TUGAS LANDASAN PEDAGOGIK Dosen : Prof. Dr. Juntika Nurihsan. H. MPd. KAJIAN FILSAFAT TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN Februari 28, 2014
Oleh : Adhi Prasetio - 1303238 Arif Partono Prasetio - 1303193
Universitas Pendidikan Indonesia Program Doktor Ilmu Manajemen 2014
DAFTAR ISI Pendahuluan .................................................................................................................................................. 3 Kajian beberapa pandangan filsafat terhadap hakikat manusia dan pendidikan ........................................... 4 Filsafat Idealisme ....................................................................................................................................... 4 Hakikat Manusia .................................................................................................................................... 4 Idealisme dan Pendidikan ...................................................................................................................... 4 Filsafat Realisme ....................................................................................................................................... 5 Hakikat Manusia .................................................................................................................................... 5 Realisme dan Pendidikan ....................................................................................................................... 5 Filsafat Pragmatisme ................................................................................................................................. 6 Hakikat Manusia .................................................................................................................................... 6 Pragmatisme dan Pendidikan ................................................................................................................. 7 Filsafat Eksistensialisme............................................................................................................................ 8 Hakikat Manusia .................................................................................................................................... 8 Eksistensialisme dan Pendidikan ........................................................................................................... 8 Filsafat Pancasila ....................................................................................................................................... 9 Hakikat Manusia .................................................................................................................................. 10 Pancasila dan Pendidikan ..................................................................................................................... 11 Implikasi pandangan antropologi filsafi terhadap peranan pendidik dan peserta didik dalam mencapai tujuan pendidikan ........................................................................................................................ 14 Peran pendidik dan Peserta Didik dari Sisi Filsafat Idealisme ............................................................ 14 Peran pendidik dan Peserta Didik dari Sisi Filsafat Realisme ............................................................. 15 Peran pendidik dan Peserta Didik dari Sisi Filsafat Pragmatisme ....................................................... 16 Peran pendidik dan Peserta Didik dari Sisi Filsafat eksistensialisme .................................................. 17 Peran pendidik dan Peserta Didik dari Sisi Filsafat Pancasila ............................................................. 18 Referensi ..................................................................................................................................................... 20
2
KAJIAN ANTROPOLOGIS FILSAFI TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN PENDAHULUAN Pendidikan berlangsung terus menerus dari satu generasi ke generasi lain. Manusia di manapun akan membutuhkan pendidikan untuk memudahkan kehidupannya di masa depan. Bahkan, pendidikan dikatakan sudah menjadi hak dasar bagi manusia (Sadulloh, 2012:181). Bagaimana seseorang memandang suatu pendidikan seringkali dikaitkan dengan cara hidup atau pandangan hidup dimana orang tersebut berada. Meski demikian, karena sifatnya yang universal, maka akan ada nilai-nilai di dalam pendidikan yang berlaku umum (dimanapun dan kapanpun). Pentingnya pendidikan bagi suatu bangsa dicerminkan dari adanya peraturan atau bahkan perundangan yang dirancang untuk menjamin bahwa setiap warga negara dari bangsa tersebut bisa memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar. Kajian pada makalah ini akan menjelaskan hakikat filsafat pendidikan yang dikaitkan dengan filsafat secara umum. Hal itu dilakukan dengan cara mengeksplorasi aliran-aliran filsafat umum yang dinilai memiliki pengaruh terhadap pemikiran dan pengembangan konsep pendidikan di dunia. Selanjutnya, disesuaikan dengan lingkup proses belajar mengajar kita di Indonesia, maka secara khusus akan disajikan pula penjelasan mengenai kaitan Pancasila sebagai landasan hidup bangsa dengan konsep pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Pada setiap sila-nya terkandung pemahaman yang mendalam mengenai proses pembelajaran di Indonesia. Pada bagian terakhir, penulis akan membahas peran dari pendidik dan peserta didik di dalam mencapai sasaran pendidikan di Indonesia. Meski sumber pustaka yang penulis gunakan lebih cenderung mengkajinya dari sisi pendidik, akan tetapi penulis akan mencoba membahas dari sisi peserta didik. Kajian pada bagian ini akan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kajian dari sisi humanistik, behavioristik, dan konstruktivistik. Di samping itu, penulis juga akan menyajikan beberapa potret pengajar dari beberapa aliran filsafat yang dijadikan kajian pada makalah ini.
3
KAJIAN BEBERAPA PANDANGAN FILSAFAT TERHADAP HAKIKAT MANUSIA DAN PENDIDIKAN Jawaban terhadap tiga persoalan pokok dalam filsafat yaitu metafisika, epistemologi dan aksiologibelum memiliki kesamaan suara. Hal tersebut menimbulkan banyak aliran filsafat. Lebih lanjut, perbedaan kepercayaan filosofis tersebut akan menimbulkan keragaman teori dan praktik kependidikan. Makalah ini akan membahas kaitan pendidikan dengan pandangan filsafatnya yaitu terhadap 2 aliran tradisional (idealisme dan realisme), 2 aliran filsaffat modern (pragmatisme dan eksistensialisme) serta filsafat Pancasila.
FILSAFAT IDEALISME Idealisme, pada prinsipnya adalah suatu penekanan pada realitas ide-gagasan, pemikiran, akal pikir atau kedirian daripada sabegai suatu penekanan pada obyek-obyek dan daya-daya material (Knight, 2007). Idealisme terkait dengan konsep abadi seperti kebenaran, keindahan, kemuliaan.
Lebih lanjut, Knight (2007) menyebutkan bahwa idealisme
menganggap bahwa akal pikir adalah sesuatu yang nyata, sedangkan materi adalah akibat yang ditimbulkannya. Sepanjang sejarahnya, edealisme terkait erat dengan agama karena sama-sama memiliki fokus pada aspek spiritual. Beberapa filsuf idealisme adalah Plato, Rene Descartes, George Berkeley, Immanuel Kant dan George W. F. Hegel.
HAKIKAT MANUSIA Idealisme menganggap adanya Diri Absolut yang merupakan prototype akal-pikir. Jagat raraya ini dapat direnung-pikirkan dalam cara pandang makrokosmos (jagat besar) dan mikrokosmos (jagat kecil). Makrokosmos adalah Akal-pikir absolut, sementara bumi dan pengalaman-pengalaman sensori dapat direnung-pikirkan sebagai mikrokosmos yang merupakan bayangan dari apa yang sejatinya ada. Peran diri individu manusia berusaha semaksimal mungkin mirip dengan Diri Absolut (Tuhan). (Knight, 2007)
IDEALISME DAN PENDIDIKAN Siswa dapat dipandang sebagai suatu diri mikrokosmik yang berada dalam proses menjadi lebih mirip dengan Diri Absolut.
Siswa ditandai oleh keinginan untuk sempurna. Di
sekolah penganut aliran idealisme, guru merupakan contoh bagi siswa karena lebih dekat dengan Diri Absolut, perpustakaan menjadi pusat aktivitas dan dan dalam proses
4
pembelajarannya tidak tergairahkan dengan kunjungan ke lapangan. Kritik yang muncul terhadap idealisme ini adalah bahwa pendidikan semacam ini sebagai bentuk pengalaman menara gading dan merupakan pendukung status quo. (Knight, 2007)
FILSAFAT REALISME Realisme merupan reaksi terhadap keabstrakan dan kedunia-lainan dari idealisme. Titik tolaknya adalah bahwa obyek-obyek dan indra muncul dalam bentuk apa adanya terlepas dari serapan pengetahuan yang dibentuk oleh akal-pikir. Realisme berpendapat bahwa hakikat realitas ialah terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani (Sadulloh, 2012). Aristoteles (384-322 S.M.) berpendapat bahwa unsur-unsur pokok dari setiap obyek adalah bentuk dan isinya. Bentuk dapat di analogikan dengan ida atau gagasan dalam pandangan Plato tentang idealisme, sedangkan materi adalah unsur material yang membentuk suatu oobyek. Aristoteles percaya bahwa pemahaman yang lebih baik tentang ide0ide universal dapat diraih mellaui kajian terhadap hal atau materi. (Knight, 2007)
HAKIKAT MANUSIA Knight (2007) menyebutkan bahwa menurut Realisme, realitas puncak bukanlah ada dalam akal-pikir seperti yang dianggap oleh penganut idealisme. Alam semesta adalah dunia fisik di mana manusia tinggal di dalamnya dan merancang realitas. Alam semesta merupakan sebuah mesin raksasa di mana manusia bertindak sebagai pengamat dan juga menjadi peserta. Penganut realisme melihat realitas dalam kaca mata bahwa segala sesuatu adalah nyata ketika berjalan sesuai dengan hukum alam. Kebenaran adalah segala sesuatu yang sesuai dengan situasi aktual sebagaimana ditangkap oleh si pengamat.
REALISME DAN PENDIDIKAN Dalam filsafat realisme, siswa dipandang sebagai organisme hidup yang dapat menangkap tatanan alam dunia ini melalui pengalaman indrawi. Dunia adalah sesuatu dan seorang siswa adalah orang yang dapat mengetahui dunia melalui panca indra mereka. Beberapa penganut realisme memandang siswa sebagai orang yang tunduk pada hukum alam dan karen itu tidak bebas dalam pilihan-pilihan yang meraka ambil. (Knight, 2007) Para siswa merespon rangsangan dari lingkungan mereka. Siswa dapat diprogram sebagaimana sebuah komputer. Namun berbeda dengan program komputer, pemrograman
5
seorang siswa tidak langsung berhasil seketika tetapi melalui pembinaan, pelatihan dan pembentukan agar dapat membuat respon yang sesuai. Berbeda dengan siswa yang dianggap sebagai penonton yang melihat mesin alam yang besar, guru dapat dilihat sebagai pengamat yang lebih kompleks yang mengetahui banyak hal tentang hukum-hukum kosmos. Peran guru adalah memberikan informasi yang akurat menyangkut realitas pada siswa secara efisien dan cepat. Metode pengajaran realisme sangat mementingkan indrawi. Siswa dapt belajar dengan baik dan maksimal jika mereka dapat merasa, mencium dan mendengar materi yang diajarkan, serta melihatnya. Penganut aliran ini menyukai demonstrasi (peragaan materi) di ruang kelas karya wisata dan penggunaan alat bantu audio-visual.
FILSAFAT PRAGMATISME Pragmatisme merupakan perkembangan dari Realisme yang tumbuh dan berasimilasi dengan inti permikiran Yunani Kuno dari Heraclitos. Heraclitos berpandangan bahwa sifat utama dari kenyataan hidup adalah perubahan (Kuswana, 2013). Filsafat-filsafat tradisional cenderung bersifat statis menerangkan segala sesuatu sebagaimana adanya. Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang merupakan reaksi filosofis atas fenomena perubahan yang muncul pada paruh terakhir abad XX. William James dalam Knight (2007) merumuskan pragmatisme sebagai “sikap memalingkan muka dari segala sesuatu, prinsip-prinsip, kategori-kategori dan keniscayaan-keniscayaan awal, untuk kemudian beralih pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta baru”. Pengetahuan menurut penganut pragmatis berakar dari pengalaman (Knight, 2007). Lebih lanjut, manusia mempunyai akal-pikir kejiwaan yang aktif dan menjelajah bukan sekedar akal-pikir kejiwaan yang pasif dan reseptif. Sebagai akibatnya, manusia tidaklah begitu saja menerima pengetahuan, ia menciptakan pengetahuan karena ia berinteraksi dengan lingkungan. Manusia berbuat sesuatu terhadap lingkungannya, kemudian ia mengalami konsekuensi-konsekuensi tertentu. Ia belajar dari pengalaman transaksionalnya dengan dunia yang mengitari.
HAKIKAT MANUSIA Manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas kebenaran dan pengetahuan, pada saat bersamaan ia bertanggung jawab atas nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif dan tidak ada
6
prinsip-prinsip absolut yang dapat disandari.Seseorang seharusnya belajar bagaimana membuat putusan-putusan moral yang rumit, tidak dengan bersandar pada prinsip-prinsip yang ditentukan secara kaku, melainkan lebih menentukan rangkaian tindakan cerdas yang kemungkinan melahirkan hasil-hasil yang terbaik dalam kaca mata manusia (Knight, 2007).
PRAGMATISME DAN PENDIDIKAN Knight (2007) menjelaskan bahwa siswa merupakan subyek yang memiliki pengalaman, dan dengan pengalamannya tersebut, dia mampu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan situasi-situasi problematis. Pengalaman sekolah adalah sebuah bagian dari hidup, dan bukan sebagai persiapan hidup. Cara belajar di sekolah sama dengan cara siswa belajar dalam aspek-aspek lain kehidupannya. Lebih lanjut, Knight menyebutkan bahwa guru bukanlah seseorang yang mengetahui apa yang dibutuhkan para subyek didik di masa depannya, melainkan memiliki fungsi menanamkan unsur esensial pengetahuan pada diri siswa. Guru dapat dilihat sebagai pendamping subyek didik dalam pengalaman pendidikan karena seluruh aktivitas kelas setiap harinya adalah menghadapi dunia yang berubah. Guru sebagai pendamping yang lebih berpengalaman merupakan pemandu atau pengarah. Ia adalah orang yang menasihati, memandu aktivitas-aktivitas subyek didik yang muncul di luar apa yang sibutuhkan subyek didik, dan ia melaksanakan peran ini dalam konteks pertimbangan pengalamannya yang lebih luas. Ruang kelas dipandang sebagai kaca mata sebuah laboratorium ilmiah di mana ide gagasan siap diuji coba untuk melihat apakah dapat diverifikasi. Karyawisata dianggap telah memberikan keuntungan belajar melebihi aktivitas-aktivitas belajar seperti membaca dan pengalaman audio-visual, karena peserta didik mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berpartisipasi dalam interaksi langsung dengan lingkungan. Tujuan sekolah tidaklah mengharuskan peserta didik menghafal materi pelajaran, melainkan lebih pada belajar bagaimana cara belajar sehingga mereka bisa beradaptasi terhadap dunia yang berubah. Kurikulum sekolah kalangan pragmatis lebih memperhatikan proses daripada muatan materi.
7
FILSAFAT EKSISTENSIALISME Menurut Knight (2007), filsafat eksistensialisme sangat memperhatikan emosi-emosi manusia. Eksistensialisme berkaitan dengan watak manusia. Individualisme adalah pilar utama eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan reaksi terhadap dehumanisasi industrialisme modern dan merupakan pemberontak terhadap masyarakat yang telah terampas individualitasnya. Eksistensi individu adalah titik bidik pandangan eksistensialisme terhadap realitas. Berbeda dengan pragmatisme yang mendasarkan relativisme dan humanisme pada otoritas masayarakat, esistensialisme menekankan pada peran individu. Filsafat sebelumnya berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk menidentifikasi dan memehami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia, dan nilai, sementara eksistensialisme membarikan individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan mereka pribadi.
HAKIKAT MANUSIA Manusia dengan kesadaran akalnya berada, secara totalitas dan selalu terkait dengan kemanusiaan, suatu arti yang diberikan manusia dalam menentukan perbuatannya sendiri. Manusia lebih dulu ada dan kemudian baru merumuskan esensinya (Kuswana, 2013). Ia akan dihadapkan pada persolan seperti “Siapa saya?” dalam sebuah dunia yang tidak memberikan jawaban-jawaban. Manusia akan sampai pada kesadaran bahwa ia adalah apa yang ia pilih untuk ada. Manusia dihadapkan pada keharusan mutlak untuk membuat pilihan-pilihan yang dapat dipertanggungjawabkan. Hukum-hukum alam telah berubah selama beberapa abad berjalan setelah manusia menempeli alam dengan beragam makna. (Knight, 2007)
EKSISTENSIALISME DAN PENDIDIKAN Kalangan eksistensialisme menganggap bahwa pendidikan sebenarnya merupakan propaganda yang membahayakan karena menyiapkan peserta didik untuk konsumerisme atau menjadikannya sebagai tenaga penggerak dalam mesin teknologi industrial dan birokrasi modern (Knight, 2007).
8
Menurut Knight (2007), peran guru lebih sebagai seseorang yang berkemauan membantu para subyek didik mengeksplorasi jawaban-jawaban yang mungkin. Guru memperhatikan keunikan individulitas masing-masing subyek didik. Guru merupakan fasilitator yang mau menghargai aspek emosional dan irasional dan mau berupaya serius mengarahkan subyek didik ke pemahaman yang lebih baik tentang diri sendiri. Menurut eksistensialisme, kurikulum yang ideal adalah kurikulum yang memberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri (Sadulloh, 2012). Lebih lanjut, Sadulloh (2012) menyebutkan bahwa dalam eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
FILSAFAT PANCASILA Pancasila, seperti kita ketahui bersama, memiliki lima sila yang tersusun secara hirarkis dan menggambarkan tatanan negara Indonesia yang dicita-citakan. Berikut adalah ke lima sila tersebut: 1. Ke-Tuhanan Yang Maha Esa 2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawarahan Perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Pancasila merupakan landasan hidup bangsa Indonesia yang didalamnya terkandung falsafah utama yang menegaskan bagaimana kita sebagai bangsa harus bertindak/bersikap. Meskipun memiliki lima sila yang disajikan terpisah, akan tetapi kelima sila tersebut tidak berdiri sendiri (Kaelan, 2004:62). Sebaliknya, lima sila ini merupakan rancangan hirarkis yang disusun sedemikian rupa untuk menggambarkan hakikat satu kesatuan filsafat yang memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis tersendiri sehingga berbeda dari aliran filsafat lain. Pancasila merupakan ciri khas dan menjadi jati diri Bangsa Indonesia. Pancasila diharapkan dapat mengarahkan seluruh kehidupan bersama bangsa, interaksinya dengan bangsa lain serta perkembangan masyarakat Indonesia dari waktu kewaktu. Dasar 9
ontologis di dalam Pancasila terkandung pada pemahaman bahwa manusia itu memiliki hakikat mutlak. Subjek utama di dalam Pancasila adalah manusia (Kaelan, 2008:62). Seluruh sila yang ada di dalamnya mengandung peran dari manusia (rakyat Indonesia). Apabila dikaitkan bahwa Pancasila adalah dasar negara, maka kata negara disini juga memperlihatkan adanya unsur manusia (rakyat). Tidak ada negara yang didirikan tanpa memiliki rakyat. Hal ini menegaskan bahwa dasar antropoligis dari Pancasila adalah keberadaan manusia sebagai mahluk pelaku utama. Di samping itu, filsafat Pancasila memaknai manusia sebagai yang bersifat kodrati sebagai mahluk sosial dan individu. Sedangkan dasar epistemologisnya adalah bahwa manusia memiliki potensi untuk mendapatkan pengetahuan dan kebenaran serta memanfaatkannya bagi kesejahteraan bersama sesuai dengan prinsip aksiologis yang diusungnya. Nilai dan etika yang terkandung di dalam setiap sila nya merupakan dasar aksiologis yang menjadi penuntun bagi Bangsa Indonesia untuk bersikap (Sadulloh, 2012:189). Hakikat Pancasila bersifat universal sebagai pedoman penyelenggaraan suatu negara. Kelima sila nya; Ke-Tuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan merupakan sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dengan sesamanya, dan dengan kelompoknya (negara). Selanjutnya kelima sila tersebut juga menjadi prinsip dasar dalam mengelola keteraturan sosial, masyarakat, dan di dalam kehidupan berbangsa. Pancasila menjadi dasar dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia, di dalam adat istiadatnya, kebudayaan, keagamaan (Kaelan, 2004:72). Pancasila telah menjadi landasan bagi Bangsa Indonesia untuk bersikap dan bertindak. Falsafah pengaturan hubungan vertikal dan horizontal yang terkandung di dalamnya secara tegas mencerminkan bagaimana kita berinteraksi dengan sesama. Bangsa Indonesia harus memanifestasikan Pancasila pada setiap pikiran, tindakan, dan keputusannya dalam mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas dan mampu bersaing sekaligus hidup berdampingan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
HAKIKAT MANUSIA Pancasila memandang manusia sebagai pendukung pokok dari setiap sila dalam Pancasila. Manusia juga merupakan unsur utama bagi suatu negara (rakyat), sehingga pada dasarnya hakikat dasar antropologis dari Pancasila adalah manusia (Kaelan, 2004:63). Ke lima sila di dalam Pancasila tidak bisa dilepas dan berdiri sendiri karena setiap sila tersebut merupakan kesatuan majemuk tunggal (Kaelan, 2004:58). Di samping itu, 10
Pancasila memandang manusia sebagai bagian utama atau inti di dalam setiap silanya. Kaelan (2004:58) menyatakan bahwa Pancasila mengandung pemahaman hakikat manusia yang monopluralis. Monopluralis memiliki tiga unsur; susunan kodrat (jasmani dan rohani), sifat kodrat (individu-mahluk sosial), dan kedudukan kodrat (pribadi mandiri, mahluk Tuhan). Ketiga unsur tersebut dikatakan memiliki fungsi mandiri akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan saling mengisi. Melalui penjabaran di atas, penulis menyimpulkan bahwa dengan Pancasila sebagai dasar negara, maka hakikat manusia Indonesia adalah sebagai mahluk individu yang memiliki hak-hak pribadi. Akan tetapi di dalam menjalankan hak pribadinya tersebut manusia Indonesia wajib mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar (sosial) dan senantiasa mendasarkan setiap perbuatannya pada prinsip Ke-Tuhanan.Dengan berpedoman pada prinsip-prinsip tesebut diharapkan dapat tercipta Bangsa Indonesia yang berke-Tuhanan, berkemanusiaan, berkesatuan, berdasarkan kerakyatan dan keadilan sosial.
PANCASILA DAN PENDIDIKAN Pancasila secara tegas dinyatakan sebagai dasar bagi pendidikan di Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003. Pasal tersebut juga menegaskan bahwa UUD 1945 juga menjadi dasar pengembangan pendidikan di Indonesia yang dilandaskan pada nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap kebutuhan perkembangan jaman. Meski dicanangkan sejak jaman kemerdekaan, akan tetapi esensi dari Pancasila dan UUD 1945 ternyata masih relevan dengan kondisi saat ini karena telah mengadopsi pengertian yang sesuai dengan perkembangan jaman. Sejak bangsa Indonesia merdeka pendidikan di Indonesia telah berkembang secara dinamis bahkan pada jaman keemasannya, pendidikan di Indonesia menjadi acuan bagi negara tetangga seperti Malaysia untuk mengembangkan sumberdayanya. Hal ini tidak lepas dari keseriusan pemerintah dalam menempatkan pendidikan sebagai suatu yang penting, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 2, “pendidikan diusahakan dan diselenggarakan oleh pemerintah sebagai satu sistem pengajaran nasional (setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pernyataan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pendidikan menjadi sarana utama bagi perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa.
11
Meski menjunjung tinggi prinsip universalisme di dalam pendidikan, akan tetapi Bangsa Indonesia
dalam
memenuhi
hak
dasarnya
untuk
memperoleh
pendidikan
dan
memanusiakan rakyatnya, wajib mendasarkan konsep pendidikannya dengan Pancasila. Oleh karena itu pula, maka Pancasila menjadi dasar pendidikan nasional (Sadulloh, 2012:181).
Setiap
aspek
penyelenggaraan
pendidikan
di
Indonesia
wajib
mengejawantahkan atau mengamalkan sila-sila tersebut di dalam setiap kegiatannya. Manusia Indonesia sebagai mahluk hidup yang memiliki kebebasan diharapkan dapat memperoleh proses pembelajaran untuk meningkatkan pengetahuannya, baik dari sisi keilmuan maupun dari sisi moralitas. Definisi pengetahuan sangat luas untuk dijelaskan disini, karena menyangkut kebutuhan seseorang untuk mempelajari sesuatu saat ini dan di masa yang akan datang, dan tentunya kecuali bermanfaat bagi individu, diharapkan pengetahuan yang dipelajari bisa membawa manfaat bagi lingkungannya. Sedangkan untuk unsur moralitas (etika dan estetika), Bangsa Indonesia wajib menjadikan pokok-pokok di dalam setiap sila Pancasila sebagai dasar untuk bersikap. Meski saat ini begitu banyak dan besar pengaruh dari dunia luar, akan tetapi kaidah-kaidah yang ada di dalam Pancasila masih dapat dijadikan panduan dasar bagi manusia Indonesia untuk menyongsong kehidupan masa depannya. Negara atau bangsa mana yang tidak mengagungkan Tuhan, bangsa mana yang menginginkan terjadinya ketidakadilan, negara mana yang rakyatnya tidak ingin bersatu, penduduk mana yang tidak menginginkan memiliki dan didengar suaranya di dalam pengelolaan negara, dan terakhir bangsa mana yang tidak menginginkan adanya keadilan sosial bagi rakyatnya. Meski terkesan muluk dan banyak kejadian yang menurunkan nilai-nilai tersebut, akan tetapi secara ideal, kondisi-kondisi itulah yang layak dicapai suatu negara agar dapat berfungsi dengan optimal. Pendidikan pada dasarnya berkaitan dengan nilai. Nilai-nilai pendidikan nasional di Indonesia harus dilandaskan pada prinsip yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini berarti bahwa tujuan, materi, motivasi, kurikulum, dan metode belajar yang dirancang harus sesuai dengan kaidah-kaidah Pancasila, sebagai cita-cita ideal bangsa (Sadulloh, 2012:196). Oleh karena itu, pendidikan nasional Indonesia harus didasarkan pada kajian metafisik, epistemologis, dan aksiologis Pancasila. Artinya di dalam melaksanakan pendidikan, manusia Indonesia harus memiliki tujuan positif ketika menjalani proses mencari ilmu yang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Apabila ditinjau dari sisi metafisik dan aksiologis, tujuan pendidikan nasional Indonesia
12
adalah menciptakan manusia yang beriman kepada Tuhan, yang mendasarkan setiap tindakannya berdasarkan kepentingan hidup bersama agar mampu mempertahankan nilainilai persatuan bangsa yang dilandaskan pada sistem demokrasi yang berkeadilan sosial. Sekali lgi dalam prinsip ini terkandung hak manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Tinjauan dari sisi epistemologis memperlihatkan bahwa tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah membangun bangsa yang berpengetahuan (mampu mencari dan mengembangkan), trampil dalam memanfaatkannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik dan seimbang (antara rohani dan jasmani) serta menghasilkan manusia Indonesia yang berpengalaman dan memiliki kebijaksanaan ketika memanfaatkan pengetahuan yang sudah dimilikinya untuk kesejahteraan bersama. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan nasional pun juga harus dirancang sedemikian rupa agar tidak hanya menekankan pentingnya pengetahuan yang harus diajarkan akan tetapi juga proses kegiatan pendidikannya (pedagogis). Proses pendidikan harus dirancang secara terintegrasi dari mulai pengetahuan yang hendak diajarkan dan nilai-nilai kemanusiaan yang hendak ditanamkan (Sadulloh, 2012:198). Keduanya harus terwakili di dalam kurikulum dan materi pengajaran yang hendak disampaikan kepada peserta didik. Tentu saja, materi ajar yang disampaikan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang ada di dalam masyarakat dan kemampuan serta kebutuhan dari peserta didik. Langkah-langkah penyesuaian dengan kemampuan dan kebutuhan perserta didik tidak terlepas dari metode yang digunakan dalam tranfer pengetahuan. Metode merupakan cara untuk melaksanakan sesuatu untuk mencapai tujuan. Dikaitkan dengan kependidikan, metode merupakan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditetapkan (Sadulloh, 2012:201). Banyak faktor yang terkandung di dalam pengertian metode, diantaranya adalah situasi, lingkungan, pendidik, dan peserta didik. Sejalan dengan filsafat pendidikan Pancasila, maka pemilihan metode juga harus diselaraskan dengan kajian metafisik, epistemologis, dan aksiologis. Artinya, metode dalam pendidikan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan ajaran Ke-Tuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan, serta harus disesuaikan dengan pengetahuan yang hendak diajarkan/dipelajari dan mudah dipahami untuk kepentingan penyebaran pengetahuan tersebut. Dengan menggunakan dasar Pancasila sebagai filsafat pendidikan di Indonesia, diharapkan dibentuk manusia Indonesia yang memiliki pengetahuan dan kebenaran wahyu, intuisi, rasional, dan empiris. Di samping itu
13
juga dapat mengimplementasikannya pada kehidupan keseharian untuk meningkatkan kehidupan pribadi dan bangsanya.
IMPLIKASI PANDANGAN ANTROPOLOGI FILSAFI TERHADAP PERANAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM MENCAPAI TUJUAN PENDIDIKAN Di dalam pendidikan peran pendidik dan peserta didik sangat besar dalam menentukan keberhasilan proses pendidikan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi kehidupan di masa depn. Peserta didik sebagai calon warga negara, warga bangsa, dan orang dewasa di kelak kemudian hari akan mengemban tugas penting baik untuk keluarganya maupun lingkungannya. Hasil proses pendidikan berupa manusia-manusia lebih dewasa yang diharapkan memiliki kemampuan melaksanakan peranan tersebut di masa yang akan datang. Pada realitanya, peran yang diemban para lulusan tersebut sangat beragam sesuai dengan bidang pekerjaan, jabatan, dan posisinya kelak. Hal ini membuat keberhasilan pendidikan menjadi vital dalam perkembangan suatu bangsa. Oleh karenanya dua unsur utama di dalam proses pendidikan, yaitu pendidik dan peserta didik harus secara bersama-sama dan aktif memainkan perannya untuk mencapai sasaran tersebut. Saat ini sudah bukan jamannya lagi menganggap bahwa pendidik adalah satu-satunya sumber ilmu yang benar atau peserta didik adalah orang-orang yang sama sekali tidak mengetahui apa yang hendak diajarkan. Penulis menilai, proses belajar mengajar saat ini lebih tepat jika diistilahkan dengan berbagi pengetahuan dimana kedua pihak aktif berperan. Untuk memudahkan pembahasan dalam kajian ini, penulis akan membagi penjelasan peran masing-masing secara terpisah. PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT IDEALISME Apabila dilihat dari filsafat idealisme, seorang pendidik harus membimbing siswa agar mampu mengembangkan watak yang terbaik. Ini terkait dengan sikap kesadaran dalam diri siswa. Socrates, Plato, dan Kant berpendapat bahwa pengetahuan terbaik adalah pengetahuan yang muncul atau dikeluarkan dari dalam diri siswa bukan karena dipaksakan (Sadulloh, 2012:101). Di dalam prosesnya pendidik harus dapat meletakkan dasar yang bisa
14
dilihat oleh peserta didik sebagai suatu pedoman yang baik. Pendidik perlu memberikan dan sekaligus menjadi contoh bagi peserta didik. Sedangkan peran peserta didik selanjutnya adalah memanfaatkan kebebasan yang diberikan untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan dasar atau bakatnya. Kebebasan ini terkait dengan pandangan bahwa siswa akan lebih optimal apabila dorongan untuk belajar muncul dari dalam diri sendiri. Meski demikian, di dalam tatanan kependidikan, terdapat beberapa hal dimana kebebasan pilihan ini tidak bisa diterapkan 100%. Siswa juga harus mematuhi batasan-batasan yang ada dalam mengikuti proses belajar mengajar. Didasarkan keyakinan bahwa manusia dapat memperoleh pengetahuan dan kebenaran sejati, maka pengetahuan yang diajarkan harus bersifat intelektual. Ini merupakan konsep pendidikan berdasar pandangan idealisme. Oleh karenanya siswa perlu diajarkan nilai-nilai tetap yang abadi (Sadulloh, 2012:102). Di samping pengetahuan keilmuan, siswa perlu diberikan bekal dari sisi pemahaman mana yang baik dan yang buruk. Melalui bimbingan dari pendidik yang bertanggung jawab, peserta didik diharapkan bisa mendapatkan pengetahuan yang nantinya akan digunakan dalam mencapai dan menikmati kehidupan dari Tuhan di masa depan. PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT REALISME Filsafat realisme memandang realitas secara dualistis, hakikatnya terdiri dari dunia fisik dan dunia rohani (Sadulloh, 2012:105). Realitas dibagi dua; realita di dalam manusia (subjek yang menyadari dan mengetahui) dan realitas di luar manusia (objek yang menjadi perhatian). Sesuai dengan penjelasan pada bagian sebelumnya yang menegaskan bahwa filsafat pendidikan realisme didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh dari indrawi dan empiris, maka paham ini percaya bahwa pengalaman merupakan faktor dasar dalam pengetahuan bahkan menjadi sumber dari pengetahuan itu sendiri. Berangkat dari pemikiran tersebut, maka peran pendidik adalah menjadi pihak yang menguasai pengetahuan dan memiliki ketrampilan serta mampu menyajikan dalam bentuk yang menarik kepada siswa. Pendidik diasumsikan memiliki pengalaman lebih banyak karena sudah mempelajarinya terlebih dahulu. Pengetahuan baik dan buruk yang disampaikan merupakan bentuk rangkuman pengalaman pendidik di dalam kehidupannya. Pendidik juga diharapkan bisa menyelenggarakan proses belajar mengajar yang mendorong
15
siswa untuk bisa mengoptimalkan kemampuan indrawinya secara keseluruhan. Artinya metode beragam yang dapat merangsannnggg nafsu belajar siswa perlu dikuasai. Sedangkan bagi peserta didik, peran sertanya di dalam filsafat ini adalah mengembangkan sikap disiplin, baik mental dan moral. Tingkat disiplin yang tinggi akan membentuk komitmen terhadap pengetahuan yang hendak dipelajari dan pada akhirnya akan membentuk komitmen mencapai tujuan yang positif. PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT PRAGMATISME Filsafat
pragmatisme
atau
sering
juga
disebut
sebagai
instrumentalisme
dan
eksperimentalisme merupakan filsafat Amerika asli (Sadulloh, 2012:118). Istilah instrumentalisme mengacu pada pengertian tidak adanya tujuan akhir, yang ada hanya tujuan antara. Demikian juga dengan pendidikan, ketiga kegiatan pendidikan telah mencapai tujuan, maka itu merupakan titik tolak untuk mencapai tujuan berikutnya. Sedangkan eksperimentalisme berarti bahwa filsafat ini menggunakan metode eksperiman yang didasarkan pada pengalaman untuk menentukan suatu kebenaran. Peran pendidik di dalam filsafat ini adalah mengawasi dan membimbing pengalaman belajar yang dilakukan secara mandiri oleh siswa. Pengawasan ini tidak berarti membatasi, hanya lebih bersifat mengarahkan saja. Fokus utama adalah tetap pada minat dan kebutuhan peserta didik dalam menimba ilmu (Sadulloh, 2012:133). Meski nampak mudah, terkadang pendidik hanyut pada keinginan untuk „memaksakan‟ kehendak kepada siswanya. Kondisi seperti ini perlu diwaspadai karena dapat menurunkan minat belajar.ya. Bagi peserta didik, dengan bimbingan dan pengawasan terbatas dari pengajarnya, diharapkan bisa bersikap mandiri dalam memilah pengetahuan yang bermanfaat untuk dipelajari. Sebagai manusia yang belajar, maka peserta didik merupakan organisme yang diasumsikan memiliki kemampuan dan terus bertumbuh. Dengan asumsi ini diharapkan peserta didik dapat bersikap dewasa. Mereka perlu memahami bahwa proses pendidikan, meski seberat apapun, merupakan proses penting yang harus mereka lalui dengan cara terlibat di dalamn
16
PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT EKSISTENSIALISME Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu manusia. Manusia diajak untuk memikirkan apa makna sesuatu bagi individu dan apa yang benar untuk individu tersebut. Eksistensialisme juga memberikan pilihan kreatif, subyektivitas pengalaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia (Sadulloh, 2012:133). Mengacu pada kerangka subyektivitas tadi maka manusia hadir (lahir) untuk kemudian memutuskan apa yang perlu dimaknai. Makna keberadaan ditentukan oleh individu setelah dia hadir. Penekanan pada unsur kebebasan ini berarti menuntut para pendidik untuk senantiasa menciptakan lingkungan yang bebas, dalam arti kebebasan akademik. Kebebasan akademik dapat diartikan sebagai kebebasan yang dimiliki oleh civitas academika dalam menjalankan kegiatan ilmiah berupa penulisan hasil studi, penelitian, dan diskusi yang memenuhi kriteria keilmuan. Kebebasan akademik merupakan kesempatan bagai akademisi baik secara sendiri atau bersama-sama,berikhtiar mengembangkan ilmu pengetahuan serta menguji pendapat, pandangan dan penemuan secarailmiah (Supriyoko, 1988).Kebebasan akademik merupakan kebebasan yang menuntut adanya komitmen (Sadulloh, 2012:139). Pendidik juga memiliki kebebasan dalam mengarahkan siswanya. Akan tetapi di dalam menjalankan kebebasan ini harus tetap fokus pada perkembangan siswa dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip transfer pengetahuan. Pendidik perlu mendorong munculnya keberanian dari siswa untuk mencarikebenran ilmiah dan mempertanyakan sesuatu yang dirasa belum jelas. Bahkan untuk saat ini, pendidik juga perlu mengembangkan sikap keterbukaan atas kritik dari siswanya. Selama didasarkan pada kaidah ilmiah, maka segala bentuk perdebatan atau diskusi harus difasilitasi dengan baik. Peran peserta didik di dalam filsafat eksistensialisme ini diharapkan dapat membangun komitmen positif bagi pengembangan diri pribadi mereka. Kesempatan yang diberikan oleh pendidik dalam mempertanyakan setiap masalah yang belum jelas secara akademik, peserta didik dituntut untuk kritis dan senantiasa menggali setiap alternatif solusi dari masalah yang dihadapi. Peserta harus aktif, sikap pasif akan membuat mereka tertinggal karena pendidik telah mengasumsikan bahwa kebebasan sudah diberikan. Siswa yang hanya menunggu akan dianggap sudah paham dan kemungkinan akan tertinggal dalam pembelajaran di kelas. Peserta didik juga perlu mengembangkan sikap proaktif untuk lebih memperluas cakupan
17
belajarnya. pertanyaan-pertanyaan yang diluar pokok bahasan akan tetapi masih dalam koridor bidang kajian dapat disampaikan ke pengajar untuk memperoleh pemahaman lebih luas. PERAN PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DARI SISI FILSAFAT PANCASILA Sebagai pandangan hidup bangsa kita, dan sekaligus sebagai salah satu dasar pendidikan nasional, maka Pancasila harus menjadi acuan bagi pendidik dan peserta didik di dalam proses belajar mengajar. Di dalam setiap silanya dan di dalam filsafatnya, Pancasila memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi bangsa Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan keinginannya. Agar kesempatan tersebut dapat dioptimalkan, maka pendidik dan peserta didik harus menjalankan peran mereka. Pendidik yang berlatar belakang filsafat Pancasila diharapkan dapat menjadi pendorong perkembangan anak didik. Pengertian mendorong ini mengandung pengertian memberikan bantuan dan bimbingan agar peserta didik bisa memilih pengetahuan yang sesuai minatnya, selanjutnya mereka lebih mudah menemukan sumber pengetahuan yang relevan, mampu melakukan analisis, serta pada akhirnya memperoleh kesimpulan atas kajian yang dilakukan. Pendidik harus bersikap proaktif untuk menggali kebutuhan siswa. Untuk mengenali kebutuhan ini, mereka perlu mengenal siswa didiknya terlebih dahulu. Sadulloh (2012:204) menegaskan bahwa pendidik harus memiliki kesabaran, mampu bersikap fleksibel, kreatif, cerdas, dan memiliki sudut pandang luas. Seorang pendidik yang wawasannya terbatas akan sulit membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang komprehensif. Pendidik harus menghindari bentuk pengajaran yang bersifat memaksakan kehendak atau pemikirannya, sebaliknya dia harus mampu menciptakan situasi yang mendorong anak didik untuk termotivasi. Hubungan saling membutuhkan dan saling menguntungkan akan menjadi dasar yang positif bagi proses belajar mengajar. Sikap pendidik yang demokratis dan terbuka ini hendaknya diimbangi juga oleh peran peserta didik yang aktif. Berlandaskan semangat pengembangan pengetahuan, peserta didik harus memiliki wawasan yang luas serta tidak cepat menyerah pada tantangan yang dihadapi. Berdasarkan pengalaman penulis, perubahan sikap pendidik juga perlu diimbangi dengan perubahan sikap peserta didik. Pola-pola lama ketika siswa hanya menunggu informasi dari pengajar harus sudah ditinggalkan. Siswa perlu memahami bidang-bidang yang hendak dipelajari terlebih dahulu, untuk kemudian pada saat sesi pertemuan dengan
18
pengajar bekal tersebut dapat menjadi bahan diskusi interaktif. Di samping itu, ketika menyelesaikan tugas, hendaknya peserta didik juga menyelesaikannya dengan serius. Perilaku negatif siswa, di antaranya plagiarisme, harus mulai ditinggalkan. Komitmen kejujuran dan integritas perlu mulai dikembangkan. Menutup kajian mengenai filsafat pendidikan, penulis kembali menegaskan bahwa pendidikan merupakan suatu proses. Hasilnya tidak akan dirasakan dalam jangka pendek. Proses ini perlu dijalani secara bertahap baik oleh pendidik maupun peserta didik. Diperlukan kesabaran dan komitmen untuk mengembangkan manusia Indonesia di masa depan yang memiliki pengetahuan luas, mampu bersaing, dan cinta akan tanah air. Peran pendidik dan peserta didik untuk mewujudkan suasana belajar mengajar yang positif merupakan faktor penting dan tidak terpisahkan.Kedua unsur utama ini harus bersinergi agar pencapaian tujuan pendidikan nasional Indonesia dapat segera tercapai.
19
REFERENSI Kaelan dan Dosen Universitas gajah Mada. (2004). Pendidikan Pancasila. Yogyakarta : Paradigma Knight, George R. (2007). Filsafat Pendidikan. Gama Media. Kuswana, Wowo S. (2013). Filsafat Pendidikan Teknologi, Vokasi dan Kejuruan. Alfabeta: Bandung. Sadulloh, Uyoh. (2012). Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta. Supriyoko, Ki. (1988). Masalah Kebebasan Akademik Mahasiswa. Surat Kabar Harian “WAWASAN”. Semarang:Edisi 8 Desember 1988 Undang-Undang Republik Indonesia Noor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
20