KEBIJAKAN BELANDA DAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA
TUGAS MATAKULIAH KEBIJAKAN PENDIDIKAN
OLEH : ANIQ DARAJAT
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS PASCASARCANA UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 1436 H / 2014 M
KEBIJAKAN BELANDA DAN JEPANG TERHADAP PENDIDIKAN AGAMA DI INDONESIA I. PENDAHULUAN
Perkembangan pendidikan di suatu negara sangat erat kaitannya dengan kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh penguasa negara tersebut. Karena kebijakan
pendidikan
yang
diambil
oelh
pemerintah
atau
penguasa
akan
mempengaruhi kebijakan pendidikan di lingkup pejabat daerah, dan pada akhirnya akan mempengaruhi pula praktek pendidikan di lingkup institusi atau lembaga pendidikan. Sejarah pun membuktikan bahwa maju-mundurnya pendidikan di suatu negara
sangat
dipengaruhi
oleh
kebijakan
pendidikan
yang
diambil
oleh
pemerintahnya. Negara Finlandia sering menjadi contoh aktual dalam hal ini. Dimana kebijakan pendidikan yang diterapkan oleh pemerintah menjadi sebab utama Finlandia menjadi negara yang unggul dalam pendidikan. Pendidikan agama tentu tak lepas dari pengaruh ini. Kebijakan tentang pendidikan agama akan mempengaruhi perkembangan pendidikan agama. Meski terkadang pengaruh itu tidak bersifat linier. Ketika pemerintah mengambil kebijakan untuk mendukung penuh dan memberi ruang bagi pendidikan agama (Islam), maka tentu saja perkembangan pendidikan agama akan meningkat.
Namun, meski
demikian, ketika pemerintah melakukan pembatasan terhadap pendidikan agama, patut dicermati bagaimana respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Bisa jadi perkembangan pendidikan agama akan surut, atau bisa jadi, justru membangkitkan motivasi untuk semakin mengembangkan diri. Hal inilah yang menarik untuk dikaji, yaitu perkembangan pendidikan agama dalam kontek kebijakan pemerintah, khususnya dalam lintasan sejarah pendidikan agama di Indonesia. Dalam makalah ini, dibahas tentang kebijakan pendidikan agama yang diterapkan pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah : Pertama, mengetahui kebijakan pendidikan agama pada masa penjajahan Belanda. Kedua, mengetahui kebijakan pendidikan agama pada yang diterapkan pada masa penjajahan Jepang. Ketiga, mengetahui pengaruh kebijakan penjajah Belanda dan Jepang terhadap perkembangan pendidikan agama di Indonesia.
Pembahasan mengacu pada buku: Pendidikan Islam dalam Perspektif Kebijakan Pendidikan Nasional yang ditulis oleh Dr. H. A. Rahmat Rosyadi, yang dianalisis dan dikembangkan dengan referensi-referensi lain yang mendukung.
II . INTISARI BUKU A. Kebijakan Belanda terhadap Pendidikan Agama
Sebelum Belanda datang, wilayah nusantara dikuasai oleh kerajaan-kerajaan Hindu, Budha dan Islam. Dalam masa pemerintahan kerajaan tersebut, pendidikan agama telah terselenggara baik secara informal di keluarga, non formal di masyarakat, maupun pendidikan yang diselenggarakan secara khusus oleh kerajaan. Di masa penjajahan, pendidikan agama Islam juga telah dilaksanakan secara informal oleh keluarga di rumah, secara non formal di surau, langgar, masjid, madrasah diniyah dan pondok pesantren. Pendidikan agama dengan model seperti ini sangat bergantung dari sosok da’i atau kyai yang mendirikan lembaga tersebut. Adapun perkembangan lembaga pendidikan islam di masa penjajahan, terutama pada awal masa penjajahan, agak sulit untuk dilacak, karena tidak tersedia data resmi yang mencatatnya, dan tidak ada lembaga khusus yang mencatat jumlah lembaga yang ada. Hal ini didasari oleh sikap pemerintah Belanda yang menganut prinsip ‘onthoudngspolitik ’, politik tidak mencanpuri urusan agama. Kebijakan yang cukup berpengaruh terhadap pendidikan agama adalah ketika Belanda mendirikan sekolah umum sejak tahun 1900, yang menyebabkan jumlah pesantren menjadi menurun. Belakangan, politik tidak mencampuri urusan agama mulai berubah, Belanda membentuk Dewan Ulama atau Priesteraad yang khusus menangani masalah agama. Belanda juga memberlakukan Goeroe orndonantie (Peraturan Guru) yang dikeluarkan dua kali. Pada peraturan pertama, pemberian pelajaran agama hanya boleh dilakukan setelah mendapatkan izin dari pemerintah Belanda. Pada peraturan kedua, pemberian izin dipermudah yaitu cukup kepada pamong praja Kesimpulannya,
kebijakan
pendidikan
agama
penjajah
memberlakukan kontrol pengawasan dan pengaturan menghambat kemajuan pendidikan agama.
Belanda
adalah
yang sangat ketat yang
B. Kebijakan Jepang terhadap Pendidikan Agama
Kebijakan pendidikan pada zaman Jepang yang menonjol adalah bahwa Jepang hanya mengakui sekolah pemerintah, sedangkan sekolah swasta dan lembaga pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren tidak diakui sebagai lembaga pendidikan. Jepang juga menghapus semua lembaga pendidikan yang bercorak Belanda
dan
menggantinya
dengan
corak
Jepang
untuk
mendukung
kekuasaannya. Namun, masa penjajahan Jepang yang relatif singkat juga tidak cukup signifikan untuk menilai sejauh mana pengaruh kebijakan pendidikan Jepang terhadap pendidikan agama di Indonesia.
III. PENELUSURAN DAN PEMBAHASAN A. Kebijakan Belanda terhadap Pendidikan Agama
Dari penelusuran penulis terhadap buku, makalah, dan penelitian dalam tema yang sama, penulis mendapatkan beberapa pembahasan yang relevan dan dapat memperkaya pengetahuan tentang kebijakan pendidikan agama penjajah Belanda. Secara garius besar, kebijakan Belanda terhadap pendidikan agama adalah kontrol dan pengawasan yang ketat, namun perlu dicermati adanay pergeseran dan perubahan kebijakan yang sempat terjadi setidaknya dalam tiga tahapan: 1. Pada awal masa penjajahan, Belanda menerapkan prinsip politik tidak mencampuri urusan agama atau ‘onthoudngspolitik ’. Belnada cenderung ‘cuek’ atau mengabaikan dan membiarkan pendidikan agama. 2. Ketika Belanda mulai melihat adanya ‘ancaman’ yang muncul dari pejuang pejuang yang lahir dari lembaga pendidikan agama, maka Belanda mulai memberlakukan kontrol yang ketat dengan membentuk dewan ulama ( Priesteraad) yang kemudian merekomendasikan keluarnya peraturan Goeroe Orndonantie. Peraturan yang mewajibkan guru agama untuk mememgang izin dari pemerintah Belanda. 3. Politik etis dan politik asosiasi. Politik etis yang didorong dari dalam negeri Belanda kemudian memaksa Belanda untuk lebih ‘longgar’ dalam menetapkan aturan pendidikan, dan lebih banyak mendirikan sekolah bagi pribumi. Namun, politik etis ini pun dibarengi dengan politik asosiasi, atas saran dari orientalis Snouck Hurgronje. Politik asosiasi bertujuan mempererat ikatan negara jajahan dengan negara penjajah melalui kebudayaan. Hurgronje meyakini bahwa Pendidikan Barat yang diberikan oleh pemerintah Belanda
akan
mengalahkan
pendidikan
Islam.
Dengan
dalih
‘meningkatkan
kemakmuran penduduk pribumi dengan meningkatk an pendidikan’, Belanda mendirikan sekolah-sekolah umum dengan pola pendidikan Barat yang kental dengan misi sekularuisasi dan kristenisasi1
Patut dicatat pula, perkembangan pendidikan Islam di masa penjajahan Belanda, yang meski mendapat banyak tekanan dan hambatan, namun beberapa lembaga tetap eksis dan menunjukkan perlawanan yang gigih terhadap penjajahan maupun sekularisasi dan kristenisasi, seperti yang ditunjukkan oleh Madrasah Diniyah Padangpanjang ketika menolak campur tangan Belanda dalam pengaturan kurikulumnya2
B. Kebijakan Jepang terhadap Pendidikan Agama
Sebagaimana disebutkan di bab sebelumnya, kebijakan pendidikan pada zaman Jepang
yang menonjol adalah bahwa Jepang hanya mengakui sekolah
pemerintah, sedangkan sekolah swasta dan lembaga pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren tidak diakui sebagai lembaga pendidikan. Beberapa tulisan yang mengungkap sejarah pendidikan Islam di masa Jepang juga mengungkapkan adanya beberapa dampak positif kebijakan Jepang. Bermula dari upaya Jepang mengambil hati penduduk pribumi untuk bergabung membantu Jepang melawan sekutu, jepang mempropagandakan Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa Asia”. Jepang memberi peluang bagi tokoh Islam untuk memimpin lembaga bentukan Jepang, memberikan pelatihan beladiri dan kemiliteran, serta memberikan bantuan dan kunjungan ke beberapa madrasah dan sekolah. Namun, tetap saja kebijakan itu bersifat temporal dan dilandasi motif politik tertentu. Ummat Islam dalam hal ini tetap menjadi objek kebijakan penjajah Jepang yang tidak selalu menguntungkan.
1
Maftuh, Kebijakan Politik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam (1900-1942). Tesis pada Program Studi Pendidikan I slam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Y ogyakarta. 2
Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES, Jakarta. 1994.
IV. SIMPULAN DAN REKOMENDASI
Dari kajian dan pembahasan tentang kebijakan pendidikan Belanda dan Jepang, dapat diambil simpulan antara lain: 1. Kebijakan penjajah Belanda dan Jepang selalu bersifat kontrol yang ketat dan berbasis kepentingan penjajah. Faktor agama dinilai menjadi ancaman bagi eksistensi Penjajah Belanda dan Jepang dan oleh karena itu harus diawasi dengan ketat. 2. Pendidikan menjadi unsur penting dalam kebijakan politik penjajah, khususnya terkait engan pendidikan agama. 3. Lembaga pendidikan agama perlu mengembangkan prinsip, sikap dan kemandirian agar ketika terjadi perubahan kebijakan pemerintah, meski bersifat represif dan sentralistik, lembaga pendidikan Islam dapat tetap eksis dan survive.
DAFTAR PUSTAKA
Rosyadi, Dr. H. A. Rahmat. Pendidikan Islam dalam Perspektif Kebijakan Pendidikan Nasional . PT Penerbit IPB Press. Bogor. 2014. Yunus, Mahmud, Prof. Dr. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Penerbit PT Mahmud Yunus Wadzurriyyah, Jakarta. 2008. Noer, Deliar. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. LP3ES, Jakarta. 1994. Maftuh, Kebijakan Politik Pendidikan Hindia Belanda dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam (1900-1942). Tesis pada Program Studi Pendidikan Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.