Biokimia Gizi
INTERAKSI ZAT GIZI
Disusun oleh: Kelompok 3 DIV-1B Susilawati
(P23131114044)
Utari Noor Fitra Dini
(P23131114047) (P23131114047)
JURUSAN GIZI POLTEKKES KEMENKES JAKARTA II Jakarta, 2015
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Interaksi Zat Gizi” Gizi” dengan tujuan untuk memenuhi tugas Biokimia Gizi D4 Gizi Semester 3. Penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, 1. Orang tua dan saudara tercinta yang selalu mendoakan dan memberikan semangat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. 2. Ibu Moesijanti Y.E.S., MCN., Ph.D selaku dosen Biokimia Gizi D4 Gizi Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. 3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang edukatif dari pembaca sangat penulis butuhkan agar penulis dapat menghasilkan karya yang lebih baik di masa yang akan datang. Jakarta, 2015
Penulis,
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1
Pendahuluan
1
1.2
Tujuan
2
BAB II LANDASAN TEORI
3
2.1 Interaksi Zat Gizi Makro dan Zat Gizi Makro
3
2.1.1
Pada Obesitas
3
2.1.2
Pada Diabetes Melitus
3
2.2 Interaksi Zat Gizi Mikro dan Zat Gizi Mikro
5
2.2.1
Fe dan Mn
5
2.2.2
Fe dan Zn
5
2.2.3
Fe dan I
5
2.2.4
Fe dan Ca
5
2.2.5
Fe dan Co
5
2.2.6
Besi dan Tembaga
6
2.2.7
Besi dan Krom
6
2.2.8
Fe dan Vitamin C
6
2.2.9
Fe dan Vitamin E
6
2.2.10
Fe dan Sulfur
7
2.2.11
Vitamin A dan Zn
7
2.2.12
Vitamin B12 dan co
7
2.2.13
Vitamin C dan Tembaga
7
2.2.14
Vitamin C dan Kalsium
7
2.2.15
Vitamin D dan kalsium
8
2.2.16
Vitamin D dan Fosfor
8
2.2.17
Vitamin D dan Kalsium
9
2.2.18
Vitamin E dan Selenium
9
2.2.19
Vitamin K dan Kalsium
9
2.2.20
Kalsium dan Fosfor
9
2.2.21
Kalsium dan Magnesium
9
2.2.22
Kalsium dan Kalium
10
2.2.23
Klor dan Natrium
10
2.2.24 Natrium dan Kalium
10
2.2.25
Seng dan Tembaga
10
2.2.26
Iodium dan Besi
10
2.3 Interaksi Zat Gizi makro dan Zat Gizi Mikro
11
2.3.1
Riboflafin dalam Asam Sitrat
11
2.3.2
Niasin dalam Proses Glikolisis
11
2.3.3
Tiamin dalam Proses Pembentukan Glikolisis
12
2.3.4
Vitamin B asam pantotenat dalam proses Piruvat menjadi Asetil KoA
12
2.3.5
Natrium dan Karbohidrat
12
2.3.6
Kalium dan Karbohidrat
12
2.3.7
Fosfor dan Karbohidrat
13
2.3.8
Krom dan Karbohidrat
13
2.3.9
Vitamin E dan Lemak
13
2.3.10
Kalsium dan Lemak
13
2.3.11
Protein dan Vitamin B6 dalam proses deaminase
13
2.3.12 Niasin (NAD), Vitamin B6 (PLP), Asam Folat (THF) dan vitamin B12 dalam proses Transaminase
14
2.3.13
Kalsium, Fosfor, dan Protein
14
2.3.14
Besi dan Protein
15
2.3.15
Magnesium dan Protein
16
2.3.16
Sulfur dan Protein
16
2.3.17
Seng dan Protein
16
2.3.18
Krom dan Protein
16
2.3.19
Besi dan Protein
16
2.3.20
Kalsium dan Protein
DAFTAR PUSTAKA
17 18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan Zat gizi atau nutrisi adalah zat pada makanan yang dibutuhkan oleh organisme untuk pertumbuhan dan perkembangan yang dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Zat gizi diperoleh dari makanan yang didapatkan dalam bentuk sari makanan dari hasil pemecahan pada sistem pencernaan. Berdasarkan jumlahnya, zat gizi dibagi menjadi 2 yaitu, zat gizi makro dan zat gizi mikro. Zat gizi makro atau makronutrisi adalah zat gizi yang diperlukan tubuh dalam jumlah yang besar (> 1000 g/hari). Yang termasuk dalam zat gizi makro adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Zat gizi mikro atau mikronutsisi adalah zat gizi yang diperluka oleh tubuh dalam jumlah sedikit. Yang termasuk dalam zat gizi mikro adalah vitamin dan mineral. Dalam makalah ini akan dibahas ineteraksi yang terjadi antara zat gizi tersebut. Baik zat gizi makro dengan zat gizi makro, zat gizi mikro dengan zat gizi mikro, maupun zat gizi makro dengan zat gizi mikro.
1.2. Tujuan A. Untuk mengetahui interaksi antara zat gizi makro dengan zat gizi makro B. Untuk mengetahui interaksi antara zat gizi mikro dengan zat gizi mikro C. Untuk mengetahui interaksi antara zat gizi makro dengan zat gizi mikro
BAB II Landasan Teori
2.4 Interaksi Zat Gizi Makro dan Zat Gizi Makro 2.4.1
Pada Obesitas Jika asupan kalori seseorang lebih tinggi dari kebutuhan energi (asupan kalori ↑tinggi, aktivitas rendah) maka kelebihan kalori tersebut akan disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Oleh karena itu asupan energi dan aktivitas yang tidak seimbang dapat menyebabkan kegemukan atau obesitas.
Sumber: Ilmu Gizi Dasar
Pada siklus glikolisis, glukosa akan diubah menjadi energi, tetapi jika energi tidak dibutuhkan maka glukosa akan diubah menjadi asam lemak dan akan disimpan dalam bentuk lemak (trigliserida).
2.4.2
Pada Diabetes Melitus Pada penderita diabetes melitus akan terjadi defisiensi Insulin, keadaan ini akan menyebabkan terjadinya glokoneogenesis, yaitu
megubah beberapa metabolit menjadi glukosa, khususnya metabolit hasil pemecahan lemak dan protein.
•
Semakin buruk kendali glikemik , semakin tinggi kadar trigliserida dalam darah
•
Kelebihan glukosa
dalam darah disimpan dalam bentuk lemak,
khususnya trigliserida. Sehingga jika kendali glikemik buruk , akan menimbulkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. Selanjutnya glukosa diubah menjadi trigliserida sehingga terjadi peningkatan kadar trigliserida.
2.5 Interaksi Zat Gizi Mikro dan Zat Gizi Mikro 2.5.1
Fe dan Mn Penyerapan zat Besi dan Mangan menggunakan mekanisme transport yang sama pada tingkat sel. Sehingga keadaan defisiensi Mangan sering terjadi bersamaan dengan kekurangan Besi.
2.5.2
Fe dan Zn Peningkatan asupan Zn yang berasal dari makanan akan menurunkan kadar Fe di duodenum, karena Zn akan meningkatkan Metallothionein (MT) di mukosa sel yang akan menghalangi Fe masuk ke dalam mukosa sel.
2.5.3
Fe dan I Respon theurapetik yang ditimbulkan setelah pemberian iodium hasilnya kurang baik pada anak-anak yang menderita goiter dan anemi gizi besi dibandingkan dengan anak yang menderita goiter tanpa anemia. Jadi adanya anemi gizi besi mengakibatkan program intervensi iodium menjadi kurang efektif.
2.5.4
Fe dan Ca Kalsium akan menghalangi transport Besi pada saat melewati mukosa sel untuk masuk ke peredaran darah.
2.5.5
Fe dan Co Absorpsi cobalt terjadi pada bagian atas usus halus mengikuti mekanisme absorpsi besi. Absorpsi cobalt meningkat bila konsumsi besi rendah. Kelebihan cobalt dapat menghalangi absorpsi besi
2.5.6
Besi dan Tembaga Tembaga membantu absorpsi besi, melepas simpanan besi dari ferritin dalam hati, sebagai bagian dari enzim seruloplasmin, tembaga berperan dalam oksidasi besi bentuk fero menjadi feri Tembaga membantu mencegah anemia dengan cara : o
2.5.7
Membantu absorpsi besi
o
Merangsang sintesis hemoglobin
o
Melepas simpanan besi dari feritin dalam hati
Besi dan Krom Harris ( 1997) : Fe dan Cr menggunakan transport yang sama, Fe dan Cr akan bersaing untuk dapat berikatan dengan transferin. Hubungan Fe dan Cr ( bersifat antagonis)
2.5.8
Fe dan Vitamin C
Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi.
Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan.
Vitamin C mereduksi besi feri menjadi fero dalam usus halus sehingga mudah diabsorpsi.
Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi bila diperlukan.
2.5.9
Fe dan Vitamin E Vit E merupakan antioksidan. Bila tubuh kelebihan Fe maka pembentukan radikal bebas akan bertambah, akibatnya kebutuhan Vit E juga bertambah.
2.5.10
Fe dan Sulfur Agar dapat diabsorpsi, besi non-hem di dalam usus halus harus berada dalam bentuk terlarut. Besi non-hem diionisasi oleh asam lambung, direduksi menjadi bentuk fero dan dilar utkan dalam cairan pelarut seperti asam askorbat, gula, dan asam amino yang mengandung sulfur. Pada suasana pH hingga 7 di dalam duodenum, sebagian besar besi dalam bentuk feri akan mengendap kecuali dalam keadaan terlarut sepeti disebutkan diatas. Besi fero lebih mudah larut pada pH 7, oleh karena itu dapat di absorpsi.
2.5.11
Vitamin A dan Zn Kekurangan seng kronis mengganggu pusat sistem saraf dan fungsi otak. Karena kekurangan seng mengganggu metabolisme vitamin A, sering terlihat gejala yang terdapat pada kekurangan vitamin A
2.5.12
Vitamin B12 dan co Sebagian besar kobalt dalam tubuh terikat dalam vitamin B 12. Kobalt merupakan komponen vitamin B 12. Vitamin ini diperlukan untuk mematangkan sel darah merah dan menormalkan fungsi semua sel .
2.5.13
Vitamin C dan Tembaga Asam askorbat dalam jumlah berlebihan menurunkan kemampuan oksidasi tembaga.
2.5.14
Vitamin C dan Kalsium Vitamin C membantu absorpsi kalsium dengan menjaga agar kalsium berada dalam bentuk larutan.
2.5.15
Vitamin D dan kalsium Hormon paratiroid dan vitamin D meningkatkan kalsium darah dengan cara sbb : o
Vit.D dan hormon paratiroid menunjang reabsopsi kalsium di dalam ginjal
o
Vit.D dan hormon paratiroid merangsang pelepasan kalsium dari tulang ke dalam darah
o
Vit.D merangsang absorpsi kalsium oleh saluran cerna
Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25(OH)D3 merangsang absorpsi kalsium melalui langkah-langkah kompleks. Vitamin D meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein – pengikat kalsium.
2.5.16
Vitamin D dan Fosfor Kadar fosfor di dalam darah diatur oleh hormon paratiroid (PTH) yang dikeluarkan oleh kelenjar paratiroid dan oleh hormon kalsitonin. Kedua hormon tersebut berinteraksi dengan vitamin D untuk mengontrol jumlah fosfor yang diserap, jumlah yang ditahan oleh ginjal, serta jumlah yang dibebaskan dan disimpan dalam tulang.
2.5.17
Vitamin D dan Kalsium Magnesium perlu untuk aktivitas hormon paratiroid dan vitamin D-aktif dalam mobilisisasi kalsium tulang.
2.5.18
Vitamin E dan Selenium Masing-masing nutrisi ini berperan dalam pemeliharaan sistem penekanan radikal bebas. Satu dapat menggantikan yang lain sampai batas tertentu. Jika ada kekurangan asupan selenium, misalnya, efek kekurangan ini dapat diperbaiki sampai batas tertentu oleh asupan Vitamin E.
2.5.19
Vitamin K dan Kalsium
2.5.20
Kalsium dan Fosfor Di dalam tulang fosfor dengan perbandingan 1:2 dengan kalsium, selebihnya fosfor dalam semua sel tubuh, separuhnya di dalam otot dan cairan ekstraselular.
2.5.21
Kalsium dan magnesium Bila kalsium dalam makanan turun/rendah, maka absorpsi magnesium meningkat. Ekskresi magnesium meningkat oleh
hormon tiroid, asidosis, aldosteron serta kekurangan fosfor dan kalsium.
2.5.22
Kalsium dan Kalium Bersama kalsium, kalium berperan dalam transmisi saraf dan relaksasi otot.
2.5.23
Klor dan natrium Klor berperan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit yang bergerak secara bebas melintasi membran sel dan berasosiasi dengan natrium atau kalium. Klor hampir seluruhnya diabsorpsi di dalam usus halus dan dieksresi melalui urin dan keringat. Kehilangan klor mengikuti kehilangan natrium.
2.5.24 Natrium dan Kalium Sebagian besar natrium mengatur tekanan osmosis yang menjaga cairan tidak keluar dari darah dan masuk ke dalam sel-sel. Di dalam sel, tekanan osmosis diatur oleh kalium guna menjaga cairan tidak keluar dari sel. Keseimbangan cairan dan elektrolit serta
keseimbangan
asam
basa.
Dalam
cairan
intraseluler
perbandingannya 1:10. Dalam cairan ekstraseluler 28:1
2.5.25
Seng dan Tembaga Kelebihan seng hingga dua sampai tiga kali lipat AKG menurunakan absorpsi tembaga.
2.5.26
Iodium dan Besi Sattarzadeh (1999): berpendapat bahwa pada saat I dan Fe digunakan secara bersama untuk memfortifikasi suatu makanan maka akan terjadi interaksi yang sifatnya merugikan. Keberadaan ion Ferro dan oksigen akan membuat I tidak stabil, sebaliknya zat
besi
akan
berubah
menjadi
ion
Ferri
yang
mempunyai
bioavailabilitas yang rendah. Untuk I (potasium iodide) dilapisi oleh dektran sebagai barier antara senyawa iodine dan Fe
2.6 Interaksi Zat Gizi makro dan Zat Gizi Mikro 2.6.1
Riboflafin dalam Asam Sitrat Riboflavin dalam bentuk flavin adenin dinukleotida (FAD), suatu kofaktor untuk suksinat dehidrogenase
2.6.2
Niasin dalam Proses Glikolisis Pada tahap perubahan gliseraldehida 3-fosfat menjadi asam 1,3-difosfogliserat, dilepas dua atom hydrogen (yang mengandung electron). Atom hidrogen dipungut oleh alat angkut nikotinamida adenine dinukleotida (NAD) suatu koenzim yang mengandung vitamin niasin. •
Koenzim NAD+ dan NADP+ dikenal sebagai koenzim untuk enzim dehidrogenase yang merupakan katalis pada reaksi oksidasi reduksi.
•
Koenzim turunan dari asam nikotinat atau niasin adalah nikotinamida.
2.6.3
Tiamin dalam Proses Pembentukan Glikolisis Dalam proses ini perubahan piruvat menjadi asetil KoA membutuhkan vitamin B1 (tiamin) dalam bentuk koenzim. Hubungan koenzim dengan vitamin B1 (tiamin) : Tiamin pirophosfat merupakan koenzim turunan dari vitamin B1. berperan dalam reaksi yang menggunakan enzim alpa keto dekarboksilase, asam α- keto oksidase.
2.6.4
Vitamin B asam pantotenat dalam proses Piruvat menjadi Asetil KoA Asam pantotenat terdapat dalam alam sebagai komponen dalam molekul koenzim A (KoA adalah koenzim A yang dibentuk dari vitamin B asam pantotenat). Koenzim A berperan penting sebagai pembawa gugus asetil.
2.6.5
Natrium dan Karbohidrat Natrium berperan dalam absorpsi glukosa dan sebagai alat angkut zat-zat gizi lain melalui membran, terutama melalui dinding usus.
2.6.6
Kalium dan Karbohidrat Di dalam sel, kalium berfungsi sebagai katalisator dalam banyak reaksi biologik, terutama dalam metabolisme energi dan sintesis glikogen dan protein. Taraf kalium dalam otot berhubungan dengan massa otot dan simpanan glikogen, oleh karena itu bila otot berada dalam pembentukan dibutuhkan kalium dalam jumlah cukup.
2.6.7
Fosfor dan Karbohidrat Fosfor
memiliki
fungsi
membantu
penyerapan
dan
transportasi karbohidrat. Glikogen yang dilepas dari simpanan hati atau otot berada di dalam darah terikat dengan fosf or.
2.6.8
Krom dan Karbohidrat Krom bekerja sama dengan insulin dalam memudahkan masuknya glukosa ke dalam sel-sel. Krom di duga merupakan bagian dari ikatan organik faktor toleransi glukosa (glucose tolerance factor) bersama asam nikotinat dan glutation. Toleransi terhadap glukosa tampaknya dapat diperbaiki dengan suplementasi krom.
2.6.9
Vitamin E dan Lemak Gangguan absorpsi lemak akan menimbulkan defisiensi Vitamin E karena Tokoferol larut didalam lemak makanan dan dibebaskan serta diserap pada saat lemak dicerna. Vitamin E diserap
sehubungan
dengan
asam
lemak
dan
gliserilida.
Penyerapannya membutuhkan lemak dalam diet dan aktifitas asam empedu
2.6.10
Kalsium dan Lemak Lemak meningkatkan waktu transit makanan melalui saluran cerna, dengan demikian memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium.
2.6.11
Protein dan Vitamin B6 dalam proses deaminase Metabolisme protein dimulai setelah protein dipecah menjadi asam amino. Asam amino akan memasuki siklus TCA bila dibutuhkan sebagai sumber energi atau bila berada dalam jumlah berlebih dari yang dibutuhkan untuk sintesis protein. Mula-mula
asam amino akan mengalami deaminase, yaitu melepas gugus amino. Proses ini membutuhkan vitamin B6 dalam bentuk PLP. PLP diperlukan dalam reaksi enzimatis yang mengatur proses pelepasan glukosa dari glikogen.
2.6.12 Niasin (NAD), Vitamin B6 (PLP), Asam Folat (THF) dan vitamin B12 dalam proses Transaminase
•
Asam amino non esensial dapat dibuat oleh tubuh sepanjang tersedia cukup nitrogen.
•
Hal ini dilakukan dengan memindahkan gugus amino dari suatu asam amino ke asam keto, sehingga menghasilkan asam amino baru dan satu asam keto.
•
Dengan cara ini sel hati dapat mensintesis berbagai asam amino nonesensial. Proses transaminase membutuhkan koenzim NAD (niasin), PLP (Vitamin B6), THF (asam folat) dan ditamin B12.
2.6.13
Kalsium, Fosfor, dan Protein Protein dan fosfor dapat mempengaruhi kebutuhan kalsium pada manusia. Kalsium dalam urin di dalam urin dan keseimbangan kalsium sangatlah dipengaruhi, tapi dalam arah yang berlawanan
dengan mengubah masukan protein dan fosfor. Bila kalsium dan fosfor dipertahankan tetap, peningkatan masukan protein ke dalam tubuh akan meningkatkan kalsium dalam urin dan bila kalsium dan protein dipertahankan tetap, peningkatan masukan fosfor akan mengurangi kalsium dalam urin Retensi kalsium dapat berkurang dengan adanya peningkatan protein,tetapi bertambah dengan adanya peningkatan fosfor. Kadar kalsium yang menyebabkan perubahan masukan fosfor dapat mempengaruhi jumlah kalsium dalam urin dan keseimbangan kalsium, bergantung pada jumlah protein di dalam makanan.
2.6.14
Besi dan Protein Tubuh sangat efisien dalam penggunaan besi. Sebelum di absorpsi, di dalam lambung besi dibebaskan dari ikatan organik, seperti protein. Sebagian besar besi dalam bentuk feri direduksi menjadi bentuk fero. Hal ini terjadi dalam suasana asam di lambung dengan adanya HCL dan vitamin C yang terdapat dalam makanan. Absorpsi terutama terjadi di bagian atas usus halus (duodenum) dengan bantuan alat angkut protein khusus. Ada dua jenis alat angkut protein di dalam sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan besi, yaitu transferin dan feritin. Taraf absorbsi besi diatur oleh mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan tubuh. Transferin mukosa yang dikeluarkan ke dalam empedu berperan sebagai alat angkut protein yang bolak balik membawa besi ke permukaan sel usus halus untuk diikat oleh transferin reseptor dan kembali ke ronga saluran cerna untuk mengangkut besi lain.
2.6.15
Magnesium dan Protein Magnesium terlibat dalam sintesis protein melalui kegiatan agregasi ribomosa, berperan dalam pengikatan RNA pada ribosoma 70S, dan dalam sintesis dan degradasi DNA.
2.6.16
Sulfur dan Protein Sulfur memegang peranan struktur dalam protein intraseluler (membentuk ikatan silang melalui ikatan disulfida). Sulfur di absorpsi sebagai bagian dari asam amino atau sebagai sulfat anorganik, sebagai bagian dari asam amino metionin dan sistein. Defisiensi Sulfur tidak akan terjadi jika memakan makanan sumber protein.
2.6.17
Seng dan Protein Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologik seng. Sebaliknya, protein histidin bisa membantu absorpsi seng.
2.6.18
Krom dan Protein Absorpsi krom dibantu oleh asam-asam amino yang mencegah krom mengendap dalam media alkali usus halus.
2.6.19
Besi dan Protein Asam amino mengikat besi dan membantu penyerapan. Alat angkut protein di dalam sel mukosa usus halus yang membantu penyerapan besi yaitu transferin dan feritin. Transferin mukosa mengangkut besi dari saluran cerna ke dalam sel mukosa dan memindahkannya ke transferin reseptor yang ada di dalam sel mukosa. Transferin mukosa kemudian kembali ke rongga saluran cerna untuk mengikat besi lain, sedangkan transferin reseptor mengangkut besi melalui darah ke semua jaringan tubuh.
2.6.20
Kalsium dan Protein Pada waktu otot berkontraksi kalsium berperan dalam interaksi protein di dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila darah kalsium kurang dari normal, otot tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat menimbulkan kejang.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Handbook of Nutrition and Food, Second Edition – books.google.co.id, 3 Desember 2015