FENOMENA PAUTAN KELAMIN PADA PERSILANGAN Drosophila
melanogaster STRAIN melanogaster STRAIN ♀N ><♂e DAN ♀N >< ♂w BESERTA RESIPROKNYA LAPORAN PROYEK
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH GENETIKA I Yang dibimbing oleh Dr. Hj. Siti Zubaidah, M.pd dan Andik Wijayanto, W ijayanto, S.Si, M.Si
Oleh: Kelompok 2/Offering C 1.
Erlinda Erin Palupi
(130341614820) (130341614820)
2.
Tia Kusniawati
(150341604924) (150341604924)
3.
Tristanti Rakhmaningrum
(150341603788) (150341603788)
The Learning University
UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI April, 2017
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
salah satu konsepsi dalam genetika Mendel yaitu hukum pemisahan (Corebima, 2013). Berkenaan dengan hukum pemisahan Mendel, Ayala dkk., (1984) menyebutkan kesimpulan Mendel yaitu “bahwa kedua faktor (gen) untuk tiap sifat tidak bergabung dengan cara apa pun, tetapi tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu, dan memisah di saat pembentukan gamet, sehingga separuh gamet mengandung satu gen sedangkan separuhnya lagi mengandung gen lainnya”. T. H. Morgan memliki suatu strain strain Drosophila melanogaster yang bermata putih, dan ternyata strain tersebut tergolong galur murni. Namun demikian, jika strain bermata putih disialangkan dengan strain bermata merah, ternyata turunan yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor mata pada Drosophila terpaut kelamin; dalam hal ini terpaut kelamin X (Corebima, 2013). Sifat-sifat pautan kelamin tidak hanya dijumpai pada Drosophila. Ayala
dkk., (1984) menyatakan bahwa “ pola pewarisan yang terpaut kelamin pada Drosophila juga ditemukan pada semua hewan dan tumbuhan yang individu jantannya berkelamin heterogametik”. Pola pewarisan sifat-sifat yang terpaut kelamin sebagaimana yang telah dikemukakan di lingkup Drosophila dan manusia akan menjadi terbalik ansaikata individu betina ( suatu jenis tertentu) bersifat hetergametik (Corebima, 2013).
Untuk mengetahui fenomena pautan kelamin kami menggunakan persilangan pada drosophila melanogaster dengan persilangan antara ♀N >< ♂w beserta resiproknya, serta se rta kaitannya dengan fenomena hukum pemisahan Mendel (hukum Mendel I) denga persilangan antara ♀N ><♂e beserta resiproknya .
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana fenotip F1 dan F2 yang muncul dari persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya? 2. Bagaimana rasio F1 dan F2 dari persilangan Drosophila melanogaster strain
♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya? 3. Bagaimana kaitan antara fenomena penyimpangan hukum Mendel (pautan kelamin) dengan fenomena hukum pemisahan Mendel?
1.3 Tujuan
2. Bagaimana fenotip F1 dan F2 yang muncul dari persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya? 3. Bagaimana rasio F1 dan F2 dari persilangan Drosophila melanogaster strain
♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya? 4. Bagaimana kaitan antara fenomena penyimpangan hukum Mendel (pautan kelamin) dengan fenomena hukum pemisahan Mendel?
1.4 Manfaat
1. Bagi Penulis a. Mengetahui fenotip beserta rasio F1 dan F2 yang muncul dari persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya. b. Menambah pemahaman mengenai hukum pemisahan Mendel dan penyimpangannya (pautan kelamin). 2. Bagi Pembaca a. Memberikan informasi mengenai fenomena yang terjadi pada persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N ><♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya. b. Memberikan pengetahuan tentang fenomena hukum pemisahan Mendel dan penyimpangannya serta keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari.
1.5 Batasan Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan batasan penelitian antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada persilangan Drosophila melanogaster ♀N
><♂w dan ♀N >< ♂e beserta resiproknya. 2. Pengamatan dalam penelitian dibatasi pada keturunan F1 dan F2 dari hasil persilangan Drosophila melanogaster dengan strain ♀N ><♂w dan ♀N >< ♂e beserta resiproknya, dengan mengamati ciri yang meliputi warna mata dan warna tubuh.
3. Pengambilan data dimulai dari hari menetasnya pupa (dihitung sebagai hari 0 sampai hari ketujuh).
1.6 Definisi Operasional
1. Hukum pemisahan Mendel adalah ketika selama pembentukan gamet, anggota-anggota suatu pasang gen akan memisah satu sama lainnya, sehingga separuh gamet mengandung satu gen sedangkat separuhnya lahi mengandung gen lainnya. 2. Penyimpangan hukum Mendel (pautan kelamin) merupakan pewarisan yang hubungannya dengan kromosom X (kelamin). 3. Fenotip adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu (yang merupakan hasil interaksi antara genotip dan lingkungan tempat hidup dan berkembang. 4. Genotip adalah keseluruhan jumlah informasi genetik yang terkandung pada suatu makhluk hidup ataupun konstitusi genetik dari suatu makhluk hidup dalam hubungannya dengan satu atau beberapa lokus gen yang sedang menjadi perhatian. 5. Persilangan resiprok adalah persilangan yang merupakan kebalikan dari persilangan yang semula dilakukan. 6. Homozigot adalah karakter dikontrol oleh dua gen identik. 7. Heterozigot adalah karakter yang dikontrol oleh dua gen yang tidak identik.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka 2.1.1
Sistematika
Penelitian kami menggunakan model Drosophila melanogaster. Berikut sistematika dari Drosophila yang digunakan menurut Borror (1992) adalah sebagai berikut: Kingdom
:Animalia
Phylum
:Arthropoda
Class
:Insecta
Order
:Diptera
Family
:Drosophilidae
Genus
:Drosophila
Species
: Drosophila melanogaster
D. melanogaster betina ukurannya sedikit lebih besar dari jantan (Patterson et al., 1943), lalat betina memiliki 5 garis hitam pada permukaan atas abdomen, sedangkan pada lalat jantan hanya 3 garis hitam. (Wiyono, 1986). Selain itu lalat jantan
memiliki pigmentasi hitam dalam jumlah besar yang
terkonsentrasi di bagian belakang perut bagian belakang (Patterson and Stone 1952) dan pada kaki depannya dilengkapi dengan sisir kelamin yang terdiri dari gigi hitam mengkilap (Shorrock, 1972). D. melanogaster normal (wild type) panjang tubuhny hanya sekitar 3 mm dan lebar 2 mm (Patterson et al ., 1943) serta warna tubuh cokelat keabu-abuan
dengan panjang sayap melebihi panjang tubuhnya (Campbell dkk., 2002). Selain itu memiliki bentuk tubuh kepala bulat dengan mata merah besar dan majemuk; tiga mata sederhana yang lebih kecil, dan antena pendek. Warna pigmen mata pada Drosophila melanogaster berasal dari pigmen pteridin dan ommochrome (Klug & Curmings. 1994). D. Melanogaster ebony (e) memiliki warna gelap , hampir hitam badannya karena danya suatu mutasi pada gen yang terletak pada kromosom ketiga. Secara normal fungsi gen tersebut berfungsi untuk membangun pigmen yang memberi warna pada lalat buah normal. Namun karena mengalami kerusakan maka pigmen hitam menumpuk di seluruh tubuh. (Borror et al, 1998). D. Melanogaster white (w), matanya berwarna putih yang terjadi akibat adanya kerusakan pada gen white yang terletak pada kromosom pertama lokus 1,5 dan benar-benar tidak menghasilkan pigmen merah sama sekali (Pai, 1992:51).
2.1.2
Hukum Mendel I
Hukum pemisahan Mendel (hukum mendel 1) dirumuskan oleh J. G. Mendel pada tahun 1865 dengan menggunakan uji coba pesilangan pada kacang ercis. Dari hasil percobaan dalam persilangan tanaman ercis, Mendel menemukan bahwa ada sifat yang menang terhadap sifat lain pada keturunan F1 dan sifat yang kalah akan muncul pada F2. Dari kenyataan adanya ciri yang menang terhadap ciri yang lainnya, J. G. Mendel menyimpulkan bahwa pada individu-individu heterozigot, satu alela bersifat dominan dan satu alela yang lain bersifat resesif. Darikenyataan bahwa ciri resesif bisa muncul pada keturunan F2 (hasil dari persilangan heterozigot). Dari hasil tersebut J. G. Mendel menyimpulkan bahwa kedua faktor itu tetap berdiri sendiri selama hidupnya dan memisah pada saat
pembentukangamet-gamet. Dalam hubungan ini separuh gamet membawahi satu faktor,sedangkan separuhnya yang lain membawa faktor yang lainnya.(Corebima, 2013) Hukum pemisahan Mendel mempunyai dua alela yang sama (homozigot), alel dominan diberi simbol huruf besar sedang alel resesifhuruf kecil. Genotip adalah komposisi faktor keturunan (tidak tampaksecara fisik). Fenotip adalah sifat yang tampak pada keturunan. Pada hibrida atau polihibrida berlaku prinsip berpasangan
secara
bebas.
Ratio
Fenotip
(F2)
pada persilangan
monohibrid adalah 3: 1 (Hukum Dominasi penuh).
2.1.3
Pautan Kelamin
Beberapa konsepsi J. G. Mendel terbukti benar, dan tetap diterima demikian hingga saat ini, tetapi ada pula konsepsi J.G. Mendel yang terbukti tidak benar, kurang tepat, ataupun perlu disempurnakan. Kesimpulan-kesimpulan utama J. G. Mendel atas dasar percobaan persilangan juga perlu disempurnakan, sekalipun ide dasarnya tetap berlaku. Upaya evaluasi yang dilakukan ini akan memungkinkan kita untuk memahami berbagai hal tentang genetika Mendel lebih proporsional (Corebima, 2013). Tanda-tanda adanya pautan sebenarnya sudah terlihat pada laporan persilangan dihibridisasi tanaman ercis ( Pisum sativum) yang dikemukakan oleh W. Bateson dan R.C Punnet pada tahun 1906 (Gardner dkk, 1991). Akan tetapi hasil percobaan persilangan itu gagal diintrepetasikan oleh mereka bahwa ada pautan. T. H Morgan dan Sutton adalah yang pertama kali mengintrepetasikan hasil percobaan persilangan itu dengan benar tentang adanya pautan.
Dewasa ini sudah jelas diketahui bahwa semua faktor (berapa pun jumlahnya) yang terdapat pada satu kromosom yang sama akan cenderung terpaut satu sama lain selama pembelahan reduksi pada meiosis dan faktor-faktor itu dikatakan membentuk satu pautan. Dengan demikian pautan ( linkage) sesungguhnya merupakan keadaan yang normal, faktor-faktor yang terdapat pada satu kromosom memang terangkai satu sama lain (melalui ikatan kimia). Dalam hubungan ini pula jelas terlihat bahwa jumah pautan pada makhluk hidup diploid adalah sebanyak jumlah pasangan kromosom. Temuan tentang adanya pautan ini pun pada dasarnya mempertegas lagi konsepsi kita bahwa faktor-faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, dan dalam rumusan lain temuan ini memperkokoh teori pewarisan kromosom. Fenomena pautan yang disadari oleh kenyataan bahwa faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, akan merupakan perangkat alat evaluasi kita terhadap hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas Mendel yang mula-mula (Corebima, 2013). Adanya pautan kelamin pertama kali ditemukan oleh T.H Morgan dan C.B Bridger pada tahun 1910. Temuan ini diperoleh saat mempelajari penyimpangan dari hasil (keadan) yang diharapkan. T. H Morgan memiliki suatu strain Drosophila melanogaster yang bermata putih dan ternyata strain tersebut sudah tergolong galur murni. Namun demikian jika strain bermata putih disilangkan dengan strain berwarna merah, ternyata turunan yang muncul tidak sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan kebakaan Mendel (Corebima, 2013). Pada penelitian ini sifat-sifat yang merupakan pautan kelamin adalah warana mata
(mata merah (strain normal) dan mata putih (strain white)) sedangkan warna tubuh (normal dan black ) bukan merupakan pautan kelamin.
2.2 Kerangka Konseptual
Persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂w diperoleh F1 mata merah seluruhnya.
Faktor mata merah dominan terhadap mata putih
Faktor warna mata merah terdapat pada kromosom kelamin X, sedangkan kromosom kelamin Y tidak mengandung warna mata merah.
Pewarisan kromosom X ini dapat dihubungkan dengan pewarisan sifat pada pautan seks
Kromosom kelamin X mengalami pewarisan menyilang (crisscross inheritance)
Terjadi fenomena pautan kelamin
Persilangan individu dengan satu sifat beda menghasilkan F1 dengan sifat yang dengan sifat dominan yang tampak dan sifat resesif yang tidak tampak
Persilangan D. melanogaster anakan F1♂ >< F1♀ dari persilangan ♀N >< ♂e akan menghasilkan anakan F2 yang dapat membuktikan bahwa karakter-karakter itu diwariskan secara pemisahan dengan menghitung anakan dan mengamati fenotipe yang tampak
F1♂ >< F1♀ dari
F1♂ >< F1♀ dari
persilangan ♂e ><
persilangan ♂N ><
♀ N
♀e
H0 : Rasio
H0 : Rasio
keturunan F2 3: 1
keturunan F2 3: 1
dengan strain N:
dengan strain N: e
e:
2.3 Hipotesis Penelitian
1. Fenotip yang muncul pada persilangan F1 dari persilangan Drosophila melanogaster strain ♀N >< ♂e dan ♀N >< ♂w beserta resiproknya adalah
♂N dan ♀N. 2. H0: Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N
>< ♂e dan resiproknya tidak menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : e. H1: Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N >< ♂e dan resiproknya menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : e. 3. H0: Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N
>< ♂w dan resiproknya tidak menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w. H1: Perbandingan rasio fenotip F2 pada persilangan D. melanogaster ♀N >< ♂w dan resiproknya menyimpang dari rasio Hukum Mendel I = 3:1 dengan strain N : w.
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observatif dengan
melakukan pengamatan hasil F1 dan F2 pada persilangan w♂ >< N♀ dan e♂ >< N♀ beserta resiproknya. Masing-masing persilangan dilakukan sebanyak 6 kali ulangan. Data yang dikumpulkan berupa pengamatan jumlah, jenis kelamin dan fenotip pada F1 dan F2. Analisis dilakukan dengan uji chi-square untuk mengethui kesesuaian hasil F2 dengan hukum Mendel I.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai bulan April 2017. Tempat pelaksanaan penelitian mulai dari pembuatan medium, peremajaan, pengamatan fenotip, pengampulan, penyilangan, dan penghitungan jumlah F1 maupun F2 dilakukan di Ruang 301 Laboratorium Genetika, Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang.
3.3 Populasi dan Sampel
Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah lalat buah Drosophilla melanogaster yang diperoleh dari stok yang dibiakkan di Laboratorium Genetika, Universitas Negeri Malang dan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah Drosophilla melanogaster strain N (Normal), b (black) dan w (white)
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Mikroskop Stereo
7. Kertas pupasi
13. Kertas label
2. Botol Selai
8. Spons
14. Serbet
3. Pengaduk
9. Blender
15. Pisau
4. Kuas
10. Panci
16. Kain kasa
5. Kompor gas
11. Timbangan
17. Lemari es
6. Selang bening
12. Plastik
18. Tupperware
3.4.2 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: 1. Drosophila melanogaster strain N,e, dan w 2. Pisang Rajamala 3. Tape 4. Gula Merah 5. Fermipan 6. Air
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Pengamatan Fenotip 1. Strain yang telah didapatkan (N, e, dan w) diamati di bawah mikroskop. Pengamatan yang dilakukan meliputi bentuk mata, warna mata, faset mata, warna tubuh, dan keadaan sayap.
3.5.2 Pembuatan Medium 1. Disiapkan bahan-bahan yang akan digunakan yaitu meliputi pisang rajamala, tape singkong serta gula merah 2. Bahan yang sudah siap ditimbang dimana dalam satu resep digunakan perbandingan 7:2:1 (700 gram pisang rajamala, 200 gram tape singkong, dan 100 gram gula merah) 3. Pisang rajamala dipotong-potong dan tape singkong dibersihkan kemudian diblender dengan ditambah air secukupnya 4. Gula merah dicairkan dalam panci besar dengan diberi sedikit air 5. Dituangkan ke dalam panci bahan-bahan yang telah diblender kemudian dipanaskan diatas nyala api sambil diaduk selama 45 menit
3.5.3 Peremajaan 1. Dilewatkan botol dan spons diatas nyala api 2. Dimasukkan medium ke dalam botol dan langsung ditutup dengan spons 3. Ditunggu sampai medium dingin kemudian dimasukkan kertas pupasi ke dalam botol kemudian diberi dua butir fermipan
dan
ditutup kembali menggunakan spons 4. Dimasukkan minimal 3 pasang strain Drosophila melanogaster yang akan diremajakan ke dalam botol yang telah berisi medium
3.5.4 Pengampulan 1. Selang bening dipotong dengan panjang ±5 cm 2. Pisang rajamala dipotong ±1 cm kemudian selang yang telah dipotong ujungnya ditekankan ke permukaan pisang hingga seluruh lubang selang tertutup dengan pisang 3. Pisang didorong menggunakan pangkal kuas hingga posisinya berada di tengah-tengah selang 4. Diambil pupa yang sudah berwarna hitam dari dalam botol dengan kuas yang telah dibasahi dengan air kemudian diletakkan di kedua sisi selang 5. Ujung selang ditutup dengan menggunakan spons yang telah dipotong kecil-kecil
3.5.5
Persilangan P1 1. Disilangkan lalat Drosophila melanogaster strain w♂ >< N♀ dan
e♂ >< N♀ beserta resiproknya masing -masing 6 kali ulangan dan diberi label botol A (maksimal 2 hari setelah diampul) 2. Lalat jantan dilepas setelah 2 hari penyilangan 3. Dipindahkan ke botol B lalat betina apabila dalam botol A telah muncul larva 4. Lalat betina dipindahkan ke botol C dan D sama seperti perlakuan sebelumnya (perlakuan 3) apabila telah muncul larva
3.5.6
Persilangan P2 1. Apabila dari hasil persilangan P1 telah muncul pupa hitam (pada botol A, B, C, maupun D), sebagian pupa diambil untuk diampul dan yang lainnya dibiarkan menetas di dalam botol untuk diamati jumlah dan fenotipnya 2. Diamati fenotip, jenis kelamin, serta dihitung rasio fenotipnya selama 7 hari (dimulai sejak hari pertama menetas) 3. Disilangkan pupa yang yang telah menetas dengan prosedur yang sama dengan persilangan P1 sesuai dengan nomor ulangan induk 4. Hasil persilangan F2 diamati fenotip, jenis kelamin, dan rasio fenotipnya selama 7 hari sejak penetasan pertama
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan fenotip berdasarkan jenis kelamin pada hasil F1 dan F2
persilangan w♂ >< N♀ dan e♂ >< N♀ beserta resiproknya dari setiap ulangan dalam waktu 7 hari.
3.7 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini menggunakan teknik rekonstruksi kromosom kelamin pada masing-masing persilangan
BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA
4.1 Data
4.1.1 Data Hasil Pengamatan Fenotip Strain Drosophila melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain N, e, dan w dimana dari hasil pengamatan morfologi luar tubuh menggunakan mikroskop stereo data yang diperoleh adalah sebagai berikut: Strain
Gambar
Ciri-ciri Bentuk mata: bulat Warna mata: merah Faset mata: halus Warna tubuh: kuning
N kecoklatan Keadaan sayap: sayap lebih panjang dari abdomen
Bentuk mata: bulat Warna mata: merah Faset mata: halus Warna tubuh: hitam e
dengan bagian abdomen coklat Keadaan sayap: sayap lebih panjang dari abdomen Bentuk mata: bulat Warna mata: putih Faset mata: halus Warna tubuh: kuning
w kecoklatan Keadaan sayap: sayap lebih panjang dari abdomen
4.1.2 Tabel Pengamatan F1 4.1.2.1 Persilangan P1 e♂ >< N♀ (Ulangan 1) Hari ke-
Fenotip Botol
Sex
Jumlah
F1
A
1
2
3
4
5
6
7
♂
-
13
8
5
26
♀
8
14
11
8
41
N
B
C
D
♂
1
4
1
2
8
♀
-
10
2
6
18
♂
6
11
2
19
♀
4
5
8
17
♂
1
1
♀
-
0
N
N
N
Total Jumlah
130
4.1.2.2 Persilangan P1 w♂ >< N♀ (Ulangan 1) Hari ke-
Fenotip Botol
Sex F1
A
B
C
D
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
♂
10
11
7
5
33
♀
15
15
6
9
45
♂
5
9
14
♀
9
14
23
N
N
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
N
N
Total Jumlah
115
4.1.3 Tabel Pengamatan F2 4.1.3.1 Persilangan P2 e♂ >< N♀ (Ulangan 1) Hari ke-
Fenotip Botol
Sex
Jumlah
F1
1
2
3
4
5
6
7
♂
12
18
7
1
38
♀
16
20
19
-
55
♂
4
2
1
-
7
♀
1
1
2
-
4
♂
4
1
5
♀
7
5
12
♂
-
-
0
♀
2
-
2
N A e
N B e
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
N C e
N D e
Total Jumlah
123
4.1.3.2 Persilangan P2 w♂ >< N♀ (Ulangan 1) Hari ke-
Fenotip Botol
Sex F2
Jumlah 1
2
3
4
5
6
7
♂
9
13
11
9
3
6
51
♀
9
21
20
17
6
10
83
♂
6
6
7
6
1
4
30
♀
-
-
-
-
-
-
0
♂
9
6
1
16
♀
23
4
-
27
♂
3
-
-
3
♀
-
-
-
0
N A w
N B w
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
♂
0
♀
0
N C w
N D w
Total Jumlah
210
4.2 Analisis Data
4.2.1 Rekonstruksi Persilangan e♂ >< N♀ P1
: e♂ >< N♀
Genotip
:
Gamet
: e , e+
F1
:
P2
: N♂ >< N♀
Genotip
:
Gamet
: e+ , e ; e+ , e
><
+
+
+
(N heterozigot) dengan rasio 100%
+
><
+
Tabel F2 e+ e+
e
e
+
(normal) +
+
+
(normal)
(normal) (ebony)
Rasio fenotip F2 N : e = 3 : 1 4.2.2 Rekonstruksi Persilangan N♂ >< e♀ P1
: N♂ >< e♀
Genotip
:
Gamet
: e+ , e
F1
:
P2
: N♂ >< N♀
Genotip
:
Gamet
: e+ , e ; e+ , e
+
+
+
><
(N heterozigot) dengan rasio 100%
+
><
+
Tabel F2 e+ e+
+
+
e
e
(normal)
+
(normal)
+
(normal)
(ebony)
Rasio fenotip F2 N : e = 3 : 1
4.2.3 Rekonstruksi Persilangan w♂ >< N♀
: w♂ >< N♀
P1
><
+
Genotip
:
Gamet
: w , w+ , >
F1
:
P2
: N♂ >< N♀
Genotip
:
Gamet
: w+ , > ; w+ , w
>
+
,
>
+
+
>
+
><
(N heterozigot) dengan rasio 100%
+
Tabel F2 w+ w+
>
+
(normal) +
+
(normal)
+
>
w
(normal)
>
(white)
Rasio fenotip F2 N : w = 3 : 1
4.2.4 Rekonstruksi Persilangan N♂ >< w♀
: N♂ >< w♀
P1
+
Genotip
:
><
Gamet
: w+ , > , w , w
>
+
,
+
:
P2
: F1♂ >< F1♀
Genotip
:
Gamet
: w+ , w ; w , >
+
><
,
F1
>
,
>
>
Tabel F2 w+
5. 6.
w
7.
>
(normal)
+
>
8.
+
w
(normal)
>
(white) (white)
9. 10. Rasio fenotip F2 N : w = 1 : 1 4.2.5 Analisis Data Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji chi square, namun karena data yang diperoleh belum lengkap, maka analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif presentase.
4.2.5.1 Analisis Data F1 Persilangan e♂ >< N♀
Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan e♂ >< N♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol D sebanyak
130 ekor, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N dengan presentase :
130
x 100% = 100%. Dari analisis tersebut diperoleh hasil
130
bahwa anakan F1 dari persilangan e♂ >< N♀ 100% memiliki strain N.
4.2.5.2 Analisis Data F2 Persilangan N♂ >< e♀
Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan N♂ >< e♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol B sebanyak 123 ekor, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N sebanyak 110 dan strain e sebanyak 13 ekor. Presentase F1 strain N : Presentase F1 strain e :
110
x 100% = 89,43%.
123
13
x 100% = 10,57%.
123
Dari analisis tersebut diperoleh hasil bahwa anakan F1 dari persilangan N♂ >< e♀ 100% memiliki perbandingan strain N : e = 9 : 1.
4.2.5.3 Analisis Data F1 Persilangan w♂ >< N♀
Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan w♂ >< N♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol B sebanyak 115 ekor, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N dengan presentase :
115
x 100% = 100%. Dari analisis tersebut diperoleh hasil
115
bahwa anakan F1 dari persilangan w♂ >< N♀ 100% memiliki strain N.
4.2.5.4 Analisis Data F2 Persilangan N♂ >< w♀
Berdasarkan data perhitungan hasil anakan F1 dari persilangan N♂ >< w♀ diperoleh jumlah anakan dari botol A sampai botol B s ebanyak 210 ekor, dimana setelah diamati fenotipnya memiliki strain N sebanyak 177 dan strain w sebanyak 33 ekor. Presentase F1 strain N : Presentase F1 strain w :
177
x 100% = 84,29%.
210
33
x 100% = 15,71%.
210
Dari analisis tersebut diperoleh hasil bahwa anakan F1 dari persilangan N♂ >< w♀ 100% memiliki perbandingan strain N : w = 5 : 1.
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Hasil Persilangan F1 dan F2 e♂ >< N♀ dan Resiproknya
Berdasarkan data hasil pengamatan, hasil persilangan antara e♂ >< N♀
didapatkan hasil keturunan F1 fenotip yang muncul adalah N♀dan N♂. Munculnya N♂ pada penelitian ini tidak berpengaruh dikarenakan frekwensi kemunculan N♂ sangat kecil dibandingkan dengan frekuensi kemunculan N♀. Dalam Ayala (1984) disebutkan hasil persilangan antara jantan bermata merah dengan betina bermata putih, satu diantara 2000 keturunan F1 mempunyai warna mata menyimpang entah betina mata putih atau jantan mata merah. Peristiwa ini oleh Bridge di duga adanya penyimpangan dari kromosom-kromosom selama meiosis yaitu pada kromosom kelamin X. Pada persilangan F2, hasil data ini sesuai dengan rekonstruksi
kromosom kelamin. Sedang untuk persilangan N♀ dengan e♂ didapatkan hasil keturunan dengan fenotip yaitu N♀, N♂, e♀ dan e♂. Hasil data ini juga terdapat kesesuaian
dengan
rekonstruksi
kromosom
kelamin
yaitu
dengan
hasil
perbandingan 3 : 1.
Pada persilangan resiprok yaitu persilangan e♀ dengan N♂ menghasilkan keturunan F1 dengan fenotip yang muncul yaitu N semua (N♂ dan N♀). Jika F1 disilangkan dengan se samanya (F1 x F1) pada data pengamatan didapatkan hasil keturunan F2 yaitu N♀, N♂, e♀ dan e♂.
5.2 Hasil Persilangan F1 dan F2 w♂>< N♀ dan Resiproknya
Berdasarkan data hasil pengamatan, hasil persilangan antara w♂>< N♀ didapatkan hasil keturunan F1 fenot ip yang muncul adalah N♀ dan N♂.
Munculnya N♂ pada penelitian ini tidak berpengaruh dikarenakan frekwensi kemunculan N♂ sangat kecil dibandingkan dengan frekuensi kemunculan N♀. Dalam Ayala (1984) disebutkan hasil persilangan antara jantan bermta merah dengan betina bermata putih, satu diantara 2000 keturunan F1 mempunyai warna mata menyimpang entah betina mata putih atau jantan mata merah. Peristiwa ini oleh Bridge di duga adanya penyimpangan dari kromosom-kromosom selama meiosis yaitu pada kromosom kelamin X. Pada persilangan F2, terdapat dua persilangan, bila yang disilangkan
yaitu antara N♀ dan N ♂ didapatkan hasil keturunan N♀, N♂, W♀ dan W♂. Sedang untuk persilangan N♀ dengan W♂ didapatkan hasil keturunan dengan fenotip yaitu N♀, N♂, W a♀ dan Wa♂. Hasil data dengan rekonstruksi kromosom kelamin yaitu dengan hasil perbandingan 3 : 1. Pada persilangan resiprok yaitu persilangan N♂ >
keturunan F1 dengan fenotip yang muncul yaitu N semua (N♂ dan N♀). Jika F1 disilangkan dengan sesamanya (F1 x F1) pada data pengamatan didapatkan hasil
keturunan F2 yaitu N♀, N♂, W♀ dan W♂. Sedang pada rekonstruksi kromosom kelamin hasil keturunan F2 yag seharusnya muncul adalah N♀, N♂, W♂ dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Akan tetapi W♀ yang muncul dari persilan gan ini tidak berpengaruh karena frekuensi kemunculannya bila dibandingkan dengan frekuensi
kemunculan N♀, N♂ dan W♂
sangatlah kecil. Munculnya W♀ disini
dimungkinkan disebabkan karena pada waktu pembelahan terdapat kromosom yang tidak mengalami pewarisan menyilang. Dan oleh Bridge diduga adanya
penyimpangan dari kromosom-kromosom selama meiosis, yaitu pada kromosom kelamin X sehingga keduanya menuju ke kutub yang sama. Sehingga dapat dikatakan data hasil pengamatan terdapat ketidak sesuaian dengan rekronstruksi kromosom kelamin.
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan
1. Fenotip F1 yang muncul pada persilangan:
e♂ >< N♀ adalah N♀ dan N♂ e♀>< N♂ adalah N♂ dan N♀ N♂>< w♀ adalah N♀ dan w♂ N♀>< w♂ adalah N♂ dan N♀ 2. Fenotip F2 yang muncul pada persilangan:
e♂>< N♀ adalah N♀, N♂, e♀ dan e♂ N♂>< w♀ adalah N♀, N♂, w♀ dan w♂ 3. Fenomena yang terjadi pada persilngan N♂>< e♀ dan N♂>< w♀ merupakan fenomena pautan kelamin.
6.2 Saran
1. Dalam melakukan penelitian seharusnya diperlukan kesabaran dan ketelitian yang tinggi agar data yang didapatkan merupakan data yang akurat. 2. Dalam melakukan peneletian perlu diadakan pengontrolan yang optimal terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil penelitian.