Inflamasi Kronis
Inflamasi kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (bermingguminggu hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma), destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah b aru/angiogenesis dan fibrosis). Dapat Dapat timb timbul ul meny menyus usul ul radan radang g akut akut,, atau atau resp responn onnya ya seja sejak k awal awal bers bersif ifat at kron kronik ik.. Perubahan radang akut menjadi radang kronik berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, reda, disebab disebabkan kan agen agen penyeba penyebab b jejas jejas yang yang meneta menetap p atau atau terdapa terdapatt ganggua gangguan n pada pada proses proses penyembuhan penyembuhan normal. Ada kalanya kalanya radang kronik sejak awal merupakan merupakan proses proses primer primer. Sering Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu (seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur terten tertentu) tu),, kontak kontak lama lama dengan dengan bahan bahan yang yang tidak tidak dapat dapat hancur hancur (misal (misalnya nya silika silika), ), penyak penyakit it autoimun. Bila suatu radang berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola morfologi reaksi Inflamasi kronik dapat berkembang dari inflamasi akut. Inflamasi kronik terjadi pada keadaan sebagai berikut : 1.
Infeksi Infeksi virus virus ; Infe Infeks ksii intr intras asel el apapu apapun n secar secaraa khusu khususs meme memerl rluk ukan an limf limfos osit it ( dan dan
makrofag) untuk mengidentifikasi dan mengeradikasi sel yang terinfeksi
2.
Infeksi mikroba persisten ; sebagian besar ditandai dengan adanya serangkaian
mikroorganisme terpilih termasuk mikobakterium dan beberapa fungus tertentu. Organisme ini memiliki patologinisitas langsung yang lemah tetapi secara khusus dapat menimbulkan respons imun yang disebut hipersensitivitas lambat . 3.
Pajanan yang lama terhadap agent yang berpotensi toksin.
Contohnya adalah material eksogen yang tidak dapat didegradasi seperti partikel silica terinhalasi. Selain itu ada material endogen seperti komponen lipid plasma yang meningkat secara kronik yang berperan pada arterosklerosis. 4.
Penyakit autoimun ; seseorang yang mengalami respon imun terhadap antigen dan
jaringan tubuhnya sendiri. Karena antigen yang bertanggung jawab sebagian besar dipebarui secara konstan, terjadi reaksi imun terhadap dirinya sendiri yang berlangsung secara terus menerus. Inflamasi kronik ditandai dengan hal-hal berikut: 1.
Infiltrasi sel mononuclear (radang kronik) yang mencakup: makrofag, limfosit,
dan sel plasma. 2.
Destruksi jaringan, sebagian besar diatur oleh sel radang.
3.
Repair (perbaikan), melibatkan proliferasi pembuluh darah baru (angiogenesis)
dan fibrosis. Penyebab dan dampak inflamasi kronik
Sel dan Mediator Inflamasi Kronik Makrofag. Oleh karena merupakan hal utama dan inti pada inflamasi kronik, makrofag
merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi setelah berimigrasi dari aliran
darah. Makrofag normalnya tersebar difus pada sebagian besar jaringan ikat juga bisa ditemukan dalam jumlah yang meningkat di organ, seperti hati (disebut sel kupffer), limfa, dan kelenjar getah bening (disebut histiosit sinus), system saraf pusat (sel mikroglia), dan paru (makrofag alveolus). Di tempat ini, makrofag bertindak sebagai filter terhadap bahan berukuran partikel mikroba, dan sel-sel yang mengalami proses kematian atau senescent (disebut juga sistem fagosit mononuklear), dan bekerja sebagai sentinel untuk memperingatkan komponen spesifik system imun (limfosit T dan B) terhadap rangsang yang berbahaya. Pada saat mencapai jaringan ekstravaskular, monosit berubah menjadi makrofag yang besar, dan mampu melakukan fagositosis besar. Makrofag juga bisa menjadi teraktivasi, suatu proses yang menyebabkan ukuran sel bertambah besar, meningkatnya kandungan enzim lisosom, memiliki metabolisme yang lebih aktif dan memiliki kemampuan lebih besar untuk membunuh organisme yang dimangsa. Dengan mikroskop cahaya dan pewarnaan H & E standar, sel ini tampak besar, pipih dan bewarna merah muda,terkadang gambaran ini menyerupai sel squamosa sehingga sel teraktivasi ini disebut makrofag epiteloid. Setelah aktivasi makrofag menyekresi produk yang aktif secara biologis dalam jumlah beragam, yang apabila tidak diawasi, dapat menyebabkan jejas jaringan dan menimbulkan tanda fibrosis inflamasi kronik. Produk tersebut mencakup: 1. Protesa asam dan protesa netral. 2. Komponen komplemen dan faktor koagulasi. Walaupun hepatosit merupakan sumber protein ini di dalam plasma, makrofag teraktivasi dapat melepaskan protein ini dalam jumlah yang bermakna secara local ke dalam matriks ekstraseluler. 3. Spesies oksigen reaktif dan NO.
4. Metabolit AA (eikosanoid) 5. Sitokin. Di tempat inflamasi kronik, akumulasi makrofag menetap, dan makrofag dapat berproliferasi.
Sel-Sel Lain yang Muncul Pada Inflamasi Kronik
1. Limfosit Limfosit T dan B, keduanya berimigrasi ke tempat radang dengan menekan beberapa pasangan molekul adhesi dan kemokin serupa yang merekrut monosit. Limfosit dimobilisasi pada keadaan infeksi dan pada inflamasi yang diperantarai non-imun (yaitu karena infark atau trauma jaringan). 2. Eosinofil Eosinofil secara khusus ditemukan di tempat radang sekitar terjadinya infeksi parasit atau sebagai bagian reaksi imun yang diperantarai oleh IgE, yang berkaitan khusus dengan alergi. Imigrasinya dikendalikan oleh molekul adhesi yang serupa dengan molekul adhesi yang digunakan oleh neotrofil, dan oleh kemokin spesifik (yaitu eotaksin) yang berasal dari sel leukosit dan sel epitel. 3. Sel Mast Sel mast merupakan sel sentinel yang tersebar luas dalam jaringan ikat di seluruh tubuh dan dapat berperan serta dalam respon radang akut maupun kronik. Sel mast dipersenjatai dengan IgE terhadap antigen tertentu. Sel mast yang dipersenjatai IgE merupakan pemain utama pada shock anafilatik, tetapi sel mast juga memainkan peranan yang menguntungkan pada
berbagai infeksi, terutama infeksi parasit. Sel mast juga dapat mengelaborasi sitokin, seperti TNF sehingga berperan pada respon kronik yang lebih besar. 4. Sel Plasma Merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang mengalami diferensiasi akhir. Sel plasma dapat menghasilkan antibody yang diarahkan untuk melawan antigen ditempat radang atau melawan komponen jaringan yang berubah. Proses Penyembuhan Inflamasi Kronis 1. Degenerasi sel otot yang rusak
Sebelum terjadinya inflamasi dan regenerasi sel otot yang rusak, diperlukan degenerasi (penghancuran) sel otot yang mengalami cedera. Proses degenerasi tersebut diinisiasi oleh pembengkakan secara lokal (local swelling ) dan pembentukan hematoma, di mana makrofag, sel mononuklear dan limfosit T menginfiltrasi jaringan otot yang cedera. Akumulasi neutrofil terjadi sekitar satu jam setelah cedera terjadi. Neutrofil tersebut, selain menjalankan fungsi fagositosis (selama proses inflamasi akut), juga akan melepas sinyal untuk merekrut sel monosit, yaitu makrofag. Makrofag akan memfagositosis debris sel lebih lanjut dan mengeluarkan sitokin seperti IL-6, IL-8, dan TNF yang akan meningkatkan permeabilitas vaskular dan menginisiasi terjadinya inflamasi (peradangan). 2. Inflamasi (peradangan)
Setelah serat otot mengalami cedera, akan terjadi influx ion Calcium ke dalam sel sehingga mengaktifkan berbagai protease, salah satunya adalah fosfolipase. Fosfolipase akan merombak fosfolipid (membran sel) menjadi asam arakidonat, yang selanjutnya akan diubah menjadi prostaglandin melalui jalur siklooksigenase (COX). Prostaglandin tersebut berperan dalam menghasilkan nyeri, inflamasi, dan regenerasi.
Selain terjadi cedera pada otot, kemungkinan besar juga terjadi cedera vaskular (pembuluh darah). Oleh karena itu hematoma yang terbentuk akan menyebabkan influks sel-sel radang seperti neutrofil, makrofag, dan limfosit T. Kadar neutrofil sendiri akan menetap selama 5 hari setelah trauma, dan selanjutnya digantikan (didominasi) oleh limfosit T (padainflamasi kronik).Selain itu neutrofil juga akan merekrut makrofag yang turut berpera n dalam proses fagositosis. Makrofag juga akan mengeluarkan kemoatraktan untuk memperkuat respons inflamasi dan melepaskan faktor pertumbuhan yang ak an memicu diferensiasi. 3. Regenerasi
Secara fisiologis, otot rangka merupakan jaringan yang sudah berdiferensiasi secara akhir (nukleusnya bersifat post-mitotik). Namun demikian, terdapat sel-sel satelit di membran basal dan sarkolema yang dapat berproliferasi untuk mengg antikan sel-sel otot yang rusak. Sel-sel satelit ini diaktivasi oleh makrofag dan sebagai respons terhadap cedera jaringan. Aktivasi sel satelit ini terjadi sekitar 10 hari setelah cedera, diawali oleh proses degenerasi dan inflamasi. Selain itu, diketahui bahwa berbagai faktor pertumbuhan, seperti bFGF, NGF, dan IGF-1 juga turut berperan dalam menstimulasi proliferasi sel-sel satelit. 4. Pembentukan fibrosis
Fibrosis, atau jaringan parut akan terbentuk apabila cedera otot terlalu parah dan proses inflamasi kronik berlanjut. Jaringan parut akan terbentuk di antara minggu ketiga dan keempat setelah cedera. Pada proses ini terjadi aktivasi matriks ekstraselular dan peningka tan produksi jaringan kolagen (terutama tipe I dan III). Penyembuhan melalui pembentukan jaringan parut juga dapat terjadi bersamaan dengan regenerasi sel otot (proliferasi sel satelit). Diketahui bahwa TGF-β1 merupakan faktor yang menginduksi terbentuknya fibrosis.Pada penyembuhan melalui
pembentukan fibrosis, otot dapat kehilangan unit kontraktilnya sehingga fungsinya secara keseluruhan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Intervensi yang dapat dilakukan untuk pemulihan otot yang mengalami cedera: 1. Pemberian NSAID (non-steroidal anti inflamatory drug ) merupakan cara untuk
mencegah peradangan, dengan demikian mengurangi kemungkinan terbentuknya jaringan parut yang berpotensi mengurangi fungsi otot secara fisiologis. NSAID bekerja dengan cara menghambat jalur siklooksigenase, menghambat ko nversi asam arakidonat, mengurangi nyeri dan vasodilatasi. 2. Pemberian faktor pertumbuhan ( growth factor ) untuk mempercepat proliferasi sel satelit.
Salah satunya adalah pemberian IGF-1. Sebuah penelitian menun jukkan pemberian IGF-1 secara in vivo mampu mempercepat proliferasi sel satelit dan otot yang cedera mulai menunjukkan aktivitas kontraksi 15 hari setelah cede ra. 3. Perlakuan rehab medik berupa latihan (exercise) diyakini dapat mempercepat pemulihan
fungsi otot yang cedera. Penelitian menunjukkan bahwa latihan dapat meningkatkan suplai darah, infiltrasi leukosit dan monosit, serta mempercepat proliferasi sel satelit. Namun hal ini masih menjadi perdebatan oleh beberapa pihak, karena beranggapan bahwa latihan dapat mengurangi imobilisasi dan memperburuk cedera. Berapa batasan waktu yang tepat untuk melakukan latihan juga belum diketahui secara jelas.