerapan Ketentuan Mengenai Pemenuhan Akses Informasi dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Indonesia
Hak atas informasi lingkungan merupakan salah satu pilar penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Berbagai persoalan lingkungan hidup yang muncul seringkali berkaitan dengan lemahnya pemenuhan akses masyarakat terhadap hak atas informasi lingkungan. Tesis ini berupaya menganalisa tentang pentingnya pemenuhan akses informasi lingkungan dan bagaimana jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain itu, tesis ini juga menganalisa bagaimana strategi pengembangan jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan hidup. Penulisan tesis ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif yang menitikberatkan kepada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif dan berbagai literatur yang relevan dengan permasalahan keterbukaan informasi lingkungan. Metode lainnya yang digunakan untuk menjawab permasalahan adalah dengan mendeskripsikan dan menganalisa berbagai bahan hukum secara sistematis atau disebut dengan penelitian deskriptifanalisis. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa pemenuhan akses informasi lingkungan memiliki peran penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Bukan saja sebagai hak yang harus dipenuhi berdasarkan hukum, pemenuhan akses informasi lingkungan juga diperlukan untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui suatu mekanisme partisipasi publik atau proses deliberatif. Proses deliberatif dalam pengambilan keputusan diperlukan untuk mengatasi keterbatasan pendekatan ilmiah dalam mengakomodir persoalan-persoalan lain yang perlu dipertimbangkan seperti nilai, moral, budaya, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. Hasil analisa juga menyimpulkan bahwa jaminan hukum atas pemenuhan akses informasi lingkungan di Indonesia belum memadai. Oleh karena itu, penulis juga menganalisa bagaimana memperkuat ketentuan hukum, strategi, dan faktor-faktor lain yang perlu diperhatikan.
Kata Kunci: Lingkungan hidup, informasi, informasi lingkungan, partisipasi, keterbukaan informasi publik.
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
ABSTRACT
Name : Henri Subagiyo Study Program: Master of Laws Title : Right to Environmental Information: Reflection on Regulation and Implementation of the Provisions Regarding Access to Environmental Information in the Environmental Protection and Management in Indonesia
Right to information is one of important pillars in the environmental protection and management. Environmental problems often relates to the weak public access to information. This thesis examines the importance of public access to environmental information and legal guarantee for its fulfillment in Indonesia. Further, the thesis provides analysis regarding legal guarantee improvement for the fulfillment of public access to environmental information. The author applies doctrinal research method which is based on the study of the positive law norms implementation and relevant literatures study. The method also includes descriptive analysis approach by providing description and analyzing various law sources systematically. Based on the analysis, it is concluded that the fulfillment of access to environmental information plays significant role in the environmental protection and management. The access is not only a right to be fulfilled but also required in order to enhance the quality of decision making process through public participation mechanism or deliberative process. Deliberative process in decision making is needed to overcome the limitation of science approach. The process includes accommodating other aspects such as norms, moral, culture, and people’s awareness. It is argued that legal guarantee to the fulfillment of access to information in Indonesia is not yet sufficient. Therefore, the author also analyzes strategy to strengthen the legal guarantee and other factors that need to be considered.
Key words: Environment, information, environmental information, participation, public information disclosure
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
1
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
3
LEMBAR PENGESAHAN
4
KATA PENGANTAR
5
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
6
ABSTRAK
7
DAFTAR ISI
9
DAFTAR GAMBAR
12
DAFTAR TABEL
12
BAB 1 PENDAHULUAN
13
1.1.
Latar Belakang
13
1.2.
Rumusan Permasalahan
18
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
18
1.4.
Kerangka Teori
19
1.4.1
Asimetri Informasi
19
1.4.2.
Demokrasi Deliberatif
22
1.4.3.
Post Normal Science
26
1.5.
1.6.
1.7.
Kerangka Konsep
28
1.5.1.
Informasi Lingkungan
28
1.5.2.
Informasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
30
1.5.3.
Pembangunan Berkelanjutan
21
Metode Penelitian
33
1.6.1.
Jenis Penelitian
33
1.6.2.
Pendekatan Penelitian
34
1.6.3.
Bahan Hukum
34
1.6.4.
Teknik Memperoleh Bahan
35
1.6.5.
Teknik Analisa Bahan
35
Sistematika Penulisan
36
BAB 2 PENTINGNYA AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
37
2.1.
37
Pengantar Kasus: Dugaan Pencemaran Teluk Buyat
� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
2.2.
Pentingnya Akses Informasi Lingkungan 2.2.1.
39
Kompleksitas Lingkungan Serta Keterbatasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
2.2.2.
39
Demokrasi Deliberatif dan Partisipasi Publik : Jalan Mengatasi Kompleksitas Lingkungan dan Keterbatasan
2.2.3. 2.3.
Iptek
44
Asimetri Informasi
51
Jaminan Undang-Undang Dalam Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan 2.3.1.
53
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
2.3.2.
53
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
2.3.3.
55
Undang-Undang No. 14 Tahun 2009 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
58
BAB 3 REGULASI DAN PELAKSANAAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
63
3.1. Regulasi Pelaksanaan Jaminan Akses Informasi Lingkungan
63
3.1.1.
Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999)
3.1.2.
Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (PP 82/2001)
3.1.3.
63
71
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan Izin Lingkungan (PP 27/2012)
79
3.1.3.1. Akses Informasi dalam Penyusunan Dokumen Amdal
79
3.1.3.2. Akses Informasi dalam Penerbitan Izin Lingkungan 3.1.4.
85
Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan Komisi Informasi 1/ 2010)
3.1.5.
806
Pelayanan Informasi Publik di KLH (PERMENLH 6/2011)
88
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3.2. Praktek Pemenuhan Akses Informasi Di Bidang Lingkungan Hidup 3.2.1.
91
Longsor Danau Wanagon (Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN. Jaksel: WALHI vs PT. Freeport Indonesia)
3.2.2.
92
Dugaan Pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR)
3.2.3.
98
Putusan Sengketa Informasi di bawah UU KIP
112
3.2.3.1. Putusan Mediasi Komisi Informasi Pusat No. 088/III/KIP-PS-M/2012
112
3.2.3.2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 160/G/2011/PTUN-JKT
113
3.3. Analisa Terhadap Kelemahan Pengaturan Jaminan Akses Informasi Di Bidang Lingkungan Hidup
121
BAB 4 PEMBARUAN JAMINAN HUKUM DAN ARAH KEBIJAKAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
128
4.1. Pengembangan Ketentuan Hukum Untuk Memperkuat Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan
128
4.2. Strategi Pengembangan Kebijakan Kerangka Hukum Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan
135
4.2.1.
Pengaturan Pemenuhan Akses Informasi
4.2.2.
Faktor Pendukung Penerapan Aturan Tentang Pemenuhan Akses Informasi
135
143
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
149
5.1. Kesimpulan
149
5.2. Saran
150
DAFTAR PUSTAKA
152
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 1. GAMBAR 2. GAMBAR 3. GAMBAR 4.
GAMBAR 5. GAMBAR 6. GAMBAR 7.
HASIL UJI AKSES KELOMPOK MASYARAKAT POST-NORMAL SCIENCE PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI BAGAN ALUR TENTANG TATA CARA KETERLIBATAN MASYARAKAT, PENGUMUMAN, DAN PENYAMPAIAN SARAN, PENDAPAT, SERTA TANGGAPAN DALAM PROSES PENYUSUNAN AMDAL OPSI 1 PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN OPSI 2 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN OPSI 3 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
16 27 61
80 137 139 141
DAFTAR TABEL
TABEL 1
JUMLAH KEMENTERIAN/LEMBAGA DAN PEMDA YANG TELAH MENGANGKAT PPID
144
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sumber daya alam merupakan salah satu penopang utama pembangunan
nasional. Sebagai penopang pembangunan, rata-rata 70% pendapatan negara bersumber dari pemanfaatan sumber daya alam.1 Di sisi lain, pemanfaatan sumber daya alam yang belum memperhatikan perlindungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup seringkali berdampak pada timbulnya perusakan atau pencemaran lingkungan hidup. Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup tersbeut menimbulkan kerugian bagi masyarakat, tidak hanya masalah lingkungan, melainkan juga masalah kesehatan maupun kualitas hidup yang lebih baik. Perusakan dan pencemaran lingkungan hidup seringkali terkait dengan lemahnya akses masyarakat terhadap informasi, baik tentang perubahan kondisi lingkungan hidup yang dihadapinya, seperti polutan yang berpengaruh pada kesehatan, maupun pada tingkat pengambilan keputusan yang berpengaruh pada masyarakat, baik yang bersifat umum maupun teknis seperti pemberian izin usaha/kegiatan.2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) mengatur dua prinsip penting yang terkait dengan akses informasi, yaitu: (a) tata kelola pemerintahan yang baik; dan (b) partisipatif. 3 UU PPLH menjelaskan bahwa prinsip tata kelola pemerintahan yang baik harus dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan. Lebih jauh lagi, terkait prinsip partisipasi UU PPLH menjelaskan bahwa setiap anggota masyarakat harus didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan, baik secara langsung
1
Kementerian Keuangan, Nota Keuangan Tahun 2012.
2
Prayekti Murharjanti, et.al., Menutup Akses Menuai Bencana (Potret Pemenuhan Akses Informasi, Partisipasi, dan Keadilan dalam Pengelolaaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Indonesia), Cet. I, (Jakarta: ICEL, 2008), hal. 27. 3
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Ps. 2.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
maupun tidak langsung. 4 Selain UU PPLH, pengaturan khusus tentang pemenuhan akses informasi juga ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Akses publik terhadap informasi, partisipasi, dan keadilan merupakan 3 pilar penting dalam good governance yang secara konsep muncul sebagai elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan. Berbagai komitmen untuk mengusung good governance telah tercantum dalam berbagai instrumen hukum internasional. The United Nations Millennium Declaration menyatakan: "if we are to capture the promises of globalization while managing its adverse effects, we must learn to govern better, and we 5
must learn how better to govern together."
Dalam Monterrey Consensus yang
dihasilkan dari Konferensi Internasional tentang Keuangan untuk Pembangunan pada tahun 2002 menyatakan bahwa good governance adalah esensi dari pembangunan berkelanjutan. Governance didefinisikan sebagai "the set of values, policies, and institutions by 6
which a society manages economic, political, and social processes" ; sebagai "the manner in which power is exercised in the management of a country’s economic and "7
social resources for development ; dan sebagai "the process of decision making and the process by which decisions are implemented" 8. Selain itu, governance juga diartikan
sebagai "the framework of rules, institutions, and practices that set limits and provides incentives for the behaviour of individuals and organizations" 9. Berdasarkan definisi
diatas, governance bukan hanya sekedar pemerintah melainkan termasuk interaksi antar berbagai pihak atau aktor.
4
Ibid, Ps. 2 huruf k dan m.
5
Kofi A. Annan, We the People: the Role of the UN in the 21 st Century, http://iefworld.org/UNSGmill.htm, diakses pada tanggal 4 November 2012 6
G. Shabbir Cheema, “Good Governance: A Path to Poverty Eradication” , Choices: The Human Development Magazine, No. 1, March 2000, hal. 6 – 7. 7
Governance and Development, World Bank, http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cPath=&products_id=207 25, diakses pada tanggal 4 November 2012. 8
What is Good Governance?, UNESCAP, http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm,. diakses pada tanggal 6 Mei 2 012. 9
Human Development Report 1999, UNDP, http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf, diakses pada tanggal 6 Mei 2012, hal. 34.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific
(UNESCAP) mengidentifikasi beberapa prasyarat utama good governance , di antaranya transparansi, partisipasi, equity, inkusifitas, dan rule of law.10 Masyarakat internasional berulang kali menunjukkan ketiadaan prasyarat tersebut sebagai alasan dari kegagalan untuk mengatasi masalah-masalah pengentasan kemiskinan, pembangunan manusia, dan masalah sosial serta lingkungan.11 transparansi,
partisipasi,
dan
Penjelasan di atas memperkuat pendapat bahwa
akuntabilitas
adalah
esensi
dalam
mewujudkan
pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan survey pendapat tentang perhatian pemerintah terhadap isu lingkungan hidup dan akuntabilitas yang dilakukan oleh the Gallup International Millennium Survey pada tahun 2000, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya
pemerintah dipandang kurang peduli terhadap isu-isu lingkungan. Dari 60 negara yang disurvey, hanya 5 negara yang mayoritas warganya setuju bahwa pemerintahnya telah memberikan perhatian yang cukup terhadap isu-isu lingkungan hidup. Selebihnya menujukkan bahwa masalah korupsi dan masalah birokrasi adalah dua permasalahan utama yang menghambat perhatian pemerintah terhadap isu lingkungan hidup. 12 Pada tataran praktek, pemenuhan akses informasi di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Hal ini terungkap dari hasil uji akses terhadap informasi lingkungan yang telah dilakukan kelompok masyarakat terkena dampak pencemaran lingkungan di DAS Sungai Ciujung Banten dan PLTU Tanjung Jati, Jepara dengan pendampingan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). Dari total 44 permohonan informasi lingkungan yang
bersifat penting (Analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal), Izin Lingkungan, Hasil Monitoring Kualitas Lingkungan) kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah, hanya 10 permohonan yang dikabulkan, 11 permohonan dikabulkan setelah keberatan internal, dan 23 permohonan tidak dikabulkan dengan pendiaman ( mute refusal).13
10
UNESCAP, loc.cit .
11
Elena Petkova, et. al., "Closing the Gap: Information, Participation, and Justice in Decision Making for the Environment" , http://pdf.wri.org/closing_the_gap.pdf, diakses pada 4 November 2012, hal. 14 12
Ibid .
13
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), “Catatan Akhir Tahun 2011”,
(Jakarta: ICEL, 28 Desember 2011), hal. 4. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
��� ����� �������� ����������
���������
���������� �����������
����������
�
�
��
��
��
��
GAMBAR 1. HASIL UJI AKSES KELOMPOK MASYARAKA T
Pada beberapa kasus lingkungan juga ditemukan lemahnya praktek pemenuhan akses informasi lingkun an oleh pelaku usaha. Sebagai contoh pada saat semburan lumpur panas PT Lapind Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur. PT Lapindo Br ntas selaku pemegang kuasa Blok Brantas tidak memberikan informasi darurat lingkungan pada masyarakat tentang apa berbahaya dari sembura
ang harus dilakukan dan ke arah mana harus me jauhi zona lumpur panas yang terjadi. Pemberian infor asi justru
dilakukan oleh masyarak t sendiri, baik melalui orang per orang (dari mulut ke mulut) maupun melalui pengumu an lewat pengeras musala atau masjid.14 Berbagai instrum n hukum internasional juga telah banyak yang
enekankan
tentang pentingnya akses informasi lingkungan hidup. Pengaturan secara rinci tentang hal ini dapat ditemukan dalam the United Nations Economic Commission or Europe (UNECE) Convention on ccess to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to Justice in Environmental Matters atau lebih popular diseb t Konvensi
Aarhus ( Aarhus Convent on) yang ditandatangani pada tanggal 25 Juni 19 98 di Kota Denmark, Aarhus. Konve si ini mulai berlaku pada tanggal 30 Oktober 2001. Pada bulan Juli 2009, Konvensi ini t lah ditandatangani oleh 40 Negara (terutama Ero a dan Asia Tengah) dan Uni Eropa serta telah diratifikasi oleh 41 negara.15 Konvensi ini me berikan hak-hak kepada publik berkaitan dengan lingkungan. Para pihak dalam konve si harus membuat ketentuan sehingga otoritas pu lik baik di
14
Prayekti Murharjanti, et.al.,loc.cit.
15
What is Aarhus Convention?,http://ec.europa.eu/environment/aarhus/, tanggal 24 April 2012.
iakses pada
��
UNIVERSITAS I DONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
level nasional maupun lokal mendorong pemenuhan hak-hak tersebut secara efektif. Konvensi tersebut memberikan:
a)
Hak kepada setiap orang untuk menerima informasi lingkungan yang diselenggarakan oleh otoritas publik (akses terhadap informasi lingkungan), tidak hanya mencakup tentang keadaan lingkungan melainkan juga terhadap kebijakan atau kebijakan yang diambil. 16 Selain itu juga terhadap informasi yang menyangkut keadaan kesehatan dan keselamatan manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan.17 Pemohon berhak memperoleh informasi tersebut dalam waktu satu bulan dan tanpa harus menyampaikan alasan permohonan informasi. 18 Otoritas publik juga wajib secara aktif menyebarkan informasi lingkungan yang mereka miliki; 19
b)
Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan. Dalam hal ini, Otoritas publik harus membuat peraturan yang memungkinkan publik yang terkena dampak dan Organisasi NonPemerintah di bidang lingkungan hidup untuk m emberikan masukan, misalnya terhadap kegiatan yang berpengaruh terhadap lingkungan, rencana program yang terkait dengan lingkungan, proses dan hasil pengambilan keputusan lingkungan. 20
c)
Hak untuk menguji keputusan publik yang bertentangan dengan dua hak di atas (akses terhadap informasi lingkungan dan partisipasi)
16
Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 1. 17
Ibid .
18
Ibid, Article 4 Sec. 2.
19
Ibid, Article 5 Sec. 1.
20
Ibid, Article 6 Sec. 1, Article 7 and Article 8.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
atau hukum lingkungan secara umum. 21 Hal ini dinamakan akses terhadap keadilan.22 Berdasarkan pemikiran di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana jaminan hukum nasional dalam menjamin praktek pemenuhan informasi lingkungan hidup di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisa jaminan hukum yang telah ada untuk mengetahui kelemahan dan mendapatkan rekomendasi bagi perbaikan dalam pemberian jaminan pemenuhan akses informasi lingkungan sebagai wujud dari pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup. Untuk memperkaya hasil analisa, penelitian ini juga akan menganalisa ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional yang terkait dengan pemenuhan informasi lingkungan.
1.2.
Rumusan Permasalahan
1. Mengapa informasi lingkungan memegang peranan penting dalam konteks pelaksanaan tata kelola lingkungan hidup yang baik menuju pembangunan berkelanjutan? 2. Bagaimana jaminan hukum terhadap pemenuhan akses informasi lingkungan di Indonesia dengan memperhatikan beberapa prinsip pengaturan pemenuhan informasi
lingkungan
yang
telah
dikenal
dalam
instrumen
hukum
internasional? 3. Bagaimana strategi pengembangan kebijakan hukum terhadap pemenuhan akses informasi lingkungan di Indonesia?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendapatkan analisa tentang pentingnya pemenuhan informasi lingkungan dalam penatakelolaan lingkungan hidup
21
Ibid, Article 9.
22
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
2. Mendapatkan analisa yang menjelaskan tentang jaminan hukum pemenuhan informasi lingkungan di Indonesia berdasarkan beberapa prinsip yang terdapat dalam instrumen hukum internasional; dan 3. Mendapatkan analisa tentang strategi pengembangan kebijakan jaminan pemenuhan informasi lingkungan Manfaat penelitian ini adalah untuk mendapatkan analisa tentang kelemahan jaminan pemenuhan informasi lingkungan berdasarkan prinsip-prinsip yang telah diatur dalam instrumen hukum internasional serta strategi pengembangan kebijakan terkait pemenuhan informasi lingkungan ke depan.
1.4.
Kerangka Teori
1.4.1
Asimetri Informasi
Asimetri informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. Hal ini merupakan hal yang lumrah dalam mekanisme interaksi suatu pasar. Misalnya penjual dari suatu barang seringkali lebih mengetahui tentang kualitas barang yang dijualnya dibandingkan dengan pengetahuan yang dimiliki calon pembeli. Pelamar kerja biasanya lebih mengenal kemampuannya dibandingkan dengan calon pemberi kerja. Terakhir, pembeli polis asuransi juga biasanya lebih mengetahui risiko yang dapat terjadi pada dirinya daripada perusahaan asuransi. 23 Athony I Ogus berpendapat ada dua kategori besar pengaturan tentang informasi. Pertama, pengaturan yang mewajibkan produsen untuk membuka informasi terkait dengan harga, identitas, komposisi, kuantitas dan kualitas suatu barang atau jasa. Kedua, pengaturan yang mengontrol agar informasi yang disampaikan tidak salah (misleading).24
23
Karl-Gustaf Lofgren, Torsten Persson, Jorgen W. Wibull, "Market with Asymmetric Information: The Contribution of George Akerlof, Michael Spence and Joseph Stiglittz", The Scandinavian Journal of Economics, Vol. 104, No. 2, Juni 2002,hal. 196. 24
Anthony I Ogus, Regulation: Legal Form and Economic Theory, (Hart Publishing, Oxford-Portland Oregon, 2004), hal. 121.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Ada beberapa justifikasi teori terkait dengan pengaturan informasi, yaitu: 1. Defisit informasi. Defisit/kekurangan informasi terkait dengan suatu produk akan menimbulkan kerugian bagi konsumen. Kerugian yang mungkin timbul dari adanya defisit informasi tersebut adalah (1) kerugian atas manfaat yang secara optimal dapat diperoleh oleh konsumen dari suatu produk yang berkualitas (2) kerugian yang tersembunyi (hidden cost ) atas suatu produk, misalnya produk yang memiliki
efek
terhadap
kesehatan
sehingga
konsumen
harus
mengeluarkan biaya ekstra untuk berobat. Dalam hal ini diperlukan regulasi
untuk
membuka
informasi
agar
konsumen
memiliki
pertimbangan yang memadai dalam mengambil keputusan atas suatu produk.25 2. Eksternalitas. Kegagalan pasar dapat diidentifikasi ketika regulasi dilakukan untuk mengatur kegiatan yang dilarang. Namun dalam situasi tertentu sebetulnya membuka informasi justru lebih efisien daripada melakukan larangan. Misalnya pemerintah lokal yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan kamar kecil. Kamar kecil tersebut setiap hari harus dibersihkan yang mengakibatkan lantai menjadi licin selama kurang lebih 30 menit. Untuk kepentingan umum akan lebih efisien dengan memberikan peringatan mengenai kondisi lantai daripada menutup kamar kecil selama 30 menit. Dengan menutup kamar kecil tersebut tentu masyarakat tidak dapat menggunakannya sekaligus pengelola akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan nilai ekonomis dari penggunaan kamar kecil tersebut.26 3. Justifikasi Non-Ekonomi. Dalam teori modern, hak warga negara atas informasi dianggap penting. Beberapa penulis telah mencoba untuk mengggunakan konsep tersebut dalam kondisi yang luas dimana setiap individu diberikan akses yang sama –tidak hanya kepada publik
25
Ibid .
26
Anthony I Ogus ,op. cit,hal. 123.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
melainkan juga privat–terkait dengan informasi yang dapat berdampak pada
kehidupan
atau
kesejahteraannya.
Pandangan
tersebut
menjustifikasi perlunya regulasi bagi produsen untuk membuka informasi yang rinci terkait dengan produk mereka. Teori yang lebih ortodok memberikan intepretasi yang lebih dangkal dimana membatasi hak atas informasi pada dua kategori: (1) informasi personal/pribadi seperti medical record bagi pemegang hak nya; (2) informasi yang berakibat pada pengambilan keputusan politik yang merupakan konsekuensi dari demokrasi yaitu partisipasi dan voting.27 Kedua kategori tersebut, khususnya kategori yang kedua banyak digunakan sebagai dasar untuk menjustifikasi pentingnya membuka informasi yang ada pada badan publik. Secara umum terdapat argumen untuk mendorong konsumen untuk memperhatikan suatu informasi tertentu meskipun kewajiban untuk membukanya tidak dapat dijustifikasi berdasarkan alasan ekonomi semata.28 Terkait dengan kontrol pada informasi yang misleading, regulasi informasi yang bersifat negatif (pelarangan atau kontrol atas informasi yang misleading) di Inggris, mengkombinasikan rezim Trade Description Act 1968 dengan kode etik yang mengatur iklan yang dikelola oleh suatu badan yang mandiri. Pendekatan yang umum pada Trade Description Act mendorong pengaturan yang mencegah terjadinya penipuan atau
informasi yang misleading. Kode etik mengenai Praktek Periklanan,yang dikelola oleh Otoritas Standard Periklanan yaitu suatu badan yang mendiri memuat ketentuan bahwa iklan tidak boleh dibuat secara visual yang dapat berakibat muncul ambiguitas atau klaim yang berlebihan, sehingga dapat mengelabui konsumen mengenai produk yang diiklankan. Terkait dengan hal tersebut badan mandiri yang memegang otoritas pembuatan standard periklanan dapat melakukan penegakan hukum dan konsumen dapat melakukan upaya hukum. 29
27
Birkinshaw dalam Ibid , hal. 124.
28
W.Withford dalam Ibid , hal. 125.
29
Ibid , hal. 128-129.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1.4.2.
Demokrasi Deliberatif
Gagasan demokrasi menekankan pada tiga aspek yang saling terkait, yaitu demokrasi sebagai suatu sistem, demokrasi sebagai ruangan untuk melakukan perdebatan, dan demokrasi sebagai seperangkat makna. 30 Dua yang pertama menggambarkan dua konsep demokrasi secara luas. Pertama, demokrasi sebagai sistem politik dalam pengambilan keputusan. Kedua, sebagai ruang dimana setiap orang menikmati kesempatan yang sama dan terlibat dalam pengembangan diri, pemenuhan dan penentuan nasib sendiri.31 Dalam hal ini, demokrasi perwakilan menitikberatkan pada "kesempatan untuk menentukan nasib sendiri, sehingga warga negara harus hidup dalam hubungan dengan orang lain ... (yang) selalu mensyaratkan bahwa mereka kadang-kadang harus mematuhi keputusan kolektif yang mengikat semua anggota masyarakat.32 Ada tiga alasan bahwa demokrasi membutuhkan musyawarah atau pertimbangan: 33
1. Agar warga dapat membahas isu-isu publik dan kesempatan beropini; 2. Agar wawasan pemimpin jauh lebih baik dalam isu-isu publik daripada hanya mengikuti pemilu; 3. Agar orang dapat membenarkan pandangannya untuk dapat memilah baik dari buruk. Demokrasi deliberatif mengacu pada konsepsi bahwa pemerintahan yang demokratis memberikan ruang untuk diskusi secara rasional dan moral dalam suatu kehidupan politik.34 Menurut Gutman dan Thompson, teori demokrasi deliberatif terletak
30
Yusef Waghid dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara,
Deliberative Democracy in Malaysia and Indonesia: A Comparison , (-Kota: Penerbit, 2002), hal.
189. 31
W.Carrand A.Hartnett, Education and the Struggle for Democracy: The Politics of Educational Ideas,(Buckingham: Open University Press, 1996), hal. 40. 32
R.Dahl, A Democratic Paradox. Political Science Quarterly,(Vol. 115, No. 1. 38, 2000), hal. 89. 33
P. Levin dalam Mohd. Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, op. cit , hal. 2.
34
Cooke dalam A.Gutman and D.Thompson, “Moral Conflict and Political Consensus”, Ethics: An International, Journal of Social, Po litical and Legal P hilosophy, Vol. 101 (1. 1), 1990, hal. 5.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama dengan alasan banyaknya konflik dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat.35 Sedangkan James Bohman berpendapat bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah dimana “ pertimbangan warga diperlukan jika keputusan tidak bisa hanya dibebankan pada mereka ... persetujuan adalah ciri utama dari demokrasi setelah musyawarah dilakukan”. Dengan kata lain, pengambilan keputusan adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui proses diskusi dan debat publik di mana warga negara dan wakil-wakil mereka tidak hanya sekadar mengusung kepentingan pribadi dengan pandangan yang terbatas. Melainkan juga merefleksikan kepentingan umum atau kebaikan bersama. 36 Konsorsium Demokrasi Permufakatan, 2003 memiliki salah satu definisi yang lebih praktis: " Deliberation is an approach to decision-making in which citizens consider relevant facts from multiple points of view, convere with one another to think critically about options before them and enlarge their perspectives, opinions and understandings. Deliberative democracy strengthens citizen voices in governance by including people of all races, classes, ages and geographies in deliberations that directly affect public decisions. As a result, citizens influence – and can see the result of their influence on – the policy and resource decisions that impact their daily lives and their future." 37
Demokrasi deliberatif harus dibedakan dengan model demokrasi lainnya yaitu demokrasi agregatif (agregative democracy). Model agregatif demokrasi menekankan pada preferensi sebagian besar orang saja. Iris Marion Young menjelaskan bagaimana model agregatif conceives proses demokrasi pembentukan kebijakan: " Individuals in the polity have varying preferences about what they want government instituions to do. They know that other individuals also have preferences, which may or may not match their own.
35
Ibid , hal 26.
36
James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, op. cit ,
hal.4. 37
Ibid , hal. 3
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Democracy is a competitive process in which political parties and candidates offer their platforms and attempt to satisfy the largest number of people’s preferences. Citizens with similar preferences often organize interest groups in order to try to influence the actions of parties and policy-makers once they are elected. Individuals, interest groups, and public officials each may behave strategically adjusting the orientation of their pressure tactics or coalition-building according to their perceptions of the activities of competing preferences."38
Model demokrasi agregatif ini bermasalah karena berbagai alasan dan gagal memberikan perhatian yang cukup terhadap penekanan partisipasi publik yang efektif. Para pendukung demokrasi deliberatif percaya bahwa demokrasi deliberatif sangat penting untuk mencapai pemerintahan yang lebih adil. 39 Menurut model demokrasi agregatif, warga berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan untuk preferensi mereka melalui voting.40 Demokrasi deliberatif menolak konsepsi sempit partisipasi yang menganggap voting sebagai tindakan politik yang utama. 41 Para pendukung demokrasi deliberatif berpendapat bahwa untuk berpartisipasi penuh dalam proses pengambilan keputusan, seseorang harus berpartisipasi dalam musyawarah secara langsung dan tidak hanya sekedar mengekspresikan preferensi seseorang atau diwakilkan. 42 Musyawarah tersebut mengharuskan agar para pihak meninggalkan ciri utama demokrasi agregatif, yang tujuannya justru bukan untuk mencapai konsensus di antara prinsip bebas dan setara. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dalam praktik diskursus sangat berbeda dengan berpartisipasi dalam dari sudut pandang model demokrasi agregatif. Demokrasi delibaratif menghendaki proses demokrasi sebagai proses transformatif. Melalui proses diskusi publik dengan pendapat yang beragam, kita sering mendapatkan informasi baru, belajar dari pengalaman yang berbeda dari masalah kolektif yang ada, bahkan dapat menyadarkan kita bahwa pendapat kita awalnya hanya 38
Iris MarionYoung, Inclusion and Democracy,(Oxford: Oxford University Press, 2000),
39
Mohd Azizuddin Mohd Sani and Abubakar Eby Hara, loc. cit.
40
Ibid.
41
Ibid.
42
Ibid.
hal. 19.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan, atau bahwa mereka t elah salah memahami hubungan kepentingan kita dengan orang lain. 43 Makna lebih luas dari demokrasi deliberatif adalah untuk mendorong pemahaman yang tercerahkan. Penggabungan berbagai preferensi yang ada dapat menghalangi pemahaman yang tercerahkan karena tidak ada upaya untuk memahami, apalagi mengakomodasi kepentingan sesama warga negara. Demokrasi deliberatif dapat mendorong pemahaman tercerahkan di antara warga negara karena adanya prinsip timbal balik dan saling memahami atas resiko pegambilan keputusan. Agar prinsip timbal balik terlaksana memerlukan sikap saling menghormati. Saling menghormati adalah "bentuk setuju untuk tidak setuju".44 Dengan terlibat dalam musyawarah, kita terdorong untuk mau mendengarkan orang lain, memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan beberapa kesamaan sehingga kompromi dapat dicapai. Sedangkan pemerintahan yang demokratis deliberatif didasarkan pada kesempatan yang adil bagi aktor non-negara untuk memiliki akses kepada komunikasi politik dan pengambilan keputusan.45
43
Ibid . Lihat juga Colin Farrelly, Deliberative Democracy. An Introduction to Contemporary Political Theory , (London: Sage Publications, 2004), hal. 137-156, yang
menggambarkan perbedaan antara kedua konsepsi demokrasi meskipun contohnya keputusan tentang tempat untuk makan malam. Hal ini mengungkapkan banyak kekhawatiran dari demokrat deliberatif terhadap kekurangan model demokrasiagregatif. Bayangkan jika lima teman kita harus memutuskan dimana kita harus pergi untuk makan malam. Mereka tidak dapat menyepakati sebuah restoran sehingga mereka memutuskan untuk menyelesaikan perselisihan ini secara demokratis. Mereka percaya bahwa itu adalah satu-satunya cara yang adil yang dapat dilakukan. Dengan cara pendekatan tangan model agregatif demokrasi menyatakan bahwa keputusan mayoritas adalah keputusan yang tepat dan dengan demikian mereka hanya perlu menunjukkan apa preferensi mereka dan kelompok harus menerima preferensi mayoritas. Jika tiga dari temanteman, misalnya, ingin makanan Cina maka itu adalah di mana mereka harus pergi dan dua orang yang kalah/minor hanya harus menerima keputusan itu karena demokrasi berarti menang mayoritas. Berbeda menurut Farrelly, jika teman-teman adalah demokrat deliberatif mereka mungkin tidak puas untuk menyelesaikan perselisihan dengan cara seperti ini. Sebelum memiliki suara mereka memutuskan bahwa setiap orang harus memiliki kesempatan untuk mengungkapkan kepentingan mereka untuk atau terhadap salah satu restoran yang diusulkan. Setiap teman kemudian akan memberikan pertimbangan. Mungkin salah satu teman tidak mampu untuk makan di sebuah restoran Cina atau alergi terhadap makanan Cina. Sebagai seorang teman kita mungkin (atau akan) menerima kekhawatiran seperti ini dan oleh karenanya kita dapat mengubah preferensi atau usulan awal kita untuk makan di restoran Cina. Kita mungkin memutuskan bahwa preferensi kita untuk makan di restoran Cina kurang penting daripada teman kita mengalami sakit. Sehingga kita dapat mencari alternatif restoran lainnya yang sesuai dengan preferensi semua orang. Kita berpartisipasi dalam proses demokrasi tidak hanya dengan mengangkat tangan dan mengekspresikan preferensi mayoritas yang menang, tetapi juga dengan mendengarkan keprihatinan atau kekhawatiran orang lain dan kita bersedia untuk mengubah pikiran kita untuk mengakomodasi keprihatinan tersebut. 44
A. Gutman and D.Thompson, op. cit , hal.79-80.
45
Ibid .
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1.4.3. Post Normal Science Post normal science adalah suatu konsep yang dikembangkan oleh Silvio
Functowicz and Jerome Ravetz yang mengkritisi tentang keterbatasan science dalam memecahkan permasalahan yang kompleks. Lingkungan hidup dan masalah yang ada di dalamnya merupakan suatu sistem yang kompleks. Sebagai sistem yang kompleks, maka ilmu pengetahuan terlalu sederhana jika digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada. Ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan tidak cukup untuk memecahkan permasalahan lingkungan: 46
1. Ketidakpastian. Ilmu pengetahuan merupakan hasil ciptaan manusia yang merupakan bagian kecil dari subsistem lingkungan hidup. Oleh karena
itu
sifat
ilmu
pengetahuan
yang
selalu
berkembang
menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya penuh dengan ketidakpastian; 2. Perspektif yang plural (kompleksitas). Ilmu pengetahuan memiliki perspektif yang tidak tunggal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di sisi lain, lingkungan hidup juga memiliki kompleksitas yang terdiri dari berbagai subsistem. Hal ini mengakibatkan munculnya perspektif yang beragam atas suatu permasalahan. Sebagai contoh, jika ada sekelompok orang melihat bukit, maka setiap orang akan memberikan makna dalam perspektif yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya sebagai hutan, situs peninggalan/arkeologi, sekumpulan batu, dan sebagainya. Berdasarkan kondisi tersebut, tugas pengambil kebijakan seharusnya menjadi "fasilitator" yang menggabungkan berbagai perspektif dari mereka yang memiliki minat atau kepentingan atas permasalahan yang dihadapi. Pendekatan ilmu pengetahuan saja akan menyederhanakan cara pandang pengambil kebijakan dalam membuat suatu keputusan yang mungkin akan berakibat negatif jika terjadi kesalahan atau tidak selaras dengan perspektif orang lain dalam suatu subsistem lingkungan hidup yang komplek.
46
Silvio Functowicz and Jerome Ravetz, Post Normal Science: Environmental Policy
under Conditions of Complexity , (UNSAP), hal. 2.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Hubungan antara ketidakpastian dan resiko atau taruhan kebijakan dapat digambarkan dalam diagram dibawah ini:
GAMBAR 2. POST-NORMAL SCIENCE
Pada diagram di atas, kita melihat dua sumbu, "ketidakpastian sistem" dan "taruhan keputusan". Ketika resiko dan taruhan kebijakan tidak terlalu besar, kita berada dalam ranah "normal", di mana keahlian dari ilmuwan dapat sepenuhnya berfungsi secara efektif.47 Semakin besar ketidakpastian, maka taruhan atau resiko kebijakan akan semakin besar dan oleh karena itu ilmu terapan tidak lagi memadahi sehingga diperlukan adanya keterampilan, penilaian, bahkan keberanian yang lebih dalam mengambil keputusan. Pada kondisi ini disebut sebagai "konsultasi profesional", misalnya dokter bedah atau insinyur senior yang akan membantu ilmuwan terapan dengan memberikan konsultasi. 48 Meskipun demikian, tentu saja selalu ada masalah yang tidak bisa dipecahkan oleh ilmu pengetahuan. Ketika kita menghadapi kondisi alam misalnya, kita menemukan ketidakpastian yang ekstrim yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah padahal harus segera diambil keputusan agar permasalahan yang dihadapi dapat segera terselesaikan. Oleh karena itu dalam setiap pemecahan masalah, keputusan dari berbagai pemangku kepentingan juga harus diperhitungkan. Kontribusi dari pemangku kepentingan dalam pengambilan keputusan bukan hanya soal partisipasi demokratis yang lebih luas saja, melainkan juga sebagai peer review dalam suatu usulan kebijakan yang mungkin juga 47
Ibid, hal.4.
48
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
berdampak atau memiliki resiko terhadap mereka. Dengan demikian, pendekatan post normal science menawarkan suatu pendekatan yang lebih komprehensif tidak hanya
sekedar pendekatan science melainkan juga kesadaran para pemangku kepentingan terhadap keputusan yang akan diambil beserta r esikonya.49
1.5.
Kerangka Konsep
1.5.1.
Informasi Lingkungan
Informasi lingkungan memainkan peran yang penting sejak awal gerakan lingkungan modern. Gerakan pemenuhan informasi lingkungan sudah muncul sejak agenda-agenda lingkungan hidup didorong dalam berbagai kebijakan nasional maupun internasional. Hal ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. Gerakan pemenuhan informasi lingkungan berkembang secara luas pada tahun 1990-an dengan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan prinsip akses publik terhadap informasi lingkungan. Sebagai contoh "the Convention on Access to Information, Public Participation in Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters" atau
disebut the Aarhus Convention. Konvensi tersebut ditandatangani oleh Komisi PBB untuk Eropa pada tahun 1998 guna mempromosikan akses untuk peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan dan kesadaran publik terhadap masalahmasalah lingkungan. Tahun
1960-an
adalah
tonggak
gerakan
"revolusi
lingkungan"
yang
mendefinisikan secara jelas hubungan antara regulasi dengan pengumpulan informasi untuk merespon permasalahan-permasalahan lingkungan secara dini sebagai gerakan lingkungan modern. Salah satu tonggak tersebut adalah USA National Environment Policy Act –(NEPA) 1969. NEPA secara eksplisit mengikat politik lingkungan dengan
informasi. Pelaksanaan dari NEPA tersebut adalah dikeluarkannya instrumen laporan tahunan tentang status lingkungan dan Amdal. Keduanya dapat diartikan sebagai instrumen informasi. NEPA juga mendefinisikan hubungan antara informasi dengan pihak yang berkepentingan ( interested party). Hal ini dinyatakan dalam NEPA sebagai berikut: "All agencies of the federal government shall …(g) make available to States, counties, municipalities, institutions, and individuals, advice
49
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
and information useful in restoring, maintaining, and enhancing the quality of the environment; (h) initiate and utilise ecological information in the planning and development of resource-oriented projects;" 50
Tidak hanya AS, negara-negara lainnya juga mengalami perubahan yang sama pada periode ini. Pembentukan the Royal Commission on Environmental Pollution pada tahun 1969 dan Departement of Environment pada tahun 1970 adalah merupakan hasil dari tekanan publik.51 Hal ini menunjukkan bangkitnya kesadaran publik terhadap isu-isu lingkungan. Sedangkan acara internasional yang menandai hal ini adalah Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm pada bulan Juni 1972. Pada Rencana Aksi Konferensi tersebut, kata-kata informasi disebutkan lebih dari 60 kali. Salah satu hasil utama dari konferensi ini adalah pembentukan United Nation Environmental Programe (UNEP). UNEP sendiri melihat bahwa pengumpulan data dan
informasi tentang lingkungan merupakan hal yang peling mendesak berdasarkan prinsip "Earth Watch" dengan mengevaluasi dan me review pengetahuan yang ada, penciptaan
pengetahuan baru melalui penelitian, dan pengumpulan informasi melalui kegiatan monitoring dan pertukaran informasi.52 Kegiatan lainnya di tingkat internasional terjadi di Eropa dimana Eroupean Community membentuk Eroupean Commission Environmental Programme pada tahun
1973. Meskipun pada program pertamanya tidak menargetkan informasi secara langsung, namun dalam program keduanya pada bulan Juni 1977 informasi lingkungan menjadi program utama bersama dengan Amdal. Beberapa pelaksanaan dari program tersebut berhubungan langsung dengan pengumpulan data dan infromasi. Sebagai contoh, pada tahun 1979 European Commission menetapkan program pertukaran informasi tentang polusi udara dengan fokus pada perbaikan metode pelengkapan data. 53
50
U.S. Congress, National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075,1970.
51
J. McCormick, The Global Environment Movement , (John Wiley & Sons, Chichester,1995), hal. 75. 52
C. C. Wallen, History of "Earthwatch" ,http://www.unep.ch/earthw/History.htm., diakses pada tanggal 23 Agustus 2010. 53
D. Briggs, Environmental Problems and Policies in the European Community, In Environmental Policies :an International Review , (Ed. Park, C. C., Croom Helm, Beckenham, and Kent, 1986) hal. 105-144. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1.5.2.
Informasi Lingkungan dan Pembangunan Berkelanjutan
Dorongan untuk memperhatikan informasi lingkungan dalam isu-isu lingkungan hidup terus berkembang selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama dirilis melalui "Our Common Future" oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987. Wacana tersebut terus berkembang hingga
puncaknya pada Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang menegaskan keterkaitan akses terhadap informasi dengan pembangunan berkelanjutan. Prinsip 10 dalam deklarasi tersebut menyatakan: "Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, …and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available… " (UN, 1992b, Principle 10).
Deklarasi tersebut juga menegaskan informasi lingkungan dalam beberapa tempat, yaitu Amdal yang dinyatakan dalam Pasal 17 dan pertukaran informasi terkait dengan dampak lintas batas ( transboundary impact) dalam Pasal 19. Agenda 21 memberikan perhatian khusus terhadap informasi. Dalam setiap bab dicantumkan bagian yang mengulas tentang pengumpulan data dan informasi. Selain itu, Bab 40 agenda tersebut mengulas khusus tentang "informasi dan pengambilan keputusan" yang dinyatakan sebagai berikut: "In sustainable development, everyone is a user and provider of information considered in the broad sense. That includes data, information, appropriately packaged experience and knowledge. The need for information arises at all levels, from that of senior decision makers at the national and international levels to the grass-roots and individual levels. … " (UN, 1992a)
Ada dua aspek penting dalam informasi lingkungan yang ditekankan pada kalimat diatas. Pertama, agenda tersebut menekankan peran khusus dari jenis-jenis �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
informasi lingkungan. Kedua, perhatian khusus kepada akses publik terhadap informasi lingkungan. Baik Deklarasi Rio maupun Agenda 21 sebenarnya memastikan kedua hal tersebut yang dijelaskan pada bagian awal. Bagian III dari Agenda 21, diperuntukkan untuk penguatan peran Major Groups yang mengintegrasikan kelompok perempuan, anak-anak dan pemuda, NGO, masyarakat adat, petani, pemerintah daerah, pengusaha, dan sebagainya. Dalam pembukaan Deklarasi Rio dinyatakan: "…Individuals, groups and organisations should have access to information relevant to environment and development held by national authorities, including information on products and activities that have or are likely to have a significant impact on the environment, and information on environmental protection measures…" (UN, 1992a, Chapter 23, sec 23.2)
Pembangunan dalam kebijakan lingkungan saat ini pada umumnya merujuk kepada Agenda 21 dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mendukung kerangka ecological modernitation.54 Blowers mencatat pembangunan berkelanjutan adalah salah
satu prinsip ilmiah, tujuan politik, pelaksanaan sosial dan panduan moral.55 Dalam konteks ecological modernisation, akses publik terhadap informasi sebagai bagian dari prinsip umum dari prinsip partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Namun beberapa pembangunan selama 1990-an menargetkan khusus hal ini. Dari sisi legal, beberapa konvensi secara khusus mengatur hal ini, seperti the European Council Directive 90/313/EEC, "Freedom of Access to Information on the Environment" and the Aarhus convention (UN/ECE, 1998). 1.5.3.
Pembangunan Berkelanjutan
Istilah pembangunan berkelanjutan pertama kali diperkenalkan oleh World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Our Common Future,
didefinisikan sebagai "Development that meets the needs of the present without
54
A.Blowers, Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society? (UrbanStudeis, 34(5-6), 1997), hal. 845-871. 55
Ibid , hal. 846.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
compromising the ability of the future generation to meet their own needs".
56
Istilah ini
mengundang berbagai penafsiran yang berbeda-beda karena terminologi pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk ditafsirkan dengan berbagai pengertian. Seringkali dipadankan serta ditafsirkan sebagai
sustainable economic development
tanpa
mensyaratkan atau memberi fokus kepada keberlanjutan atau pelestarian daya dukung ekosistem (continued viabiliy of ecosystem). Caring for the Earth sebagai dokuman pengganti dari the World Conservation Strategy yang dirumuskan oleh the World Conservation Union (IUCN) pada tahun 1991 juga menggarisbawahi tentang berbagai
penafsiran yang muncul dari penggunaan istilah sustainable development.57 Berbagai istilah digunakan seperti sustainable development, sustainable growth, dan sustainable use secara bergantian, yang seringkali pengertian yang satu dengan yang lain berbeda.
Dikarenakan kerancuan istilah sustainable development, maka Caring for the Earth memberikan pengertian pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
58
"Improving the quality of human life while living within the carrying capacity of supporting ecosystem. A "sustainable economy" is the product of sustainable development. It maintains its natural resource base, it can continue develop by adapting, and through improvements in knowledge, organization, technical efficiency, and wisdom."
Prof. Ben Boer, guru besar hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Sydney Australia yang aktif berkecimpung dalam pengembangan hukum dalam konteks pembangunan
berkelanjutan
memberikan
kritik
terhadap
definisi
pembanguan
berkelanjutan dalam Caring for the Earth, yang menurutnya masih mengundang permasalahan. Menurut Ben Boer, definisi yang ditawarkan terlampau berorientasi kepada “anthropocentrism” dan “utilitarianism”. Orientasi ini dapat dilihat dari penekanan lingkungan hidup sebagai peran pendukung (supporting role) dan hanya dilihat sebagai instrumen atau sumber daya untuk didayagunakan (eksploitasi) oleh manusia dengan mengenyampingkan kebutuhan lingkungan alam (natural environment).
56
Mas Achmad Santosa, Hukum Lingkungan dan Good Governance . (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 2001), hal. 161. 57
Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living , (IUCN-the World
Conservation-UNEP-WWF, Gland, Switzerland, October, 1991). 58
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Oleh sebab itu, dia berpendapat lebih tepat digunakan istilah ecologically sustainable development (ESD). 59
Pemerintah Australia dalam Startegi Nasional tentang ESD memberikan definisi tentang ESD sebagai "using, conserving ans enhanching the community’s resources so that ecological processes, on which life depends, are maintained, and the total quality of life, now and in the future, can be increased". 60
Pelestarian daya dukung ekosistem (proses ekologis) mendapat penekanan dalam definisi ini. Daya dukung ekosistem yang terlestarikan merupakan prasyarat dari tercapainya kualitas hidup generasi sekarang dan generasi yang akan datang. UU PPLH mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai "upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan."61
1.6.
Metode Penelitian
1.6.1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah yuridis-normatif, yaitu penelitian yang memfokuskan pada studi penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif yang terkait dengan pemenuhan informasi lingkungan. Namun demikian, penelitian ini tidak hanya mengkaji norma hukum saja melainkan juga berbagai literatur yang relevan dengan topik penelitian. Penelitian ini juga termasuk jenis penelitian deskriptif-analisis dimana peneliti akan mendeskripsikan dan menganalisa berbagai bahan hukum secara sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.
59
Ben Boer, "Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: the Role of National State, and Local Governments in Translating Grand Strategy into Actio", Willamette Law Review, Vol. 31(31), 1995. 60
National Strategy for Ecologically Sustainable Development , (Commonwealth of
Australia, December 1992) 61
Indonesia (a), Pasal 1 angka 3. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1.6.2.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan hukum normatif dengan menganalisa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai pendukung kedua bahan hukum sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pendekatan hukum perundang-undangan dengan menganalisa bahan hukum yang terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional maupun internasional. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konsep (conceptual approach ) yang digunakan untuk memahami konsep-konsep yang terkait untuk menjawab permasalahan penelitian. Meskipun penelitian ini termasuk penelitian yuridis-normatif, namun dalam menganalisa permasalahan penelitian dilakukan pula wawancara mendalam ( deep interview) kepada narasumber kunci untuk mendukung bahan hukum yang ada. Tujuan
wawancara juga untuk menghasilkan identifikasi permasalahan dan kebutuhan terkait dengan pengembangan kebijakan pemenuhan informasi lingkungan. 1.6.3.
Bahan Hukum
Guna menganalisa dan menjawab permasalahan penelitian, penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
1. Bahan hukum primer, terdiri dari: a.
Konstitusi UUD 1945 Amandemen V.
b. Perundang-undangan yang relevan, antara lain: UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; serta peraturan pelaksanaannya. c. Berbagai
instrumen
hukum
lingkungan
hidup
di
tingkat
internasional, seperti: Deklarasi Stockholm 1992; World Summit on Sustainable Development 2001; Konvensi Aarhus dan berbagai
instrumen hukum internasional lainnya. 2. Bahan hukum sekunder, terdiri dari berbagai artikel, jurnal, berita, dan pendapat para ahli serta narasumber kunci yang diwawancarai terkait dengan informasi lingkungan.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3. Bahan hukum tersier, sebagai bahan penunjang yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdiri dari kamus hukum, ensiklopedia, kamus bahasa, dan sebagaianya. 1.6.4.
Teknik Memperoleh Bahan
Baik bahan hukum yang diperlukan dikumpulkan melalui studi kepustakaan hukum. Bahan hukum yang ada akan dikualifikasi berdasarkan sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif dan terintegrasi satu sama lainya. Peneliti juga akan mengkaji beberapa kasus yang relevan untuk menggambarkan dan menganalisa permasalahan informasi yang ada. 1.6.5.
Teknik Analisa Bahan
Bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan akan dikaji dengan menggunakan teknik analisa isi (content analysis), yaitu dengan mengkaji isi dari berbagai data yang digunakan baik yang tersurat maupun tersirat secara sistematis dengan menekankan pada objektifitas penafisran isinya . Teknik analisa bahan juga dilakukan secara secara deduktif, yaitu dengan menarik kesimpulan secara umum untuk menganalisa permasalahan yang secara konkret dihadapi. Tidak hanya itu, penelitian ini juga menggunakan teknik analisa induktif yaitu dengan identifikasi permasalahan pemenuhan informasi lingkungan untuk kemudian dianalisa. Selanjutnya hasil analisa tersebut dikonstruksikan menjadi rekomendasi pengembangan kebijakan pemenuhan informasi lingkungan hidup baik di Kementerian Negara Lingkungan Hidup maupun Pemerintah Daerah.
1.7.
Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan dituliskan ke dalam lima bab. Masing-masing Masing-masing bab terdiri
dari sub bab guna memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Bab 1 berisi pendahuluan pendahuluan yang menjelaskan tentang latar la tar belakang permasalahan
pemenuhan informasi lingkungan hidup sebagai bagian pelaksanaan prinsip tata kelola �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
lingkungan hidup. Pada bab ini juga akan diuraikan tentang tujuan dan manfaat penelitian. Selanjutnya, akan dijelaskan juga tentang kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini serta konsep sebagai definisi operasional yang digunakan dalam penelitian. Terakhir pada bab ini adalah mengulas tentang metode penelitian mulai dari jenis penelitian, pendekatan yang digunakan, digunakan, bahan hukum beserta teknik memperoleh dan menganalisanya. Bab 2 berisi tentang gambaran kasus yang relevan, teori yang menunjukkan
pentingnya informasi lingkungan sesuai dengan kasus yang relevan, dan analisa tentang perundang-undangan yang terkait dengan akses informasi lingkungan hidup. Bab 3 berisi tentang peraturan pelaksanaan dari akses informasi, kasus-kasus
yang menunjukkan bagaimana pelaksanaan akses informasi lingkungan, dan analisa terkait dengan pelaksanaan baik dalam hal peraturan pelaksana maupun kasus-kasus yang ada. Bab 4 berisi tentang arah kebijakan pengembangan akses informasi yang
menjelaskan kelemahan-kelemahan dari pelaksanaan akses informasi lingkungan, tantangan yang dihadapi dan bagaimana mengantisipasi agar pemenuhan akses informasi lingkungan lingkungan berjalan efektif. Bab 5 berisi kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan yang
dikemukakan. Bab ini juga memuat rekomendasi bagi kebijakan pemerintah dalam pengembangan akses informasi lingkungan.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
BAB 2 PENTINGNYA AKSES INFORMASI LINGKUNGAN 2.1.
Pengantar Kasus: Dugaan Pencemaran Teluk Buyat
Gambaran tentang pelaksanaan akses informasi dan partisipasi publik terlihat jelas dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat. Kegiatan penambangan penambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara telah beroperasi sejak bulan Maret 1996 hingga 31 Agustus 2004. Selama beroperasi, PT. NMR menghasilkan limbah tailing yang pembuangannya dilakukan dengan memanfaatkan dasar laut di Teluk Buyat sebagai media untuk menempatkan tailing (Submarine Tailing Disposal – STD). Penempatan limbah tailing dilakukan pada kedalaman 82 meter pada jarak sekitar 900 meter dari Pantai Buyat melalui pipa dengan dengan diameter dalam ± 20 cm dengan dengan asumsi asumsi bahwa diatas kedalaman kedalaman tersebut terdapat termoklin sehingga tailing yang dibuang tidak menyebar/terdeposisi ke permukaan maupun seluruh kolom air. 62 Pada awal rencana beroperasinya PT. NMR, kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sekitar Teluk Buyat telah menyatakan keberatannya terkait dengan rencana pembuangan tailing PT. NMR ke dasar laut (STD) di perairan Teluk Buyat karena dianggap memiliki resiko yang sangat besar bagi terjadinya pencemaran. Terlebih lagi masyarakat sekitar sebagai nelayan memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap perairan Teluk Buyat. Jaringan LSM di Manado maupun Sekretariat Nasional Walhi juga telah menyampaikan keberatan pada tahap pembahasan AMDAL di Komisi AMDAL Pusat. Pendapat tersebut mendasarkan pada pengalaman di berbagai negara lain dimana belum ada jaminan kepastian ilmiah bahwa langkah-langkah PT. NMR membuang limbah di laut l aut adalah langkah yang aman. Namun pendapat tersebut tidak diakomodir oleh Komisi AMDAL Pusat maupun pemerintah. 63 Beberapa LSM lingkungan dan masyarakat sekitar lokasi juga telah menyampaikan keberatan kepada Pemerintah tentang sulitnya mereka untuk mengakses mengakses informasi sejak awal beroperasinya
62
Dokumen Andal PT. NMR, 1994, hal 3-37.
63
Surat YLBHI No. 613/SK/YLBHI/VIII/1997 tentang Penyelesaian Kasus Pencemaran di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi Utara dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
PT. NMR, bahkan terjadi manipulasi informasi, khususnya terkait dengan hasil temuan tim verifikasi tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat.64 Perdebatan tentang keamanan metode STD bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat terus berlanjut. Banyak hasil-hasil penelitian maupun referensi yang saling menegasikan satu dengan yang lain. Untuk memperjelas hal tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mensyaratkan agar PT. NMR melakukan studi Ecological Risk 65
Assessment (ERA). Hingga berakhirnya operasi PT. NMR studi ERA tersebut belum
mendapat persetujuan. Bahkan dugaan telah terjadi pencemaran semakin kuat dengan indikasi kualitas kesehatan masyarakat sekitar.66 Pada kasus ini keterlibatan LSM lingkungan dan masyarakat pun lebih banyak disebabkan oleh sikap proaktif mereka daripada informasi yang dirilis oleh perusahaan maupun pemerintah. Oleh karena itu ruang partisipasi yang terjadi lebih banyak tercipta atas desakan LSM lingkungan dan masyarakt sekitar daripada undangan dari pemerintah dan perusahaan. Dalam kasus tersebut terlihat bahwa peran media masa cukup signifikan agar masukan atau keberatan yang disampaikan oleh LSM lingkungan dan masyarakat sekitar diperhatikan oleh pemerintah maupun perusahaan. PT. NMR terlihat proaktif dalam merilis informasi namun sebatas untuk mengklarifikasi atau sebagai counter dari informasi yang dirilis oleh LSM lingkungan ke publik. 67 Pemerintah kemudian melalui Keputusan MENLH No. 97 Tahun 2004 membentuk Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Totok Timur Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Tim tersebut terdiri dari berbagai ahli disiplin ilmu dari instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, dan LSM. Tim tersebut bertugas untuk melakukan kajian yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang ada untuk memberikan masukan bagi MENLH dalam mengambil kebijakan untuk penyelesaian kasus dugaan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Dari hasil kajian ini kemudian
64
Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001 tentang Kejelasan Proses Verifikasi dan Klarifikasi Surat Menteri ESDM 65
Surat Kepala Bapedal No. 1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah Tailing ke Teluk Buyat, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 66
Kliping Harian Kompas, 20 Juli – Agustus 2012
67
Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001, loc cit .
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan penegakan hukum baik secara pidana melalui Kepolisian maupun secara perdata melalui gugatan pemerintah (MENLH).68 Ditengah-tengah proses penegakan hukum, Pemerintah melalui Menkokesra pada tanggal 16 Februari 2006 membuat perdamaian (Goodwill Agreement ) dengan PT. NMR melalui Komisaris PT. NMR Robert J. Gallagher. Melalui kesepakatan tersebut PT. NMR akan menggelontorkan dana US$ 15 juta kepada pemerintah Indonesia selama 10 tahun untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan di Sulawesi Utara. Dua poin penting dalam kesepakatan ini adalah: a) bahwa untuk menentukan dampak aktifitas pembuangan tailing ke dasar laut ditunjuk tiga pakar yang akan melakukan kajian dan monitoring pasca tambang; dan b) bahwa akan dibentuk yayasan untuk pemberdayaan masyarakat Teluk Buyat dengan program yang sudah dijelaskan dalam kesepakatan tersebut. Dua poin tersebut menunjukan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah cenderung didominasi oleh pendekatan ilmiah daripada partisipasi publik.69 2.2. Pentingnya Akses Informasi Lingkungan 2.2.1. Kompleksitas Lingkungan Serta Keterbatasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Lingkungan hidup merupakan suatu sistem yang sangat kompleks, terdiri dari berbagai subsistem dimana masing-masing komponen yang ada didalamnya memiliki fungsi dan perilaku yang berbeda-berbeda dan saling terkait ataupun saling menegasikan satu sama yang lainnya untuk membentuk keseimbangan. 70 Sebagai contoh dalam permasalahan dugaan pencemaran Teluk Buyat. Dalam studi kasus tersebut, untuk membuktikan apakah persoalan termoklin ada dan dapat menahan tailing agar tidak terdeposisi, mencari hubungan kesehatan masyarakat dengan kondisi lingkungan, mencari 68
Laporan Penelitian : Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI, Jakarta, 2004, Pengantar. 69
Ibid.
70
Silvio Funtowics and Jerome Ravetz, "Post Normal Science: Environmental Policy Under Conditions of Complexity" , University of Bergen and Oxford, Sec. 2; Lihat pula Silvio Funtowics et.al., “Information Tools for Environmental Policy Under conditions of Complexity”, European Environtment Agency, 1999, hal 6.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
hubungan unsur Hg dan As dengan sumbernya membutuhkan berbagai studi yang sangat rumit dengan pendekatannya masing-masing dan bahkan berbagai studi tersebut menunjukkan hasil yang berbeda-beda pula. 71 Kompleksitas lingkungan hidup yang sedemikian rumit tersebut tidak cukup memadai didekati atau dijelaskan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki berbagai keterbatasan. Pertama, Iptek bersifat tidak pasti. Iptek merupakan hasil ciptaan manusia yang
merupakan bagian kecil dari subsistem lingkungan hidup. Persoalannya kemudian, sebagai subsistem dari lingkungan hidup atau alam tersebut apakah dapat meyakinkan bahwa Iptek dapat menjawab atau menjelaskan sesuatu di luar dirinya yang lebih besar dan kompleks.72 Oleh karena itu sifat Iptek yang selalu berkembang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya penuh dengan ketidakpastian. Salah satu contohnya adalah pada waktu lalu, para ilmuwan berkeyakinan bahwa chlorofuorocarbons (CFCs) tidak menimbulkan dampak bagi lingkungan yang kemudian akhirnya diakui sebagai suatu kesalahan karena emisi dari gas t ersebut terbukti merusak lapisan ozon.73 Kedua, Iptek memiliki perspektif yang plural (kompleksitas). Iptek memiliki
perspektif yang tidak tunggal sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di sisi lain, lingkungan hidup juga memiliki kompleksitas yang terdiri dari berbagai subsistem. Hal ini mengakibatkan munculnya perspektif yang beragam dalam melihat dan memecahkan suatu permasalahan. Sebagai contoh, jika ada sekelompok orang melihat bukit, maka setiap orang akan memberikan makna dalam perspektif yang berbeda-beda. Ada yang melihatnya sebagai hutan, situs peninggalan/arkeologi, sekumpulan batu, dan sebagainya. Hal ini terlihat dari perbedaan sudut pandang antara masayarakat nelayan dan PT. NMR dalam studi kasus Teluk Buyat. Masyarakat nelayan yang bergantung dengan perairanTeluk Buyat memaknai perariran tersebut sebagai wilayah kelola untuk
71
Ibid.
72
Ibid .
73
Stephen R Dovers and John W Handmer dalam R. Harding and E. Fisher, "Ignorance, sustainability and the precautionary principle: Towards an analytical framework" dalam Perspectives on the Precautionary Principle,(Sydney: The Federation Press, 1999), hal 172.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kebutuhan perikanan sedangkan bagi PT. NMR memaknai bahwa Teluk Buyat sebagai tempat yang efisien untuk penempatan tailing di dasar laut. 74 Ketiga, Iptek merupakan hasil dari suatu usaha sosial yang berlangsung lama
dimana rasionalisasinya melalui proses rutinitas tahap demi tahap untuk tujuan tertentu padahal peristiwa-peristiwa yang muncul dalam permasalahan lingkungan hidup yang kompleks umumnya terjadi secara seketika dan bersifat dinamis.75 Kondisi ini menghadapkan masyarakat pada suatu resiko yang sulit untuk diprediksikan dan dapat segera dijawab oleh Iptek. Sulitnya menjawab resiko dengan Iptek bukan hanya karena persoalan Iptek saja melainkan juga perspektif resiko yang bersifat multidimensional.76 Resiko merupakan konsep yang kompleks. Resiko setidaknya memiliki dua variabel fungsi, yaitu kemungkinan dari dampak dan besarnya. Umumnya karakteristik dari resiko digambarkan dengan berbagai hal yang membutuhkan berbagai pertimbangan. Sebagai contoh di bidang energi, berbagai sumber resiko termasuk gas rumah kaca, sampah radioaktif, polutan, kebisingan, lanskap, dan sebagainya mencerminkan berbagai cara atau jalan yang berbeda-beda dengan berbagai perbedaan kondisi fisik, biologi, sosial, budaya, dan ekonomi. Oleh karena itu, pengambilan keputusan melalui pendekatan Iptek seperti cost and benefit analysis akan mereduksi hal-hal yang penting dari suatu resiko. Dalam banyak hal teknik dari cost and benefit analysis banyak memaksakan pertimbangan moneter untuk menjelaskan tentang dampak untuk kemudian dibandingkan dengan manfaatnya.77 Keempat, Iptek tidak netral atau bebas nilai. Ilmu pengetahuan mendapatkan
campur tangan manusia dan interaksinya dalam proses yang cukup panjang bahkan berabad-abad secara rutin dan bertahap yang dipengaruhi oleh budaya dan peristiwaperistiwa yang terjadi. Secara tidak langsung ilmu pengetahuan dan teknologi juga telah
74
Amdal PT. NMR, November 1994, hal 3-37 – 3-47. Lihat pula Telaah Latar Belakang Pemilihan STP PT. NMR, Dokumen Data Arsip yang Berkaitan dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 75
Stephen Cotgrove, "Technology, Rationality and Domination", Social Studies of
Science, Vol. 5(1), Feb. 1975, hal. 56-59. 76
Andy Stirling and David Gee, "Science, Precoaution, and Practice", Public Health
Report , Vol. 117, Nov-Des 2002, hal. 521-522. 77
Ibid, hal. 522.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
melayani ideologi dominasi atas alam dimana alam harus ditaklukkan oleh manusia.78 Hal ini juga telah dibuktikan secara historis dimana keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkontribusi kepada tingginya resiko lingkungan yang semakin meningkatkan kompleksitas permasalahan yang ada. Dimulai pada abad industrialisasi dimana ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap sebagai salah satu faktor produksi telah menimbulkan persoalan yang semakin kompleks bagi lingkungan hidup, misalnya dengan ditemukan dan diproduksinya reaktor nuklir, zat kimia, organisme yang telah dimodifikasi, dan sebagainya pada satu sisi juga telah meningkatkan resiko bagi masyarakat hingga menempatkan masyarakat sebagai masyarakat yang beresiko.79 Resiko itu sendiri tidak mungkin dapat diketahui atau dipastikan tanpa melalui penelitian yang berbasiskan iptek. Oleh karena itu, lingkungan dimana manusia yang termasuk didalamnya telah berubah menjadi sebuah "laboratorium". Pada dasarnya penelitian iptek dilakukan melalui eksperimen di laboratorium, akan tetapi dalam hal teknologi berskala besar proses tersebut menjadi diputarbalikan. Sebelum para ilmuwan dapat mempelajari tentang risiko jangka panjang dari mega-teknologi tersebut mereka malah terlebih dahulu dan menerapkannya didalam masyarakat luas. 80 Dilihat dari strukturnya, iptek mendapatkan campur tangan manusia dan interaksinya sehingga seringkali subyektifitas atau perspektif manusia yang berbeda-beda ataupun "moral hazard" turut berpengaruh dalam melakukan analisa terhadap fenomena yang ada. Hal ini terlihat jelas dalam kasus dugaan Teluk Buyat dimana hasil semua penelitian yang dilakukan oleh PT. NMR maupun LSM memberikan kesimpulan yang berbeda-beda, masing-masing mendukung hipotesanya serta saling menegasikan satu sama lain terhadap persoalan tentang ada tidaknya pencemaran, aman tidaknya tailing, benar tidaknya masyarakat sakit karena pencemaran, dan sebagainya. Kondisi ini justru menempatkan manusia dalam suatu ketidakpastian.81 Kelima, Iptek dapat memicu ketegangan dan konflik dalam pemgambilan
keputusan. Ketegangan dan konflik tersebut diakibatkan oleh hubungan tarik-menarik antara iptek, politik lingkungan, dan implikasinya baik bagi politik maupun resiko 78
William Leiss, "Ideology and Science", Social Studies of Science , Vol. 5(2), May 1975,
hal. 196. 79
Frank Fischer, Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local Knowledge (London: Duke University Press, 2000), hal. 48-49. 80
Ibid , hal. 54.
81
Ibid , hal 7.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dampak. Pada satu sisi Iptek diasosiasikan sebagai penyebab terjadinya kerusakan lingkungan tetapi di sisi lain juga sebagai solusi untuk melindungi lingkungan. 82 Pengambilan keputusan yang teknokratis dengan pendekatan “risk-benefit analysis” saja merupakan ilustrasi adanya ketergantungan teknik pengambilan keputusan kepada Iptek. Peran ganda Iptek pada proses pengambilan keputusan ini kerap menimbulkan konflik antara para ahli dan masyarakat. Perdebatan atas resiko yang ditimbulkan oleh penerapan iptek diangkat menjadi pertanyaan di ranah teknis atas resiko yang sesungguhnya. 83 Selain proses politik yang kompleks, uang, dan kepentingan juga berperan, para ilmuwan dalam melakukan penelitian turut dipengaruhi oleh suatu desain dan pilihan yang ditawarkan oleh pemberi dana. 84 Dari kelima hal tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan Iptek terutama yang memiliki unsur ketidakpastian ilmiah harus diiringi dengan pendekatan kehati – hatian untuk mencegah dampak besar dan permanen terhadap lingkungan. Pada akhir tahun 1980 sampai dengan awal 1990, respon atas ketidakpastian ilmiah telah mengembangkan pelembagaan dari “asas kehati – hatian ( precautionary principle)”.85 Pada umumnya asas kehati – hatian dirumuskan dalam pernyataan bahwa apabila terdapat ancaman kerugian yang serius atau tidak bisa dipulihkan ( threats of serious or irreversible damage), pengambil keputusan tidak dapat menggunakan kurangnya
kepastian atau bukti ilmiah sebagai alasan untuk menunda dilakukannya upaya pencegahan atas ancaman tersebut.86 Asas ini dalam berbagai dokumen internasional dianggap sebagai arahan (guidance ) bagi pengambilan keputusan di dalam situasi ketidakpastian ilmiah.87 Penerapan asas kehati-hatian dalam pengambilan keputusan dilakukan dengan mengarah kepada proses pemecahan masalah yang deliberatif dan menggunakan berbagai disiplin ilmu. 88 Dengan demikian pengambil keputusan 82
Frank Fischer, Science and Politics in Environmental Regulation: The Politicization of Expertise, (London: Duke Univeristy Press, 2000), hal. 108. 83
Ibid, hal. 93.
84
Ibid, hal.101.
85
R. Harding and E. Fisher, op. cit , hal 3.
86
Andri G Wibisana, "Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehati – hatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004", Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011, hal. 213 – 214. 87
Ibid .
88
R. Harding and E. Fisher., op. cit , hal. 290.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
diharapkan dapat melakukan tahap mempertimbangkan kembali setiap keputusan yang akan dikeluarkan apabila terdapat ketidak pastian ilmiah dan ancaman serius bagi lingkungan hidup. 2.2.2. Demokrasi Deliberatif dan Partisipasi Publik : Jalan Mengatasi Kompleksitas Lingkungan dan Keterbatasan Iptek
Adanya kompleksitas lingkungan dan keterbatasan Iptek menyebabkan keputusan lingkungan tidak cukup hanya didekati secara linier dengan pendekatan Iptek. Salah satu pendekatan penting ditengah realitas Iptek adalah dialog diantara pemangku kepentingan, terutama bagi mereka yang potensial terkena dampak untuk mengambil solusi dari permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, pengambilan keputusan didasari suatu kesadaran dari pemangku kepentingan akan manfaat dan resiko yang mungkin dihadapi dikemudian hari termasuk jika keputusan yang diambil tersebut pada akhirnya salah. 89 Proses deliberatif menunjukkan berjalannya komunikasi antara resiko dengan temuan ilmiah. Metode ini lebih fokus kepada aspek studi psikologi untuk memecahkan masalah melalui pendekatan partisipatoris untuk membangun konsensus90. Pelibatan pihak yang berkepentingan dan terkena dampak tidak hanya untuk mengurangi ketidaktahuan, tetapi juga untuk mengakomodasi ambiguitas intrinsik dalam framing ilmu resiko. Masyarakat terkena dampak yang menyadari efek dari suatu rencana atau kegiatan juga dapat memberikan informasi bagi pengambil keputusan sehingga meningkatan kualitas keputusan yang akan atau telah diambil.91 Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan sebagai keuntungan dari menggunakan proses deliberatif dalam asas kehati-hatian, dimana terdapat 2 (dua) keuntungan lainnya dari penggunaan metode tersebut yaitu:92
a) Menjamin bahwa keputusan yang dibuat atas dasar ketidakpastian ilmiah telah dilakukan berdasarkan demokrasi yang didasarkan atas wewenang yang sah; dan
89
Ibid, hal. 8-11.
90
Frank Fischer, op.cit , hal. 108.
91
Andy Stirling and David Gee, op.cit , hal. 527.
92
R. Harding and E. Fisher., op. cit , hal. 293.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
b) Menjadi sarana untuk membina kepercayaan diantara para pemangku kepentingan Richardson, sebagaimana dikutip oleh Sharon Beder, menjelaskan beberapa keuntungan dari partisipasi, yaitu: 93
a) Mendorong terciptanya sistem pemerintah yang fair . Pihak yang akan
terkena
dampak
dari
pengambilan
keputusan
harus
mendapatkan hak untuk mempengaruhi keputusan, b) Partisipasi
sangat
penting
bagi
kemaslahatan
pihak
yang
berpartisipasi. Hal ini membantu membangun kemampuan individu dan kesadaran serta membentuk warga yang terinformasikan dan terlibat dimana hal ini sangat penting bagi demokrasi c) Partisipasi publik biasanya menghasilkan keputusan yang lebih baik. Dalam hal ini, partisipasi yang meningkat merupakan bentuk bantuan bagi pembuat keputusan sebab dengan hal tersebut mereka memiliki informasi mengenai pelayanan apa yang dibutuhkan, batas toleransi publik, masalah, perhatian dan isu yang ada. Proses dialog bertujuan memberikan ruang yang memadai bagi setiap unsur untuk mengemukakan kepentingan dan kekhawatirannya sehingga menjadi pertimbangan dalam pengambilan kebijakan. Proses dialog dalam pengambilan keputusan ini merupakan "terobosan" dari kritik terhadap model perwakilan (demokrasi agregatif) yang mengedepankan suara mayoritas dalam pengambilan keputusan sehingga tidak dapat sepenuhnya mengakomodir kepentingan atau kekhawatiran dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya bagi kelompok minoritas.94 Ada tiga alasan proses pengambilan keputusan memerlukan dialog: 95 (1) Agar warga dapat membahas isu-isu publik dan kesempatan beropini; (2) Agar wawasan pemimpin jauh lebih baik dalam isu-isu publik; (3) Agar orang dapat membenarkan 93
Sharon Beder, Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan, 2006), hal.
94
Iris Marion Young, loc. cit.
95
P. Levin dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara , op. cit., hal 2.
120.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pandangannya untuk dapat memilah baik dan buruk. Demokrasi deliberatif mengacu pada konsepsi bahwa pemerintahan yang demokratis memberikan ruang untuk diskusi secara rasional dan moral dalam suatu kehidupan politik. 96 Menurut Gutman dan Thompson, teori demokrasi deliberatif terletak pada adanya kepedulian dalam membentuk kerjasama dengan alasan banyaknya konflik dan ketidaksepakatan moral dalam masyarakat. 97 Sedangkan James Bohman berpendapat bahwa demokrasi menyiratkan musyawarah atau doialog: "the deliberation of citizens is necessary if decisions are not to be merely imposed upon them…consent, is after all, the mean feature of democracy". Dengan kata
lain, pengambilan keputusan adalah sah sepanjang kebijakan yang dihasilkan melalui proses dialog di mana masing-masing tidak hanya sekadar mengusung kepentingannya saja melainkan juga merefleksikan kepentingan pihak lainnya demi kepentingan dan kebaikan bersama.98 Dialog mengharuskan agar para pihak meninggalkan ciri utama model demokrasi agregatif yang justru bukan untuk mencapai konsensus berdasarkan prinsip bebas dan setara. Demokrasi delibaratif menghendaki proses transformatif. Melalui proses dialog dengan pendapat yang beragam, kita sering mendapatkan informasi baru, belajar dari pengalaman yang berbeda dari masalah kolektif yang ada, bahkan dapat menyadarkan kita bahwa pendapat kita awalnya hanya didasarkan pada prasangka atau ketidaktahuan, atau bahwa mereka telah salah memahami hubungan kepentingan kita dengan orang lain. Dengan terlibat dalam dialog, kita terdorong untuk mau mendengarkan orang lain, memperhatikan kekhawatiran orang lain dan menemukan beberapa kesamaan sehingga kompromi dapat dicapai. Knight,
Jhonson,
dan
Bohman
menyatakan
bahwa
pemerintahan
yang
mendasarkan pada demokratis deliberatif harus memberikan kesempatan yang adil bagi aktor non-negara "to have access to political influence on the political communication and decision making" .99 Aksesibilitas terhadap proses politik tersebut bagi masyarakat 96
A. Gutman and D. Thompson, "Moral Conflict and Political Consensus. Ethics: An International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy" , Vol. 101 (1), 1990, hal. 5.
97
Ibid.
98
James Bohman dalam Mohd Azizuddin Mohd Sani dan Abubakar Eby Hara, loc. cit.
99
Andreas Klinke, Deliberative democratization across borders: participation and deliberation in regional environmental governance (Elsevier Ltd., 2011), hal. 58. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
sipil, pelaku ekonomi, dan masyarakat terkena dampak harus memuat prinsip-prinsip dasar demokrasi diantaranya adalah pemenuhan akses informasi. Gerakan HAM turut memperkuat gerakan pemenuhan partisipasi. Partisipasi warga negara secara individu dan kelompok dalam pengambilan keputusan dan kebijakan yang mempengaruhinya merupakan hak asasi. ICCPR ( International Convenant on Civil and Political Rights) melindungi hak tersebut sebagaimana tercantum pada Pasal 25(a)
yang menjamin hak untuk berperan dalam kegiatan-kegiatan publik, secara langsung maupun dalam bentuk perwakilan yang dipilih secara bebas. Sejumlah deklarasi internasional, perjanjian dan traktat telah mengelaborasi ha katas partisipasi ini. Di bidang lingkungan, partisipasi tertuang dalam misalnya Prinsip 10 Rio dan Agenda 21 Pasal 23.2. Terkait dengan partisipasi publik dalam perspektif HAM, hak asasi manusia terkait dengan lingkungan mencakup hak untuk menerima pemberitahuan awal atas resiko lingkungan dan hak atas Amdal, hak atas ganti rugi termasuk hak gugat untuk litigasi bagi kepentingan publik dan hak bagi ganti rugi yang efektif atas kerusakan lingkungan 100 Dengan demikian, hak atas partisipasi dapat dipenuhi apabila hak atas informasi telah terpenuhi. Pentingnya partisipasi publik dalam pembuatan keputusan lingkungan secara internasional telah diakui. Kurangnya partisipasi publik dalam pembuatan keputusan di bidang lingkungan telah menghasilkan strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan keuangan. Konsultasi global mengenai hak asasi dan hak atas pembangunan menyimpulkan bahwa strategi ekonomi ini telah gagal meraih keadilan sosial, hak asasi manusia telah diabaikan dan melalui depersonalisasi hubungan sosial, merusak keluarga atau komunitas serta hubungan ekonomi dan sosial.101 Gerakan pemenuhan informasi lingkungan sudah muncul sejak agenda-agenda lingkungan hidup didorong dalam berbagai kebijakan nasional maupun internasional. Hal ini dipengaruhi pula oleh perkembangan teknologi yang semakin pesat. Gerakan pemenuhan informasi lingkungan berkembang secara luas pada tahun 1990-an dengan
100
Sharon Beder, op. cit , hal. 106.
101
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan prinsip akses publik terhadap informasi lingkungan. Sebagai contoh"the Convention on Access to Information, Public Participation in Decision Making and Access to Justice in Environmental Matters" atau
disebut Konvensi Aarhus. Konvensi tersebut ditandatangani oleh Komisi PBB untuk Eropa pada tahun 1998 guna mempromosikan akses untuk peningkatan partisipasi publik dalam pengambilan keputusan lingkungan dan kesadaran publik terhadap masalahmasalah lingkungan. Tahun
1960-an
adalah
tonggak
gerakan
"revolusi
lingkungan"
yang
mendefinisikan secara jelas hubungan antara regulasi dengan pengumpulan informasi untuk merespon permasalahn-permasalah lingkungan secara dini sebagai gerakan lingkungan modern. Salah satu tonggak tersebut adalah NEPA 1969. NEPA secara eksplisit mengikat politik lingkungan dengan informasi. Pelaksanaan dari NEPA tersebut adalah dikeluarkannya instrumen laporan tahunan tentang status lingkungan dan Amdal. Keduanya dapat diartikan sebagai instrumen informasi. NEPA juga mendefinisikan hubungan antara informasi dengan pihak yang berkepentingan ( interested party). Hal ini dinyatakan dalam NEPA sebagai berikut: " All agencies of the federal government shall …(g) make available to States, counties, municipalities, institutions, and individuals, advice and information useful in restoring, maintaining, and enhancing the quality of the environment; (h) initiate and utilise ecological information in the planning and development of resource-oriented projects;"102
Dorongan untuk memperhatikan informasi lingkungan dalam isu-isu lingkungan hidup terus berkembang selaras dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang pertama dirilis melalui "Our Common Future" oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987. Seperti tertulis dalam laporan Burtland bahwa
hukum saja tidak akan dapat menegakkan kepentingan bersama, yang oleh karena itu memerlukan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam pengambilan keputusan untuk dapat memberikan pengaruh terhadap lingkungan hidup. Sebuah argumen yang mendukung hal tersebut menyatakan bahwa demokrasi yang luas akan meningkatkan 102
U.S. Congress, 1970. National Environmental Policy Act, pp. P.L. 91-190, S. 1075.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kualitas keputusan-keputusan tentang masalah lingkungan yang kompleks karena dengan mendengarkan berbagai macam suara, dimana termasuk didalamnya lingkungan itu sendiri, konsumen dan sudut pandang warga negara, pemerintah akan lebih memungkinkan untuk mengantisipasi masalah dan menyusun pertimbangan lingkungan ke dalam kebijakan.103 Pembangunan berkelanjutan mengakui walaupun proses demokrasi memiliki tantangan tersendiri namun percaya bahwa demokrasi merupakan hal yang potensial untuk mendidik warga negara untuk bersikap lebih memperhatikan lingkungan hidup dan meningkatkan kualitas pembuatan kebijakan lingkungan hidup. Hal ini bertolak belakang dengan modernisasi ekologi yang menempatkan kepercayaan yang lebih besar kepada inovasi di bidang Iptek dan mekanisme pasar dibandingkan dengan mekanisme demokrasi, untuk mewujdukan pembangunan berkelanjutan di dalam masyarakat.104 Wacana tersebut terus berkembang hingga puncaknya pada Konferensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992. Konferensi tersebut menghasilkan Deklarasi Rio dan Agenda 21 yang menegaskan keterkaitan akses terhadap informasi dengan pembangunan berkelanjutan. Prinsip 10 dalam deklarasi tersebut menyatakan: " Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at the relevant level. At the national level, each individual shall have appropriate access to information concerning the environment that is held by public authorities, and the opportunity to participate in decision-making processes. States shall facilitate and encourage public awareness and participation by making information widely available… " (UN, 1992b, Principle 10).
Agenda 21 memberikan perhatian khusus terhadap informasi. Dalam setiap bab dicantumkan bagian yang mengulas tentang pengumpulan data dan informasi. Selain itu, Bab 40 agenda tersebut mengulas khusus tentang "informasi dan pengambilan keputusan" yang dinyatakan sebagai berikut:
103
nd Neil Carter, The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2 Edition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hal. 313. 104
Ibid , hal. 316.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
" In sustainable development, everyone is a user and provider of information considered in the broad sense. That includes data, information, appropriately packaged experience and knowledge. The need for information arises at all levels, from that of senior decision makers at the national and international levels to the grass-roots and individual levels. … " (UN, 1992a)
Ada dua aspek penting dalam informasi lingkungan yang ditekankan pada kalimat diatas. Pertama, agenda tersebut menekankan peran khusus dari jenis-jenis informasi lingkungan. Kedua, perhatian khusus kepada akses publik terhadap informasi lingkungan. Baik Deklarasi Rio maupun Agenda 21 sebenarnya memastikan kedua hal tersebut yang dijelaskan pada bagian awal. Bagian III dari Agenda 21, diperuntukan untuk penguatan peran Major Groups yang mengintegrasikan kelompok perempuan, anak-anak dan pemuda, NGO, masyarakat adat, petani, pemerintah daerah, pengusaha, dan sebagainya. Dalam pembukaan Deklarasi Rio dinyatakan: "… Individuals, groups and organisations should have access to information relevant to environment and development held by national authorities, including information on products and activities that have or are likely to have a significant impact on the environment, and information on environmental protection measures …" (UN, 1992a,
Chapter 23, sec 23.2) Pembangunan dalam kebijakan lingkungan saat ini pada umumnya merujuk kepada Agenda 21 dan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mendukung kerangka ecological modernitation.105 Blowers mencatat pembangunan berkelanjutan adalah salah
satu prinsip ilmiah, tujuan politik, pelaksanaan sosial dan panduan moral. 106 Dalam konteks ecological modernisation, akses publik terhadap informasi sebagai bagian dari prinsip umum dari prinsip partisipasi publik dalam pengambilan kebijakan. Namun beberapa pembangunan selama 1990-an menargetkan khusus hal ini. Dari sisi legal, beberapa konvensi secara khusus mengatur hal ini, seperti the European Council
105
Blowers, A. (1997) Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society?, Urban Studeis, 34(5-6), hal. 845-871. 106
A. Blowers, Ibid, hal. 846.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Directive 90/313/EEC, "Freedom of Access to Information on the Environment" and the Aarhus convention (UN/ECE, 1998).
Politik lingkungan dan diskursus lingkungan berkembang dan mengalami perbedaan antara era awal (1960 an – awal 1970 an) dan sekarang. Pada era ini, konsepkonsep lingkungan tertanam dalam seluruh aktivitas manusia. Hal ini mengakibatkan kaburnya konsepsi tanggungjawab lembaga publik. Pada saat ini, setidaknya telah muncul prinsip yang memfokuskan pada inklusifitas dari pengambilan kebijakan. Prinsip ini berimplikasi pada informasi lingkungan. Informasi lingkungan dan data selalu dirasakan sebagai keharusan dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, informasi lingkungan tersebut harus terbuka dan dapat diakses oleh seluruh pihak yang berkepentingan dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. Sejak revolusi lingkungan pada tahun 1960-an hingga dipublikasikannya " Our Common Future ", masalah lingkungan semakin memperlihatkan posisi dalam agenda politik.
107
Tanda-tanda dari hal ini adalah
bangkitnya kesadaran publik diberbagai tempat terhadap permasalahan lingkungan. Oleh karena itu tantangan bagi kebijakan kedepan salah satunya adalah bagaimana memperkuat akses publik terhadap informasi lingkungan. 2.2.3.
Asimetri Informasi
Permasalahan lingkungan yang kompleks dan keterbatasan ilmu pengetahuan menuntut adanya proses dialog dalam pengambilan keputusan yang juga merupakan ciri utama dalam pemerintahan yang mengedepankan demokrasi deliberatif. Namun hal tersebut tidak bisa dilakukan secara baik apabila masing-masing pemangku kepentingan tidak memiliki informasi yang setara (asimetri informasi). Selain itu, informasi juga merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diakui dalam konstitusi UUD NRI 1945. Oleh karena itu, keberadaan Negara menjadi penting untuk memastikan agar tidak terjadi asimetri informasi melalui pemenuhan akses informasi bagi masyarakat secara utuh, cepat, dan akurat.
Athony I Ogus berpendapat ada dua kategori besar pengaturan tentang informasi agar tidak terjadi asimetri informasi. Pertama, pengaturan yang mewajibkan pihak yang menguasai informasi untuk membuka informasi tersebut
107
Mc Cormick , loc. cit.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kepada pihak lain. Kedua, pengaturan yang bertujuan untuk memastikan agar informasi yang disampaikan atau dibuka tersebut tidak salah (misleading).108 Informasi dapat merealisasikan hak asasi manusia, misalnya orang membutuhkan informasi untuk mengetahui bahwa hak-hak mereka terancam dan siapa pihak (yang mengancam tersebut). Hak untuk tahu tidak hanya berdasarkan hak asasi tetapi juga pemerintah yang terbuka dan transparan untuk jalannya fungsi demokrasi yang baik.
Hak untuk tahu sangat fundamental untuk
memastikan akuntabilitas pemerintah dan sektor privat. 109 FOI Law (UU Keterbukaan Informasi) telah diundangkan setidaknya di 40
negara. UU ini berlaku untuk informasi yang berada pada pemerintah meski juga terdapat informasi perusahaan swasta yang berada pada badan pemerintah tersebut. Tujuan dari FOI diantaranya110: a) mendorong pemerintah untuk lebih akuntabel masyarakatnya b) memfasilitasi akuisisi pengetahuan, mendorong self fulfilment ,
c)
bertindak
sebagai
senjata
untuk
melawan
korupsi
dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh fungsionaris negara, d) berkontribusi untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan oleh pemerintah, e) meningkatkan partisipasi sebagai sifat dari demokrasi, f) mengembalikan keseimbangan kekuatan antara pemerintah dan warga, dan memperkuat individu saat berurusan dengan pemerintah. Dalam
hal
lingkungan,
hak
untuk
tahu
mencakup
hak
untuk
diinformasikan mengenai kompatibilitas produk, proses industri, instalasi industri dan dampaknya terhadap lingkungan 111. Persiapan dan publikasi atas dokumen Amdal juga tercakup di dalamnya. Hak untuk tahu berlaku pada konsumen, pekerja dan komunitas. Terkait dengan bahan kimia misalnya, konsumen berhak untuk tahu atas bahaya pada lingkungan kerja mereka dan prosedur keselamatan 108
Anthony I Ogus, loc. cit.
109
Sharon Beder, Ibid , , hal. 106.
110
Ibid , hal. 107.
111
Ibid.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
bagi mereka. Sementara itu komunitas berhak tahu mengenai bahan kimia yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan lingkungan112. Masyarakat yang dilengkapi dengan informasi dapat membantu mereka untuk membuat keputusan berdasarkan informasi, melakukan tindakan untuk melindungi diri mereka sendiri dan mengawasai kegiatan industri dan tindakantindakan pemerintah sehingga perusahaan privat dan pemerintah menjadi lebih akuntabel113. Hak untuk tahu perlu diatur dan tidak dapat berdasarkan voluntarisme, pemerintah dan perusahaan swasta akan enggan untuk membuka informasi apabila mereka memiliki pilihan 114. FOI Law tidak cukup untuk memenuhi hak tahu atas lingkungan, sebab
informasi lingkungan yang dikumpulkan oleh institusi-institus hanya terbatas pada apa yang dilaporkan kepada pemerintah sebagai bagian dari kewajiban menaati administrasi dan peraturan, dan dapat terfragmenasi dan tersebar pada berbagai pemerintah dan otoritas yang berbeda. Tipe informasi yang tersedia melalui FOI Law terbatas misalnya, informasi mengenai emisi hanya terbatas pada informasi
yang disediakan perusahaan sebagai bagian dari syarat izin tidak mencakup jumlah total emisi per tahun. Untuk membuka informasi mengenai perusahaan swasta terkadang harus meminta izin terlebih dulu pada perusahaan tersebut115. 2.3. 2.3.1.
Jaminan Undang-Undang Dalam Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
Secara umum, jaminan terhadap akses informasi telah diatur dalam konstitusi UUD NRI 1945. Pasal 28F UUD NRI 1945 menyatakan: ”Setiap orang berhak untuk ���
Ibid , mengutip pada PIAC 1994: 3
113
Ibid , hal. 109.
114
Ibid , hal. 110.
���
Ibid .
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan
pribadi
dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Pasal tersebut secara eksplisit mengatur hak akses setiap orang terhadap
informasi dengan mencantumkan kata “memperoleh informasi”. Jika dikaitkan dengan pasal lainnya, negara, khususnya pemerintah bertanggungjawab untuk menghormati (to respect), memenuhi (to fullfil), dan melindungi (to protect) dari hak tersebut, termasuk
mengatur pelaksanaanya dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana ditegaskan pada Pasal 28I ayat (4) dan ayat (5) UUD NRI 1945. 116 Berkaitan dengan akses informasi, partisipasi masyarakat juga diatur dalam UUD 1945. Pasal 28 UUD NRI 1945 mengakui dan menjamin hak partisipasi publik baik secara langsung melalui lisan maupun tulisan. Pasal 28 tersebut menyatakan: ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang – Undang”. Kemudian, dalam Pasal
28E ayat (3) dinyatakan bahwa ”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Rumusan pasal ini, secara tidak langsung
Negara memberikan jaminan atas hak Warga Negara untuk megeluarkan pendapat. Kemudian kedua rumusan pasal diatas diperkuat dengan Pasal 28F yang menyatakan” Setiap
orang
berhak
untuk
berkomunikasi
dan
memperoleh
informasi
untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran.
Perumusan pasal-pasal diatas memperlihatkan kaitan erat antara akses informasi dengan kebebasan mengemukakan pendapat sehingga kedua jaminan tersebut diatur dalam satu rumusan pasal yaitu Pasal 28 dengan penambahan huruf menjadi Pasal 28E dan Pasal 28F yang merupakan hasil amandemen kedua. 117
116
Indonesia (b), Ps. 28 I ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Selanjutnya pada ayat (5) menyatakan: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 117
Lihat Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, (Jakarta: 2008), hal. 137. Pada Rapat Panitia Ad Hoc tanggal 7 Desember 1999 dibahas bahwa HAM cukup luas sehingga yang diatur dalam Amandemen UUD 1945 adalah HAM yang prioritas saja (Valina Singka SubektiFUG). �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
2.3.2. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)
UU PPLH mengatur tentang akses informasi dengan mencantumkan pada asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang meliputi asas partisipatif dan tata kelola pemerintahan yang baaik.118 Kedua asas tersebut membutuhkan prasyarat adanya pemberian informasi informasi yang memadai bagi masyarakat. Oleh karena it u, pada Pasal 65 ayat (2) dinyatakan bahwa setiap orang memiliki hak akses informasi dan partisipasi.119 Selain aturan tentang asas dan jaminan hak akses informasi, UU PPLH mengatur kewajiban kepada setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan untuk memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu.120 UU PPLH juga mengatur tugas dan kewenangan pemerintah pusat, provinsi, dan daerah untuk mengelola informasi 121 . Sayangnya perumusan norma dalam UU PPLH ini tidak setegas UU sebelumnya yaitu UU No. 23 Tahun 1997 tetang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) yang menyatakan bahwa salah satu kewajiban pemerintah
dalam
pengelolaan
lingkungan
hidup
adalah
menyediakan
dan
menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. 122
118
Indonesia (a), Ps. 2 menyatakan: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas: a. ….; b. …..(dst); f. partisipatif; g…(dst); m. tata kelola pemerintahan yang baik; dan n. …”
119
Indonesia (a), Ps. 65 ayat (2) menyatakan: "Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat."
120
Indonesia (a), Ps. 68 huruf a menyatakan: "Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban: a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; b…"
121
Indonesia (a), Ps. 63 ayat (1) huruf u, Ps. 63 ayat (2) huruf o, dan Ps. 63 ayat (3) huruf
l. 122
Indonesia (c), Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699, Ps. 10 angka (8).
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
UU PPLH juga mengatur tentang tugas dan kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup dalam rangka mendukung pengembangan kebijakan lingkungan. Sistem informasi tersebut harus dikelola secara terpadu dan terbuka bagi masyarakat. 123 Sehubungan dengan hal itu, Pemerintah, provinsi, dan pemerintah daerah diberi wewenang dan tugas untuk menetapkan standar pelayanan minimal dimana salah satunya dapat diarahkan untuk perumusan perumusan standar minimal pelayanan informasi.124 Selain pengaturan yang mengarah pada pengembangan sistem informasi, UU PPLH juga mengatur kewajiban untuk membuka informasi dalam beberapa hal, khususnya terkait dengan ketentuan Amdal dan izin lingkungan. Sebagai contoh dalam Pasal 26 ayat (2) dinyatakan bahwa pelibatan masyarakat dalam penyusunan dokumen Amdal dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi secara transparan dan lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilakukan. Kemudian, Pasal 39 menyatakan bahwa menteri, gubernur, dan bupati/walikota harus mengumumkan permohonan izin lingkungan dengan cara yang mudah diketahui oleh masyarakat. Untuk memastikan agar pemerintah mendapatkan informasi yang akurat dalam proses permohonan izin lingkungan, lingkungan, maka Pasal 37 Ayat (2) menyatakan bahwa izin lingkungan dapat dibatalkan apabila persyaratan yang diajukan dalam permohonan izin terdapat cacat hukum, penyalahgunaan, pemalsuan dokumen atau data dan informasi. Dalam kegiatan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan, Pasal 53 Ayat (2) huruf a mengatur tentang kewajiban setiap orang untuk penyampaian informasi tetang peringatan dini dalam rangka kegiatan penanggulangan pencemaran atau perusakan lingkungan. Selain kewajiban untuk membuka informasi sebagaimana dijelaskan diatas, UU PPLH juga mengatur larangan bagi setiap orang untuk memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan 123
Indonesia (a), Lihat Pasal 63 ayat (1) huruf u; ayat (2) huruf o.; dan ayat (3) huruf l. Lihat pula Pasal 62 yang menyatakan: (1) Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; (2) Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat; (3) Sistem informasi lingkungan hidup paling sedikit memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri.
124
Indonesia (a), Lihat Ps. 63 a yat (1) huruf s; ayat (2) huruf m. ; dan ayat (3) huruf j. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
yang tidak benar. 125 Sayangnya ketentuan sanksi pidana atas larangan ini tidak berdiri sendiri untuk semua kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan melainkan hanya dalam kegiatan pengawasan dan penegakan hukum.126 Pengaturan tentang pemenuhan akses informasi dalam UU PPLH dengan UU sebelumnya (UU PLH) tidak jauh berbeda. Perbedaan terletak pada pengaturan tentang kewajiban penyebarluasan informasi dini dalam kegiatan penanggulanan pencemaran atau perusakan lingkungan, pemberian informasi untuk keterlibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal, pengembangan sistem informasi, kewajiban pemerintah untuk mengumumkan permohonan izin lingkungan secara mudah diketahui oleh masyarakat serta pembatalan izin lingkungan yang didasarkan pada data dan informasi yang tidak benar. Sedangkan UU PLH hanya mengatur kewajiban pemerintah untuk menyediakan dan menyebarluaskan informasi lingkungan kepada masyarakat. Dengan kata lain, UU PPLH mengatur lebih rinci daripada UU PLH namun sama-sama belum menggambarkan sistem pemenuhan akses informasi yang komprehensif melainkan tersebar dalam beberapa ketentuan lainnya, misalnya siapa yang wajib memberikan informasi, bagaimana pengaturan standarnya, mekanisme sengketa, dan sebagainya. Ketentuan pidana dalam UU PPLH ditekankan pada ancaman bagi pemberian informasi yang menyesatkan atau pemalsuan serta perusakan informasi yang terkait dengan pengawasan dan penegakan hukum. Sedangkan UU PLH mengatur ketentuan sanksi pidana bagi pemberian informasi yang menyesatkan atau pemalsuan dan perusakan informasi yang dikaitkan dengan tindak pidana formiil lingkungan hidup 127 . 125
Indonesia (a), Ps. 69 A Ayat yat (1) huruf j.
126
Indonesia (a), Ps. 113 menyatakan: " Setiap Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)." 127
Indonesia (d), Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU Nomor 14 Tahun 2008, LN No. 61 Tahun 2008, TLN No. 4846, Ps. 43 ayat (2): Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barang siapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Terdapat beberapa kesamaan pengaturan antara UU PPLH dengan UU PLH, yaitu:
1)
Subyek yang dikenai kewajiban untuk memberikan informasi masih bersifat umum dengan penyebutan siapa, pelaku usaha/kegiatan, dan pemerintah. Tidak ada rincian atas subyek tersebut.
2)
Belum adanya pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan sanksi administrasi bagi pelanggaran informasi;
3)
Ketentuan sanksi pidana bagi pelanggaran informasi yang kurang komprehensif, yaitu: a) tidak ditemukan ketentuan sanksi pidana bagi penghambat informasi; b) sanksi pidana bagi pemberian informasi yang menyesatkan, palsu, dan perusakan informasi tidak berdiri sendiri namun dikaitkan dengan salah satu kegiatan sehingga bersifat terbatas, yaitu dalam rangka tindak pidana formiil yang diatur dalam Pasal 43 Ayat (2) UU PLH dan kegiatan pengawasan serta penegakan hukum dalam Pasal 113 UU PPLH.
2.3.3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2009 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
Sebagai salah satu pelaksanaan dari ketentuan Pasal 28 F UUD NRI 1945, pada tanggal 30 April 2008 dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP mengatur secara umum tentang pelaksanaan jaminan hak memperoleh informasi bagi masyarakat terhadap informasi yang diproduksi maupun dikuasai oleh badan publik. Badan publik dalam UU KIP adalah penyelenggara negara dan non penyelenggara negara yang mendapatkan pendanaan dari APBN/D, sumbangan masyarakat, dan bantuan luar negeri. 128 Sedangkan informasi
128
Ibid , Ps. 1 angka 3 mendefinisikan Badan Publik adalah Badan Publik adalah lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
publik didefinisikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara atau penyelenggaraan Negara maupun informasi badan publik lainnya serta informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik. 129 UU KIP memiliki tujuan yang relevan dengan terselenggaranya partisipasi publik dan demokrasi sebagaimana tercantum dalam Pasal 2.130 UU KIP memberikan hak prosedural ( procedural rights) kepada masyarakat untuk memperoleh informasi melalui hak untuk: (a) melihat dan mengetahui Informasi Publik: (b) menghadiri pertemuan publik yang terbuka untuk umum untuk memperoleh Informasi Publik; (c) mendapatkan salinan Informasi Publik melalui permohonan sesuai dengan UndangUndang ini; dan/atau (d) menyebarluaskan Informasi Publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
129
Ibid , Ps. 1 angka (2): Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
130
Ibid , Ps. 2 menyatakan: “Undang-Undang ini bertujuan untuk:
a. menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; b. mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; c. meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; d. mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan; e. mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak; f. mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/atau g. meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.”
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Sebagai UU yang mengatur hak prosedural, UU KIP mengatur agar badan publik proaktif memberikan akses informasi kepada masyarakat melalui pengumuman dan pelayanan permintaan informasi berdasarkan kategorisasi informasi.131 Dengan kata lain, UU KIP adalah peraturan perundangan yang mengatur tentang hak prosedural ( procedural rights) bagi masyarakat dalam memperoleh informasi, melalui: Sehubungan dengan hal itu, UU KIP meletakkan asas-asas penting dalam pemenuhan hak prosedural atas informasi sebagaimana dalam Pasal 2 yang menyatakan:
"(1) Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap
Pengguna Informasi Publik.
(2) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. (3) Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. (4) Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan UndangUndang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya.” Untuk menjamin terlaksananya pemenuhan hak prosedural tersebut, UU KIP juga mengatur tentang mekanisme penyelesaian sengketa atas pelaksanaan prosedural memperoleh informasi melalui tahap keberatan internal, mediasi dan ajudikasi di lembaga Komisi Informasi, dan pengadilan. 132 Lihat gambar dibawah ini untuk menjelaskan tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi:
131
Ibid , Ps. 9-Ps. 22, Sebagai dasar dalam memberikan layanan informasi (pengumuman dan pelayanan informasi), UU KIP mengkategorikan informasi publik dalam kategori: (a) Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (b) informasi yang diumumkan serta merta; (c) informasi yang tersedia setiap saat; dan (d) Informasi yang dikecualikan/rahasia. 132 Ibid , Ps. 35–Ps. 50.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
��������� ���������
��������� ������ ����
������������
����� ����
������ ���������
������������
�������
������������
���������
����� ����
����������
�������
������������
����� ����
������ � �����
GAMBAR 3. PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI
Prosedur penyelesaian sengketa informasi dilakukan dalam 3 tingkatan, yaitu:
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
(1)
Prosedur Keberatan. Keberatan diajukan kepada Atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dalam waktu 30 hari kerja atasan wajib untuk memberikan tanggapan. Terhadap tanggapan keberatan yang diberikan Atasan PPID tersebut, pemohon informasi dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa di Komisi Informasi apabila tidak puas;
(2)
Komisi Informasi. Komisi Informasi akan melakukan mediasi terhadap permohonan yang diterimanya (kecuali sengketa informasi rahasia yang langsung melalui mekanisme ajudikasi). Apabila gagal mediasi, maka Komisi Informasi akan menggunakan mekanisme ajudikasi. Total proses penyelesaian sengketa informasi di Komisi Informasi maksimal 100 hari kerja sejak permohonan diterima. Apabila tidak puas atas hasil penyelesaian sengketa informasi, pemohon dapat mengajukan banding ke Pengadilan.
(3)
Pengadilan. Permohonan penyelesaian sengketa di pengadilan diajukan dengan melakukan gugatan di PTUN untuk sengketa informasi yang menyangkut badan publik negara dan Pengadilan Negeri untuk sengketa informasi yang menyangkut badan publik non negara. Terhadap putusan pengadilan tersebut dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agunng RI. Selain lembaga penyelesaian sengketa, UU KIP memberikan ancaman sanksi
pidana bagi beberapa pelanggaran terkait dengan hak prosedural, yaitu: (a) penggunaan informasi secara melawan hukum; (b) penghambat informasi/pelaksanaan hak prosedural; (c) penghancuran, perusakan dan penghilangan informasi publik; (d) pembocoran informasi rahasia; (e) pembuatan informasi publik yang tidak benar atau penyesatan melalui informasi publik. Semua ketentuan pidana t ersebut merupakan delik aduan.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
BAB 3 REGULASI DAN PELAKSANAAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
3.1. Regulasi Pelaksanaan Jaminan Akses Informasi Lingkungan
Ada dua regulasi penting untuk memastikan terpenuhinya akses informasi lingkungan. Pertama, regulasi yang mengatur dibukanya informasi ( mandatory disclosure); Kedua, regulasi yang memadatkan agar informasi yang disampaikan tidak
salah atau menyesatkan (misleading information). Bagian ini menjelaskan regulasi akses informasi lingkungan dalam beberapa peraturan pelaksana terkait dengan lingkungan hidup. 3.1.1. Pengendalian Pencemaran Udara (PP 41/1999)
Pengendalian pencemaran udara dilakukan dengan mengendalikan sumber pencemar baik sumber pencemar bergerak maupun tidak bergerak. 133 Ada 3 aspek penting terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik dalam pengendalian pencemaran udara yaitu:
1.
Penetapan
Standar
Kualitas
Udara.
Dalam rangka pengendalian
pencemaran udara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk menetapkan standar terkait dengan lingkungan. Beberapa standar tersebut adalah: a)
Baku mutu udara ambien. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya
ada
dan/atau
unsur
pencemar
yang
ditenggang
keberadaannya dalam udara ambien. 134 Baku mutu udara ambien ditetapkan setiap 5 tahun sekali. Baku mutu udara ambien nasional
133
Indonesia (e), Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara, PP Nomor 41 Tahun 1999, Ln No. 86 Tahun 1999, TLN No. 3853, Ps. 2. 134
Ibid., Ps. 1 angka 7.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
ditetapkan melalui PP ini, sedangkan untuk daerah ditetapkan oleh Gubernur. Dalam penetapannya diatur melalui pedoman teknis oleh instansi yang bertanggungjawab dibidang pengendalian dampak lingkungan. Pada penetapan baku mutu udara ambien ini tidak diatur mengenai bagaimana pemenuhan akses informasi maupun partisipasi publik. b)
Status mutu udara ambien. Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi. 135 Inventarisasi dilakukan untuk mengetahui mutu udara ambien, potensi sumber pencemar, kondisi meteorologist dan geografis, serta tata guna lahan yang dilakukan oleh KLH. Status mutu udara ambien di daerah ditetapkan oleh Gubernur. Apabila berdasarkan inventarisasi, status mutu udara ambien daerah berada diatas baku mutu udara ambien nasional, maka Gubernur harus menetapkan dan menyatakan bahwa status mutu udara ambien yang bersangkutan sebagai udara tercemar yang diikuti dengan upaya pemulihan. 136 Meskipun dalam penetapan status mutu udara ambien ini sangat penting untuk mengetahuai keadaan udara suatu tempat dimana gubernur diwajibkan menetapkan suatu kondisi bahwa udara tercemar maupun tidak, namun pemenuhan akses informasi tidak diatur yang memungkinkan masyarakat bisa melakukan tindakan terkait dengan kondisi udaranya, misalnya melakukan upaya mitigasi agar tidak berdampak pada kesehatan mereka.
c)
Baku mutu emisi. Baku mutu emisi adalah batas kadar maksimal dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau dimasukkan ke dalam udara ambien; 137 Baku mutu emisi sumber tidak bergerak ditetapkan oleh kepala instansi yang bertangggung jawab dan ditinjau kembali setelah 5 tahun. Kepala instansi yang bertangungjawab
135
Ibid, Ps. 1 angka 6.
136
Ibid, Ps. 6 dan Ps. 7.
137
Ibid, Ps. 1 angka 16.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
menetapkan pedomen teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak. 138 Dalam penetapan baku mutu emisi, masyarakat memerlukan informasi untuk mengetahui berapa kuota emisi yang diperbolehkan yang berdampak pada status baku mutu udara ambien. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan informasi maupun partisipasi publik dalam penetapan baku mutu emisi ini. d)
Ambang batas emisi gas buang. Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa gas buang kendaraan bermotor.139 Ambang batas emisi gas buang ditetapkan oleh kepala instansi yang bertangggung jawab dan ditinjau kembali setelah 5 tahun. Kepala instansi yang bertangungjawab menetapkan pedomen teknis pengendalian pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak.140 Seperti halnya penetapan baku mutu emisi, penetapan ambang batas emisi gas buang ini diperlukan masyarakat untuk mengukur berapa kuota yang diperbolehkan untuk menetapkan ambang batas emisi gas buang berdasarkan data jumlah kendaraan dan pertumbuhan kendaraan serta baku mutu emisi dibandingkan dengan baku mutu udara ambien. Dengan membandingkan ketiga aspek tersebut,
maka
pencegahan
terhadap
pencemaran
udara
dapat
diantisipasi. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik dalam penetapan ambang batas emisi gas buang. e)
Baku tingkat gangguan. Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat.141 Kepala instansi yang bertanggungjawab
138
Ibid, Ps. 8 dan Ps. 9.
139
Ibid, Ps. 1 angka 17.
140
Ibid, Ps. 8 dan Ps. 9.
141
Ibid, Ps. 1 angka 19.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak yang terdiri dari: a) baku tingkat kebisingan, b) baku tingkat getaran, c) baku tingkat kebauan, dan d) baku tingkat gangguan lainnya. Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan. Baku tingkat gangguan susmber tidak bergerak ditinjau setiap 5 tahun sekali. 142 Aspek kenyamanan menjadi salah satu aspek penting yang dipertimbangkan dalam penetapan baku tingkat gangguan. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik dakam menetapkan baku tingkat gangguan. Oleh karena itu, penentuan aspek kenyamanan berpotensi hanya
didekati
dengan
pendekatan
scientific semata.
Padahal
kenyamanan sifatnya bukan hanya masalah science semata. f)
Ambang batas kebisingan. Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin dan/atau transmisi kendaraaan bermotor. 143 Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek teknologi. Ambang batas kebisingan ini ditinjau setiap 5 tahun sekali.144 Sama halnya dengan baku tingkat gangguan, aspek kenyamanan menjadi salah satu aspek penting yang dipertimbangkan dalam penetapan ambang batas kebisingan. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana pemenuhan akses informasi dan partisipasi publik dalam menetapkan ambang batas kebisingan. Oleh karena itu, penentuan aspek kenyamanan berpotensi hanya didekati dengan pendekatan scientific semata. Padahal kenyamanan sifatnya bukan hanya masalah science semata.
142
Ibid, Ps. 10.
143
Ibid, Ps. 1 angka 20.
144
Ibid, Ps. 10 ayat (5).
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
g)
Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU). ISPU adalah angka yang tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya (hewan dan tumbuhan). Kepala instansi yang bertanggungjawab menetapkan ISPU dan pedoman teknis perhitungan dan pelaporan serta informasi ISPU.145 ISPU berfungsi sebagai bahan informasi bagi masyarakat terkait dengan kualitas udara ambien di lokasi tertentu dan bahan pertimbangan Pemerintah serta Pemerintah Daerah dalam mengendalikan pencemaran udara. Oleh karena itu, ISPU wajib diumumkan kepada masyarakat. 146 Pada KEPMENLH No: Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara dinyatakan bahwa data Indeks Standar Penemaran Udara diperoleh dari pengoperasian Stasiun Pemantau Kualitas Udara Ambien Otomatis. Kepala Bapedal atau MENLH wajib menyampaikan ISPU kepada masyarakat secara nasional setiap hari. Demikian juga Bupati dan Walikota diwajibkan menyampaikan ISPU kepada masyarakat di daerahnya setiap hari.
Pengaturan lebih rinci tentang penyampaian ISPU diatur dalam Keputusan Kepala Bapedal No. Kep-107/Bapedal/11/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara. Keputusan ini mengatur tentang muatan informasi yang harus disampaikan dan media yang digunakan, yaitu media masa dan elektronik (radio, televisi, surat kabar, majalah dan lainnya) serta papan peragaan pada tempat-tempat tertentu.147 2.
Penetapan Kebijakan Teknis Pengendalian Pencemaran Udara. Selain
penetapan standar lingkungan sebagaimana diuraikan sebelumnya, PP 41/1999 juga mengatur tentang kebijakan teknis pengendalian pencemaran 145
Ibid, Ps. 13 dan Ps. 14.
146
Ibid, Ps. 14 dan Ps. 15.
147
Indonesia (f), Keputusan Kepala Bapedal tentang Pedoman Teknis Perhitungan dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemar Udara , Keputusan Kepala Bapedal No. Kep107/Bapedal/11/1997, Ps. 8.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
udara. Kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara secara nasional ditetapkan oleh kepala instansi yang bertanggungjawab yang akan ditetapkan setiap 5 tahun sekali. Pelaksanaan kebijakan teknis tersebut dilakukan oleh Bupati/Walikota.148 Kebijakan teknis pengendalian pencemaran udara mencakup pencegahan, penanggulangan dan pemulihan kualitas udara. a)
Dalam aspek pencegahan, diatur bahwa upaya pencegahan dilakukan dengan menetapkan baku mutu dan penetapan kebijakan teknis. Selain itu juga diatur kewajiban bagi pelaku usaha untuk menaati baku mutu, melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran akibat aktivitasnya, dan memberikan informasi secara benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka pengendalian pencemaran udara terkait dengan aktifitasnya. 149 Pelanggaran terhadap kewajiban ini dikenai sanksi pidana.150 Kewajiban untuk mematuhi ketentuan baku mutu dijabarkan dalam Amdal dan menjadi kewajiban yang harus dimuat dalam izin usaha/kegiatan. 151 Sayangnya tidak diatur lebih lanjut kewajiban bagi pelaku usaha/kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan serta pemberian informasi bagi masyarakat.
b)
Dalam aspek penanggulangan, setiap pelaku usaha/kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya
pencemaran
udara
wajib
melakukan
penanggulangan dan pemulihan kualitas udara yang diatur lebih lanjut dalam pedoman teknis.152 Dalam kondisi darurat, dimana ISPU mencapai nilai 300 atau lebih yang menunjukkan udara dalam kategori bahaya,
maka
Menteri
Lingkungan
Hidup
menetapkan
dan
mengumumkan pencemaran udara secara nasional. Demikian juga jika hal tersebut terjadi di daerah, maka Gubernur harus menetapkan dan mengumumkannya
kepada
148
Indonesia (e), Op.cit , Ps. 16-18,
149
Ibid , Ps. 21 dan Ps 22.
150
Ibid , Ps. 56 ayat (1).
151
Ibid , Ps. 22 – 24.
152
Ibid , Ps. 25.
masyarakat.
Pengumuman
tersebut
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dilakukan
melalui
media
cetak
atau
elektronik. 153 Tata
cara
penanggulangan dan pemulihan pencemaran udara diatur lebih lanjut dalam pedoman teknis oleh kepala instansi yang bertanggungjawab.154 Selain itu, penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak maupun tidak bergerak dilakukan dengan mengawasi baku mutu emisi maupun ambien.155 Terhadap sumber pencemar bergerak, penanggungjawab usaha/kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru. 156 Sayangnya untuk sumber pencemar tidak bergerak tidak ada ketentuan yang sama untuk mengumumkan angka parameter emisinya. Terkait dengan gangguan, penanggungjawab usaha/kegiatan wajib melakukan uji tingkat kebisingan terhadap kendaraan bermotor tipe baru dan mengumumkan hasilnya. 3.
Pengawasan. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pejabat pengawas
wajib melakukan inventarisasi dan pengawasan terkait dengan penaatan pelaku usaha/kegiatan melalui pengawsan baku mutu udara ambien, emisi, baku tingkat gangguan, dan ISPU dimana data hasil pengawasan tersebut wajib disimpan dan disebarluaskan kepada masyarakat. 157 Terkait dengan hal ini, pelaku usaha/kegiatan juga diwajibkan untuk menyampaikan hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukannya kepada instansi yang bertanggungjawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya. Pedoman dan tata cara pelaporan ditetapkan oleh kepala Instansi yang bertanggungjawab. 158 Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat juga dapat melakukan pemantauan mutu udara ambien yang hasilnya dapat
153
Ibid , Ps. 26.
154
Ibid , Ps. 26 – 27.
155
Ibid , Ps. 28 dan Ps. 31.
156
Ibid , Ps. 35 ayat (2)
157
Ibid , Ps. 49.
158
Ibid , Ps. 50.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab untuk kemudian dijadikan bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara. 159 Dari penjelasan ketiga aspek penting pengendalian pencemaran udara di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Dalam aspek penetapan standar ( standard setting) yang terkait dengan kualitas udara, pemenuhan akses informasi sangat minim diatur, kecuali untuk ISPU. Padahal parameter yang digunakan dalam beberapa standar sangat terkait dengan kondisi masyarakat (kenyamanan dan kesehatan). Hal yang lebih lemah lagi adalah pengaturan untuk melibatkan masyarakat yang sama sekali tidak ti dak diatur dalam penetapan standar ini. 2. Dalam hal pencegahan pencemaran udara, pelaku usaha/kegiatan telah diwajibkan untuk mengumumkan aktifitasnya untuk menaati baku mutu, melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran udara. Namun PP ini tidak mengatur bagaimana mekanisme dan tata cara pengumuman tersebut dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan agar pelaku usaha dapat melaksanakan ketentuan yang sifatnya mandatory disclosure tersebut serta menghindari terjadinya misleading information. 3. Dalam hal penanggulangan, telah diatur bahwa pemerintah wajib mengumumkan kepada masyarakat apabila terjadi kondisi bahwa udara telah tercemar (ISPU mencapai 300 atau lebih) yang menunjukkan darurat lingkungan. Tata cara pengumuman diatur melalui media cetak atau elektronik. Meskipun ketentuan ini lebih jelas terkait dengan tata caranya, namun ketentuan terkait dengan content informasi belum jelas, misalnya apa faktor penyebabnya, apa tindakan yang bisa dilakukan masyarakat untuk merespon kondisi tersebut karena bisa berdampak pada kesehatan masyarakat (mitigasi kondisi darurat), dan seterusnya. 4. Ketentuan aspek pengawasan mengatur tentang akses informasi dan partisipasi publik lebih lengkap dibandingkan penetapan s tandar maupun kebijakan pencegahan dan penanggulangan: (a) pengawas wajib mendokumentasikan hasil pengawasannya dan menyebarluaskan kepada 159
Ibid , Ps. 51.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
masyarakat; (b) pelaku usaha juga wajib menyampaikan hasil pengawasannya (swapantau) kepada instansi yang bertanggungjawab sehingga memungkinkan mekanisme pengumpulan informasi berjalan; (c) masyarakat dapat melakukan pemantauan mutu udara ambien untuk disampaikan kepada pemerintah namun jika dilihat kepada ketentuan penetapan baku mutu udara ambien tidak ada ketentuan yang memastikan agar pemerintah memberikan informasi dan melibatkan masyarakat. Oleh karena itu, ketentuan ini kurang konsisten untuk bisa dilakukan dengan baik oleh masyarakat. mas yarakat. 3.1.2. Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (PP 82/2001)
Pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dilakukan secara terpadu melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi. 160 Terkait dengan jaminan akses informasi lingkungan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pengakuan hak atas informasi diatur dalam Pasal 30 Ayat (2) yang menyatakan: “Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi mengenai status mutu air dan pengelolaan kualitas air serta pengendalian pencemaran pencemaran air.” Yang dimaksud Informasi mengenai pengelolaan kualitas air dan
pengendalian pencemaran air yang dimaksud dapat berupa data, keterangan, atau informasi lain yang berkenaan dengan pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pencemaran air yang menurut sifat dan tujuannya memang terbuka untuk diketahui masyarakat, seperti dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup, laporan dan evaluasi hasil pemantauan air, baik pemantauan penaatan maupun pemantauan perubahan kualitas air, dan rencana tata ruang.161 Kemudian dalam Pasal 32 dinyatakan bahwa: “Setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai
pelaksanaan
kewajiban
pengelolaan
kualitas air
dan
pengendalian
pencemaran pencemaran air.” Usaha yang dimaksud antara lain industri, pertambangan, dan
perhotelan. Kegiatan yang dimaksud antara lain laboratorium kegiatan penelitian dan 160
Indonesia (g), Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan Pemerintah No.82 Tahun 2001, TLN No. 4161 Tahun 2001, Pasal 2. 161
Ibid , Penjelasan Ps.30 ayat (2).
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pendidikan, fasilitas umum rumah sakit, pemotongan hewan dan kegiatan pematangan tanah (land clearing), proyek prasarana jalan raya, serta tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Informasi yang benar tersebut dimaksudkan untuk menilai ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap ketentuan peraturan perundangundangan. 162 Selain pelaku usaha/kegiatan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) juga wajib memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air melaui media cetak, media elektronik, dan papan pengumuman yang meliputi: (a) status mutu air; (b) bahaya terhadap kesehatan masyarakat dan ekosistem; (c) sumber pencemaran dan atau penyebab lainnya; (d) dampaknya terhadap kehidupan masyarakat; dan atau (e) langkah-langkah yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan upaya pengelolaan kualitas air dan atau pengendalian pengendalian pencemaran ai r.163 Selain kewajiban bagi pelaku usaha/kegiatan dan pemerintah untuk memberikan informasi, PP ini juga mengatur tentang pemberian sanksi administrasi maupun pidana bagi pelanggaran kewajiban pemberian informasi tersebut. 164 Namun sanksi tersebut hanya berlaku bagi pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/kegiatan. Terhadap pelanggaran pelanggaran kewajiban pemberian informasi oleh pemerintah tidak dikenakan sanksi baik administrasi maupun pidana. Selain sanksi administrasi dan pidana, PP ini juga memberikan mekanisme untuk mendorong penaatan bagi pelaku usaha/kegiatan melalui mekanisme insentif maupun disinsentif. Salah satu cara mekanisme disinsentif yang bisa dilakukan adalah dengan mengumumkan kepada masyarakat riwayat kinerja penaatan pelaku usaha/kegiatan.165 Selain informasi terkait dengan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, PP ini juga mengatur tentang peran serta masyarakat yang diatur dalam Pasal 30 Ayat (3) yang menyatakan: “Setiap orang mempunyai hak untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sesuai peraturan perundang-undang perundang-undangan an yang berlaku.” Yang dimaksud peran serta dalam pasal
ini meliputi proses pengambilan keputusan, baik dengan cara mengajukan keberatan 162
Ibid , Penjelasan Ps. 32.
163
Ibid , Ps 33 dan Penjelasannya.
164
Ibid , Ps. 48 dan Ps. 51 vide Ps. 32
165
Ibid , Penjelasan, Ps. 43 a yat (2) huruf b.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
maupun dengar pendapat atau dengan cara lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Peran serta tersebut dilakukan antara lain dalam proses penilaian dan atau perumusan kebijaksanaan pengelolaan kualitas air, pengendalian pencemaran air, dan melakukan pengamatan. Pelaksanaannya didasarkan pada prinsip keterbukaan. Dengan keterbukaan memungkinkan masyarakat ikut memikirkan dan memberikan pandangan serta pertimbangan dalam pengambilan keputusan di bidang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. 166 Beberapa tahapan yang cukup krusial bagi pemenuhan akses informasi dan peran serta masyarakat dalam proses pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air antara lain adalah:
1. Tahap perencanaan. Dalam tahap perencanaan ini pemerintah akan menetapkan rencana pendayagunaan air. 167 Rencana pendayagunaan air ini meliputi potensi pemanfaatan atau penggunaan air, pencadangan air berdasarkan ketersediaannya, baik kualitas maupun kuantitas dan atau fungsi ekologis. Dalam merencanakan pendayagunaan air, pemerintah wajib memperhatikan fungsi ekonomis dan fungsi ekologis, nilai-nilai agama serta adat istiadat yang hidup dalam masyarakat setempat.168 Dalam perencanaan pendayagunaan air ini, sumber air akan ditetapkan sesuai dengan klasifikasi kelas air dan kriteria mutunya sehingga bisa diketahui peruntukannya. 169 Kelas air
166
167
Ibid , Penjelasan Ps. 30 ayat (3) Ibid , Penjelasan Ps. 7 ayat (1) yang menjelaskan bahwa rencana pendayaguaan
meliputi penggunaan untuk pemanfaatan sekarang dan masa yang akan datang. Rencana pendayagunaan air diperlukan dalam rangka menetapkan baku mutu air dan mutu air sasaran, sehingga dapat diketahui arah program pengelolaan kualitas air.
168
Ibid , Ps. 7 ayat (2) dan ayat (3).
169
Ibid , Ps. 8 ayat (1) menyatakan bahwa kelas mutu air ditetapkan menjadi 4 kelas,
yaitu: a)
b)
Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang memper-syaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
ini ditetapkan dengan melakukan kajian untuk mengetahui informasi mengenai keadaan mutu air saat ini ( existing quality), rencana pendayagunaan air sesuai dengan kriteria kelas yang diinginkan, dan tingkat mutu air yang akan dicapai ( objective quality). Pedoman pengkajian penetapan kelas air diatur dalam KEPMENLH No. 114/2003. Pasal 2 Ayat 3 KEPMENLH 114/2003 mengatur bahwa dalam menetapkan kebutuhan air dan penyusunan pendayagunaan air harus dimintakan masukan dari masyarakat melalui dengar pendapat. Berdasarkan klasifikasi kelas air dan kriteria mutunya, pemerintah kemudian menetapkan baku mutu air. 170 Baku mutu air ini yang akan menjadi dasar dari pemberian izin yang berdampak pada pencemaran air. Meskipun pada tahap penyusunan rencana pendayagunaan air maupun penetapan kelas air diatur agar memperhatikan fungsi ekonomis, ekologis, nilai, dan adat istiadat masyarakat, namun PP ini tidak mengatur secara rinci bagaimana pemerintah memberikan informasi agar masyarakat dapat berpartisipasi dengan baik. 2. Tahap Pemantauan Kualitas Air. Setelah kelas dan baku mutu air ditetapkan,
pemerintah
memiliki
kewajiban
untuk
melakukan
pemantauan terhadap kualitas air untuk mengetahui status mutu air untuk menyatakan apakah air dalam kondisi tercemar atau tidak.171 Dalam hal status mutu air menunjukkan bahwa air telah tercemar, maka pemerintah wajib melakukan upaya penanggulangan pencemaran
c)
d)
atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
�� 170
Ibid , Ps. 1 angka (9). Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup,
zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air;
171
Ibid , Ps. 14.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dan pemulihan kualitas air sesuai dengan mutu air sasaran. 172 Dalam ketentuan ini tidak diatur dengan jelas bagaimana pemberian informasi terhadap masyarakat dan partisipasi masyarakat dalam melakukan pemantauan. 3. Inventarisasi, Kebijakan Pengendalian Pencemaran Air, dan Penetapan Daya Tampung. Dalam rangka pengendalian pencemaran air, pemerintah
berwenang
untuk
melakukan
inventarisasi
guna
mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk mengetahui sebab dan faktor yang menyebabkan penurunan kualitas air sesuai dengan pedoman yang dikeluarkan oleh Menteri LH. 173 Hasil inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar disampaikan kepada Menteri LH secara berkala sekurang-kurangnya 1 tahun sekali. Berdasarkan hasil inventarisasi, Menteri LH menetapkan kebijakan nasional pengendalian pencemaran air. Dalam rangka pengendalian pencemaran air, Menteri LH menetapkan daya tampung beban pencemaran air sebagai dasar: (a) pemberian izin lokasi; (b) pengelolaan air dan sumber air; (c) penetapan rencana tata ruang; (d) pemberian izin pembuangan air limbah; (e) penetapan mutu air sasaran dan program kerja pengendalian pencemaran air. Pedoman penetapan daya tampung diatur dalam Keputusan Menteri. Pada tahapan ini tidak diatur bagaimana akses informasi diberikan dan peran serta masyarakat dilakukan padahal pada tahap ini sangat penting bagaimana pemerintah maupun masyarakat dapat memberikan informasi, misalnya tentang sumber pencemar dan bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan terkait dengan kebijakan pengendalian pencemaran air sesuai dengan sasaran yang menjadi kepentingan masyarakat. 4. Tahap pemberian izin. Tahapan ini sangat penting mengingat izin usaha/kegiatan memiliki dampak terhadap perubahan kualitas air, khususnya izin pemanfaatan dan pembuangan air limbah. Dalam
172
Ibid , Ps. 15.
173
Ibid , Ps. 20 huruf b dan penjelasannya.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
rangka
pemanfaatan
dan
pembuangan
air
limbah,
pelaku
usaha/kegiatan diwajibkan untuk melakukan kajian guna mendapatkan informasi
tentang
pengaruh
usaha/kegiatan
terhadap:
(a)
pembudidayaan ikan, hewan, dan tanaman; (b) kualitas tanah dan air tanah; (c) kesehatan masyarakat.174 Namun demikian, pada ketentuan ini tidak diatur secara khusus bagaimana pemenuhan akses informasi bagi masyarakat untuk dapat berperan serta dalam pengambilan keputusan pemberian izin, meskipun salah satu aspek yang harus dimuat dalam kajian adalah pengaruh usaha/kegiatan terhadap kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, ketentuan ini dapat mengakibatkan kajian yang dilakukan kurang mengedepankan consensus dari masyarakat yang potensial terkena dampak melainkan
akan banyak mengandalkan keterlibatan pakar dengan pendekatan keilmuan semata. 5. Tahap
pengawasan
usaha/kegiatan.
Pengawasan
terhadap
usaha/kegiatan dilakukan oleh pemerintah melalui pejabat pengawas lingkungan untuk mengetahui ketaatan pelaku usaha/kegiatan. 175 Tidak diatur bagaimana masyarakat bisa terlibat dalam pengawasan maupun mendapatkan informasi tentang hasil pengawasan yang telah dilakukan. Dari penjelasan tentang beberapa ketentuan yang terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi dalam pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, dapat disimpulkan:
1. PP
82/2001
telah
mengatur
tentang
hak
masyarakat
untuk
mendapatkan informasi dan berperan serta dalam pengambilan keputusan beserta ancaman sanksi meskipun hanya untuk pelanggaran bagi pelaku usaha/kegiatan yang menghambat informasi. 2. Pengaturan tentang pemenuhan informasi masih bersifat umum dan tidak dikaitkan dengan pengaturan yang rinci pada setiap tahapan 174
Ibid , Ps. 36 ayat (2).
175
Ibid , Ps. 44 dan Ps. 45.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pengelolaan kulitas air dan pengendalian pencemaran air. Misalnya bagaimana pemberian informasi dalam tahap perencanaan, keputusan pemberian izin, dan pengawasan. 3. Pengaturan tentang peran serta masyarakat masih bersifat umum dan tidak dikaitkan dengan tahapan-tahapan yang sangat penting karena bisa berpengaruh terhadap masyarakat, meskipun dalam beberapa tahapan telah terdapat perhatian atas potensi dampak kebijakan terhadap masyarakat, misalnya kewajiban untuk membuat kajian dalam penetapan rencana pendayagunaan air dan kelas air (nilai-nilai agama, pemanfaatan masyarakat, adat-istiadat) maupun kajian atas rencana pemberian izin pemanfaatan dan pembuangan air limbah (dampak terhadap kesehatan masyarakat). Lemahnya pengaturan peran serta ini berpeluang menimbulkan ketidaksejajaran antara pandangan science yang dilakukan oleh para ahli dalam melakukan kajian dengan
kesepakatan atau review dari masyarakat yang seharusnya tidak kalah penting mengingat mereka sebagai subsistem lingkungan yang berpotensi terkena dampak pula. 4. Pengaturan tentang ketentuan mandatory disclosure dalam tingkat pelaksanaan usaha/kegiatan masih lemah karena: a. Tidak diatur jenis informasi apa saja yang harus diberikan terkait dengan pelaksanaan kewajiban pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air sebagaimana jenis informasi yang wajib diberikan oleh pemerintah. 176 b. Informasi tentang riwayat kinerja penaatan pelaku usaha tidak menjadi informasi yang wajib diumumkan melainkan hanya mungkin dilakukan melalui mekanisme insentif dan disinsentif dimana
mengumumkan
riwayat
kinerja
penaatan
pelaku
usaha/kegiatan tersebut adalah salah satu bentuk disinsentif. Seharusnya dalam upaya pengendalian kualitas dan pencemaran
176
Ibid , Ps. 32 dan Ps. 33 beserta penjelasannya.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
air, riwayat kinerja penaatan pelaku usaha merupakan jenis informasi yang secara reguler perlu dibuka kepada masyarakat. 177 5. PP hanya mengatur tentang sanksi administratif dan pidana bagi pelanggaran
kewajiban
pemberian
informasi
oleh
pelaku
usaha/kegiatan. Dalam hal sanksi administratif, jika dilihat dalam UU PPLH, jenis sanksi administratif meliputi: (a) teguran tertulis; (b) paksaan pemerintah; (c) pembekuan izin lingkungan; dan (d) pencabutan izin lingkungan. Dalam ketentuan sanksi paksaan pemerintah diatur secara limitatif dalam Pasal 80 UU PPLH dimana tidak menyebutkan sanksi berupa membuka informasi secara utuh dan akurat.178 Sedangkan penjatuhan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin lingkungan hanya bisa dilakukan jika pelaku usaha/kegiatan
tidak
melaksanakan
paksaan
pemerintah.
Jadi,
meskipun dalam PP diatur tentang sanksi administrasi, namun sanksi ini berpotensi tidak dapat dijatuhkan berdasar UU PPLH. Untuk sanksi pidana juga berpotensi tidak dapat diterapkan mengingat: 179 177
Ibid , Ps. 43.
178
Ibid , Ps. 80 menyatakan:
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa: a. b. c. d. e. f. g.
penghentian sementara kegiatan produksi; pemindahan sarana produksi; penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; penghentian sementara seluruh kegiatan; atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
�� 179
Indonesia (a), op.cit , Ps. 113 yang menyatakan: “Setiap orang yang memberikan
informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
a) Sanksi pidana dalam UU PPLH hanya mengatur tentang ketentuan misleading information, padahal dalam ketentuan PP ini tidak
hanya mengatur ketentuan misleading information saja melainkan juga ketentuan mandatory disclosure; dan b) Sanksi pidana dalam UU PPLH diatur secara limitatif bahwa informasi atau keterangan yang tidak benar/palsu/menyesatkan tersebut
adalah
informasi
dalam
rangka
pengawasan
dan
penegakan hukum. 3.1.3. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan Izin Lingkungan (PP 27/2012)
Meskipun PP 27/2012 ini berjudul tentang izin lingkungan, namun materi muatan PP ini juga mengatur tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) dan mencabut PP Amdal sebelumnya (No. 27/1999). Ketentuan pemberian akses informasi dalam PP ini diatur menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan Amdal dan Izin Lingkungan.
3.1.3.1. Akses Informasi dalam Penyusunan Dokumen Amdal Dalam rangka penyusunan dokumen Amdal, PP ini mewajibkan Pemrakarsa untuk mengikutsertakan masyarakat: (a) yang terkena dampak; (b) pemerhati lingkungan hidup; (c) yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal. Pengikutsertaan masyarakat dilakukan melalui pengumuman rencana usaha/kegiatan dan konsultasi publik sebelum penyusunan dokumen Kerangka Acuan. Masyarakat dapat mengajukan saran, pendapat, dan tanggapan terhadap rencana usaha/kegiatan secara tertulis kepada Pemrakarsa, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya paling lambat 10 hari kerja sejak pengumuman. 180 Ketentuan teknis dari peranserta masyarakat dan keterbukaan informasi dalam penyusunan Amdal diatur lebih rinci dalam Keputusan Badan Pengendalian Dampak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
180
Indonesia (h), Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012, Ps. 9. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masayarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Keputusan ini mengatur tentang tata cara keterlibatan masyarakat, pengumuman, dan penyampaian saran, pendapat, serta tanggapan mulai dari tahap: (a) persiapan penyusunan Amdal; (b) penyusunan Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL); (c) tahap penilaian KA-ANDAL; serta (d) tahap penilaian ANDAL, Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), dan Rencana Pementauan Lingkungan (RPL). Lihat bagan berikut:
GAMBAR 4. BAGAN ALUR TENTANG TATA CARA KETERLIBATAN MASYARAKAT, PENGUMUMAN, DAN PENYAMPAIAN SARAN, PENDAPAT, SERTA TANGGAPAN DALAM PROSES PENYUSUNAN AMDAL
KepKaBapedal 8/2000 mendefinisikan masyarakat berkepentingan yang perlu dilibatkan dan diberikan informasi adalah masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan alasan-alasan antara lain sebagai berikut: kedekatan jarak tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi, faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan/atau faktor pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat berkepentingan dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan masyarakat �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pemerhati. Masyarakat Terkena Dampak adalah masyarakat yang akan merasakan dampak dari adanya rencana usaha dan/atau kegiatan, terdiri dari masyarakat yang akan mendapatkan manfaat dan masyarakat yang akan mengalami kerugian. Sedangkan Masyarakat Pemerhati adalah masyarakat yang tidak terkena dampak dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan, tetapi mempunyai perhatian terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut, maupun dampak-dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya. Dalam pemenuhan akses informasi, KepKaBapedal ini mengatur tentang jenis informasi apa saja yang menjadi hak masyarakat untuk diperoleh.181 Selain itu juga diatur tentang rincian kewajiban pemrakarasa maupun instansi pemerintah dalam memberikan informasi beserta spesifikasi pengumuman dan tata caranya. 182
181
Indonesia (i) Keputusan Kepala Bapedal tentang Keterlibatan Masayarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, KepKaBapedal No. 8 Tahun 2000, Bag. 2 Lampiran. Beberapa jenis informasi yang menbjadi hak masyarakat adalah: a) rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib menyusun AMDAL; b) dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL); c) dokumen Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL);d) dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL); e) dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL); f) proses penilaian dokumen AMDAL oleh Komisi Penilai AMDAL; g) sikap instansi yang bertanggung jawab atas saran, pendapat dan tanggapan masyarakat yang disampaikan; dan h) keputusan hasil penilaian dokumen AMDAL.
182
Ibid , Bag. 2.2. Kewajiban instansi yang bertanggungjawab:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan memulai penyusunan AMDAL dengan ketentuan: a) Spesifikasi Media Pengumuman: (1) Media cetak lokal dan nasional; (2) Papan pengumuman kantor instansi yang bertanggung jawab di tingkat pusat dan/atau daerah; dan dapat ditambahkan dengan (3) Media elektronik televisi dan/atau radio; dan (4) Pusat dan/atau tempat pengumuman resmi yang ditetapkan dan diatur oleh instansi yang bertanggung jawab. b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman: (1) Semua bentuk pengumuman baik tertulis maupun tidak tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, disampaikan dengan jelas dan mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat; (2) Pengumuman tertulis di media cetak harus berukuran minimal 5 cm x 3 cm dan ditulis dengan huruf standar sekurang-kurangnya berukuran 10 (sepuluh). Ukuran minimal tidak boleh dijadikan alasan tidak lengkapnya lingkup materi yang disampaikan; (3) Pengumuman pada papan pengumuman harus sekurang-kurangnya : Ditulis dengan warna hitam dan dasar putih; Ditulis dengan huruf cetak standar dengan ukuran minimal 12; • •
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Dalam hal peranserta masyarakat, KepKaBapedal ini mengatur tentang spesifikasi dan tata cara penyampaian saran, pendapat, dan tanggapan. Dalam rangka pelibatan pengambilan keputusan Amdal, KepKaBapedal ini juga mengatur tentang Berukuran minimal 60 cm x 100 cm (4) Pengumuman pada media elektronik dapat berupa berita ataupun spot iklan, dengan lama minimal 10 (sepuluh) detik untuk televisi dan 20 ( dua puluh) detik untuk radio c) Tata Cara Pengumuman •
Tata cara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3. 1) Mendokumentasikan dan mengolah saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat yang disampaikan; 2) Menyampaikan rangkuman hasil saran, pendapat, dan tanggapan dari warga masyarakat serta respon dan sikap atas saran, pendapat, dan tanggapan warga masyarakat tersebut kepada Komisi Penilai AMDAL; 3) Menyediakan informasi tentang proses dan hasil keputusan penilai dokumen KA-ANDAL dan ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang berkepentingan; dan 4) Memfasilitasi terlaksananya dengan baik hak warga masyarakat atas informasi dan berperan serta dalam proses AMDAL.
2.3. Kewajiban Pemrakarsa. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
1) Mengumumkan rencana usaha dan/atau kegiatannya sebelum memul penyusunan dokumen AMDAL sesuai dengan ketentuan : a) Spesifikasi Media Pengumuman (1) Papan pengumuman di lokasi rencana usaha dan/atau kegiatan; (2) Papan pengumuman di lokasi-lokasi strategis yang ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di tingkat pusat atau daerah; dan (3) Media lain yang dianggap tepat dengan situasi setempat; misalnya brosur, surat, media cetak, dan/atau media etektronik b) Spesifikasi Tampilan Pengumuman. Spesifikasi tampilan pengumuman sesuai dengan ketentuan b) dalam butir 1) sub bab 2.2. c) Tata Cara Pengumuman. Tatacara pengumuman dijelaskan lebih lanjut dalam bab 3. 1) Menyelenggarakan konsultasi kepada warga masyarakat yang berkepentingan dalam penyusunan dokumen KAANDAL 2) Memberikan informasi mengenal dokumen, KA-ANDAL, ANDAL, RKL, dan RPL kepada warga masyarakat yang memerlukannya 3) Menanggapi saran, pendapat, dan tanggapan yang disampaikan oleh warga masyarakat yang berkepentingan
�� �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
lingkup (kriteria yang harus diperhatikan dalam menentukan) masyarakat terkena dampak dan tata cara penetapan wakil masyarakat terkena dampak yang duduk di Komisi Penilai Amdal.183 Selain ketentuan pada KepKaBapedal tersebut, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (KepMenLH No. 8 /2006) juga mengatur beberapa ketentuan terkait dengan pemenuhan akses informasi dan partisipasi masyarakat. Pada tahap awal yaitu Tahap Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), dalam pelaksanaan penyusunan KA ANDAL (proses pelingkupan) harus senantiasa melibatkan masyarakat dan para pakar meskipun pihak yang secara langsung terlibat adalah pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, dan penyusun studi ANDAL. Dokumen
KA-ANDAL
ini
memuat
wawasan
lingkungan
yang
harus
dipertimbangkan dalam pembangunan suatu rencana usaha atau kegiatan. Oleh karena itu, dokumen ini diharuskan menampung berbagai aspirasi tentang hal-hal yang dianggap penting oleh masyarakat, misalnya: fungsi ekosistem, pemilikan dan penguasaan lahan, kesehatan masyarakat, taraf hidup masyarakat, dan sebagainya.184 Tahapan yang cukup penting dalam penyusunan KA-ANDAL adalah proses pelingkupan untuk menentukan lingkup permasalahan dan dampak penting yang terkait dengan rencana usaha/kegiatan. Pada tahap ini akan ditentukan: dampak penting usaha/kegiatan terhadap lingkungan, lingkup wilayah studi ANDAL, batas waktu kajian, dan kedalaman kajian. Identifikasi dampak potensial diperoleh dari serangkaian hasil konsultasi dan diskusi dengan para pakar, pemrakarsa, instansi yang bertanggungjawab, masyarakat yang berkepentingan serta dilengkapi dengan hasil pengamatan lapangan 183
Ibid , Bag. 3 Lampiran. Beberapa criteria dalam menentukan masyarakat terkena
dampak adalah (a) karakter rencana usaha/kegiatan; (b) jenis isu pokok/dampak besar dan penting yang berkembang dalam masyarakat; (c) batas wilayah dampak yang ditetapkan dalam studi Amdal; (d) perkembangan hasil setiap tahapan proses pengkajian. Sedangkan untuk tata cara penunjukan perwakilan bagi kelompok masyarakat terkena dampak dalam Komisi Penilai Amdal adalah (a) wakil kelompok merupakan orang yang terkena dampak riil dari rencana usaha/kegiatan dan mendapat mandat dari kelompoknya; (b) bersedia menyuarakan semua bentuk aspirasi baik yang pro atau kontra (c) bersedia melakukan komunikasi secara rutin dengan kelompok yang diwakilinya. 184 Indonesia (j), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006, Lamp.1 huruf (a) angka (7).
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
(observasi). 185 Prosedur pelibatan masyarakat dalam proses AMDAL harus mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. 186 Proses pelingkupan, pengumuman, dan konsultasi publik harus didokumentasikan dan dicantumkan dalam lampiran dokumen KA-ANDAL. Pada tahap penyusunan dokumen ANDAL, pertimbangan terhadap masyarakat diatur dalam bagian penelaahan atas dampak penting yang akan ditimbulkan bagi lingkungan termasuk bagi masyarakat, kesenjangan antara perubahan yang diinginkan oleh masyarakat dengan perubahan yang mungkin terjadi akibat usaha/kegiatan. Pada tahap ini harus dimuat pada lampiran dokumen ANDAL tentang tanggapan pemrakarsa atas masukan tertulis yang diterimanya.187 Pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) tidak diatur secara spesifik bagaimana mendapatkan masukan dari masyarakat, meskipun dalam dokumen ini harus dipertimbangkan rencana pengelolaan lingkungan yang bersifat meningkatkan dampak positif untuk memberikan manfaat bagi masyarakat.188 Demikian pula pada tahap penyusunan dokumen Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL), tidak diatur pula bagaimana pelibatan masyarakat untuk menentukan rencana pemantauan, meskipun dalam dokumen tersebut harus memuat kegunaan pemantauan bagi masyarakat dan parameter yang harus dipantau terkait dengan masyarakat, misalnya kesehatan masyarakat.189 Berdasarkan uraian diatas, ketentuan untuk pemenuhan akses informasi dan partisipasi dalam tahap penyusunan KA-ANDAL lebih rinci dibandingkan dengan tahap penyusunan ANDAL, RKL, dan RPL. Padahal dokumen ANDAL, RKL, dan RPL merupakan dokumen yang lebih substantif yang berhubungan dengan keputusankeputusan yang penting.
185
Ibid , Lamp.1 huruf (a) angka (7) dan angka (8).
186
Ibid
187
Ibid , Lamp. II
188
Ibid , Lamp. III.
189
Ibid , Lamp. IV.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3.1.3.2. Akses Informasi dalam Penerbitan Izin Lingkungan Pengumuman permohonan izin lingkungan menjadi syarat prosedural yang harus dipenuhi oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sebelum menerbitkan izin lingkungan. 190 Dalam rangka pengambilan keputusan pemberian izin lingkungan bagi usaha/kegiatan wajib Amdal, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota wajib mengumumkan permohonan izin lingkungan setelah menerima permohonan tersebut. 191 Pengumuman dilakukan melalui multimedia dan papan pengumuman di lokasi usaha/kegiatan paling lama 5 hari kerja sejak dokumen Andal dan RKL/RPL dinyatakan lengkap secara administrasi. Terhadap pengumuman tersebut, masyarakat dapat memberikan saran, pendapat, atau tanggapan dalam jangka waktu 10 hari kerja sejak pengumuman dilakukan. Saran, pendapat, atau tanggapan dapat disampaikan pula melalui wakil masyarakat yang terkena dampak dan atau organisasi masyarakat yang menjadi Komisi Penilai Amdal.192 Dalam rangka pengambilan keputusan pemberian izin lingkungan bagi usaha/kegiatan wajib UKL/UPL, Menteri LH, Gubernur, dan Bupati/Walikota wajib mengumumkan permohonan izin lingkungan setelah menerima permohonan tersebut. Pengumuman dilakukan melalu multimedia dan papan pengumuman di lokasi usaha/kegiatan paling lama 2 hari kerja sejak formulir UKP/UPL dinyatakan lengkap secara administrasi. Masayarakat dapat memberikan saran, pendapat, dan tanggapan dalam jangka waktu 3 hari kerja sejak diumumkan. Saran, pendapat, dan tanggapan tersebut dapat diajukan secara tertulis kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. 193 Dalam hal perizinan, ketentuan yang ada telah mengatur agar pemerintah mengumumkan permohonan izin lingkungan melalui multimedia dan memberikan jangka waktu bagi masyarakat untuk menyampaikan masukan, saran dan pendapatnya. Namun peraturan yang ada tidak mengatur secara jelas bagaimana pemerintah harus merespon dan mempertimbangkanya dalam keputusan pemberian izin lingkungan.
190
Indonesia (h), op.cit, Ps. 47 ayat (2).
191
Ibid , Ps. 44.
192
Ibid , Ps. 45
193
Indoensia (d), op.cit , Ps. 46. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3.1.4. Standar Layanan Informasi Publik (Peraturan Komisi Informasi 1/ 2010)
UU KIP telah mengatur tentang hal-hal prinsip berkaitan dengan hak dan kewajiban serta tata cara untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajiban atas informasi publik. Hal-hal prinsip tersebut masih memerlukan penjabaran lebih lanjut agar pelaksanaan UU KIP optimal. Oleh karena itu, Komisi Informasi Pusat sebagai lembaga yang diberi wewenang untuk mengatur pelaksanaan UU KIP telah menyusun Peraturan Komisi Informasi No. 1 tentang Standar Layanan InformasiPublik (PERKI SLIP) yang disahkan pada tahun 2010. PERKI SLIP secara rinci menjabarkan lebih lanjut tentang:
1) ruang lingkup badan publik. UU KIP mendefinisikan badan publik berdasarkan sumber pendanaan; sepanjang mendapatkan dana dari APBN dan/atau APBD atau sumbangan masyarakat maka lembaga tersebut dapat disebut sebagai badan publik dan wajib menyediakan informasi publik. Selain lembaga-lembaga tersebut, UU KIP juga mengatur Partai Politik, BUMN/BUMD untuk menyediakan informasi-informasi tertentu sehingga keduanya dapat dikategorikan sebagai badan publik. PerKI 1/2010 kemudian menjabarkan ruang lingkup badan publik sebagai berikut: •
Lembaga eksekutif;
•
Lembaga legislatif;
•
Lembaga yudikatif;
•
Badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD;
•
Organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD atau sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri;
•
Partai Politik;
•
Badan Usaha Milik Negara (BUMN); �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
•
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD);
2) Kategorisasi informasi publik. UU KIP mengatur bahwa pada pokoknya informasi
publik
adalah
informasi
tentang
penyelenggara
dan
penyelenggaraan negara atau badan publik lainnya serta informasi yang menyangkut kepentingan publik. Informasi publik ini kemudian dijabarkan dalam 5 kategori yaitu: (i) informasi yang wajib diumumkan secara berkala; (ii) informasi yang wajib diumumkan secara serta merta; (iii) informasi yang wajib disediakan setiap saat jika ada permohonan informasi; (iv) informasi yang dikecualikan atau dirahasiakan; (v) informasi yang belum termasuk dalam kategori di atas namun dapat diminta oleh masyarakat (informasi berdasar permohonan). 194 Masingmasing kategori informasi tersebut kemudian dirinci lebih lanjut oleh PERKI 1/2010 melalui jenis-jenis informasi. 195 3) tata cara pengecualian informasi publik. UU KIP mengatur tentang pengecualian informasi baik dalam asas 196 maupun rincian konsekuensi 197
harm
yang
dijadikan
dasar
untuk
mengecualikan
informasi/mengkalsifikasikan rahasia. PERKI 1/2010 mengatur tata cara penetapan klasifikasi informasi yang dikecualikan mulai dari siapa yang menetapkan, bagaimana caranya, alasan yang diperbolehkan, dan prosedur penghitaman atau pengaburan yang harus dilakukan. Ketentuan ini kemudian wajib untuk dijabarkan dan diatur oleh setiap ba dan pubik.198 4) standar pelayanan informasi publik. Standar pelayanan informasi publik diatur dalam PERKI 1/2010 yang meliputi: (i) standar layanan informasi 194
Ibid , Ps. 9 –20.
195
Ibid , Ps. 11 – 18.
196
Ibid , Ps. 2 yang mengatur tentang asas pengecualian. Informasi publik yang
dikecualikan bersifat ketat dan terbatas serta tidak permanen berdasarkan UU, Kepatutan, dan setelah melalui pertimbangan konsekuensi dan kepentingan publik. 197
Ibid , Ps. 17 – 20. Pasal ini mengatur tentang rincian konsekuensi yang diperhatikan dalam mengklasifikasikan informasi yang dikecualikan. 198
Indonesia (k), Peraturan Komisi Informasi tentang Standar Layanan Informasi Publik, Peraturan Komisi Informasi No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, BN. No. 272 Tahun 2010, Ps. 16 –18.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
publik melalui pengumuman, (ii) standar layanan informasi publik melalui permohonan, (iii) kewajiban membuat maklumat pelayanan informasi, dan (iv) kewajiban penyusunan standar prosedur operasional la yanan informasi publik.199 5) tata cara pengelolaan keberatan. PERKI 1/2010 mengatur tentang bagaimana badan publik harus mengelola keberatan secara administrasi, objek keberatan, dan tanggapan atas keberatan. 200 6) laporan dan evaluasi pelaksanaan pelayanan informasi publik. Sebagai upaya untuk memonitor dan meningkatkan kualitas layanan informasi, PERKI 1/2010 juga mengatur tentang pelaksanaan laporan dan evaluasi di badan publik. Laporan tahunan dan hasil evaluasi disampaikan kepada komisi informasi yang berwenang.201 3.1.5. Pelayanan Informasi Publik di KLH (PERMENLH 6/2011)
PERMENLH 6/2011 merupakan pedoman bagi KLH untuk melaksanakan pelayanan informasi publik dibawah kewajiban UU KIP. Peraturan ini mengatur tentang: a) kategorisasi informasi publik; b) pelayanan informasi publik; c) penyelenggara pelayanan informasi publik; dan d) prosedur permohonan memperoleh informasi publik.
1) Ketegorisasi informasi publik. Peraturan ini mengkategotikan informasi publik sebagaimana dalam PERKI 1/2010 yaitu: a)
informasi yang disediakan dan diumumkan secara berkala;
b)
informasi yang diumumkan secara serta merta;
c)
informasi yang tersedia setiap saat; dan
d)
informasi yang dikecualikan.
Permasalahannya jenis-jenis informasi yang dikategorikan dalam beberapa kategori di atas tidak dijabarkan lebih lanjut sesuai dengan jenis-jenis informasi lingkungan. Jenis-jenis informasi di bawah kategorisasi informasi di atas diatur sama dengan jenis-jenis informasi dalam PERKI 1/2010 sehingga kurang
199
Ibid , Ps. 19 –29
200
Ibid , Ps. 30 –35.
201
Ibid , Ps. 36 – 37.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kontekstual dalam isu perlindungan dan pengelolaan LH. Demikian juga yang terjadi untuk pengaturan terkait dengan informasi yang dikecualikan.202
2) Pelayanan informasi publik. Pelayanan informasi publik di KLH merupakan bagian dari pelayanan terpadu. 203 Pelayanan informasi dilakukan melalui pengumuman dan layanan atas permohonan informasi. Ketentuan tentang pelayanan informasi ini tidak jauh berbeda dengan PERKI
1/2010
namun
terdapat
beberapa
penambahan,
misalnya
pengaturan tentang sumber informasi di KLH. Sumber utama informasi publik di KLH adalah unit kerja KLH. Sedangkan sumber penunjang informasi publik berasal dari lembaga pemerintah lainnya dan non pemerintah, yaitu:204 a)
instansi pemerintah lainnya;
b)
instansi yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup di provinsi atau kabupaten/kota;
c)
lembaga donor;
d)
perusahaan;
e)
lembaga negara non struktural;
f)
perguruan tinggi; dan/atau
g)
kelompok masyarakat peduli lingkungan hidup dan lembaga swadaya masyarakat.
3) Penyelenggara pelayanan informasi publik. Penyelenggara pelayanan informasi publik di KLH terdiri dari penanggung jawab, PPID, pejabat
202
Indonesia (l), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Pelayanan Informasi Publik di Kementerian Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 6 Tahun 2011, Ps. 5-9. Bandingkan dengan Indonesia ( k), op-cit , Ps. 11 –18. 203
http://www.menlh.go.id/peresmian-unit-pelayanan-terpadu/, diakses tanggal 1 Desember 2012. Unit Pelayanan Terpadu memberikan pelayanan di bidang perizinan yang pada tahap awal ini meliputi: izin lingkungan; izin pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan, penimbunan limbah B3, dan dumping; izin pembuangan air limbah ke laut; dan izin pembuangan air limbah melalui injeksi. Sedangkan pelayanan non-perizinan yang pada tahap awal ini meliputi: keputusan kelayakan lingkungan (AMDAL), rekomendasi UKL-UPL, rekomendasi pengangkutan B3, Limbah B3, dan impor limbah non-B3; notifikasi ekspor B3 dan limbah B3; rekomendasi ekspor limbah B3; keterangan registrasi impor dan produksi B3; dan pengaduan kasus lingkungan hidup. 204
Indonesia (l), op.cit, Ps.11.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
informasi, petugas meja informasi; dan juru bicara yang akan diangkat melalui Keputusan Menteri LH. Penyelenggara pelayanan informasi publik mempunyai tugas melakukan penyediaan informasi publik serta menjamin berfungsinya sistem informasi dan dokumentasi, aksesibilitas publik, dan keakuratan serta kebenaran informasi yang disampaikan kepada publik.205 4) Prosedur permohonan memperoleh informasi publik. Ketentuan ini mengatur tentang prosedur bagi masyarakat untuk mengakses informasi lingkungan di KLH melalui permohonan informasi dan prosedur bagi penyelenggara pelayanan informasi untuk memberikan layanan atas permohonan informasi tersebut.206 Sedangkan untuk layanan aktif (pengumuman) diatur dalam bagian ketentuan kategorisasi dan pelayanan informasi publik.207 Jika dikaitkan dengan ketentuan UU KIP dan PERKI 1/2010 peraturan ini tidak mengatur tentang permohonan informasi yang dilakukan secara lisan sebagai salah satu bentuk kemudahan akses yang diberikan. Jika ketentuan dalam PERMENLH 6/2011 kita bandingkan dengan UU KIP dan PERKI 1/2010 yang mengatur tentang standar minimum layanan informasi bagi badan publik secara nasional terdapat beberapa permasalahan, yaitu:
1) Ketentuan tentang jenis-jenis informasi publik di bawah kategorisasi informasi belum dijabarkan secara rinci dalam PERMENLH 6/2011. Rincian tentang jenis informasi dalam peraturan tersebut sebagian besar masih mengadopsi PERKI 1/2010 sehingga belum kontekstual dengan informasi-informasi lingkungan, misalnya dokumen izin lingkungan dan dokumen-dokumen pendukungnya, hasil monitoring penaatan perusahaan, laporan pelaksanaan RKL/RPL, dan sebagainya. 2) Ketentuan tentang standar pengumuman belum diatur secara rinci dalam menerjemahkan asas akses yang cepat dan sederhana, misalnya kapan 205
Ibid , Ps. 15.
206
Ibid , Ps 16 –19.
207
Ibid, Ps. 7, Ps. 10, dan Ps. 13
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
KLH harus mengumumkan untuk informasi-informasi tertentu dan bagaimana pengumuman tersebut agar mudah diakses atau diketahui oleh masyarakat. Sebagai contoh informasi tentang permohonan izin yang harus diumumkan berdasarkan UU PPLH diumumkan oleh KLH melalui website namun tidak mudah untuk diketahui karena berada pada submenu
atau halaman kedua. Seharusnya untuk informasi yang wajib diumumkan mendapatkan
prioritas
penempatan
yang
mudah
diketahui
oleh
masyarakat. Contoh lainnya adalah bagaimana standar pengaturan untuk permohonan secara lisan. Ketentuan dalam PERMENLH 6/2011 permohonan yang diajukan baru secara tertulis dan harus menandatangani surat pernyataan untuk tidak menyalahgunakan informasi untuk tujuan yang melanggar hukum. 3) Tidak diatur tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi. Salah satu prinsip penting dalam UU KIP dan PERKI 1/2010 sebagai standar nasional adalah adanya prosedur penyelesaian sengketa informasi secara cepat dan sederhana guna melindungi hak masyarakat. Oleh kerena itu, badan publik harus mengatur tentang prosedur keberatan sebagai penjabaran dari UU KIP dan PERKI 1/2010 yang memperjelas siapa atasan PPID yang bertanggungjawab untuk mengelola keberatan dan bagaimana cara mengajukan keberatan tersebut.208 3.2. Praktek Pemenuhan Akses Informasi di Bidang Lingkungan Hidup
Sejak berlakunya UU KIP maupun UU PPLH belum ada kasus terkait dengan pelanggaran pemenuhan akses informasi yang berujung di pengadilan. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang studi kasus longsornya overburden di Danau Wanagon (WALHI vs PT. Freeport Indonesia) untuk memotret bagaimana pengadilan memandang persoalan pemenuhan akses informasi lingkungan dan bagaimana kemungkinan yang akan terjadi jika kasus ini terjadi dibawah UU PPLH dari sudut pandang pengaturannya. Bagian ini juga akan menjelaskan studi kasus tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat akibat pembuangan tailing di dasar laut yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya. Meskipun kasus tersebut sempat dibawa ke pengadilan namun gugatan 208
Indoensia (k), op.cit, Ps. 38 ayat (2). �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
atau penuntutan yang dilakukan tidak mendasarkan pada pelanggaran pemenuhan akses informasi dan proses di pengadilan “diintervensi” oleh goodwill agreement antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Aburizal Bakrie selaku Menko Kesra dengan PT. Newmont Minahasa Raya yang menghentikan proses gugatan perdata pemerintah. Oleh karena itu, studi kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat ini dikaji untuk memotret bagaimana pengambil keputusan memandang persoalan pemenuhan akses informasi, partisipasi, dan pendekatan yang dilakukan dalam mengambil keputusan, termasuk kemungkinan yang terjadi jika kasus ini terjadi di bawah UU PPLH dari sudut pandang pengaturannya. Terakhir, pada bagian ini akan dikaji pula studi kasus sengketa informasi lingkungan di Komisi Informasi untuk menggambarkan bagaimana pemenuhan akses informasi lingkungan di bawah UU KIP. 3.2.1. Longsor Danau Wanagon (Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel: WALHI vs PT. Freeport Indonesia)
Praktek pemenuhan akses informasi dan bagaimana pengadilan memandang permasalahan ini dapat dikaji dari Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel atas perkara WALHI vs PT. Freeport Indonesia (PT.FI). Pada tanggal 4 Mei 2000 jam 21.30 WIT telah terjadi longsoran over burden yang merupakan limbah penambangan PT. FI di Danau Wanagon, Papua. Longsoran tersebut menyebabkan meluapnya material ( sludge, overburden dan air) ke sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah
Danau Wanagon. Peristiwa longsornya timbunan overburden ini merupakan peristiwa yang ketiga. Peristiwa pertama terjadi pada bulan Juni 1998 dan yang kedua pada bulan Maret 2000. Terhadap peristiwa tersebut, WALHI melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada PT.FI yang dianggap telah sengaja menutup-nutupi informasi, memberikan informasi yang salah dan tidak akurat ( misleading information) atas peristiwa longsornya batuan limbah (overburden ) di Danau Wanagon, Papua dan informasi yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan PT. FI. Selain itu, dengan
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
terjadinya peristiwa tersebut PT. FI dianggap tidak menjaga dan memelihara kelestarian lingkungan serta telah menurunkan kualitas lingkungan.209 Terkait dengan peristiwa longsornya overburden di Danau Wanagon, PT. FI dalam berbagai kesempatan telah menyampaikan pernyataan-pernyataan kepada publik sebagai berikut:
1) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyebutkan bahwa: “Sebuah sistem tanda bahaya yang telah dipasang bekerja dengan baik, dan telah menyiagakan seluruh masyarakat di desa Banti untuk menjauhi sungai”. 210
2) Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR RI pada tanggal 28 Juni 2000 yang menyatakan bahwa: “…banjir di Desa Banti (16 km dari Wanagon) yang tidak memakan korban jiwa karena alarm peringatan dini dibunyikan pada waktunya”. 211
3) Dalam siaran pers tanggal 5 Mei 2000 menyatakan: “Perlu dicatat, bahwa curah hujan yang terjadi berberapa hari sebelum kejadian, berkisar pada 40 mm/hari. Curah hujan tersebut adalah 4-5 kali dari keadaan normal, yang secara rata-rata berkisar 8 mm/hari”.
212
4) Dalam siaran pers tanggal 24 Mei 2000 disebutkan bahwa: ”……tidak ditemukan adanya ancaman terhadap kesehatan manusia serta kemungkinan dampak jangka panjang yang mungkin timbul dari kejadian tersebut”. 213
Menurut WALHI, beberapa pernyataan PT. FI di atas bertentangan dengan kesaksian masyarakat desa Banti, yang menyatakan bahwa mereka mengetahui datangnya banjir air dan lumpur dari bunyi gemuruh air dan bahwa sistem tanda bahaya atau peringatan dini baru berbunyi kira-kira 30 menit setelah banjir mencapai desa Banti.214 Walaupun tidak terdapat korban jiwa di desa Banti, namun tidak berfungsinya tanda 209
Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN.Jaksel, Bagian III. Kualitas Perbuatan Melawan Hukum Tergugat, No. 1 dan 2. 210
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 23.1.
211
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.2.
212
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.3.
213
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 23.4.
214
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.1.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
peringatan di lokasi longsor yang terakhir telah menyebabkan 4 orang dinyatakan hilang dan dipastikan telah meninggal. (Empat orang tersebut adalah pekerja sub kontraktor PT. FI).215 Sedangkan laporan Badan Meteorologi dan Geofisika menyatakan bahwa pada bulan tersebut (pada saat kejadian longsor ketiga) curah hujan normal. PT. FI juga telah menjadikan curah hujan yang tinggi pada saat longsor yang pertama sebagai penyebab kejadian, padahal berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan oleh konsultan investigasi yang di sewa oleh perusahaan, Call & Nicholas, Inc ditemukan bahwa curah hujan di tempat pembuangan limbah antara tanggal 8 – 20 Juni 1998 berkisar pada 0 – 22 mm, dengan rata-rata 9 mm (berada pada kisaran normal).216 Berdasarkan laporan studi ANDAL regional tahun 1997, kegiatan membuang batu limbah ke danau tersebut akan menimbulkan tumpukan batuan limbah setinggi 500 m yang memiliki kemiringan dan mengakibatkan tertutupnya permukaan danau seluas 5,5 km x 2 km. Di samping itu, batuan limbah tersebut mengandung pirit (senyawa besi sulfide/FeS2) yang bila terkena udara luar akan terosidasi menjadi senyawa asam sulfat. Demikian pula jika terjadi rembesan air, maka akan terjadi aliran air yang bersifat asam berkandungan tembaga yang disebut Air Asam tembaga (AAT) atau Air Asam Bantuan (AAB). Disamping itu, karena mengandung logam berat tembaga dan alumunium dapat mempercepat proses pelarutan bila terkena AAT dan bersifat sangat toksik (beracun) bagi makhluk hidup. Jika masuk kedalam tubuh, logam-logam berat akan mengalami bioakumulasi atau tinggal di dalam jaringan hidup, dan dapat berpindah-pindah melalui rantai makanan. Di dalam tubuh manusia, Tembaga (Cu) dapat mengakibatkan depresi, mempengaruhi fungsi hati dan ginjal serta menimbulkan ganguan pada pembuluh darah. Untuk menetralisir keasaman ATT, Freeport melakukan penambahan batuan gamping (CaSO4) yang selanjutnya menyebabkan timbulnya endapan gypsum (CuSO4) yang merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (limbah B3) di dasar danau. 217 Laporan hasil investigasi Bapedal terhadap longsor yang terjadi pada bulan Juni 1998 menyatakan bahwa kejadian pada tanggal 22 Juni 1998 disebabkan kesalahan prosedur berupa aktifitas dumping yang berlebihan sehari sebelumnya. Hal ini diperkuat 215
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.2.
216
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, 24.5. Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 12-15 dan Angka 26.2. dan Bagian Tentang
217
Pertimbangan Hukum, Dalam Pokok Perkara, paragraf 4.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
oleh hasil penyelidikan oleh konsultan Call & Nicholas, Inc diketahui bahwa jumlah limbah yang dibuang pada tanggal tersebut adalah sekitar 80.000 ton/hari, di mana batas jumlah pembuangan batuan limbah adalah tidak melebihi 50.000 ton/hari. Besarnya tingkat pembuangan ini sangat memungkinkan menimbulkan dampak yang berbahaya. Di dalam laporan studi Andal, Freeport telah mengatakan bahwa kondisi danau Wanagon sangat rentan terhadap terjadinya kecelakaan.218 Berdasarkan kronologi dan fakta diatas, WALHI menuntut agar Majelis Hakim memerintahkan PT. FI untuk melakukan permintaan maaf dan mengklarifikasi kesalahan informasi yang telah disampaikannya kepada publik melalui beberapa media cetak dan elektronik.219 Terhadap tuntutan tersebut, Majelis Hakim berpendapat dalam pertimbangan hukumnya, sebagai berikut:220
“1). Menyatakan bahwa PT. FI telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan menutup-nutupi dan memberikan informasi yang menyesatkan (misleading
information)
terkait
dengan
peristiwa
longsornya
overburden di Danau Wanagon;
2) Menyatakan bahwa dasar gugatan WALHI adalah gugatan organisasi lingkungan yang ditujukan untuk upaya pelestarian lingkungan hidup yang terbatas pada biaya yang telah dikeluarkan dan tindakan tertentu bagi pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, Majelis Hakim berpendapat bahwa tuntutan primair WALHI agar PT. FI meminta maaf dan mengklarifikasi informasi yang salah dan telah diberikan kepada publik melalui media cetak dan elektronik bukanlah tindakan yang substansial (tindakan tertentu dalam UU PLH) bagi upaya pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan pada tuntutan subsidair WALHI menyatakan apabila hakim berpendapat lain maka diminta untuk memutuskan seadil-adilnya ( ex aquo et bono ). Berdasarkan 218
Ibid , Bagian II. Fakta-Fakta Hukum, Angka 24.6.,
219
Ibid , Bagian VI. Petitum, Primer angka 3.
220
Ibid , dan Bagian Tentang Pertimbangan Hukum, Dalam Pokok Perkara.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pertimbangan ini, Majelis Hakim kemudian menolak tuntutan primair dan menggunakan dasar tunututan subsidair ( ex aquo et bono) untuk menjatuhkan perintah kepada PT. FI agar berupaya semaksimal mungkin meminimalisir resiko terjadinya longsor overburden yang dibuang ke Danau Wanagon dan upaya semaksimal mungkin agar limbah yang terdiri dari Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang ditimbulkan dari overburden tersebut dapat ditekan seminimal mungkin hingga mencapai baku mutu air yang baik bagi Danau Wanagon serta sungai yang dialirinya.” Dari pertimbangan putusan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Upaya menutupi informasi yang sebenarnya dengan cara menghambat memberikan
informasi
menyesatkan
telah
menyembunyikan
maupun
menjadi dampak
memberikan
informasi
yang
motif
bagi
pelaku
usaha
untuk
negatif
dari
usaha/kegiatan
yang
dilakukannya bahkan untuk melepaskan diri dari pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukan; 2) Hakim belum melihat bahwa tindakan untuk membuka informasi (disclosure information) dan mencegah pemberian informasi yang menyesatkan
(misleading information) merupakan bagian dari
tindakan yang substantif atau penting dalam upaya pelestarian lingkungan
hidup.
Pandangan
seperti
ini
berpotensi
untuk
memperlemah efek jera dari para penghambat informasi lingkungan dan pelaku usaha yang telah memberikan informasi yang menyesatkan. Dengan kata lain, hakim masih memandang bahwa tindakan membuka informasi serta memberikan informasi secara benar dan akurat bukanlah suatu pelanggaran yang serius dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Jika kasus serupa terjadi di bawah UU PPLH, bagaimana kemungkinan yang akan terjadi dilihat dari sudut pandang ketentuan yang ada. Pertama, upaya pelaku usaha untuk menyembunyikan informasi tentu akan selalu terjadi
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
mengingat
sudah
menjadi
kepentingan
mereka
untuk
menghindari
pertanggungjawaban. Kepentingan ini akan terus terjadi jika ketentuan untuk memastikan agar pelaku usaha mempunyai sistem informasi termasuk peringatan dini tidak cukup kuat. UU PPLH sendiri hanya mewajibkan pelaku usaha untuk memberikan informasi dini dalam rangka penanggulangan pencemaran atau perusakan. Namun bagaimana kewajiban ini dijalankan belum ada pengaturan lebih lanjut sebagai standar minimum yang harus digunakan oleh pelaku usaha. PERKI 1/2010 mengatur kewajiban badan publik (yang melaksanakan kegiatan terkait hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, melakukan perjanjian kerja, dan memberikan izin) untuk memiliki standar pengumuman dan memastikan agar pihak di bawah kewenangan mereka (yang menjalankan pekerjaan, atau menerima izin) melaksanakan standar pengumuman tersebut. 221 Namun kewajiban badan publik untuk memastikan ketaatan pihak swasta di bawah otoritasnya ini hanya untuk kategori informasi yang wajib diumumkan serta merta saja. Kedua, UU PPLH dan UU PLH tidak mengatur ketentuan pemenuhan
akses informasi secara sistematis dan komprehensif sebagaimana dijelaskan pada Bab II. Kondisi ini tidak akan membantu hakim dalam membuat penafsiran yang baik. Misalnya, jika dasar pertimbangan hakim yang digunakan sama yaitu tafsir bahwa alasan gugatan organisasi lingkungan adalah untuk kepentingan pelestarian lingkungan saja tanpa ada pengaturan yang sistematis dan komprehensif, maka akan terbuka peluang bagi hakim untuk menafsirkan bahwa pemenuhan akses informasi bukan merupakan esensi dari kepentingan pelestarian lingkungan. Ketiga, persoalan dalam contoh kasus di atas tidak hanya terletak pada
pengaturan yang ada, melainkan juga bagaimana hakim melihat hubungan pemenuhan akses informasi dengan pelestarian lingkungan. Oleh karena itu, untuk menjawab apakah pemenuhan akses informasi merupakan substansi dari kegiatan pelestarian lingkungan hidup maka harus analisa secara sistematis ketentuan keduanya. Berbeda dengan pertimbangan hukum dalam putusan tersebut, tanpa 221
Indonesia (k), op.cit, Ps. 12.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
adanya penafsiran sistematika terlebih dahulu, hakim langsung berpendapat bahwa tuntutan penggugat terkait dengan koreksi atas informasi yang disampaikan oleh PT FI bukanlah substansi da ri pelestarian lingkungan.222 3.2.2. Dugaan Pencemaran Teluk Buyat oleh PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR)
Kegiatan penambangan emas PT. Newmont Minahasa Raya (PT. NMR) yang berlokasi di Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara telah beroperasi sejak bulan Maret 1996 hingga 31 Agustus 2004. Selama beroperasi, PT. NMR menghasilkan limbah tailing yang pembuangannya dilakukan dengan memanfaatkan dasar laut di Teluk Buyat sebagai media untuk menempatkan tailing (Submarine Tailing Disposal – STD). Penempatan limbah tailing dilakukan pada kedalaman 82 meter pada jarak sekitar 900 meter dari Pantai Buyat melalui pipa dengan diameter dalam ± 20 cm dengan asumsi bahwa di atas kedalaman tersebut terdapat termoklin sehingga tailing yang dibuang tidak menyebar/terdeposisi ke permukaan maupun seluruh kolom air. 223 Metode STD yang dilakukan oleh PT. NMR ini telah memunculkan pro dan kontra terkait dengan keamanan bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat sekitar Teluk Buyat. PT. NMR dengan beberapa ahli-nya serta Departemen Energi dan Sumber Daya Alam mendukung metode STD yang dianggap aman bagi lingkungan hidup maupun masyarakat karena ditempatkan di bawah termoklin sehingga tailing tidak tersebar ke permukaan (terdeposisi). Namun para LSM lingkungan dengan beberapa ahlinya dan Kementerian Lingkungan Hidup berpendapat bahwa metode STD beresiko bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat. Banyak faktor yang belum d apat dipastikan terkait dengan keamanan tersebut mengingat laut di Indonesia sangat dinamis. Percampuran dan sirkulasi arus selalu terjadi melalui proses yang berskala besar seperti arus global, pasang surut ataupun yang lebih kecil lagi seperti angin, internal waves disamping kemungkinan terjadi upwelling dan tsunami akibat gempa.224
222
Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN. Jak-Sel, Pertimbangan Hukum, hal. 54
223
Dokumen Andal PT. NMR, 1994, hal. 3-37
224
Laporan Penelitian : Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI, Jakarta, 2004, Pengantar. �� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Pada pertengahan tahun 2004 muncul dugaan pencemaran lingkungan hidup di Teluk Buyat dan Teluk Totok Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Berbagai media massa memberitakan adanya dugaan pencemaran tersebut yang berdampak pada kesehatan masyarakat, khususnya penduduk Desa Buyat Pantai. Merespon dugaan pencemaran tersebut dan atas desakan masyarakat, Pemerintah melalui Menko Kesra dan KLH melakukan kajian yang kemudian menyimpulkan bahwa adanya kecenderungan peningkatan konsentrasi bahan pencemaran seperti logam Arsen (As) dan Merkuri (Hg) di dalam air laut, serta konsentrasi logam berat dalam sedimen cukup tinggi.225 Secara histori, sejak awal rencana beroperasi PT. NMR telah terjadi penolakan baik dari kalangan masyarakat maupun LSM yang menghawatirkan dampak dari operasi penambangan PT. NMR, khususnya dari aktifitas pembuangan tailing ke laut. Sebagai nelayan, masyarakat sekitar memiliki ketergantungan yang cukup tinggi terhadap laut di perairan Teluk Buyat. Jaringan Ornop di Manado maupun Sekretariat Nasional Walhi juga telah menyampaikan keberatan pada tahap pembahasan AMDAL di Komisi AMDAL Pusat terkait dengan rencana pembuangan limbah tailing ke laut karena dianggap mengandung resiko yang besar. Pendapat tersebut mendasarkan pada pengalaman di berbagai negara lain dimana belum ada jaminan kepastian ilmiah bahwa langkah-langkah PT. NMR membuang limbah di laut adalah langkah yang aman. Namun pendapat tersebut tidak diakomodir oleh Komisi AMDAL Pusat maupun pemerintah.226 Sejak beroperasinya PT. NMR pada bulan Maret 1996, nelayan setempat sering menemukan ratusan ikan yang mati dan kadang diikuti air laut yang berbau dalam radius beberapa ratus meter dari pipa pembuangan tailing yang ditanam dalam kedalaman 82M. Hingga pada bulan Juli-Agustus 1997 nelayan menemukan banyak ikan mati tidak hanya ikan laut permukaan tapi juga ikan laut dalam. Masyarakat juga mengeluh atas berkurangnya hasil tangkapan mereka sejak beroperasinya penambangan PT. NMR. Kejadian tersebut menimbulkan keresahan bagi nelayan dan LSM karena melihat hal ini
225
Ibid , hal 18
226
Surat YLBHI No. 613/SK/YLBHI/VIII/1997 tentang Penyelesaian Kasus Pencemaran di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi Utara dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
�� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
sebagai indikasi alamiah terjadinya gangguan ekosistem/pencemaran. Sayangnya pihak Bapedal, Pemda, perusahaan, dan Universitas setempat saat itu tidak terbuka terkait dengan persoalan ini. Masyarakat dan LSM mengalami kesulitan untuk mendapatkan hasil penelitian atau pemantauan tentang limbah tailing PT. NMR maupun hasil pemantauan rutin yang dipersyaratkan dalam Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang terdapat dalam dokumen Amdal. 227 Bahkan 35 kepala keluarga yang telah mempersoalkan matinya ikan-ikan tersebut mendapatkan intimidasi dari aparat keamanan dan dituding telah menghambat pembangunan.228 Baru pada bulan April 2000, PT. NMR mengajukan surat permohonan untuk pembuangan tailing di bawah laut. Sebelum permohonan tersebut diajukan, telah terdapat beberapa pertemuan dan diskusi antara Bapedal dengan PT. NMR namun tidak melibatkan unsur masyarakat maupun LSM. Dari hasil pertemuan tersebut, PT. NMR berkomitmen untuk membuat Ecological Risk Assessment (ERA) terkait dengan pembuangan limbah tailing di dasar laut. 229 Terhadap surat tersebut, Kepala Bapedal kemudian merespon dengan surat yang menyatakan bahwa PT. NMR diperkenankan untuk membuang limbah tailing ke Teluk Buyat dengan beberapa ketentuan yang diatur dalam surat Kepala Bapedal tersebut yaitu: 1) baku mutu yang harus ditaati; 2) membuat ERA yang harus diselesaikan dalam waktu 6 bulan; 3) melaporkan hasil ERA setiap bulan kepada Bapedal, Menteri Pertambangan dan Energi, Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara dan instansi terkait lainnya.230 Surat tersebut keluar berdasarkan hasil pertemuan dan kajian Tim Kerja Evaluasi Pengelolaan Tambang PT. NMR yang beranggotakan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan Departemen
227
Ibid
228
Surat YLBHI No. 790/SK/YLBHI/XII/1996 tentang Permohonan Hasil Penelitian Tim Bapedal di Teluk Buyat dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 229
Surat PT. NMR No. 121/IV/RN/NMR/2000 tentang Permohonan Izin Penempatan Tailing di Bawah Laut dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, tanpa tahun. 230
Surat Kepala Bapedal No. 1456/BAPEDAL/07/2000 tentang Pembuangan Limbah Tailing ke Teluk Buyat, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Eksplorasi Laut dan Perikanan. 231 Belakangan Surat Kepala Bapedal tersebut yang kemudian dipersepsikan sebagai izin STD oleh PT. NMR. Perdebatan soal resiko atas pembuangan limbah tailing terus berlanjut. PT. NMR merasa bahwa praktek STD selama ini tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Namun demikian, hasil penelitian beberapa pihak seperti Bappedal, Tim Independen, dan PSL Universitas Sam Ratulangi menunjukkan ada perubahan bentang dasar laut ( bathimetry) yang mempengaruhi ekosistem Teluk
Buyat. Sedangkan laporan dari WALHI telah terjadi gangguan
kesehatan masyarakat Teluk Buyat berupa kejang-kejang, pingsan, dan gangguan syaraf. 232 Terhadap hasil penelitian dan laporan WALHI tersebut maka PT. NMR melakukan kajian terhadap kualitas air laut melalui Laboratorium Analitikal Sejahtera Lingkungan Indonesia (ASL Indonesia) yang merupakan laboratorium lingkungan independen dan berpusat di Australia dan pemeriksaan terhadap kesehatan masyarakat yang dilakukan oleh Dokter AEA/ISOS yang bertugas di klinik perusahaan. Hasil kajian kualitas air laut dan pemeriksaan kesehatan masyarakat tersebut menyimpulkan bahwa tidak terjadi adanya pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat.233 Berdasarkan perbedaan hasil penelitian tersebut, pemerintah membentuk Tim Pakar untuk melakukan verifikasi. Hasil sementara verifikasi menyimpulkan bahwa belum terjadi pencemaran di Teluk Buyat karena kajian-kajian yang dilakukan oleh Bapedal, Tim Independen, dan PSL Samratulangi dianggap secara prosedur dan substansi kurang lengkap, metode penelitian belum memenuhi syarat, acuan dan penguasaan oseanologis maupun oseanografi kurang memadai, dan parameter yang dikaji kurang lengkap. 234 Namun demikian, laporan hasil sementara tim verifikasi juga memberikan catatan bahwa hasil tersebut belum konklusif mengingat materi/bahan studi masih 231
Notulensi Hasil Pertemuan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tanggal 11 April 2000. Baca pula Memorandum tentang Telaah STP PT. NMR 232
TOR Investigasi Pencemaran Perairan Teluk Buyat oleh Limbah Tailing PT.NMR, WALHI, 7 Agustus 2000. 233
Hasil Analisa Lab Kualitas Air Laut, PT. NMR, September 2000.
234
Surat Menteri ESDM No. 5167/28/MEM.P/2000 tentang Hasil verifikasi terhadap penelitian dampak penempatan tailing PT.NMR, 21 Desember 2000.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
memiliki kelemahan. Oleh karena itu, masih diperlukan 3 studi untuk memahami hubungan perubahan ekosistem dengan kesehatan masyarakat yaitu: (1) Environmental Risk Assessment; (2) Human Health Risk Assessment; (3) Studi Kohort Kesehatan Masyarakat. Selain itu, Tim Verifikasi juga merekomendasikan untuk dikaji ulang keputusan penempatan ujung pipa limbah tailing pada kedalaman 82 meter karena penentuan kedalaman seharusnya didasarkan atas studi tentang arus dan lapisan termoklin pada musim hujan, musim kemarau, peralihan musim hujan ke kemarau, dan peralihan musim kemarau ke hujan. 235 Hasil kajian dan rekomendasi diatas tidak pernah dipublikasikan dan dibahas tindak lanjutnya dengan WALHI sebagai pengusul. Bahkan hasil kajian dan rekomendasi tersebut disampaikan berbeda kepada masyarakat oleh Kanwil ESDM Sulawesi Utara dan PT. NMR.236 WALHI dan JATAM juga melaporan hasil pemerikasaan terhadap darah 20 orang sekitar Teluk Buyat yang menunjukkan bahwa kadar logam merkuri (Hg) dan arsen (As) telah melampaui nilai toleransi acuan (reference range speciality laboratories, Michingan, AS). Pemeriksaan tersebut dilakukan di Laboratorium Santa Monica, AS.
237
Pertemuan pembahasan ERA PT. NMR tanggal 31 Januari 2001 yang dihadiri oleh unsur pemerintah, ahli, dan perguruan tinggi menyimpulkan sementara bahwa para ahli menyatakan kajian ERA PT. NMR belum layak diterima terutama mengenai input data sebagai dasar kajian ERA yang mendasarkan pada data sekunder yang kualitasnya meragukan. Sedangkan pendekatannya sudah tepat. 238 Kemudian, pada bulan Februari 2001 Kepala Bapedal membentuk Tim ERA Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat oleh PT. NMR. Dalam SK Pembentukan Tim ERA tersebut dicantumkan unsur interested parties, namun tidak ditemukan data siapa yang duduk sebagai unsur interested parties. Interested parties bertugas memberikan masukan yang menunjang pengambilan
kebijakan. Interested parties adalah masyarakat yang berkepentingan dengan dampak
235
Hasil Studi Desktop Untuk Verifikasi Masalah Pencemaran oleh PT. NMR di Teluk Buyat, Desa Ratatotok, Kab. MInahasa, Sulawesi Utara, Jakarta, 7 Desember 2000, hal 2-8 236
Surat WALHI Eknas No.(tanpa nomor)/DE/WALHI/I/2001 tentang Hasil Analisa Sampel Darah Masyarakat Teluk Buyat. 237
Ibid
238
Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kegiatan dan memiliki kemampuan dalam mengambil tindakan serta memitigasi pencemaran di laut.239 Pada rapat pembahasan studi ERA PT. NMR tanggal 29-30 Maret 2001 yang dihadiri oleh PT.NMR, Bapedal, dan para ahli menyimpulkan ada beberapa pertanyaan yang harus diklarifikasi oleh PT. NMR namun Bapedal tidak mengambil sikap apakah menolak atau menerima studi ERA yang ada, sebelum pertanyaan-pertanyaan tersebut diklarifikasi oleh pihak PT. NMR.240 Pada tanggal 16 Maret 2001, WALHI mengirimkan surat kepada Menteri ESDM yang mempertanyakan Surat Menteri ESDM No. 5167/28MEM.P/2000 tentang Hasil verifikasi terhadap penelitian tentang dampak penempatan tailing PT.NMR dan kejelasan proses serta hasil verifikasi pencemaran Teluk Buyat. Dalam surat Menteri ESDM yang ditujukan kepada MENLH tersebut tidak menyampaikan hasil verifikasi tim independen secara utuh dimana hanya memuat informasi sebagian dari pendapat tim verifikasi yaitu tentang pendapat tim yang menyatakan bahwa dalam temuan fakta WALHI masih terdapat prosedur dan substansi yang kurang diteliti, metode, dan acuan ilmu oseanografi yang digunakan. Padahal tugas tim verifikasi tidak hanya mengomentari soal temuan fakta WALHI melainkan menguji apakah betul terjadi pencemaran atau tidak dan apa rekomendasinya (salah satu rekomendasinya adalah menetapkan baku mutu Teluk Buyat, kedudukan
pipa
serta
termoklin
yang
dianggap
masih
meragukan).
WALHI
menyampaikan keberatan bahwa surat yang memuat informasi tidak utuh tersebut akhirnya digunakan oleh PT.NMR untuk menyampaikan informasi tidak benar di masyarakat melalui media massa bahwa tidak terjadi pencemaran di Teluk Buyat.241 Untuk memperkuat masukan terkait dengan STD, JATAM melaksanakan International Conference on Submarine Tailing Disposal yang menghadirkan berbagai
stakeholder dari pemerintah daerah, pemerintah pusat, ahli, dan LSM dari beberapa
239
Draft SK Kepala Bapedal No…./Bapedal/02/2001 tentang Pembentukan Tim Ecological Risk Assessment Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat PT. Newmont MInahasa Raya, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 240
Notulensi Hasil Rapat Studi ERA, 29-30 Maret 2001, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementeri an Lingkungan Hidup, 1994-2002. 241
Surat WALHI No. 812/DE/WALHI/3/2001 tentang Kejelasan Proses Verifikasi dan Klarifikasi Surat Menteri ESDM
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
negara di Asia Pasifik, Kanada, Amerika Serikat, dan Eropa. 242 Beberapa topik yang menarik terkait dengan konferensi tersebut adalah tentang penggunaan standar di USA yang tidak memungkinkan praktek STD berdasarkan Clean Water Act serta penolakan izin STD oleh pemerintah Philipina.243 Selain itu dalam beberapa literatur hasil konferensi tersebut disampaikan pula pentingnya analisa terhadap regulasi terkait dengan ketentuan effluent maupun ambien, pelibatan masyarakat, dan penilaian dampak melalui predictive modeling dan ERA. Pelibatan masyarakat harus dilakukan sejak awal dengan
mengikutsertakan sebagai bagian dari tim review untuk mengambil keputusan tetang kriteria dan dampak STD secara transparan. Hal ini akan mengefektifkan pengambilan keputusan kerena meminimalisir pertentangan terhadap keputusan yang telah diambil. 244 Pada bulan Juni 2004, Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Teluk Buyat, Manado oleh Sarpedal KLH menyimpulkan ada beberapa permasalahan terkait dengan kondisi lingkungan di Teluk Buyat, yaitu: (1) sistem STD pada perairan dangkal berpotensi menimbulkan masalah mengingat tailing dapat terbawa ke permukaan oleh aktivitas arus dan gelombang laut; (2) tailing yang dibuang ke laut tersebut dapat menutupi organisme bentik (organisme dasar laut) dan menimbulkan kekeruhan air selama aktivitas penambangan dimana diperlukan waktu yang cukup lama untuk memulihkan kondisi tersebut; (3) Terdapat konsentrasi As dan Hg yang tinggi dalam rantai makanan laut di Teluk Buyat; (4) berdasarkan hasil pengukuran bathimetry menunjukkan bahwa tinggi gundukan pada lereng datar yang telah mencapai kedalaman sekitar 73 m dari permukaan air laut; (5) Keberadaan termoklin di Teluk Buyat masih menjadi perdebatan, dalam beberapa studi termoklin ada 2 sifatnya, yaitu permanen dan sementara. Dalam perairan dangkal termoklin bersifat sementara sehingga berdasarkan penelitian Sarpedal bersama dengan BPPT di beberapa titik, khususnya daerah lokasi pipa pembuangan tailing di perairan Teluk Buyat dinyatakan tidak terdapat termoklin.245
242
Surat Jatam tertanggal 17 April 2001 atas klarifikasi PT. NMR tertanggal 17 April 2001 tentang Konferensi Internasional STD, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 243
Surat Jatam kepada MENLH tertanggal 30 Mei 2001 dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya, Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002. 244
Patricia McGrath, “Discharge Permitting and Environmental Assessment Issues Associated with Submarine Tailing Disposal for the Alaska-Juneau Mine Project”, USEPA, Washington, 1998, hal 5-11 245
Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Derah Pertambangan PT. NMR, Sarpedal KLH, Jakarta, 2004 hal 1-9 ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
PT. NMR kemudian memberikan tenggapan atas Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan Teluk Buyat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh konsultan PT. NMR menyimpulkan beberapa temuan: (1) bahwa tailing bisa tertahan agar tidak terdeposisi ke permukaan jika dibuang dibawah lapisan termoklin serta tergantung pada sifat fisik tailing dan arus laut di mana arus laut di perairan Teluk Buyat ti dak cukup kuat membawa tailing ke permukaan. Selain itu, tailing yang dibuang tidak tersuspensi di kedalaman dan tidak ada pelepasan logam dari tailing yang mengendap, maka ketiadaan termoklin tidak mengakibatkan dampak lingkungan apapun bagi laut dangkal maupun dalam. (2) Mengenai konsentrasi Hg dan As yang cukup tinggi, hasil penelitian PT. NMR menunjukkan bahwa konsentrasi tersebut tidak setinggi hasil studi Sarpedal. Hal ini diperkirakan karena perbedaan pengambilan sub-sample dan atau teknik analisis dalam studi Sarpedal yang tidak konsisten. Studi PT. NMR juga menunjukkan bahwa tailing secara geokimiawi bersifat stabil tanpa adanya pelapasan logam di atas sedimen alamiah di daerah tersebut. Oleh karena itu, tanpa adanya konsentrasi Hg dan As dalam pengendapan tailing maka tidak ada dampak dari tailing terhadap mutu air karena logam dari partikel-partikel tailing tidak akan terl arut. Hg dan As tersebut diduga memang sudah berada di alam. Pada bulan Juni 2004, PT. NMR sesuai dengan rencana akan mengakhiri produksinya. WALHI, Jatam, dan ELSAM menuntut kepada MENLH untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran lingkungan, kesehatan dan kehilangan mata pencaharian masyarakat sekitar akibat beroperasinya PT. NMR. Mereka menyayangkan atas tindakan pemerintah yang tidak tegas terhadap aspirasi yang selama ini disampaikan oleh masyarakat hingga PT. NMR mengakhiri aktivitas pertambangan (tutup tambang). Puncak dari konflik atas aktivitas penambangan PT. NMR adalah munculnya isu “Lebih dari 100 warga Buyat Menderita Penyakit Minamata” yang dirilis oleh Yayasan Kelola Sulawesi Utara dan LBH Kesehatan. Berdasarkan sejumlah data yang dihimpun dari para dokter kesehatan masyarakat dari Universitas Sam Ratulangi terdapat gejala penyakit minamata yang dialami oleh masyarakat bahkan menyebabkan meninggalnya Andini Lenzun bayi yang berusia 5 bulan. Perdebatan mengenai masalah pencemaran dan kesehatan masyarakat termasuk penegakan hukumnya tersebut terus berkembang baik di tingkat lokal maupun nasional.246
246
Kliping Harian Kompas, 20 Juli – Agustus 2012
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Pemerintah kemudian melalui Keputusan MENLH No. 97 Tahun 2004 membentuk Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Totok Timur Kabupaten Minahasa Selatan Provinsi Sulawesi Utara. Tim tersebut terdiri dari berbagai ahli disiplin ilmu dari instansi pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, dan LSM. Tim tersebut bertugas untuk melakukan kajian yang didasarkan pada berbagai hasil penelitian yang ada untuk memberikan masukan bagi MENLH dalam mengambil kebijakan untuk penyelesaian kasus dugaan pencemaran lingkungan di Teluk Buyat. Dari hasil kajian ini kemudian Pemerintah mengambil tindakan untuk melakukan penegakan hukum baik secara pidana melalui Kepolisian maupun secara perdata melalui gugatan pemerintah (MENLH). Penegakan hukum pidana melalui penyidikan oleh Kepolisian dan Penuntutan Jaksa pada tingkat pertama, Pengadilan Negeri Manado pada tanggal 24 April 2007 melalui majelis hakim yang diketuai Ridwan Damanik memutuskan bahwa PT. NMR maupun Presiden Direktur PT. NMR Richard B. Ness dinyatakan tidak bersalah dan dijatuhi putusan bebas.247 Terhadap putusan ini Jaksa Penuntut Umum tidak mengajukan upaya kasasi. Sedangkan gugatan perdata MENLH telah kandas lebih awal dengan putusan PN Jakarta Selatan yang menyatakan tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan karena seharusnya ditempuh melalui jalur arbitrase sesuai dengan Kontrak Karya. 248 Terhadap putusan ini MENLH tidak melakukan upaya hukum apapun baik banding maupun kasasi. Ditengah-tengah proses penegakan hukum di atas, Pemerintah melalui Menkokesra pada tanggal 16 Februari 2006 membuat perdamaian ( Goodwill Agreement ) dengan PT. NMR melalui Komisaris PT. NMR Robert J. Gallagher. Melalui kesepakatan tersebut PT. NMR akan menggelontorkan dana US$ 15 juta kepada pemerintah Indonesia selama 10 tahun untuk program pengembangan masyarakat dan pemantauan lingkungan di Sulawesi Utara. Goodwill agreement ini mendapat kritik dari berbagai pihak karena:
1) Goodwill agreement mempertegas pengakuan bahwa aktivitas PT. NMR tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan masalah kesehatan termasuk dimasa yang akan datang.249 Pengakuan tentang 247
Putusan No. 284/Pid.B/2005/PN.Mdo
248
Putusan Sela Nomor 94/PDT.G/2005/PN Jak-Sel tertanggal 15 November 2005.
249
Pembukaan Goodwill Agreement, 16 Februari 2006 ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
hal ini sangat tidak etis karena menyederhanakan persoalan yang telah ada dan mengakui sesuatu yang belum terjadi. 2) Pendekatan yang digunakan dalam melakukan pemantauan terhadap dampak lingkungan sangat linier dengan membentuk tim Panel Ilmiah Independen yang terdiri dari tiga pakar. Tim tersebut akan melakukan kajian untuk membuktikan apakah telah terjadi dampak buruk terhadap lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah mereduksi persoalan lingkungan dan kesehatan masyarakat di Teluk Buyat yang kompleks dengan pendekatan yang sederhana. Banyak hasil penelitian dari multidisiplin ilmu yang muncul selama perdebatan tentang dugaan pencemaran dan gangguan kesehatan masyarakat termasuk hasil kajian Tim Terpadu yang dibentuk pemerintah sendiri. Namun melalui Goodwill
Agreement ini
pemerintah
mengikatkan
diri
untuk
menggunakan pendekatan yang lebih sederhana dengan memilih 3 orang pakar yang akan duduk dalam Tim Panel Ilmiah. Persoalannya apakah hasil kerja tim panel ini cukup meyakinkan di tengah persoalan yang sangat kompleks. 3) Tidak diatur secara jelas bagaimana mekanisme transparansi dan partisipasi publik selama proses pemantauan dan pemberdayaan masyarakat melalui program-program yang telah diidentifikasi dalam kesepakatan tersebut (pendidikan, kesehatan, sosial, dan lingkungan). 4) Salah satu item yang diperjanjikan dalam Goodwill Agreement bahwa pemerintah akan mencabut permohonan bandingnya atas putusan sela PN Jakarta Selatan tertanggal 15 November 2005 dalam jangka waktu 10 hari sejak perjanjian ditandatangani dan membebaskan PT. NMR dari segala tuntutan gugatan perdata maupun tata usaha negara. 250 Hal ini memperlemah proses penegakan hukum yang telah berjalan.
Dari gambaran kasus di atas, dapat disimpulkan pandangan sebagai berikut:
250
Perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement ) Mengenai Gagasan-gagasan Pemantauan dan Pembangunan Berkelanjutan Pasca Tambang, (Jakarta: 16 Februari 2006), Sec. 4.5. dan 4.6. . ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1. Pendekatan ilmiah lebih dominan dalam pengambilan keputusan daripada pendekatan dialog (partisipasi publik). Pemerintah masih
menggunakan pendekatan ilmiah secara dominan dalam pengambilan keputusan yaitu permberian izin pembuangan tailing di bawah laut. Perdebatan soal keamanan dan resiko dalam kasus tersebut terlihat mengedepankan
perdebatan
soal
science tentang
keberadaan
termoklin tanpa pendekatan multidisplin tentang faktor-faktor lain yang perlu menjadi pertimbangan seperti keadaan iklim, arus laut, angin, suhu air laut, bencana, dan seterusnya. Selain itu tidak dipertimbangkan pula secara memadai tentang nilai, moral, dan budaya masyarakat, misalnya bagaimana melihat persoalan resiko dan keamanan dari sisi masyarakat yang merupakan nelayan dan sangat tergantung dengan perairan Teluk Buyat. Terlebih l agi dengan adanya beberapa kali peristiwa matinya ribuan ikan di sekitar pembuangan tailing yang ditemukan oleh masyarakat nelayan. Peristiwa-perstiwa ini turut mempengaruhi rasa keamanan bagi mereka.
Dominannya pendekatan ilmiah dan lemahnya pendekatan partisipasi publik juga terlihat dari respon pemerintah terhadap permohonan izin STD PT. NMR. Terhadap permohonan tersebut, KLH melakukan proses diskusi dengan PT. NMR tanpa melibatkan masyarakat sipil. Dalam diskusi tersebut lahir keputusan KLH bahwa PT. NMR disyaratkan untuk melakukan Ecological Risk Assessment (ERA). Sedangkan proses konsultasi publik tidak mendapat perhatian yang memadai sehingga tidak termasuk yang dipersyaratkan. Dalam proses pemenuhan syarat izin STD inilah masyarakat sipil kemudian memperdebatkan persoalan kajian-kajian ilmiah yang dilakukan baik oleh PT. NMR, akademisi, maupun pemerintah yang menunjukan berbagai perbedaan hasil. Selain itu, masyarakat sipil juga mengangkat berbagai persitiwa yang terjadi seperti matinya ribuan ikan, air laut yang bau, dan kasus sakitnya masyarakat Buyat.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Cara pandang di atas terlihat jelas pula dalam goodwill agreement antara PT.NMR dengan Pemerintah. Goodwill agreement yang telah menghentikan proses penegakan hukum tersebut mengatur bahwa penentuan dampak dari pertambangan PT. NMR dan pembuktian ada tidaknya pencemaran diserahkan pada tim panel yang hanya diisi oleh 3
orang
pakar
tanpa
kejelasan
partisipasi
masyarakat
dan
penyebarluasan informasi tentang hasilnya. Demikian juga dalam kesepakatan untuk perogram pemberdayaan masyarakat, selain tidak adanya
kejelasan
tentang
partisipasi
masyarakat
juga
tidak
mendasarkan pada penilaian tentang kebutuhan masyarakat, misalnya bagaimana
dengan
masyarakat
nelayan
yang
selama
ini
mengkhawatirkan bahwa perairannya telah tercemar.
2. Pendekatan ilmiah yang sangat dominan tanpa diimbangi dengan partisipasi publik memunculkan kompleksitas dan ketegangan dalam proses pengambilan keputusan. Pada studi kasus di atas
masyarakat sipil telah mengajukan keberatan kepada Tim Penilai Amdal Pusat terkait dengan rencana pembuangan tailing di dasar laut karena dianggap memiliki resiko yang cukup besar. Pengalaman dari beberapa Negara lain menunjukkan belum ada jaminan kepastian ilmiah dari keamanan metode STD sedangkan masyarakat sekitar memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan perairan Teluk Buyat. Penolakan terhadap keberatan ini menjadi pemicu penolakan yang terus dilakukan oleh masyarat sipil terkait dengan izin STD PT. NMR. Artinya tidak terjadi proses dialog yang memadai agar masyarakat sipil bisa melakukan partisipasi dan turut serta menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Perdebatan soal keamanan dan resiko STD terus berlangsung. Kompleksitas perdebatan ini semakin tinggi dan pada saat yang bersamaan muncul peristiwaperstiwa seperti matinya ribuan ikan dan kasus kesehatan masyarakat. Hal ini mengakibatkan perdebatan yang semakin meluas hingga persoalan apakah perairan Teluk Buyat tercemar, siapa pencemarnya,
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dan hubungannya dengan kesehatan manusia, dan sebagainya. Pada saat
perdebatan
ini
terus
meluas,
terlihat
bahwa
berbagai
pertimbangan ilmiah tidak dapat memberikan jalan terbaik karena berbagai pertimbangan ilmiah tersebut (baik yang dilakukan PT. NMR, LSM, Akademisi, dan Pemerintah) selalu memunculkan perdebatan dan saling menegasikan antara satu dengan lainnya. Hal ini mengakibatkan ketegangan hasil ilmiah maupun masyarakat dan menciptakan kompleksitas tersendiri dalam pengambilan keputusan.
3. Pendekatan ilmiah yang dominan tanpa diimbangi dengan partisipasi publik memperlemah proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Ketegangan dan kompleksitas yang muncul
akibat pendekatan ilmiah menciptakan resiko tersendiri bagi proses pengambilan keputusan dan penegakan hukum. Berbagai perdebatan tentang resiko dan keamanan metode STD serta peristiwa-peristiwa yang muncul di masyarakat mengakibatkan pembahasan yang berkepanjangan hingga masa beroperasi PT. NMR selesai. Sayangnya selama periode tersebut PT. NMR terus membuang tailing di dasar laut. Artinya perdebatan tersebut mengakibatkan pula lemahnya “keberanian” pemerintah untuk mengambil keputusan dan melakukan penegakan hukum. Hal ini disebabkan cara berpikir pemerintah yang mendasarkan pendekatan ilmiah secara tunggal dalam mengambil keputusan sehingga memunculkan kebingungan pada saat bukti ilmiah dihadapkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
4. Pendekatan ilmiah tanpa diimbangi dengan partisipasi publik memperlemah proses pemenuhan akses informasi lingkungan secara utuh dan akurat. Pendekatan ilmiah yang berlebihan telah
menimbulkan lemahnya pemenuhan informasi yang utuh dan akurat bagi masyarakat. Berbagai hasil pendekatan ilmiah yang diajukan oleh masing-masing pihak memunculkan ketegangan yang cukup tinggi di tengah masyarakat sehingga dijadikan sebagai dasar bagi
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
penyebarluasan informasi untuk melegitimasi pendapat masingmasing, misalnya pada saat LSM mendapatkan hasil temuan laboratorium atau berbagai hasil kajian maka ini menjadi dasar untuk disampaikan kepada masyarakat yang kemudian disusul oleh berbagai temuan ilmiah PT. NMR sebagai counter wacana kepada publik.
Dominannya pendekatan ilmiah yang digunakan oleh pemerintah dalam proses pengambilan keputusan juga mengakibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak tidak terakomodir dengan baik dalam berbagai pembahasan untuk pengambilan keputusan. Hal ini mengakibatkan informasi yang diperoleh dan dihasilkan selama proses perdebatan tersebut tidak tersampaikan secara utuh dan akurat kepada masyarakat, misalnya pembahasan-pembahasan tentang permohonan izin STD dan persyaratannya, studi ERA, dan hasil pemantauan kualitas air Teluk Buyat. Berbeda dengan posisi para pakar atau akademisi yang diuntungkan oleh pendekatan tersebut, PT. NMR sebagai pihak yang berkepentingan, dan LSM yang memang memiliki kemampuan untuk menempuh jalur partisipasi.
Jadi proses partisipasi yang tidak terarah seperti dalam studi kasus tersebut dapat mempengaruhi keutuhan dan akurasi informasi yang diperoleh masyarakat terlebih lagi jika sistem informasi belum jalan secara optimal agar informasi secara cepat dapat diakses oleh masyarakat. Sebagai contoh berbagai hasil studi terkait dengan kasus tersebut (permohonan izin STD, ERA, kajian tim independen, hasil pemantauan kualitas air) justru tidak secara prioritas dipublikasikan kepada masyarakat melainkan terlebih dahulu menjadi konsumsi para pakar, PT. NMR, dan LSM sebagai bahan perdebatan. Masyarakat baru mendapatkan informasi setelah proses perdebatan terhadap hasil temuan tersebut muncul di ruang publik atau media masa karena telah menimbulkan ketegangan.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3.2.3. Putusan Sengketa Informasi di bawah UU KIP
Putusan pengadilan tentang sengketa informasi lingkungan belum dapat dikaji karena sejak berlakunya UU KIP belum ada sengketa informasi lingkungan yang ditangani oleh pengadilan. Namun demikian telah terdapat putusan mediasi atas sengketa informasi lingkungan di Komisi Informasi. Pada bagian ini akan dijelaskan tentang putusan pengadilan namun bukan terkait dengan sengketa informasi lingkungan melainkan tentang anggaran sekolah.
3.2.3.1. Putusan Mediasi Komisi Informasi Pusat No. 088/III/KIP-PS-M/2012
Putusan mediasi Komisi Informasi Pusat No. 088/III/KIP-PS-M/2012 merupakan penetapan atas kesepakatan antara Resa Raditio vs Kementerian Lingkungan Hidup atas sengketa permohonan informasi:
a) Dokumen mengenai penaatan yang digunakan untuk menilai PROPER PLTU Tanjung Jati B dalam kurun waktu Januari 2009 sampai Desember 2010 dan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011 yang meliputi dokumen pengendalian pencemaran air, udara, dan limbah B3; b) Dokumen mengenai Amdal PLTU Tanjung Jati B Kabupaten Jepara, Jawa Tengah Terhadap sengketa tersebut disepakati KLH memberikan informasi yang dimohonkan terkait dengan PROPER sedangkan untuk Amdal PLTU Tanjung Jati B, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah tidak dapat diberikan karena tidak dalam penguasaan KLH. Pada saat yang sama pemohon mengajukan permohonan informasi tentang Amdal Tanjung Jati B kepada BPLHD Jawa Tengah dan mendapatkan dokumen tersebut setelah mengajukan keberatan ke atasan (Sekretaris Daerah). Sedangkan permohonan Amdal yang diajukan langsung kepada PLTU Tanjung Jati B ditolak serta tidak dapat diterima dalam proses sengketa di Komisi Informasi Jawa Tengah karena bukan merupakan kewenangannya melainkan kewenangan Komisi Informasi Pusat. 251
251
Putusan Majelis Pemeriksaan Pendahuluan Komisi Informasi Jawa Tengah No. 183/PEN-MPP/XII/2011/KIP-JTG ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Beberapa catatan dari kasus di atas:252
1) Proses untuk mendapatkan informasi lingkungan baik dari badan publik maupun pelaku usaha masih cukup panjang di mana untuk informasi yang secara jelas terbuka berdasarkan peraturan harus ditempuh terlebih dahulu proses penyelesaian sengketa baik melalui keberatan maupun sengketa mediasi di Komisi Informasi (PROPER dan Amdal); 2) Sulitnya mengidentifikasi di mana informasi lingkungan bisa diperoleh sehingga pemohon harus mengajukan permohonan kepada beberapa instansi secara bersamaan; 3) Prosedur keberatan dan penyelesaian sengketa memiliki peranan yang penting dalam mendorong pemenuhan akses informasi lingkungan. Dengan menempuh prosedur penyelesaian sengketa, maka dokumen lingkungan yang dimohon bisa diperoleh. Beberapa hal yang positif dari prosedur ini adalah adanya proses klarifikasi atau dialog tentang kepentingan dan maksud dari permohonan informasi yang diajukan.
3.2.3.2. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara No. 160/G/2011/PTUN-JKT
Praktek pemenuhan akses informasi dan bagaimana Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) memandang permasalahan ini dapat dikaji dari Putusan No. 160/G/2011/PTUN-JKT atas perkara SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi melawan Komisi Informasi Pusat (KI Pusat). Kasus ini bermula dari adanya permohonan informasi Herunarsono kepada RSBI Rawamangun 12 Pagi berupa penjelasan tertulis atas pertanyaan-pertanyaan berikut:253
252
Wawancara dengan Resa Raditio dan Dyah Paramita, tanggal 7 Desember 2011.
253
Permohonan informasi dilakukan secara tertulis melalui surat tertanggal 24 November 2010 yang kemudian diterima pada tanggal 26 November 2010 oleh SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi. (Lihat Hal 2 Putusan Komisi Informasi Pusat N o. 002/II/KIP/PS-M-A/2011). ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
1. Bagaimana mekanisme penyusunan, pembahasan, sosialisasi dan pengesahan RAPBS menjadi APBS di sekolah ini? 2. Adakah dana yang diterima pihak sekolah selain yang bersumber dari BOS, BOP, RSBI, dan orang tua murid? Kapan? Berapa? Dan dipergunakan untuk apa? 3. Selama kepemimpinan Bapak sebagai Kepala Sekolah, kegiatankegiatan apa saja dalam program APBS yang sudah direalisasikan yang menggunakan dana BOS, BOP, dan dana orang tua murid? 4. Berapa besar dana untuk program pemantapan 2009-2010 untuk siswa kelas 6 dan dari mana saja sumber dananya? 5. Mata pelajaran apa saja yang dimasukkan dalam program pemantapan dan siapa koordinator untuk masing-masing mata pelajaran tersebut? 6. Apa target yang ingin dicapai dengan adanya program pemantapan? 7. Bagaimana pertanggungjawaban koordinator dan pihak sekolah terhadap hasil target yang ingin dicapai? 8. Bagaimana pemberian gaji/honor untuk guru PNS, PTT, dan honorer serta dari mana sumber dana masing-masing? 9. Di sekolah ini ada pemberian uang Kelebihan Jam Mengajar (KJM), apa dasar hukumnya pemberian KJM tersebut? 10. Dari mana sumber dana KJM dan siapa saja penerima KJM? 11. Buku pelajaran apa saja yang sudah tersedia dan dipinjamkan kepada seluruh siswa setiap level kelas untuk kegiatan belajar mengajar yang dibiayai dari dana BOS, BOP, dan RSBI? 12. Kegiatan ekstrakurikuler apa saja yang dibiayai dana BOS, BOP, dan RSBI? 13. Pada 2009-2010 di kelas 3A ada siswa yang mendapat nilai masuk dalam kategori perbaikan (remedial), mengapa siswa tersebut tidak diberikan haknya untuk mendapatkan remedial? Apa kendalanya? 14. Bagaimana tata cara yang harus ditempuh oleh orang tua murid untuk mendapatkan hak transparansi nilai rapor anak-anak mereka?
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Terhadap permohonan informasi tersebut, SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak memberikan tanggapan, hingga pada tanggal 13 Desember 2010, Herunarsono mengajukan keberatan kepada SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi. Halmana keberatan yang diajukan tidak juga mendapatkan tanggapan. Kemudian pada 1 Februari 2011, Herunarsono mengajukan sengketa informasi ke KI Pusat. Dalam persidangan ajudikasi, terungkap alasan tidak diberikannya informasi adalah:254
1. Bahwa Termohon (SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi) tidak memberikan informasi tersebut karena Pemohon (Herunarsono) adalah wali murid di SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi, bahkan Pemohon ikut dalam rapat RAPBS sebagai peserta, oleh karenanya Termohon merasa Pemohon telah mendapat informasi yang cukup banyak. 2. Bahwa prosedur penyusunan RAPBS sudah bersifat terbuka dan telah diatur dalam juknis di Peraturan Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta No. 60/2009 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah. 3. Bahwa karena posisi Pemohon adalah sebagai orang tua siswa maka hal itu telah dijelaskan dalam beberapa forum dan pertemuan. 4. Bahwa sumber dana sekolah (APBS) adalah: a) dari APBN berupa BOS setiap siswa 400 ribu/tahun per siswa; b) untuk BOP berasal dari APBD DKI Jakarta 720 ribu/tahun per siswa, namun dalam masa kepemimpinan Termohon tidak ada lagi; c) dana dari orang tua murid baru ada namun hal ini dilakukan oleh orang tua siswa melalui rapat orang tua siswa untuk memenuhi kebutuhan pembelajaran serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh sekolah karena BOS dan BOP tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga melalui organisasi-organisasi independen dan mandiri yang disebut komite sekolah mengadakan rapat, termasuk sebagai anggotanya adalah Herunarsono. 5. Bahwa Pemohon karena sebagai orang tua murid dan saat ini anaknya sedang duduk di kelas 5 maka otomatis Pemohon merupakan anggota
254
Putusan Komisi Informasi Pusat No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011, Angka 2.16. ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
komite namun bukan menjadi Pengurus karena Pengurus adalah orang tua murid kelas 6. 6. Bahwa Dana Orang Tua Murid dipergnakan melalui mekanisme RAPBS yang telah disahkan menjadi APBS. Di APBS sudah dijelaskan penggunaan dana sekolah baik yang berasal dari BOS, BOP, dan dana masyarakat. 7. Bahwa kegiatan yang telah dilakukan tentu mengacu pada APBS. Karena di dalamnya tertera penggunaan dana APBS. Baik intra maupun ekstra. Bahkan juga ada kegiatan yang tidak tercantum dalam APBS namun perlu diikuti dalam rangka meningkatkan pengembangan pendidikan, wawasan dan untuk menguji kompetensi para siswa SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi. 8. Bahwa mengenai program pemantapan hakekatnya merupakan kehendak dari orang tua siswa kelas 6. Besar kecilnya biaya pemantapan telah masuk dalam APBS yang disahkan melalui rapat Pleno. Sumbernya adalah dari orang tua siswa dalam rangka meningkatkan prestasi dalam menghadapi ujian nasional. Mata pelajaran yang disampaikan dalam proses Pendalaman Materi adalah Bahasa Indonesia (Bapak Nurohhim dan Wijan), Matematika (Bapak Saliman, Bapak Rosim, Risworo), English (Hutajulung, Rohmani, Siti Alimah), IPA (Bapak Suparlan, Nasrudin, Heri Widyanto), IPS (Abdul Kholik dan Bapak Ismed). 9. Bahwa seluruh informasi yang diajukan dan disengketakan oleh Pemohon tidak ada informasi yang dikategorikan bersifat rahasia. 10. Bahwa alasan Termohon tidak memberikan jawaban atau penjelasan karena Pemohon, sejak Termohon bertugas di institusi RSBI, telah melaporkan Termohon dan diutus sebagai saksi di Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Polda ada beberapa kasus, Komnas HAM, Komnas Perlindungan Anak, DPRD dan Gubernur, serta Menteri, atas beberapa kasus yang diadukan oleh Pemohon. Sehingga kenyamanan Termohon dalam memikirkan pengembangan sekolah merasa terganggu. Terkait
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kasus mengenai APBS dan LPJ saat ini sedang dalam proses di Kejaksaan Tinggi. 11. Bahwa terakhir 1 Agustus Termohon dipanggil ke Sudin Dikdas Jaktim atas laporan Pemohon yang mempermasalahkan sistem yang ada di sekolah dan telah berjalan bertahun-tahun lamanya. Hal tersebut yang melatarbelakangi kenapa permohonan Pemohon tidak ditanggapi oleh Termohon. 12. Bahwa terkait unsur guru dalam keanggotaan dalam komite sekolah, Termohon akan mematuhi aturan yang ada, yaitu tidak ada unsur dalam komite sekolah, bahwa saat ini ada karena sebelumnya belum ada aturan yang melarang hal tersebut. Dalam sengketa ini, KI Pusat dalam putusannya memutuskan bahwa informasi yang diminta Pemohon merupakan informasi terbuka dan memerintahkan Termohon untuk memberikan informasi yang diminta Pemohon selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diterima Termohon. Terhadap putusan KI Pusat, SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi mengugat KI Pusat ke PTUN Jakarta yang menempatkan Putusan No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011 sebagai objek gugatan. Beberapa isu kunci gugatan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi adalah: 255
1. Herunarsono merupakan orang tua murid sekaligus salah satu anggota Komite Sekolah dan informasi sebagaimana diminta oleh Herunarsono telah diinformasikan secara terbuka melalui Komite Sekolah dan rapat RAPBS, sehingga SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi memandang tidak ada lagi kepentingan Herunarsono dalam mengajukan permohonan informasi publik tersebut. 2. Informasi dana BOS dan BOP yang diminta Herunarsono tidak lagi berada dalam penguasaan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi karena data-data tersebut telah disita oleh penyidik pada Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Di mana penyitaan ini terjadi akibat adanya laporan tindak pidana korupsi yang dilaporkan oleh Herunarsono terhadap SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi.
255
Putusan PTUN Jakarta No. 160/G/2011/PTUN-JKT, Dasar dan alasan gugatan penggugat. ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3. Herunarsono mengajukan permohonan informasi tidak sesuai dengan prosedur permohonan informasi sebagaimana diatur dalam UU KIP, yaitu mengajukan permohonan informasi tanpa disertai alasan permohonan. 4. SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi memandang bahwa KI Pusat tidak memberikan kesempatan kepada SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi untuk didengar dalam persidangan ajudikasi. Terkait adanya gugatan ini, KI Pusat mengajukan replik yang pada intinya adalah:256
1. Subjek gugatan yang diajukan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak tepat, karena KI Pusat merupakan lembaga pengadil dalam sengketa informasi publik. 2. Objek gugatan yang diajukan SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi tidak tepat, karena putusan KI Pusat tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Kemudian terkait dengan gugatan tersebut, Majelis Hakim memberikan pertimbangan hukum dan putusan yang pada intinya terkait t iga hal, yaitu:
1. Subjek gugatan, yang pada intinya Majelis Hakim memutuskan bahwa KI Pusat bukan merupakan lembaga peradilan, tetapi merupakan badan publik yang melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan, sehingga putusan yang dihasilkannya termasuk sebagai KTUN. 257 2. Objek gugatan, yang pada intinya Majelis Hakim memutuskan bahwa putusan KI Pusat merupakan KTUN, karena: 1) KI Pusat bukan merupakan
lembaga
peradilan
yang
melaksanakan
kekuasaan
kehakiman, tetapi merupakan badan publik yang melaksanakan sebagian fungsi pemerintahan, sehingga putusan yang dihasilkannya termasuk sebagai KTUN; 2) putusan KI Pusat bersifat konkret, individual, dan final. Hal ini karena putusan KI Pusat tersebut ditujukan kepada Herunarsono dan SDN RSBI Rawamangun 14 Pagi 256
Ibid , bagian replik Tergugat: DALAM EKSEPSI.
257
Ibid , bagian Pertimbangan Hukum, hal 45-47.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dan pelaksanaan putusan tersebut tidak lagi membutuhkan persetujuan atau pengesahan badan publik lain. 258 3. Permohonan informasi dilakukan tidak sesuai prosedur permohonan informasi,
yaitu
mengajukan
permohonan
informasi
tanpa
mencantumkan alasan permohonan. Perihal ini, Majelis Hakim berpendapat bahwa permohonan informasi harus dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada, yaitu dengan mencantumkan alasan permohonan. Karena Herunarsono tidak mencantumkan alasan permohonan, Majelis Hakim berpendapat bahwa sengketa informasi secara formal tidak memenuhi syarat ditindaklanjuti atau diperiksa dan diputus menjadi sengketa informasi publik di Komisi Informasi Pusat dengan register sengketa No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011. Dengan demikian, penerbitan putusan KI Pusat No. 002/II/KIP/PS-M-A/2011 cacat hukum prosedural karena bertentangan dengan perundangundangan yang berlaku, sehingga harus dibatalkan. 259
Dari studi kasus putusan pengadilan tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1) Prosedur permohonan informasi, khususnya ketiadaan alasan permohonan informasi menjadi motif badan publik untuk menolak memberikan informasi. Bahkan berkembang wacana hakim mempertimbangkan kesesuaian alasan permohonan informasi dengan profesi pemohon informasi. Sehingga apabila alasan permohonan informasi tidak sesuai dengan profesi pemohon, maka hakim akan memutus permohonan informasi cacat prosedural.
Salah satu prinsip penting dalam keterbukaan informasi adalah permintaan/permohonan informasi tanpa disertai dengan alasan ( Koalisi untuk Kebebasan Informasi, tanpa tahun: 58 ). Prinsip ini merupakan
konsekuensi dari premis informasi publik adalah milik publik, sedangkan badan publik hanyalah pengelola. UU keterbukaan informasi di negara 258 259
Ibid , bagian Pertimbangan Hukum, hal 45-49. Ibid , bagian Pertimbangan Hukum, hal 58-62.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
lain, misalnya India dan Kanada juga tidak mencantumkan kewajiban penyertaan alasan dalam melakukan permintaan informasi. Dengan premis demikian, maka permintaan informasi yang disertai dengan alasan harus diletakan dalam konteks untuk mendukung kemudahan layanan informasi. Artinya, alasan permohonan diperlukan untuk mempermudah pejabat PPID dalam mengidentifikasi atau menemukan informasi yang diminta. Alasan permohonan tidak boleh digunakan untuk menghambat masyarakat untuk mendapatkan informasi dengan alasan, misalnya, pemberian informasi
dimaksud
justru
akan
merugikan
badan
publik
yang
bersangkutan padahal pejabat PPID mengetahui bahwa informasi tersebut merupakan informasi yang memang dapat dibuka. UU KIP tidak memberikan dasar bagi penolakan informasi karena alasan yang disertakan oleh pemohon. Satu-satunya alasan bagi penolakan informasi yang sah menurut UU KIP adalah alasan pengecualian informasi (lihat Pasal 17 UU KIP),
tentunya
setelah
melalui
proses
uji
konsekuensi
bahaya
(consequential harm test) dan uji kepentingan publik ( balancing public interest test) (lihat Pasal 2 Ayat 4; Pasal 19 UU KIP).
260
2) Hakim belum melihat esensi pentingnya informasi bagi masyarakat, khususnya untuk mencapai tujuan UU KIP sebagaimana tercantum dalam pasal 3 UU KIP. Hal ini terlihat dari pandangan hakim yang fokus pada aspek prosedural261 (i.e. permohonan informasi harus mencantumkan alasan permohonan informasi, penggantian Majelis Komisioner tanpa penetapan Ketua Komisi Informasi, dll.), dibandingkan dengan pentingnya informasi bagi pemohon. Terlebih lagi SDN RSBI Rawamangun 12 Pagi juga telah secara nyata menegaskan bahwa informasi yang diminta oleh Herunarsono bukan merupakan informasi yang dikecualikan, tetapi sebagai informasi yang terbuka.
260
Henri Subagiyo et.al,, hal 98
261
Putusan PTUN Jakarta Pusat No. 160/G/2011/PTUN-JKT; Putusan PTUN Bandung: No. 51/G/2012/PTUN-BDG; No. 52/G/2012/PTUN-BDG; 53/G/2012/PTUN-BDG.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3.3. Analisa Terhadap Kelemahan Pengaturan Jaminan Akses Informasi Di Bidang Lingkungan Hidup
Berdasarkan ketentuan peraturan pelaksana dari jaminan hukum dan potret pelaksanaan akses informasi serta partisipasi dalam studi kasus yang diangkat dapat disimpulkan adanya kelemahan yang perlu diperbaiki. Beberapa kelemahan tersebut adalah:
1.
Subyek yang dikenai kewajiban kurang lengkap Subyek hukum yang dikenai kewajiban untuk membuka informasi di UU KIP
adalah badan publik yang didefinisikan dengan pendekatan sumber keuangan yaitu APBN/D, sumbangan masyarakat dan bantuan luar negeri. 262 Definisi ini mempersulit rezim informasi lingkungan sebagai bagian dari rezim keterbukaan informasi yang diatur dalam UU KIP. Padahal informasi lingkungan tidak hanya dikuasai oleh pemerintah selaku badan publik melainkan juga terdapat pada lembaga swasta atau privat. Sebagai contoh dalam kasus longsornya Danau Wanagon, informasi peringatan dini dan informasi lainnya seperti besarnya kapasitas tailing dan kandungan B3 yang ada di dalamnya lebih memungkinkan untuk disampaikan oleh pelaku usaha daripada pemerintah. Terhadap pelanggaran peringatan dini dapat diancam dengan pidana sesuai dengan Pasal 52 UU KIP. Namun karena perusahaan bukan merupakan bagian dari badan publik berdasarkan UU KIP, maka ketentuan tentang kewajiban memberikan informasi serta merta dan ancaman sanksi pidana akibat pelanggaran kewajiban tersebut tidak dapat diterapkan dibawah rezim UU KIP. UU PPLH mengatur bahwa setiap orang wajib memberikan informasi terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup namun peraturan pelaksananya lebih banyak mengatur pemerintah daripada pelaku usaha. Selain itu, penyebutan pelaku usaha yang memiliki kewajiban juga masih sangat umum sehingga tidak dapat dibedakan apakah setiap pelaku usaha harus mempunyai standar yang sama atau tidak, misalnya pelaku usaha yang tidak wajib Amdal karena tidak memiliki dampak penting atau resiko besar apakah harus mengikuti kewajiban atau standar yang sama dengan pelaku usaha yang tidak wajib Amdal.
262
Indonesia (d), op.cit, Ps. 1 angka (3) dan Indonesia (k), op.cit, Ps. 3 ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
2. Pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam setiap tahapan kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan Ketentuan untuk membuka informasi ( mandatory disclosure) dan pencegahan untuk memberikan informasi yang menyesatkan ( misleading information) tidak diatur mencakup semua tahapan mulai dari tahap pengambilan keputusan yang bersifat umum seperti penetapan kebijakan, standar, dan baku mutu hingga monitoring dan keputusan teknis pemberian izin, khususnya terkait dengan aspek resiko. Kondisi seperti ini ditemukan berbeda-beda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya. Tidak utuhnya pengaturan ini pada setiap level kegiatan akan mengakibatkan lemahnya pemenuhan informasi, khususnya terkait dengan resiko dan partisipasi masyarakat. Sebagai contoh dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat. Pada tahap awal perencanaan tidak banyak LSM lingkungan dan masyarakat yang memperoleh informasi secara memadahi, khususnya terkait dengan resiko penggunaan metode STD. Perusahaan lebih proaktif dalam menyampaikan informasi untuk meng- counter informasi yang telah dipublikasikan oleh LSM lingkungan soal metode STD.
3. Belum adanya standar pemenuhan akses informasi Ketentuan untuk membuka informasi ( mandatory disclosure ) masih bersifat umum. Belum adanya mekanisme atau prosedur yang jelas dan rinci bagi perusahaan maupun pemerintah dalam pengumuman maupun pelayanan permintaan informasi dapat mengakibatkan terhambatnya penyebarluasan informasi kepada masyarakat atau informasi yang disampaikan dapat menyesatkan serta tidak tepat waktu dan sasaran, misalnya keragaman media yang digunakan, standar pengumuman, dan layanan permintaan informasi. UU KIP sendiri masih mengatur secara umum, khususnya untuk standar pengumuman informasi. Untuk informasi yang wajib diumumkan secara berkala oleh pemerintah diatur setidaknya dengan menggunakan papan pengumuman dan situs. Bagaimana dengan perusahaan yang tidak tunduk dengan rezim UU KIP? Hal ini juga perlu mendapat perhatian agar perusahaan menggunakan media pengumuman yang tepat dan dapat dikontrol oleh pemerintah maupun masyarakat. Standar pemenuhan akses informasi ini sangat penting untuk memastikan adanya kemudahan akses bagi publik serta keutuhan dan akurasi informasi. Pengaturan seperti ini
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
dapat diatur dalam petunjuk teknis atau standard operational procedure yang menjadi standar minimum bagi pemerintah dan pelaku usaha dalam mempublikasikan informasi lingkungan, termasuk tentang informasi resiko yang dihadapi oleh masyarakat.
4. Tidak ada pengaturan tentang jenis-jenis informasi lingkungan dan aspeknya yang harus dibuka ( standar content), termasuk tentang resiko Ketentuan yang ada belum mengatur tentang jenis-jenis informasi lingkungan secara rinci yang dapat menjelaskan tentang kelengkapan atau keutuhan informasi yang harus dibuka kepada publik beserta bentuk penyajiannya. Misalnya pengumuman terkait dengan permohonan izin tidak diatur lebih rinci informasi apa yang disajikan di dalamnya. Apakah hanya memuat nama perusahaan atau hingga lokasi dan kemungkinan dampak yang ada, di mana informasi secara lengkap dapat diperoleh, dan bagaimana masyarakat dapat meminta informasi yang lengkap t ermasuk resiko dari rencana kegiatan tersebut serta bagaimana menyampaikan saran atau masukan. Sebagai contoh dalam kasus dugaan pencemaran Teluk Buyat, ketiadaan pengaturan tentang materi informasi yang harus dipublikasikan menyebabkan PT. NMR mempublikasikan informasi tentang hasil kajian tim verifikasi atas dugaan pencemaran Teluk Buyat secara tidak utuh melalui media masa. Jika dilihat dari sudut pandang UU KIP, dokumen atau data lengkap dari informasi yang telah disampaikan kepada media masa dapat diakses oleh masyarakat sepanjang bukan merupakan informasi rahasia. Jadi dalam studi kasus seperti di atas dimana PT. NMR menyampaikan hasil tim verifikasi terhadap dugaan pencemaran Teluk Buyat, maka dokumen lengkap dari kajian tim verifikasi tersebut harus disediakan pula oleh PT. NMR untuk bisa diakses oleh publik.
5.
Tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa bagi pelanggaran informasi Mekanisme penyelesaian sengketa informasi lingkungan yang cepat dan
sederhana merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendorong pemenuhan akses informasi namun belum ada peraturan dibawah rezim UU PPLH yang mengatur hal ini. PERMENLH No. 9 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup hanya mengatur obyek sengketa mengenai dugaan terjadinya pencemaran atau perusakan
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
lingkungan saja.263 Sengketa mengenai pelanggaran akses informasi maupun partisipasi tidak diatur secara jelas. Oleh karena itu, PERMENLH No. 9 Tahun 2010 hanya mengatur persoalan-persoalan lingkungan yang dampaknya sudah terjadi atau dirasakan oleh masyarakat sehingga lembaga pengaduan ini lebih bersifat kuratif. Jika sengketa informasi lingkungan dengan badan publik seperti KLH atau pemerintah provinsi dan daerah dapat diselesaikan melalui upaya keberatan kepada atasan, komisi informasi, dan kemudian ke pengadilan, sengketa informasi lingkungan dengan pelaku usaha tidak memiliki jalur penyelesaian sengketa yang didesain untuk itu kecuali dengan melakukan gugatan ke pengadilan seperti yang terjadi dalam studi kasus longsornya Danau Wanagon. Dari sisi kemudan akses keadilan, upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan terkadang tidak efektif karena hambatan pemahaman dan keterampilan teknis hukum dari masyarakat. Oleh karena itu, kehadiran lembaga penyelesaian sengketa baik di internal badan publik maupun di luar sangat diperlukan.
263
Indonesia (m), Peraturan Menteri Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Pengaduan Dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran Dan/Atau Perusakan Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 9 Tahun 2010, Ps. 6 dan Ps. 9. Pasal 6 menyatakan: (1) Pengaduan secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat disampaikan melalui antara lain: (a) surat; (b) surat elektronik; (c) faksimili; (d) layanan pesan singkat; dan/atau (e) cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; (2) Pengaduan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat informasi: (a) identitas pengadu yang paling sedikit memuat informasi nama, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;(b) lokasi terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; (c) dugaan sumber pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; (d) waktu terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup; dan (e) media lingkungan hidup yang terkena dampak. Sedangkan Pasal 9 menyatakan: (1) Kementerian Lingkungan Hidup melakukan penanganan pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh Menteri; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh gubernur atau bupati/walikota tetapi Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius; dan/atau (c) pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di provinsi, tetapi tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; (2) Instansi yang bertanggungjawab di provinsi melakukan penanganan pengaduan yang memenuhi kriteria: (a) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh gubernur; (b) usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungan hidup diterbitkan oleh bupati/walikota tetapi instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota tidak melaksanakan pengelolaan pengaduan setelah dilakukan pembinaan oleh pemerintah provinsi; dan/atau (c) pengaduan pernah disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di kabupaten/kota, tetapi tidak ditindaklanjuti dalam kurun waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; (3) Instansi yang bertanggung jawab di kabupaten/kota melakukan penanganan pengaduan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh bupati/walikota.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
6.
Sanksi bagi pelanggaran akses informasi yang lemah dan tidak konsisten Sanksi bagi pelanggaran kewajiban membukan informasi dan menyampaikan
informasi yang utuh dan akurat tidak diatur secara komprehensif dan konsisten dalam UU PPLH:
(a) Sanksi
administrasi
dalam
UU
PPLH
tidak
mengatur
bagi
pelanggaran informasi. Sanksi administrasi dalam UU PPLH dikaitkan dengan pelanggaran terhadap izin lingkungan. 264 Padahal dalam beberapa peraturan kewajiban bagi pelaku usaha untuk pemenuhan akses informasi atau sistem informasi tidak dikaitkan secara tegas dengan persyaratan izin lingkungan. Kemudian, bentuk sanksi administratif dalam UU PPLH adalah: (1) teguran tertulis; (2) paksaan pemerintah; (3) pembekuan izin lingkungan; dan (4) pencabutan izin lingkungan. Bentuk sanksi paksaan pemerintah diatur secara limitatif pada Pasal 80 UU PPLH dimana tidak menyebutkan sanksi berupa membuka informasi secara utuh dan akurat. 265
264
Indonesia (a), op.cit, Ps. 76 ayat (1) menyatakan: Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap i zin lingkungan.
265
Ibid, Ps. 80 menyatakan:
(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
a) b) c) d) e)
penghentian sementara kegiatan produksi; pemindahan sarana produksi;
a) b)
ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; f) penghentian sementara seluruh kegiatan; atau g) tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Sedangkan penjatuhan sanksi berupa pembekuan dan pencabutan izin lingkungan hanya bisa dilakukan jika pelaku usaha/kegiatan tidak melaksanakan
paksaan
pemerintah.
Jadi,
penjatuhan
sanksi
administrasi atas pelanggaran pemenuhan akses informasi ini berpotensi tidak dapat diterapkan berdasar UU PPLH. (b) Untuk sanksi pidana juga berpotensi tidak dapat diterapkan mengingat: 266 1. Tidak ada sanksi pidana untuk kewajiban membuka informasi (mandatory disclosure). Sanksi pidana dalam UU PPLH hanya mengatur tentang ketentuan misleading information, padahal dalam beberapa peraturan pelaksana tidak hanya mengatur tentang misleading information saja melainkan juga ketentuan mandatory disclosure; dan
2. Sanksi pidana dalam UU PPLH diatur secara limitatif hanya untuk
informasi
benar/palsu/menyesatkan
atau dalam
keterangan
yang
tidak
rangka
pengawasan
dan
penegakan hukum. Padahal pengawasan dan penegakan hukum hanya salah satu tahap saja dalam kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (c) Sanksi terhadap pelanggaran informasi atau penghambat informasi masih banyak diarahkan hanya kepada pelaku usaha. Padahal dalam beberapa ketentuan ditemukan kewajiban bagi pemerintah untuk membuka informasi.
c)
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
�� 266
Ibid, Ps. 113 menyatakan: “Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
7. Lemahnya mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan legislator, regulator, dan hakim Analisa tentang peraturan pelaksana dan studi kasus yang ada terlihat bahwa akses informasi lingkungan belum terarusutamakan dalam pandangan legislator, regulator, dan hakim dalam melihat persoalan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. UU PPLH, peraturan pelaksana, dan studi kasus yang ada menunjukkan bahwa pengaturan untuk membuka informasi ( mandatory information) maupun mencegah terjadinya penyesatan informasi (misleading information) tidak cukup jelas dan komprehensif serta tidak berjalan dengan baik. Ketentuan tentang mekanisme penyelesaian sengketa dan sanksi juga tidak cukup memadai dalam mendorong pemenuhan akses informasi. Dalam studi kasus yang diangkat juga tidak tercermin mekanisme penyelesaian sengketa dan penjatuhan sanksi terkait dengan pemenuhan akses informasi berjalan dengan baik. Studi kasus tentang dugaan pencemaran Teluk Buyat menunjukkan bahwa KLH selaku pengambil keputusan atas permohonan izin STD dan PT NMR selaku pemohon tidak menginformasikan kemungkinan dampak yang dapat terjadi bagi masyarakat. Kemudian dalam studi kasus longsornya Danau Wanagon yang diangkat juga menunjukkan bahwa hakim tidak memandang persoalan lemahnya akses informasi dan penyesatan informasi sebagai persoalan yang mendasar/substantive bagi upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 267
267
Putusan No. 459/Pdt.G/2000/PN. Jaksel ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
BAB 4 PEMBARUAN JAMINAN HUKUM DAN ARAH KEBIJAKAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN
4.1. Pengembangan Ketentuan Hukum Untuk Memperkuat Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Bab III, Sub Bab III.3 tentang Analisa Kelemahan Jaminan Akses Informasi di Bidang Lingkungan Hidup bahwa terdapat 7 faktor mendasar yang menjadi kelemahan hukum selama ini, yaitu: (1) Subyek yang dikenai kewajiban kurang lengkap; (2) Pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam setiap tahapan kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan; (3) Pengaturan akses informasi masih bersifat umum; (4) Tidak ada pengaturan tentang jenis-jenis informasi lingkungan dan aspeknya yang harus dibuka ( standar content ); (5) Tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas bagi pelanggaran informasi; (6) Sanksi bagi pelanggaran akses informasi yang lemah dan tidak konsisten; (7) Lemahnya mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan legislator, regulator, dan
hakim. Terkait dengan kelemahan pengaturan diatas perlu adanya penguatan terhadap substansi hukum terkait jaminan pemenuhan akses informasi l ingkungan, yaitu: 1. Subyek hukum
Pengaturan tentang siapa yang dikenai kewajiban untuk membuka informasi lingkungan perlu dirinci secara tegas. Pengaturan di bawah UU PPLH pada intinya menyebutkan setiap orang dan Pemerintah. Sedangkan pengaturan pada UU KIP menyebutkan badan publik dengan pendekatan aliran dana (APBN/D, sumbangan masyarakat, atau bantuan luar negeri). Contoh pengaturan subyek hukum secara rinci dapat ditemukan pada Konvensi Aarhus maupun Environmental Information Regulation (3391/2004) yang mencakup: (a) instansi pemerintah pusat, regional atau provinsi, dan daerah; (b) perorangan atau badan hukum yang melaksanakan fungsi administrasi publik, memiliki tanggungjawab khusus, menjalankan kegiatan atau fungsi, yang terkait dengan lingkungan; (c) setiap badan atau pihak yang berada dibawah kontrol poin (a) dan (b) dan ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
memiliki tanggungjawab terkait dengan lingkungan hidup, melaksanakan fungsi sebagai pengawai publik yang terkait dengan lingkungan hidup dan yang menyediakan layanan masyarakat yang terkait dengan lingkungan hidup. 268 Pengaturan tentang siapa yang berhak memperoleh informasi atau pemohon juga diperlukan untuk menjamin agar informasi lingkungan diperoleh oleh pihak yang berkepentingan. Perlu dihindari upaya-upaya pembatasan melalui pengaturan ini sebagaimana terjadi dalam UU KIP dimana pihak yang dapat menjadi pemohon adalah warga Negara Indonesia dan badan hukum Indonesia. Pengaturan tentang siapa yang memiliki akses perlu didasarkan pada pendekatan kepentingan ( interest parties). Pendefinisian yang luas akan memberikan jaminan yang luas pula. Definisi yang cukup luas dapat dilihat pada Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Keputusan tersebut mendefinisikan siapa yang memiliki hak akses dengan 3 pendekatan: 1) masyarakat terkena dampak; 2) masyarakat yang berkepentingan; 3) pemerhati lingkungan.269 2. Prinsip pemenuhan akses informasi
Pengaturan tentang prinsip atau asas hukum tentang pemenuhan akses informasi diperlukan sebagai nilai dasar dari ketentuan pemenuhan akses informasi lingkungan. Prinsip hukum pemenuhan akes informasi juga berfungsi sebagai dasar pengambilan keputusan maupun penyelesaian sengketa atas pelaksanaan peraturan dalam rangka pemenuhan akses informasi lingkungan. Beberapa prinsip hukum yang perlu diatur dapat disesuaikan dengan prinsip pemenuhan akses informasi secara umum maupun yang telah tercantum dalam UU KIP. Tujuh Prinsip Umum Keterbukaan Informasi Publik yang perlu dipertimbangkan adalah: 270
1. Adanya jaminan hak yang komprehensif meliputi hak untuk melihat dan memeriksa (right to inspect), hak untuk mendapat salinan dokumen/akses 268
Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 2, dan
Chapter 1 Environmental Information Regulation (3391/2004) 269
Indoensia (i), op.cit, Bab I Subbab 1.3.
270
Henri Subagiyo dkk, op.cit, hal 71-82. Lihat pula Modul Pelatihan 3 Akses, (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, 2010) hal 51. Lihat pula www. Article19.org diakses pada 8 September 2012. ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pasif (right to obtain the copy), hak untuk diinformasikan/akses aktif (right to be informed), hak untuk menyebarluaskan informasi (right to disseminate).
2. Permintaan informasi tanpa memerlukan alasan 3. Akses maksimal dengan pengecualian terbatas ( Maximum Access Limited Exemption). Hal ini diwujudkan dengan: a) pengecualian harus didasarkan
pada kehati-hatian melalui proses uji konsekuensi (consequential harm test) dan uji kepentingan publik yang lebih besar (balancing public interest test); b) pemberlakuan status kerahasiaan harus mempunyai batas waktu
(tidak bersifat permanen) sepanjang pertimbangan uji konsekuensi dan uji kepentingan publik terus tetap diberlakukan; c) ruang lingkup badan publik tidak terbatas pada institusi Negara tetapi juga di luar Negara yang memiliki dampak pada kepentingan publik. 4. Akses informasi harus bersifat murah, cepat, utuh, akurat, dapat dipercaya dan tepat waktu. 5. Adanya sistem pengelolaan informasi dan pelayanan informasi yang meliputi sistem pengumpulan dan produksi maupun penyebarluasan informasi. 6. Penyelesaian sengketa informasi secara cepat, murah, kompeten, dan independen melalui proses konsensual maupun ajudikatif. 7. Ancaman hukuman bagi pihak-pihak yang menghambat akses informasi dan perlindungan bagi whistle blower . 3. Jenis Informasi
Cakupan jenis informasi lingkungan perlu diatur mengingat tidak semua paraturan perundang-undangan lingkungan mendefinisikan hal ini secara jelas. 271 Cakupan informasi lingkungan yang perlu dipertimbangkan untuk diatur antara lain:
271
Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-Making and Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus, Denmark: 25 June 1998), Article 2.
Konvensi Aarhus mendefinisikan cakupan informasi lingkungan sebagai berikut: “Informasi Lingkungan Hidup” berarti setiap informasi tertulis, visual, aural, dalam bentuk elektronik atau bentuk material lainnya tentang: (a) Bentuk elemen lingkungan hidup seperti udara dan atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir dan area laut, keanekaragaman biologi dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang secara genetis ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
(a)
Informasi terkait dengan elemen lingkungan hidup seperti udara dan atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir dan area laut, keanekaragaman hayati dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang secara genetis dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut;
(b)
Informasi terkait dengan materi, energi, zat kimia, kebisingan, radiasi, aktivitas atau upaya, termasuk upaya administrasi, perjanjian lingkungan hidup, kebijakan, legislasi, rencana dan program yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi elemen-elemen lingkungan hidup di atas, dan anggaran atau biaya serta analisis ekonomi lainnya serta asumsi, resiko atau pertimbangan yang digunakan dalam pengambilan keputusan lingkungan hidup;
(b)
Informasi terkait kondisi keamanan dan kesehatan, kondisi kehidupan manusia, situs kebudayaan dan struktur bangunan yang dipengaruhi atau mempengaruhi keadaan elemen lingkungan hidup;
dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu substansi, energi, kebisingan, radiasi, aktivitas atau upaya, termasuk upaya administratif, perjanjian lingkungan hidup, kebijakan, legislasi, rencana dan program yang mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi elemen-elemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a) di atas, dan biaya serta analisis ekonomi lainnya serta asumsi yang digunakan dalam pengambilan keputusan lingkungan hidup; (c) Kondisi keamanan dan kesehatan, kondisi kehidupan manusia, situs kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka atau sebagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidupatau melalui elemen tersebut, oleh faktorfaktor, aktivitas atau upaya yang disebutkan di subparagraf (b) di atas. Lihat pula Chapter 1 Environmental Information Regulation (No.3391/2004) mendefinisikan “informasi lingkungan hidup” memiliki arti yang sama dengan Pasal 2(1) dari Direktif, yaitu setiap informasi tertulis, visual, aural, elektronik atau bentuk material lainnya pada: (a) Bentuk elemen lingkungan hidup seperti udara dan atmosfir, air, tanah, lahan, lanskap dan situs alami termasuk lahan basah, pesisir dan area laut, keanekaragaman biologi dan komponen-komponennya, termasuk organisme yang secara genetis dimodifikasi dan interaksi antara elemen-elemen tersebut; (b) Faktor-faktor yaitu substansi, energi, kebisingan, radiasi atau limbah, termasuk limbah radio aktif, emisi, gas buang dan pembuangan ke lingkungan hidup, mempengaruhi atau mungkin mempengaruhi elemenelemen lingkungan hidup yang disebutkan pada butir (a); (c) Upaya-upaya (termasuk upaya administratif), seperti kebijakan, legislasi, rencana, program, perjanjian lingkungan hidup dan aktivitas-aktivitas yang mempengaruhi atau kemungkinan dapat mempengaruhi elemen-elemen dan faktor yang disebutkan di poin (a) dan (b) juga upaya atau kegiatan yang dirancang untuk melindungi elemen-elemen tersebut; (d) Laporan pelaksanaan legislasi lingkungan hidup; (e) Biaya-keuntungan dan analisa ekonomi atau asumsi lainnya yang digunakan dalam kerangka kerja upaya dan aktivitas yang disebutkan di poin (c); dan (f) Kondisi keamanan dan kesehatan manusia, termasuk kontaminasi rantai makanan, dimana relevan, kondisi kehidupan manusia, situs kebudayaan dan struktur bangunan sebagaimana mereka adanya atau sebagaimana mereka dapat dipengaruhi oleh keadaan elemen lingkungan hidup sesuai yang disebutkan di poin (a) atau melalui elemen tersebut sebagaimana disebutkan di poin (b) dan (c). ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
(c)
Informasi terkait dengan laporan pelaksanaan legislasi lingkungan hidup, pengambilan dan pelaksanaan keputusan (kebijakan, aturan pelaksanaan, dan izin), hasil pemantauan lingkungan hidup, pengawasan, dan penegakan hukum.
(d)
Informasi
terkait
dengan
kondisi
darurat
lingkungan
hidup
yang
memperngaruhi elemen-elemen lingkungan maupun manusia. Jika dikaitkan dengan prinsip keterbukaan informasi, pengaturan tentang jenis jenis informasi lingkungan di atas bukanlah bersifat limitative, artinya informasi lingkungan selain dari yang disebutkan pada daftar jenis informasi di atas harus tetap dapat diakses sepanjang bukan termasuk informasi yang rahasia. Pengaturan tentang jenis-jenis informasi lingkungan di atas dapat mempermudah pengelolaan sistem informasi. 4. Standar minimum
Peraturan perundang-undangan perlu mengatur tentang standar pelaksanaan pemenuhan akses informasi sebagai acuan bagi pelaksana maupun masyarakat yang berkepentingan atas informasi lingkungan. Standar yang perlu diatur tersebut merupakan standar minimum yang harus diatur lebih lanjut dalam Standard Operational Procedure (SOP) pihak yang memiliki kewajiban. Untuk memastikan agar setiap pengemban kewajiban memiliki standar, bagi pelaku usaha kewajiban memiliki SOP perlu dijadikan sebagai syarat prosedur permohonan izin lingkungan. Hal ini dimungkinkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dimana pada Pasal 48 Ayat (1) huruf b yang menyatakan bahwa izin lingkungan harus memuat persyaratan dan kewajiban yang ditetapkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota. Sedangkan bagi pemerintah telah diatur dalam UU KIP dan peraturan pelaksananya. Adapun standar minimum yang perlu diatur, antara lain: (a) sistem pengumpulan dan pendokumentasian (pengarsipan) informasi; (b) sistem penyebarluasan informasi baik aktif maupun pasif; (c) standar penyajian termasuk kelengkapan isi dari informasi; (d) standar pengelolaan pengaduan atau sengketa secara internal. 5. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa
Salah satu kelemahan mendasar dari peraturan tentang informasi lingkungan adalah tidak adanya prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa yang memadai. ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan yang diatur dalam PERMENLH No. 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat
Dugaan
Pencemaran
dan/atau
Perusakan
Lingkungan
Hidup
hanya
menitikberatkan pada dugaan pencemaran atau perusakan dengan mendasarkan pada izin lingkungan. Selain itu, independensi lembaga ini juga layak untuk dipertimbangkan mengingat lembaga ini berada dibawah pemerintah sebagai regulator maupun pengambil keputusan sehingga lebih berupa lembaga keberatan (upaya administrasi) dan juga memungkinkan terjadi conflict of interest. Mekanisme pengaduan dan penyelesaian sengketa dapat diatur dengan dua model, yaitu:
1. Menggunakan lembaga pengaduan dan penyelesaian sengketa lingkungan di bawah pemerintah. Lembaga ini dapat dipertahankan namun perlu direvitalisasi dengan: (a) memperluas obyek sengketa agar tidak hanya dugaan terjadinya pencemaran atau perusakan lingkungan saja melainkan juga sengketa informasi lingkungan; (b) mempertimbangkan orang-orang yang memiliki kapasitas dan integritas yang baik untuk duduk didalamnya (adhoc) dan diberi wewenang untuk memeriksa dan memutuskan sengketa informasi lingkungan. 2. Memberikan wewenang kepada Komisi Informasi sebagai lembaga yang mengelola pengaduan dan penyelesaian sengketa informasi lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan wewenang kepada KOmisi Informasi untuk: (a) menyelesaikan sengketa dan mengambil keputusan atas pelanggaran informasi lingkungan, tidak hanya menyangkut badan publik di bawah UU KIP melainkan juga pelaku usaha dibawah UU PPLH; (b) memerintahkan kepada pemerintah agar menjatuhkan sanksi administrasi apabila putusan untuk memenuhi kewajiban dalam membuka informasi lingkungan tidak dilaksanakan oleh pelaku usaha. 6. Sanksi
Pengaturan sanksi dapat diarahkan kepada sanksi pidana maupun administrasi. Meskipun terbatas, sanksi pidana dapat merujuk kepada sanksi bagi tindakan yang mengakibatkan misleading information yang dikaitkan dengan pengawasan dan
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 113 UU PPLH. 272 Apabila kita kaji tindakan pengawasan dan penegakan hukum merupakan salah satu kegiatan saja dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Agar pasal ini dapat didayagunakan, maka harus diatur bahwa kewajiban pelaku usaha untuk membuat SOP informasi lingkungan adalah sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan. Dengan demikian pelaksanaan dari SOP tersebut merupakan bagian dari ketaatan pelaku usaha atas izin lingkungan yang harus diawasi. Hal ini akan memperkuat aktivitas pengawasan sebagai salah satu aktivitas untuk mengumpulkan informasi sehingga informasi hasil pengawasan dapat dipublikasikan. Demikian juga untuk pengaturan sanksi administrasi. Oleh karena pengaturan sanksi administrasi dalam UU PPLH hanya ditekankan pada pelanggaran izin lingkungan, 273 maka pengaturan yang mengaitkan SOP informasi lingkungan sebagai 272
Indonesia (a), op.cit, Ps. 113. “Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Pasal 55 UU KIP mengatur: “Setiap Orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi Orang lain dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp5.000.000,00 ( lima juta rupiah) .”
273
Ibid, Ps. 76:
(1) Menteri, gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. (2) Sanksi administratif terdiri atas: a.
teguran tertulis;
b.
paksaan pemerintah;
c.
pembekuan izin lingkungan; atau
d.
pencabutan izin lingkungan.
Pasal 80 UU PPLH: (1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b berupa:
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
salah satu syarat prosedural permohonan izin lingkungan dapat dijadikan dasar untuk menjatuhkan sanksi administrasi. 4.2. Strategi Pengembangan Kebijakan Kerangka Hukum Pemenuhan Akses Informasi Lingkungan 4.2.1. Pengaturan Pemenuhan Akses Informasi
Ketentuan-ketentuan pada sub-bab sebelumnya merupakan materi muatan yang perlu diatur dalam rangka memperkuat jaminan pemenuhan akses informasi. Terdapat beberapa opsi untuk mendorong materi muatan tersebut masuk ke dalam kerangka hukum nasional pemenuhan akses informasi, yaitu: 1. Undang-Undang
Pengaturan materi muatan di atas dalam produk undang-undang memang cukup ideal dilihat dari sudut pandang kemampuan UU dalam mewadahi norma atau ketentuan secara komprehensif. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan merevisi UU PPLH. Beberapa kelebihan pengaturan dalam UU ini adalah:
a. Memungkinkan untuk memasukkan pengaturan yang komprehensif mulai dari subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup badan publik dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan
a. b. c. d. e. f. g.
penghentian sementara kegiatan produksi; pemindahan sarana produksi; penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi; pembongkaran; penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; penghentian sementara seluruh kegiatan; atau tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup. (2) Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan: a. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup; b. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau c. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
juga pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan), prinsip-prinsip, jenis informasi
lingkungan
dan
pengecualian/informasi
rahasia,
standar
minimum dan perintah pembentukan SOP sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa, dan sanksi yang lebih memadai. b. Lembaga penyelesaian sengketa dapat diintegrasikan dengan Komisi Informasi sebagai lembaga quasi yudisial yang diatur dalam UU KIP dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan konteks kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat jangka waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan Komisi Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun eksekusinya. c. Memungkinkan untuk memperkuat ketentuan sanksi atas pelanggaran informasi lingkungan baik dalam hal membuka informasi atau pemberian informasi yang menyesatkan. Meskipun secara muatan materi pengaturan melalui UU cukup ideal namun tantangan yang dihadapi tidaklah mudah mengingat membutuhkan komitmen politik yang cukup kuat baik dari DPR RI selaku legislator dan pemerintah. Adapun kerangka pengaturan dapat dilihat pada bagan berikut:
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
GAMBAR 5. OPSI 1 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN Keterangan:
Pada bagan di atas pengaturan dipertegas dalam revisi UU 32/2009. Kemudian untuk peraturan secara teknis dapat dimuat dalam Peraturan Menteri LH sebagai standar minimum yang harus dijabarkan oleh pelaku usaha. Terkait dengan pengaturan ini dapat dipilih Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa sehingga berlaku pula pengadilan sebagai lembaga bandingnya sesuai dengan PERMA 2/2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan. 2. Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah dapat sebagai peraturan pelaksana ( verordnung) maupun peraturan otonom ( autonome satzung ). Peraturan pemerintah sebagai peraturan pelaksana jika menerima kewenangan delegasi, sedangkan sebagai peraturan otonom jika menerima kewenangan atribusi. Kewenangan delegasi adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik dinyatakan secara tegas maupun tidak. Sedangkan kewenangan atribusi adalah pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh UU kepada suatu lembaga Negara atau pemerintahan.274 Peraturan pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk menjalankan UU atau dengan kata lain peraturan pemerintah merupakan peraturan yang membuat ketentuanketentuan dalam suatu UU bisa berjalan atau diberlakukan. Peraturan pemerintah dapat dibentuk meskipun UU-nya tidak menyebutkan secara tegas supaya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.275 Berdasarkan uraian di atas, ketentuan tentang informasi lingkungan dapat diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan mendasarkan pada Pasal 63 Ayat (1) UU PPLH tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah yang mengatur bahwa Pemerintah memiliki 274
Maria Farida Indrati Soeparto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan Pembentukannya, (Jakarta: Kanisius 1998) hal 35 275
Ibid , hal 98-99
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
tugas dan kewenangan, antara lain: (a) menetapkan kebijakan nasional; (b) menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria; (c) mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; (d) menetapkan standar pelayanan minimal; dan (e) mengelola informasi lingkungan h idup n asional. Pengaturan
melalui
Peraturan
Pemerintah
memungkinkan
kita
untuk
memasukkan pengaturan tentang subyek yang dikenai kewajiban (tidak hanya mencakup badan publik dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan juga pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan sesuai dengan pendekatan UU PPLH) dan pemohon, prinsip-prinsip dengan merujuk pada UU KIP, jenis informasi lingkungan dan pengecualian/informasi rahasia, standar minimum dan perintah pembentukan SOP sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa. Namun demikian ada beberapa hal yang terbatas melalui bentuk pengaturan ini, yaitu:
(a) Tidak dapat mengatur Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan konteks kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat jangka waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan Komisi Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun eksekusinya. (b) Tidak dapat memperkuat sanksi administrasi maupun pidana di luar UU KIP dan UU PPLH.276 Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah memiliki tantangan terkait dengan political will pemerintah secara keseluruhan mengingat prosedur pembentukan Peraturan
Pemerintah harus melalui proses pembahasan antar kementerian sebelum disahkan oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan. Adapun kerangka pengaturan melalui opsi ini dapat dilihat sebagai berikut:
276
Ibid . Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PP hanya boleh mengatur sanksi tersebut apabila ditentukan dalam UU yang dilaksanakannya.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
GAMBAR 6. OPSI 2 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN Keterangan:
Pada bagan di atas, pengaturan dapat dimuat dalam PP. Selain mengatur tentang sistem informasi dan standar yang nantinya ditindaklanjuti oleh pelaku usaha dalam SOP, PP ini juga dapat mengatur tentang prosedur pengaduan dan penyelesaian sengketa. Terkait dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011 dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari target pengembangan kapasitas hakim l ingkungan. 3. Peraturan Menteri
Pengaturan tentang informasi lingkungan dapat diatur dengan Peraturan Menteri sebagai peraturan pelaksana dengan mendasarkan pada:
a) Pasal 63 Ayat (1) UU PPLH tentang Tugas dan Wewenang Pemerintah yang mengatur bahwa Pemerintah memiliki tugas dan
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
kewenangan, antara lain: (a) menetapkan kebijakan nasional; (b) menetapkan
norma,
standar,
prosedur,
dan
kriteria;
(c)
mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; (d) menetapkan standar pelayanan minimal; dan (e) mengelola informasi lingkungan hidup nasional. b) Pasal 64 UU PPLH yan g menyat akan bah wa Tugas dan wewenang Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dilaksanakan dan/atau dikoordinasikan oleh Menteri c) Pasal 62 UU PPLH yang menyatakan Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat di mana paling sedikit harus memuat informasi mengenai status lingkungan hidup, peta rawan lingkungan hidup, dan informasi lingkungan hidup lain. Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem informasi lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Menteri. Pengaturan melalui Peraturan Menteri memungkinkan kita untuk memasukkan pengaturan tentang subyek yang dikenai kewajiban (ti dak hanya mencakup badan publik dengan pendekatan anggaran sebagaimana definisi UU KIP melainkan juga pelaku usaha yang berdampak pada lingkungan) dan pemohon, prinsip-prinsip dengan merujuk pada UU KIP, jenis informasi lingkungan dan pengecualian/informasi rahasia, standar minimum dan kewajiban pembentukan SOP sebagai syarat prosedural permohonan izin lingkungan, mekanisme penyelesaian sengketa dengan merevitalisasi PERMENLH No. 9/2010 tentang Tata Cara Pengaduan dan Penanganan Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup. Namun demikian ada beberapa hal yang terbatas melalui bentuk pengaturan ini, yaitu:
a) Tidak dapat mengatur Komisi Informasi sebagai lembaga penyelesaian sengketa dengan memperkuat beberapa ketentuan penting sesuai dengan konteks kebutuhan informasi lingkungan, antara lain: (i) mempercepat jangka waktu proses penyelesaian sengketa; (ii) memperkuat putusan ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Komisi Informasi melalui materi putusan yang bisa dijatuhkan maupun eksekusinya. b) Tidak dapat memperkuat sanksi administrasi maupun pidana diluar UU KIP dan UU PPLH.277 Pengaturan melalui Peraturan Menteri ini membutuhkan polit ica l will yang memadahi
dari
Menteri
Lingkungan
Hidup
dalam
memandang
persoalan
pemenuhan informasi yang ada. Namun demikian, opsi pengaturan ini dipandang cukup fea sib le untuk tahap awal. Oleh karena itu kerangka pengaturan dapat dilihat pada bagan berikut:
GAMBAR 7. OPSI 3 KERANGKA PENGATURAN PEMENUHAN AKSES INFORMASI LINGKUNGAN Keterangan:
(1) Pada bagan di atas terdapat 2 alur pengaturan, yaitu alur pengaturan bagi badan publik di bawah UU KIP (UU 14/2008) sedangkan alur pengaturan bagi pelaku usaha dapat dibuat di bawah UU PPLH (UU 32/2009). Untuk 277
Ibid . Dalam hubungannya dengan ketentuan sanksi pidana dan pemaksa, PERMEN hanya boleh merujuk sanksi tersebut pada UU yang dilaksanakannya.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pengaturan badan publik berbagai peraturan pelaksana dari UU KIP telah ada sehingga perlu ditindaklanjuti dengan PERMENLH yang mengatur tentang standard operational procedure (SOP) di tingkat Kementerian Lingkungan
Hidup. Selain mengatur tentang SOP di tingkat KLH, PERMENLH juga dapat mengatur Pemerintah Provinisi dan Daerah sebagai penjabaran dari Pasal 62 yang lebih diarahkan pada pedoman tentang jenis informasi dan standar minimum (termasuk standar isi dari informasi). Untuk kelembagaan informasi publik, misalnya penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi bagi provinsi dan pemerintah daerah telah diatur dalam Permendagri No. 35 tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan Daerah. (2) Untuk pengaturan bagi pelaku usaha dapat segera ditetapkan PERMENLH yang mengatur tentang standar minimum bagi pemenuhan akses informasi lingkungan dan kemudian diwajibkan agar setiap pelaku usaha membentuk SOP dengan mengacu pada PERMNLH tersebut. Kewajiban membuat SOP tersebut diatur sebagai bagian dari syarat prosedural permohonan izin lingkungan. Untuk penyelesaian sengketa informasi perlu dipertimbangkan agar PERMENLH NO. 9/2010 direvitalisasi dengan memasukkan sengketa informasi lingkungan sebagai salah satu objek sengketa, pengaturan tentang mekanisme penyelesaian sengketa beserta orang-orang yang duduk sebagai penyelesai sengketa, putusan berupa penjatuhan sanksi administrasi maupun pidana dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. (3) Terkait dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011 dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari target pengembangan kapasitas hakim lingkungan.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
4.2.2. Faktor Pendukung Penerapan Aturan Tentang Pemenuhan Akses Informasi
Persoalan tentang pemenuhan akses informasi lingkungan tidak hanya terdapat pada lemahnya pengaturan atau jaminan hukum saja. Oleh karena itu, strategi pengembangan peraturan sebagaimana dijelaskan pada su-bab sebelumnya tidak dapat berdiri sendiri tanpa didukung oleh faktor-faktor lainnya yang turut berkontribusi, antara lain: 1. Kemauan Politik Pemerintah
Kemauan politik pemerintah baik pusat maupun daerah dalam memperkuat pemenuhan akses informasi lingkungan memegang peranan penting untuk melahirkan kebijakan dan praktek yang baik. Kemauan politik ini dapat diukur dari beberapa kebijakan, studi kasus dan program-program masyarakat sipil dalam mendorong pemenuhan akses informasi lingkungan. Pemenuhan akses informasi lingkungan di tingkat regulasi dapat dilihat dari pelaksanaan keterbukaan informasi di bawah UU KIP di mana pemerintah pusat dan daerah merupakan badan publik yang harus melaksanakan keterbukaan informasi lingkungan. KLH sebagai badan publik berdasar UU KIP hingga saat ini belum memiliki standard operational procedure bagi pelaksanaan UU KIP dan termasuk salah satu
kementerian yang terlambat dalam menunjuk serta mengangkat pejabat yang bertanggungjawab dalam bidang keterbukaan informasi atau disebut Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang seharusnya paling lambat dibentuk pada 30 April 2010.278 Demikian juga pemerintah provinsi dan daerah di mana hingga 1 Oktober 2012 tidak lebih dari 50% yang telah memiliki PPID dari total jumlah provinsi dan kan/kota. Lihat tabel berikut:
278
Laporan Tim Open Government Indonesia, (Jakarta: UKP4, Agustus 2011). Lihat pula http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/05/rekapitulasi-jumlah-ppid-30-april-2012.pdf, Rekapitulasi Jumlah PPID, Kominfo, 30 April 2012
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
TABEL 1 : JUMLAH KEMENTERIAN/LEMBAGA DAN PEMDA YANG TELAH MENGANGKAT PPID
Kewajiban Menteri Lingkungan Hidup berdasar UU PPLH untuk menyelesaikan peraturan pelaksana 1 tahun sejak UU PPLH disahkan juga belum terselesaikan dengan baik. Peraturan Menteri Lingkungan yang mengatur tentang sistem informasi lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 UU PPLH hingga saat ini belum berhasil disahkan. Keterlambatan ini didukung pula dengan belum adanya rencana prioritas penyusunan peraturan pelaksana yang memasukkan PERMENLH tersebut sebagai bagian dari prioritas kinerja penyusunan regulasi di KLH. 279 Dari studi kasus dan pengembangan program masyarakat sipil yang diinisiasi oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) bekerjasama dengan World Resource Institute (WRI) di mana program bertujuan untuk mendampingi kelompok
masyarakat untuk mengakses informasi lingkungan yang dibutuhkannya. Temuan sementara pada program tersebut adalah sebagai berikut: (a) Informasi lingkungan yang dibutuhkan oleh masyarakat belum didiseminasi secara proaktif; (b) Pelayanan informasi yang masih diskriminatif (Masyarakat (yang berkepentingan langsung) sulit mendapatkan informasi); (c) Banyak informasi/data lingkungan yang tidak dapat diberikan karena dokumen tidak tersedia; (d) Lemahnya pemahaman petugas untuk mendetekasi keberadaan informasi di badan publik/instansi lainnya; (e) Dokumen belum disajikan 279
Wawancara dengan Biro Hukum dan Humas KLH, tanggal 3 Januari 2012
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
secara mudah dipahami masyarakat; (f) Petugas belum mampu mendeteksi keberadaan dokumen terkait dengan informasi yang dibutuhkan masyarakat; (g) Lemahnya pemahaman masyarakat untuk mendapatkan informasi melalui prosedur sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan bagaimana memanfaatkannya terkait dengan kepentingan masyarakat. Hasil dari analisa menyimpulkan bahwa persoalan di atas salah satunya disebabkan oleh lemahnya regulasi yang dapat dijadikan sebagai pedoman baik oleh pemerintah maupun masyarakat dalam pemenuhan akses informasi lingkungan.280 Oleh karena itu, untuk menjawab persoalan ini maka pemerintah harus dapat mengakselerasi diri dalam menjalankan amanat yang sudah ada dalam membentuk peraturan pelaksana, khususnya terkait dengan pelaksanaan UU KIP dan UU PPLH. Untuk mempercepat hal ini diperlukan dorongan publik baik melalui proses dialog maupun meningkatkan demand dengan melakukan permintaan informasi atau sengketa informasi. 2. Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi
Sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi mencerminkan bekerjanya subsistem secara mekanis untuk mendukung pemenuhan akses informasi, mulai dari pengumpulan informasi, dokumentasi, hingga diseminasi informasi. Sistem ini dipengaruhi oleh keberadaan standar yang menjadi pedoman bersama, sumber daya manusia, dan monitoring serta penjatuhan sanksi internal atas pelanggaran yang terjadi. Banyak informasi lingkungan dapat diproduksi dari hasil aktifitas yang sudah diatur dalam UU PPLH, misalnya pelaporan reguler atas pelaksanaan RKL/RPL setiap 6 bulan sekali maupun hasil pengawasan pemerintah. Pada saat dokumen-dokumen tersebut diakses oleh masyarakat ternyata banyak dokumen yang tidak dapat diperoleh karena alasan dokumen tidak tersedia. Ada 2 kemungkinan hal ini terjadi: (1) tidak berjalannya kewajiban pelaporan dan monitoring sebagaimana mestinya sesuai dengan regulasi sehingga dokumen atau informasi tidak dapat diperoleh; (2) tidak adanya sistem dan standar dokumentasi atau pengarsipan yang baik sehingga dokumen tidak dapat ditemukan kembali. Permasalahan lainnya juga terjadi dalam hal sumber daya manusia. Selain terbatasnya jumlah SDM, khususnya di pemerintah daerah yang bertanggungjawab di 280
Temuan Sementara, Strengthening the Right to Information to Improve Public Health and Wellbeing (SHRIMP), (Jakarta: ICEL-WRI, Oktober 2012). ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
bidang pengelolaan informasi banyak petugas yang belum memahami tentang keterbukaan informasi. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya respon yang negatif mulai dari pendiaman atas permintaan informasi (mute refusal) hingga tidak terlaksananya standar layanan minimum sesuai dengan UU KIP. Selain itu, juga ditemukan minimnya sarana yang berkaitan dengan pengumpulan informasi tertentu misalnya alat monitoring kualitas air dan udara serta laboratorium, selain petugas yang memiliki kapasitas khusus untuk hal itu. Terkait dengan pelanggaran tersebut tidak ada mekanisme penjatuhan sanksi internal bagi petugas yang menghambat informasi baik karena sengaja ataupun lalai. Untuk memperkuat sistem ini maka diperlukan adanya standar yang menjadi pedoman dalam pengembangan sistem informasi, pengembangan sarana dan prasarana, serta pengembangan SDM secara memadai. Regulasi yang ada akan menjadi dasar bagi pemerintah maupun pemerintah daerah untuk melakukan perencanaan dan penganggaran. 3. Pengembangan kapasitas masyarakat dan pelaku usaha
Pengembangan kapasitas masyarakat diperlukan mengingat hingga saat ini masih minim masyarakat yang mau dan mampu untuk menggunakan hak aksesnya dalam memperoleh
informasi
lingkungan.
Masyarakat
membutuhkan
pemahaman
dan
keterampilan yang memadai untuk menggunakan instrument hukum dalam memperoleh informasi lingkungan mengingat masih lemahnya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan informasi lingkungan secara proaktif. Pengembangan kapasitas bagi pelaku usaha juga diperlukan. Meskipun hingga saat ini terdapat kelemahan atas regulasi yang ada namun kesadaran tentang pentingnya memberikan informasi yang utuh dan akurat seharusnya telah dimiliki oleh dunia usaha karena sudah dijamin dalam UU PPLH maupun UU sebelumnya. Namun pelaku usaha masih belum memahami atau sengaja tidak menjalankan kewajibannya untuk membuka dokumen-dokumen tertentu yang secara peraturan jelas-jelas merupakan dokumen lingkungan yang terbuka, misalnya Amdal. Hal ini tercermin dalam sengketa informasi tentang Amdal yang terjadi antara PLN dan PLTU Tanjungjati B di Jepara, Jawa Tengah dengan masyarakat.281 Hal serupa juga terjadi dalam kasus sebelumnya yaitu dugaan pencemaran Teluk Buyat dan Longsor Danau Wanagon di mana pelaku usaha cenderung menutupi informasi yang dikuasainya. 281
Dokumen sengketa informasi Amdal, Komisi Informasi Pusat, Desember 2012 ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Oleh karena itu upaya pengembangan kapasitas bagi masyarakat dan pelaku usaha juga diperlukan. Pendekatan pengembangan kapasitas bagi keduanya mungkin perlu dibedakan, misalnya bagi masyarakat dengan melakukan pendampingan untuk mengajukan permintaan informasi dan bagaimana menggunakannya sesuai dengan kebutuhan. Pengembangan kapasitas bagi pelaku usaha dapat dilakukan dengan memberikan pedoman atau bantuan teknis dalam mempersiapkan sistem informasi. 4. Penguatan pengadilan
Pengadilan
mempunyai
peranan
penting
untuk
memastikan
efektifitas
pelaksanaan jaminan hukum pemenuhan akses informasi lingkungan melalui penegakan atas pelanggaran jaminan hukum yang sudah ada. Ada 2 persoalan penting di tingkat pengadilan yang perlu dipertimbangkan: (1) paradigma, kapasitas, dan integritas hakim; (2) kekuatan eksekutorial putusan pengadilan. Paradigma, kapasitas, dan integritas hakim terhadap persoalan keterbukaan informasi masih lemah, hal ini terlihat dalam berbagai perkara sengketa informasi di bawah UU KIP maupun sengketa informasi lingkungan seperti perkara Walhi Vs. PT Freeport Indonesia. Terkait dengan penanganan perkara informasi dibawah UU KIP, dari 10 perkara yang ada 5 perkara dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan di mana Komisi Informasi selaku lembaga sengketa yang diberi wewenang oleh UU KIP diposisikan sebagai tergugat. Dalam perkara Walhi Vs PT. Freeport Indonesia dalam longsornya overburden Danau Wanagon pertimbangan hukum putusan pengadilan menganggap bahwa persoalan informasi bukanlah persoalan substansial dari pengelolaan lingkungan sehingga penggugat yang dimenangkan tuntutan primernya tidak dikabulkan. Lemahnya eksekusi putusan pengadilan tercermin dalam beberapa perkara, misalnya perkara David Tobing vs. Kementerian Kesehatan, IPB, dan BPOM terkait dengan gugatan untuk membuka susu formula yang terindikasi tercemar bakteri sakazaki.282 Putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tidak dilaksanakan oleh
tergugat yang kalah. Demikian juga beberapa putusan komisi informasi selaku lembaga penyelesaian sengketa melalui mediasi dan ajudikasi berdasarkan UU KIP. Dalam
282
Putusan Kasasi No. 2975 K/Pdt/2009. Lihat pula http://www.tribunnews.com/2011/02/19/tak-jalankan-putusan-ma-ipb-bisa-dipidana, http://life.viva.co.id/news/read/204840-susu-berbakteri--david-tobing-datangi-kip, diakses tanggal 3 Desember 2012
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
perkara ICW vs. Mabes Polri di mana putusan telah berkekuatan hukum tetap tidak dilaksanakan oleh Mabes Polri setelah Mabes Polri mencabut bandingnya di PTUN.283 Menghadapi permasalahan di atas perlu dilakukan upaya pengembangan kapasitas bagi hakim dengan mengarusutamakan persoalan pemenuhan akses informasi sebagai persoalan penting dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Terkait dengan keberadaan program Mahkamah Agung RI tentang sistem sertifikasi hakim lingkungan berdasarkan Keputusan Ketua Mahakamah Agung RI No. 134 Tahun 2011 dapat dijadikan peluang agar sengketa informasi lingkungan juga ditangani oleh hakim lingkungan dengan memasukkan materi pemenuhan akses informasi sebagai bagian dari target pengembangan kapasitas hakim lingkungan. Sedangkan untuk mendorong penguatan eksekusi putusan pengadilan kiranya perlu dipertimbangkan gagasan memasukkan ketentuan contempt of court dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Beberapa Negara seperti Australia telah memiliki UU tentang Contempt of Court . Alternatif lainnya yang dapat dilakukan adalah dengan memasukkan ketentuan contempt of court dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
283
Putusan Komisi Informasi Pusat Nomor: 002/X/KIP-PS-A/2010. Lihat pula Penetapan PTUN Jakarta Nomor: 37/G/20 11/PTUN- JKT
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1) Informasi lingkungan memegang peran penting dalam merespon persoalan lingkungan hidup. Dalam konteks pengambilan keputusan, keberadaan informasi lingkungan yang memadai menjadi dasar untuk mengambil keputusan secara tepat dengan mendasarkan pada kesadaran terhadap resiko yang dihadapi. Oleh karena itu, pemenuhan akses informasi lingkungan bukan saja sebagai hak yang harus dipenuhi berdasarkan hukum, melainkan diperlukan juga untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan melalui proses partisipasi publik atau deliberatif. Proses
deliberatif
dalam
pengambilan
keputusan
memungkinkan
dipertimbangkannya persoalan-persoalan ataupun resiko yang selama ini tidak dapat diakomodir oleh pendekatan
science
belaka seperti
pertimbangan nilai, moral, budaya, kesadaran masyarakat, dan sebagainya. 2) Jaminan hukum terhadap akses informasi lingkungan di Indonesia belum memadai berdasarkan studi kasus dan pengaturan yang ada. Beberapa kelemahan yang ada adalah: (a) subyek yang dikenai kewajiban kurang lengkap; (b) pemenuhan akses informasi tidak diatur dalam setiap tahapan kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan; (c) pengaturan akses informasi masih bersifat umum; (d) tidak ada pengaturan tentang jenis jenis informasi lingkungan dan aspeknya yang harus dibuka, termasuk resiko atas suatu keputusan ( standar content ); (e) tidak ada mekanisme penyelesaian sengketa yang jelas bagi pelanggaran informasi; (f) lemahnya sanksi bagi pelanggaran akses informasi dan tidak konsisten; (g) lemahnya mainstreaming akses informasi lingkungan dalam pandangan legislator,
regulator, dan hakim. Oleh karena itu diperlukan penguatan substansi pengaturan pemenuhan akses informasi yang meliputi: (a) memperkuat pengaturan tentang subyek hukum yang memasukkan dan mengatur
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
pelaku usaha untuk membuka informasi, termasuk resiko atas pelaksanaan usaha/kegiatan; (b) mengatur prinsip-prinsip akses informasi ke dalam regulasi
lingkungan;
(c)
merinci
jenis-jenis
informasi
dan
mengkategorisasikannya sebagaimana dalam rezim UU KIP; (d) mengatur tentang standar minimum dan kewajiban pembuatan standar operational procedure bagi subyek hukum; (e) mengatur mekanisme pengaduan dan
penyelesaian sengketa informasi lingkungan; (f) memperkuat sanksi administrasi dan pidana atas pelanggaran informasi lingkungan, khususnya yang menyangkut resiko atas suatu keputusan dan usaha/kegiatan. 3) Untuk
memperkuat
jaminan
hukum
pemenuhan
akses
informasi
lingkungan diperlukan pengembangan strategi pengaturan pemenuhan akses
informasi
dan
penguatan
faktor-faktor
pendukung
bagi
penerapannya. Strategi pengaturan dapat dilakukan dengan beberapa opsi, yaitu: (a) revisi undang-undang; (b) pembuatan Peraturan Pemerintah; (c) pengaturan melalui PERMENLH baik untuk sistem informasi maupun pengaduan dan penyelesaian sengeketa yang diselaraskan dengan pengaduan lingkungan yang diatur dalam PERMENLH 9/2010. Mengingat pengaturan tidak dapat berdiri sendiri maka perlu dipertimbangkan beberapa faktor diluar peraturan, yaitu: (a) kemauan politik pemerintah; (b) pengembangan sistem pengelolaan informasi yang terintegrasi (standar, SDM, dan sarana); (c) pengembangan kapasitas masyarakat dan pelaku usaha; (d) penguatan pengadilan melalui pengembangan kapasitas dan integritas hakim maupun pelaksanaan putusan. 5.2. Saran
1) Kepada
Kementerian
Lingkungan
Hidup
disarankan
untuk
mengembangkan dan memperkuat sistem informasi di bawah UU KIP serta mengembangkan regulasi di bawah UU PPLH, khususnya terhadap pelaku usaha. 2) Kepada DPR RI disarankan untuk memperkuat pengaturan akses informasi dalam level UU dengan memperluas subyek hukum dan pengaturan lainnya baik dalam UU KIP maupun UU PPLH. ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
3) Kepada pengadilan disarankan untuk memperkuat kapasitas dan integritas hakim dalam memutuskan perkara pelanggaran jaminan hukum terhadap akses informasi baik di bawah UU KIP maupun UU PPLH.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA
A. Annan, Kofi. We the People: the Role of the UN in the 21 st Century, http://iefworld.org/UNSGmill.htm Achmad Santosa, Mas. Hukum Lingkungan dan Good Governance. (Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law, Law, 2001).
Beder, Sharon. Environmental Principles and Policies, (London: Earthscan, 2006). Blowers, A. Environmental Policy: Ecological Modernisation or the Risk Society? (Urban Studies: 1997). Boer, Ben. Institutionalizing Ecologically Sustainable Development: the Role of National State, and Local Local Governments in Translating Translating Grand Strategy into Actio. (Willamette Law Review, Vol. 31(31), 1995). P olicies in the European Community, In Briggs, D. Environmental Problems and Policies Environmental Policies :an International Review, (Ed. Park, C. C., Croom Helm, Beckenham, and Kent, 1986).
C. Wallen, C. History of "Earthwatch" . http://www.unep.ch/earthw/History http://www.unep.ch/earthw/History.htm .htm Carrand, W. and A. Hartnett. Education and the Struggle for Democracy: The Politics of Educational Ideas, (Buckingham: Open University Press, 1996). Carter, Neil. The Politics of the Environment: Ideas, Activism, Policy, 2nd Edition, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007). Cotgrove, Stephen. Technology, Rationality and Domination, Social Studies of Science. (Vol. 5(1), Feb. 1975). Dahl, R. A Democratic Paradox. Political Science Quarterly. (Vol. 115, No. 1. 38, 2000). Farida Indrati Soeparto, S.H., M.H., Maria. Ilmu Perundang-undangan: Perundang-undangan: Dasar Dasar dan Pembentukannya. Pembentukannya. (Kanisius, Jakarta, 1998). Farrelly, Colin. Deliberative Democracy. An Introduction to Contemporary Political Theory, (London: Sage Publications, 2004). Fischer, Frank. Citizen, Experts, and the Environment : the Politics of Local Knowledge. (London: Duke University Press, 2000).
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
. Science and Politics in Environmental Regulation: The Politicization of Expertise. (London: Duke Univeristy Press, 2000).
Functowicz, Silvio. and Jerome Ravetz. Post Normal Science: Environmental Policy under Conditions of Complexity. (UNSAP).
, Silvio. et.al. Information Tools for Environmental Policy Under conditions of Complexity. (European Environtment Agency, 1999).
G. Wibisana, Andri. Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas Kehatihatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004. (Jurnal Konstitusi, Vol. 8(3), Juni 2011). Gutman, A. and D. Thompson. Moral Conflict and Political Consensus. Ethics: An International, Journal of Social, Political and Legal Philosophy. Vol. 101 (1), 1990. Harding, R. and E. Fisher. Ignorance, sustainability and the precautionary principle: Towards an analytical framework" dalam Perspectives on the Precautionary Principle. (Sydney: The Federation Press, 1999).
I. Ogus, Anthony. Regulation: Legal Form and Economic Theory, (Hart Publishing, Oxford-Portland Oregon, 2004). Klinke, Andreas. Deliberative democratization across borders: participation and deliberation in regional environmental governance. (Elsevier Ltd., 2011). Leiss, William. Ideology and Science, Social Studies of Science, Vol. 5(2), May 1975. Lofgren, Karl-Gustaf. Torsten Persson, Jorgen W. Wibull. Market with Asymmetric Information: The Contribution of George Akerlof, Michael Spence and Joseph Stiglittz, The Scandinavian Journal of Economics. Vol.
104, No. 2, Juni 2002. Marion Young, Iris. Inclusion and Democracy. (Oxford: Oxford University Press, 2000). McCormick, J. The Global Environment Movement . (John Wiley & Sons, Chichester,1995). McGrath, Patricia. Discharge Permitting and Environmental Assessment Issues Associated with Submarine Tailing Disposal for the Alaska-Juneau Mine Project . (USEPA, Washington, 1998).
Murharjanti, Prayekti. et.al. Menutup Akses Menuai Bencana (Potret Pemenuhan Akses
Informasi,
Partisipasi,
dan
Keadilan
dalam
Pengelolaaan
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam di Indonesia), Cet. I, (Jakarta: ICEL, 2008 ).
Petkova, Elena. et. al. Closing the Gap: Information, Participation, and Justice in Decision Making for the Environment , http://pdf.wri.org/closing_the_gap.pdf Sani, Mohd Azizuddin Mohd dan Abubakar Eby Hara. Deliberative Democracy in Malaysia and Indonesia: Indonesia: A Comparison. (Malaysia, 2002). Shabbir Cheema, G. “ Good Governance: A Path to Poverty Eradication”, Choices: The Human Development Magazine, No. 1, March 2000. Stirling, Andy. and David Gee. Science, Precoaution, and Practice, Public Health Report , Vol. 117, Nov-Des 2002. Subagiyo, Henri. dkk. Anotasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. (ICEL, Jakarta, 2009) Akses. (ICEL, Jakarta, 2010). Subagiyo, Henri. dkk. Modul Pelatihan 3 Akses.
Catatan Akhir Tahun 2011. (Jakarta: ICEL, 28 Desember 2011). Andal PT. NMR, 1994. Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Living , (IUCN-the World
Conservation-UNEP-WWF, Gland, Switzerland, October, 1991). Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002). Hasil Studi Desktop Untuk Verifikasi Masalah Pencemaran oleh PT. NMR di Teluk Buyat, Desa Ratatotok, Kab. Minahasa, Sulawesi Utara. (Jakarta, 7
Desember 2000). Tahun 2012. Kementerian Keuangan, Nota Keuangan Tahun Laporan Hasil Pemantauan Kualitas Lingkungan di Derah Pertambangan PT. NMR, Sarpedal KLH KLH . (Jakarta, 2004).
Laporan Penelitian: Penanganan Dugaan Kasus Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pantai dan Desa Ratatotok Kecamatan Ratatotok Timur, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara, Kementerian Lingkungan Hidup RI . (Jakarta, 2004)
Laporan Tim Open Government Indonesia. (UKP4, Agustus 2011). Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945, (Jakarta: 2008). ��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
National Strategy for Ecologically Sustainable Development , (Commonwealth of
Australia, December 1992). Notulensi Hasil Pertemuan Bapedal, Departemen Pertambangan dan Energi, dan Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan pada tanggal 11 April 2000. Memorandum tentang Telaah STP PT. NMR. Perjanjian Niat Baik (Goodwill Agreement) Mengenai Gagasan-gagasan Pemantauan dan Pembangunan Berkelanjutan Pasca Tambang. (Jakarta,
tertanggal 16 Februari 2006). Telaah Latar Belakang Pemilihan STP PT. NMR, Dokumen Data Arsip yang Berkaitan dengan PT. Newmont Minahasa Raya. (Kementerian
Lingkungan Hidup, 1994-2002). Temuan Sementara, Strengthening the Right to Information to Improve Public Health and Wellbeing (SHRIMP). (ICEL-WRI, Jakarta, Oktober 2012). TOR Investigasi Pencemaran Perairan Teluk Buyat oleh Limbah Tailing PT. NMR. (WALHI, 7 Agustus 2000).
Amdal PT. NMR, November 1994. Hasil Analisa Lab Kualitas Air Laut. (PT. NMR, September 2000). Draft SK Kepala Bapedal No…./Bapedal/02/2001 tentang Pembentukan Tim Ecological Risk Assessment Pembuangan Tailing ke Teluk Buyat PT. Newmont MInahasa Raya, dalam Data Arsip yang Berkaitan Dengan PT. Newmont Minahasa Raya. (Kementerian Lingkungan Hidup, 1994-2002).
http://life.viva.co.id/news/read/204840-susu-berbakteri--david-tobing-datangi-kip http://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/05/rekapitulasi-jumlah-ppid-30april-2012.pdf http://www.menlh.go.id/peresmian-unit-pelayanan-terpadu/ http://www.tribunnews.com/2011/02/19/tak-jalankan-putusan-ma-ipb-bisadipidana UNDP,
Human
Development
Report
1999,
http://hdr.undp.org/en/media/HDR_1999_EN.pdf UNESCAP, What is Good http://www.unescap.org/huset/gg/governance.htm
Governance?,
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013
What is Aarhus Convention?,http://ec.europa.eu/environment/aarhus/ World
Governance and Development, Bank, http://publications.worldbank.org/index.php?main_page=product_info&cP ath=&products_id=20725
www.Article19.org
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Perubahan ke-IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. ________. Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059. ________. Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699. ________. Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik. UU Nomor 14 Tahun 2008, LN No. 61 Tahun 2008, TLN No. 4846. ________. Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara. PP Nomor 41 Tahun 1999. LN No. 86 Tahun 1999, TLN No. 3853.
________. Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, PP No. 82 Tahun 2001, TLN No. 4161.
________. Peraturan Pemerintah tentang Izin Lingkungan. PP No. 27 Tahun 2012, TLN No. 5285.
________. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup .
________. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 09 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengaduan Akibat Dugaan Pencemaran dan/atau Perusakan Lingkungan Hidup.
��� UNIVERSITAS INDONESIA
Hak atas..., Henri Subagiyo, FH UI, 2013