BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Istilah agraria berasal dari kata akker (bahasa belanda), agros (bahasa yunani) yang berarti tanah pertanian. Menurut Soedikno Martokusumo, hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur agraria. Pada masa kolonial belanda adanya hukum dan politik agraria yaitu: 1. Hukum Agraria Kolonial Hukum agraria ini berlaku sebelum indonesi merdeka bahkan berlaku sebelum di undangkannya UUPA. 2. Politik Agraria Kolonial Yang dimaksud politik agraria disini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dasar Politik Agraria Kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapat hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuanya adalah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarbya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha belanda dan pengusaha eropa. Sebaliknya bagi rakyat indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam. Selanjutnya berkembang dari latar belakang tersebut diatas oleh karenanya Penulis menerangkannya dalam bentuk makalah yang berjudul “Hukum Agraria Pada Masa Kolonial” 1
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat sampaikan beberapa hal yang menjadi pokok masalah dalam makalah ini, yaitu: 1. Bagaimana hukum agraria pada masa kolonial? 2. Apa politik agraria kolonial itu?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam makalah ini: 1. Untuk mengetahui hukum agrarian pada masa kolonial. 2. Untuk mengetahui pengertian dari politik agraria kolonial.
Manfaat yang penulis dapat setelah menyusun makalah yang berjudul Hukum Agraria pada masa Kolonial ini, yaitu : 1. Manfaat teoritis: Penulis mendapat lebih banyak pengetahuan mengenai hukum agraria pada masa kolonial dan Penulis mendapatkan pengetahuan mengenai apa tujuan politik agraria. 2. Manfaat Praktis: Penulis dapat menjelaskan mengenai hukum agraria pada masa kolonial, Penulis dapat mengetahui politik agraria di Indonesia. Jika suatu hari Penulis bekerja pada bidang Hukum Agraria atau yang berhubungan dengan pertanahan maka penyusun sudah mengetahui bagaimanakah penjelasan mengenai hukum agraria pada masa kolonial.
2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Agraria dan Hukum Agraria Kata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian.1 Dalam terminologi bahasa indonesia agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan, sedangkan dalam bahasa inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu berarti tanah dan selalu dihubungkan dengan pertanian. Pengertian agrarian ini, sama sebetulnya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah.2 Selain pengertian agraria dilihat dari segi terminologi bahasa sebagaimana di atas, pengertian agraria dapat pula ditemukan dalam undang-undang pokok Agraria (UUPA). Hal ini dapat ditemukan jika membaca konsiderans dan pasal-pasal yang terdapat dalam ketentuan UUPA itu sendiri. Oleh karena itu pengertian agraria dan hukum agraria mempunyai arti dan makna yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang disebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air (pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)). Boedi Harsono memasukkan bumi meliputi apa yang dikenal dengan sebutan Landas Kontinen Indonesia (LKI). Landasan Kontinen Indonesia merupakan dasar laut dan tubuh bumi di bawahnya di luas perairan wilayah Republik Indonesia yang 1
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanny, Jilid 1 Hukum Tanah, (Jakarta: Djambatan. 1994), hlm. 4 2
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 1
3
ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 4 Prp 1960 sampai ke dalam 200 meter atau lebih, di mana masih mungkin diselenggarakan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam. Penguasaan penuh dan hak eksklusif atas kekayaan alam di landasan kontinen Indonesia tersebut ada pada negara RI (Undang-Undang Nomor 1 tahun 1937 (LN 1937-1, TLN 2994). Lebih jauh Boedi Harsono mengatakan bahwa pengertian air meliputi baik perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia (pasal 1 ayat (5)). Dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 1974 tentang pengairan (yang diubah dengan dengan UU Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air) telah diatur pengertian air yang tidak termasuk dalam arti yang seluas itu. Hal ini meliputi air yang terdapat di dalam dan atapun yang berasal dari sumber air, baik yang terdapat di atas muupun di bawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat di laut (pasal 1 angka 3).3 Berkaitan degan pengertian air tersebut, dalam UUPA diatur pula mengenai pengertian kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk di dalamnya bahan galian, mineral biji-bijian dan segala macam batuan, termasuk batu-batuan mulia yang merupakan endapan-endapan alam (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan ). Untuk pengertian mengenai kekayaan alam yang terkandung di dalam air adalah ikan dan semua kekayaan yang berada di dalam perairan pedalaman dan laut wilayah Indonesia (UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang perikanan jo. UU Nomor 31 Tahun 2004). Pada tahun 1983 hak atas kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi dan air terwujud dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) meliputi jalur perairan dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam ZEE ini diatur hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi dan lain-lainnya atas sumber daya alam hayati dan nonhayati yang terdapat di dasar laut serta tubuh bumi di bawahnya dan air di atasnya. Sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, Maka dalam pengertian UUPA Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum 3
Boedi Harsono,op.cit, hlm. 5
4
agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidag hukum. Yang masing-masing mengatur hak-hak penguasan atas sumber-sumber daya alam tertentu. Sedangkan di lingkungan administrasi pemerintahan sebutan agraria dipakai dengan arti tanah, baik tanah pertanian maupun non pertanian. Tetapi Agrarisch Recht atau Hukum Agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dibatasi pada perangkat peraturan perundangperundangan yang memberikan landasan hukum bagi penguasa dalam melaksanakan kebijakannya dibidang pertanahan. Adanya Badan Pertanahan Nasional semenjak Keputusan Presiden No 26 tahun 1988 yang sebagai lembaga pemerintah Non Departemen bertugas membantu administrasi pertanahan, adapun penggunaan adminstrasi pertanahan tidaklah mengurangi lingkup pengertian agraria karena meliputi baik tanah-tanah di daratan maupun yang berada di bawah air, baik daratan maupun air laut. Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak selalu mengenai tanah. Karena luasnya cakupan pembahasan Hukum Agraria maka pendapat beberapa pakar pun berbeda-beda diantaranya, Subekti dan Tjitro Subono menjelaskan bahwa “hukum agraria adalah keseluruhan ketentuan hukumperdata, tata negara, tata usaha negara, yang mengatur hubungan antara orang dan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah negara, dan mengatur pula wewenang yang bersumber pada hubungan tersebut , misalnya jual beli tanah, sewa menyewa tanah” 4. Menurut Lemaire “hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara”. S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturanperaturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu. 2.1 Ruang Lingkup Agraria dan Hukum Agraria 4
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Di Indonesia )Jilid 1, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), hlm. 1-2
5
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agraria/sumber daya alam menurut ketetapan MPR RI No.IX/MPR/2001 tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Ruang lingkup agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:5 1. Bumi Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan menurut pasal 4 ayat (1) UUPA adalah tanah. 2. Air Pengertian air meneurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman maupun air yang berada dilaut wilayah Indonesia. Dalam pasal 1 angka3 Undang-uandang No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di dalam dan atau berasal dari sumbersumber air, baik yang terdapat diatas maupun dibawah permukaan tanah, tetapi tidak meliputi air yang terdapat dilaut. 3. Ruang angkasa Pengertian ruang angaksa menurut pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air wilayah Indonesia. Pengertia ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA, ruang diatas bumi dan air yang mengadung tenaga dan unsur-unsur
yang
dapat
digunakan
utnuk
usaha-usaha
memelihara
dan
mempterkembangkan kesuburuan bumi, air, serta kekayaan alam yang terkanding di dalamnya da hal-hal yang bersangkutan dengan itu. 4. Kekayaan alam yang terkandung didalamnya Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur-unsur kimia, mineral-mineral, biji-biji, dan segala macam batua, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan endapat-endapan alam (undang-undang No. 11 tahun 1967 tentang
ketentuan-ketentuan
pokok
pertambangan).
Kekayaan
alam
yang
terkandung di air adalah ikan dan m perairan pedalaman dan laut di wilayah Indonesia (Undang-undang No. 9 tahun 1985 tentang perikanan). 5
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group 2008), hlm 3-4
6
Dalam hubungan dengan kekayaan alam didalam tubuh bumi dan air tersebut perlu dimaklumi adanya pengertian dan lembaga Zona Ekonomi Eksklusif, yang meliputi jalur peraiaran dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia. Dalam Zona Ekonomi Ekslusif ini hak berdaulat unutk melakukan eksplorasi, eksploitasi, dan lain-lainnya atas segala sumber daya alam hayati dan non hayati yang terdapat di dasar laut seta tubuh bumi dibawahnya dan air diatasnya, ada pada Negara Republik Indonesia Undang-Undang No 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Sebagaimana yang tercantum dalam UUPA, Hukum Agraria merupakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk dalam pengertian agraria diatas. Kelompok tersebut terdiri atas: 1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan tanah 2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.\ 3. Hukum Pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galaian yang dimaksudkan oleh UU Pokok pertambangan. 4. Hukum Perikanan, yang mengatur penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung di dalam air. 5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-Unsur Dalam Ruang Ankasa (bukan “Space Law”), mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh pasal 48 UUPA.6 2.3 Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia 1. Sebelum Kemerdekaan Sebelum kemerdekaan, hukum Agraria di Indonesia bersumber pada hukum adat yang berkonsepsi “komunalistik religius”, ada yang bersumber pada hukum Perdata Barat yang bersifat individualistik-liberal sebagai akibat dari hukum yang di bawah 6
Boedi Harsono, op.cit. hlm. 8
7
oleh bangsa kolonial ke Indonesia sehingga sering dikenal dengan Hukum Agraria Kolonial. Selain itu ada pula yang berasal dari berbagai bekas peraturan pemerintahan swapraja yang umumnya berkonsepsi feodal. Hampir seluruhnya terdiri atas peraturanperaturan perundang-undangan yang memberikan landasan hukum bagi pemerintah jajahan dalam melaksanakan politik agrarianya yang dituangkan dalam Agrarische Wet. Agrarische Wet adalah suatu undang-undang (yang dalam Bahasa Belanda kata “Wet” berarti undang-undang) yang dibuat di Negeri Belanda pada tahun 1870.7 Hukum dan kebijakan pertanahan yang ditetapkan oleh penjajah senantiasa diorientasikan pada kepentingan dan keuntungan mereka sebagai penjajah, yang pada awalnya melalui politik dagang. Mereka sebagai penguasa sekaligus merangkap sebagai pengusaha meciptakan kepentingan kepentingan-kepentingan atas segala sumbersumber kehidupan di bumi Indonesia yang menguntungkan mereka sendiri sesuai dengan tujuan mereka dengan mengorbankan banyak kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini menyebabkan hukum agraria bersifat Dualisme, karena selain berlakunya hukum perdata barat yang diberlakukan bagi golongan Eropa dan Timur asing Tionghoa (hanya mengenai hukum kekayaan dan hukum waris testamentair), juga berlaku hukum adat yang sebagian besar tidak tertulis yang diberlakukan bagi golongan pribumi (Indonesia
asli).
Sehingga
adapun
hubungan-hubungan
hukum
antara
orang Indonesia asli dengan orang-orang bukan Indonesia asli diselesaikan dengan menggunakan hukum Antar Golongan (HAG). Secara politik hukum agraria kolonial terlihat selalu sepihak dan selalu merugikan rakyat Indonesia karena dari segi perangkat hukum dan pendaftaran tanah memiliki tujuan politik yang sangat merugikan, hal ini terlihat jelas dari tujuan politik yang dijelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu: Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari Pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa yang murah. DI samping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapatkan hak pakai atas tanah langung dari orang Bumi Putera, 7
http://greatandre.blogspot.com/2010/11/perkembangan-hukum-agrariakonsep.html
8
menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan Ordinasi. Maksudnya adalah kemungkinan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing.8 2. Sejak Merdeka Sampai Berlakunya UUPA Sejak Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dirasa bahwa hukum Agraria lama tidak dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat Indonesia sementara itu, banyak sekali persoalan yang dihadapi yang harus segera diselesaikan dan tidak dapat ditangguhkan. Oleh karena itu untuk mencegah adanya kekosongan hukum maka diberlakukan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru berdasarkan UndangUndang Dasar ini”. Berdasarkan Pasal II Aturan peralihan UUD 1945, Badan negara dan peraturan tentang agraria yang berlaku pada masa pemerintahan kolonial dinyatakan masih berlaku selama tidak bertentangan dengan UUD 1945. (2) Dan masih berlakunya hukum adat di masyarakat, berlaku juga hukum Peradata Barat yang bersifat diskriminasi terhadap masyarakat Indonesia asli, yaitu hukum Perdata Barat inilah yang berlaku bagi golongan Eropa dan Timur asing Tionghoa dan tidak dapat memberikan jawaban bagi semua permasalahan yang berkaitan dengan pertanahan.
Sehingga
hukum agraria yang
hal
ini
kemudian pada
yang
mendorong
tanggal
24
lahirnya
September 1960
RUU
tentang
disahkan oleh
Presiden Soekarno atas persetujuan dari DPR Gotong-royong menjadi UU no.5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Sejak
berlakunya
UUPA
terjadi perubahan yang
Fundamental
pada
hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum di bidang pertanahan. Perubahan ini bersifat Fundamental karena baik mengenai struktur perangkat hukumnya, mengenai konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan dalam bagian berpendapat UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman. Namun hal yang paling mendasar adalah 8
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 24
9
tujuan dari pembentukan UUPA tersebut adalah mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33ayat (3) UUD 1945, bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya ,yang penguasaannya ditugaskan kepada Negara Republik Indonesia, harus dipergunakan
untuk
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
UUPA
menciptakan
Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, seperti yang dinyatakan dalam bagian Berpendapat serta penjelasan umum, UUPA berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya masyarakat Indonesia. Pada hakikatnya adalah dalam rangka melaksanakan
pembangunan nasional untuk mengisi kemerdekaan yang
diproklamasikan
terwujud
agar
masyarakat Indonesia yang
adil
dan
makmur
berdasarkan pancasila sebagai sumber falsafah hidup bangsa Indonesia.9 3. Sejak Berlakunya UUPA sampai Reformasi Sejak berlakunya UUPA, telah membawa dampak yang baik yaitu dengan dicabutnya dan dihapusnya secara tegas peraturan-peraturan yang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat, dengan tujuan yaitu mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan hukum tersebut, yaitu dicabutnya pasal 51 Indische Staatsregeling (IS), penghapusan
pernyataan-pernyataan
Domein,
serta
penghapusan
Peraturan
Hak Agrarisch Eigendom, yang merupakan hasil produk-produk hukum buatan bangsa kolonial. Namun dalam memasuki pemerintahan orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, telah terjadi begitu banyak kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat, dalam hal ini menimbulkan hubungan yang menguntungkan antara para pemilik modal (investor) dengan penguasa (pemerintah). Pada periode Orde Baru kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian dari pembangunan, tidak sebagai dasar pembangunan. Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam.Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada investasi asing 9
http://id.scribd.com/doc/71379643/Sejarah-an-Hukum-Agraria-Di-Indonesia
10
dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling pro pada rakyat kecil atau petani. Dengan lahirnya masa Reformasi berarti menandakan bahwa Pemerintahan orde baru telah berakhir, dan menjadi harapan bahwa hal ini dapat menjadi awal langkah dalam “mengkikis habis akibat-akibat kebijakan dan praktik-praktik orde baru yang tidak pro pada masyarakat, terutama kaum petani. 4. Sejak Masa Reformasi sampai Sekarang Hingga saat ini apa yang diharapkan masyarakat yang tertuang dalam UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) belum terealisasi sepenuhnya dengan baik. Namun dengan dikeluarkannya peraturan-peraturan baru yang berkaitan dengan kehidupan hukum agraria di Indonesia menjadi
bukti
bahwa
pemerintah
berusaha
untuk merealisasikan apa yang tertuang dalam UUPA sehingga mejamin dan melindungi kepentingan masyarakat terutama masyarakat miskin dan pengadaan lahan bagi para petani, agar terwujud seperti apa yang telah tertuang dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. BAB 3. PEMBAHASAN
3.3 Hukum Agraria Kolonial Dari segi masa berlakunya, hukum agraria di Indonesia dibagi menjadi dua yaitu: 1. Hukum Agraria Kolonial Hukum agraria ini berlaku sebelum indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960. 2. Hukum Agraria Nasional Hukum agraria ini berlakunya setelah diundangkannya UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960.
11
Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “menimbang” huruf b, c, dan d serta dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu: a. Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta. b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme, dengan berlakunya hukum adat, disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. c. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum. 10 Beberapa ketentuan yang menunjukkan bahwa hukum dan kebijaksanaan agraria yang berlaku sebelum indonesia merdeka disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan hindia belanda, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pada masa terbentuknya VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie).
Beberapa kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat indonesia yang telah ditetapkan oleh VOC, antara lain: a. Contingenten Pajak atas hasil tanah pertanian harus diserahkan kepada penguasa kolonial. Petani harus menyerahkan sebagian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun. b. Verplichte leveranten Suatu bentuk ketentuan yang diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban menyerahkan seluruh hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara sepihak. Dengan ketentuan ini, rakyat tani benarbenar tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tidak berkuasa atas apa yang mereka hasilkan. c. Roerendiensten
10
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 15-16
12
Kebijaksanaan ini dikenal dengan kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat indonesia yang tidak mempunyai tanah pertanian. 2. Pada masa Pemerintah Gubernur Herman Willem Deandles (1800-1811)
Kebijaksanaan yang ditentukan oleh Gubernur ini adalah menjual tanah-tanah rakyat indonesia kepada rakyat cina, arab maupun bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual tersebut disebut dengan tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom lainnya adalah adanya hak-hak kepada pemiliknya yang bersifat kenegaraan yang disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Hak pertuanan misalnya: a. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilikan serta memberhentikan kepala-kepala kampung/desa, b. Hak untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk, c. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang maupun hasil pertanian dari penduduk, d. Hak untuk mendirikan pasar-pasar, e. Hak untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan, f. Hak untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput bagi keperluan tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan sebagainya. 3. Pada masa Pemerintahan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1811-1816) Kebijakan yang telah ditetapkan oleh Gubernur Thomas Stamford Raffles adalah landrent atau pajak tanah. Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan pajak tanah dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Pajak tanah tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, tetapi ditugaskan oleh kepala desa. Para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani. 13
b. Kepala desa diberi kekuasaan penuh untuk mengadakan perubahan pada pemilikan tanah oleh para petani. c. Praktik pajak tanah menjungkirbalikkan hukum yang mengatur pemilikan tanah rakyat sebagai akibat besarnya kekuasaan kepala desa. 4. Pada masa Pemerintahan Gubernur Johanes Van den Bosch. Pada tahun 1830 Gubernur Johanes Van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem tanam paksa atau Cultuur Stelsel. Dalam sistem tanam paksa ini, petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung yang dibutuhkan oleh pasar internasional. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa mendapat imbalan apapun, sedangkan pada rakyat yang tidak mempunyai tanah pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa kerjanya atau 66 hari untuk satu tahunnya. 5. Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55 Dengan berlakunya Agrarische Wet, politik monopoli (politik kolonial konservatif) dihapuskan dan diganti dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri dibidang usaha, pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan usaha dan modelnya dibidang pertanian di Indonesia. Agrarische Wet merupakan hasil dari rancangan Wet (undang-undang) yang diajukan oleh mentri jajahan de wall. Agrarische Wet di undangkan dalam stb. 1870 No 55, sebagai tambahan ayat-ayat baru pada pasal 62 RR Stb. 1854 No. 2. Semula RR terdiri dari 3 ayat, dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 sampai dengan ayat 8) oleh Agrarische Wet, maka pasal 62 RR kemudian menjadi pasal 51 IS, Stb. 1925 No. 447. Isi pasal 51 IS adalah sebagai berikut: 1) Gubernur jendral tidak boleh menjual tanah.
14
2) Dalam tanah di atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang diperuntukkan bagi perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatankegiatan usaha. 3) Gubernur jendral dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. 4) Menurut ketentuan yang ditetapkan oleh ordonansi, diberikan tanah dengan hak Erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun. 5) Gubernur Jendral menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah yang melanggar hak-hak rakyat pribumi. 6) Gubernur Jendral tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan rakyat asal pembukaan hutan yang dipergunakan untuk keperluan sendiri, demikian juga tanah-tanah sebagai tempat penggembalaan umum atau atas dasar lain merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan pasal 133 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan, semuanya dengan pemberian ganti kerugian yang layak. 7) Tanah-tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pribadi yang turun-temurun (hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai kewajibanya terhadap negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai wewenangnya untuk menjualnya kepada bukan pribumi. 8) Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada non pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi. 6. Pada masa berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No.118 Ketentuan-ketentuan Agrarische Wet pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan dan keputusan. Agrarische Besluit terdiri atas tiga, yaitu: 15
a. Pasal 1 - 7 tentang hak atas tanah. b. Pasal 8 - 8 b tentang pelepasan tanah, dan c. Pasal 19 – 20 tentang peraturan campuran.11 Hukum agraria kolonial mempunyai sifat dulisme hukum, yaitu dengan berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat, disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat. Sifat dualisme hukum tersebut meliputi bidangbidang yaitu: 1. Hukum Pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria, yaitu hukum agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria administratif, dan hukum agraria antargolongan. 2. Hak Atas Tanah Pada saat yang sama berlaku macam-macam hak atas tanah yang berbeda hukumnya yaitu: a. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur dalam KUH Perdata, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfecht. b. Hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat daerah masing-masing yang disebut tanah-tanah hak adat, misalnya tanah yasan, tanah kas desa, tanah bengkok, tanah ganjaran, tanah kuburan, tanah pengembalaan (tanah pangonan). c. Hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah swapraja, misalnya Grant Sultan (semacam hak milik adat yang diberikan oleh pemerintah swapraja kusus bagi kaula swapraja, didaftar di kantor pejabat swapraja). d. Hak-hak atas tanah yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda, misalnya hak Agrarische Eigendom (tanah milik adat yang ditundukkan dirinya pada hukum agraria barat). 3. Hak Jaminan Atas Tanah
11
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 17-22
16
Beberapa Hak jaminan atas tanah pada masa berlakunya hukum agraria kolonial, yaitu: a. Lembaga Hypotheek diperuntukkan bagi hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukumk barat, yaitu hak eigendom, hak opstal, dan hak erfpecht, yang diatur dalam pasal 1162 sampai dengan pasal 1332 KUH Perdata. b. Lembaga Credietverband diperuntukkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. c. Lembaga jonggolan di jawa, di bali disebut Makantah dan di batak disebut Tahan, dalam hubunganya dengan utang-piutang dikalangan masyarakat, dimana pihak debitur menyerahkan tanahnya sebagai jaminan utang kepada kreditur. 4. Pendaftaran Tanah Berdasarkan Overschrijving Ordonnantie Stb. 1834 No. 27, pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah atas tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini menghasilkan tanda bukti berupa sertifikat yang diberikan kepada pemegang haknya. Hukum agraria kolonial bagi rakyat indonesia asli tidak menjamin kepastian hukum. Tidak adanya jaminan kepastian hukum dalam bidang hukum agraria bagi rakyat Indonesia asli disebabkan oleh dua hal yaitu: 1. Dari Segi Perangkat Hukum Bagi orang-orang yang tunduk pada hukum barat, perangkat hukumnya tertulis, yaitu diatur dalam KUH Perdata, sedangkan bagi rakyat indonesia asli berlaku hukum agraria adat, yang perangkat hukumnya tidak tertulis, yang terdapat dalam kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang berlaku sebagai hukum. 2. Dari Segi Pendaftaran Tanah. Untuk tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, misalnya hak eigendom, hak opstal, hak erfpacth dilakukan pendaftaran tanah dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum dan menghasilkan tanda bukti yang berupa sertifikat.12 12
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 24-26
17
3.2 Politik Agraria Kolonial Politik Agraria yang dimaksut disini adalah kebijaksanaan agraria. Politik agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk hasilnya untuk kepentingan kesejahteraan rakyat dan negara, yang bagi negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dasar Politik Agraria Kolonial adalah prinsip dagang, yaitu mendapat hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuanya adalah tidak lain mencari keuntungan yang sebesar-besarbya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha belanda dan pengusaha eropa. Sebaliknya bagi rakyat indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat mendalam. Politik agraria kolonial dimuat dalam Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, yang berisi dua maksud yaitu memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian swasta untuk berkembang di dunia hindia belanda, disamping itu melindungi hak-hak rakyat indonesia atas tanahnya. Ada dua macam tujuan politik Agraria kolonial yang di jelmakan dalam Agrarische Wet, yaitu: 1. Tujuan primer Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. Disamping itu untuk memungkinkan orang asing (bukan bumi putera) menyewa atau mendapat hak pakai atas tanah langsung dari orang bumi putera, menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan dengan ordonansi. Maksutnya adalah memungkinkan berkembangnya perusahaan pertanian swasta asing. 2. Tujuan sekunder 18
Melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya, yaitu: a. Pemberian tanah dengan cara apapun tidak boleh mendesak hak bumi putera, b. Pemerintah hanya boleh mengambil tanah bumi putera apabila diperlukan untuk kepentingan umum atau untuk tanaman-tanaman yang diharuskan dari pihak atasan dengan memberi ganti rugi, c. Bumi putera diberi kesempatan mendapat hak atas tanah yang kuat yaitu hak eigendom bersyarat (agrarische eigendom), d. Diadakan peraturan sewa-menyewa antara bumi putera dengan bukan bumi putera.13 Dalam perjalanan berlakunya Agrarische Wet terjadi penyimpangan terhadap tujuan sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik orang bumi putera langsung kepada orang-orang belanda atau eropa lainnya. Untuk memberikan perlindunga hukum terhadap tanah-tanah milik orang bumi putera dari pembelian orang-orang belanda atau eropa lainnya, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan berupa grond vervreemdingsverbod Stb. 1875 No 179. Yang dimaksud dengan grond vervreemdingsverbod adalah hak milik (adat) atas tanah tidak dapat dipindahkan oleh orang-orang indonesia asli dan oleh karena itu semua perjanjian yang bertujuan untuk memindahkan hak tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung adalah batal karena hukum. Untuk membedakan tanah yang ada hak-hak penduduk bumi putera dan tanah yang belum dibuka, maka pemerintah hindia belanda menetapkan domein negara dibagi menjadi dua macam yaitu: 1. Vrij Landsdomein (tanah negara yang bebas), artinya diatas tanah tersebut tidak ada hak-hak bumi putera. 2. Onvrij Lansdomein, artinya diatas tanah tersebut sudah ada hak-hak penduduk bumi putera maupun desa. Dalam politik agraria kolonial, pernyataan domein digunakan untuk keperluan: 13
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 27-29 19
a. Memberi hak atas tanah seperti yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek. b. Memberi hak-hak atas tanah menurut hukum adat. c. Untuk mempertahankan hak pemerintah karena siapa saja yang mengaku mempunyai hak eigendom harus dapat membuktikan haknya. Jadi bukan pemerintah yang harus membuktikan hak atas tanah tersebut. Menurut Imam Soetiknjo, struktur agraria warisan penjajah sebagai hasil politik agraria apabila: 1. Dipandang dari sudut hukumnya tidak ada kesatuan hukum. a. Ada dua macam hukum (dualisme hukum), yaitu hukum barat yang dibawa dan diberlakukan di hindia belanda (indonesia) oleh pihak penjajah belanda dan hukum adat penduduk bumi putera, b. Hukum adat di indonesia itu beraneka warna, agak berbeda di berbagai daerah (pluralisme) yang dibiarkan terus berlaku selama dianggap tidak bertentangan dengan politik agraria penjajah, c. Ada hak ciptaan baru yang bukan hukum adat tapi juga bukan hukum barat, yaitu hak agraris eigendom. 2. Dilihat dari subjeknya tidak ada kesamaan status subjek a. Ada pemegang hak orang bumi putera, ada yang bukan orang bumi putera yang sistem hukumnya berbeda, b. Yang bukan orang bumi putera yaitu:
3.
1.
Orang asing Bangsa Eropa/Barat.
2.
Orang Keturunan Asing.
3.
Orang Timur Asing.
Dilihat dari yang menguasai/memiliki tanah, tidak ada keseimbangan dalam hubungan antara manusia dengan tanah. a. Ada golongan besar manusia (petani) yang tidak mempunyai tanah atau yang mempunyai tanah yang sangat sempit. b. Di lain pihak ada golongan kecil manusia (pengusaha, pengusaha asing, tuan tanah, pemilik tanah partikelir) yang memiliki/yang menguasai tanah luas. 20
4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah tidak ada keseimbangan dalam penggunaan tanah. a. Tanah di jawa dan madura hampir semua sudah dibuka/diusahakan, b. Di luar jawa, madura, dan bali masih ada tanah luas yang belum dibuka/diusahakan. 5. Dilihat dari sudut tertib hukum tidak ada tertib hukum. a. Penjajajah jepang mengambil tanah rakyat atau tanah/rumah orang asing yang menguasai atau ditangkap, tanpa ambil pusing soal hak yang ada diatasnya. b. Rakyat sendiri juga menduduki tanah perkebunan, perkarangan bahkan rumah orang asing/bekas penjajah yang mengungsi secara tidak sah.14
BAB 4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan Berdasarkan uraian dari hasil pembahasan sebagaimana telah diuraikan pada babbab terdahulu, maka dapat ditarik suatu kesimpulan, yakni sebagai berikut: 1. Hukum Agraria Kolonial mempunyai 3 ciri yang dimuat dalam konsideran UUPA dibawah perkataan “menimbang” huruf b, c, dan d serta dimuat dalam penjelasan umum angka I UUPA, yaitu: a. Hukum agraria yang masih berlaku saat ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta. b. Hukum agraria tersebut mempunyai sifat dulisme. c. Bagi rakyan asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum
14
Urip Santoso, Op.Cit, hlm. 30-33
21
2. Ada dua macam tujuan politik Agraria kolonial yang di jelmakan dalam Agrarische
Wet, yaitu: 1. Tujuan Primer Memberikan kesempatan kepada pihak swasta (asing) mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang cukup lama dengan uang sewa (canon) yang murah. 2. Tujuan Sekunder Melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya. 4.2 Saran Sebagai mahasiswa kita harus dapat mengetahui bagaimana kedaan hukum agraria pada masa kolonial dan juga politik agraria. Kemudian penulis berharap dengan adanya makalah ini, semoga berguna dan bermanfaat bagi pembaca. Tidak lupa pula penulis mohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penulisan makalah ini, penulis berharap ada kritik dan saran dari pembaca.
22
DAFTAR PUSTAKA
Chomzah, Ali Ahmad. 2003. Hukum Agraria (Pertanahan Di Indonesia) Jilid 1. Jakarta: Prestasi Pustaka. Harsono, Boedi. 1994. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanny, Jilid 1 Hukum Tanah. Jakarta: Djambatan. Supriadi. 2009. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika. Santoso, Urip. 2008. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Andriyanto, D. 2010. “Perkembangan Hukum Agraria (Konsep Mengenai Pertanahan
Kontemporer)”.
http://greatandre.blogspot.com/2010/11/perkembangan-hukum-
agraria-konsep.html/ Diakses pada Jum’at, 9 Desember 2015 jam 19.00.
Anggraini
Putri,
Novi.
2014.
“Hukum
Agraria
Kolonial”.
https://novianggrainiputri.wordpress.com/2014/11/12/hukum-agraria-kolonial/ Diakses pada Jum’at, 9 Desember 2015 jam 19.00. 23
Wikipedia.
2015.
“Undang-undang
Agraria
https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Agraria_1870/
1870”. Diakses
pada
Minggu, 12 Desember 2015 jam 09.00. Winda.
2010.
“Sejarah
Hukum
Agraria
di
Indonesia”.
http://id.scribd.com/doc/71379643/Sejarah-an-Hukum-Agraria-Di-Indonesia/ Diakses pada Jum’at, 9 Desember 2015 jam 19.00.
24