Klasifikasi Reaksi Transfusi Darah A. Pengertian Pengertian Reaksi Transfusi darah
Reaksi transfusi merupakan semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita, yang timbul selama atau setelah transfusi darah dilakukan. Reaksi transfusi bisa segera terjadi setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan. Risiko atau reaksi transfusi darah sebagai akibat langsung transfusi merupakan bagian situasi klinis yang kompleks. Jika suatu operasi dinyatakan potensial menyelamatkan nyawa hanya bila didukung dengan transfusi darah, maka keuntungan dilakukannya transfusi jauh lebih tinggi daripada risikonya. Sebaliknya, transfusi yang dilakukan pasca bedah pada pasien yang stabil hanya memberikan sedikit keuntungan klinis atau sama sekali tidak menguntungkan. Dalam hal ini, risiko akibat transfusi yang didapat mungkin tidak sesuai dengan keuntungannya. Risiko transfusi darah ini dapat dibedakan atas reaksi cepat, reaksi lambat, penularan penyakit infeksi dan risiko transfusi masif. 1. Reaksi Akut Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam akibat akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pirogen dan/ atau bakteri. Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan dis-pnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20% tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri, syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akut akibat transfusi.
Hemolisis intravaskular akut
Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel darah merah. Antibodi da-lam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel han-ya sedikit (10-50 ml) namun sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang inkom-patibel maka akan semakin meningkatkan risiko. Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat kesalahan dalam per-mintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identi-tas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan an-tigen golongan darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem Idd, Kell atau Duff y. Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul da-lam beberapa menit awal transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan pasien di-lakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah.
Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associ-ated acute lung injury = TRALI) Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru bi asanya timbul dalam 1-4 jam se-jak awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuram an yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
2. Reaksi Lambat
Reaksi Hemolitik Lambat Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi dengan gejala dan tanda demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi. Pencegahan dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium antibodi sel darah merah dalam plasma pasien dan pemilihan sel darah
kompatibel dengan antibodi tersebut. Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial membahayakan pada transfusi sel darah merah atau trombosit. Hal ini disebabkan adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien. Lebih banyak terjadi pada wanita. Gejala dan tanda yang timbul adalah perdarahan dan adanya trombositopenia berat akut 510 hari setelah transfusi yang biasanya terjadi bila hitung trombosit <100.000/uL. Penatalaksanaan penting terutama bila hitung trombosit ≤50.000/uL dan perdarahan yang tidak terlihat dengan hitung trombosit 20.000/ uL. Pencegahan dilakukan dengan memberikan trombosit yang kompatibel dengan antibodi pasien.
Kelebihan besi Pasien yang bergantung pada transfusi berulang dalam jangka waktu panjang akan mengalami akumulasi besi dalam tubuhnya (hemosiderosis). Biasanya ditandai dengan gagal organ (jantung dan hati). Tidak ada mekanisme fisiologis untuk menghilangkan kelebihan besi. Obat pengikat besi seperti desferioksamin, diberikan un-tuk meminimalkan akumulasi besi dan mempertahankan kadar serum feritin <2.000 mg/l.
3. Penularan Infeksi Risiko penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit darah. Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C, hepatitis B dan virus human T-cell lympho-tropic (HTLV). Model ini berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat window period (periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudah infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).
Transmisi HIV Penularan HIV melalui transfusi darah pertama kali diketahui pada akhir tahun 1982 dan awal 1983. Pada ta-hun 1983 Public Health Service (Amerika Serikat) mer-ekomendasikan orang yang berisiko tinggi terinfeksi HIV untuk tidak menyumbangkan darah. Bank darah juga mulai menanyakan kepada donor mengenai berbagai pe-rilaku berisiko tinggi, bahkan sebelum skrining
antibodi HIV dilaksanakan, hal tersebut ternyata telah mampu mengurangi jumlah infeksi HIV yang ditularkan melalui transfusi. Berdasarkan laporan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) selama 5 tahun pengamatan, hanya mendapatkan 5 kasus HIV/tahun yang menular melalui transfusi setelah dilakukannya skrining antibodi HIV pada pertengahan maret 1985 dibandingkan dengan 714 kasus pada 1984.
Penularan virus hepatitis B dan virus hepatitis C Penggunaan skrining antigen permukaan hepatitis Bpada tahun 1975 menyebabkan penurunan infeksi hepa-titis B yang ditularkan melalui transfusi, sehingga saat ini hanya terdapat 10% yang menderita hepatitis pasca trans-fusi. Makin meluasnya vaksinasi hepatitis B diharapkan mampu lebih menurunkan angka penularan virus hepatitis B. Meskipun penyakit akut timbul pada 35% orang yang terinfeksi, tetapi hanya 1-10% yang menjadi kronik. Transmisi infeksi virus hepatitis non-A non-B sangat berkurang setelah penemuan virus hepatitis C dan dilakukan-nya skrining anti-HCV. Risiko penularan hepatitis C mela-lui transfusi darah adalah 1:103.000 transfusi. Infeksi virus hepatitis C penting karena adanya fakta bahwa 85% yang terinfeksi akan menjadi kronik, 20% menjadi sirosis dan 1-5% menjadi karsinoma hepatoselular. Mortalitas akibat sirosis dan karsinoma hepatoselular adalah 14,5% dalam ku-run waktu 21-28 tahun.22 Prevalensi hepatitis B di Indonesia adalah 3-17% dan hepatitis C 3,4% sehingga perlu dilakukan skrining hepatitis B dan C yang cukup adekuat.
Kontaminasi Bakteri Kontaminasi bakteri mempengaruhi 0,4% konsentrat sel darah merah dan 1-2% konsentrat trombosit.1 Kontaminasi bakteri pada darah donor dapat timbul sebagai hasil paparan terhadap bakteri kulit pada saat pengambilan darah, kontaminasi alat dan manipulasi darah oleh staf bank darah atau staf rumah sakit pada saat pelaksanaan transfusi atau bakteremia pada donor saat pengambilan darah yang tidak diketahui. Jumlah kontaminasi bakteri meningkat seiring dengan lamanya penyimpanan sel darah merah atau plasma sebe-lum transfusi. Penyimpanan pada suhu kamar mening katkan pertumbuhan hampir semua bakteri. Beberapa organisme, seperti Pseudomonas tumbuh pada suhu 2-6°C dan dapat bertahan
hidup atau berproliferasi dalam sel darah merah yang disimpan, sedangkan Yersinia dapat berproliferasi bila disimpan pada suhu 4°C. Stafilokok tumbuh dalam kondisi yang lebih hangat dan berproliferasi dalam konsentrat trombosit pada suhu 20-40°C. Oleh karena itu risiko meningkat sesuai dengan lamanya penyimpanan.1,22 Gejala klinis akibat kontaminasi bak-teri pada sel darah merah timbul pada 1: 1 juta unit transfusi. Risiko kematian akibat sepsis bakteri timbul pada 1:9 juta unit transfusi sel darah merah. Di Amerika Serikat selama tahun 1986-1991, kontaminasi bakteri pada komponen darah sebanyak 16%; 28% di antaranya berhubung an dengan transfusi sel darah merah. Risiko kontaminasi bakteri tidak berkurang dengan penggunaan transfusi darah autolog.
Kontaminasi Parasit Kontaminasi parasit dapat timbul hanya jika donor menderita parasitemia pada saat pengumpulan darah. Kri-teria se leksi donor berdasarkan riwayat bepergian terakhir, tempat tinggal terdahulu, dan daerah endemik, sangat mengurangi kemungkinan pengumpulan darah dari orang yang mungkin menularkan malaria, penyakit Chagas atau leismaniasis.
4. Transfusi Darah Masif Transfusi masif adalah penggantian sejumlah darah yang hilang atau lebih banyak dari total volume darah pasien dalam waktu <24 jam (dewasa: 70 ml/kg, anak/ bayi: 80-90 ml/kg). Morbiditas dan mortalitas cenderung meningkat pada beberapa pasien, bukan disebabkan oleh banyaknya volume darah yang ditransfusikan, tetapi karena trauma awal, kerusakan jaringan dan organ akibat perdarahan dan hipovolemia. Seringkali penyebab dasar dan risiko akibat perdarahan mayor yang menyebabkan komplikasi, dibandingkan dengan transfusi itu sendiri. Namun, transfusi masif juga dapat meningkatkan risiko komplikasi.
Hiperkalemia Penyimpanan darah menyebabkan konsentrasi kalium ekstraselular meningkat, dan akan semakin meningkat bila semakin lama disimpan.
Keracunan Sitrat dan Hipokalsemia Keracunan sitrat jarang terjadi, tetapi lebih sering terjadi pada transfusi darah lengkap masif. Hipokalsemia terutama bila disertai dengan hipotermia dan asidosis dapat menyebabkan penurunan curah jantung (cardiac output),
bradikardia dan disritmia lainnya. Proses metabolisme sitrat menjadi bikarbonat biasanya berlangsung cepat, oleh karena itu tidak perlu menetralisir kelebihan asam.
Kekurangan fibrinogen dan faktor koagulasi Plasma dapat kehilangan faktor koagulasi secara pro-gresif selama penyimpanan, terutama faktor V dan VIII, kecuali bila disimpan pada suhu 25°C atau lebih rendah. Pengenceran (dilusi) faktor koagulasi dan trombosit terjadi pada transfusi masif.
Kekurangan Trombosit Fungsi trombosit cepat menurun selama penyimpanan darah lengkap dan trombosit tidak berfungsi lagi setelah disimpan 24 jam.
DIC DIC dapat terjadi selama transfusi masif, walaupun hal ini lebih disebabkan alasan dasar dilakukannya transfusi (syok hipovolemik, trauma, komplikasi obstetrik). Terapi ditujukan untuk penyebab dasarnya.
Hipotermia Pemberian cepat transfusi masif yang langsung berasal dari pendingin menyebabkan penurunan suhu tubuh yang bermakna. Bila terjadi hipotermia, berikan perawatan selama berlangsungnya transfusi.
Mikroagregat Sel darah putih dan trombosit dapat beragregasi dalam darah lengkap yang disimpan membentuk mikroagregat. Selama transfusi, terutama transfusi masif, mikroagregat ini menyebabkan embolus paru dan sindrom distress pernapasan. Penggunaan buffy coat-depleted packed red cell akan menurunkan kejadian sindrom tersebut.