3/3/2016
kaj i an i sl am : Fi l osofi Hi dup Etni s M el ayu 0
Diğer
Sonraki Blog»
[email protected]
Kontrol paneli
Çıkış
kajian islam blog ini hanya menampilkan kajian islam
Filosofi Hidup Etnis Melayu Filosofi Hidup Etnis Melayu
Melayu bukan hanya berarti identitas diri namun dapat pula berarti pandangan hidup. Melayu dapat dikategorikan sebagai sebuah konsep atau cara pandang yang bersifat mendasar tentang diri dan dunia yang menjadi panduan untuk meraih kehidupan yang bermakna. Cara pandang tersebut berfungsi sebagai sarana untuk merespon dan menerangkan permasalahan eksistensial kehidupan seperti, Tuhan, manusia, dan dunia (alam semesta). Melayu adalah identitas kultural namun bukan berarti Melayu adalah sebuah entitas kebudayaan yang tunggal dan homogen. Melayu ibarat rumah, yang di dalamnya dihuni oleh berbagai orang dengan cara pandang yang berbeda beda, baik itu yang bersumber dari perbedaan sistem religi maupun keyakinan. Sistem religi dan keyakinan tersebut memungkinkan munculnya perbedaan perbedaan dalam hal adat-istiadat dan ritual, konsepsi kosmologi dan waktu, sistem mata pencaharian, dan lain-lain. Melayu sebagai pandangan hidup merupakan sebuah konstruksi fundamental yang mengacu kepada pandangan tentang Tuhan (pencipta), pandangan tentang kosmologi (dunia), pandangan tentang waktu, pandangan tentang tentang nasib dan usaha, pandangan tentang manusia, pandangan tentang hal gaib (metafisis), dan pandangan tentang leluhur. Orang Melayu Deli merupakan sebuah kelompok masyarakat yang tinggal di pulau Sumatra dan beranggotakan 4 juta jiwa. Mereka terutama tinggal di sepanja ng pesisir Timur Laut, tetapi juga di kota-kota dan desa-desa di daerah pedalaman. S uku Deli termasuk salah satu suku dari rumpun Melayu yang tersebar di berbagai da erah di Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura dan Thailand Selatan. Islam tiba di T anah Melayu pada abad ke-15 dan merupakan ciri utama yang menjadi jati diri mere ka: "Orang Melayu adalah orang Islam". Namun demikian, bagi banyak warga Mela yu keislamannya tidak selalu didapatkan melalui pemahaman intelektual. Adat kebia saan nenek moyang tetap dipertahankan secara turun-temurun dan banyak kepercaya
Archive
▼ 2014 (371)
April (2)
an animistis telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kebudayaan kolektif mereka.
March (108)
Pada waktu ini hanya ada kurang dari 50 warga Kristen di antara suku Deli. Sebagia
February (261)
n besar mereka menjadi orang Kristen karena pernikahan, dan biasanya orang yang b
► 2013 (11)
erpindah agama demikian terpaksa harus keluar dari komunitas Deli.
► 2012 (1)
Warga suku Deli terkenal sebagai nelayan yang bekerja sebagai penangkap ikan di Selat Malaka, yang terletak di antara pulau Sumatra dan semenanjung Malay sia. Karena banyak terjadi penangkapan ikan secara besar-besaran (dengan pukat har
Followers
Join this site with Google Friend Connect
Members (1)
► 2009 (1) ► 2007 (1) Already a member? Sign in
imau) oleh pihak tertentu, kegiatan keluarga-keluarga nelayan ini makin hari makin berkurang. Akibatnya, banyak warga suku Deli jatuh miskin. Umumnya mereka me mpunyai keluarga besar, anaknya bisa enam atau tujuh orang. Biasanya seluruh kelu arga tidur bersama di sebuah kamar dalam rumah yang terbuat dari kayu di pinggir p antai. Kebanyakan rumah mereka tidak dialiri listrik, dan sedikit yang mempunyai su mber air minum yang bersih. Air sungai dan pantai dipakai untuk minum, mandi dan mencuci pakaian. Warga Deli umumnya tidaklah rajin, dan kebanyakan anak merek a berhenti bersekolah pada usia 10-12 tahun. Nilai-nilai budaya orang Deli berasal d http://ci ntaduha.bl ogspot.com .tr /2014/03/fi l osofi - hi dup- etni s- m el ayu.htm l
1/6
3/3/2016
kajian islam: Filosofi Hidup Etnis Melayu
ari keyakinan agama Islam yang mereka anut, dan terutama mengutamakan hidup da mai dan rukun dengan tetangga. Menyonsong industrilisasi abad ke 21 orang melayu generasi baru harus m erubah beberapa nilai filosofi hidupnya yang tidak sesuai dengan perkembangan zam an tanpa mesti merubah filosofi hidup orang melayu sebenarnya banyak unsur positi f dan progressif tetapi karea kurangnya motivasi tidak dapat ditingkatkan, misalnya k ita melihat kehidupan orang melayu sebagian besar adalah nelayan[1] dan petani ada lah orang melayu dan mereka membanting tulang dari subuh hingga sore hari, tetapi hasil yang diperolehnya sangat minim karena produktivitas ini disebabkan kekurang an bimbingan dan penggunaan alat modern.[2] Di zaman dahulu orang melayu adalah bangsa penakluk dan orang yang berhasil memerintah suku‐suku lainya di Nusantara, orang yang lihai sebagai pedagang perantara sekaligs membawa Islam dan budaya melayu kesegenap pelosok Nusantara dan Asia Tenggara, tetapi itu semua sudah punah oleh penjajahan Belanda, dan orang melayu pada waktu itu lebih senang disebut orang Kampung. Dengan kehidupan yang sanatai, sederhana dan hidup bersahaja Seseorang disebut melayu apabila beragama Islam berbahasa Melayu sehari‐hari dan beradat istiadat melayu, adapun adat melayu itu “ Adat bersendi hukum syara’, syara’ bersendi kitabullah. Jadi orang melayu itu adalah etnis secara cultural dan bukan mesti secara fenomenologis persamaan darah keturunan. Di dalam hukum kekeluargaan orang melayu menganut system parental ( kedudukan pihak ibu dan bapak sama).[3] Pada awalnya filosofi kehidupan orang melayu pesisisr Sumatera Timur di tanah Deli ini adalah turunan campuran antara orang melayu yang ada di Medan dengan suku bangsa melayu yang datang dati Johor, Melaka, Riau dan suku bangsa Aceh, Karo, Mandailing, Jawa Bugis, Minang dan lain‐lainnya seperti Arab, India, y ang merasa mengamalkan adat resam melayu serta beragama Islam. Ia memakai bahasa melayu sebagai pengantar antara pergaulan sesamanya dan dengan orang daerah lain..[4] Karena dahulu agama Islam dikembangkan dengan memakai bahasa Melayu dan dakwah Islam dilaksanakan oleh orang Melayu, maka istilah masuk Islam diartikan juga masuk melayu. Oleh sebab itu tiada hampir kedengaran seorang melayu pesisir masuk Kristen ataupun agama Budha, murtad dari agama Islam. Ia percaya akan takdir yang ditetapkan oleh Allah swt, tetapi dia juga percaya bahwa manusia harus berusaha untuk mencapai sesuatu, hanya manusia saja sebagai makhluk yang dianugerahi Allah akal. Sebab dia berakal, maka dia berkebudayaan dan itulah yang membedakannya dari hewan dan makluk lainnya.pada umumnya jika takdir telah berlaku ia terima dengan syukur, tawakkal, sebab itu kadang‐kadang pihak luar menganggap melayu itu pasif. Pada hal orang melayu itu aktif dalam berusaha, hanya pasif dalam menerima kejadian takdir setelah ikhtiar dilaksanakannya. Untuk menjadi kaya, manusia harus berusaha, tapi bagaimanaupun hebatnya berusaha, belum pasti ia jadi kaya. Karena ketentuan itu datang dari Allah dan harus diterima dengan syukur, maka ada istilah melayu yang popular “ dalam setiap kejadian, ia tetap beruntung”. Artinya tiap‐tiap kejadian itu adalah cobaan batin dan rahmat dari Allah swt. Jika sekiranya ia tergelincir dan terkilir, keluar ucapannya “syukur hanya terkilir, untung tak patah” jika kakinya patah maka ia berkata untung tak mati”, jika naik kereta jatuh untung tidak rusak, jika dia tersenggol mobil untung tidak mati.. Hal di atas mengambarkan filosofis hidup orang melayu yang perbuatan dan kelakuannya biasanya adalah pertengahan dan tidak ingin menonjolkan diri, walaupun ada kesanggupan dan keahliannya. Ia tertib sopan dalam bahasa dalam makan minum, dalam perjalanan dalam kehidupan sehari‐hari. Orang melayu wajib melayukan dirinya menurut hal‐hal di atas, tetapi karena tuntutan adab dan budi yang merendahkan diri sendiri dengan sengaja, biaralah orang lain yang, meninggikannya jika tidak demikian maka akan dikatakan tidak beradat dan tak tahu berbahasa, dan inilah salah satu pangkal; filosofis dari orang melayyu yang terus diamalkan sampai sekarang, ia tidak ingin bekerja berlebih‐ lebihan, hanya guna mencari kekayaan yang bertumpuk‐tumpuk, ia mengetahui semua harta itu pada satu maka ditinggalkan juga, ia lebih mementingkan kekayaan batin dari pada kekayaan lahiriyah, sebab itulah orang melayu jarang menderita penyakit darah tinggi, penyakit maag shok dan lain‐lain[5] Filosofis hidup melayu dapat dikelompokkan dalam 5 hal yaitu: 1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokrtis bermusyawarah 2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam berbahasa, satra tari, pakaian, tersusun dalam tingkah laku dan lain‐lain 3. Melayu itu beradat, yang sifatnya rasional (kedaerahan) dalam bhinika tunggal ika, dengan tepung tawar balai pulut kuning dan lain‐lain 4. Melayu itu bertari, yaitu tersusun dalam masyarakat yang rukun tertib mengutamakan ketenteraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan menghargai satu sama lain 5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang diarahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu kebatinan agar bermarwah dan disegani orang http://cintaduha.blogspot.com.tr/2014/03/filosofi-hidup-etnis-melayu.html
2/6
3/3/2016
kajian islam: Filosofi Hidup Etnis Melayu Kalau salah satu dari lima unsur di atas tidak dipunyai lagi, maka dia menjadi layu bukan lagi seorang melayu asli. Dan c iri‐ciri orang melayu dibagi dalam dua hal a. sifat dan golongan 1. Optimisme dalam hidup dan kehidupan serta toleran 2. mengambil positif dari budaya orang lain 3. lebih dipentingkan pikiran dari pada ras hati 4. berpegang pada agama serta adat 5. mengiatkan perkembangan dakwah Islam 6. sopan santun, peramah dan pengasih 7. demokrasi 8. bertangung jawab kepada Allah 9. suka kepada keindahan 10. lebih mengutamakan diplomasi dari pada kekerasan 11. berpantun dalam setiap saat b. sifat umum pribadi orang melayu Ciri‐ciri sifat pribadi perorangan melayu adalah selain yang diuraikan di atas, umutnya juga seperti disebutkan dibawah ini: 1. ia tak suka berkata tepat lebih digemarinya secara lingkar 2. ia toleran, sedia mengalah tapi bukan kalah 3. jiwanya merdeka 4. ia mementingkan rasa dari pada pikiran 5. ia tidak mau diperintah secara paksa 6. ia linc ah tentang tidak gugup 7. ia pendendam jika dianiaya 8. ia suka menokoh bukan tipu 9. ia tak suka ambil muka 10. menunjukkan keberaniannya 11. ia suka mencontoh sesuatu 12. ia percaya kepada ketentuan langkah 13. siasat mundur teratur 14. lahirnya tampak seolah‐olah di tindas 15. perjuangan dilakukan 16. bersifat cemburu[6] Filosofis hidup orang orang melayu dipengaruhi agama Islam, ia tahan menderita fisik maupun batin, sebagai nelayan ia tahan dipukuli badai, dihempas gelembang, dipanggang berhari‐hari lamanya, ia tahan menyelam alama‐lama tanpa alat modern, ia tahan berhari‐hari memasuki hutan tua untuk mengambil rotan jelutung, damar dan lain‐ lain dari hasil hutan, serta memikulnya pulang kekampung, ia tahan memanjat pohon tualang yang besar dan tinggi untuk mengambil madu, hanya dengan memakai bambu tempat pijak, ia tahan menderita batin yang berkepanjangan tanpa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Tangkal penawar dari itu semuanya adalah nasib buruk dan baik datanngya dari Allah yang menentukan rezeki dan peruntungan, ia tahu nasib manusia seperti roda pedati, sesekali ke atas sekali kebawah, dulu berumah tinggi sekarang berumah rendah dulu berkopiah sekarang berlobe, tapi rasa melayunya tetap ada, tiada rela dikatakan bukan suku dan beradat melayu. Pantun sebagai bahasa cermin melayu deli dalam setiap hajatan akbar selalu ada pantun, Setiap bangsa pada umumnya memiliki bentuk pengucapan puitik yang disukai untuk menyampaikan alam pikiran, dunia perasaan, dan tanggapan mereka terhadap kehidupan yang mereka hayati. Orang Jepang memiliki tanka dan haiku, dua ragam pengucapan puitik yang ringkas dengan aturan tertentu. Di Eropa soneta dan kuatrin merupakan bentuk puisi lama yang disukai orang Italia, Perancis, Inggeris, dan lain‐lain. Orang Persia menyukai rubaiyat dan ghazal, dua bentuk puisi empat baris dengan aturan dan keperluan berbeda. Orang Melayu memilih pantun dan syair, sekalipun bentuk pengucapan lain seperti gurindam dan taromba (bahasa berirama) juga cukup disukai. Yang terakhir ini mirip dengan mantera.[7] Sebagai karangan terikat pada aturan persajakan tertentu, pantun memiliki kekhasan. Ia terdiri dari sampiran dan isi. Sampiran berperan sebagai pembayang bagi maksud yang ingin disampaikan, sedangkan isi berperan sebagai makna atau gagasan yang ingin dinyatakan. Walaupun pada umumnya pantun terdiri dari empat baris dengan pola sajak akhir a b a b atau a a a a, tidak jarang terdiri dari enam atau delapan baris. Pantun delapan baris disebut talibun. Pada pantun empat baris, dua baris awal merupakan sampiran, sedang dua baris akhir merupakan isi. Dalam sampiran biasanya yang dinyatakan ialah gambaran alam atau lingkungan kehidupan masyarakat Melayu termasuk adat istiadat, sistem kepercayaan dan pandangan hidupnya. [8] Berbeda dengan syair yang lahir dari tradisi tulis yang muncul bersamaan dengan perkembangan agama Islam, dan ada pertautannya dengan bentuk pengucapan puitik dalam sastra Arab dan Persia; pantun lahir dari tradisi lisan dan tampaknya hanya sedikit dipengaruhi oleh puitika India, Arab, dan Persia. Sebagai bentuk sajak yang mudah diingat dan mudah pula dinyanyikan, hubungan antara sampiran dan isi dalam pantun sejak lama
http://cintaduha.blogspot.com.tr/2014/03/filosofi-hidup-etnis-melayu.html
3/6
3/3/2016
kajian islam: Filosofi Hidup Etnis Melayu dipersoalkan oleh banyak sarjana. Ada yang berpendapat bahwa hubungannya tidak terbatas pada persamaan atau kesejajaran bunyi, tetapi juga hubungan makna. Namun tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa hubungannya sebatas persamaan bunyi. Seperti halnya syair dan gurindam, wilayah penyebaran pantun begitu luasnya di kepulauan Nusantara. Ia tidak hanya digenal dan digemari oleh orang Melayu, tetapi juga oleh suku bangsa lain di Nusantara seperti Aceh, Gayo, Batak, Mandailing, Minangkabau, Lampung, Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Sasak, Bima, Banjar, Gorontalo, dan suku bangsa lain di Nusatenggara Timur, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Terkadang timbul pertanyaan: kapankah penyebarannya itu terjadi? Apakah pada zaman sebelum Islam, yaitu dalam abad ke‐8 – 11 M ketika bahasa Melayu dijadikan lingua franca di bidang perdagangan. Ataukah pada zaman pesatnya perkembangan agama Islam ketika bahasa Melayu naik peranannya bukan sekadar sebagai bahasa pergaulan dalam perdagangan, tetapi juga bahasa pergaulan antar etnik di Nusantara dalam bidang politik, administrasi, intelektual, dan kebudayaan? Bagaimana pula penyebaran itu berlangsung. Tetapi bagaimana pun dan kapan pun mulai tersebar, pantun memang memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan luasnya penyebarannya. Ia merupakan bentuk pengucapan puitik yang bersahaja, namun penuh dengan kemungkinan. Tentu saja selain persoalan‐persoalan berkenaan dengan keunikan dan struktur lahirnya, dalam makalah ini akan dibahas juga kedudukan pantun dalam kebudayaan Melayu serta perannya sebagai media yang mencerminkan kehidupan masyarakat Melayu. Sebagai Pengucapan Puitik Tidak banyak diketahui kapan pantun muncul dan dari akar kata apa ia dibentuk. Juga tidak banyak diketahui apa arti dari kata‐kata pantun sebenarnya. Teks Melayu tertua yang dijumpai dan mulai menyebut pantun sebagai bentuk sajak yang popular dalam masyarakat Melayu ialah teks syair‐syair tasawuf Abdul Jamal, penyair dan sufi Melayu yang hidup di Barus dan Aceh pada abad ke‐17 M dan merupakan murid dari Syekh Syamsudin Pasai. Syair Abdul Jamal itu sebutan pantun dikaitkan dengan kata‐kata seperti bandun, bantun, dan lantun. Secara tersirat dalam syair itu pantun disebut sebagai puisi yang biasa dilantunkan secara spontan untuk menyindir, berseloroh, dan menghibur diri. [9] Dalam beberapa bahasa Nusantara seperti Sasak di Lombok dan Madura di Jawa Timur, kata‐kata pantun diberi ari nyanyian. Orang yang menyanyi di Madura dikatakan apantun (berpantun), dan yang dinyanyikan ialah ialah sajak yang dalam bahasa Melayu disebut pantun. Masuknya perkataan ini dan kebiasaan menyanyikan pantun mungkin telah dikenal pada abad ke‐17 M, atau setidak‐tidaknya pada abad ke‐18 M. Yaitu pada masa tumbuhnya lembaga‐lembaga pendidikan Islam, sedangkan bahasa Melayu dijadikan bahasa pengantar sebelum murid menguasai bahasa Arab. Pada abad ke‐18 pula mulai banyak kitab dan hikayat Melayu diterjemahkan dan disadur ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Madura, dan Sasak. Dalam kenyataan memang tidak sedikit dari lirik lagu‐lagu Jawa, Minangkabau, Sunda, Melayu Betawi, dan lain‐lain adalah pantun. Pengertian pantun sebagai lirik yang dinyanyikan atau nyanyian itu sendiri telah disebutkan oleh seorang sarjana Belanda abad ke‐19 M J. J. de Hollander dalam bukunya Handleideing bij de beoefening der Maleische taal en letterkunde (1893). Hollander mengatakan bahwa yang disebut pantun sebagian besarnya adalah sajak percintaan yang dinyanyikan atau dibaca dengan dinyanyikan secara spontan dan bergiliran dalam pesta. Dia merujuk pada dua hikayat Melayu Hikayat Bikrama Datya Jaya dan Hikayat Bujangga Mahaputra. Dalam hikayat yang pertama ditemukan berulang kali kata‐kata seperti: “Segala dayang‐dayang pun bersyair dan berpantun dan berseloka”. Hollander berpendapat bahwa syair berasal dari sastra Arab, seloka dari sastra India (Sanskerta), sedang pantun adalah nyanyian Melayu asli. [10]Dominannya tema percintaan itu masih ditemui hingga sekarang. Pantun Melayu yang sangat popular misalnya seperti berikut ini: Dari mana datangnya linta Dari sawah turun ke kali Dari mana datangnya cinta Dari mata turun ke hati Pantun yang terdapat dalam lagu Betawi “Jali‐jali” juga demikian: Paling enak si mangga urang Pohonnya tinggi buahnya jarang Paling enak si orang bujang Kemana‐mana tiada melarang Di sana gunung di sini gunung Di tengah‐tengahnya bunga melati Ke sana bingung ke sini bingung Dua‐duanya menarik hati[11] Di dalam masyarakat Melayu Banjar tema cinta juga dominant dalam pantun. Contohnya seperti berikut: Apa guna main pelitak Kalau kadak bersumbu kain Apa guna bermain cintak Kalau tidak berani kawin (Apa guna bermain pelita Kalau tidak dengan sumbunya Apa guna bermain cinta Kalau tidak berani kawin) Dalam masyarakat suku bangsa Nusantara lain pun demikian. Contohnya adalah pantun
http://cintaduha.blogspot.com.tr/2014/03/filosofi-hidup-etnis-melayu.html
4/6
3/3/2016
kajian islam: Filosofi Hidup Etnis Melayu Madura tentang seseorang yang ditinggalkan kekasihnya: Ka bara` bara` kellem arena Katemor kolare nyangsang Kaberra`‐berra` le` atena Nyalemor ate se posang Ke arah barat tenggelam matahari Di timur daun nyiur kering bergelantungan Sungguh berat rasa dalam hati Merayau‐rayau aku kebingungan Adapun pantun Jawa berikut ini ialah tentang pertemuan seorang pemuda dengan seorang gadis setelah lama tidak berjumpa: Suwe ora jamu Jamu godhong mentimun Suwe ora ketemu Ketemu pisan gawe ngelamun (Lama tak minum jamu Minum jamu daun mentimun Lama tidak k etemu Ketemu sekali saya melamun) Di sini saya petikkan pula dua pantun dalam Hikayat Sulung Merah Muda, yang di dalamnya juga terdapat pantun terkenal “Pulau Pandan jauh di tengah”. Yang pertama: Selat Dinding tanjung terkucil Di sini ci k Ayub berkedai belanga Putih kuning pinggangnya keci l Pipi dicium berbau bunga Adapun yang kedua tidak begitu ketara sebagai pantun percintaan, yaitu seperti berikut ini: Terang bulan di laman tangga Sarang penyengat di dalam padi Adakah orang semacam saya Menaruh khianat dalam hati? Tetapi yang lebih seronok adalah pantun seperti yang berikut ini: Ke Teluk sudah ke Siam sudah Ke Mekkah saja saya yang belum Berpeluk sudah bercium sudah Menikah saja saya yang belum[12] Roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli yang ditulis pada awal abad ke‐20 juga penuh dengan kutipan pantun percintaan.Jika betul tema yang dominan pada mulanya adalah sindiran dan percintaan, sejak kapan tema pantun mengalami perluasan? Hollander mencatat bahwa kemungkinan besar setelah pesatnya perkembangan agama Islam. Para ulama dan ahli tasawuf menghendaki sastra tidak hanya mengungkapkan tema‐tema percintaan dan pelipur lara, tetapi juga tema‐tema sosial dan keagamaan sehingga selain memiliki unsur hiburan sastra juga mengandung unsur pendidikan. Risalah tasawuf Hamzah Fansuri Asrar al‐`Arifin, sebagaimana akan dikupas nanti, merupakan salah satu bukti tertulis. Dalam teks yang disalin pada abad ke‐17 M dimuat sebuah pantun yang memuat ajaran tasawuf. Oleh karena itu beralasan jika muncul anggapan bahwa pantun menjadi bentuk pengucapan puitik yang isi dan temanya kompleks setelah pesatnya perkembangan agama Islam pada abad ke‐15 dan 16 M. Hamzah Fansuri sendiri hidup pada abad ke‐16 dan murid‐ muridnya seperti Abdul Jamal mengecam pantun hanya mengemukakan tema‐tema berisi percintaan. Begitu pula pembedaan antara sampiran dan isi lantas kian dipertegas, sebab itu sesuai dengan puitika dan estetika yang diperkenalkan orang‐orang Islam. Dalam tradisi Islam karangan sastra digambarkan seperti manusia yang terdiri dari dua unsur yang saling berhubungan yaitu badan dan jiwa/roh. Bentuk lahir atau badan dari karangan sastra disebut surah dan makna batin atau isinya disebut ma`na. Kaitan perkembangan tema pantun dengan Islam dapat dilihat dari jenis‐jenis pantun. Dari segi isi pantun dapat dibagi menjadi: (1) Pantun anak‐anak; (2) Pantun cinta dan kasih sayang; (3) Pantun tentang adat istiadat dan cara hidup masyarakat Melayu; (4) Pantun teka teki; (5) Pantun pujian atau sambutan, misalnya dalam menyambut tamu di sebuah majlis; (6) Pantun nasehat misalnya pentingnya budi pekerti; (7) Pantun agama dan adab; (8) Pantun cerita (lihat juga Harun Mat Piah 1989:189‐90). Dilihat dari isinya ini jelas pantun mencerminkan kehidupan masyarakat Melayu yang beragama Islam Sunnim yang dalam fiqih bermadzab Syafii, dalam teologi bermadzab Asy`ariyah, dan dalam tasawuf pada umumnya mengikuti ajaran Imam al‐Ghazali.
[1]Wawancara dengan dekan sastra USU bapak Syaifuddin di ruang kerjanya, dan ini
mungkin dipengaruhii bahwasanya orang melayu pada waktu itu lebih suka tinggal di sungai dengan tujuan mudah untuk mencari sumber rezekinya terutama adalah ikan, dan pada zaman Belanda orang melayu lebih memilih tinggal dipingiran sungai dari pada di daratan, dan pada akhirnya yang maju daerah adalah didaratan dan dipinggir sungai ketertinggalan, dan pada akhirnya orang melayu banyak tertinggal dibandingkan dengan suku lain yang ada di Suamtera Utara pada waktu itu [2]Tengku Lukman Sinar Basyarsyah II, Adat budaya Melayu Jati Diri dan Kepribadian, Cet I, Sumut: Forkala, 2005, hlm.41. Dan filosofi kehidupan orang Melayu dari dulu hingga sekarang, misalnya “biar rumah condong (runtuh) asal gulai lemak” ini dari dulu hingga sekarang masih saja orang melayu mengamalkannya dalam kehidupan http://cintaduha.blogspot.com.tr/2014/03/filosofi-hidup-etnis-melayu.html
5/6
3/3/2016
kajian islam: Filosofi Hidup Etnis Melayu sehari‐hari [3]Ibid., hlm. 29 [4]Tengku H.M. lah Husny, Lintasan Sejarah Peradaban dan Budaya Melayu Penduduk Pesisir Deli Sumatera Timur 1612‐1950, Medan‐ BP Husny 1973, hlm/ 100. [5]Ibid., 101. [6]Ibid., hlm. 103‐5. [9]Ibid., [10]Ibid., [11]Ibid., [12]Ibid., Diposkan oleh Duhariadin Simbolon Recommend this on Google
Label: Filosofi Hidup Etnis Melayu
No comments: Post a Comment kami berharap masukan, guna perkembangan.
Enter your comment...
Comment as:
Publish
Newer Post
ediyansyah be
Sign out
Notify me
Preview
Home
Older Post
Simple template. Powered by Blogger.
http://cintaduha.blogspot.com.tr/2014/03/filosofi-hidup-etnis-melayu.html
6/6