KOHESI GRAMATIKAL
Pada Cerpen
"Sepotong Cinta Dalam Diam"
karya Asma Nadia
Oleh :
Linda Ayuningtyas Nim. 2222131142
Kelas 3A
Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Sebagai alat komunikasi, bahasa tidak dirinci dalam bentuk bunyi, frasa, ataupun kalimat secara terpisah-pisah, melainkan bahasa dipakai dalam wujud kalimat yang saling berkaitan. Kalimat pertama menyebabkan timbulnya kalimat kedua, kalimat kedua menjadi acuan kalimat ketiga, kalimat ketiga mengacu kembali ke kalimat pertama dan seterusnya. Rangkaian kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain itu membentuk kesatuan yang dinamakan wacana (Alwi, 1993:471). Tarigan (1987:27) juga mengatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi, berkesinambungan, mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis serta sebuah wacana dapat dikatakan yang ideal apabila wacana tersebut mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan kepaduan atau kohesi. Di samping itu, juga dibutuhkan keteraturan susunan yang menimbulkan koherensi.
Berkenaan dengan masalah kohesi Kohesi (cohesion) memiliki kedudukan yang amat penting dalam wacana kohesi adalah salah satu unsur wacana yang berfungsi sebagai pengantar jaringan unsur-unsur tersebut sehingga membentuk wacana yang utuh. Jika jaringan itu berupa jaringan semantik, kohesilah yang merupakan relasi semantik yang membentuk jaringan tersebut. Bila jaringan itu berupa jaringan gramatikal, kohesi berfungsi sebagai pengatur relasi gramatikal bagian-bagian wacana. Di samping itu, jika jaringan-jaringan itu mengarah ke kesatuan topik (topic unity), kohesilah yang bertugas menjaga kesinambungan topik (topic continuity). Oleh karena itu, kohesi adalah salah satu sarana pembangun keutuhan wacana.
Adapun pada makalah ini akan mendalami mengenai kohesi gramatikal yang terdapat dalam wacana yang berupa cerita pendek yang berjudul "Sepotong Cinta Dalam Diam" karya Asma Nadia. Cerpen sebagai suatu karya sastra yang relatif pendek, dengan hanya beberapa halaman, dengan kalimat-kalimat realis yang sederhana, terbukti sanggup membuktikan kosmos suatu kondisi dengan tampilan yang utuh. Begitu pula konflik internal yang dibangun pada unsur-unsur kohesif yang membentuk wacana cerpen, lewat penggambaran tokoh, adegan, dialog-dialog yang diucapkan para tokoh, pun ternyata mampu membangun suatu kesatuan yang padu.
Identifikasi Masalah
Adapun pokok masalah dalam pembahasan makalah mengenai Kohesi Gramatikal dalam ruang lingkup cerpen berjudul "Sepotong Cinta Dalam Diam" karya Asma Nadia adalah untuk mengetahui lebih spesifik dan jelas mengenai kohesi gramatikal yang terdapat pada cerpen tersebut.
Pembatasan Masalah
Mengingat pembatasan masalah dalam penyusunan makalah ini sangatlah penting supaya permasalahan yang dipaparkan tidak menyimpang dari suatu masalah yang berhubungan dengan judul penelitian yang dianggap penting seharusnya diketahui, dipahami, dan dapat menambah ilmu pengetahuan serta wawasan tentang kohesi gramatikal yang terdapat pada wacara yang berupa cerpen, yakni cerpen sepotong cinta dalam diam karya Asma Nadia.
Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian berdasarkan latar belakang di atas adalah :
Apa yang dimaksud dengan kohesi gramatikal?
Apa yang dimaksud dengan cerpen?
Apakah terdapat hal-hal yang merupakan kohesi gramatikal dalam cerpen sepotong cinta dalam diam?
Tujuan Penelitian
Adapun manfaat yang ingin dicapai penulis dalam penelitian makalah ini adalah:
Untuk memberikan pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan kohesi dan kohesi gramatikal;
Untuk memberikan pengetahuan mengenai apa yang dimaksud dengan cerpen;
Untuk menambah pengetahuan mengenai pembahasan kohesi, khususnya kohesi gramatikal dalam cerpen.
Manfaat Penelitian
Adapun hasil dari penelitian kohesi gramatikal pada cerpen ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.
1. Untuk dapat menambah wawasan bagi peneliti bahasa dalam mengkaji kepaduan suatu wacana dari aspek gramatikal dan leksikal yang mendukungnya.
2. Hasil kajian ini diharapkan dapat membantu pemahaman mengenai posisi kohesi di dalam wacana dan keterkaitannya dengan konteks.
3. Hasil kajian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa pengetahuan dalam menciptakan sebuah wacana yang utuh dan padu melalui penanda kohesi gramatikal.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengkaji tentang kepaduan wacana yang ditinjau dari aspek gramatikal yang melatarbelakangi wacana cerita pendek. Adapun metode yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Metode deskriptif adalah proses pemecahan masalah yang diselidiki.
Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah satuan lingual berupa kalimat yang mendukung kepaduan dan keutuhan wacana cerpen "Sepotong Cinta dalam diam" karya Asma Nadia ditinjau dari kohesi gramatikal berupa referensi. Sumber data dari penelitian ini adalah cerpen berjudul "Sepotong Cinta dalam diam" karya Asma Nadia dalam buku kumpulan cerita pendek berjudul Cinta Laki-laki Biasa.
BAB II
PEMBAHASAN
Landasan Teori
Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa diatas tataran kalimat yang digunakan untuk bisa berkomunikasi dalam konteks sosial. Wacana juga bisa berbentuk lisan atau tulis dan bersifat transaksional atau interaksional. Analisis wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Elemen-elemen wacana yaitu unsur-unsur pembentuk teks wacana dan elemen-elemen tersebut harus tersusun secara terstruktur atau sistematis.
Selanjutnya, berkenaan dengan masalah kohesi, Halliday dan hasan (1976:6) membagi kohesi menjadi dua jenis, yaitu kohesi gramatikal (grammatical cohesion) dan kohesi leksikal (lexical cohesion). Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana sedangkan segi makna atau struktur batin wacana disebut aspek leksikal wacana.
Pengacuan (referensi) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau yang mengikutia. Dalam jenis kohesi gramatikal referensi ini dibagi atas tiga macam yaitu pengacuan persona, pengacun demonstrative, dan pengacuan komparatif.
Cook (1989: 56) menyebut tiga hal yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti partisipan dalam bahasa, situasi dimana teks tersebut diproduksi. Wacana disini, kemudian dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Pendapat tersebut sejalan dengan pernyataan Harimurti (2008: 204) bahwa wacana atau dalam Bahasa Inggrisnya ialah 'Discourse' merupakan satuan bahasa yang lengkap, yaitu dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi ataupun terbesar. Selanjutnya, Kridalaksana (2008:334) juga mempertegas bahwa dalam satuan kebahasaan, kedudukan wacana berada pada posisi besar dan paling tinggi. Hal ini disebabkan wacana-sebagai satuan gramatikal dan sekaligus objek kajian linguistikmengandung semua unsur kebahasan yang diperlukan dalam segala bentuk komunikasi.
Berdasarkan beberapa definisi dan pernyataan tersebut, jelas bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Namun, wacana pada dasarnya juga merupakan unsur bahasa yang bersifat pragmatis. Apalagi pemakaian dan pemahaman wacana dalam komunikasi memerlukan berbagai alat (piranti) yang cukup banyak. Oleh karena itu, kajian tentang wacana menjadi wajib ada dalam proses pembelajaran bahasa. Tujuanya, tidak lain, untuk membekali pemakai bahasa agar dapat memahami dan memakai bahasa dengan baik dan benar.
Teori Gramatikal
Teori yang digunakan dalam pemecahan masalah adalah teori kohesi yang dikembangkan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan dalam bukunya berjudul Cohesion in English (1976). Kohesi adalah alat untuk menyatakan adanya kepaduan di dalam suatu wacana atau paragraf, dan paragraf merupakan tataran di atas kalimat (Riana, 1985:71). Selanjutnya, Halliday dan Hasan (1976:1) mengatakan bahwa teks adalah pemakaian bahasa baik lisan maupun tulisan, dalam bentuk prosa maupun puisi, dalam dialog maupun monolog yang membentuk satu kesatuan gagasan. Teks inilah yang sering disebut dengan wacana. Kohesi muncul jika penafsiran tertentu di dalam sebuah teks sangat bergantung pada penafsiran unsur yang lain di dalam teks yang sama.
Kohesi adalah konsep semantik seperti apa yang dikemukakan oleh M.A.K Halliday dan Ruqaiya Hasan (1976:4) yang dikutip oleh Riana (1989:5) sebagai berikut.
The concept of cohesion is semantic one: it refers to relation of meaning that exist within the text, and that define it as text. Cohesion occur where the Interpretation of some element in the discourse is dependent on that of another. The one presupposes the order, in the sense that it cannot be effectively decoded except by recourse to it. When this happens, a relation of cohesion is setup, and two elements the presuppotion of cohesion is set up, and two element the presuuppotion and the presupposed, are there by least potentially intergrated into text.
"Kohesi adalah sebuah konsep semantik, yang mengacu pada hubungan semantik, yang hadir di dalam teks, dan yang menentukannya sebagai sebuah teks. Kohesi terjadi jika penafsiran unsur-unsur di dalam wacana tergantung pada penafsiran-penafsiran yang lain. Unsur yang dipraanggapkan kepada unsur yang lain, dalam pengertian bahwa unsur itu tidak dapat disusun secara baik kecuali dengan unsur lainnya. Bila hubungan ini terjadi, maka terjadilah hubungan kohesi, dan dua unsur yang mempraanggapkan dan yang dipraanggapkan paling tidak secara potensial sudah terangkum di dalam teks". Halliday dan Hasan (1976) membedakan kohesi menjadi dua, yaitu :
Kohesi gramatikal (grammatical cohesion).
Kohesi gramatikal yakni meliputi penunjukan (reference), penggantian (substitution), dan pelesapan (ellipsis); dan
Kohesi leksikal (lexical cohesion).
Kohesi leksikal meliputi perpaduan leksikal (lexical cohesion), Penghubung (conjuction) terleletak antara keduanya, baik secara kohesi leksikal maupun secara kohesi gramatikal.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa penunjukan dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu ekseforis (exophora), yaitu menunjuk sesuatu yang berada di luar teks (sejalan dengan situasi), dan endoforis (endophora) menunjuk sesuatu yang berada di dalam teks. Tipe endoforis ini dibedakan menjadi tiga, yaitu persona, demonstratif, dan komparatif.
Halliday dan Hassan (1979) membagi alat kohesi gramatikal menjadi empat macam, yaitu:
pengacuan (referensi);
penyulihan (subtitusi);
pelesapan (elipsis); dan
konjungsi.
Dalam bahasa Indonesia, kaitan gramatikal antar bagian wacana menurut Ekowardono (1985) dinyatakan dengan gejala atau fenomena:
pengurutan koordinatif dan subordinatif, baik secara eksplisit (dengan konjungsi) maupun secara implisit (tanpa konjungsi),
penggantian kata, frase, klausa, kalimat, dan paragraf atau wacana luas tertentu dengan pronomina,
pelesapan,
pembalikan urutan gatra kalimat (inversi), (5) pemasifan kalimat, (6) nominalisasi.
Berdasarkan dua pendapat di atas, kohesi gramatikal dapat berupa:
1) pengacuan,
2) penyulihan,
3) pelesapan,
4) konjungsi,
5) inversi,
6) pemasifan kalimat, dan
7) nominalisasi
Pengertian dan Hakikat Cerita Pendek
Edgar Allan Poe (Jassin 1961:72 dalam Nurgiantoro 2004:10) mengatakan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, kira-kira berkisar antara setengah sampai dua jam satu hal yang tak mungkin dilakukan bagi sebuah novel. Disebabkan oleh panjangnya maka kemungkinan besar pembaca dapat menyelesaikan pembacaannya dalam waktu yang relative singkat. Sedangkan Abrams (1993: 193) menyatakan bahwa hakikat cerpen menuntut pada tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar menjadi sebuah wacana yang utuh dan padu. Selain itu, aspek kontekstual juga sangat penting dalam memahami suatu cerita pendek. Masalah kohesi dan konteks sosial menyangkut masalah ketergantungan unsur-unsur dalam wacana.
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian cerpen adalah suatu cerita yang relatif pendek, singkat, jika dikaitkan dengan genre cerita hanya memiliki efek tunggal, dan bisa dibaca dalam sekali duduk serta pada hakikatya cerpen menuntut tingkat kohesi dan koherensi yang tinggi agar cerpen dapat menjadi sebuah wacana yang utuh dan padu.
Hasil Penelitian
Berdasarkan pengacuan dari perumusan makalah ini, pada pembahasan kali ini akan mengupas mengenai kohesi gramatikal dalam cerpen sepotong cinta dalam diam karya asma nadia, analisis wacana kohesi gramatikal tersebut meliputi: pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan konjungsi. Berikut ini adalah pemaparan aspek-aspek gramatikal yang dijumpai dalam cerpen "Sepotong cinta dalam diam".
Kohesi Gramatikal Pengacuan Persona
Persona dalam cerpen Sepotong cinta dalam diam direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang). Pronomina dapat dibagi atas pronomina persona (antara lain, saya, kamu, dan mereka). Pronomina aku, - ku, ku-, dan saya mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pronomina kami mengacu ke persona pertama yang jamak. Pronomina kita mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak. Pronomina kamu, -mu, engkau, kau- mengacu ke persona kedua. Pronomina (d)ia, -nya, beliau, dan mereka mengacu ke persona ketiga. Kata (d)ia digunakan jika acuannya tunggal. Bentuk –nya dapat mengacu ke persona ketiga tunggal jamak.
Pengacuan persona yang ditemukan pada data secara keseluruhan berjumlah 265, yang dinyatakan melalui pronomina persona seperti a) ku (orang pertama tunggal); b) kamu (orang kedua tunggal); c) ia, dia, nya (orang ketiga tunggal); d) mereka, kami (orang ketiga jamak). Pengacuan persona ini didominasi oleh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dari pada pronomina persona pada pengacuan endofora bersifat katafora .
Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora yang bersifat anafora yaitu apabila satuan lingual mengacu kepada satuan lingual lain yang mendahuluinya yang ditemukan dalam cerpen Sepotong cinta dalam diam.
Perempuan, Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan.
Bentuk (-Kau) termasuk persona II. Pemakaian (–kau) mengacu pada (perempuan), karena (perempuan) adalah orang yang dibicarakan. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
SEBUAH bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan keingintahuan yang besar.
Bentuk kata (-nya) termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Sebuah bingkisan dan sepucuk surat), karena (sebuah bingkisan dan sepucuk surat) adalah orang yang sedang dipandang oleh Dee. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Dee memandangnya dengan keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas
Bentuk kata (-nya) pada kata matanya dan mulutnya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Dee), karena (Dee) adalah orang yang sedang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya.
Bentuk kata (-nya) pada kata depannya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (pak pos tua), karena (pak pos tua) adalah orang yang sedang memberikan kiriman bingkisan dan berada didepan Dee, dan Dee mengaggumi pak pos tua tersebut sehinnga kata –nya pada kata depannya merujuk sebagai pengganti pak pos tua.. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat.
Bentuk kata (-nya) pada kata pekerjaannya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (lelaki itu), karena (lelaki itu) adalah orang yang sedang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan.
Bentuk kata (-nya) pada kata langkahnya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Dee), karena (Dee) adalah orang yang sedang melangkah masuk kedalam rumah yang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Lalu gadis berusia dua puluh tiga tahun itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa.
Bentuk kata (-nya) pada kata tangannya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (gadis berusia dua puluh tiga tahun), karena (gadis berusia dua puluh tiga tahun) adalah orang yang menjatuhkan paket yang berd ditangannya yang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya.
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun
Bentuk kata (-nya) pada kata penasarannya termasuk persona III. Pemakaian (–nya) mengacu pada (Dee), karena (Dee) adalah orang yang sedang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Andra dan Ita menekuk muka mereka
Bentuk kata (mereka) pada kata tersebut termasuk persona orang ketiga jamak. Pemakaian kata (mereka) mengacu pada (Andra dan Ita), karena (Andra dan Ita) adalah orang yang sedang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya.
Bentuk kata (dia) dan (-nya) pada kata kalimat tersebut termasuk persona III. Pemakaian (dia) dan (–nya) mengacu pada (lelaki itu), karena (lelaki itu) adalah orang yang sedang dibahas pada kalimat tersebut. Memiliki persona endofora yang bersifat anafora (karena mengacu kepada satuan lingual yang mendahuluinya).
Pengacuan berikutnya adalah pengacuan endofora yang bersifat katafora. Endofora yang bersifat katafora mayoritas unsur acuannya berada pada satu kalimat yang sama dengan unsur kohesinya. Berdasarkan analisis pada data diatas, yakni contoh pengacuan endofora yang bersifat anafora, dapat disimpulkan bahwa pengacuan persona endofora yang bersifat katafora pun didominasi oleh bentuk pronominal persona bentuk kata ganti orang pertama. Berikut ini contoh pengacuan persona berupa endofora yang bersifat katafora yaitu :
"Kita buka saja!" Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
Bentuk kata (Kita) mengacu ke persona pertama dan kedua sekaligus, karena itu, acuannya jamak. Pemakaian (kita) mengacu pada (Tiga gadis) dalam kalimat tersebut. hal tersebut memiliki persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.
Bentuk kata (Aku) mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pemakaian kata (aku) mengacu pada seorang lelaki pada kalimat tersebut. hal tersebut memiliki persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
"Maafkan aku." Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Bentuk kata (Aku) mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pemakaian kata (aku) mengacu pada Dee yang sedang menyampaikan perasaan menyesal kepada teman-temannya pada kalimat tersebut. hal tersebut memiliki persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
"Maafkan aku," Dee memecah keheningan.
Bentuk kata (Aku) mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pemakaian kata (aku) mengacu pada Dee yang masih menyampaikan perasaan menyesal kepada teman-temannya pada kalimat tersebut. hal tersebut memiliki persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
"Aku penasaran," Dee tiba-tiba angkat bicara
Bentuk kata (Aku) mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pemakaian kata (aku) mengacu pada Dee yang menyampaikan perasaan menyesal ketika membaca surat pada paket yajg pernah ia terima. pada kalimat tersebut terdapati persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.
Bentuk kata (Aku) mengacu ke persona pertama yang tunggal. Pemakaian kata (aku) mengacu pada lelaki yang menyampaikan perasaannya. pada kalimat tersebut memiliki persona endofora yang bersifat katafora karena mengacu kepada \satuan lingual yang disebutkan sesudahnya.
Kohesi Gramatikal Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif direalisasikan melalui pronomina demonstrativa (kata ganti penunjuk). Pronomina demonstrativa merupakan kata-kata yang menunjuk pada suatu benda atau deiktis yang menunjuk hal umum, tempat, ataupun ihwal.
Pengacuan demonstratif yang ditemukan dalam wacana cerpen Sepotong cinta dalam diam seluruhnya berjumlah 48, yang dinyatakan dalam pronomina penunjuk umum seperti "ini", "itu". Pengacuan demonstratif nominal yang menunjuk dekat dan tidak dekat adalah ini dan itu. Dalam dialog ada kecenderungan pada penutur menggunakan ini untuk menunjuk sesuatu yang diucapkannya sendiri dan itu untuk sesuatu yang diucapkan lawan bicaranya. Pada cerpen Sepotong Cinta Dalam Diam terdapat 13 kata pengacuan demonstratif pada kata ini. Sedangkan pengacuan demonstratif kata itu terdapat 35 data. pada Berikut ini beberapa contoh pengacuan demonstratif yang ditemukan dalam cerpen Sepotong Cinta Dalam Diam. Adapun sebagian kalimat yang berisi kohesi gramatikal pengacuan demonstratif terdapat pada kalimat berikut :
Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta
Kedua bola mata gadis itu tak beranjak juga
Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda
Tukang pos yang lain telah lama meninggalkan kendaraan antik itu
Tukang pos itu tak menjawab
Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya
Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara
Tapi foto itu telah memberiku banyak energi)
Aku melihatmu hari ini
Dan perempuanku memberiku cita-cita itu
Kohesi Gramatikal Pengacuan Komparatif
Kohesi gramatikal berupa pengacuan komparatif mengacu pada sesuatu yang sedang sedang dibicarakan, unsurnya dapat berupa generik, seperti: identitas (sama, sama dengan, seperti, identik, dst.), kemiripan (sama, seperti, tambahan, demikian pula, itu juga, dst.) dan perbedaan (yang lain, berbeda dari, sedangkan, dst.), juga yang bersifat spesifik (lebih banyak, lebih sedikit, kurang, lebih jauh, dst).
Pengacuan komparatif hanya ditemukan empat data yakni :
Jadi sama sekali bukan kesalahan
Tak jarang aku merasa seperti kapal kecil
tapi sepertinya yang lain tak melihat itu
cinta yang mungkin dirasakan seseorang
Kohesi Gramatikal Penyulihan/substitusi
Penyulihan atau substitusi adalah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebutkan dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda) (Sumarlan, ed., 2003:28). Pada cerpen "Sepotong Cinta Dalam Diam" terdapat beberapa bentuk penyulihan seperti pada data berikut ini.
a) Substitusi Nomina
"Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam bungkam."
Kata Kau pada kalimat tersebut menggantikan posisi nomina yakni perempuan pada kata sebelumnya, sehingga kata kau dapat dianggap sebagai subtitusi nomina
" Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya, sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara"
Kata Pak Pos pada kalimat tersebut digantikan dengan kata lelaki itu, sehingga kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai subtitusi nomina.
"Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu"
Pada kalimat diatas subjek Ita digantikan dengan, gadis berkulit hitam manis itu, karena mengalami penggantian nomina, maka kalimat tersebut dapat dikatakan sebagai subtitusi nomina.
"Anik tampak bereaksi, gadis bertubuh mungil itu"
pada kutipan kalimat diatas subjek Anik digantikan dengan gadis bertubuh mungil itu, karena mengalami perubahan nomina, maka kutipan kalimat diatas dapat disebut sebagai subtitusi nomina.
Substitusi Kalimat
"Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan."
Pada kalimat diatas kata itu dapat mewakili kalimat sebelumnya yang berisi "Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di setiap tulisan. sehingga pada kata itu tersebut dapat mensubtitusikan kalimat sebelumnya.
Kohesi Gramatikal Elipsis (Pelesapan)
Pelesapan atau elipsis merupakan salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Pelesapan dapat berbentuk kata, frasa, atau klausa. menurut saya pada cerpen "Sepotong Cinta Dalam Diam" terdapat 25 kalimat yang mengalami pelesapan, dan beberapa saya beri analisis mengenai penambahannya. data ini tertera pada data berikut.
Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos.
Pada kalimat tersebut mengalami pelepasan, seharusnya kalimat tersebut akan menjadi lebih padu apabila ditambahkan kata paket tersebut, sehingga kalimatnya menjadi seperti berikut ini : "Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, paket tersebut diterimanya pagi ini dari tukang pos."
Meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
Pada kalimat diatas terjadi pelepasan lingual, kalimat tersebut seharusnya terdapat kata dan yang berfungsi sebagai penghubung untuk menjadikan kalimat tersebut menjadi lebih padu, dan akan membentuk kalimat seperti ini : "Meninggalkan kendaraan antik itu, dan beralih ke sepeda motor"
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan
Pada kalimat diatas tersebut terdapat pelepasan lingual / elipsis, kalimat tersebut akan menjadi lebih padu apabila mendapat penambahan kata membuat. Sehingga menjadi kalimat "Paket meluncur dan jatuh tepat ditengah-tengah sofa. Membuat tiga gadis kaget melupakan tontonan"
paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.
Pada kalimat tersebut juga mengalami elipsis, kalimat tersebut akan menjadi kalimat yang padu apabila diberi penambahan kata membuat suasana, sehingga menjadi kalimat seperti ini : "Paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Membuat suasana hiruk pikuk segera terjadi"
Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung
Pada kalimat tersebut mengalami koheresi gramatikal elipsis yakni pelepasan lingual yakni seharusnya kalimat tersebut akan menjadi lebih padu apabila mendapat penambahan kata ia. sehingga kalimat tersebut akan tersusun seperti ini : "Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ia ikut bertarung"
Dee tersenyum, ia menegakkan duduknya. Lalu kepala gadis itu dicondongkan ke depan
Tukang pos itu tak menjawab. Ia hanya memintaku menerima paket kesasar itu
Dee tersenyum. Ia kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya
Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Namun tak jarang aku merasa seperti kapal kecil
Kita nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali kita memang yakin bahwa ini milik kita
Dee mengerutkan kening, dan bibirnya bergumam tak jelas
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi ia tak berdaya
mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu ia menimang-nimangnya
Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di timbangan. Rasa keingintahuannya mendera dara bertubuh jangkung itu
Dee menimang-nimangnya lagi, lalu ia dengan hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang.
Hari-hariku adalah sebuah penantian
Aku tumbuh menjadi lelaki yang sendiri.
Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, ia seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan tak enak hati.
Andra bangkit, ia berjalan mondar-mandir.
Bingkisan itu bukan milik mereka. Namun aneh, bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara
Dee memejamkan matanya. Ia terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat jendela
Terima kasih kau telah menjadi sumber abadi inspirasiku.
Kau tetap menjadi satu-satunya perempuan yang membuatku sabar dan rajin berdoa.
Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, dapat kunikmati ketulusan melimpah.
Dee kena batunya dan Andra tersenyum puas sedangkan Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan
Kohesi Gramatikal Perangkai/konjungsi
Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Dalam cerpen "Sepotong Cinta Dalam Diam" terdapat banyak konjungsi seperti kata bahkan, tetapi, tapi, lalu, sebab, sementara, hingga, namun, meski begitu, jika dan lain sebagainya. hal tersebut dibuktikan pada data kalimat-kalimat yang bercetak miring berikut ini.
Kata orang bahkan diam berbicara.
Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta.
Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam.
Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.
Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara
Hingga berhadapan cukup dekat
Ketiganya lalu mengalihkan pandangan
Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet
Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.
Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi
Meski begitu entah mengapa itu menyiratkan sesuatu yang dalam.
Namun baru sedikit ia membaca,
Memandangmu dalam realita memang perih
rada sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat
Tapi lelaki itu sudah memilih
Tapi cinta memang tak bisa memilih
Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu
jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku akan tiba tak lama lagi.
Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi perisai dan pelindung yang baik bagimu
Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa dalam wacana cerpen Sepotong Cinta Dalam Diam ditemukan aspek-aspek kohesi gramatikal berupa Kohesi Gramatikal Pengacuan Persona, Kohesi Gramatikal Pengacuan Demonstratif, Kohesi Gramatikal Pengacuan Komparatif, Kohesi Gramatikal Penyulihan/substitusi yang terdiri atas : substitusi nomina dan substitusi kalimat, Kohesi Gramatikal Elipsis (Pelesapan), Kohesi Gramatikal Perangkai/konjungsi. Data tersebut merupakan aspek apa saja yang dapat dikaji pada tataran kohesi gramatikal.
Kemudian mengenai wacana cerpen, bahwa untuk memahami sebuah wacana tidak terlepas dari keterkaitan antara teks dan konteks. Analisis wacana ini membuktikan teks dan konteks adalah dua hal tidak dapat terpisahkan dalam sebuah wacana. Hal ini membuktikan pendapat dari Halliday dan Hasan (1992: 66) yang menyatakan bahwa setiap bagian teks sekaligus merupakan teks dan konteks, dalam memusatkan perhatian pada bahasa kita harus sadar akan adanya kedua fungsi itu.
Daftar Pustaka:
Cerita pendek Sepotong Cinta Dalam Diam karya Asma Nadia
mamamllalala.Tugas akhir makalah analisis wacana.html
dunia resha mardiana REFERENSI PENANDA KOHESI DALAM CERPEN (kohesi gramatikal).html
Pustaka Maya Nirwana Analisis Wacana Cerpen "Dari Paris" _ By Pustaka Maya Nirwana.html
Sampai Mati Sampai Tak Berarti KOHESI GRAMATIKAL.htm
AW (Analisis Wacana Cerpen _ ratahanzu.html
Lampiran :
Sepotong Cinta dalam Diam
Karya Asma Nadia dalam kumpulan cerpen Cinta Laki-laki Biasa
Jakarta, tahun pertama
Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap dalam bungkam.
Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak berlaku dalam cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam. Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya cinta.
Tapi aku memang tidak punya pilihan.
Maafkan!
SEBUAH bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya dengan keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka lebar. Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua bola mata gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel menyatu dengannya.
Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang pos, lelaki tua yang mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti mengapa lelaki itu masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara tukang pos yang lain telah lama meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda motor.
"Buat siapa, Pak?"
Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.
"Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?"
Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di bagian atas amplop yang menempel pada sebuah paket.
Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A.
Kemayoran, Jakarta Pusat
Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki itu tak pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan surat. Jadi sama sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit bicara atau sekedar menyodorkan amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya bonus lebih seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan dengan sepucuk surat menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang tertera jelas.
Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam rumah sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh tiga tahun itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya sedang asyik menonton tivi.
Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan tontonan seru Oprah Winfrey's Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang jatuh. Andra yang pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita. Hiruk-pikuk segera terjadi.
Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang ditujukan Dee untuknya. Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung. Adegan a la anak kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang semua menjadi antiklimaks ketika Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang dituju sang pengirim. Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya ada sebuah alamat yang ditulis tangan.
Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan ke sofa.
"Dee, paket siapa, nih?"
"Kok nggak ada nama pengirimnya?"
"Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!"
Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan, hingga berhadapan cukup dekat dengan wajah ketiga temannya.
"Aneh kan?"
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.
"Memang aneh!"
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.
"Tidak lucu!" Andra serta-merta menukas.
Anik yang tampak berpikir keras menambahi, "Pengirimnya pasti memang ingin membuat bingung kita!"
Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan Anik, lalu mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak mendengar suara detak jam dari dalam bingkisan.
"Aman!"
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya banyak ide langsung mengajukan usul.
"Kita buka saja!"
Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.
"Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang dan tidak amanah!"
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.
"Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya ada di dalam bingkisan ini?"
Andra cepat membantah, "Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka bingkisan ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat sebelah. Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.
Ya, memang mungkin.
Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang berpikir keras.
"Jadi gimana dong?"
Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,
"Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan paket ini salah alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?"
Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak, tapi tak berdaya. Sebab tiga rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka beramai-ramai mereka menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu memandanginya lama.
***
Jakarta, tahun ketiga
Perempuan,
Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini menjadi rutinitas yang harus kuhadapi.
Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang miskin yang harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak, salah satu perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.
Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.
Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa seperti kapal kecil yang berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali membentur karang, dan harus berbalik arah.
Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.
Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.
HARI KETIGA, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya. Hatinya menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.
Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh bingkisan itu di timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu. Seharusnya teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan jawaban di dalamnya. Siapa tahu ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?
Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir ranjang. Matanya menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu tegas, tegak lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa Indonesianya waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya sekelas biasa bercanda.
Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang jauh dari modern. Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah mengapa itu menyiratkan sesuatu yang dalam.
Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas lipitan, juga warna biru yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak bertahun-tahun sebelum tiba di rumah ini.
Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.
Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang meluncur dari dalamnya. Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah mendekati kamar. Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan tangan terlipat di dada, berdiri gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat menyembunyikan surat yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak lusuh dan penuh lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.
"Curang!"
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka. Kegusaran tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.
"Kamu tidak amanah, Dee!"
Duh, kata ajaib itu lagi.
Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, seperti maling jemuran yang kepergok. Malu dan tak enak hati.
"Maafkan aku."
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-panjang membela diri, toh ia memang bersalah.
Empat orang gadis di dalam kamar termangu.
Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi barusan meluncur dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan perasaan ingin tahu yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini memetakan sederet tanda tanya di kepalanya.
"Maafkan aku," Dee memecah keheningan, "tapi tidak mungkin berharap kemajuan hanya dengan menunggu. Sudah tiga hari lebih."
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama penasarannya dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.
"Surat itu indah, kalian harus membacanya." Dee kembali memancing.
Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!
Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka. Aneh, bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang diisi udara.
"Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini, kalau benar indah seperti katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu akan mengurangi rasa hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya."
Gagal lagi.
Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat jendela, berharap balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa nama, bertopang dagu, mendekap rindu.
Dee tak sabar!
Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.
Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak berkedip.
***
Jakarta, tahun kedelapan
Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir dan kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!
Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang telah dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas pilihan yang kubuat. Tak ada kata mundur.
Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.
Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam iman yang tak seberapa selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa pada-Nya. Cita-cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.
Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun sakit dan membuatku tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di atas luka tersiram cuka.
Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
DEE termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.
Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa mendapatkan kata sepakat untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam alunan 'Knife', lagu 80-an yang memerihkan hati.
"Aku penasaran," Dee tiba-tiba angkat bicara, "sebetulnya apa sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak bisa bersatu?" ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit norak dan rada-rada sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin disergap haru.
"Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee," Ita menjawab.
"Terus?"
"Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu hari, mencintainya."
Anik menggelengkan kepala,
"Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi mustahil."
Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras kesedihan tumbuh begitu dalam? Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa memilih. Dan ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise yang bisa ditemukan di buku-buku picisan.
"Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu banyak berlembar-lembar."
"Lihat nih," Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, "di surat ini ditulis bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca karena tertelan banjir."
Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun banjir kan tragedi.
Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat dan membaca sendiri-sendiri. Ada sesuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang membuat keempat mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan perempuan yang sampai sekarang masih tanpa nama.
***
Jakarta, tahun kesebelas
Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus bermotif pink dan biru. Dua warna yang menjadi favoritmu.
Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang membuatku sabar dan rajin berdoa.
Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama sekali tidak mengurangi keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam manis, tawa cerahmu, dan sorot mata keibuan.
Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun datang kepadamu. Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati ketulusan melimpah.
Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.
Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah surat di tangannya. Mata sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat. Di sampingnya Ita mengikuti.
***
Jakarta, tahun kelimabelas
Perempuan,
Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam hidup.
Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga cita-cita. Juga kesetiaan.
Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.
Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu yang menyapaku setiap pagi di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang terselip di dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto itu telah memberiku banyak energi). Mereka juga tidak tahu sosokmu yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski belasan tahun berlalu.
Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski di satu sisi menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan surat-surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam. Dan melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku hanya perlu bersabar
Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh beruntung karena mendapatkan cinta begitu besar.
"Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?"
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di dalam kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas koran.
"Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga."
"Aku penasaran."
"Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy orang?"
Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-surat. Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang lebih spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu menjadi lebih besar untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada yang berhak.
Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya keras-keras.
"Ini surat terbaru dan terpanjang…"
Dee mulai membaca dengan perlahan.
***
Jakarta, tahun kedelapanbelas
Cinta,
Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya yang tak pernah kukirim.
Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan yang telah kusiapkan sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.
Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua ungkapan perasaan dan bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu. Kedua, jika aku merasa waktuku akan tiba tak lama lagi.
Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah itu membuatku tak bisa lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan ketulusan. Hal yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan rumah di mana daun-daun nusaindah terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa membuatku merasa hidup.
Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa memilikimu dalam angan, harapan, dan impian. Tidak lebih.
Tapi, perempuan,
Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk bersamamu lebih dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan, sebelumnya aku tak pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita itu.
Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan seseorang. Dan telah pula kubuktikan semampuku.
Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh besar, memberiku rasa aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka akan menjadi perisai dan pelindung yang baik bagimu.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun.
ENTAH tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran itu. Di dalamnya tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink dan biru.
Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek kertas kado dan terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena dan sarung merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah yang ganjil. Juga sebuah cincin bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.
Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang mengalir deras. Sementara, Ita dan Andra tak urung menitikkan butiran kristal serupa.
Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian hurufnya ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru yang menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki tanpa nama untuk perempuan tanpa nama.
Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang kubangun. Dulu aku selalu membayangkan memberikannya langsung kepadamu, sekaligus bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata lamaran yang layak dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak lagi menjadi halangan bagimu.
Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku. Tapi tak pernah kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.
Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.