KHULAFAUR RASYIDIN : ANTARA IDE DAN REALITA KHILAFAH PADA AWAL ISLAM
Pengarah : Dr. Agus Ditoni, M.Ag
Oleh: Asman
MAGISTER DIRASAH ISLAMIYAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2016
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ....................................................................................................
2
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................................
3
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
3
B. Rumusan Masalah .......................................................................
4
C. Tujuan Penelitian ........................................................................
4
PEMBAHASAN ...............................................................................
7
BAB II
A. Khulafaur Rasyidin Antara Ide Dan Realita Khilafah Pada Awal Islam... .........................................................................................
7
1. Konsep Khilafah ....................................................................
7
2. Proses Pengangkatan Khulafaur Rasyidin…..........................
7
a.
Khalifah Abu Bakr As-Sidiq r.a ......................................
9
b.
Khalifah Umar Bin Khatab r.a. .......................................
10
c.
Utsman Bin Affan. ..........................................................
13
d.
Ali Bin Abi Thalib r.a......................................................
14
3. Sistem Dan Model Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin …...
14
a. Khalifah Abu Bakr As-Sidiq r.a ........................................`
14
b. Khalifah Umar Bin Khatab r.a ...........................................
16
c. Utsman Bin Affan ..............................................................
18
d. Ali Bin Abi Thalib r.a ........................................................
20
4. Wacana penegakkan Khiulafah Di Indonesia. .......................
22
a. Konsep Khilafah Presfektif HTI ........................................
22
b. Dalil Wajibnya Khilafah Menurut Presfektif HTI ............
24
c. Respon Wacana Penegakkan Khilafah ..............................
28
PENUTUP .........................................................................................
30
A. Kesimpulan..................................................................................
30
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................
31
BAB III
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebelum Nabi Muhammad SAW Wafat, Nabi Tidak meninggalkan wasiat
tentang siapa yang akan menggantikan tongkat estafet
kepemimpinan beliau bagi umat Islam setelah beliu wafat. Beliau tampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah nabi wafat, sehingga permasalahan tentang siapa penganti nabi menjadi suatu problem ijtihadi tersendiri bag umat Muslimim pada saat itu, oleh karenanya pada saat itu sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul untuk menentukan pengganti kepemimpinan yang kosong bagi umat Islam, sepeninggal nabi. Sementara Itu baik dalam Al-Qur’an ataupun hadits, juga tidak ada petunjuk terkait penganti nabi yang posisinya sebagai pemimpin umat muslim pada masa mendatang, petunjuk yang ditingalkan nabi berdasarkan beberapa petunjuk hadits hanyalah bersifta umu terkait penyelesain maslah harus dengan jalann musyawarah mufakat, tanpa adanya pola baku terkait bagaimana konsep musyawarah yang harus dilakukan. 1 Secara umum Umat Islam menjadikan generasi awal muslim sebagai rujukan ideal dalam bentuk kepimpinan dalam suatu negara Islam. Untuk mengetahui secara jelas tentang konsep Khilafah dan kepemimpinan sepeninggal nabi, pembahasan topik ini diarahkan kepada konsep khilafah baik secara ide dan realitas, serta bagaimana kahlifah menjalankan pemerintahnya. Tujuan pembahasan topik ini, salah satunya digunakan
1
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar Ilmu Politik Islam (Bandung:Pustaka Setia,2008),213.
3
sebagai salah satu bahan untuk pengembangan nilai-nilai Islam pada masa mendatang. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Konsep Khilafah dalam Islam ? 2. Bagaimana Realitas Khulafaur Rasyidin dalam Islam ? C. Tujuan 1. Mengetahui Sejarah pembentukan serta konsep Khilafah dalam Islam . 2. Mengetahui sejarah serta realitas Khulafaur Rasyidin dalam Islam.
4
BAB II PEMBAHASAN
A. Konsep Khilafah Dalam Islam Antara Ide Dan Realitas 1. Pengertian Khilafah Pengertian kata ‚Khalifah‛ ( خليفةKhalīfah) sendiri dapat diartikan sebagai ‚pengganti‛ atau ‚perwakilan‛. Pada awal keberadaannya, para pemimpin Islam ini menyebut diri mereka sebagai ‚Khalifat Allah‛, yang berarti perwakilan Allah (Tuhan). Akan tetapi pada perkembangannya sebutan ini diganti menjadi ‚Khalifat rasul Allah‛ (yang berarti ‚pengganti Nabi Allah‛) yang kemudian menjadi sebutan standar untuk menggantikan ‚Khalifat Allah‛.
2
Khalifah juga sering disebut sebagai Amīr al-Mu’minīn
( )المؤمنين أميرatau ‚pemimpin orang yang beriman‛, atau ‚pemimpin umat muslim‛, yang terkadang disingkat menjadi Amir. Khalifah berperan sebagai kepala ummat baik urusan negara maupun urusan agama. Mekanisme pengangkatan dilakukan baik dengan penunjukkan ataupun majelis Syura’ yang merupakan majelis Ahlul Ilmi wal Aqdi yakni ahli Ilmu (khususnya keagamaan) dan mengerti permasalahan ummat. Sedangkan Khilafah adalah nama sebuah sistem pemerintahan yang begitu khas, dengan menggunakan Islam sebagai Ideologi serta undangundangnya mengacu kepada Al-Quran & Hadist. Ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa khalifah mempercayai bahwa mereka mempunyau otoritas untuk memutuskan beberapa hal yang tidak tercantum dalam al-Quran. Mereka juga mempercayai bahwa mereka adalah pempimpin spiritual umat islam, dan mengharapkan ‚kepatuhan kepada khalifah‛ sebagai ciri seorang muslim sejati. Sarjana modern Patricia 2
J.Suyuthi pulungan, Fiqh Siyasah:Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:RajaGarfindo Persada,1997), cet ke III, 48-50.
5
Crone dan Martin Hinds, dalam bukunya God’s Caliph, menggaris bawahi bahwa fakta tersebut membuat khalifah menjadi begitu penting dalam pandangan dunia Islam ketika itu. Mereka berpendapat bahwa pandangan tersebut kemudian hilang secara perlahan-lahan seiring dengan bertambah kuatnya pengaruh ulama di kalangan umat Islam. Para ulama beranggapan bahwa mereka juga berhak menentukan apa yang dianggap legal dan baik di kalangan umat Islam. Pemimpin umat Islam yang paling tepat, menurut pendapat para ulama, adalah pemimpin yang menjalankan saran-saran spiritual dari para ulama, sementara para khilafah hanya mengurusi hal-hal yang bersifat duniawi sehingga mengakibatkan konflik di antara keduanya. Perselisihan antara Khalifah dan para ulama tersebut menjadi konflik yang berlarut-larut dalam sejarah Islam. Ibnu Khaldun kemudian menegaskan hal ini dan menjelaskan lebih jauh tentang kepemimpinan kekhahalifah secara lebih singkat:3 ‚Kekhalifahan harus mampu menggerakan umat untuk bertindak sesuai dengan ajaran Islam dan menyeimbangkan kewajiban di dunia dan akhirat. (Kewajiban di dunia) harus seimbang (dengan kewajiban untuk akhirat), seperti yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad, semua kepentingan dunia harus
mempertimbangkan
Singkatnya,
(Kekhalifahan)
keuntungan pada
untuk
kenyataannya
kepentingan
akhirat.
menggantikan
Nabi
Muhammad, beserta sebagian tugasnya, untuk melindungi agama dan menjalankan kekuasaan politik di dunia.‛ Dari uraian di atas dapat kita simpulakan bahwa Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632). Sedangkan Pengertian Khilafah baik dari segi etimologis maupun secara istilah muncul dalam sejarah Islam sebagai sebutan untuk institusi politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam urusan agama dan politik.4
3 4
Abd al-Rahman Ibn Kaldun, Muqaddimat, Da>r al-Fikr, t.tp., t.t, 134. J.Suyuthi pulungan, Fiqh Siyasah., … 45.
6
2. Proses Pengangkatan Khulafautr Rasyidin a) Proses Terpilihnya Abu Bakar As-Sidiq.r.a. Setelah
wafatnya Rasulullah Saw, kaum muslimin dihadapkan
sesuatu problema yang berat tentang kepemimpinan, kerena Nabi sebelum meninggal tidak meninggalkan pesan apa dan siapa yang akan mengganti sebagai pimpinan umat. Waktu setelah wafatnya Rasulullah SAW tersebut menjadikan momentum umat Islam dalam kebingunan. Hal ini karena para sahabat sama sekali tidak siap kehilangan beliau baik sebagai pemimpin, sahabat, maupun sebagai pembimbing yang mereka cintai. Sehingga sebelum Jenazah Rasulullah SAW dimakamkan, umat islam terlebih dahulu mengurusi permasalahan terkait kekosongan pemimpin tersebut, sehingga hal ini membuat putri tunggal Rasulullah SAW Sayyidah Fatimah marah,5 karena pada waktu itu ada golongan sahabat dari Anshar yang berkumpul di tempat Saqifah Bani Sa’idah, sebuah tempat yang biasa digunakan sebagai pertemuan dan musyawarah penduduk kota Madinah. Pertemuan golongan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah tersebut dipimpin seorang sahabat yang sangat dekat engan Rasulullah Saw., ia adalah Sa’ad bin Ubadah tokoh terkemuka Suku Khazraj.6 Pada waktu Saad bin Ubadah mengajukan wacana dan gagasan tentang siapa yang pantas untuk menjadi pemimpin sebagai pengganti Rasulullah ia menyatakan bahwa kaum Anshar-lah yang pantas memimpin kaum muslimin. Ia mengemukakan demikian sambil berargumen bahwa golongan Ansharlah yang telah banyak menolong Nabi dan kaum Muhajirin dari kejaran dan penindasan orang-orang kafir Quraisy. Tentu saja gagasan dan wacana ini disetujui oleh para sahabat dari golongan Anshar. Pada saat beberapa tokoh Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar bin Khatab, dan Abu Ubaidah bin Jarrah dan sahabat 5 6
Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar.,… 214. Ibid.
7
muhajirin yang lain mengetahui pertemuan orang-orang Anshar tersebut, mereka segera menuju ke Saqifah Bani Sa’idah. Dan pada saat orangorang Muhajirin datang di Saqifah Bani Sa’idah, kaum Anshar nyaris bersepakat untuk untuk mengangkat dan membaiat Saad bin Ubadah menjadi Khalifah. Karena pada saat tersebut para tokoh Muhajirin juga datang maka mereka juga diajak untuk mengangkat dan membaiat Saad bin Ubadah. Namun, kaum Muhajirin yang diwakili Abu Bakar menolaknya dengan tegas membaiat Saad bin Ubadah. Abu Bakar mengatakan pada golongan Anshar bahwa jabatan khalifah sebaiknya diserahkan kepada kaum Muhajirin. Alasan Abu Bakar adalah merekalah yang lebih dulu memeluk Agama Islam. Kaum Muhajirin dengan perjuangan yang berat selama 13 tahun menyertai Nabi dan membantunya mempertahankan Islam dari gangguan dan penindasan kaum kafir Quraisy di Mekkah. Dengan usulan Abu Bakar ra. Golongan Anshar tidak dapat membantah usulannya.7 Kaum Anshar menyadari dan ingat, bagaimana keadaan mereka sebelum Nabi dan para sahabatnya dari Mekkah mengajak masuk Islam, bukankah di antara mereka sering terlibat perang saudara yang berlarutlarut. Dan dari sisi kualitas tentu saja para sahabat Muhajirin adalah manusia-manusia terbaik dan yang pantas menggantikan kedudukan Nabi dan menjadi khalifah untuk memimpin kaum muslimin. Pada saat yang bersamaan Abu Bakar menunjuk dua orang Muhajirin di sampingnya yang dikenal sangat dekat dengan Nabi, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah bin Jarrah. Abu Bakar mengusulkan agar memilih satu di antara keduannya untuk menjadi khalifah. Demikian kata Abu Bakar kepada kaum Anshar sembari menunjuk Umar dan Abu Ubaidah. Namun sebelum kaum Anshar merespon usulan Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah justru menolaknya dan keduanya justru balik menunjuk dan memilih Abu Bakar. Secara cepat dan tegas Umar mengayungkan tanganya ke tangan Abu
7
Ibid., .215
8
Bakar dan mengangkat tangan Abu Bakar dan membaiatnya. Lalu apa yang dilakukan Umar ini segera diikuti oleh Abu Ubaidah. Dan akhirnya diikuti kaum Anshar untuk membaiat Abu Bakar Kecuali Saad bin Ubadah. Lalu pada esok harinya, baiat terhadap Abu Bakar secara umum dilakukan untuk umat muslim di Madinah dan dalam pembaiatannya tersebut, Abu Bakar berpidato sebagai berikut: ‚Saudara-saudara, saya sudah dipilih untuk memimpin kalian sementara saya bukanlah orang terbaik di antara kalian. Jika saya berlaku baik, bantu-lah saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta merupakan pengkhianatan. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi bila saya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, maka gugurlah ketaatanmu kepada saya.‛8 b) Proses Terpilihnya Umar Bin Khatab r.a. `Berbeda dengan proses pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah. Abu Bakar terpilih secara demokratis melalui proses perdebatan yang cukup panjang, hingga akhirnya ia terpilih sebagai khalifah yang sah. Sementara Umar Bin Khatthab diangkat melalui penunjukan yang dilakukan khalifah Abu Bakar setelah mendapatkan persetujuan dari para sahabat besar. Hal itu dilakukan khalifah guna menghindari pertikaian politik antara umat Islam sendiri. Beliau khawatir kalau pengangkatan itu dilakukan melalui proses pemilihan seperti pada masanya, maka situasinya akan menjadi keruh karena kemungkinan terdapat banyak kepentingan yang ada diantara mereka yang membuat negara menjadi tidak stabil, sehingga pelaksanaan pembangunan dan pengembangan Islam akan terhambat.9
8 9
Abd Al-Wahidal-Najjar, Al-khulafaur Rasyidin (Dar al Kutub-Ilmiah:Beirut1990), 35. Beni Ahmad Saebani, Fiqh Siyasah Pengantar.,… 218.
9
Pada Saat Khalifah Abu Bakar merasa dekat dengan ajalnya, Ia menunjuk Umar Bin Khatab untuk menggantinya, namun sebelum menyampaikan ide dan gagasannya untuk menunjuk Umar, Abu Bakar memanggil beberapa sahabat terkemuka seperti Abdurrahman bin Auf, Utsman bin Afan, Asid bin Hudhair al-Anshari, Said bin Ziad dan Sahabat lain dari golongan Muhajirin dan Anshar untuk dimintai penilaian dan pertimbangan dan akhirnya mereka menyetujui. c) Proses Terpilihnya Utsman Bin Affan r.a. Ketika Umar sedang sakit akibat dari tikaman seorang budak Persia yang bernama Fairuz yang lebih dikenal dengan nama Abu Lu’lu’ah, sekelompok sahabat datang menjenguknya dan sekaligus menanyakan dan mendiskusikan penggantinya Dia sebagai khalifah, pertanyaan dari para sahabat ini tidak mendapatkan jawaban pasti dari.Umar bin Khattab, sesudah itu, sahabat beranjak meninggalkan Khalifah Umar bin Khattab. Para sahabat Rasulullah merasa takut andai Umar wafat tanpa meninggalkan pesan tentang penggantinya. Oleh karena itu, mereka mendatangunya lagi untuk mendesak Umar bin Khattab menentukan penggantinya. Di tempat tidurnya, Umar mengambil keputusan dengan menunjuk badan musyawarah yang terdiri dari orang-orang yang diridhoi dan dijanjikan oleh Rasulullah sebagai orang-orang yang masuk surga tanpa hisab. Mereka itu adalah Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Waqah, Adurahman bin Auf, Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah bin Umar. Untuk memeilih seorang khalifah diantara mereka.10 Namun khusus untuk Abdullah bin Umar tidak dicalonkan apalagi dipilih berdasarkn wasiat khalifah Umar. Adapun kriteria pemilihan telah ditetapkan oleh khalifah Umar bin Khattab yaitu : Khalifah yang di pilih adalah dari anggota Syura kecuali Abdullah bin Umar yang tidak
10
J.Suyuthi pulungan, Fiqh Siyasah., … 138.
10
punya hak pilih dan bertindak sebagai penasihat. Bilamana suara dari anggota tim sama hendaknya keputusan diserahkan kepada Abdullah bin Umar sebagai anggota tim tersebut. Jika keputusan Abdullah bin Umar tidak disetujui oleh anggota mengikuti keputusan yang diambil oleh Abdurrahman bin Auf. Bila ada anggoat tim yang tidak mau mengambil bagian dalam pemilihan maka anggota tersebut harus dipenggal kepalanya. Bila dua calon mendapatkan dukungan yang sama maka calon yang didukung oleh Abdurrahman bin Auf yang dianggap menang. Apabila seorang telah terpilih dan minoritas (satu atau dua) tidak mau mengikutinya maka kepala mereka harus dipenggal. Jadwal pelaksanaan musyawarah selama tiga hari ke empat sudah ada pemimpin. 11 Tatkala Umar wafat, berkumpullah orang-orang yang dipilihnya menjadi formatur dikepalai oleh Abdurrahman bin Auf di dalam salah satu rumah kepunyaan mereka. Tiga hari lamanya musyawarah yang amat penting itu, dan sudah tiga hari rupanya belum juga dapat diputuskan karena sejak awal jalannya pertemuan itu sangat alot, maka Abdurrahman bin Auf berusaha memperlancar dengan himbauan agar sebaiknya mereka dengan sukarela mengundurkan diri dan menyerah kepada orang yang lebih pantas (memenuhi syarat) untuk dipilih sebagai khalifah. himbauan ini tidak berhasil, tidak ada satupun yang mau mengundurkan diri, kemudian Abdurrahman bin Auf sendiri menyatakan mengundurkan diri tetapi tidak ada seorang pun dari empat sahabat Nabi yang mengikutinya. Dalam kondisi macet itu, Abdurrahman bin Auf berinisiatif melakukan musyawarah dengan sahabat dan tokoh-tokoh masyarakat selain yang termasuk dalam anggota badan musyawarah, dan suara terbelah menjadi dua kubu yaitu pendukung Ali dan pendukung Utsman. Pada pertemuan berikutnya, Abdurrahman bin Auf menempuh cara dengan menanyakan masing-masing angggota formatur dan di dapatlah
11
Ibid.,..139.
11
skor suara tiga banding satu, dimana Zubair, dan Ali mendukung Utsman, sedangkan Utsman mendukung Ali. Meskipun suara terbanyak dari anggota formatur jatuh pada Utsman, namun Abdurrahman tidak serta merta membai’at Utsman. Tetapi pada subuh hari sesudah semalaman ia berkaliling memantau pendapat masyarakat, ia berdiri setelah kaum Muslimin memenuhi mesjid dan menyampaikan pengantar tentang pelaksanaan pemilihan khalifah. Di sini terlihat kembali persaingan dua kubu yaitu kubu Ali dan kubu Utsman. Pada saat itu Abdurrahman menunjukkan keahliannya menghadapi masalah yang sulit ini. Dia memanggil Ali dan Utsman secara terpisah untuk dimintai kesanggupannya bertindak berdasarkan al- Qur’an dan sunnah Rasul-Nya serta berdasarkan langkah-langkah yang diambil oleh dua khalifah sebelumnya. Ali bin Abi Thalib bertindak sesuai dengan pengetahuan dengan kekuatan yang ada pada dirinya, sedangkan Utsman
bin
Affan
menyanggupinya,
sehingga
Abdurrahman
mengucapkan bai’atnya dan diikuti oleh orang banyak menyatakan bai’at, termasuk juga Ali pada akhirnya juga menyatakan bai;atnya kepada Utsman bin Afffan. Orang keenam tim formatur, Thalha bin Ubaidillah tiba di Madinah setelah pemilihan itu berakhir. Dia juga menyatakan sumpah setia kepada Utsman bin Affan.12 Mencermati proses pemilihan tersebut, nampak dengan jelas upaya pemilihan
khalifah
dilakukan
secara
musyawarah
dengan
memperhatikan suara dari berbagai pihak, dan hal ini pula yang membedakan antar proses pengangkatan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Karena itu
Utsman bin Affan
ditetapkan menjadi khalifah, pada hari Senin, akhir bulan Dzulhijjah tahun 23 H. dan resmi menjadi khalifah yang ketiga dari Khulafa alrasyidin pada tanggal 1 Muharram tahun 24 H.
12
Ibid., 140
12
d) Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib r.a. Pada saat kaum pemberontak mengepung rumah Khalifah Usman, Ali mengutus dua putra lelakinya yang bernama Hasan dan Husain untuk ikut melindungi Khalifah Usman. Namun hal itu tak mampu mencegah bencana yang menimpa Khalifah Usman dan juga kaum muslimin. Khalifah Usman terbunuh secara keji pada tanggal 17 Juni 656 M. Beberapa sahabat terkemuka seperti Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah, ingin membaiat Ali sebagai khalifah. Mereka memandang bahwa dialah yang pantas dan berhak menjadi seorang khalifah. Namun Ali belum mengambil tindakan apa pun. Keadaan begitu kacau dan mengkhawatirkan sehingga Ali pun ragu-ragu untuk membuat suatu keputusan dan tindakan. Setelah terus menerus didesak, Ali akhirnya bersedia dibaiat menjadi khalifah pada tanggal 24 Juni 656 M, bertempat di Masjid Nabawi. Hal ini menyebabkan semakin banyak dukungan yang mengalir, sehingga semakin mantap saja ia mengemban jabatan khalifah. Namun sayangnya, ternyata tidak seluruh kaum muslimin membaiat Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah. Selama masa kepemimpinannya, khalifah Ali sibuk mengurusi mereka yang tidak mau membaiat dirinya tersebut. Sama seperti pendahulunya yaitu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar, Usman, khalifah Ali juga hidup sederhana dan zuhud. Ia tidak senang dengan kemewahan hidup. Ia bahkan menentang mereka yang hidup bermewah-mewahan.13 3. Sistem dan Model Kepemimpinan Khulafaur Rasyidin a) Khalaifah Abu Bakar As-Shidiq r.a. (11-13 H) Abu Bakar As- shidip yang posisinya mengantikan nabis ecara temporal memiliki tugas yang sama yakni mengemmban amanah ummat muslim, sebagaimana nabi Abu Bakar juga melakukan musyawarah
13
J.Suyuthi pulungan, Fiqh Siyasah., … 151-153.
13
dengan para sahabat dan tokoh lainya untuk memutuska sebuah masalah, Pada masa kepemimpinan Abu Bakar yang hanya dia tahun itu banyak mengalami hambatan dan tantangan seperti munculnya nabi palsu, pemberontakan kaum munafik dan murtad, dan oposisi kelompok penentang zakat. Hal ini disebabkan oleh munculnya kembali fanatisme kesukuan masyarakat Arab, belum kuatnya dasar-dasar keagamaan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat yang jauh dari kota Madinah, dan lahirnya kembali lawan-lawan politik Islam yang dahulu di masa Nabi Muhammad belum sepenuhnya mengakui pemerintahan Madinah.14 Secara politik, suatu pemerintahan yang terpusat, yang menuntut dan menerima kesetiaan orang-orang, belum dikenal di Arabia, yang mana suku-sukunya hidup dalam kebebasan yang sempurna. Lebih-lebih sukusuku Arab membenci kekuasaan di Madinah, ibukota imperium Islam pada waktu itu. Kepemimpinan Madinah menjadi tak tertahankan oleh semangat bebas suku-suku Arab. Pembayaran zakat dianggap sebagai penurunan kekuasaan dan kewibawaan bagi suku-suku di Arabia. Sebenarnya keberatan mereka bukan terhadap Islam, tetapi terhadap zakat. Keadaan menjadi sangat genting. Madinah sendiri terancam oleh gerombolan Badui yang dipelopori oleh suku Ghatafan yang kuat. Para sahabat menganjurkan agar khalifah mengikuti kebijakan yang lunak. Terhadap usul tersebut khalifah menjawab dengan marah:‛Kalian begitu keras dimasa jahiliyah, tetapi setelah Islam kalian menjadi begitu lemah. Wahyu-wahyu Allah telah berhenti, agama kita telah sempurna. Sekarang haruskah Islam dibiarkan dirusak dalam masa hidupku? Demi Allah seandainya mereka menahan sehelai benang pun (dari zakat), saya akan memerintahkan untuk memerangi mereka.‛15 Tidak kalah hebatnya dari para penentang Islam pada masa ini, yaitu munculnya orang-orang yang mengaku sebagai nabi. Mereka adalah 14
Hasan Ibrahim. Tarikh Misriyah,1967), 78. 15 Ibid., ..164-165.
al-Islam.
jilid
1V.
(Kairo:
Maktabah
al-Nahdhah
al-
14
Aswad Ansi di Yaman, kemudian Musailamah al-Kadzab, kemudian Tulaiha yang disambut sebagai nabi Bani Ghatafan, dan Sajah, seorang perempuan berasal dari suku Bani Yarbu di Arabia Tengah. Abu Bakar meyakini bahwa tantangan ini sangatlah serius akibatnya bagi kesinambungan dakwah Islam, manakala tidak segera diselesaikan. Oleh karena itu pada tahun pertama kepemimpinannya beliau memfokuskan program-programnya kepada upaya penyelesaian upaya ini. Baru kemudian di tahun kedua beliau meneruskan ekspansi wilayah di luar semenanjung Arabia sebagaimana yang pernah dirintis oleh Nabi saw dan belum mencapai tujuannya. Sebelum menangani urusan penting luar negeri, Abu Bakar menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah penting dalam negeri.16 Khalid bin Walid dikirim untuk melawan Tulaiha, Ikrimah dan Sharabil bin Hasan dikirim untuk melawan Musailamah, dan Zuber dikirim untuk memerangi Aswad Ansi di Yaman. Khalid berhasil mengalahkan Tulaiha, Zuber berhasil membunuh Aswad Ansi, dan Musailamah berhasil dibunuh. Peperangan lainnya yang dilakukan oleh para jenderal muslim terhadap orang-orang murtad dilakukan di Bahrain, Oman dan Yaman. Maka berakhirlah seluruh gerakan kemurtadan yang juga disebut Perang Riddah.17 Kontribusi Abu Bakar yang paling menonjol bagi peletakan dasardasar kesinambungan peradaban Islam adalah dua hal. Pertama, mengembalikan
kebulatan
keyakinan
terhadap
ajaran
Islam,
mengintegrasikan masyarakat dan politik Islam yang berpusat di Madinah sebagaimana dahulu pernah diletakkan oleh Nabi saw. Kembalinya kaum muslimin kepada ajaran Islam dan pengakuan atas pemerintahan Islam yang
berpusat
di
Madinah
merupakan
dasar
yang
kokoh
bagi
pengembangan cita-cita dakwah dan politik Islam. Kedua, Abu Bakar mengirim kekuatan keluar Arabia. Khalid bin Walid memimpin delegasi ke
16 17
Ibid., Ibid
15
Iraq dan dapat menguasai daerah Hirah pada tahun 634 M. Sementara untuk Syiria di kirim pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah, Amr bin Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syuhrabil. Sebelumnya pasukan di pimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat pasukan ini, Khalid bin Walid yang semula dikirim ke Iraq, diperintahkan menuju ke Syiria melalui gurun pasir yang amat sulit, dan akhirnya semua itu dapat dicapai. Inilah kontribusi kedua Abu Bakar untuk meneruskan cita-cita Nabi dalam pengembangan wilayah dakwah Islam.18 b) Khalifah Umar Bin Khatab r.a. (13-23 H) Pada prinsipnya program-program yang dijalankan oleh khalifah Umar bin Khattab adalah meneruskan upaya awal yang pernah dirintis oleh pendahulunya, Abu Bakar, khususnya program pengiriman pasukan untuk ekspansi wilayah diluar Arabia. Ekspansi pertama dilancarkan ke ibukota syiria, Damaskus, Ardan dan Hins yang berhasil dikuasai hingga pada 635 M.
Setahun
kemudian setelah pasukan
pertempuran Yarmuk,
Byzantium
kalah dalam
seluruh daerah Syria dapat dikuasai oleh
pemerintahan Islam. Melalui Syria ini penguasaan Mesir dilakukan dengan pimpinan Amru bin Ash, sementara ke Iraq dibawah pimpinan Saad bin Abi Waqqas. Hingga pada 641 M kedua negeri ini resmi masuk ke wilayah pemerintahan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada 637 M. Dari kota ini serangan baru dilancarkan ke Persia, dimana kota Madain jatuh pada tahun ini juga. Pada 641 M Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian pada masa Umar wilayah Islam telah meliputi seluruh semenanjung Arabia, palestina, Syiria dan Mesir. Dapat dikatakan bahwa sebagian wilayah Romawi masuk ke dalam pemerintahan Islam yang berpusat di kota Madinah.19 Perluasan wilayah dimasa Umar ini memang sangat cepat dan berhasil dengan gemilang. Maka hal ini menuntut Umar untuk lebih 18
Muhammad Nur Hakim. Sejarah Peradaban Islam. (Malang: UMM Press, 2004), 47.
19
Ibid.,…48
16
memperhatikan masalah administrasi dan menejemen negara. Untuk itu beliau mulai memasukkan beberapa unsur administrasi dari imperium Persia yang telah lama mempunyai pengalaman dalah hal administrasi negara. Pemerintahan dibagi menjadi delapan propinsi: Mekkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina dan Mesir. Beberapa departemen didirikan. Sistem pembayaran gaji serta pajak ditertibkan. Lembaga Yudikatif dan Eksekutif dipisahkan dengan mendirikan pengadilan khusus. Baitul mal sebagai bank negara diadakan sehingga keuangan pemerintahan semakin lancar pengelolaannya.20 Dari penjelasan singkat di atas, dapatlah disimpulkan ada dua hal besar yang disumbangkan Umar untuk peradaban Islam. Pertama, perluasan dan penguasaan wilayah-wilayah baru yang berada diluar semenanjung Arabia, bahkan telah memasuki sebagian besar wilayah Persia dan Romawi. Kontribusi ini tidak dapat di ungguli oleh ketiga Khalifah alRasyidah yang lain. Kedua, mengadakan dan memperbaiki administrasi pemerintahan yang sebelumnya tidak dikenal. Bagi masyarakat Arab saat itu apa yang ditawarkan Umar adalah sesuatu yang baru dan luar biasa. Bukti menunjukkan bahwa dengan administrasi dan manajemen yang lebih baik maka sangatlah membantu percepatan dan keberhasilan perluasan pemerintahan Islam. Salah satu kontribusi Umar yang lebih penting bagi perkembangan peradaban Islam adalah penetapan kalender Hijriyah bagi kaum muslimin. Disamping itu, ide pertama kali muncul untuk melakukan pembukuan mushaf al-Qur’an adalah dari beliau, meskipun realisasinya yang paling maksimal ada pada masa Usman.21 c) Khalifah Utsman Bin Affan r.a. (23-35 H) Para ahli sejarah mencatat, bahwa enam tahun yang awal kepemimpinan Usman efektif dan cukup berhasil. Namun pada enam tahun berikutnya kepemimpinanya tidak lagi efektif, bahkan mengalami
20 21
Ibid., Ibid., 49
17
degradasi hingga pada akhirnya melahirkan suatu pemberontakan yang menyebabkan kematiannya. Keberhasilannya dibuktikan dengan kemampuannya meneruskan ekspansi wilayah hingga berhasil ditaklukkannya Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhades, Transoxania, Tabaristan, serta sebagian wilayah yang tersisa dari Persia. Namun ekspansi wilayah Islam yang pertama berhenti di sini. Di samping itu ia berhasil membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian suplai air ke kota-kota. Ia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, termasuk perluasan masjid Nabawi di Madinah. Ia juga sebagai tokoh yang memprakarsai pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an yang di anggap paling sempurna sehingga sampai hari ini menjadi standar tulisan al-Qur’an yang biasa disebut Mushaf Usmani. Adapun pemerintahannya di paruh kedua dipenuhi dengan benihbenih konflik. Lahir pemberontakan, kecurigaan-kecurigaan tidak dapat dihindarkan, sehingga pemerintahannya tidak lagi efektif. Diduga pemberontakan itu dilakukan oleh para pendukung Ali. Karena itu dikala Ali dipilih menjadi khalifah, Muawiyah tidak mengakuinya, karena ia menganggap bahwa Ali berada di belakang pemberontakan itu, dan Ali berkewajiban menyelesaikan kasus itu. Kelemahan Usman tersebut disebabkan usianya yang semakin tua. Di saat itu ia telah berusia 70 tahun. Sikapnya yang terlalu lunak disebabkan anggota-anggota keluarganya yang dekat diberi jabatan-jabatan di pemerintahan. Kekayaannya yang melimpah dan sifatnya yang dermawan itu membuatnya kurang memperhatikan soal administrasi keuangan. Terkadang hal ini memungkinkan penilaian orang luar yang negatif kepadanya berkenaan dengan penggunaan uang negara. Meskipun sebenarnya khalifah sama sekali tidak pernah menyalahgunakan uang negara, bahkan beliau tidak mengambil uang yang menjadi haknya dari perbendaharaan negara. Malah justeru banyak sekali uang pribadi yang ia gunakan untuk keperluan negara tanpa ia perhitungkan.
18
Pemerintahan Usman mendapat tekanan dari kaum pemberontak karena beberapa hal: Pertama, mereka melihat Bani Umayah memperoleh kedudukan yang tinggi di dalam negara dan mereka makmur dengan kekayaan dan hak-hak istimewa. Kedua, di dalam kekhalifahan Usman, Bani Umayah benar-benar telah menghilangkan reputasi Bani Hasyim. Ketua Bani Hasyim, Ali, kehilangan pengaruh dan kedudukan di dalam kekhalifahan Usman. Oleh karena itu, mereka tidak menyukai Usman dan Bani Umayah. Selain itu, kaum Anshar dari Madinah merasa kedudukan dan pengaruh mereka menjadi hilang. Mereka tidak memperoleh bagian apapun dalam dalam hierarki imperium Islam Ketiga, pengangkatan Marwan bin Hakam sebagai sekretaris negara benar-benar tidak disukai umum. Marwan seorang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik. Kebijakannya selalu memecah belah Bani Hasyim dan Bani Umayah. Selain itu, Usman terkenal kurang tegas karena sikapnya yang murah hati dan sederhana.22 Rasa tidak puas terhadap khalifah Usman menjalar. Di Kufah dan Basrah rakyat bangkit menentang gubernur-gubernur yang diangkat oleh khalifah Usman. Hingga akhirnya para pemberontak menyelinap masuk ke kota Madinah, mereka mengepung rumah khalifah. Pada saat yang berbahaya itu para sahabat dan kerabat tidak sedang menemani Usman. Pada tanggal 17 Juni 656 M para pemberontak menyerbu rumah Usman, dua orang bangsa Mesir membunuh khalifah yang telah lanjut usia itu ketika beliau sedang membaca kitab suci al-Qur’an.23 d) Khalifah Ali Bin Abi Thalib r.a. (35-40 H) Ali memimpin selama enam tahun. Selama itu pula kepemimpinnya dihadapkan kepada berbagai pergolakan yang akhirnya menimbulkan apa yang oleh sejarah disebut dengan al-Fitnah al-kubra (huru-hara yang
22
Syed Mahmudinnasi, Islam in Concept and History, (Bandung: Rosdakarya,1998), 170.
23
Ibid… 193.
19
dahsyat). Setelah diangkat menjadi khalifah, ia memecat para gubernur yang pernah diangkat oleh Usman, kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syiria. Beliau yakin bahwa berbagai pemberontakan muncul karena keteledoran para gubernur. Tanah-tanah yang pernah dihadiahkan oleh Usman kepada penduduk ia tarik dengan cara menyerahkan hasilnya kepada negara, dan menerapkan kembali kewajiban pajak kepada kaum muslimin sebagaimana pernah diterapkan oleh Umar yang kemudian tidak berlaku. Persaingan terus berjalan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah.kondisi seperti ini dimanfaatkan oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah untuk mengadakan pemberontakan dengan alasan bahwa Ali tidak mau menghukum pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela atas kematian Usman. Sebenarnya Ali ingin menghindari peperangan, ia mengajak berunding kepada Thalhah dan Zubair, namun ajakan itu mereka tolak. Akhirnya pecahlah perang yang terkenal dengan sebutan perang jamal, dimana Aisyah berada diatas onta. Peperangan akhirnya dimenangkan oleh pihak Ali, sementara Thalhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah tertawan lalu dikembalikan ke Madinah. Persaingan antara dua kelompok di atas muncul lagi dalam bentuk lain. Kebijakan-kebijakan Ali yang dianggap tidak menguntungkan pihak Muawiyah akhirnya menimbulkan perlawanan dari unsur gabungan, Muawiyah dan mereka yang kehilangan jabatan. Perlawanan itu kemudian menyebabkan terjadinya perang shiffin. Semula peperangan itu telah dimenangkan oleh pihak Ali, tetapi tiba-tiba pihak Muawiyah menawarkan perdamaian melalui forum tahkim (arbitrase).24 Dalam arbitrase disepakati untuk tidak melanjutkan peperangan, tetapi kedua belah pihak dapat kembali pada posisi masing-masing. Selepas arbitrase justeru muncul kelompok baru khawarij yang menolak kesepakatan arbitrase yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
24
Harun Nasution. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya. (Jakarta: UI Press, 1986)., 32.
20
Kelompok ini berseberangan baik kepada Ali maupun kepada Muawiyah. Jadi, di akhir pemerintahan Ali umat Islam telah terpecah menjadi tiga, kelompok pendukung Ali yang nantinya disebut Syi’ah, kelompok Muawiyah yang nantinya mengklaim sebagai kaum sunni, dan kelompok yang keluar dari keduanya yang kemudian disebut Khawarij.25 Kondisi demikian jelas tidak menguntungkan pihak Ali. Munculnya kelompok Khawarij melemahkan kekuatan Ali, sementara Muawiyah terus melakukan konsolidasi sehingga pasukannya semakin kuat. Ketidak senangan Khawarij kepada Ali menyebabkan salah seorang pengikutnya yang bernama Abdul-Rahman bin Muljam tega menghabisi nyawa menantu Nabi tersebut pada 20 Ramadhan tahun 40 H/ 660 M, yaitu ketika Ali sedang dalam perjalanan menuju masjid Kufah, ia terkena hantaman pedang beracun di dahinya.26 Untuk sementara dalam beberapa bulan Hasan bin Ali meneruskan tugas-tugas ayahnya dalam memimpin. Namun karena Hasan lemah dan Muawiyah sangat kuat, dibuatlah suatu perjanjian damai yang akhirnya mempersatukan seluruh kaum muslimin dalam satu kepemimpinan politik dibawah Muawiyah. Perjanjian ini mengakibatkan Muawiyah menjadi penguasa absolut dalam Islam. Tahun persatuan ini disebut ‘Am al-Jama’ah yang terjadi pada 41 H/ 661 M. Dengan demikian berakhirlah kepemimpinan Khulafa Al-Rasyidin sekaligus dimulai kekuasaan Bani Umayyah dalam sejarah Islam.27 4. Wacana serta Respon Penegakkan Khilafah Di Indonesia a. Konsep Khilafah Menurut HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) Dalam kitab-kitab fiqih dan ushuluddin, Khilafah disebut juga dengan istilah Imamah. Imam Nawawi menegaskan dalam kitabnya Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab (Juz 15 hlm. 517), bahwa Imamah atau Khilafah atau Imarah Al Mukminin adalah sinonim (mutaradif).Banyak
25
Nurhakim. Sejarah…,51-52. Philip Hitti, History of Arab (London: The Mac Milan Press, 1974), 182. 27 Nurhakim. Sejarah.,….52 26
21
definisi tentang Khilafah. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) adalah sebagai berikut :28 دُّ ْلن َا ِخ َا َاا ِخ َا ْل َا ِخا َّم َا َا ْلا ِخ دَّم ْل َا ِخ،ل ْل ِخ ِخ ْلا َا ِخا ِخ
ا ٌة َا َّما ٌة ِخ ْل ُةا ْلا ِخ ِخا ْل َا َا ِخا ْل ًا ِخ َا ْل ِخ َا َا ُة ِخ َا ِخ َا َا ِخ ْلا َا ِخا َّم ِخ إِخ َاى ْل َا َا ِخا
‚Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.‛ Dari definisi Khilafah di atas, dapat dipahami tiga poin penting :
Pertama, bahwa Khilafah itu adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia. Jadi Khilafah bukan kepemimpinan khusus (ri`asah khashash), seperti kepemimpinan seorang wali (gubernur) di suatu wilayah (propinsi), atau seperti kepemimpinan khusus pada bidang tertentu, misalnya kepemimpinan seorang Qadhi Qudhat dalam bidang peradilan Islam (Al Qadha`). Dapat dipahami juga Khilafah adalah institusi politik pemersatu umat Islam, sebab kepemimpinan Khilafah bersifat umum bagi umat Islam seluruh dunia, tanpa melihat lagi batas-batas negara-bangsa (nation state) yang ada sekarang ini. Kedua, bahwa fungsi pertama Khilafah adalah menerapkan Syariah Islam dalam segala aspek kehidupan, baik itu politik (pemerintahan), ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, politik luar negeri, dan sebagainya. Penerapan syariah ini adalah politik dalam negeri dari negara Khilafah. Ketiga, bahwa fungsi kedua Khilafah adalah mengemban (menyebarkan) dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode untuk mengemban dakwah ini adalah dengan menjalankan jihad fi sabilillah ke
28
https://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/13/empat-pilar-negara-khilafah/ di akses 28 Spetember, 23:00 WIB
22
negara-negara lain. Mengemban dakwah dengan jalan jihad fi sabilillah inilah yang menjadi dasar politik luar negeri dari negara Khilafah.[ Maka dari itu, dengan keberadaan Khilafah, akan dapat terwujud paling tidak 3 (tiga) hal sbb; pertama, persatuan umat dalam satu negara, yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Ali ‘Imran : 103). Kedua, penerapan syariah Islam secara menyeluruh (kaaffah), yang telah diwajibkan Islam (lihat misalnya QS Al Baqarah : 208; QS Ali ‘Imran : 85). Ketiga, penyebarluasan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia dan seluruh alam, yang menjadi karakter agama Islam (lihat misalnya QS Al Anbiya` : 107). Sebaliknya, dengan tiadanya Khilafah, akan terjadi keburukan dan dosa bagi umat Islam paling tidak dalam 3 (tiga) hal sbb; Pertama, umat Islam akan terpecah belah dan tercerai berai, seperti kenyataan sekarang yang terpecah menjadi 50-an negara lebih. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi kafir penjajah atas umat Islam (QS An Nisaa` : 141). Kedua, syariah Islam tidak dapat diterapkan secara menyeluruh, tapi hanya sebagiannya saja. Hal ini menimbulkan kondisi yang tidak dibenarkan Islam, yaitu dominasi hukum non Islam (hukum jahiliyah) atas umat Islam (QS Al Maaidah : 50). Ketiga, karakter agama Islam sebagai agama dan rahmat bagi seluruh umat manusia tidak dirasakan lagi. Yang dirasakan adalah kebalikannya, yaitu penderitaan dalam segala bidang akibat dominasi kapitalisme yang menindas dan menghisap umat manusia di seluruh dunia. Kondisi buruk ini tak dibenarkan Islam (QS Thahaa : 123-125).
23
b. Dalil Kewajiban Menegakkan Khilafah Presfektif HTI Para ulama menerangkan bahwa dalil-dalil kewajiban Khilafah ada 4 (empat), yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah.29 Dalil Al Qur`an, antara lain firman Allah SWT : ا َ أَ ِذ ييُن ْا َّل ال ُن َو َ أ ُن ْا ِذاي ا َ ْاآ ِذل ِذآ ُنن ْا َ يَا أَيُّهَا اَّل ِذ ييَ َآ ُن ْا أَ ِذ ييُن ْا َهّلل ‚Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-NYa, dan Ulil Amri di antara kamu.‛ (QS An-Nisaa` : 59) Wajhul Istidlal (cara penarikan kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah, ayat ini telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati Ulil Amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah). Perintah untuk mentaati Ulil Amri ini adalah dalil wajibnya mengangkat Ulil Amri, sebab tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk mentaati sesuatu yang tidak ada. Dengan kata lain, perintah mentaati Ulil Amri ini berarti perintah mengangkat Ulil Amri. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang Imam (Khalifah) bagi umat Islam adalah wajib hukumnya. Dalil Al Qur`an lainnya, adalah firman Allah SWT َ فَاحْا ُنن بَ ْاي َ ُنه بِذ َآا أ َ َن َو َهّللاُن َ َ َ َّلبِذ ْا أ َ ْاء َ ا ُنء ْا ع َّلآا َ ااءَ ِذآيَ ْاا َح َهّلل ِذ ‚Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.‛ (QS Al Maidah : 48) Wajhul Istidlal dari ayat ini adalah, bahwa Allah telah memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberikan keputusan hukum di antara kaum muslimin dengan apa yang diturunkan Allah (Syariah Islam). Kaidah ushul fiqih menetapkan bahwa perintah kepada 29
Ibid.,..
24
Rasulullah SAW hakikatnya adalah perintah kepada kaum muslimin, selama tidak dalil yang mengkhususkan perintah itu kepada Rasulullah SAW saja. Dalam hal ini tak ada dalil yang mengkhususkan perintah ini hanya kepada Rasulullah SAW, maka berarti perintah tersebut berlaku untuk kaum muslimin seluruhnya hingga Hari Kiamat nanti. Perintah untuk menegakkan Syatiah Islam tidak akan sempurna kecuali dengan adanya seorang Imam (Khalifah). Maka ayat di atas, dan juga seluruh ayat yang memerintahkan berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, hakikatnya adalah dalil wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), yang akan menegakkan Syariah Islam itu. Al Qur`an lainnya, adalah ayat-ayat yang memerintahkan qishash (QS Al Baqarah : 178), hudud (misal had bagi pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38), dan ayat-ayat lainnya yang pelaksanaannya bergantung pada adanya seorang Imam (Khalifah). Ayat-ayat semisal ini, berarti adalah dalil untuk wajibnya mengangkat seorang Imam (Khalifah), sebab pelaksanaan ayat-ayat tersebut bergantung pada keberadaan Imam itu. Dalil As Sunnah, banyak sekali, antara lain sabda Nabi SAW : آي آات ايس في ع قه بيية آات آي ة اءلية ‚Barangsiapa yang mati sedangkan di lehernya tidak ada baiat (kepada seorang imam/khalifah), maka matinya adalah mati jahiliyah.‛ (HR Muslim, no 1851). Dalalah (penunjukkan makna) dari hadis di atas jelas, bahwa jika seorang muslim mati jahiliyyah karena tidak punya baiat, berarti baiat itu wajib hukumnya. Sedang baiat itu tak ada kecuali baiat kepada seorang imam (khalifah). Maka hadis ini menunjukkan bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) itu wajib hukumnya. Dalil lain dari As Sunnah misalnya sabda Nabi SAW :
25
إ خلج أحدء ثالثة في فل فليؤآل ‚Jika ada tiga orang yang keluar dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang dari mereka untuk menjadi amir (pemimpin).‛ (HR Abu Dawud). Imam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa jika Islam mewajibkan pengangkatan seorang amir (pemimpin) untuk jumlah yang sedikit (tiga orang) dan urusan yang sederhana (perjalanan), maka berarti Islam juga mewajibkan pengangkatan amir (pemimpin) untuk jumlah yang lebih besar dan untuk urusan yang lebih penting. (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hlm. 11) Dengan demikian, untuk kaum muslimin yang jumlahnya lebih dari satu miliar seperti sekarang ini, dan demi urusan umat yang lebih penting dari sekedar perjalanan, seperti penegakan hukum Syariah Islam, perlindungan umat dari penjajahan dan serangan militer kafir penjajah, maka mengangkat seorang Imam (Khalifah) adalah wajib hukumnya. Adapun dalil Ijma’ Shahabat, telah disebutkan oleh para ulama, misalnya Ibnu Khaldun sebagai berikut : به في اشلع بإ آاع اصحابة ا ابييي
قد علف، ب
صب إلآا
‚Mengangkat seorang imam (khalifah) wajib hukumnya, dan kewajibannya dapat diketahui dalam Syariah dari ijma’ (kesepakatan) para shahabat dan tabi’in…‛ (Ibnu Khaldun, Muqaddimah, hlm. 191). Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata : ا ب ة نآي قل ض بيد إلآا صب أي على أ آي عليه هللا لض ي اصحابة أي أيضًا عل ب
، يل ه بو
بات أء
و دفي عي به ش غل حيث ا
هللا ل
‚Ketahuilah juga, bahwa para shahabat -semoga Allah meridhai mereka- telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah berakhirnya zaman kenabian adalah wajib, bahkan mereka
26
menjadikannya sebagai kewajiban paling penting ketika mereka menyibukkan diri dengan kewajiban itu dengan meninggalkan kewajiban menguburkan jenazah Rasulullah SAW.‛ (Ibnu Hajar Al Haitami, As Shawa’iqul Muhriqah, hlm. 7). Adapun dalil Qaidah Syar’iah, adalah kaidah yang berbunyi : ب
ب إ به فه
ا
آا ي
‚Jika suatu kewajiban tidak terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya. Sudah diketahui bahwa terdapat kewajiban-kewajiban syariah yang tidak dapat dilaksanakan secara sempurna oleh individu, seperti kewajiban melaksanakan hudud, seperti hukuman had bagin pelaku zina dalam QS An Nuur : 2; atau hukuman had bagi pencuri dalam QS Al Maidah : 38, kewajiban jihad untuk menyebarkan Islam, kewajiban memungut dan membagikan zakat, dan sebagainya. Kewajibankewajiban ini tak dapat dan tak mungkin dilaksanakan secara sempurna oleh individu, sebab kewajiban-kewajiban ini membutuhkan suatu kekuasaan (sulthah), yang tiada lain adalah Khilafah. Maka kaidah syariah di atas juga merupakan dalil wajibnya Khilafah. Berdasarkan penjelasan di atas, Khilafah hukumnya wajib berdasarkan 4 (empat) dalil, yaitu : Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qaidah Syar’iyyah. Khilafah mempunyai empat pilar (qaidah) yang mutlak wajib ada demi keberadaan dan kelangsungan keberadaan Khilafah. Jika salah satu pilar ini tidak ada, berarti Khilafah tidak ada atau telah berubah menjadi bentuk negara atau sistem pemerintahan lain yang tidak Islami. Kedudukan empat pilar ini seperti halnya rukun-rukun shalat, yang jika salah satu rukun itu tidak ada, maka shalatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT
27
c. Respon Adanya Wacana Penegakkan Khilafah Di Indonesia Sebagai bangsa yang majemuk, baik segi Budaya, suku, bahasa dan agama bangsa Indonesia, telah memberikan ruang itu semua dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghargai kebinekaan, sehingga berdsarkan hal tersebut kelompok yang bercitacita untuk menegakkan khilafah dengan konsep kesatuan politik tunggal bagi seluruh warga Muslim adalah sebuah utopia belaka, realitas kaum muslim diberbagai kawasan dengan berbagai budaya serta wilayah geografis yang berbeda, serta dengan sejarah yang berbeda, oleh karennaya membangkitkan sistem khilafah semenjak runtuhnya dinasti ottoman 1924 selalu menemui kegagalan. Kita
menyadari
memang
sangat
penting
adanaya
seorang
imamah atau khilafah dalam Islam yang sesuai manhaj nubuwah, tetapi dalam fakta sejarah Islam tidak menetapkan nama dan bentuk
pemerintahan tertentu,
bukanlah nama terpenting
yang
adalah
sakral
hakikat
jadi
sebenarnya nama
dan kultus serta
dalam
tujuanya
Khilafah
agama,
untuk
yang
menjamin
keberlangsungan agama dan kemaslahatan ummat. Legitimasi
terhadap
dalil
yang
digunakan
oleh
wacana
penegakakn Khilafah baik Al-Qur’an ataupun Hadits, megalamai kerancuan di dalam penafsiran yang kemudian menjadi Truth
Claim untuk melegalkan gagasanaya tersebut, penafsiran yang demikian menurut Muhammad Zaki Abdul Qadir dikategorikan Tafsir jahat. Artinya bahwa penfasiran tersebut bukan diniati untuk
ilmu
pengetrahuan
dan
memahami
Al-Qur’an,
namun
dibarengi oleh beberapa kepentingan kelompok mereka.30 Terkait dengan ayat Al-Nisa’ yat ke 49, diceritakan oleh Imam 30
Syuthi
bahwa
Makmun Rasyid, Hizbut Compas:Tangerang 2016), 2
Tahrir
Asabab Indonesia
An-nuzul gagal
dari
paham
ayat
tersebut
Khilafah
(Pustaka
28
berkenaan dengan kasus Abdullah Bin Hudzafah saat memimpin rombongan
pasukan,
peperangan
dengan
kemudian mengutarakan
dia
marah
aba-aba
dan ‚Serang‛
memulai namun
sebagain dari pasukanya tidak mengindakan hal tersebut, dalam kata Ulil Amri sebenarnya tidak mengidentifikasi bahwa harus seorang khilafah, melainkan
yang dimaksud Ulil Amri dalam
ayat tersebut adalah kepemimpinan secara umum yang membawa kemaslahatan dan tidak melanggar hak-hak Allah Swt.31
\
31
Ibid, 57.
29
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Dari pembahasan di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan sebagai berikut : 1. Khilafah adalah system dari sebuah khalifah sedangkan pengertian khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW (570–632, yang memiliki tugas untuk menurusi urusan ummat baik yang beurusan dibidang dunia atau agama, sehingga seorang khalifah memilikis ebuah jabatan yang penting karena memiliki sebuah kekuasaan untuk mengatur urusan ummat. 2. Pemilihan Khalifah atau khulafaur Rasyidin dari ke empat khalifah terjadi perbedaan di masing-masing proses pemilihanya, Abu Bakar di[ilih memalui musyawarah mufakat, Umar ditunjuk oleh Khalifah sebelumnya, Utsman dipilih melaui perwakilan majelis syuro yang ditentukan oleh khalifah sebelumnya, Ali Bin Abi Thalib terpilih melaui biat oleh pra sahabat.
30
DAFTAR PUSTAKA
Hitti, Philip, History of Arab , London: The Mac Milan Press, 1974 Ibrahim, Hasan. Tarikh al-Islam. jilid 1V, Kairo: Maktabah al-Nahdhah alMisriyah,1967. Kaldu, Abd al-Rahman Ibn n, Muqaddimat, Da>r al-Fikr, t.tp., t.t. Mahmudinnas, Syedi, Islam in Concept and History, Bandung: Rosdakarya,1998. Najjar, Abd Al Wahidal, Al-khulafaur Rasyidin , Dar al Kutub-Ilmiah:Beirut1990. Nasution, Harun. Islam di Tinjau dari Berbagai Aspeknya., Jakarta: UI Press, 1986 Pulungan,
J.Suyuthi,
Fiqh
Siyasah:Ajaran,
Sejarah
dan
Pemikiran
Jakarta:RajaGarfindo Persada,1997. Rasyid, Makmun, Hizbut Tahrir Indonesia gagal paham Khilafah (Pustaka Compas:Tangerang, 2016. Saebani,
Beni
Ahmad,
Fiqh
Siyasah
Pengantar
Ilmu
Politik
Islam
Bandung:Pustaka Setia, 2008. https://hizbut-tahrir.or.id/2012/06/13/empat-pilar-negara-khilafah/ di akses 28 Spetember, 23:00 WIB
31