PT. INDO JAYA LAMPUNG adalah sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa dan perdagangan umum, teknologi informasi saat ini masih menggunakan sistem manual pencatatan data setiap proyek yang a...
Proyek Kalkulus IntegralDeskripsi lengkap
MAKALAH PERILAKU KONSUMEN (KUMPULAN JURNAL – JURNAL TENTANG PERILAKU KONSUMEN)
Kumpulan jurnal yang dapat saudara jadikan referensi dan bahan pertimbangan penelitian. Sebelumnya terima kasih kepada yang telah mengunggah Jurnal iniFull description
Kumpulan Contoh Jurnal Bahasa Inggris Terbaru
Review Jurnal Kontingensi Pada Strategic Management yang disampaikan pada tugas di matakuliah strategic management di DIM UPI 2013Deskripsi lengkap
Dimensi Teknik Sipil, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, 1-8 ISSN 1410-9530
ALTERNATIF METODA PENJADWALAN PROYEK KONSTRUKSI MENGGUNAKAN TEORI SET SAMAR Andreas Wibowo Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemukiman, Teknologi Permukiman Balitbang Permukiman dan Pengembangan Wilayah – Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah
ABSTRAK Program Evaluation Review Technique (PERT) merupakan suatu metoda penjadwalan dengan menimbang durasi aktivitas yang bersifat tidak pasti. PERT mengasumsikan fungsi kerapatan probabilitas durasi aktivitas mengikuti distribusi beta. Analisis dalam PERT disederhanakan dengan menggunakan nilai-nilai tertentu parameter distribusi beta. Penentuan jalur kritis hanya menimbang mean durasi untuk menentukan jalur kritis, dan probabilitas total durasi didapatkan berdasarkan jalur kritis saja. Beberapa kasus menunjukkan penyederhanaan ini menimbulkan galat dan kontradiksi. Tulisan ini mengusulkan metoda penjadwalan alternatif yang juga menimbang durasi yang bersifat tidak pasti. Metoda ini, yang dinamakan Fuzzy Logic Application for Scheduling (FLASH), menerapkan teori set samar sebagai satu cara untuk memodelkan ketidakpastian yang muncul dari fenomena mental yang bukan bersifat acak maupun stokastik. FLASH tidak mensyaratkan data statistis tetapi hanya pengamatan secara kualitatif. FLASH mempertimbangkan semua jalur, tidak hanya jalur kritis saja seperti PERT, untuk menganalisis posibilitas suatu total durasi yang diharapkan. Kata kunci: metoda penjadwalan, FLASH, PERT, probabilitas, posiblitas, set samar.
ABSTRACT Program Evaluation Review Technique (PERT) is a scheduling method that consider the uncertainty of the duration of an activity. It assumes a probability density function with a beta distribution. PERT simplifies the analysis using specific values of parameters of beta distribution. The analysis of critical paths consider the mean of the duration only and the probability of the expected total duration are based on critical paths only. Some cases showed that these simplifications cause errors and contradictions. This paper proposes an alternative scheduling method that also allows uncertainties of duration. The method, named Fuzzy Logic Application for Scheduling (FLASH), applies a fuzzy set theory which is a perfect means for modeling uncertainties arising from mental phenomena which are neither random nor stochastic. It does not require statistical data but needs qualitative observations. Unlike PERT, FLASH considers all paths, not only critical path(s), to analyze the possibility of an expected total duration. Keywords: scheduling method, FLASH, PERT, probability, possibility, fuzzy set. nique (GERT), Linear Scheduling Method (LSM), dll. Dipandang dari karakteristik durasi aktivitasnya, masing-masing metoda mempunyai asumsi yang berbeda. Gantt Chart, CPM, dan PDM mengasumsikan durasi aktivitas bersifat pasti sementara PERT dan GERT tidak pasti.
PENDAHULUAN Dalam manajemen proyek kontruksi ada beberapa metoda penjadwalan yang biasa digunakan seperti Gantt Chart, Precedence Diagram Method (PDM), Critical Path Method (CPM), Program Evaluation Review Technique (PERT), Graphical Evaluation Review Tech-
Sebuah proyek konstruksi dengan segala sifat dan karakteristiknya yang sangat unik, mempunyai hubungan antar aktivitas yang kompleks dan ketergantungan yang tinggi terhadap kondisi internal dan ekternal sehingga durasi
Catatan: Diskusi untuk makalah ini diterima sebelum tanggal 1 Juni 2001. Diskusi yang layak muat akan diterbitkan pada Dimensi Teknik Sipil Volume 3, Nomor 2 September 2001.
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
aktivitas mempunyai tingkat ketidakpastian yang tinggi. Dalam kondisi ini, metoda penjadwalan seperti PERT atau GERT-lah yang tepat diterapkan. Dalam PERT, durasi aktivitas diasumsikan mengikuti distribusi beta yang disederhanakan. Durasi dinyatakan dalam tiga nilai yang berbeda: optimistik, most likely, dan pesimistik. Namun, ada beberapa kelemahan yang dimiliki PERT: a. Bila jumlah aktivitas dalam jalur kritis kurang daripada 30, deviasi terhadap normalitas akan terjadi. b. Ada beberapa kesalahan yang muncul akibat simplifikasi nilai mean dan varians distribusi beta terhadap nilai eksak dari fungsi kerapatan beta yang asli. Kesalahan akibat simplifikasi berkisar antara 17% dan 33% [1]. c. PERT hanya mempertimbangkan mean durasi untuk menentukan total durasi dan mengabaikan keberadaan varians yang bisa mengakibatkan kesalahan penentuan probabilitas waktu penyelesaian. Dalam beberapa kasus asumsi ini mengakibatkan suatu kontradiksi.
(atau ketidaktepatan) yang muncul dari fenomena psikologis yang bukan bersifat acak maupun stokastik [2, 3]. d. Waktu penyelesaian proyek dinyatakan dalam bilangan samar (fuzzy number) dengan rentang yang mencakup nilai yang paling mungkin (most possible) dari waktu penyelesaian proyek. Nilai ini akan mempunyai derajat keanggotaan tertinggi, yaitu 1.0. Nilai-nilai selain nilai ini mempunyai derajat keanggotaan yang lebih rendah. e. Dalam PERT, probabilitas 100% akan terjadi bila waktu penyelesaian adalah tidak terhingga (T → ∞) semantara dalam FLASH, posibilitas 100% akan terjadi pada waktu penyelesaian yang paling mungkin.
TEORI SET SAMAR Teori Set Samar [2, 3] ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan di mana deskrips aktivitas dan pengamatan bersifat tidak tepat (imprecise), samar-samar (vague), dan tidak pasti (uncertain). Terminologi ‘samar’ mengacu pada suatu situasi di mana tidak ada batasbatas yang jelas dalam suatu set aktivitas atau pengamatan. Teori ini memperkenalkan fungsi keanggotaan (membership function) yang digunakan untuk menilai derajat keanggotaan (grade of membership) dari suatu objek dalam setiap set samar [2]. Derajat keanggotaan dinyatakan dalam rentang antara 0 dan 1. Bila derajat keanggotan suatu objek bernilai 1.0 berarti secara absolut objek tersebut berada dalam set dan bila bernilai 0 berarti objek tersebut secara absolut berada di luar set. Derajat keanggotan selain 0 dan 1 merepresentasikan kondisi antara (intermediate conditions).
Selain kelemahan tersebut, ada hal yang perlu diperhatikan menyangkut ketersediaan data lapangan. Nilai-nilai optimistik, most likely, dan pesimistik diperoleh melalui analisis stastistik dengan menetapkan persentil 5 dan 95 (atau 2 dan 98) dari populasi data. Hal ini hanya mungkin bila data lengkap tersedia. Kenyataan yang sering terjadi, data lapangan dalam kondisi yang memprihatinkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitasnya, sehingga analisis stastistis tidak dapat diterapkan terhadap data tersebut. Tulisan ini mengusulkan sebuah alternatif metoda penjadwalan dengan tetap mengakomodasi ketidakpastian durasi yang diberi nama metoda Fuzzy Logic Application for Scheduling (FLASH). Metoda ini berbeda dengan PERT dalam menganalisis durasi total proyek dan karakteristik durasi aktivitas: a. FLASH menggunakan terminologi posibilitas daripada probabilitas untuk mengekspresikan ketidakpastian. Hal ini membuat FLASH lebih ‘terbuka’ dibandingkan PERT dalam hal ketidakpastian. b. FLASH menganalisis semua jalur untuk menghasilkan posibilitas suatu total durasi proyek yang diharapkan. c. Sehubungan dengan terminologi posibilitas, FLASH menggunakan teori Set Samar (Fuzzy Set Theory) yang merupakan cara tepat untuk memodelkan ketidakpastian
Bila A adalah sebuah set samar yang dituliskan sebagai A = {(x,µA(x), x ∈ U)} di mana U adalah sebuah set ordinary dari objek maka U={x}. Untuk sebuah set ordinary, A,
⎧1, bila x ∈ A, ⎩0, bila x ∉ A.
µA(x) = ⎨
(1)
Sebagai contoh, bila U = {bilangan nyata positif} yang merupakan set tak hingga dan A = ‘bilangan-bilangan nyata yang dekat ke 10’, maka fungsi keanggotaan A didefinisikan sebagai {(x,µA(x)}. Misal, µA(x) = 1/{1 + [1/5(x 10)]2} (Gambar 1). Secara jelas terlihat bahwa semakin jauh suatu bilangan ke 10 akan semakin rendah pula derajat keanggotaannya. Nilai 10 mempunyai derajat keanggotaan
2
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
Bilangan Samar (Fuzzy Number)
tertinggi, 1.0 sementara derajat keanggotan dari 2 dan 16 adalah 0 yang merepresentasikan bahwa bilangan-bilangan tersebut secara absolut tidak berada dalam set ‘bilanganbilangan nyata yang dekat ke 10’ yang telah didefinisikan.
Terminologi bilangan samar digunakan untuk mengakomodasi kuantitas numerik yang tidak tepat. Ada beberapa tipe khusus bilangan samar seperti L-R dan bilangan samar segitiga atau trapezoidal. a. Bilangan Samar L-R Sebuah bilangan samar disebut L-R bila:
KONSEP DASAR SET SAMAR
(m − x ) / α, x ≤ m, α > 0 µ(x) = ⎧⎨ ⎩(x - m)/β, x ≥ m, β > 0
Konveksitas Set Samar Sebuah set samar A disebut konveks bila: µA(λx1 + (1-λ)x2) ≥ min (µA(x1), µA(x2)) dimana x1, x2 ∈ U and λ ∈ [0,1]. Contoh-contoh set samar konveks dan non-konveks diberikan dalam Gambar 2.
Di mana m adalah ‘mean’ bilangan samar sementara α dan β adalah ‘penyebaran’ ke kiri dan kanan. Bila α=β=0, bilangan tersebut dianggap sebagai bilangan nyata. Persamaan (2) sering dituliskan kembali sebagai (m,α,β) atau bila puncaknya tidak unik ditulis (m1,m2, α,β). Bilangan Samar LR diilustrasikan dalam Gambar 3.
µ(x)
1
(2)
bilangan nyata dekat ke 10
bilangan nyata tidak dekat ke 10
µ(x) 1 0
1 2 3
4
5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16
x
Gambar 1. Set Samar ‘bilangan nyata dekat ke 10’ µ(x)
konveks
α m
non konveks
1
β
α m1 m2 β
Gambar 3 Bilangan Samar L-R b. Bilangan Samar Segitiga (atau Trapezoidal) Sebuah bilangan samar segitiga didefinisikan sebagai:
0
⎧0, x ≤ l, ⎪(x - l) / (m - l), l < x ≤ m, ⎪ µ(x) = ⎨ ⎪(u - x) / (u - m), m < x ≤ u, ⎪⎩0, x > u
x
Gambar 2. Set Samar Konveks dan Non-konveks Normalitas Set Samar Sebuah set samar A disebut normal jika dan hanya jika ada satu atau lebih x sedemikian sehingga µA(x’) =1. Sifat ini menjamin bahwa sedikitnya adalah satu anggota set samar memenuhi fenomena di mana set samar akan diterapkan.
(3)
di mana u adalah nilai batas atas, l batas bawah, dan m adalah nilai paling mungkin. Suatu bilangan samar segitiga sering dituliskan (l,m,u). Bila terdapat puncak ganda, bilangan tersebut dituliskan sebagai (a,b,c,d) dengan [b,c] adalah interval nilainilai paling mungkin. Bilangan samar segitiga, M dan trapezoidal M’ diilustrasikan dalam Gambar 4.
α-cut dari Set Samar α-cut dari set samar adalah sebuah set ordinary yang anggota set samar A sekurang-kurangnya mempunyai derajat α. Karena itu, α-cut didefinisikan sebagai: Aα = {x ∈ U | µA(x) ≥ α}. α-cut merupakan kasus umum dari sebuah set samar. Bila α = 0, Aα = S (A)
3
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
µ(x)
M
µ(x
M'
M
1
1
M(+)
N
α
l
m
u
a b
c
0
d
m
m n
n z
z
x
Gambar 5 Penjumlahan Dua Bilangan Samar
Gambar 4 Bilangan Samar Segitiga / Trapezoidal Operasi Aljabar Bilangan Samar
Posibilitas dan Probabilitas
Operasi aljabar bilangan samar meliputi penjumlahan, pengurangan, pengalian, dan pembagian. Karena FLASH berkaitan dengan penjumlahan dan pengurangan saja maka hanya operasi-operasi inilah yang dituliskan di sini. a. Penjumlahan bilangan samar Penjumlahan bilangan samar M dan N dapat dilakukan dengan dua cara.
FLASH menerapkan terminologi posibilitas bukan probabilitas dalam menyatakan ketidakpastian. Ada beberapa perbedaan antara keduanya walaupun mempunyai rentang semesta yang sama yaitu antara 0 dan 1: a. Probabilitas erat kaitannya dengan data historis dan analisis statistik. Posibilitas diperoleh berdasarkan pengamatan-pengamatan yang mungkin tidak akurat, tidak tepat, subjektif, dan intuitif tetapi masih dalam pertimbangan logis. Ketidaktepatan muncul dari beberapa sumber yaitu tidak dapat dikuantifikasikan, tidak lengkap, tidak dapat diperoleh, atau ada sebagian informasi yang terabaikan. b. Posibilitas tinggi tidak berarti probabilitasnya tinggi. Ini terjadi karena probabilitas didasarkan pada sampling acak di mana terjadinya suatu sampel mempunyai peranan penting. Di lain pihak, posibilitas tidak mendasarkan analisisnya pada data statistik tetapi lebih kepada pertimbangan logis semata. c. Dalam teori set samar, posibilitas dinyatakan dalam πx sementara probabilitas dalam P(x). Fungsi kerapatan posibi-litas adalah sama dengan fungsi keanggotaannya (µx) atau πx ≅ µx [4].
Pertama, menggunakan α-cut. Tentukan set level α dari M dan N menggunakan interval kepercayaan (derajat keanggotaan) sebagai Mα = [m1,m2] dan Nα = [n1,n2]. Penjumlahan M dan N dapat dituliskan kembali sebagai: Mα (+) Nα = [m1+n1,m2+n2]
(4)
Penjumlahan dua bilangan samar secara grafis dipresentasikan dalam Gambar 5. Untuk mendapatkan level α dari Mα(+)Nα, inversikan m1 menjadi µ-1M(α) sehingga µM(m1) = α. Demikian pula untuk m2,n1, and n2. Karena itu, persamaan (4) dapat dituliskan kembali menjadi: Mα (+) Nα = Z [z1(α),z2(α)] = [µ-1M1(α)+µ-1N1(α),µ-1M2(α)+µ-1N2(α)]
(5)
sedemikian sehingga α = µ-1(z1) = µ-1(z2). Kedua, menggunakan Max-min convolution Bila x,y,z ∈ R maka penjumlahan M dan N dihitung menggunakan: µMα (+) µNα (z) = max (µMα(x) ∧ µNα(y)) z=x + y
FLASH FLASH pada dasarnya sama dengan CPM dalam hal activity on arrow (AOA) diagram dan perhitungannya kecuali karakteristik durasinya. Durasi aktivitas i-j dinyatakan dalam tiga nilai berbeda: batas bawah, paling mungkin, dan batas atas. Karena FLASH mengasumsikan durasi aktivitas dinyatakan dalam bilangan samar segitiga, ketiga nilai tersebut merupakan nilai l, m, dan u atau Di-j(l,m,u). Untuk node i, Early start (Ei), dan latest start (Li) merupakan bilangan samar juga tetapi tidak harus selalu bilangan samar segitiga.
(6)
b. Pengurangan Bilangan Samar Pengurangan bilangan samar dapat dilakukan menggunakan α-cut atau max-min convolution sebagaimana dijelaskan di depan dengan mengubah N menjadi –N sehingga: Mα (-) Nα = [m1- n1,m2-n2]
(7)
µMα (-) µNα (z) = max (µMα(x) ∧ µNα(y))
(8)
z=x −y
4
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
Perhitungan Maju
µM(∧)N(z) = max [µM(x) ∧ µN(y))
(15)
i
Perhitungan maju adalah perhitungan yang dimulai dari node ‘start’ dan bergerak ke ‘end’ yang didefinisikan sebagai: Ej = max {Ei+Dij}
Fuzzy Min dari dua bilangan samar, P dan Q secara grafis diperlihatkan pada Gambar 7. Persamaan (13) dapat dituliskan kembali untuk menentukan fungsi keanggotaan Li : (16) µLi = min {µ Lj – Dij}
(9)
i
untuk semua aktivitas yang didefinisikan (i,j) di mana: Ei : early start node i (dalam bilangan samar) Ej : early start node j (dalam bilangan samar) Dij : durasi aktivitas i-j (dalam bilangan samar segitiga)
j
µ(x)
(10)
µM(∨)N (z) = max (µM(x) ∧µN(y))
(11)
z=x∨ y
Gambar 6. Contoh Fuzzy Max
µ(x) 1
Q
x Gambar 7. Contoh Fuzzy Min Waktu Ambang (Floats) Ada tiga tipe waktu ambang, waktu ambang total (TF), bebas (FF), dan independen (IF). TF suatu aktivitas adalah jumlah unit waktu aktivitas yang dapat diundurkan tanpa berpengaruh pada waktu penyelesaian total proyek. FF adalah jumlah unit waktu aktivitas yang dapat diundurkan tanpa berpengaruh pada ambang total aktivitas sesudahnya, sementara IF adalah jumlah unit waktu aktivitas yang dapat diundurkan tanpa mempengaruhi TF dari aktivitas suksesor dan predesesor.
(12)
i
Perhitungan Mundur Perhitungan mundur menghitung dari node ‘end’ dan bergerak ke node ‘start’. Ini digunakan untuk menentukan latest start node i di mana: Li = min {Lj – Dij} untuk semua aktivitas i,j (13) j
Sama halnya dengan perhitungan maju, bila terdapat hanya satu suksesor, Li menjadi pengurangan antara dua bilangan samar, Lj dan Dij. Baik persamaan (7) atau (8) dapat digunakan menyelesaikan perhitungan. Namun demikian bila terdapat lebih dari satu suksesor (divergen), hal ini membutuhkan perbandingan antar-bilangan samar untuk menentukan bilangan samar yang paling minimum. Pada kasus ini, Fuzzy Min bisa diterapkan. Fuzzy Min merupakan operasi dual yang berkaitan dengan irisan (intersection) dan didefinisikan sebagai: Mα (∧) Nα = [m1∧n1, m2∧n2] atau
P
fuzzy
Secara grafis, Fuzzy Max dipresentasikan dalam Gambar 6. Persamaan (9) dapat dituliskan kembali untuk mendefinisikan derajat keanggotan Ej: µEj = max {µEi+Dij}
Q fuzzy
Pada hubungan seri, hanya ada satu aktivitas predesesor, persamaan (9) merupakan penjumlahan antara dua bilangan samar. Masalah akan muncul apabila jumlah aktivitas predesesor lebih dari satu (konvergen), artinya ada beberapa bilangan samar yang harus dibandingkan untuk menentukan bilangan yang paling maksimum. Hwang [1] merumuskan suatu operasi yang disebut Fuzzy Max yang merupakan operasi dual dari dua atau lebih bilangan samar. Fuzzy Max didefinisikan sebagai: Mα(∨) Nα = [m1∨ n1, m2∨ n2], atau
P
1
TFij = Lj – Ei – Dij FFij = Ej – Ei – Dij IFij = Ej – Li – Dij
(17)
Karena Ei, Ej, Li, and Dij adalah bilangan samar maka TF, FF dan IF juga merupakan bilangan samar pula. STUDI KASUS Studi kasus diambil dari Gambar 8 dengan informasi ditabulasikan dalam Tabel 1.
(14)
5
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
Dengan cara yang sama E5, E3, E4, E7, E8 dapat diperoleh beserta fungsi keanggotaan masingmasing. Secara grafis, nilai-nilai ini disajikan dalam Gambar 9 dan 10
Bila E1 = 0 (waktu mulai proyek), E2 dihitung berdasarkan persamaan (9) yaitu E2 = E1 + D12(2,4,7). Fungsi keanggotaan E1 adalah sebuah bilangan samar L-R dengan α=β=0 sehingga E1(0,0,0). Menggunakan persamaan (8), fungsi keanggotan E1 didefinisikan sebagai:
Gambar 10 Bilangan Samar E3,E4,E5,E7,E8 Karena ada dua aktivitas yang berakhir pada node 6 yaitu aktivitas 5-6 dan 3-6, E6 menjadi max(E5+D56,E3+D36) di mana E5+D56 = (4α+9,2011α) dan E3+D36 =(4α+7,13-2α). Oleh karena itu, E6 = max (4α+9 ∨ 4α+7,20-11α ∨ 13-2α). Berubahnya nilai α akan diperoleh hasil yang berbeda yaitu: 0≤α≤0.78, E5+D56 ∨ E3+D36 = (4α+7,20-11α) 0.78≤α≤1.0, E5+D56 ∨ E3+D36 = (4α+7,13-2α). Fungsi keanggotaannya adalah
⎧0, x ≤ 2 ⎪(x - 2)/2, 2 < x ≤ 4 ⎪ µE1(x) = ⎨ ⎪(7 - x)/3, 4 < x ≤ 7 ⎪⎩0, x > 7
Pada suatu level, α, x akan mempunyai dua nilai yang berbeda yaitu:
⎧0, E 6 ≤ 7 ⎪ ⎪(E 6 - 7)/4, 7 < E 6 ≤ 11 ⎪ µE6 = ⎨(13 - E 6 )/2, 11 < E 6 ≤ 11.44 ⎪(20 − E ) / 11, 11.44 < E ≤ 20 6 6 ⎪ ⎪⎩0, E 6 > 20
α = (x1-2)/2 = (7-x2)/3 or x1 = 2α +2 and x2 = 7 - 3α Menggunakan α-cut, penjumlahan E1 dan D12 akan menghasilkan: E2(E2*,E2**) = (0+2α+2,0+73α) = E2(2α+2,7-3α) yang bila diinversikan akan menghasilkan:
Secara grafis, fungsi keanggotaan E6 disajikan dalam Gambar 11. Dengan cara yang sama, E9 dapat diperoleh. Early finish proyek adalah E9+D910 yang didefinisikan:
α = (E2*-2)/2 = (7-E2**)/3. Fungsi keanggotan E2 didefinisikan sebagai
⎧0, E 10 ≤ 19 ⎪ ⎪(E 10 - 19)/6, 19 < E 10 ≤ 25 µE10 = ⎪⎨(29 - E 10 )/4, 25 < E 10 ≤ 25 .88 ⎪( 43 − E ) / 22 , 25.88 < E ≤ 43 10 10 ⎪ ⎪⎩0, E 10 > 43
⎧0, E 2 ≤ 2 ⎪ ⎪(E 2 - 2)/2, 2 < E 2 ≤ 4 µE2 = ⎨ ⎪(7 - E 2 )/3, 4 < E 2 ≤ 7 ⎪⎩0, E 2 > 7
6
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
Karena ada tiga aktivitas yang bermuara di node 1 yaitu aktivitas 1-2,1-3, dan 1-4, L1 menjadi min (L2-D12, L3-D13, L4-D14). dengan menggunakan fuzzy min, L1 didefinisikan sebagai:
Early finish proyek disajikan secara grafis dalam Gambar 12. 1 0.9 0.8
Waktu Ambang Setelah diperoleh Ei dan Li untuk ∀(semua) i, waktu ambang masing-masing dapat ditentukan. Perhitungannya menyangkut operasi pengurangan menggunakan α-cut. Sebagai contoh, TF untuk aktivitas 6-9 ditentukan: untuk 0 ≤α≤0.78: TF6-9 = L9 – E6 – D69 = [19α17,24-28α] dan untuk 0.78 ≤α≤1.00: TF6-9=[10α10,10-10α] sehingga:
45
i-th day
Gambar 12. Early Finish Proyek Perhitungan Mundur Perhitungan mundur dilakukan dengan operasi pengurangan dan Fuzzy Min. Misal, latest start node 9 (L9) didefinisikan sebagai L9 = E10 – D910 di mana D910 didefinisikan sebagai:
⎧0, D 910 ≤ 5 ⎪ ⎪D 910 - 5, 5 < D 910 ≤ 6 µD910 = ⎨ ⎪7 - D 910 6 < D 910 ≤ 7 ⎪0, D 910 > 7 ⎩
FF dan IF dapat dihitung dengan cara sama. Perbandingan dengan PERT
Dengan menggunakan α-cut, saat 0 ≤α≤0.78, L9 = (6α+19 – (α-7), 43-22α - (α+5) = (7α +12, 3823α). Saat 0.78 ≤α≤1.00, L9 = (6α+19 – (α - 7), 29 - 4α - (α+5) = (7α +12, 24- 5α) sehingga:
µL9 =
non-negatif,
Hasil yang diperoleh menunjukkan earliest finish proyek berada dalam kisaran 19 hari dan 43 hari dengan waktu yang paling mungkin adalah 25 hari. Semakin besar perbedaan suatu nilai dengan nilai ini akan semakin rendah derajat keanggotaannya. Sebagai contoh, posibilitas proyek selesai 23 hari adalah 0.67. Namun demikian posibilitas proyek selesai dalam waktu 27 hari adalah 0.73. Hasil ini berbeda dengan PERT di mana semakin besar suatu nilai dibandingkan terhadap meannya akan semakin besar pula probabilitasnya. Probabilitas tertinggi teoretis akan tercapai bila nilai tersebut adalah tak terhingga. Metoda FLASH mengasumsikan bahwa semua pekerjaan dilaksanakan dalam operasi dan kondisi
⎧0, L 9 ≤ 12 ⎪ ⎪(L 9 - 12)/7, 12 < L 9 ≤ 19 ⎪ ⎨(24 - L 9 )/5, 19 < L 9 ≤ 20.10 ⎪(38 − L ) / 23, 20.10 < L ≤ 38 9 9 ⎪ ⎪⎩0, L 9 > 38
Dengan cara yang sama L8,L7,L6,L5,L4,L3, dan L2 dapat diperoleh. Hal yang harus diingat yaitu nilai-nilai ini harus non-negatif sehingga bila ada di antaranya mempunyai nilai negatif maka nilai tersebut dapat diabaikan.
7
A.Wibowo / Metoda Penjadwalan Proyek Konstruksi Menggunakan Teori Set Samar, Vol. 3, No. 1, Maret 2001, Hal. 1 - 8
KESIMPULAN
yang sangat normal sehingga posibilitas untuk dapat lebih cepat atau lambat akan semakin rendah tergantung pada perbedaannya terhadap kondisi normal tersebut.
Tulisan ini menyajikan suatu alternatif metoda penjadwalan yang diberi nama Fuzzy Logic Application for Scheduling (FLASH). FLASH mengasumsikan bahwa durasi bersifat tidak pasti dan mengekspresikannya ke terminologi posibilitas dan bukan probabilitas sebagaimana digunakan dalam PERT. Ada beberapa perbedaan antara keduanya. Probabilitas didasarkan pada data historis yang dianalis secara statistik sementara posibilitas didasarkan pada pengamatan yang mungkin tidak akurat, tidak tepat, subjektif, dan intuitif tetapi masih dalam pertimbangan logis. Kondisi ini sebenarnya lebih sesuai menggambarkan kenyataan yang ada di mana data historis yang layak sering kali sulit diperoleh.
Apabila digunakan analisis PERT dengan mean dan varians waktu penyelesaian adalah 24.67 dan 0.78, probabilitas waktu penyelesaian kurang daripada 23 hari adalah 0.03 atau hanya 3%! Sementara probabilitas waktu penyelesaian kurang daripada 27 hari adalah 93.9% tetapi dengan jalur kritis 1-4-7-8-9-10 di mana mean dan variansnya adalah 23.33 dan 5.61 dan bukan jalur kritis yang sebenarnya, 13-6-9-10. Dengan mean dan varians sebesar 24.67 dan 0.78, probabilitas waktu penyelesaian kurang daripada 27 hari mencapai 99.6% !
Durasi aktivitas dalam FLASH dinyatakan dalam bilangan samar segitiga yang mencakup nilai batas bawah (l), paling mungkin (m) dan batas atas (u). Nilai yang paling mungkin mempunyai derajat keanggotaan tertinggi yaitu 1.0. Semakin jauh perbedaan suatu nilai dengan nilai ini akan mempunyai derajat keanggotaan yang lebih rendah. Karena FLASH menggunakan bilangan samar, maka operasi aljabarnya berbeda dengan bilangan nyata. Ada beberapa prosedur perhitungan di dalamnya.
1 0.9 L9
0.7
L8
0.6
L7
0.5
L4
0.4
L6
0.3
L3
0.2
L5
U(i-th day)
0.8
0.1 0 -15 -10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
i-th day
Gambar 13 Latest Start L3,L4,L5,L6,L7,L8,L9
FLASH memperhitungkan semua jalur dalam menentukan waktu penyelesaian proyek (total durasi proyek) karena FLASH mengasumsikan bahwa semua jalur mempunyai kontribusi yang sama terhadap total durasi.
1
0.9 0.8
U(i-th day)
0.7 0.6
REFERENCES
L1
0.5
L4-D14
0.4
L3-D13
1. Ahuja, Hira N., et al., Project Management: Technique in Planning and Controlling Construction Projects, John Wiley&Sons, Canada, 1994.
0.3
L2-D12 0.2
0.1 0 -25
-20
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
25
30
35
40
i-th day
2. Hwang, Ching Lai and Chen, Shu-Jen, Fuzzy Multiple Attribute Decision-Making: Methods and Applications, Springer-Verlag, Berlin, 1992.
U(Days)
Gambar 14. Latest Start L1
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
3. Hwang, Ching Lai and Yoon, Kwangsun, Multiple Attribute Decision-Making: Methods and Applications, Springer-Verlag, Berlin, 1981.
TF FF IF
0
5
10
15
20
25
4. Soemardi, Biemo. W. dan Wibowo, Andreas, 1998, Model Produktivitas Pemasangan Pelat Struktur Beton Pracetak pada Konstruksi Gedung dengan Menggunakan Konsep Samar, Jurnal Teknik Sipil ITB, Vol. 5 no. 3 Juli 1998: 125-132.
30
Days
Gambar 15. TF,FF,IF Aktivitas 6-9
8
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA JASA KONSTRUKSI Bambang Poerdyatmono Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Madura, Pamekasan Jl. Raya Panglegur KM 3.5 Pamekasan email : [email protected]
ABSTRAKSI Penggunaan sumber daya manusia, peralatan, bahan bangunan dan biaya dalam suatu kegiatan operasional proyek pembangunan jasa konstruksi sering menimbulkan sengketa konstruksi. Sengketa dimaksud bisa terjadi pada masa prakontraktual, masa kontraktual, dan masa pascakontraktual. Untuk menyelesaikan sengketa tersebut, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu : (1) Tahap sebelum Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi, (2) Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi, dan (3) Tahap setelah Pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi (Tahap Operasional Bangunan). Kesimpulan yang didapatkan adalah berupa tanggung jawab masing-masing Pihak sebagai pelaku pembangunan konstruksi, baik dari sisi perdata maupun sisi pidana, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi jo Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, serta peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan jasa konstruksi. Kata Kunci : jasa konstruksi, sengketa jasa konstruksi, alternatif penyelesaian sengketa jasa konstruksi.
ABSTRACT The usage of human recource, equipments, material construction and operational cost in project od development of service construcction often generate construction conflict. Such conflict can happened at a phase of precontractual, phase of contractual and phase of postcontractual. The solution of conflict, can be devided into three, that is : (1) Phase precontractual of construction, (2) Phase excecution of construction, (3) Phase operation construction work. The key factor to conflict solution are responbility of development construction Implementator both from perspective of private or public law as sentenced by UU Number 18 Year 1999 about Service Construction juncto PP Number 28 Year 2000 about Effort and Role of Society Service Construction of juncto PP Number 29 Year 2000 about Management of Service Constructionof juncto PP Number 30 Year 2000 about Management of Construction of Service Construction, and other rule or regulation related the construction service. Keywords : service construction, conflict service construction, alternative conflict service construction.
78
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa pelaksanaan pembangunan fisik dibidang jasa konstruksi cukup banyak melibatkan sumber-sumber daya, baik sumber daya manusia, sumber daya alam berupa bahan bangunan, sumber daya tenaga dan energi peralatan, mekanikal dan elektrikal, serta sumber daya keuangan. Dalam setiap tahapan pekerjaan tersebut dilakukan dengan pendekatan manajemen proyek, yang prosedurnya telah diatur dan ditetapkan sedemikian rupa, sehingga pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan waktu pelaksanaan. Namun demikian, pada setiap tahapan-tahapan pekerjaan tersebut, adakalanya mengalami hambatan, baik dari faktor manusia maupun sumber-sumber daya yang lain. Hambatan-hambatan sekecil apapun harus diselesaikan dengan baik untuk mencegah kerugian yang lebih besar, baik dari pelaksanaan waktu pekerjaan maupun operasional bangunan kelak. Oleh karenanya tulisan ini akan berupaya membahas lebih jauh sengketa yang terjadi dan bagaimana penyelesaiannya, berdasarkan pada literatur maupun pengalaman lapangan yang penulis alami, khususnya untuk proyek skala kecil hingga menengah. 1.2. Permasalahan Pada dasarnya, ilmu pengetahuan yang sangat luas itu merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Akan tetapi dengan keterbatasan yang dimiliki manusia itu sendiri, mereka hanya mampu untuk menampung beberapa cabang keilmuan saja. Oleh karenanya wajar apabila setiap pekerjaan profesi yang dilakukan oleh seorang yang profesional, wajib didukung dengan pengetahuan yang cukup untuk melengkapi keilmuan yang dimiliki. Maksudnya, sudah saatnya para profesional teknik memiliki pengetahuan keilmuan yang bersentuhan dengan bidang pekerjaannya, yaitu ilmu hukum. Dengan demikian diharapkan bahwa setiap langkah profesi yang dilakukan oleh profesional teknik, mampu untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi apabila bidang pekerjaan profesi teknik tersebut berakibat hukum. Berdasarkan literatur dan pengalaman yang penulis lakukan, maka kecenderungan sengketa jasa konstruksi diakibatkan oleh beberapa hal : (1). Sengketa precontractual (2) Sengketa contractual (3) Sengketa pascacontractual. Masing-masing segketa tersebut memiliki karakteristik tersendiri dan merupakan bagian dari keseluruhan manajemen proyek bidang jasa konstruksi. 1.3. Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan untuk membahas lebih jauh tentang sengketa jasa konstruksi yang sering terjadi, sehingga diharapkan profesional teknik yang bekerja dibidangnya dapat mengantisipasti kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, khususnya pekerjaanpekerjaan yang bersentuhan dengan hukum. 1.4. Pembatasan Masalah Permasalahan yang ditulis dalam materi ini dibatasi pada sengketa jasa konstruksi yang terjadi dalam proyek skala kecil dan menengah, dan lingkup proyek dalam negeri, dan ditekankan hanya pada sengketa pelaksanaan konstruksi saja (sengketa contractual).
Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi (Bambang Poerdyatmono)
79
2. TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN 2.1. Jasa Konstruksi Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jasa konstruksi umumnya masih mengikuti peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, dengan apa yang waktu itu kita kenal dengan Algemene Voorwaarden (AV) 1941. Jauh setelah itu, peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan jasa konstruksi baru diterbitkan Pemerintah Indonesia melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 beserta Peraturan Pemerintah Nomor 28, 29 dan 30 Tahun 2000, serta peraturan perundang-undangan lain baik di tingkat pusat maupun daerah. Untuk mengetahui lebih jauh tentang jasa konstruksi, berikut dalam tabel 1 adalah asas dan tujuan pengaturan jasa konstruksi sebagaimana yang diamanatkan UU Nomor 18 Tahun 1999. Tabel 1. Asas dan Tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi sesuai Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 No 1.
Asas-asas Jasa Konstruksi Asas Kejujuran
2.
Asas Keadilan
3.
Asas Manfaat
4.
Asas Keserasian
5.
Asas Keseimbangan
6.
Asas Keterbukaan
7.
Asas Kemitraan
8.
Asas Keamanan
9.
Asas Keselamatan
No 1.
Tujuan Pengaturan Jasa Konstruksi Memberikan arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
2.
Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi
Dari penjelasan tabel 1 di atas jelaslah bahwa semua yang bekaitan dengan asas-asas dan tujuan pengaturan jasa konstruksi tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Berkaitan dengan pelaksanaan jasa konstruksi sebagai bagian dari manajemen proyek/konstruksi, maka lingkup layanan jasa konstruksi sebagaimana Pasal (3) PP Nomor 28 Tahun 2000 adalah lingkup pelayanan jasa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan secara strategis dapat terdiri dari jasa : rancang bangun, perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan terima jadi, penyelenggaraan pekerjaan terima jadi. Berikut pada Tabel 2 adalah jenis usaha jasa konstruksi sebagaimana UU Nomor 18 Tahun 1999 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) dan PP Nomor 28 Tahun 2000 Pasal (2), (3) dan Pasal (5).
80
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
Tabel 2. Jenis Usaha Jasa Konstruksi berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 1999 dan PP Nomor 28 Tahun 2000
1.
Jenis Usaha Jasa Konstruksi Perencanaan Konstruksi
2.
Pelaksanaan Konstruksi
3.
Pengawasan Konstruksi
No
Menurut UU Nomor 18 Tahun 1999 Layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi Layanan jasa pelaksanaan dalam pekerjaan konstruksi yang meliputi rangkaian kegiatan atau bagian-bagian dari kegiatan mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan konstruksi.
Layanan jasa pengawasan baik keseluruhan maupun sebagian pekerjaan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan konstruksi.
Menurut PP Nomor 28 Tahun 2000 Survey, perencanaan umum, studi makro dan mikro, studi kelayakan proyek, industri dan produksi; perencanaan teknik, operasi dan pemeliharaan, serta penelitian. Lingkup jasa perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan secara strategis dapat terdiri dari jasa : rancang bangun, perencanaan, pengadaan, dan pelaksanaan terima jadi, penyelenggaraan pekerjaan terima jadi. Layanan pengawasan jasa konstruksi yang meliputi : pengawasan pekerjaan konstruksi, pengawasan keyakinan mutu dan ketepatan waktu, dan proses perusahaan dari hasil pekerjaan konstruksi
Dari tabel 2 di atas jelaslah bahwa lingkup sengketa jasa konstruksi dapat saja terjadi pada tingkat perencanaan konstruksi, pelaksanaan konstruksi, juga pada tingkat perngawasan konstruksi itu sendiri. Oleh karena begitu luasnya sengketa yang ada, maka penulis membatasi sengketa yang terjadi hanya pada tingkat pelaksanaan konstruksi (sengketa contractual) dengan alasan bahwa pada tingkat ini merupakan bagian pekerjaan konstruksi yang melibatkan sumber daya yang besar, diketahui atau berlokasi didaerah umum (publik), dan pekerjaan pelaksanaan konstruksi saat itu sedang berlangsung. 2.2 Sengketa Jasa Konstruksi Sebagaimana diketahui dalam penulisan di depan, bahwa sengketa jasa konstruksi terdiri dari 3 (tiga) bagian : a. Sengketa precontractual yaitu sengketa yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses tawar menawar. Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi (Bambang Poerdyatmono)
81
b. Sengketa contractual yaitu sengketa yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi. c. Sengketa pascacontractual yaitu sengketa yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh) tahun. 2.2.1. Sengketa Contractual Sengketa ini terjadi pada saat pekerjaan pelaksanaan sedang berlangsung. Artinya tahapan kontraktual sudah selesai, disepakati, ditandatangani, dan dilaksanakan di lapangan. Sengketa terjadi manakala apa yang tertera dalam kontrak tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan di lapangan. Dalam istilah umum sering orang mengatakan bahwa pelaksanaan proyek di lapangan tidak sesuai dengan bestek, baik bertek tertulis (kontrak kerja) dan atau bestek gambar (lampiran-lampiran kontrak), ditambah perintah-perintah direksi/pengawas proyek (manakala bestek tertulis dan bestek gambar masih ada yang belum lengkap). Sedangkan sumber timbulnya sengketa, menurut Hamid Shahab (2000), terdapat beberapa kasus (ditambah pengalaman penulis), yaitu : a. Rasa saling percaya yang begitu besar antara pengguna jasa dan penyedia jasa, sehingga sering menimbulkan keinginan untuk segera memulai pekerjaan pelaksanaan proyek, sebelum dokumenn pelaksanaan (kontrak) selesai diproses. Menurut penulis, maksudnya adalah penyedia jasa memulai pekerjaan cukup hanya berbekal SPMK (Surat Perintah Memulai Pekerjaan) dari Pemimpin/Bagian Proyek. Kadangkala bahkan ada yang lebih kronis lagi, yaitu tanpa berbekal apapun asalkan yang bersangkutan sudah dinyatakan lolos seleksi (tender) “pemenang” lelang tersebut sudah memulai pekerjaan di lapangan dengan alasan memburu waktu (yang biasanya skala waktu suatu proyek kecil dan menengah memang singkat), walaupun tanpa dibekali uraian pekerjaan yang diperjanjikan atau dipercayakan. b. Perjanjian (kontrak) kerja dan dokumen konstruksi yang bersifat umumlah digunakan pedoman/dasar memulai pekerjaan, padahal ada detail dokumen yang lain yang seharusnya menjadi pedoman pelaksanaan, belum selesai dibuat. c. Proses pekerjaan pelaksanaan sudah dimulai tanpa pola urutan proses kerja, program waktu serta garis kritis yang akan mempengaruhi target akhir (time schedule). Ini terkait juga dengan butir 1 di atas. d. Di tengah perjalanan pekerjaan konstruksi, kadangkala pengguna jasa sebagai pemilik proyek melakukan kebijaksanaan dengan alasan untuk menghemat biaya, misalnya dengan melakukan self-supply untuk material-material tertentu tanpa melibatkan proses pengendalian mutu dengan melibatkan penyedia jasa. e. Adakalanya pengguna jasa sebagai pemilik proyek mempercayakan manajemen proyek kepada satu tangan dengan tanggung jawab penuh dan target waktu dan biaya yang ketat dalam batas ceiling tertentu, akan tetapi dalam pelaksanaannya pengguna jasa terlalu banyak mencampuri koordinasi dan manajemen proyek sehingga urutan pekerjaan dan pola penanganan proyek menjadi kacau sehingga sulit dipertanggungjawabkan dari kualitas, kuantitas, maupun target waktu dan biaya. Padahal proses tender/penunjukan sudah dilaksanakan sesuai ketentuan. f. Ketidakjelasan mengenai tanda tangan dan tanda-tanda khusus yang menyangkut keabsahan dokumen untuk dapat digunakan. Perlu diketahui bahwa sejak diberlakukannya sertifikasi profesi profesional tenaga ahli, salah satu diktum hak yang diberikan adalah berhak menandatangani berkas-berkas gambar peencanaan/pengawasan/perizinan, karena disitu sudah ada nomor registernya. Sampai saat ini, ketentuan ini belum banyak yang mengetahui atau melaksanakannya. 82
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
g. Ketidakjelasan alur penyaluran dokumen. Misalnya sering terjadi bahwa penyaluran dokumen ini dari siapa, siapa yang menggandakan, pihak-pihak mana saja yang berhak menerima dan memiliki dokumen, dokumen asli disimpan dimana, termasuk apakah direksi keet memerlukan gambar, time schedule, kalender, buku direksi/tamu, meja rapat kecil, gudang dan sebagainya. h. Format pengendalian proyek, kaitannya dengan siapa bertanggung jawab kepada siapa. Sering terjadi di lapangan, petugas proyek tidak menjalankan prosedur atau tata tertib yang telah disepakati kaitannya dengan struktur organisasi manajemen proyek. i. Timbulnya variation order sepanjang masa pelaksanaan konstruksi, dengan tidak mencatat, melaporkan atau mengantisipasi terhadap pengaruh perubahan waktu dan biaya. j. Pekerjaan dilaksanakan tanpa landasann yang disepakati, misalnya unit price, sedang di lapangan menuntut jalur kritis. k. Site Engineer atau Koordinator Lapangan yang tidak menguasai seluruh proses. Ini akan berakibat permasalahan yang ada dan terjadi atau kemungkinan deteksi dini tidak dapat dilakukan dengan baik. l. Terjadinya kerancuan istilah Quality Control dengan Quality Assurance. m. Terdapat istilah-istilah yang dapat menimbulkan dubious, misalnya : 1) Tidak perlu safety yang berlebihan, asalkan fungsi bangunan terpenuhi. 2) Persiapkan jalan masuk proyek, tanpa kejelasan transportasi apa saja yang akan melalui jalan masuk tersebut. 3) Kerjakan lebih dahulu apa yang dapat dikerjakan, dengan tidak mengantisipasi kendala yang mungkin timbul yang akan memperlamabat kelancaran proyek, sedangkan tanggung jawab yang timbul, tidak berada di pundak pemberi arahan tersebut. n. Terdapat istilah-istilah yang ambigous, seperti : 1) Gunakan material sejenis, setara atau yang kualitasnya sederajat. 2) Lakukan dengan mutu yang baik. 3) Lakukan dalam periode waktu yang wajar. 4) Gunakan batas toleransi penyimpangan yang wajar. 5) Lakukan sesuai dengan apa yang dirasakan perlu oleh konsultan perencana. 6) Jalankan sesuai dengan standar atau servis normal. 7) Batasi dengan biaya maksimum yang dapat dijamin (guaranted maximum price). 8) Ikuti pandangan konsultan perencana yang reasonable. 9) to the engineer’s satisfaction. o. Fungsi manajemen konstruksi yang jelas diperlukan pada proyek kecil sampai proyek besar, tidak jelas diserahkan kepada siapa : 1) Apakah kepada Tim Manajemen Konstruksi (MK), atau 2) Apakah kepada Kontraktor Utama, atau 3) Salah satu kontraktor yang terlibat pada proyek, atau 4) Dipegang sendiri oleh Pengguna Jasa atau Pemilik Proyek. p. Belum adanya pengaturan mengenai tidak terpenuhinya target waktu atau target finansial. q. Adanya persetujuan yang tidak di back-up dengan administrasi dan atau pendanaan yang baik. r. Persetujuan (approval) mengenai nilai biaya atau gambar-gambar usulan atau program waktu tidak kunjung diselesaikan, yang mengakibatkan tertundanya pekerjaan. Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi 83 (Bambang Poerdyatmono)
s. Biaya tambah yang diperlukan untuk mempercepat pelaksanaan proyek, baik untuk memperpendek periode pelaksanaan secara keseluruhan maupun untuk mengejar keterlambatan, persetujuan dan keterlambatan dokumen yang perlu disiapkan oleh pihak ketiga. t. Idle time peralaan yang tidak efektif. u. Meningkatnya overhead karena banyaknya penundaan-penundaan pelaksanaan atau banyaknya change order atau perubahan pekerjaan yang berakibat pada pekerjaan tambah. v. Keterlambatan pembayaran, padahal di satu sisi pekerjaan dituntut tetap lancar dan dilaksanakan dengan baik. w. Adanya perbedaan pengertian kontrak yang berbahasa asing dengan kontrak yang sama dan berbahasa Indonesia. x. Nominated subkontraktor (sub penyedia jasa) yang ditunjuk oleh pengguna jasa, tanpa koordinasi dan konsultasi dengan pihak yang memegang koordinasi dan tanggung jawab. Kasus-kasus sebagai penyebab sengketa tersebut di atas merupakan kasus-kasus yang sering terjadi di lapangan. Apabila ditambah dengan kasus-kasus yang lebih kecil, jumlahnya cukup banyak. Penulis beranggapan apabila semua kasus-kasus di atas dapat diatasi, besar kemungkinan kasus-kasus kecil juga akan teratasi. 2.3. Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi juncto Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa junco Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi serta peraturan lain, mengisyaratkan bahwa penyelesaian sengketa jasa konstruksi dilakukan melalui jalur di luar pengadilan. Dalam tabel 3 adalah perbandingan penyelesaian sengketa menurut peraturan-peraturan tersebut di atas. Dari uraian dalam tabel 3, jelaslah bahwa pada dasarnya penyelesaian sengketa jasa konstruksi yang tidak dapat diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat, diarahkan pada penyelesaian di luar pengadlan dan bermuara pada penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Dalam hal kasus sengketa yang bersifat kontraktual atau sengketa dimasa pelaksanaan pekerjaan sedang belangsung, maka penyelesaian sengketa tersebut dapat melalui jalur-jalur sebagaimana dalam tabel 3, yaitu : 1). Jalur Konsultasi Konsultasi merupakan suatu tindakan yang bersifat “personal” antara satu pihak tertentu, yang disebut dengan “klien” dengan pihak lain yaitu konsultan. Pihak konsultan ini memberikan pendapat kepada klien untuk memenuhi kebutuhan klien tersebut. Dalam jasa konstruksi, konsultan berperan penting dalam penyelesaian masalah-masalah teknis lapangan, apalagi apabila konsultan tersebut merupakan konsultan perencana dan atau konsultan pengawas proyek. Pendapat mereka sangat dominan untuk menentukan kelancaran proyek 2). Jalur Negosiasi Pada dasarnya negosiasi adalah upaya untuk mencari perdamaian di antara para pihak yang bersengketa sesuai Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjunya dalam Pasal 1851 sampai dengan Pasal 1864 Bab Kedelapanbelas Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata tentang 84
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
Perdamaian, terlihat bahwa kesepakatan yang dicapai kedua belah pihak yang bersengketa, harus dituangkan secara tertulis dan mengikat semua pihak. Perbedaan yang ada dari kedua aturan tersebut adalah bahwa kesepakatan tertulis tersebut ada yang cukup ditandatangani para pihak dengan tambahan saksi yang disepakati kedua belah pihak. Sedangkan yang satu lagi, kesepakatan yang telah diambil harus didaftarkan ke Pangadilan Negeri. Negosisi merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang dilaksanakan di luar pengadilan, sedangkan perdamaian dapat dilakukan sebelum proses sidang pengadilan atau sesudah proses sidang berlangsung, baik di luar maupun di dalam sidang pengadilan (Pasal 130 HIR). Dari literatur hukum dapat diketahui, selain sebagai lembaga penyelesaian sengketa, juga bersifat informal meskipun adakalanya juga bersifat formal. Tabel 3. Perbandingan Penyelesaian Sengketa
UU No 18 / 1999 Tentang Jasa Konstruksi
Semua keputusan tetap melalui kesepakatan para pihak (bersifat final, mutlak) Melalui Pengadilan (pidana/perdata) Luar Pengadilan dan dapat dibantu pihak ketiga
UU No. 30 / 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Semua keputusan tetap melalui kesepakatan (bersifat final, mutlak)
------
Luar Pengadilan ◘ Konsultasi ◘ Mediasi ◘ Negosiasi ◘ Konsiliasi ◘ Penilaian Ahli
SKB Menteri Keuangan RI dan Kepala BAPPENAS PP No. 29/2000 No.S-42/A/2000 tentang No.SPenyelenggaraan 2262/D.2/05/2000 Jasa Konstruksi Tentang Juknis Keppres RI No.18/2000 Semua keputusan tetap Semua keputusan melalui kesepakatan tetap melalui (bersifat final, mutlak) kesepakatan (bersifat final, mutlak)
Melalui Pengadilan (pidana/perdata)
Luar Pengadilan ◘ Konsultasi ◘ Konsiliasi ◘ Badan Arbitrase
------
Luar Pengadilan ◘ Konsultasi ◘ Mediasi ◘ Negosiasi ◘ Konsiliasi ◘ Penilaian Ahli
Sumber : Bambang Poerdyatmono (2003)
3). Jalur Mediasi Dari beberapa pengertian yang ada, maka pengertian mediasi adalah pihak ketiga (baik perorangan atau lembaga independen), tidak memihak dan bersifat netral, yang bertugas memediasi kepentingan dan diangkat serta disetujui para pihak yang bersengketa. Sebagai pihak luar, mediator tidak memiliki kewenangan memaksa, tetapi bertemu dan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok perkara. Berdasarkan masukan tersebut, mediator dapat menentukan kekurangan atau kelebihan suatu perkara, kemudian disusun dalam proposal yang kemudian dibicarakan kepada para pihak secara langsung. Peran mediasi ini cukup penting karena harus dapat menciptakan situasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi (Bambang Poerdyatmono)
85
kondisi yang kondusif sehingga para pihak yang besengketa dapat berkompromi dan menghasilkan penyelesaian yang saling menguntungkan di antara para pihak yang bersengketa. Mediasi juga merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa. 4). Jalur Konsiliasi Konsiliasi menurut sumber lain, dapat disebut sebagai perdamaian atau langkah awal perdamaian sebelum sidang pengadilan (ligitasi) dilaksanakan, dan ketentuan perdamaian yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, juga merupakan bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan mengecualikan untuk hal-hal atau sengketa yang telah memperoleh suatu putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. 5). Jalur Pendapat Hukum oleh Lembaga Arbitrase Arbitrase adalah bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan perbedaan atau perselisihan atau sengketa yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian pokok, akan tetapi juga dapat memberikan konsultasi dalam bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan para pihak dalam perjanjian. Pendapat hukum lembaga arbitrase bersifat mengikat, dan setiap pelanggaran terhadap pendapat hukum yang diberikan tersebut berarti pelanggaran terhadap perjanjian (breach of contract – wanprestasi). Sifat dari pendapat hukum lembaga arbitrase ini termasuk dalam pengertian atau bentuk “putusan” lembaga arbitrase. Kesepakatan penyelesaian sengketa melalui jalur pendapat hukum lembaga arbitrase ini agaknya yang mendasari Rapat Kerja Daerah (Rakerda) Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Daerah Jawa Timur pada tanggal 27 November 2004 yang lalu. Dengan demikian, maka penyelesaian sengketa jasa konstruksi bidang arsitektural mulai dijajaki ke arah itu. Bagaimana dengan profesi teknik yang lain? Menurut pengalaman penulis, pada dasarnya penyelesaian sengkera jasa konstruksi banyak mengadopsi beberapa jalur tersebut di atas. Dalam penyelesaian sengketa jasa konstruksi pada saat berlangsungnya pelaksanaan proyek dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai penyerahan pekerjaan I) a. Penyelesaian sengketa dengan Site Meeting (Rapat-rapat Lapangan) yang dilaksanalan 2 (dua) minggu sekali. Rapat ini dihadiri oleh pengguna jasa, penyedia jasa, dan wakil pemerintah bidang konstruksi (untuk proyek pemerintah - instansi teknis). Kesepakatan yang dihasilkan dalam site meeting ini dibuatkan Berita Acara Rapat Lapangan yang ditandatangani pihak-pihak yang terlibat/hadir, mengikat semua pihak, serta masuk dalam dokumen pelaksanaan pekerjaan konstruksi yang sedang berjalan. Dengan rapat-rapat lapangan yang bersifat rutin ini diharapkan segala permasalahan yang ada dan yang terjadi dapat diantisipasi. b. Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Ad Hoc (Arbitrase Voluntier).Cara ini dilakukan manakala penyelesaian sengketa di tingkat pertama (butir a) belum menghasilkan kesepakatan diantara para pihak. Arbitrase Volunter ini dibentuk khusus untuk menyelesaikan sengketa atau memutus sengketa tertentu (baca : sengketa konstruksi). Karena itu arbitrase volunter ini bersifat insidentil dan jangka waktunya tertentu pula sampai sengketa tersebut diputuskankan. Dalam praktik konstruksi, arbitrase volunter ini dapat disebut sebagai Panitia Pendamai yang berfungsi sebagai 86
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
juri/wasit yang dibentuk dan diangkat oleh para pihak, yang anggota-anggotanya terdiri dari : 1) Seorang wakil dari pihak kesatu (pengguna jasa) sebagai anggota 2) Seorang wakil dari pihak kedua (penyedia jasa) sebagai anggota 3) Seorang wakil dari pihak ketiga sebagai ketua yang ahli dibidang konstruksi, dan disetujui kedua belah pihak. Hasil keputusan Panitia Pendamai ini bersifat mengikat dan mutlak untuk kedua belah pihak yang bersengketa. c. Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase Institusional, yaitu suatu lembaga permanen (permanent arbitral body) sebagaimana ayat (2) Konvensi New York 1958. Arbitrase Institusional ini didirikan oleh organisasi tertentu dan sengaja didirikan untuk menampung perselisihan yang timbul dari perjanjian. Faktor sengaja dan sifat permanen itulah yang membedakan dengan arbitrase ad hoc. Arbitrase Institusional ini berdiri sebelum sengketa timbul. Di samping itu arbitrase ini berdiri untuk selamanya walaupun suatu sengketa telah diputus dan diselesaikan. Menurut pengalaman, lembaga ini jarang dimanfaatkan oleh para pihak yang bersengketa, disebabkan karena minimal 2 (dua) hal : (1) sengketa biasanya telah dituntaskan pada tahap pertama (butir a – site meeting) dan (2) para pihak seolah enggan meneruskan sengketa ke tingkat yang lebih tinggi (butir b – arbitrase volunter dan arbitrase institusional apalagi melalui jalur pengadilan). d. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan. Upaya pengadilan yang dimaksud adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan, manakala upaya yang ada belum juga menghasilkan kesepakatan. Perlu diingat bahwa upaya pengadilan ini meupakan upaya akhir (baca : pengadilan negeri tempat domisili para pihak berselisih, termasuk lokasi proyek yang bersangkutan – yang biasanya sudah dicantumkan dalam kontrak kerja). Padahal menurut beberapa ahli hukum, selama ini sudah ada institusi hukum lain yang mengangani upaya penyelesaian sengketa, yaitu arbitrase institusional, sehingga para pihak harus memilih salah satu institusi hukum tersebut, pengadilankah atau arbitrase institusional, karena keduanya sama-sama kuat kedudukannya di depan hukum. Menurut UU Nomor 30 Tahun 1999 pasal 6 ayat (7), Pengadilan Negeri menerima pendaftaran hasil kesepakatan para pihak yang bersengketa (tertulis) untuk dilaksanakan dengan itikat baik dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan kesepakatan tersebut. Bisa diartikan bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani para pihak yang bersengketa tersebut (baik melalui atau tanpa melalui arbitrase institusional), cukup didaftarkan ke Pengadilan Negeri dimana domisili para pihak yang bersengketa dan atau lokasi proyek berada. Dalam tahap ini jelas bahwa UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi Pasal 39 ayat (1) menegaskan bahwa penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa. Hal ini diperkuat lagi pada Pasal 41 undang-undang ini yang menyebutkan bahwa penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana atas pelanggaran undang-undang ini.
Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi (Bambang Poerdyatmono)
87
2). Penyelesaian sengketa kontraktual (sampai dan setelah penyerahan ke II) Pada tahap ini dibagi 2 (dua) yaitu : (1) Tahap pekerjaan konstruksi sampai dengan penyerahan ke II pekerjaan pelaksanaan, dan (2) Tahap operasional yaitu tahap bangunan dimanfaatkan hingga jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Tahap yang pertama, kontrak kerja pelaksanaan masih berlaku hingga tahap penyerahan kedua kalinya, yang sering disebut masa pemeliharaan. Pada masa pemeliharaan ini segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan pelaksanaan yang masih belum sempurna (rusak, cacat, kekurangsempurnaan pekerjaan yang ringan) dapat diselesaikan pada masa sebelum penyerahan kedua kalinya. Waktu pelaksanaan tahap pemeliharaan ini biasanya singkat sekitar 2 (dua) minggu saja. Tahap kedua, adalah masa “pertanggungan atau jaminan” bangunan hingga 10 (sepuluh) tahun kedepan atau masa bangunan dioperasikan/dimanfaatkan. Pada masa ini segala sesuatu yang berkaitan dengan kerusakan akibat kesalahan/kekurangan pada saat pelaksanaan pekerjaan konstruksi (masa kontraktual) dilaksanakan. Masa ini kontraktor masih “ikut” bertanggung jawab, termasuk konsultan pengawas dan konsultan perencana. Untuk tahap kedua ini, akan dibahas lebih lanjut dalam kesempatan lain. 2.4. Tanggung Jawab Pelaku Jasa Konstruksi secara Perdata dan Pidana 2.4.1. Tanggung Jawab secara Perdata Tanggung jawab secara perdata pelaku jasa konstruksi dapat dilihat dari perikatan yang terjadi antara Pengguna Jasa (pemilik Proyek) dengan Penyedia Jasa (Konsultan atau Kontraktor). Perikatan yang berbentuk kontrak kerja konstruksi tersebut terkait dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata Pasal 1233, yaitu bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena persetujuan, dan atau karena undang-undang. Mariam Darus Badrulzaman, (2001), menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Perdata, perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara 2 (dua) orang atau lebih, yang terletak di dalam harta kekayaan, di mana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi tersebut. Semua hak dan kewajiban pelaksanaan jasa konstruksi tersebut telah tercantum dalam kontrak kerja konstruksi. 2.4.2. Tanggung Jawab secara Pidana Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 membuka peluang sanksi pidana bagi pelaku jasa konstruksi, khususnya Pasal 41 dan Pasal 43 ayat (1), (2), dan (3). Tujuan undang-undang ini adalah untuk melindungi masyarakat yang menderita sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi sedemikian rupa. Pada pinsipnya barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi persyaratan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (pada saat berlangsungnya pekerjaan konstruksi) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan beroperasi), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak. Selain sanksi pidana, para profesional (tenaga ahli) teknik juga akan dikenai sanksi administrasi sebagaimana yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2000 Pasal 31, 32, dan 33 juncto PP Nomor 30 Tahun 2000 Pasal 6 ayat (4). Sanksi pidana dirasakan perlu mengingat bahwa sanksi lain seperti sanksi administrasi bagi pelanggaran norma-norma hukum Tata Negara dan Tata Usaha Negara, dan sanksi perdata bagi pelanggaran norma-norma hukum perdata belum mencukupi untuk mencapai 88
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
tujuan hukum, yaitu rasa keadilan. Menurut Wirjono Prodjodikoro (1989), sanksi pidana ini dapat dianggap sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
3. KESIMPULAN DAN SARAN 3.1. Kesimpulan a. Sengketa jasa konstruksi dapat terjadi pada masa precontractual, masa contractual, dan masa pascacontractual. b. Pada masa contractual, dapat saja terjadi sengketa pada saat Perencanaan Konstruksi, Pelaksanaan Konstruksi, dan Pengawasan Konstruksi. c. Alternatif penyelesain sengketa jasa konstruksi dilakukan melalui jalur konsultasi, negosisi, mediasi, konsiliasi, pendapat hukum oleh lembaga arbitrase, atau gabungan kelima jalur tersebut sesuai tingkat kebutuhan. Pada pelaksanaan di lapangan, penyelesaian sengketa jasa konstruksi, sering dilakukan dengan : site meeting, arbitrase ad hoc, sedangkan jalur arbitrase institusional dan melalui pengadilan, sedapat mungkin dihindari. 3.2. Saran a. Dengan telah diberlakukannya UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi jo PP Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi jo PP Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi jo PP Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa konstruksi, serta Peraturan Perundang-undangan lain yang berkaitan dengan jasa konstruksi, diharapkan para profesional teknik pada lingkup perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proyek konstruksi mampu mengantisipasi kondisi ini dengan baik. b. Sengketa precontractual dan sengketa pascacontractual masih belum dibahas dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA Badrulzaman, M.D.,1993, KUH Perdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan Penyelesiannya, Penerbit Alumi, Bandung Shahab, H., 2000, Menyingkap dan Meneropong Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 dan Penyelesaian Alternatif serta Kaitannya dengan UU Jasa Konstruksi No. 18 Tahun 1999 dan FIDIC., Penerbit Liberty, Jogjakarta. Poerdyatmono, B., 2003, Sengketa Pelaksanaan Kontrak Kerja Konsultan Pengawas Konstruksi, Skripsi S-1 llmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Sunan Giri, Surabaya (tidak dipublikasikan) Poerdyatmono, B., 2005, Asas Kebebasan Berkontrak (Contractvrijheid Beginselen) dan Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstandigheden) pada Kontrak Jasa Konstruksi, Jurnal Teknik Sipil, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Atmajaya, Jogjakarta, Volume 6 No. 1. Poerdyatmono, B., 2008, Sengketa Jasa Konstruksi sebagai Akibat Terbitnya Beschikking dan Pelaksanaan Kortverban Contract : Tinjauan Aspek Hukum Manajemen Proyek, Prosiding Seminar Nasional VII, Program Studi Magister Manajemen Teknologi, Program Pascasarjana Institut Teknologi 10 November Surabaya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Alternatif Penyelesaian Sengketa Jasa Konstruksi 89 (Bambang Poerdyatmono)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi Subekti dan Tjitrosudibio (1999), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (terjemahan dari Burgerlijk Wetboek), Cetakan Ketigapuluh, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dengan Kepala Badan Perencana Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Republik Indonesia Nomor : S - 42 / A / 2000 tentang Petunjuk Teknis Keputusan Presiden Republik S.2262 / D.2 / 05 / 2000 Indonesia Nomor 18 Tahun 2000
90
Volume 8 No. 1, Oktober 2007 : 78 - 90
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
ANALISIS DAN EVALUASI ASPEK MANAJEMEN DALAM STUDI KELAYAKAN PROYEK Akhmad Fauzi Jurusan Teknik Informatika, UPN “Veteran” Jatim ABSTRAKSI Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek dilaksanakan dengan berhasil. Ada beberapa aspek dalam studi kelayakan proyek, salah satu diantaranya adalah Aspek Manajemen. Manajemen Proyek adalah suatu sistem dimana kita dapat mengontrol rencana dan jalannya suatu proyek dalam perencanaan, pengendalian serta pengkoordinasian dari aktivitas yang saling berkaitan. Dalam manajemen proyek ini, prosedur yang paling utama untuk dipakai adalah PERT-type system. PERT-type system ini dirancang untuk membantu dalam perencanaan dan pengendalian. Tujuan sistem ini adalah untuk menghitung tercapainya batas waktu proyek serta untuk menetapkan kegiatan mana dari suatu proyek yang merupakan bottlenecks (penentuan waktu penyelesaian seluruh proyek). Sehingga dapat diketahui pada kegiatan mana kita harus bekerja keras agar jadwal dapat terpenuhi sekaligus senantiasa dapat mengawasi dan membandingkan hasil dari kegiatan yang sudah serta akan dikerjakan. Kata kunci: Studi kelayakan proyek, Aspek Manajemen, Analisis dan Evaluasi 1.
PENDAHULUAN Studi kelayakan proyek adalah penelitian tentang dapat tidaknya suatu proyek (biasanya merupakan proyek investasi) dilaksanakan dengan berhasil. Dua serangkai ungkapan asing “doing the right thing (efficient)” dan “doing thing the right (effective)” bukanlah merupakan hal yang baru bagi pedoman melakukan suatu kegiatan. Apa yang mungkin masih perlu penjabaran dan perumusan adalah bagaimana melaksanakannya agar tercapai maksud dari ungkapan di atas. Pada era globalisasi, dimana batas antarnegara makin terbuka, produk dan jasa dari suatu tempat mudah mencapai tempat lain, maka hanya mereka yang bekerja dengan prinsip di atas yang akan memenangkan persaingan dan merebut pasaran, yang pada giliran selanjutnya menikmati hasil usahanya lebih dulu dan lebih banyak. Di negara yang sedang berkembang, dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyatnya, tuntutan akan terselenggaranya kegiatan yang dilandasi prinsip-prinsip tersebut makin terasa mengingat banyaknya kemajuan yang harus dikejar, sedangkan sumber daya yang tersedia baik yang berupa sumber daya manusia terampil maupun dana amat terbatas. Ketinggalan ini diusahakan dikejar dengan pembangunan disegala bidang. Pembangunan tersebut berupa pembanguna fisik proyek seperti perbaikan perkampungan, prasarana, mendirikan industri berat dan ringan, jaringan telekomunikasi dan lain-lain. Menghadapi keadaan demikian, langkah yang umumnya ditempuh di samping mempertajam prioritas adalah mengusahakan peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan agar dicapai hasil guna yang maksimal dari sumber daya yang tersedia. Pengelolaan yang dikenal sebagai “MANAJEMEN PROYEK” adalah salah satu cara yang ditawarkan untuk maksud tersebut, yaitu suatu metode pengelolaan yang dikembangkan secara intensif sejak pertengahan abad 20 untuk
menghadapi proyek.
kegiatan
khusus
yang
berbentuk
1.1 Permasalahan Bagaimana mengendalikan serta mengkoordinasi suatu proyek agar dapat diselesaikan dengan cara yang paling optimal dan Bagaimana menganalisis tingkat kemajuan suatu proyek. 1.2 Maksud dan Tujuan Maksud dari perangkat lunak ini adalah dapat menjadi suatu sistem yang akan mempermudah kita untuk berpikir cepat dalam menganalisis studi kelayakan proyek. Dan dengan tujuan dari penelitian ini adalah: a. Dengan adanya rekayasa perangkat lunak ini bisa menunjang seseorang atau suatu perusahaan untuk merencanakan dan mengendalikan proyek sesuai dengan jadwal yang direncanakan. b. Diharapkan dengan adanya studi kelayakan proyek melalui rekayasa perangkat lunak ini diperoleh suatu proyek yang benarbenar biasa dikoordinasi secara tepat. 1.3 Batasan Masalah a. Taksiran mengenai waktu yang diperlukan untuk setiap pekerjaan. b. Urutan pekerjaan c. Data Kegiatan Global. Untuk menggunakan sistem analisis ini, semua kegiatan detail dari kegiatan global harus sudah terlaksana. Berikut data pengeluaran biaya dan tanggal transaksi. d. Pada sistem ini diasumsikan bahwa program ini dipakai hanya untuk menganalisa proyek konstruksi dan semua rencana kegiatan sudah disiapkan untuk proses data dalam sistem. e. Sebelum menganalisa suatu proyek dengan perangkat lunak ini, seorang pemilik proyek
I-1
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
f.
g.
ISSN: 1907-5022
dimaksudkan atau sering disebut sebagai fit for the intended use.
harus sudah menyiapkan data yang valid, mulai dari jadwal, biaya dan tenaga kerja. Kondisi yang dipakai dalam menggunakan sistem ini adalah kondisi untuk menganalisa dan evaluasi untuk manajemen proyek konstruksi fisik. Perangkat lunak ini bersifat tidak fleksibel, dalam arti akan menganalisa data yang sudah direncanakan dan memberikan analisis berdasarkan data dari pemegang proyek. Maka pemilik proyek harus mengerti dasar manajemen proyek dan telah mengorganisir rencana proyeknya dengan baik.
2.2 Proyek dan manajemen fungsional Proyek bukanlah sesuatu yang baru, apa yang berubah dan merupakan hal baru adalah dimensi dari proyek dan lingkungan sosial yang mengelilinginya baik dari segi kualitas dan kuantitas. Meskipun proyek bukanlah sesuatu yang baru, namun mengelola kegiatan dengan menggunakan konsep manajemen baru merupakan langkah yang relatif baru. Manajemen proyek adalah proses merencanakan, mengorganisir, memimpin dan mengendalikan kegiatan anggota serta sumber daya yang lain untuk mencapai sasaran organisasi (perusahaan yang telah ditentukan).
2. LANDASAN TEORI 2.1 Profil Kegiatan Proyek Kegiatan proyek dapat diartikan sebagai satu kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi sumber daya tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang sasarannya telah digariskan dengan tegas. Tugas tersebut dapat berupa membangun pabrik, membuat produk baru atau melakukan penelitian dan pengembangan. Adapun ciri-ciri pokok sebuah proyek adalah: 1. Memiliki tujuan yang khusus, produk akhir atau hasil kerja akhir. 2. Jumlah biaya, sasaran jadwal serta kriteria mutu dalam proses mencapai tujuan diatas telah ditentukan. 3. Bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas. Titik awal dan akhir ditentukan dengan jelas. 4. Nonrutin, tidak berulang-ulang. Jenis dan intensitas kegiatan berubah sepanjang proyek berlangsung.
2.3 Teknik Perencanaan Manajemen Proyek Pengelolaan proyek-proyek berskala besar yang berhasil memerlukan perencanaan, penjadwalan dan pengkoordinasian yang hati-hati dari berbagai aktivitas yang saling berkaitan. Untuk itu, maka pada tahun 1950 telah dikembangkan prosedur-prosedur formal yang didasarkan atas penggunaan network (jaringan) dan teknik-teknik network. Prosedur yang paling utama dalam prosedur-prosedur ini dikenal dengan PERT (Program Evaluation and Review Techniques) dan CPM (Critical Path Method). Kecenderungan pada dewasa ini adalah menggabungkan kedua pendekatan tersebut menjadi apa yang biasa dikenal sebagai PERT-type sistem. Walaupun PERT-type sistem ini pada mulanya digunakan untuk mengevaluasi penjadwalan program penelitian dan pengembangan, kini digunakan pula untuk mengukur dan mengendalikan kemajuan berbagai tipe proyek khusus lainnya. Sebagai contoh dari tipe-tipe proyek ini adalah program-program konstruksi, pemrograman komputer, rencana pemeliharaan dan pemasangan sistem komputer. PERT-type sistem ini dirancang untuk membantu dalam perencanaan dan pengendalian. Tujuan sistem ini adalah untuk menentukan probabilitas tercapainya batas waktu proyek serta untuk menetapkan kegiatan mana (dari suatu proyek) yang merupakan bottlenecks (penentukan waktu penyelesaian seluruh proyek) sehingga dapat diketahui pada kegiatan mana kita harus bekerja keras agar jadwal dapat terpenuhi. Seperti telah diterangkan di atas, PERT-type sistem menggunakan network (jaringan kerja) untuk menggambarkan interelasi di antara elemen-elemen proyek. Gambar jaringan rencana proyek ini memperlihatkan seluruh kegiatan (aktivitas) yang terdapat di dalam proyek tersebut serta logika kebergantungannya satu sama lain. Sebenarnya masa pembangunan proyek adalah bukan hanya pembangunan sarana fisik saja, tetapi berbagai sarana lain, sampai sarana melakukan produksi percobaan (trial run). Kegiatan yang penting adalah bagaimana kita bisa menjadwal
Selain ciri di atas sebuah proyek harus mempunyai parameter. Parameter ini sangat penting bagi penyelenggara proyek yang sering diasosiasikan sebagai sasaran proyek, antara lain: 1. Anggaran. Proyek harus diselesaikan dengan biaya yang tidak melebihi anggaran. Untuk proyek-proyek yang melibatkan dana dalam jumlah yang besar dan jadwal bertahun-tahun, anggarannya bukan hanya ditentukan untuk total proyek tetapi dipecah bagi komponenkomponennya, atau per periode tertentu yang jumlahnya disesuaikan dengan keperluan. Dengan demikian, penyelesaian bagian-bagian proyek pun harus memenuhi sasaran anggaran per periode. 2. Jadwal. Proyek harus dikerjakan sesuai dengan kurun waktu dan tanggal akhir yang telah ditentukan. Bila hasil akhir adalah produk baru, maka penyerahannya tidak boleh melewati batas waktu yang ditentukan. 3. Mutu. Produk atau hasil kegiatan proyek harus memenuhi spesifikasi dan kriteria yang dipersyaratkan. Sebagai contoh, bila hasil kegiatan proyek tersebut berupa instalasi pabrik, maka kriteria yang harus dipenuhi adalah pabrik harus mampu memenuhi tugas yang I-2
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
serta menunjang suatu organisasi atau perusahaan untuk mengendalikan suatu proyek jika dirasa kurang layak. Dengan kata lain perancangan sistem perangkat lunak ini dapat dijadikan tolok ukur dalam mendirikan suatu proyek berjangka waktu dan sebuah proyek yang besar.
berbagai kegiatan yang memerlukan berbagai sumber daya, mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan tersebut agar membentuk suatu kegiatan, sehingga proyek nantinya bisa beroperasi tepat pada waktunya. Tentu saja, dalam penyalesaian kegiatankegiatan ini perlu diperhatikan faktor biaya. Secara umum akan ada “trade off” antara biaya dan waktu penyelesaian. Semakin cepat waktu penyelesaian, semakin tinggi biaya yang harus ditanggung. Langkah pertama merancang pelaksanaan proyek ialah membaginya ke dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan perlu diidentifikasi dan hubungan antar kegiatan tersebut harus jelas. Berdasar pembagian ini pula dapat dilakukan alokasi sumber daya dan waktu. Dengan demikian, dapatlah pemberi proyek mengetahui secara garis besar, kegiatan apa saja yang dilakukan untuk menyelesaikan proyek tersebut serta berapa dana dan waktu untuk menyelesaikan proyek tersebut. Langkah kedua ialah menentukan skedul/jadwal kegiatan dalam proyek. Semua kegiatan disusun dalam suatu rencana yang menyeluruh, sehingga bisa diperkirakan kapan proyek tersebut akan selesai dan beroperasi secara komersial. Dalam hal ini biasanya digunakan bantuan teknik atau cara seperti bagan GANTT atau diperluas dengan mempergunakan analisis network seperti PERT (Program Evaluation and Review Technique) dan CPM (Critical Path Method). Kedua teknik ini merupakan suatu cara untuk merencanakan penyelesaian pekerjaan, memperkirakan waktu yang diperlukan. Secara formal kedua teknik ini sering didefinisikan sebagai suatu metode unutuk menjadwal dan menganggarkan sumber-sumber daya untuk menyelesaikan pekerjaan pada jadwal yang sudah ditentukan. Perancangan dari aspek manajemen ini akan menganalisa 3 faktor yang merupakan syarat yang harus di kerjakan agar suatu proyek dikatakan layak dari segi manajemen, yaitu: 1. Penentuan atau taksiran waktu (Duration Time). 2. Penentuan waktu dalam menyelesaikan suatu proyek atau urutan kegiatan. 3. Perencanaan Sumber Daya Manusia/tenaga Kerja 4. Perkiraan biaya proyek. 5. Analisis hasil kelayakan proyek
3.1 Sistematika Sistem Setelah tersusun rencana dan jadwal, biaya, tenaga kerja proyek yang cukup realistik, kemudian dapat dipakai tolok ukur atau alat pembanding dalam kegiatan pengendalian pada tahap implementasi fisik. Yaitu dengan memperbandingkan antara perencanaan atau jadwal dengan hasil pelaksanaan nyata di lapangan. 3.2 Algoritma Sistem Berikut adalah Algoritma sistem dari program rancang bangun perangkat lunak Metode PERTType System. Adapun Algoritma sistem adalah sebagai berikut: a.
Algoritma sistem untuk identitas perusahaan Algoritma identitas perusahaan adalah sistem awal untuk terjadinya komitmen antara developer proyek sebagai analisis terhadap proyek yang dikerjakan. Sistem ini berisi nama perusahaan/organisasi, alamat organisasi, no telp, tanggal dimulainya kegiatan sampai selesainya kegiatan. Algoritma sistem identitas perusahaan: Memasukkan identitas perusahaan/organisasi yaitu nama, alamat, no telp. Sebagai awal suatu organisasi harus mengisi tanggal deal di mulainya kegiatan sampai selesainya kegiatan.
b. Algoritma Sistem untuk waktu kegiatan Suatu kegiatan masing-masing mempunyai waktu estimasi sendiri-sendiri. Sistem yang dibuat ini menggunakan probabilitas 3 kurun waktu yaitu waktu pesimis (tp), waktu optimis (to), waktu tengah (tm) algorithma untuk sistem di atas adalah sebagai berikut: Metode PERT-Type System: Masukkan nama kegiatan yang akan dilaksanakan. Masukkan waktu yaitu To, Tm, Tp Dari masukkan no 1 dan 2 akan di dapat Te (waktu estimasi) dan Varian (V).
Pada saat suatu organisasi telah melakukan perjanjian untuk mengadakan analisis proyek selanjutnya organisasi akan menginputkan data sesuai dengan aliran di atas, yaitu nama kegiatan dan waktu (d). Dari masukan seorang user akan di dapat waktu estimasi dan varian.
3.
ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM Pengelola proyek selalu ingin mencari metode yang dapat meningkatkan kualitas perencanaan dan pengendalian untuk menghadapi jumlah kegiatan dan kompleksitas proyek yang cenderung bertambah. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan ditemukannya Analisis Jaringan Kerja (Network Analysis). Dalam penelitian ini akan dikembangkan beberapa metode untuk Analisis Jaringan Kerja (Network Analysis) sesuai dengan aturan metode dalam aspek manajemen. Komputerisasi metode PERT-Type System ini membantu dalam perencanaan dan perkiraan
c.
Algoritma Network/Kegiatan Algoritma sistem ini dikatakan Algoritma network, karena kegiatan-kegiatan yang di masukkan oleh user akan saling terkait sehingga membentuk suatu jaringan. Ada beberapa kegiatan yang belum bisa berlangsung sebelum kegiatan tertentu di laksanakan, untuk itu ketika semua kegiatan telah di inputkan akan ada sistem yang meminta untuk menginputkan ada tidaknya kegiatan I-3
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
untuk
sistem kelayakan proyek ini. Berikut Algoritma alur sistem untuk evaluasi:
Inputkan nama kegiatan beserta kegiatan yang saling terhubung Setelah semua record untuk no 1, maka dapat dilakukan perhitungan untuk mencari waktu mulai dan selesai kegiatan terlama dan tercepat dengan perhitungan sebagai berikut: TL = TE = ES = 0 ES = max(EF1, EF2,..., EFn) LF = min(LS1, LS2,..., LSn) EF(i, j) = ES(i, j) + t(i, j) LS(i,j) = LF(i, j) + t(i, j) S = LS – ES
Tiap-tiap kegiatan global mempunyai anggaran biaya sendiri-sendiri, dimana biaya-biaya tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan detail. Biayabiaya tersebut dikeluarkan setiap ada kebutuhan yang membutuhkan biaya tersebut. Biaya-biaya tersebut keluar tiap-tiap tanggal-tanggal tertentu. Maksud dari sistem evaluasi ini adalah developer atau orang yang memegang keuangan dari kegiatan global bisa memantau dan membandingkan jumlah target pengluaran dengan pengeluaran sesungguhnya.
yang saling mendahului. Algoritma network:
Algorithma
g.
Algoritma sistem untuk laporan hasil analisis Penekanan sebelum memperoleh hasil analisis, seorang developer pengguna sistem ini harus benar-benar mempunyai rencana atau data valid yang nantinya bisa digunakan sebagai bahan perbandingan antara rencana dengan keadaan/laporan sesungguhnya.
Dari perhitungan ini pula akan kita dapatkan kegiatan–kegiatan mana yang merupakan kegiatan kritis. d. Algoritma sistem untuk sumber tenaga manusia Tenaga kerja merupakan faktor penunjang berdirinya suatu proyek, banyak sedikitnya tenaga kerja sangat mempengaruhi berhasil tidaknya suatu proyek, sedangkan tenaga kerja itu sendiri dipengaruhi oleh biaya proyek. Setiap kegiatan pasti akan membutuhkan tenaga kerja. Algorithma untuk sistem Sumber Daya Manusia adalah sebagai berikut:
3.3 Struktur Pembuatan Sistem Proses pembuatan sistem ini pada dasarnya adalah suatu cara bagaimana antara satu Algoritma sistem satu dengan Algoritma sistem yang lain dapat tercipta suatu sistem yang terstruktur sesuai dengan tujuan sistem.
Setiap perusahaan/organisasi sebelumnya harus sudah mempunyai gambaran untuk tenaga kerja setiap masing-masing kegiatan yang akan di laksanakan. Setelah semua tenaga kerja kita ketahui, maka mulai memanfaatkan adanya kegiatan yang merupakan kegiatan kritis. Disini waktu kegiatan bisa di tunda sehingga untuk tenaga kerja bisa dikurangi atau ditambah. Akan didapatkan jumlah tenaga kerja yang optimal.
a.
Alur Sistem Untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan, sebuah sistem harus mempunyai alur yang jelas. Untuk mendapatkan sebuah perangkat lunak yang sesuai maka dibutuhkan alur yang terarah. Pada sistem perangkat lunak ini alur dibentuk dari Algoritma-Algoritma sistem yang masih berdiri sendiri. Hubungan Algoritma-flowcart sistem ini akan distrukturkan dalam sebuah tabel sehingga akan membentuk suatu perangkat lunak sesuai dengan tujuannya. Berikut Algoritma alur sistem perangkat lunak PERT-Type System:
e.
Algoritma Sistem untuk Biaya Disinilah letak pelaksanaan vital suatu kegiatan yang menunjang semua kegiatan suatu proyek. Biaya proyek menjadi pemicu maju tidaknya terselesaikannya suatu proyek. Biaya sangat dipengaruhi faktor-faktor penunjang yaitu, waktu kegiatan dan tenaga kerja. Pengelolaan besar kecilnya biaya suatu proyek akan sangat mempengaruhi indeks prestasi suatu proyek. Algorithma untuk sistem perhitungan biaya adalah sebagai berikut:
Sistem ini adalah penerapan dari sebuah metode yaitu metode PERT-Type System. Pengguna perangkat lunak akan memakai metode tersebut untuk mendapatkan hasil perbandingan analisis proyeknya. Pengguna perangkat lunak akan mengisi/menginput data sesuai arahan dari perangkat lunak/sistem, dengan sistem ini nantinya developer/pengguna dapt mempunyai bahan perbandingan serta bahan penelitian dari rencana proyek yang sedang dikerjakan.
Setiap perusahaan/organisasi sebelumnya harus sudah mempunyai gambaran untuk rencana keuangan atau keluarnya uang setiap kegiatan global yang mencakup biaya tenaga kerja maupun biaya material.. Setelah semua rencana kita ketahui, maka akan didiapat besarnya biaya sesuai dengan kebutuhan yaitu, biaya tenaga kerja, biaya alat, dan biaya material.
b. Proses Kerja Sistem Rangkaian dari Algoritma sistem diatas akan membentuk suatu tujuan sistem yang besar yang akan membentuk suatu kinerja dan tujuan yang diharapkan. Sebagai catatan penting, dalam penggunaan sistem ini orang/developer adalah orang yang benar-benar mengerti tentang studi kelayakan proyek khususnya Manajemen Proyek atau “MENPRO”. Aspek Manajemen proyek ini mempunyai ciri sendiri dalam aplikasinya, yaitu dengan menggunakan metode PERT dan metode
f.
Algoritma sistem untuk evaluasi Evaluasi rencana proyek adalah salah satu tujuan utama dari tujuan keseluruhan pembuatan
I-4
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
untuk memenuhi kebutuhan seorang developer. Menu-menu tersebut merupakan menu tampilan di layar, sehingga pengolahan datanya disesuaikan dengan bagian kerja dari menu-menu tersebut. Untuk menguji validitas dari perangkat lunak metode PERT-Type System ini maka akan lebih teruji dengan adanya studi kasus. Berikut studi kasus yang disajikan untuk menguji validasi program.
CPM. Dewasa ini kedua metode tersebut kedua metode tersebut digabung menjadi Metode PERTType System. Kinerja metode ini adalah berhubungan dengan estimasi waktu, biaya dan tenaga kerja proyek. Sebelum dijelaskan tentang kinerja atau jalan dari sistem evaluasi proyek ini, maka akan digambarkan alur kinerja sistem. Berikut ini adalah alur proses kinerja dari sistem evaluasi dan analisis proyek:
4.3 Studi Kasus Suatu sistem atau perancangan tanpa pengujian maka tidak akan teruji validitasnya. Berikut contoh studi kasus yang permasalahannya akan dikerjakan dengan sistem evaluasi dan analisa. KASUS: PT. Sapisalto merupakan salah satu PT Farmasi besar di Palembang yang bergerak dalam bidang peracikan obat. PT ini akan membangun cabang, sebuah Laboratorium untuk peracikan obat dengan nama Laboratorium Cinta Manis. Sebelum menganalisa pembangunan kasus ini, developer proyek telah menyiapkan data-data atau langkahlangkah aktivitas pembangunan proyek. Kegiatan– kegiatan pembangunan laboratorium ini dibagi menjadi 2 yaitu kegiatan global dan kegiatan detail. Langkah awal untuk menguji studi kasus adalah menjalankan implementasi dari program. Sesuai dengan menu-menu yang tersedia, maka seorang developer harus mengerti dengan tahaptahap yang telah disediakan, dimana tahap-tahap tersebut harus diikuti secara terstruktur. Tahap awal adalah tergambar seperti gambar 2.
Gambar 1. Alur Kinerja Sistem Evaluasi dan Analisis Proyek 3.4 Struktur Sistem Langkah awal pembentukan sistem adalah menstrukturkan perancangan sistem, sehingga sistem yang terbentuk akan valid dan menghindari redudansi data. Struktur sistem dalam perancangan perangkat lunak ini terbagi 4 tahap: Data Flow Diagram Bagan Berjenjang Entity Relation Diagram
Diagram arus data atau data flow diagram merupakan gambaran arus suatu proses data dari sistem dengan file database, hal ini bertujuan untuk memudahkan pemahaman terhadap sistem yang dikembangkan. Berikut adalah data flow diagram untuk perancangan perangkat lunak sistem Metode PERT-Type. 4. IMPLEMENTASI 4.1 Struktur Program Perancangan program ini menggunakan bahasa pemrograman Borland Delphi. Dalam menangani data-data rencana proyek terdapat beberapa fasilitas yang dimiliki oleh program ini, antara lain: 1. Tampilan pada program ini dirancang dengan bentuk dan bahasa yang mudah dipakai oleh semua user, sehingga bagi user pemula dapat juga mengoperasikan program ini setelah mendapat pelatihan tentunya. 2. Fasilitas pemasukan data pada program ini dirancang sebaik mungkin guna menghindari kesalahan dalam pemasukan data.
Gambar 2. Menu Awal Pada tahap analisa biaya masing-masing global ini dilakukan dengan cara analisa per tanggal, maksud dari analisa ini adalah mengkoordinasi biaya yang telah ditargetkan sebelumnya. Dari sini seorang developer dapat mengetahui jumlah uang yeng keluar berdasarkan tanggal pengeluaran atau transaksi. Analisa biaya adalah maksud utama dari implementasi ini. Setelah semua proses inputan dilakukan seorang developer dapat melihat hasil inputan atau view proyek yang terdiri dari perbandingan hasil analisa dan data asli. Berikut tampilan form untuk view proyek hasil analisa.
4.2 Struktur Menu Program dan Implementasinya Pengolahan data proyek pada program ini terkelompok dalam menu utama. Menu-menu yang terkelompok dalam menu utama tersebut mempunyai memu-menu pilihan yang disediakan
I-5
Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Informasi 2007 (SNATI 2007) Yogyakarta, 16 Juni 2007
ISSN: 1907-5022
Gambar 5. Form Report Studi Kelayakan Proyek Awal
Gambar 3. Form Analisa Biaya Proyek
5.
KESIMPULAN Memberikan solusi bagi masyarakat terutama untuk perusahaan–perusahaan atau organisasiorganisasi untuk lebih mudah merencanakan dan menganalisa proyek yang akan dikerjakan. Mulai dari segi waktu, biaya, tenaga kerja, sehingga nantinya rencana akan lebih terstruktur dan akan mengurangi kesalahan-kesalahan pada saat pelaksanaan proyek. Sistem ini dapat membantu untuk mempermudah perhitungan riset operasi manajemen proyek yang selama ini masih dilakukan secara manual. Dengan adanya metode PERT-Type System ini, developer atau pengguna perangkat lunak ini akan lebih mudah merestruktur ulang proyeknya terutama waktu proyek.
Dapat dilihat melalui tampilan gambar di atas, disamping kita bisa megetahui analisa biaya berdasarkan tanggal dan jam, disana juga terdapat fasilitas untuk melihat laporan. Jika data asli yang dipilih maka akan ditampilkan laporan seperti awal inputan proyek dan jika hasil analisa yang dipilih maka bisa dilihat data dalam grid serta dapat juga melihat laporan analisa dan laporan diagram. Berikut tampilan laporan analisa proyek. Berdasarkan tampilan diatas seorang developer dapat menganalisa antara rencana dan data asli. Berikut tampilan diagram untuk mengetahui perkembangan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan suatu proyek.
PUSTAKA [1] Hamdy A Taha, Riset Operasi, Binarupa Aksara, Jakarta, 1997. [2] Iman Soeharto, Manajemen Proyek Industri, Erlangga, Jakarata, 1990. [3] Imam Soeharto, Manajemen Proyek, Erlangga, Jakarta, 1997. [4] M. Agus J. Alam, Borland Delphi 5.0, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2000. [5] Roger S. Pressman, Ph.D., Rekayasa Perangkat Lunak, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 1997. [6] Suad Husno, Suwarno, Studi Kelayakan Proyek, Unit Penerbit dan Percetakan (UUP) AMP YKPN, Yogyakarta, 1999. [7] TjuTju Tarliah Dimyati, Ahmad Dimyanti, Operation Research, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1992. [8] Wulfram I. Ervianto, Manajemen Proyek Konstruksi, Andi Yogyakarta, Yogyakarta, 2002.
Gambar 4. Form Analisa Diagram Dengan bantuan sebuah laporan diagram seorang developer sudah dapat mengetahui prosentase jalannya kegiatan serta dapat mengetahui tingkat kemajuan yang dicapainya berdasarkan kurun waktu tertentu. Dalam mengadakan analisis melalui program ini, user akan mendapatkan laporan akhir dari rencana proyek keseluruhan. Berikut tampilan bentuk-bentuk laporan akhir:
I-6
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK Ratna S. Alifen Dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Petra Ruben S. Setiawan, Andi Sunarto Alumni, Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Petra
ABSTRAK Jaringan kerja proyek terdiri dari berbagai jenis aktivitas yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Bila terjadi keterlambatan pada salah satu jenis aktivitas, sering kali akan menyebabkan keterlambatan durasi proyek secara keseluruhan. Salah satu usaha untuk mengantisipasi keterlambatan durasi proyek adalah dengan melakukan percepatan durasi aktivitas pengikut. Metode Jalur Kritis atau Critical Path Method (CPM) merupakan suatu metode penjadwalan proyek yang sudah dikenal dan sering digunakan sebagai sarana manajemen dalam pelaksanaan proyek. Sebuah studi telah dilakukan untuk mengatasi masalah percepatan durasi aktivitas sebagai langkah antisipasi keterlambatan proyek, dengan analisa “what if” yang diterapkan pada jadwal CPM. Percepatan durasi dilakukan pada aktivitas-aktivitas pengikut dengan menambah jumlah jam kerja dan jumlah pekerja pada aktivitas percepatan. Kata kunci: Keterlambatan proyek, percepatan durasi, jadwal CPM, analisa “what if”, float.
ABSTRACT A project network is composed of various activities interrelated in a sequencial relationship. If delay occurs on one activity, it will eventually cause the project overall duration to delay. To anticipate the project delays one could accelarate the succeeding activity in the network. Critical Path Method (CPM) is a management tool which is widely used in the construction project. In this study “what if” analysis is used to anticipate project delays by accelarating the activities on CPM schedule. The accelaration actions are treated in accordance with additional working hours and man-power in the succeeding activities. Keywords: Project delay, project accelaration, CPM scheduling, “what if” analysis, float.
PENDAHULUAN Waktu adalah uang; nilai waktu semakin menjadi elemen yang kritis dalam proses pelaksanaan sebuah proyek, dengan tingginya tingkat suku bunga dan laju inflasi yang semakin terasa pada beberapa tahun terakhir ini, keterlambatan proyek menjadi kontribusi utama terhadap terjadinya pembengkakan Catatan : Diskusi untuk makalah ini diterima sebelum tanggal 1 Desember 1999. Diskusi yang layak muat akan diterbitkan pada Dimensi Teknik Sipil vol. 2 no. 1 Maret 2000.
biaya proyek. Secara umum keterlambatan proyek sering terjadi karena adanya perubahan perencanaan selama proses pelaksanaan, manajerial yang buruk dalam organisasi kontraktor, rencana kerja yang tidak tersusun dengan baik/terpadu, gambar dan spesifikasi yang tidak lengkap, dan kegagalan kontraktor dalam melaksanakan pekerjaan [1]. Keterlambatan proyek sering kali menjadi sumber perselisihan dan tuntutan antara pemilik dan kontraktor, sehingga keterlambatan proyek akan menjadi sangat mahal
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
103
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOL. 1, NO. 2, SEPTEMBER 1999 : 103 - 113
nilainya baik ditinjau dari sisi kontraktor maupun pemilik. Kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak, di samping itu kontraktor juga akan mengalami tambahan biaya overhead selama proyek masih berlangsung. Dari sisi pemilik keterlambatan proyek akan membawa dampak pengurangan pemasukan karena penundaan pengoperasian fasilitasnya. Berdasarkan alasan tersebut diatas, maka seorang manajer proyek yang kompeten biasanya akan mengambil langkah antisipasi yaitu melakukan usaha percepatan aktivitas proyek, bila disinyalir adanya indikasi keterlambatan proyek, karena keterlambatan pada salah satu aktivitas kritis maupun non-kritis. Analisa “what if” sebagai metode antisipasi keterlambatan durasi proyek merupakan sebuah studi yang bertujuan melengkapi seorang manajer proyek di dalam memonitor proyek untuk menghindari keterlambatan durasi proyek [2]. Analisa “what if” dilakukan sebelum proyek dilaksanakan, dan dapat digunakan sebagai acuan bagi manajer proyek untuk dapat segera mengambil keputusan yang tepat dan efektif, bila terjadi ketidak sesuaian jadwal aktual dengan jadwal rencana. Hasil analisa disajikan dalam bentuk grafik yang sangat komunikatip dan mudah digunakan, dimana grafik ini menunjukkan hubungan antara jenis aktivitas yang dipercepat dengan jumlah tambahan pekerja atau jumlah tambahan jam kerja per hari.
LANDASAN TEORI
non-kritis yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Aktivitas kritis adalah aktivitas yang tidak dapat diganggu gugat waktu pelaksanaannya yaitu ES=LS dan EF=LF (ES=Early Start adalah waktu paling awal dimulainya aktivitas; LS=Late Start adalah waktu paling lambat aktivitas harus dimulai; EF=Early Finish adalah waktu paling awal selesainya aktivitas; LF=Late Finish adalah waktu paling lambat aktivitas harus selesai), sehingga bila terjadi keterlambatan pada aktivitas-aktivitas ini, durasi proyek secara keseluruhan akan terlambat. Aktivitas non-kritis adalah aktivitas yang memiliki tenggang waktu (float) yaitu LS>ES dan LF>EF, dimana tenggang waktu tersebut sangat berperan di dalam usaha percepatan durasi proyek. Perencanaan jadwal proyek dapat dilakukan dengan baik dan realitis, apabila di dalam proses perencanaan jadwal dilakukan secara bertahap dengan langkah-langkah (1) Mengidentifikasi jenis-jenis aktivitas proyek; (2) Menentukan durasi masing-masing aktivitas sesuai dengan produktivitas sumber daya yang ada; (3) Menentukan hubungan antar aktivitas, dan urutan kerja antara aktivitas yang satu dengan yang lain. (4) Melihat kembali apakah durasi dan urutan aktivitas sudah masuk akal dan bisa dilaksanakan dilapangan? [3] (Gambar 1). Identifikasi Aktivitas Proyek
Estimasi Durasi Aktivitas
Metode Jalur Kritis Metode jalur kritis atau Critical Path Method (CPM), pertama kali digunakan di Inggris pada pertengahan tahun 50-an pada suatu proyek pembangkit tenaga listrik [3], kemudian pada tahun 1956-1958 metode ini dikembangkan dan disempurnakan oleh Walker dan Kelley dari dua perusahaan Amerika, E.I. du Pont de Nemours Co., dan Remington Rand Co. [4]. CPM yang banyak digunakan sekarang adalah hasil pengembangan yang dilakukan oleh Fondahl dari Stanford University pada tahun 1961, yaitu metode CPM yang dibantu oleh program komputer, baik dalam perhitungan, maupun dalam penyusunan urutan pelaksanaan aktivitas proyek [3]. CPM merupakan suatu model grafis yang menunjukkan waktu pelaksanaan suatu sistim operasi proyek. Sebuah jadwal CPM terdiri dari serangkaian aktivitas kritis dan
104
Penyusunan Urutan Aktivitas
Penyusunan Jadwal Proyek
Analisa dan Peninjauan-ulang
OK?
tidak
ya Pelaksanaan dan Penerapan Jadwal
Gambar 1. Langkah-Langkah Pembuatan Jadwal Proyek
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
Keterlambatan Proyek dan Percepatan Durasi Aktivitas Keterlambatan proyek dapat disebabkan oleh pihak kontraktor, pemilik, atau disebabkan oleh keadaan alam dan lingkungan diluar kemampuan manusia atau disebut dengan force majeur. Standard dokumen kontrak yang diterbitkan oleh AIA (American Institute of Architects) membedakan keterlambatan proyek menjadi 3 kelompok yaitu (1) Excusable/ compensable adalah keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi. (2) Excusable/noncompensable adalah keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak dapat dikompensasi. (3) Non-excusable adalah keterlambatan yang tidak beralasan [5]. Kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi adalah keterlambatan yang disebabkan oleh pihak pemilik dalam kaitannya karena tidak dapat menyediakan jalan tempuh ke proyek, perubahan gambar rencana, perubahan lingkup pekerjaan kontraktor, keterlambatan dalam menyetujui gambar kerja, jadwal, dan material, kurangnya koordinasi dan supervisi lapangan, pembayaran tertunda, campur tangan pemilik yang bukan wewenangnya. Dalam kasus ini kontraktor berhak atas dispensasi waktu dan biaya ekstra. Kasus keterlambatan yang beralasan, tetapi tidak dapat dikompensasi adalah keterlambatan yang diluar kemampuan baik kontraktor maupun pemilik. Sebagai contoh, cuaca buruk, kebakaran, banjir, pemogokan buruh, peperangan, perusakan oleh pihak lain, larangan kerja, wabah penyakit, inflasi/ eskalasi harga dan lain sebagainya. Kasus ini biasanya disebut dengan force majeur. Kasus keterlambatan yang tidak beralasan adalah keterlambatan yang disebabkan karena kegagalan kontraktor memenuhi tanggung jawabnya dalam pelaksanaan proyek. Sebagai contoh, kekurangan dalam penyediaan sumber daya proyek (manusia, alat, material, subkontraktor, uang), kegagalan koordinasi lapangan, kegagalan perencanaan jadwal, produktivitas yang rendah, dan sebagainya. Dalam kasus ini kontraktor akan terkena denda penalti sesuai dengan kontrak. Keterlambatan proyek seharusnya dapat diantisipasi sejak awal proyek dilaksanakan, yaitu dengan memonitor setiap aktivitas di dalam jadwal CPM, jika keterlambatan terjadi
pada satu aktivitas maka harus dilakukan percepatan durasi pada aktivitas berikutnya. Disini peranan float pada setiap aktivitas menjadi sangat penting. “Float” adalah tenggang waktu atau waktu ekstra pada aktivitas non-kritis di dalam jadwal CPM. Keberadaan float dalam jadwal CPM merupakan komoditi yang bernilai dan bersifat dinamis yang bermanfaat bagi kontraktor maupun pemilik di dalam pengaturan aktivitas non-kritis, terutama dalam hal alokasi sumber daya proyek dalam konteks percepatan durasi aktivitas [6]. Analisa “What If” Pada Model CPM Analisa “what if” banyak digunakan pada studi ekonomis yang merupakan tindak lanjut dari pada evaluasi ekonomis, untuk menguji sensitivitas parameter suatu perencanaan terhadap keadaan yang akan datang, dimana dengan adanya perubahan parameter akan mempengaruhi hasil proposal yang telah direncanakan [7]. Hasil analisa dari pengujian parameter disajikan dalam bentuk grafik sensitivitas yang menunjukkan pengaruh dari pada perubahan parameter (biasanya dalam prosentasi) terhadap hasil akhir dari pada proposal studi ekonomis. Penampilan grafik merupakan hasil konsolidasi data analisa yang mudah digunakan dan dimengerti. Analisa “what if” merupakan metode sensitivitas yang sering dilakukan di balik proses pengambilan keputusan, karena adanya ketidak pastian dan keraguan di dalam dunia kenyataan. Seorang pembuat keputusan (decision maker) yang berpengalaman sering kali tidak hanya berpacu pada rencana tunggal, biasanya mereka akan mempertimbangkan adanya kemungkinan-kemungkinan yang akan menyebabkan ketidak sesuaian dengan apa yang telah direncanakan. Proyek konstruksi yang bersifat sangat fleksibel dan kompleks merupakan pekerjaan yang sangat beresiko tinggi, karena dilaksanakan di luar dan tergantung pada banyak pihak yang terlibat, sehingga analisa “what if” dirasakan perlu untuk diterapkan pada perencanaan model CPM. Analisa “what if” pada model CPM menanyakan “Bagaimana bila terjadi keterlambatan pada salah satu aktivitas?”, disini akan terlihat peranan float pada aktivitas-aktivitas non kritis, kemudian langkah percepatan durasi dilakukan pada aktivitas-aktivitas pengikut agar durasi
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
105
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOL. 1, NO. 2, SEPTEMBER 1999 : 103 - 113
proyek tidak terlambat dan berlangsung dengan efektif. Percepatan durasi aktivitasaktivitas dilakukan dengan menambah jam kerja dan jumlah pekerja per hari. Produktivitas Pekerja Secara umum produktivitas adalah merupakan tingkat produksi yaitu output dibagi input. Di bidang konstruksi output adalah hasil kerja berupa kuantitas atau volume pekerjaan (misalnya meter kubik beton, meter persegi dinding bata, dan sebagainya), sedangkan input adalah merupakan jumlah sumber daya (misalnya manusia, peralatan, material) yang menghasilkan unit volume pekerjaan. Kelancaran dan ketepatan jadwal pelaksanaan proyek sangat bergantung pada produktivitas kerja dari masing-masing jenis pekerja yang terlibat di dalamnya, sehingga tingkat keahlian dari pekerja menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap produktivitas [8]. Hubungan antara durasi aktivitas dan produktivitas kerja, dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan sebagai berikut [9]:
d=
Σmh ….…………………………….….. (1) n×H
dimana: d = durasi aktivitas [hari] Σmh = total jam-orang (manhour) untuk menyelesaikan suatu aktivitas [jamorang]. n = jumlah pekerja rencana untuk menyelesaikan suatu aktivitas [orang] H = banyaknya jam kerja dalam satu hari [jam/hari] Produktivitas suatu aktivitas sangat tergantung pada beberapa faktor antara lain [9]: 1) Komposisi kelompok kerja; pada kegiatan konstruksi seorang pengawas lapangan (mandor) memimpin suatu kelompok kerja yang terdiri dari bermacam-macam jenis pekerja lapangan, seperti tukang batu, tukang kayu, tukang besi, tukang pipa, tukang pembantu dan lain-lain. 2) Kerja lembur; jam kerja tambahan yang dilakukan di luar jam kerja normal, biasanya dilakukan untuk mengejar sasaran/keterlambatan jadwal. 3) Pekerja langsung versus sub-kontraktor; kontraktor utama dalam melaksanakan pekerjaan lapangan ada dua cara yaitu dengan merekrut langsung tenaga kerja
106
atau menyerahkan paket kerja tertentu kepada sub-kontraktor. 4) Kepadatan tenaga kerja; dinyatakan dengan perbandingan antara skala proyek dengan jumlah pekerja atau luas tempat kerja bagi setiap tenaga kerja. Faktor kepadatan tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap kelancaran pekerjaan dan produktivitas pekerja. Percepatan durasi aktivitas dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas pekerja pada aktivitas yang bersangkutan. Berdasarkan pada persamaan (1), langkah percepatan durasi hanya dapat dilakukan pada dua variabel saja, yaitu jumlah pekerja dan jam kerja, sedangkan total jam-orang tidak dapat digunakan sebagai variabel, karena bersifat konstan untuk setiap aktivitas. Berdasarkan pada dua variabel tersebut diatas, beberapa kemungkinan percepatan yang dapat dilakukan adalah (1) Dengan menambah jam kerja dengan jumlah pekerja tetap, (2) Dengan menambah jumlah pekerja pada jam kerja normal, (3) Dengan membuat kelompok kerja baru yang bekerja di luar jam kerja dengan shift kerja pada malam/hari libur [8]. PENERAPAN ANALISA “WHAT IF” Penjadwalan CPM seharusnya disepakati sebagai suatu hal yang penting dalam pelaksanaan proyek, namun dalam praktek, sering kali tidak dapat dihindari terjadinya hal-hal yang tidak pasti, sehingga akan terjadi penyimpangan terhadap rencana jadwal semula, akibatnya rencana jadwal proyek tidak dapat terlaksana dengan baik dan proyek tidak dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal semula. Untuk mengatasi problem tersebut diatas, seharusnya dapat dilakukan usaha monitor jadwal proyek secara kontinyu, yaitu dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian jadwal aktivitas di lapangan. Di dalam penelitian ini dilakukan analisa “what if” untuk setiap aktivitas pada model CPM dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Menyusun suatu jadwal proyek dengan model CPM yang akan digunakan sebagai model penelitian (Gambar 2) dengan mempergunakan program Microsoft Project, kemudian model CPM dianalisa
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
dengan analisa “what if” pada setiap aktivitas. 2. Membuat diagram alir [2] dan menganalisa data sesuai dengan bagan alir, dengan menggunakan program Microsoft Excel, kemudian hasil analisa ditampilkan dalam bentuk grafik alternatif aktivitas percepatan yang menunjukkan hubungan antara prosentase keterlambatan aktivitas “x” dengan jumlah pekerja dan jam kerja tambahan untuk mengatasi keterlambatan durasi proyek.
2) 3)
4) 5)
Asumsi dan Batasan 1) Jadwal CPM yang tersedia adalah benar/ ideal, dan dapat dilaksanakan (realistis) berdasarkan sumber daya yang dimiliki (pekerja, material, dan peralatan). 2) Durasi keterlambatan yang terjadi pada suatu aktivitas hanya diperhitungkan sampai batas 50% durasi semula. (untuk keterlambatan lebih dari 50%, dapat dilakukan perhitungan dengan cara yang sama). 3) Percepatan durasi yang dilakukan pada suatu aktivitas hanya mungkin untuk dilakukan maksimum sebesar 50% durasi semula aktivitas tersebut. 4) Percepatan durasi hanya dilakukan pada satu aktivitas pengikut saja dengan tujuan membuat suatu perbandingan antara masing-masing alternatif percepatan aktivitas yang ada. 5) Penambahan jam kerja maksimum dalam satu hari kerja adalah empat jam, sehingga dalam satu hari kerja, pekerja bekerja maksimum 12 jam. 6) Jumlah pekerja maksimum untuk menyelesaikan tiap aktivitas adalah 15 pekerja per aktivitas untuk luas dan besar proyek dalam studi penelitian ini. 7) Semua jenis aktivitas diasumsikan dapat dikerjakan pada siang dan malam hari. 8) Semua peralatan dan material yang dibutuhkan diasumsikan tersedia cukup. Analisa Percepatan Durasi Aktivitas Langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Memasukkan data aktivitas dari model CPM yang meliputi jenis aktivitas, durasi, tenggang waktu, jumlah pekerja rencana pada tiap aktivitas, jam kerja per hari, volume pekerjaan yang dinyatakan dalam satuan jam-orang, urutan dan keter-
6)
gantungan antar aktivitas yang dinyatakan sebagai successor. Putaran pertama aktivitas “x” mengalami keterlambatan sebesar 10% durasinya. Memeriksa apakah keterlambatan yang terjadi pada aktivitas tersebut akan menyebabkan keterlambatan proyek secara keseluruhan. Mengidentifikasi aktivitas pengikut yang akan dipercepat agar total durasi proyek tetap sesuai dengan jadwal. Mempercepat pada salah satu aktivitas pengikut dan memeriksa kemungkinan aktivitas pengikut dapat dilakukan percepatan, dengan batasan: a) Durasi percepatan lebih besar dari pada nilai float aktivitas pengikut. b) Durasi percepatan aktivitas pengikut tidak lebih dari dua kali durasi rencananya. Melakukan percepatan pada aktivitas pengikut yang memenuhi batasan di atas, dengan cara: a) Menambah jumlah pekerja pada aktivitas pengikut dengan rumus: Σmanhour ∆n = n' −n = − n ……….……. (2) d' ×H Memeriksa jumlah pekerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas percepatan dengan batasan jumlah pekerja maksimum sebanyak 15 orang b) Menambah jam kerja pada aktivitas pengikut dengan rumus : ∆H = H' −H = dimana: ∆n n’
Σmanhour − H …….. …… (3) d' ×n
= jumlah pekerja tambahan = jumlah pekerja untuk percepatan aktivitas n = jumlah pekerja rencana Σmanhour = jumlah jam-orang untuk menyelesaikan aktivitas d’ = durasi percepatan ∆H = jam kerja normal (8 jam per hari) H = jam kerja tambahan. Η’ = jam kerja untuk percepatan aktivitas Memeriksa jam kerja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas percepatan dengan batasan jam kerja optimum/maksimum dalam satu hari kerja sebanyak 12 jam. 7) Kembali pada langkah (5) dan (6) untuk percepatan pada aktivitas pengikut
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
107
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOL. 1, NO. 2, SEPTEMBER 1999 : 103 - 113
− Jam kerja rencana dalam sehari, untuk aktivitas A adalah H = 8 jam/hari − Total jam-orang yang dibutuhkan untuk menyelesaikan aktivitas A adalah mh = 504 jam-orang 2) Bila aktivitas A mengalami keterlambatan 10% (Tabel 1) Keterlambatan pada aktivitas A : delay = 10%durasi = 10% x 7 = 0,7 hari 3) Keterlambatan pada proyek = delayp = delay + float = 0,7 + 0 =0,7 hari Diperiksa apakah delayp >0 ⇔ 0,7 > 0 à proyek mengalami delay akibat keterlambatan aktivitas A sebesar 10%. 4) Periksa aktivitas pengikut dari aktivitas A adalah B, G, C, E, H, I, F.
berikutnya, sampai semua aktivitas pengikut selesai diperiksa. 8) Kembali pada langkah (1) sampai dengan (7), untuk keterlambatan pada aktivitas “x” sebesar 20%, 30%, 40%, dan 50%. 9) Hasil akhir dari seluruh analisa tersebut di atas, kemudian digambarkan dalam bentuk grafik yang menunjukkan hubungan antara persentase keterlambatan suatu aktivitas (sumbu x) dengan penambahan jumlah pekerja atau jam kerja yang dibutuhkan (sumbu y) pada aktivitas-aktivitas berikutnya. 10)Kembali pada langkah (1) sampai dengan (9) untuk semua aktivitas yang terdapat pada sistim penjadwalan [2]. 7
15
15
B 4 day 320
0
7
8 day
11
19 19
504
0 day
7
0
15
7
11
720
11
19
E 4 day
0 day
7
1
6 day
0
0 day 224
D 0 day
9 day
360
5
21
30
24
30
I
9
C 0
24
H
7 day
0
START
6 day
5
A 0 day
24
G
576
11
0 day 280
5 day
8 day 9
11
384
24
6 day 8
24
30
15
24
F
19
15 day 6
6
0 day
7
19
21
30 FINISH
6 day
9 day
288
4
0 day
21
30
0
21
0 day
30
J
0 K 1 day 432
1
9
9
1 day
6
224
10
16
5
30 30
N 7 day 7
10
17
24
17
0 day
13 day
624
6
17
30 ES
EF
Aktivitas
L 0 day
17 day
680
5
0
21 day
840
9 17
M 9 day
9 day
Float
LS
17
Durasi
LF
Gambar 2. Contoh Model CPM Contoh Perhitungan Pada contoh model CPM (Gambar 2) keterlambatan yang terjadi dimulai pada aktivitas A digunakan sebagai contoh perhitungan dengan algorithm sebagai berikut: 1) Mengumpulkan data dari aktivitas A sebagai berikut: − Durasi rencana aktivitas A adalah d = 7 hari − Float = 0 hari berarti aktivitas A merupakan aktivitas kritis − Jumlah pekerja rencana untuk menyelesaikan aktivitas A adalah n = 9 orang
108
5) Alternatif percepatan pada aktivitas pengikut agar total durasi proyek tetap: a) Aktivitas B dipercepat. Data-data aktivitas B adalah sebagai berikut : ds = 8 hari; H = 8 jam/hari floats = 4 hari; Σmh = 320 jam-orang n = 5 orang d’s = ds + floats – delayp = 8 + 4 – 0,7 = 11,3 hari Diperiksa d’s 8 à tidak memenuhi
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
Jadi untuk keterlambatan aktivitas A sebesar 10% atau 0,7 hari, percepatan pada aktivitas B tidak dapat dipakai, karena durasi percepatan (ds’) yang dibutuhkan lebih besar dari durasi aktivitas B. Hal ini disebabkan karena aktivitas B memiliki float atau waktu ekstra sebesar 4 hari, sehingga untuk mempercepat aktivitas B sebesar 0,7 hari tidak akan berpengaruh terhadap durasi proyek secara keseluruhan (Gambar 3). ds = 8 hari
diperiksa ds > 2.delayp ⇔ 4 > 2.0,7 ⇔ 4 > 1,4 à memenuhi Jadi percepatan pada aktivitas C dapat dilakukan. 6) Melakukan percepatan pada aktivitas C dengan cara: a) Menambah jumlah pekerja: ∆n = n' − n =
diperiksa, n’ = n + ∆n ≤ nopt 7 + 1,485 = 8,485 ≤ 15 à memenuhi b) Menambah jam kerja:
float = 4 hari
ds’ = 11,3 hari
0,7
Gambar 3. Diagram Batang Untuk Percepatan Durasi Aktivitas B b) Aktivitas C dipercepat. Data-data aktivitas C adalah sebagai berikut: ds = 4 hari; H = 8 jam floats = 0 hari; Σmh = 224 jam-orang n = 7 orang d’s = ds + floats – delayp = 4 + 0 – 0,7 = 3,3 hari diperiksa d’s
Σmh 224 −n= − 7 = 1,485 orang d' s × H 3,3 × 8
∆H = H' −H =
Σmh 224 −H= − 8 = 1,697 jam d' s × n 3,3 × 7
diperiksa H’ = H + ∆H ≤ Hopt 8 +1,697 = 9,697 ≤ 12 jam à memenuhi. 7) Langkah-langkah percepatan di atas diulang pada aktivitas-aktivitas pengikut lainnya. (E, F, G, H, dan I). 8) Demikian seterusnya untuk keterlambatan aktivitas A sebesar 20%, 30%, 40%, dan 50%. (Tabel 2, 3, 4, 5). 9) Hasil penelitian dari tabel-tabel di atas dirangkum (Tabel 6, 7) dan disajikan dalam bentuk grafik (Gambar 4,5). 10)Langkah selanjutnya untuk semua aktivitas, sehingga diperoleh grafik-grafik percepatan aktivitas [2].
Tabel 1. Aktivitas A Mengalami Keterlambatan 10% (1) (2) (3) aktivitas durasi float A 7 0 B 8 4 C 4 0 D 15 6 E 8 0 F 9 6 G 9 6 H 5 0 I 8 0 J 21 9 K 9 1 L 17 0 M 7 1 N 13 0
(4) n 9 5 7 6 9 4 5 7 8 5 6 5 4 6
(5) H 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
(6) (7) Successor Σ mh 504 B G C E H I 320 H I 224 F E H 720 576 H 288 360 280 384 840 432 M 680 224 624
Tabel 2. Aktivitas A Mengalami Keterlambatan 20% (1) (2) (3) aktivitas durasi float A 7 0 B 8 4 C 4 0 D 15 6 E 8 0 F 9 6 G 9 6 H 5 0 I 8 0 J 21 9 K 9 1 L 17 0 M 7 1 N 13 0
(4) n 9 5 7 6 9 4 5 7 8 5 6 5 4 6
(5) H 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8 8
(6) (7) Successor Σ mh 504 B G C E H I 320 H I 224 F E H 720 576 H 288 360 280 384 840 432 M 680 224 624
(8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) delay delay p delay? succ? d's d's
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
109
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOL. 1, NO. 2, SEPTEMBER 1999 : 103 - 113
Tabel 3. Aktivitas A Mengalami Keterlambatan 10% (1) (2) (3) (4) (5) (6) aktivitas durasi float n H Σ mh A B C D E F G H I J K L M N
(9) (10) (11) (12) (13) (14) (8) dela delay p delay? succ? d's d's
Tabel 5. Aktivitas A Mengalami Keterlambatan 50% (1) (2) (3) (4) (5) (6) aktivitas durasi float n H Σ mh A B C D E F G H I J K L M N
(8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) dela delay p delay? succ? d's d's
Keterangan Tabel (1-5): Kolom 1 : Aktivitas, menunjukkan nama aktivitas. Kolom 2 : durasi, menunjukkan durasi aktivitas [hari] Kolom 3 : float, menunjukkan besarnya tenggang waktu aktivitas [hari]. Kolom 4 : n, menunjukkan banyaknya jumlah pekerja rencana untuk menyelesaikan aktivitas [orang]. Kolom 5 : H, menunjukkan banyaknya jam kerja rencana dalam satu hari [jam/hari]. Kolom 6 : Σmh, menunjukkan banyaknya total jam-orang yang dibutuhkan
110
Kolom 7 : Kolom 8 : Kolom 9 : Kolom 10:
untuk menyelesaikan aktivitas [jam-orang]. Successor, menunjukkan aktivitas-aktivitas pengikut. delay, menunjukkan besarnya keterlambatan yang terjadi pada aktivitas [hari]. delayp, menunjukkan besarnya keterlambatan yang terjadi pada proyek [hari]. delay?, merupakan kolom pemeriksaan apakah keterlambatan aktivitas menyebabkan keterlambatan proyek.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
Kolom 11:
Kolom 12:
Kolom 13:
Kolom 14:
succ?, merupakan kolom pemeriksaan apakah aktivitas yang bersangkutan merupakan aktivitas pengikut dari aktivitas yang mengalami keterlambatan. d’s, menunjukkan besarnya durasi percepatan yang dibutuhkan pada aktivitas pengikut (dalam satuan hari). d’s < ds, merupakan kolom pemeriksaan apakah durasi percepatan aktivitas pengikut lebih kecil dari durasi rencana aktivitas pengikut. ds ≥ 2delayp, merupakan kolom pemeriksaan apakah durasi rencana aktivitas pengikut lebih besar atau sama dengan dua kali keterlambatan proyek.
Kolom 15:
Kolom 16:
Kolom 17:
Kolom 18:
∆n, menunjukkan besarnya jumlah pekerja tambahan per hari yang dibutuhkan untuk percepatan [orang]. n’ ≤ nopt, merupakan kolom pemeriksaan apakah jumlah pekerja aktivitas percepatan kurang dari atau sama dengan jumlah pekerja optimum proyek (15 orang per hari). ∆H, menunjukkan banyaknya penambahan jam kerja per hari yang dibutuhkan untuk mempercepat aktivitas [jam/hari]. H’ ≤ Hopt, merupakan kolom pemeriksaan apakah jam kerja aktivitas percepatan kurang dari atau sama dengan jam kerja optimum (12 jam per hari)
Tabel 6. Penambahan Jumlah Pekerja Akibat Keterlambatan Aktivitas A %d
B
C
E
F
G
H
I
J
K
M
N
0 10 20 30 40 50
0
0 1,485 3,769
0 0,833 1,909 3,203 4,846
0
0
0 1,140 2,722 5,069
0 1,057 2,435 4,308 7,000
0
0
0
0
J
K
M
N
0
0
0
0
Tabel 7. Penambahan Jam Kerja Akibat Keterlambatan Aktivitas A
%d
B
0 10 20 30 40 50
0
C 0 1,697
E 0 0,767 1,697 2,847
F
G
0
0
H 0 1,302 3,111
I 0 1,057 2,435
Gambar 4. Grafik Pengaruh Keterlambatan Aktivitas A Terhadap Penambahan Jumlah Pekerja Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
111
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOL. 1, NO. 2, SEPTEMBER 1999 : 103 - 113
Tabel 6. Penambahan Jumlah Pekerja Akibat Keterlambatan Aktivitas A
KESIMPULAN Setiap aktivitas baik kritis maupun non kritis pada jaringan kerja CPM memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik dari sisi kontraktor maupun dari sisi pemilik, hal ini sangat tergantung pada perencanaan jaringan kerja yang dipengaruhi oleh beberapa parameter, antara lain durasi aktivitas, total jam-orang, jumlah pekerja, dan nilai float. Peranan dari masing-masing parameter dapat dinyatakan melalui analisa “what if” dalam bentuk grafik yang lebih komunikatip yang akan bermanfaat bagi pemilik maupun kontraktor. Pada grafik yang dihasilkan dapat diketahui adanya daerah penerimaan dan daerah penolakan (Gambar 6). Daerah penerimaan (daerah A-O-B) adalah daerah dimana semua nilai/titik yang terdapat di dalamnya akan menyebabkan proyek tidak terlambat. Daerah penolakan (daerah diluar A-O-B) adalah daerah dimana semua nilai/titik yang terdapat di dalamnya akan menyebabkan proyek mengalami keterlambatan. B
A
Penambahan jumlah pekerja atau jam kerja
Daerah Penerimaan
Daerah Penolakan O
Keterangan: OB = Garis persamaan percepatan aktivitas AB = Garis penambahan maksimum Titik A = Nilai penambahan maksimum Titik B = Nilai batas optimum Dengan adanya grafik yang tersedia sejak awal pelaksanaan proyek, maka seorang manajer proyek dapat memperoleh informasi sebagai dasar pertimbangan di dalam pengambilan keputusan khususnya usaha percepatan aktivitas proyek. Pada kasus keterlambatan yang beralasan dan dapat dikompensasi, bagi profesi manajemen konstruksi yang bertanggung jawab terhadap pemilik, grafik ini dapat menjadi acuan untuk memberi informasi kepada kontraktor melakukan percepatan aktivitas yang tepat agar biaya yang menjadi tanggung jawab pemilik menjadi lebih ringan. Pada kasus keterlambatan yang beralasan tetapi tidak dapat dikompensasi, maupun kasus keterlambatan yang tidak beralasan, bila kontraktor hendak melakukan percepatan durasi guna mengejar keterlambatan, sejogyanya kontraktor mengetahui bahwa upaya percepatan dapat dilakukan dengan memilih aktivitas yang tepat, agar usaha percepatan tersebut menjadi lebih efektif, baik ditinjau dari sisi waktu maupun biaya.
% keterlambatan aktivitas
Gambar 6. Daerah Penerimaan dan Penolakan Aktivitas Percepatan
112
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
ANALISA “WHAT IF” SEBAGAI METODE ANTISIPASI KETERLAMBATAN DURASI PROYEK (Ratna S. Alifen)
DAFTAR PUSTAKA 1. Proboyo, Budiman. “Keterlambatan Waktu Pelaksanaan Proyek: Klasifikasi dan Peringkat Dari Penyebab-Penyebabnya”. Dimensi Teknik Sipil, , Vol.1, No.1, Maret, 1999, pp 49-58. 2. Setiawan, Ruben S. dan Sunarto, Andi. “Analisa Percepatan Durasi Aktivitas Sebagai Antisipasi Keterlambatan Proyek”. Skripsi Sarjana-Teknik Sipil. Universitas Kristen Petra. 1999. 3. Uher, Thomas E. “Programming and Scheduling Techniques”. The University of New South Wales Australia, Sydney. 1996. 4. Antill, James M. and Woodhead, Ronald W. “Critcal Path Methods in Construction Practice”. John Wiley and Sons Inc., New York. 1970. 5. Arditi, David and Patel, Bhupendra K. “Impact Analysis of Owner Directed Acceleration”. Journal of Construction Engineering and Management, ASCE, Vol. 115, No.1, March, 1989, pp 144-157. 1989. 6. Kraiem, Zaki M. and Dickmann, James E. “Concurrent Delays in Contruction Projects” Journal of Construction Engineering and Management, ASCE, Vol. 113, No.4, December, 1987, pp 591-602. 7. Fabrycky,W.J., Thuesen,G.J. and Verma, D. “Economic Decision Analysis”. Prentice Hall Int. Inc. 1998. 8. Christian, J. and Hachley, D. “Effects of Delays Times on Productivity Rates in Construction”. Journal of Construction Engineering and Management, ASCE, Vol. 121, 1995. 9. Soeharto, Iman. “Manajemen Proyek: Dari Konseptual Sampai Operasional”. Penerbit Erlangga, Jakarta. 1995.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
113
Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010 ISBN No. 979-545-0270-1
Faktor Penempatan Fabrikasi Material Terhadap Waktu Pelaksanaan Dalam Proyek Konstruksi
Yani Rahmawati1*, Christiono Utomo2* Mahasiswa S2 Manajemen Proyek Konstruksi, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia [email protected] 2 Jurusan Teknik Sipil, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Indonesia
1
Abstrak Dalam suatu pekerjaan konstruksi, penempatan area fabrikasi material seringkali memanfaatkan area-area kosong yang tersedia pada lahan proyek tersebut tanpa memperhatikan kebutuhan, kegunaan, dan hasil dari proses fabrikasi, sehingga dampak terhadap waktu pelaksanaan dalam suatu pekerjaan kurang diperhatikan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari penempatan fabrikasi material terhadap waktu pelaksanaan dalam proyek konstruksi, dengan meninjau variabel-variabel dalam penempatan fabrikasi dan indikator-indikator penilaian persepsi terhadap waktu pelaksanaan. Jenis pene-litian yang dipergunakan adalah penelitian deskriptif, yang bertujuan menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena penempatan fabrika-si material terhadap waktu pelaksanaan. Paper ini menyajikan definisi konseptual dan metode untuk mem-peroleh faktor-faktor penempatan area fabrikasi material terutama yang berkaitan dengan fabrikasi penula-ngan dan pengaruhnya terhadap waktu pelaksanaan dalam proyek konstruksi. Kata kunci : penempatan fabrikasi material, perencanaan tata tapak, sirkulasi material, waktu pelaksa-naan.
1. Pendahuluan 1.1 Latar belakang Dalam pelaksanaannya, antara proyek konstruksi yang satu dengan proyek konstruksi yang lainnya memiliki perbedaan dalam hal penempatan area dan alur sirkulasi fabrikasi materialnya. Hal ini bergantung pada ketersedia-an lahan pada proyek (Elbeltagi dkk, 2004), karakteristik material yang digunakan (El-Gafy dkk, 2010), keberadaan site properties (Sadegh-pour dkk, 2002). Penempatan area fabrikasi material proyek seringkali memanfaatkan area-area ko-song dalam lahan proyek tersebut (Wang dan Edgar, 2009). Fabrikasi material memerlukan area yang cukup luas dan terbebas dari berbagai macam kegiatan. Dengan pertimbangan tersebut kontraktor dan konsultan manajemen konstruksi meletakkan area fabrikasi material pada areaarea kosong lahan sebuah proyek. Sampai saat ini, belum banyak keten-tuan atau rule of thumb penempatan area dan alur sirkulasi fabrikasi material dalam pelak-sanaan sebuah proyek konstruksi (Church Archi-tecture, 2003). Sehingga penempatan area dan alur sirkulasi fabrikasi material berdasarkan atas pengalaman saja. Umumnya kontraktor kurang memperhatikan dampak-dampak akibat penempatan area dan alur sirkulasi fabrikasi material terhadap jadwal pekerjaan pelaksanaan dan estimasi biayanya. Dengan demikian, perlu adanya ketentuan penempatan area dan sirkulasi
fabrikasi material yang dapat membantu kontraktor maupun konsultan manajemen konstruksi dalam menentukan area dan alur sirkulasi fabrikasi material sehingga keterlambatan jadwal pelaksanaan pekerjaan dan pem-bengkakan biaya dapat direduksi. Terdapat beberapa proses dalam pelak-sanaan sebuah proyek, dimulai dari proses ini-siasi, dilanjutkan dengan perencanaan, pelaksa-naan, pengendalian, dan diakhiri dengan penu-tupan (PMI, 2004). Seluruh proses dalam proyek tersebut memiliki level kepentingan yang sama, tetapi yang paling berpengaruh diantaranya adalah proses perencanaan, karena proses perencanaan menghasilkan perencanaan-perencanaan yang berguna untuk mengarahkan jalannya proyek. Penempatan area fabrikasi material dalam sebuah proyek pada kenyataannya sering-kali mempengaruhi waktu pelaksanaan dalam proyek konstruksi. Penempatan area fabrikasi material yang kurang tepat menyebabkan peker-jaan menjadi lebih lama, sehingga mengakibat-kan terhambatnya pekerjaan lainnya yang seharusnya dilaksanakan setelah pekerjaan sebelumnya selesai, selain itu juga terjadi pembengkakan biaya pekerjaan. Hal ini tentunya mempengaruhi jadwal dan estimasi biaya yang telah direncanakan sebelumnya. Tidak sedikit pekerjaan konstruksi dalam proyek mempengaruhi jadwal dan estimasi biaya yang diakibatkan oleh kurang efektifnya penem-patan area fabrikasi material dalam proyek. Salah satu
Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010 ISBN No. 979-545-0270-1
contohnya adalah pekerjaan beton. Peker-jaan konstruksi beton adalah pekerjaan yang memiliki karakteristik fabrikasi yang kompleks. Jarak perjalanan antara loading deck atau tempat penyimpanan material terhadap area fabrikasi dapat menjadi faktor penyebab terlambatnya proses fabrikasi. Selain itu penyediaan luasan area untuk proses fabrikasi dan penempatan area mesin penekuk yang tidak tepat dapat menyebabkan pekerjaan tidak tepat waktu dan bertambahnya biaya akibat pertambahan masa sewa. Menurut Ma, Shen, dan Zhang (2004), jadwal pelaksanaan konstruksi dan perencanaan tata guna lahan merupakan hal yang sangat pen-ting dalam manajemen proyek, karena kedua hal tersebut dapat mempengaruhi faktor keamanan dan keselamatan, mesin yang berproduksi, penggunaan material, distribusi sumber daya, serta perkembangan proses konstruksi. Banyak peneliti akhirnya menyadari bahwa pentingnya mempertimbangkan faktor waktu pada penataan/ perencanaan tapak. Selain itu, Guo (2001) juga menempatkan waktu sebagai bagian yang penting dalam perencanaan tapak, penelitiannya juga berkaitan dengan pengorganisasian tapak/ lahan yang berdasarkan atas waktu dan jadwal. Akinci, Fischer, dan Zabelle (1995), dalam penelitiannya, mereduksi pekerjaan-peker-jaan yang tidak penting atau tidak berman-faat dalam sebuah proses pekerjaan dengan mempertimbangkan adanya konflik antara waktu dengan area-area dalam lahan. Penelitian mengenai pengaruh penem-patan fabrikasi material terhadap waktu pelaksa-naan dalam proyek konstruksi perlu dilaksana-kan. Meskipun area penelitiannya dalam lingkup yang kecil dan pada pelaksanaannya di dalam proyek cenderung terabaikan, tetapi dampaknya sangat besar dalam mempengaruhi performa hasil proses perencanaan proyek. Maka dari itu, diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini, permasalahan seperti proses berjalannya proyek yang terlambat yang diakibatkan oleh kurang efektifnya penempatan area proses fabrikasi material dapat diketahui dan dimengerti.
2. Dasar Teori 2.1 Dasar teori penempatan fabrikasi Dasar teori penempatan fabrikasi mate-rial berasal dari teori-teori dalam ilmu teknik industri/manufaktur, yaitu teori mengenai tata letak dalam proses produksi. Menurut Wignjosoebroto (2009), peren-canaan tata letak fasilitas dapat didefinisikan se-bagai tata cara pengaturan fasilitas-fasilitas da-lam sebuah proses produksi untuk menunjang kelancaran proses tersebut, dengan memanfaatkan luas area untuk penempatan mesin atau fasilitas penunjang lainnya, kelancaran pergerakan perpindahan material, penyimpanan material (baik yang bersifat temporer maupun permanen), personel pekerja, serta aspek-aspek pendukung lainnya. Aliran material dan fasilitas pendukung proses produksi merupakan hal pokok yang perlu
diperhatikan dalam sebuah proses produksi, sehingga harus dirancang dengan cermat dan terstruktur. Terdapat enam prinsip dasar dalam perencanaan tata letak fasilitas dalam tapak yang dikemukakan oleh Apple (1991), yaitu adanya integrasi antara faktor-faktor pendukung dalam sebuah proses produksi, meminimumkan jarak perpindahan material dan faktor pendukung lainnya sehingga memudahkan pergerakannya dan mendukung adanya efisiensi produksi, kelancaran dalam aliran kerja proses produksi, efektivitas dan efisiensi dalam pemanfaatan area (pengaturan ruang yang mencakup pekerja, material, mesin dan aktivitas pendukung yang ada di dalamnya), kepuasan dan keamanan pekerja (adanya jaminan keselamatan kerja melalui penempatan material dan alat-alat pendukung proses produksi secara tepat), fleksibilitas dalam pengaturan tata letak. Ada beberapa tujuan dari perencanaan tata letak fasilitas produksi yang dikemukakan oleh Apple (1991), yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan diantaranya adalah mengurangi waktu distribusi material, mengurangi waktu tunggu yang berlebihan, serta memperpendek waktu proses produksi. Menurut Murther (1955), ada tujuh ke-lompok faktor-faktor yang mempengaruhi peru-bahan tata letak, diantaranya adalah faktor mate-rial (desain, jenis, jumlah, kebutuhan produksi serta alirannya), mesin (peralatan, perlengkapan produksi serta utilitasnya), manusia (jumlah pekerja dan kemudahan pengawasan, perpindahan atau distribusi (pengangkutan antar dan interdepartemen, penanganan berbagai proses produksi, penyimpanan dan inspeksi), faktor menunggu (penyimpanan secara permanen atau sementara, dan keterlambatan yang diakibatkan sistem distribusi atau proses produksinya), faktor gedung atau tapak, serta faktor perubahan (karena adanya perluasan dan fleksibilitas). 2.2 Penelitian sebelumnya Menurut Sadeghpour dkk (2002), pe-nempatan sebuah area dalam tata tapak dipe-ngaruhi oleh 3 faktor penting, yaitu object, site properties, dan constraints. Object, yaitu merupakan benda-benda baik itu penunjang keberadaan area yang akan direncanakan penempatannya maupun bendabenda lainnya yang berada dalam tata tapak sebuah proyek, benda-benda yang termasuk dalam kategori ‘object’ diantaranya adalah : peralatan, material, fasilitas penunjang temporer, bangunan, area bekerja (produksi), semua yang ada pada lahan, ketersediaan area. Sementara itu penjelasan tentang site properties hampir sama dengan kategori object di atas tetapi benda-benda dalam kategori ini lebih luas, jadi dapat dikatakan bahwa yang termasuk dalam kategori ini adalah benda-benda eksisting dari sebuah tapak yang juga berpengaruh pada proses akhir sebuah proyek konstruksi, yang terdiri atas semua yang ada dalam tapak yang dapat mempengaruhi perencanaan akhir tapak. Faktor terakhir yang dikemukakan oleh Sadeghpour dkk (2003) adalah constraints yang merupa-
Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010 ISBN No. 979-545-0270-1
kan batasan-batasan dalam perencanaan tapak, yang termasuk dalam kategori ini adalah tata aturan dalam perencanaan tapak ASTM (2005), Wire Reinforcement Insti-tute (2003), dan Concrete Reinforcing Steel Insti-tute (2004) menyajikan faktor-faktor yang mempengaruhi penempatan area fabrikasi penulangan yang berkaitan dengan proses atau sistem fabrikasi penulangan serta karakteristik material dan mesin yang dipergunakan dalam proses fabrikasi. Sementara itu, Halpin dan Martinez (1999) beserta Mohsen dkk (2008) menyajikan faktor-faktor pengaruh yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya, pekerja, peralatan, dan lahan. Faktor-faktor pengaruh yang berhubungan dengan keamanan, jalur distribusi (termasuk di dalamnya berkaitan dengan jarak perjalanan dan akses keluar masuknya material dan pekerja), ketepatan dalam memilih area, jumlah hasil produksi, serta faktor-faktor eksisting baik itu berupa barang atau aktivitas disajikan oleh Ma dkk (2004); Elbeltagi dkk (2004); Hanz (1984); Tommelein dkk (1992); dan El-Gafy dkk (2010). Peneliti lainnya, yaitu Huang (2004); Kelton dan Sadowski (2002) menyajikan faktor-faktor pengaruh yang berkaitan dengan proses produksi dan penanganan material.
Dari studi literatur pada beberapa jurnal yang terkait dengan tema penelitian, maka dida-patkan faktor-faktor yang mempengaruhi penem-patan proses fabrikasi penulangan yang dikelompokkan sesuai dengan tujuh kelompok faktor yang mempengaruhi perubahan tata letak yang dikemukakan oleh Murther (1955) dan Apple (1991). Faktor-faktor yang termasuk dalam variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) disajikan pada Gambar 3.2 dan Gambar 3.3.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Identiikasi variabel Penelitian ini adalah merupakan peneliti-an deskriptif (Kuncoro, 2009), penelitian deskriptif meliputi pengumpulan data untuk diuji hipotesis atau menjawab pertanyaan mengenai status terakhir dari subyek penelitian, sedangkan tipe yang paling umum dari penelitian deskriptif meliputi penilaian sikap atau pendapat terhadap individu, organisasi, keadaan, atau prosedur. Data deskriptif pada umumnya dikumpulkan melalui daftar pertanyaan dalam survey, wawancara, ataupun observasi. Penelitian bertujuan mengukur besar kecilnya pengaruh terhadap waktu pelaksanaan yang disebabkan oleh faktor-faktor penentu penempatan fabrikasi material penulangan, dimana hasil akhir penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menggambarkan atau mengukur kinerja pekerjaan penulangan, serta dapat membantu penyusunan dokumentasi perencanaan dalam proses manajemen komunikasi proyek. Penelitian ini mengukur penilaian persepsi responden terhadap pengaruh variabel bebas atau yang disebut dengan variabel x, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penempatan fabrikasi material penulangan, dengan variabel terikat atau yang disebut dengan variabel y, yaitu indikator-indikator yang dipergunakan untuk menilai waktu pelaksanaan dalam proses fabrikasi material penulangan, seperti yang tersajikan dalam Gambar 3.1. Penempatan Fabrikasi Material (Variabel X)
Waktu pelaksanaan (Variabel Y)
Gambar 3.1 Ilustrasi hubungan variabel X dan Y
3.2 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : H0 : Ada pengaruh antara masing-masing faktor penempatan fabrikasi material terhadap waktu pelaksanaan. H1 : Tidak ada pengaruh antara masing-masing faktor penempatan fabrikasi material terhadap waktu pelaksanaan.
Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010 ISBN No. 979-545-0270-1
Pada pengujian secara parsial (Uji t) digunakan hipotesis sebagai berikut : H0 : β1 ≠ 0 (ada pengaruh masing-masing faktor penempatan fabrikasi material terhadap waktu pelaksanaan) H1 : β1 = 0 (Tidak ada pengaruh masing-masing faktor penempatan fabrikasi material terhadap waktu pelaksanaan) H0 diterima, apabila t hitung < t table, dan H1 diterima apabila t hitung > t tab. 3.3 Metode Metode analisa yang dipergunakan adalah analisis regresi menggunakan metode OLS (Pangkat Kuadrat Terkecil Biasa), sesuai dengan pernyataan dan rumus yang dikemukakan oleh Kuncoro (2009). Tujuan utama regresi adalah mengestimasi fungsi regresi populasi (FRP) berdasarkan fungsi regresi sampel, dengan persamaan regresi populasi :
4. Kesimpulan Enam belas faktor pengaruh penempatan fabrikasi material dan 3 faktor pengaruh waktu pelaksanaan.
5. Apendiks : survey 1. Populasi : para pelaksana proyek konstruksi gedung yang sedang berjalan/berlangsung di Surabaya. 2. Sampel Tabel 5.1 Sampel Penelitian No 1
Proyek Trilium Office
2
Surabaya Orthopedic & Traumalogy Hospital Ciputra World
3 4
E(Y|Xi) = bo + bi Xi, (bo = konstanta, bi = koefisien variabel bebas Xi) Karena populasi sering tidak dapat diperoleh langsung, maka digunakan fungsi regresi sampel (FRS) : Y = bo + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + … + bkXk Notasi variabel sebagai berikut : Y = Waktu Pelaksanaan bo = konstanta b1 = koefisien regresi X1 b2 = koefisien regresi X2 b3 = koefisien regresi X3 b4 = koefisien regresi X4 X1 = Dimensi, bentuk, dan jumlah material X2 = Sistem Fabrikasi X3 = Penanganan Material X4 = Hasil akhir fabrikasi Dan seterusnya. 3.2.1 Uji Signifikansi Individual (Uji Statistik t) Uji statistik t dipergunakan untuk menun-jukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel be-bas (X) yaitu faktor pengaruh penempatan fabri-kasi material sebagai penjelas secara individual dalam menerangakan variasi variabel terikat (Y) yaitu waktu pelaksanaan. 3.2.2 Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F) Uji statistik F dipergunakan untuk menunjukkan apakah semua variabel bebas (X) yaitu faktor pengaruh penempatan material yang dimasukkan dalam model penelitian mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat (Y) yaitu waktu pelaksanaan. 3.2.3 Koefisien Determinasi Koefisien determinasi dipergunakan untuk mengukur seberapa jauh kemampuan model penelitian yang dipergunakan dalam menerangkan variasi variabel terikat (Y) yaitu waktu pelaksanaan.
5
Gedung Perkantoran & Perdagangan Pengembangan Rusunawa
Pelaksana Kontraktor : PT. Wijaya Karya Sub-kontraktor : PT. Hanil Jaya Steel Kontraktor : PT. Tatamulia Nusantara Indah Kontraktor : PT. Tatamulia Nusantara Indah Kontraktor : PT. Tatamulia Nusantara Indah Kontraktor : PT. Widya Satria Pengawas : PT. Grahasindo Cipta Pratama
3. Responden : a. Manajer proyek b. Manajer site c. Konsultan perencana d. Supervisor e. Quality surveyor f. Sub-kontraktor 4. Kuesioner : 1. Menurut Anda, bagaimanakah pengaruh faktor-faktor penempatan fabrikasi material yang disajikan pada tabel 5.2 terhadap waktu distribusi material, waktu tunggu, dan waktu produksi fabrikasi penulangan? Tabel 5.2 faktor-faktor pengaruh penempatan fabrikasi Penilaian no 1 2 3 4 5 6 7 8
Faktor pengaruh penempatan fabrikasi Dimensi, bentuk, dan jumlah material besi beton Sistem fabrikasi yang dipergunakan Penanganan terhadap material Hasil akhir dari fabrikasi, memerlukan epoxy atau tidak Dimensi, bentuk, dan jumlah mesin yang dipergunakan Jumlah pekerja yang terlibat Pembagian departemen dalam proses fabrikasi Distribusi material
9
Akses material dan pekerja,
10
Persyaratan khusus dalam pendistribusian material Aktivitas masing-masing sub item pekerjaan Properti tapak
11 12 13 14
Karakteristik penyediaan lahan Area pekerjaan lain
S B
B
C
K
S K
Seminar Nasional Pascasarjana X – ITS, Surabaya 4 Agustus 2010 ISBN No. 979-545-0270-1
15 16
Area loading deck dan inventory Tata aturan dan kebijakan manajer proyek
Ket : SB = Sangat besar, B = Besar, C = Cukup, K = Kecil, SK = Sangat Kecil
2.
3.
4.
Menurut Anda, pada saat proses fabrikasi penulangan dalam pelaksanaan proyek dimana Anda terlibat, seberapa besarkah pengaruh waktu distribusi material dipengaruhi oleh penempatan area fabrikasi material? (SB = Sangat besar, B = Besar, C = Cukup, K = Kecil, SK = Sangat kecil) Menurut Anda, seberapa besarkah waktu yang diperlukan sebelum dimulainya pelaksanaan, persiapan, ataupun waktu untuk memulai sub item pekerjaan dipengaruhi oleh faktor penempatan fabrikasi material penulangan dalam proses produksi selama proyek berlangsung. (SB = Sangat besar, B = Besar, C = Cukup, K = Kecil, SK = Sangat kecil) Menurut Anda, seberapa besarkah waktu proses fabrikasi penulangan dipengaruhi oleh faktor penempatan fabrikasinya, pada saat proyek semasa Anda bekerja berlangsung? (SB = Sangat besar, B = Besar, C = Cukup, K = Kecil, SK = Sangat kecil)
6. Pustaka Akinci, B., Fischer, M., and Zabelle, T. (1998), “A proactive approach for reducing non-value adding activities due to time–space conflicts”. Proceedings of the 6th Annual Conference of the International Group for Lean Construction, hal. 1-16, Guaraja, Brazil. ASTM. (2005), “Standard Specification for welded deformed steel bar mats for concrete reinforcement”. American Society for Testing and Material, United States. Apple, J. M. (1991), “Plant Layout and Material Handling (3rd Edition)”. Krieger, Malabar. Architecture, Church. (2003), “Rules of Thumbs Space and Dimension Reco-mendation”. Life Way Church Resources, Nashville. Arikunto, S. (2002), “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek”. Bina Aksara, Jakarta. Concrete Reinforcing Steel Institute. (2004), “Assembling Reinforcing Bars by Fusion Welding in Fabricating Shop”. Concrete Reinforcing Steel Institute, Schaumburg. Elbeltagi, E., Hegazy, T., and Eldosouky, A. (2004), “Dynamic Layout of Construction Temporary Facilities Considering Savety”. ASCE, Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 130, No. 4, Hal. 534541. El-Gafy, M., Abdelhamid, T., and Ghanem, A. (2010), “Using Simulated Annealing For Layout Planning of Construction Sites”. th Proceeding of 46 annual associated school of construction international conference, hal. 54. Guo, S. J. (2001), “Integrating CAD and schedule for identification and resolution of work space
conflicts between subcontractors”. Canadian Journal of Civil Engineering, Vol. 28, No. 57, Hal. 59-768. Halpin, D. W., and Martinez, L. H. (1999), “Real World Applications of Construction Process Simulation”. Division of Construction Engineering and Management, 1294 Civil Engineering Building, Purdue University, West Lafayette. Huang, C.N., Seong, Y.J., and Russel, J.S. (2004),“Time Study on Two-Echelon Supply Chain For Steel Framing Construction By Using Networking Simulation Model”. The 12th Annual Conference on Lean Construction (IGLC), August 3-5, 2004, Denmark. Kelton, and Sadowski. (2002), “Simulation with Arena 2nd Edition”. McGraw-Hill Co. Kuncoro, M. (2009), “Metode Riset untuk Bisnis dan Ekonomi, Bagaimana Meneliti dan Menulis Tesis”. Erlangga, Jakarta. Ma, Z., Shen, Q., and Zhang, J. (2004), “Application of 4D for dynamic site layout and management of construction projects”. Journal of Automation in Construction, No. 14, Hal. 369 - 381. Mohsen, O. M., Knytl, P. J., Abdulaal, B., Olearczyk, J., and Al-Hussein, M. (2008), “Simulation of Modular Building Construction”. Department of Civil & Environmental Engineering Hole School of Construction, University of Alberta, Canada, Edmonton. Murther, R. (1955), “Practical Plant Layout (1st Edition)”. McGraw Hill, New York. Sadeghpour, F., Moselhi, O., and Alkass, S. (2002), “Dynamic Planning for Site Layout”. Department of Building, Civil, and Environmental Engineering, Concordia University, Canada, Montreal. Project Management Institute. (2004), “Project Management Body of Knowledge”. Project Management Institute, Romania. Stier, K. W. (2003), “Teaching Lean Manufacturing Concepts through Project-Based Learning and Simulation”. Journal of Industrial Technology, Vol. 19, No. 4, Hal. 1-6. Tommelien, I. D., Levit, R. E., and Hayes-Roth, B. (1992), “Site Layout Modelling : How Can Artificial Intelligent Can Help?”. ASCE, Journal of Construction Engineering and Management, Vol. 118, No. 3, Hal. 594-611 Wang, C., and Edgar, D. (2009), “Exploring an approach enhancing the area experts’ envolvement in layout design and improvement : an empirical experience”. Proceedings of the International Multi Conference of Engineers and Computer Scientists 2009 Vol II. Wignjosoebroto, S. (2009), “Tata Letak Pabrik dan Pemindahan Bahan (edisi ke-tiga)”. Guna Widya, Surabaya. Wire Reinforcement Institute. (2003), “Bending welded wire reinforcement for reinforced concrete”. Wire Reinforcement Institute, United States of America.
ESTIMASI ANGGARAN BIAYA KONSTRUKSI DAN RENCANA PENJADWALAN TAHAP DESAIN PADA PEMBANGUNAN KAMPUS BSI MARGONDA – DEPOK Tujuan tugas akhir pada penulisan ini adalah merencanakan perhitungan atau estimasi anggaran biaya tahap desain dan merencanakan jadwal pelaksanaan pekerjaan pada Proyek Pembangunan Kampus Bina Sarana Informatika (BSI), yang berlokasikan di Jalan Margonda Raya no. 8 Margonda – Depok. Perencanaan Anggaran Biaya berdasarkan analisa standar PU ( Pekerjaan Umum ) pada daerah setempat dengan menggunakan program Ms. Excell. Untuk pembahasan disini tidak membicarakan tentang biaya pajak PPN, IMB, sambungan listrik, telephone, Dackting, PAM (Perusahaan Air Minum) dan furniture. Struktur bangunan menggunakan struktur baja komposit dengan luas bangunan ± 2119 m2 dan luas lahan ± 1035 m2 .
Diyan Herwansyah / 10300025 “ [email protected] “ Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Kata Kunci : bangunan, estimasi biaya tahap desain, anggaran biaya konstruksi PENDAHULUAN
Estimasi biaya awal digunakan untuk studi kelayakan, alternatif desain yang mungkin, dan pemilihan desain yang optimal untuk sebuah proyek. Hal yang penting dalam pemilihan metode estimasi biaya awal haruslah akurat, mudah, dan tidak mahal dalam penggunaannya. Jumlah dan luas lantai memperlihatkan karakteristik dan ukuran fisik dari suatu proyek pembangunan gedung yang dalam kepraktisannya informasi ini bisa tersedia dengan mudah pada tahap desain pembangunan gedung. Estimasi biaya konstruksi merupakan hal penting dalam dunia industri konstruksi. ketidak akuratan estimasi dapat memberikan efek negatif pada seluruh proses konstruksi dan semua pihak yang terlibat. Estimasi biaya berdasarkan spesifikasi dan gambar kerja yang disiapkan owner harus menjamin bahwa pekerjaan akan terlaksana dengan tepat dan kontraktor dapat menerima keuntungan yang layak Estimasi biaya konstruksi dikerjakan sebelum pelaksanaan fisik dilakukan dan memerlukan analisis detail dan kompilasi dokumen
penawaran dan lainnya. Estimasi biaya mempunyai dampak pada kesuksesan proyek dan perusahaan pada umumnya. Keakuratan dalam estimasi biaya tergantung pada keahlian dan ketelitian estimator dalam mengikuti seluruh proses pekerjaan dan sesuai dengan informasi terbaru. Proses analisis biaya konstruksi adalah suatu proses untuk mengestimasi biaya langsung yang secara umum digunakan sebagai dasar penawaran. Salah satu metode yang digunakan untuk melakukan estimasi biaya konstruksi adalah menghitung secara detail harga satuan pekerjaan berdasarkan nilai indeks atau koefisien untuk analisis biaya bahan dan upah kerja. Hal lain yang perlu dipelajari pula dalam kegiatan ini adalah pengaruh produktivitas kerja dari para tukang yang melakukan pekerjaan sama yang berulang. Hal ini sangat penting dan tentu saja dapat mempengaruhi jumlah biaya konstruksi yang diperlukan apabila tingkat ketrampilan tukang dan kebiasaan tukang berbeda.
LANDASAN TEORI
-
Kondisi lingkungan, khususnya lingkungan di sekitar proyek yang bersangkutan
Klasifikasi Bangunan Gedung Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan fungsi utama bangunan. Fungsi bangunan gedung dapat dikelompokkan dalam fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, dan fungsi khusus. Penentuan klasifikasi bangunan gedung atau bagian dari bangunan gedung ditentukan berdasarkan fungsi yang digunakan dalam perencanaan, pelaksanaan, atau perubahan yang diperlukan pada bangunan gedung. Estimasi Anggaran Biaya Tahap Desain Desain merupakan proses pembuatan deskripsi atau gambaran dari suatu fasilitas, dan biasanya dilengkapi dengan detail perencanaan dan spesifikasi, yang kemudian di implementasikan pada tahap kontruksi. Tahap desain merupakan tahap berikutnya setelah tahap perencanaan konseptual, namun masih termasuk di dalam tahap prakontruksi. Tahap desain ini ada 2 (dua) bagian, yaitu : Desain Skematik dan Detail Desain. Pada tahap Desain Skematik, tim desain (yang terdiri dari arsitek dan engineer) menginvestigasikan alternatif desain, material, dan sistem. Sedangkan pada tahap Detail Desain, tim desain mengevaluasi, memilih, menyelesaikan sistem utama dan komponen proyek. Jadwal proyek dan anggaran terus dikembangkan dan dimonitor selama tahap ini. Dasar Pertimbangan Dalam Estimasi Biaya Proyek Tahap Desain - Sumber informasi, pengalaman di masa lampau - Data-data proyek terdahulu dan laporan yang akurat - Laporan maupun standar yang berlaku - Kondisi perekonomian, baik dalam skala makro maupun mikro - Kondisi sosial yang sedang terjadi di sekitar
Pembiayaan Pembangunan Gedung Negara
Bangunan
Pembiayaan pembangunan bangunan gedung digolongkan pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan standar (yang ada standar harga satuan tertingginya) dan pembiayaan pembangunan untuk pekerjaan non-standar (yang belum tersedia standar harga satuan tertingginya). Pembiayaan pembangunan bangunan gedung dituangkan dalam Dokumen Pembiayaan yang terdiri atas komponenkomponen biaya untuk kegiatan pelaksanaan konstruksi, kegiatan pengawasan konstruksi atau manajemen konstruksi, kegiatan perencanaan konstruksi, dan kegiatan pengelolaan proyek. ( Sumber : Pedoman Teknis Bangunan Gedung Negara 2002 )
Harga Satuan Tertinggi Rata-Rata Per M2 Bangunan Bertingkat Untuk Bangunan Gedung. Harga satuan tertinggi rata-rata per-m2 bangunan gedung bertingkat adalah didasarkan pada harga satuan lantai dasar tertinggi per m2 untuk bangunan gedung bertingkat, kemudian dikalikan dengan koefisien atau faktor pengali untuk jumlah lantai yang bersangkutan, sebagai berikut: Koefisien / Faktor Pengali Bangunan Gedung Bertingkat Jumlah lantai Bangunan
2 Harga satuan per m tertinggi
2 Lantai
1,090 standard harga gedung bertingkat
3 Lantai
1,120 standard harga gedung bertingkat
4 Lantai
1,135 standard harga gedung bertingkat
5 Lantai
1,162 standard harga gedung bertingkat
6 Lantai
1,197 standard harga gedung bertingkat
7 Lantai
1,236 standard harga gedung bertingkat
8 Lantai
1,265 standard harga gedung bertingkat
( Sumber : Pedoman Teknis Bangunan Gedung Negara 2002 )
Harga Satuan Per m2 Bangunan Gedung Bertingkat (dalam ribuan)
Harga Gedung Bertingkat per m2 No Daerah A B C 1 KOTIP.DEPOK 1,982 1,770 1,328 (Sumber : Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional)
Prosentase Komponen Bangunan Gedung
Pekerjaan
yaitu faktor teknis dan non teknis. Faktor teknis antara lain berupa ketentuan-ketentuan dan persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pembangunan serta gambargambar kontruksi bangunan. Sedangkan faktor non teknis berupa harga-harga bahan bangunan dan upah tenaga kerja. Dalam melakukan anggaran biaya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu anggaran biaya kasar (taksiran) dan anggaran biaya teliti. Time Schedule ( Rencana Kerja )
Untuk pekerjaan standar bangunan gedung, sebagai pedoman penyusunan anggaran pembangunan yang lebih dari satu tahun anggaran dan peningkatan mutu dapat berpedoman pada prosentase komponenkomponen pekerjaan sebagai berikut : Tabel. Biaya Pekerjaan Standar Bangunan Gedung
Komponen
Gedung Negara
Pondasi Struktur Lantai Dinding Plafond Atap Utilitas Finishing
( Sumber : Pedoman Teknis Bangunan Gedung Negara 2002 )
Rencana Anggaran Biaya Rencana anggaran biaya merupakan perhitungan banyaknya biaya yang diperlukan untuk bahan dan upah, serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan pelaksanaan proyek pembangunan. RAB
= ∑ ( Volume x Harga Satuan Pekerjaan )
( Sumber : Adminstrasi Kontrak dan Anggaran Borongan )
Anggaran biaya pada bangunan yang sama akan berbeda-beda di masing-masing daerah, hal ini disebabkan perbedaan harga satuan bahan dan upah tenaga kerja. Ada dua faktor yang berpengaruh terhadap penyusunan anggaran biaya suatu bangunan
Yang dimaksud dengan Penjadwalan ( Time Schedule ) adalah mengatur rencana kerja dari satu bagian atau unit pekerjaan. Kegiatan ini meliputi : - Kebutuhan tenaga kerja - Kebutuhan material atau bahan - Kebutuhan waktu - dan Transportasiataupengangkutan Dari time schedule kita akan mendapatkan gambaran lamanya pekerjaan dapat di selesaikan, serta bagian-bagian pekerjaan yang saling terkait antara satu dan lainnya. Metode Penjadwalan Proyek - Barchart ( Diagram Balok ) Metode ini mula-mula dipakai dan diperkenalkan oleh Hendri Lawrence Gantt pada tahun 1917. Metode ini bertujuan mengidentifikasikan unsur waktu dan urutan dalam merencanakan suatu kegiatan, yang terdiri dari waktu mulai, waktu selesai dan pada saat pelaporan. Barchart (Diagram Balok) sangat bermanfaat sebagai alat perencanaan dan komunikasi. Bila digabungkan dengan metode lain, misalnya grafik “S” dapat dipakai untuk aspek yang lebih luas. Kelemahan Barchart (Diagram Balok) adalah kurang dapat menjelaskan keterkaitan antara kegiatan yang satu dengan yang lainnya. misalnya kegiatan pondasi terjadi perubahan atau terlambat. Perubahan yang terjadi tersebut tidak terlihat secara langsung mempengaruhi kegiatan lainnya, hal tersebut disebabkan tidak jelasnya hubungan (relationship) antar kegiatan.
- Jalur Kritis (CPM) Teknik Metode Jalur Kritis (CPM) dikembangkan oleh James E. Kelly, Jr dari Remington Rand dan Morgan Walker dari Du Pond. Metode jaringan kerja CPM (Critical Path Method) atau metode I-J ialah sebuah activity on arrow (AOA) terdiri dari panah dan lingkaran. Panah merepresentasikan aktifitas, lingkaran atau nodal merepresentasikan even. - Metode Network Metode Network (Network Analisys) adalah perbaikan dari metode diagram batang. Metode ini menyajikan secara jelas hubungan ketergantungan antara bagian kegiatan dengan kegiatan lainnya yang digambarkan dalam diagram network. Dengan metode ini dapat diketahui bagian - bagian kegiatan yang harus didahulukan, yang harus menunggu selesainya kegiatan lain, dan kegiatan yang tak perlu tergesa-gesa. Metode Network Analisys ini mengalami penyempurnaan secara bertahap, yaitu : Barchart, PERT, CPM, PDM dan terakhir adalah penjadwalan dengan komputer. Salah satu alat yang paling menyolok dalam penggunan alat bantu komputer adalah kemampuan mengolah data dalam jumlah besar dan dengan kemungkinan kesalahan yang kecil. Dengan demikian penyusunan jadwal dapat lebih cepat dan teliti. Setiap saat situasi proyek mengalami perubahan, komputer dapat melakukan perubahan tersebut dalam waktu singkat. Saat ini telah banyak program penjadwalan dengan menggunakan komputer. Pada dasarnya program-program tersebut berprinsip pada perhitungan CPM, PDM, dan dengan penampilan gantt chart yang disempurnakan sehingga hubungan keterkaitan tiap kegiatan tergambar dengan jelas. Dengan penggunaan komputer, penjadwalan dapat dilakukan secara terpadu (waktu, material, tenaga kerja serta biaya), cepat, tepat, memudahkan dalam pengambilan keputusan serta kuncikunci pokok permasalahan pelaksanaan proyek.
METODE PERENCANAAN ESTIMASI ANGGARAN BIAYA KONSTRUKSI PADA TAHAP DESAIN Tahapan Estimasi Langkah langkah dalam Estimasi biaya tahap desain dan scheduling pada Proyek Pembangunan Kampus BSI Margonda – Depok adalah sebagai berikut : 1. Mengumpulkan data-data berupa data-data teknis dan data lapangan. 2. Estimasi pendahuluan berdasarkan luas, klasifikasi dan jumlah lantai. 3. Mengelompokan data kedalam daftar urutan pekerjaan dengan untuk memudahkan proses pengolahan data dan supaya lebih terstruktur. 4. Menghitung volume tiap-tiap jenis pekerjaan sesuai dengan gambar bestek. 5. Mengelompokan daftar harga material dan upah pekerjaan dalam suatu tabel daftar material, upah dan sewa alat. 6. Menganalisa harga satuan pekerjaan untuk tiap-tiap item pekerjaan. 7. Menghitung rencana anggaran biaya proyek 8. Merencanakan penjadwalan pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan. Flowchart Proses Estimasi Biaya Proyek Tahap Desain
Penyusunan Anggaran Biaya Dalam penyusunan anggaran biaya, terlebih dahulu perlu diketahui untuk keperluan apa dan kapan anggaran biaya tersebut dibuat. Hal ini akan berpengaruh pada cara/sistem penyusunan dan hasil yang diharapkan. Penyusun anggaran biaya terdiri dari instansi/dinas/jawatan (khusus bangunan negara), perencana dan kontraktor. Cara/sistem penyusunan berbeda-beda meskipun berdasarkan pada prinsip yang sama. Ada 2 (dua) macam jenis penyusunan anggaran biaya, yaitu : 1. Anggaran biaya kasar / taksiran ( cost estimate ) 2. Anggaran biaya teliti ( definitif ) Anggaran Biaya Kasar/Taksiran Penyusunan anggaran biaya kasar memerlukan bahan-bahan antara lain gambar prarencana, keterangan singkat mengenai bahan-bahan bangunan yang digunakan, cara pembuatannya dan persyaratan pokok yang ditentukan. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penyusunan anggaran biaya kasar antara lain : - Jenis dan ukuran bangunan - Jenis kontruksi (berat atau ringan) - Lokasi bangunan
Perkiraan harga satuan yang digunakan baik untuk perhitungan luas lantai, maupun isi bangunan, tergantung pada : 1. Sifat atau bentuk bangunan yang meliputi : bangunan sederhana, bangunan sedang atau baik, bangunan megah atau monumental. 2. Jenis bangunan yang meliputi : bangunan gedung, rumah tinggal, kantor, sekolah, gedung pertemuan dan sebagainya. 3. Jenis Kontruksi yang meliputi : berat atau ringan dari kontruksi, gedung bertingkat/tidak bertingkat 4. Jenis Bahan-bahan bangunan pokok yang digunakan Untuk menentukan ukuran pokok dapat ditempuh beberapa cara, yaitu : 1. Luas lantai (ukuran dalam, ukuran sumbu dan ukuran luar). 2. Luas atap (ukuran berdasarkan denah bangunan termasuk tritisan) 3. Isi bangunan, dihitung berdasarkan luas lantai dikalikan tinggi gedung. Ukuran tinggi gedung dihitung dari tenggah-tengah kedalaman fondasi (separuh tinggi pondasi dari alas pondasi sampai lantai) dengan tengah-tengah jarak antara talang atau tritisan dan puncak bangunan. Ruang bawah (basement) dihitung penuh. ( Sumber : Adminstrasi Kontrak dan Anggaran Borongan )
Cara Perhitungan Anggaran Biaya Kasar Untuk menghitung anggaran biaya terlebih dahulu perlu disiapkan bahan-bahan yang telah diuraikan termasuk data/catatancatatan mengenai harga bangunan sejenis yang ada. Selanjutnya perlu ditetapkan ukuran pokok berdasarkan gambar prarencana yang akan dipakai sebagai dasar perhitungan untuk menentukan harga satuan pekerjaan. Yang dimaksud dengan ukuran pokok dalam penulisan disini adalah untuk bangunan gedung, yang dipakai sebagai ukuran pokok adalah luas lantai per m2, luas atap per m2 atau sisi bangunan per m3 (jarang digunakan).
Anggaran Biaya Teliti Bahan-bahan yang diperlukan dalam penyusunan anggaran biaya teliti, antara lain : 1. 2. 3. 4.
Peraturan dan syarat-syarat ( Bestek ) Gambar rencana atau Gambar Bestek Buku analisa BOW. Peraturan-peraturan normalisasi yang bersangkutan 5. Peraturan-peraturan bangunan negara dan bangunan setempat. 6. Syarat-syarat lain yang diperlukan.
Cara Menyusun Anggaran Biaya Teliti Perhitungan yang dibuat untuk menyusun anggaran biaya teliti akan menghasilkan suatu biaya atau harga bangunan dan dengan biaya atau harga tersebut untuk pelaksanaan, bangunan akan terwujud sesuai dengan yang direncanakan. Oleh karena itu anggaran biaya teliti harus disusun dengan teliti, rinci dan selengkaplengkapnya. Sebelum mulai menghitung anggaran biaya teliti perlu diperhatikan ketentuanketentuan sebagai berikut: 1. Semua bahan untuk menyusun anggaran biaya teliti supaya dikumpulkan dan diatur dengan rapi. 2. Gambar-gambar rencana atau gambar bestek dan penjelasan atau keterangan yang tercantum dalam peraturan dan syarat-syarat atau bestek, berita acara atau risalah penjelasan pekerjaan harus selalu dicocokan satu sama lain. 3. Membuat catatan sebanyak mungkin yang perlu, baik mengenai gambar bestek ataupun bestek. 4. Menentukan sistim yang tepat dan teratur yang akan dipakai dalam perhitungan. ( Sumber : Adminstrasi Kontrak dan Anggaran Borongan )
Harga Satuan Pekerjaan Harga satuan pekerjaan adalah jumlah harga bahan dan upah tenaga kerja atau harga yang harus dibayar untuk menyelesaikan suatu pekerjaan konstruksi berdasarkan perhitungan analisis.. Analisis disini adalah ketentuan umum yang ditetapkan oleh Dinas Pekerjaan Umum Depok. Dalam Analisis Satuan Komponen, telah ditetapkan koefisien (indeks) jumlah tenaga kerja, bahan dan alat untuk satu satuan pekerjaan.
Tahapan Analisa Harga Satuan Pekerjaan Gambar Rencana
Daftar Jenis-Jenis Pekerjaan
Daftar Bahan
Daftar Upah
Koefisien Bahan
Harga Bahan
Daftar Volume Pekerjaan
Koefisien Upah
Harga Upah
Daftar Alat
Koefisien Alat
Harga Alat
Harga Tiap Jenis Pekerjaan
Rencana Anggaran Biaya per Kelompok
Rencana Anggaran Biaya Total
( Sumber : Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pekerjaan Umum )
Perhitungan Rencana Anggaran Biaya Secara umum sebagai berikut :
dapat
dirumuskan
RAB = Σ ( Volume x Harga satuan pekerjaan ) Dalam Penyusunan RAB diperlukan Jumlah volume per satuan pekerjaan dan analisa harga satuan pekerjaan berdasarkan gambar bestek serta syarat-syarat analisa pembangunan kontruksi yang berlaku. Susunan Rencana Anggaran Biaya
Bestek dan Gambar Bestek
Perhitungan Volume Tiap Jenis Pekerjaan
Harga Satuan Bahan dan Upah
Perhitungan Satuan Tiap Jenis Pekerjaan Berdasarkan Standar PU
Perhitungan RAB secara keseluruhan ( Sumber : Adminstrasi Kontrak dan Anggaran Borongan )
Prosentase Bobot Pekerjaan
ANALISIS DATA
Prosentase bobot pekerjaan merupakan besarnya nilai prosentase tiap item-item pekerjaan, berdasarkan perbandingan antara anggaran biaya pekerjaan dengan harga bangunan. Secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Komponen Biaya Standar Dan Non Standar
Persentase Bobot Pekerjaan (PBP) :
Volume x Harga Satuan x 100 % = Harga Bangunan ( Sumber : Adminstrasi Kontrak dan Anggaran Borongan )
Uraian Rencana Penjadwalan Pekerjaan menggunakan Ms. Project Beberapa Hal yang harus diperhatikan dalam menyusun Uraian Rencana Kerja, yaitu : 1. Urutan langkah kerja tidak boleh terbalik 2. Setiap Bagan pekerjaan digambarkan dengan garis lurus sebagai garis kegiatan 3. Panjang garis kegiatan ditentukan oleh jumlah hari atau jumlah minggu 4. Jumlah hari atau minggu dapat dihitung berdasarkan jumlah tenaga kerja 5. Bagian-bagian pekerjaan dapat digabungakan menjadi satu garis kegiatan. Untuk menyusun rencana kerja, waktu yang dipergunakan dalam bentuk hari atau minggu.
- Luas Bangunan 5 Lantai : ( 4 x 400 ) + 455 + 64
= 2.119 m2
- Harga Satuan Bangunan Kotip Depok (type A) = Rp. 1,982,000.00 / m2 Faktor Pengali
= 1.162 2
- Harga Satuan Per m Bangunan x Luas Lantai = 1.162 x 1,982,000.00 x 2.119 = Rp 4,880,234,996.00 Bedasarkan pengalaman dan penelitian di lapangan dari beberapa macam proyek pekerjaan konstruksi yang telah dilakukan oleh Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, maka diperoleh komponen biaya standar dan non standar sebagai berikut : Tabel 5.1. Komponen Biaya Standar dan Non Standar KOMPONEN BIAYA STANDAR No.
B
Komponen
Estimate
Harga ( Rp )
1
Pondasi
0.10
488,023,499.60
2
Struktur
0.35
1,708,082,248.60
3
Lantai
0.08
390,418,799.68
4
Dinding
0.08
390,418,799.68
5
Plafond
0.07
341,616,449.72
6
Atap
0.10
488,023,499.60
7
Utilitas
0.07
341,616,449.72
8
Finishing
0.15
732,035,249.40
TOTAL
1.00
4,880,234,996.00
KOMPONEN BIAYA NON STANDAR No.
Komponen
Estimate
Harga ( Rp )
1
Tata Udara AC
2
Tata Suara
0.02
97,604,699.92
3
Telepon
0.03
146,407,049.88
4
Genset
0.05
244,011,749.80
5
Sist.Deteksi & Penc.Kebakaran
0.05
244,011,749.80
6
Furniture
0.05
244,011,749.80
7
Penangkal Petir
0.01
48,802,349.96
8
Peningkatan Mutu
0.06
292,814,099.76
TOTAL
0.08
0.35
Total Biaya Standar + Non Standar = ( Total Biaya Bangunan Keseluruhan )
390,418,799.68
1,708,082,248.60 6,588,317,244.60
Berdasarkan hasil biaya bangunan keseluruhan diatas maka biaya komponen bangunan gedungnya adalah sebagai berikut : Tabel 5.2. Daftar Biaya Komponen Kegiatan Pembangunan Bangunan Gedung Klasifikasi :
TIDAK SEDERHANA ( dalam ribuan rupiah )
BIAYA KONSTRUK SI
BIAYA MANAJEM EN KONSTRUK SI
BIAYA PENGELOL A
FISIK
BIAYA PERENCAN AAN KONSTRUK SI
TOTAL
6,050,000.0
256,822.50
211,447.50
30,413.35
6,548,683.35
6,087,251.2
258,099.45
212,445.07
30,521.48
6,588,317.24
6,100,000.0
258,640.00
212,890.00
30,585.40
6,602,115.40
Volume Pasangan Batu Kali : Luas Pondasi = ( 0,3 x 0,6 ) x 0,6 2 = 0,054 m2 Vol. Pondasi
Volume Aanstamping & Volume Lantai Kerja Luas Aanstamping
= ( 0,8 x 0,15 )
Lantai Kerja
= ( 0,8 x 0.05 )
Luas
= 0,12 m2
BIAYA
PROYEK
= 0,054 m2 x 112.57 m = 6.08 m3
Vol. Aanstamping
= 0,12 x 112.57
Lantai Kerja
= 0,04 x 112.57
Vol.
= 13.51 m3
Perhitungan Rencana Anggaran Biaya ( Sumber : Pedoman Pembangunan Gedung Negara ) Biaya Kontruksi Fisik dengan MK Rp 6,087,251,245.57 Biaya Perencanaan Konstruksi Rp
258,099,452.81
Rp
212,445,068.47
Biaya MK Biaya Pengelolaan Proyek Rp
30,521,477.75 +
Total Biaya Kontruksi Fisik, Jasa Perencanaan,Pengawasan
Rp 6,588,317,244.60
dan Pengelolaan.
Perhitungan Volume Satuan Pekerjaan Luas Lahan
: 1.035 m2
Luas Lantai
: 2.119 m2
Contoh perhitungan volume satuan pekerjaan pada pekerjaan pondasi batu kali (PB1) adalah sebagai berikut :
Pada tahap perhitungan anggaran biaya konstruksi, data – data perhitungan yang dibutuhkan adalah hasil perhitungan volume pekerjaan dan hasil analisa satuan pekerjaan pada masing –masing pekerjaan konstruksi. Berikut merupakan salah satu contoh perhitungan anggaran biaya konstruksi pada Proyek Pebangunan Kampus BSI Margonda – Depok Diketahui : o Hasil perhitungan volume Aanstamping pada pondasi batu kali ( PB1 + PB2 ) adalah 24.70 m3 . o Hasil perhitungan analisa satuan pekerjaan berdasarkan Analisa Pekerjaan Umum Kota Depok adalah Rp. 239,950.00 / m3 o Anggaran Biaya Satuan Pekerjaan = Volume x Analisa Satuan Pekerjaan Maka : o Anggaran Biaya Satuan Pekerjaan
300
= Volume x Analisa Satuan Pekerjaan 600
Pasangan Batu Kali
150
Aanstamping
100
600 800
100
Untuk 1 m3 pekerjaan Aanstamping dibutuhkan biaya sebesar : o
24.70 m3 x Rp. 239,950.00 / m3 = Rp 5,926,765.00
Analisa Durasi Pekerjaan
Bobot Prosentase Satuan Pekerjaan
- Jam Kerja Efektif dalam satu hari No.
Jenis Pekerjaan
Biaya Pekerjaan
Bobot %
= 7 jam
- Perhitungan Produktivitas dalam satu hari : Produktivitas Kerja
I
Pekerjaan Persiapan
Rp
72,304,023.08
1.22%
II
Pekerjaan Tanah
Rp
37,914,947.50
0.64%
III
Pekerjaan Struktur Bawah Rp
79,136,777.16
1.33%
III.b
Pekerjaan Pondasi Batu Kali Pekerjaan Pondasi Tiang Pancang
Rp
498,575,900.00
8.41%
III.c
Pekerjaan Pile Cap
Rp
82,228,918.00
1.39%
III.a
IV
Pekerjaan Struktur Atas
IV.a
Pekerjaan Dinding Pagar
Rp
15,899,840.00
0.27%
IV.b
Pekerjaan Lantai Dasar
Rp
342,705,961.12
5.78%
IV.c
Pekerjaan Lantai Dua
Rp
646,775,363.90
10.91%
IV.d
Pekerjaan Lantai Tiga
Rp
637,106,407.90
10.75%
IV.e
Pekerjaan Lantai Empat
Rp
637,106,407.90
10.75%
IV.f
Pekerjaan Lantai Lima
Rp
596,587,648.20
10.06%
IV.g
Pekerjaan Lantai FL 16.28
Rp
133,225,222.20
2.25%
IV.h
Pekerjaan Lantai Atap Pekerjaan Dinding, Kusen, Elektrikal, dan Plafond
Rp
154,380,922.80
2.60%
V.
Lantai Dasar
Rp
289,810,736.49
4.89%
2
Lantai Dua
Rp
181,166,594.88
3.06%
3
Lantai Tiga
Rp
140,854,149.83
2.38%
4
Lantai Empat
Rp
140,854,149.83
2.38%
5
Lantai Lima
Rp
147,260,849.73
2.48%
6
Lantai FL 16.28
Rp
1,129,345.00
0.02%
Lantai Atap
Rp
42,304,664.70
0.71%
Rp
2,487,239.31
0.04%
VI.b
Pekerjaan Kusen Lengkap Pekerjaan Kunci / Alat Gantungdan Kaca
Rp
9,211,171.20
0.16%
VI.c
Pekerjaan Penutup Lantai
Rp
235,980,910.40
3.98%
VI.d
Pekerjaan Pengecatan Pekerjaan Sanitasi dan Saluran Air
Rp
653,586,744.30
11.02%
Rp
9,800,962.50
0.17%
Rp
63,646,425.00
1.07%
VI.g
Pekerjaan Landscape Pekerjaan Elektrikal ( Lampu Taman )
Rp
44,606,240.00
0.75%
VI.h
Pekerjaan Lain-lain
Rp
32,032,260.00
0.54%
VI
VI.e VI.f
Jumlah Tenaga x Jam Kerja Efektif Koefisien
- Contoh Perhitungan Pekerjaan Baja Tulangan (Ulir) D39 : 0.0350 Mandor Per Jam 0.1050 Pekerja Per Jam Maka :
Produktivitas =
1
VI.a
=
3 Pekerja 0.1050 = 0.0350 1 Mandor 1 Mandor x 7 Jam 0.0350
= 200 kg / hari - Perhitungan Durasi Pekerjaan : Durasi Pekerjaan =
Finishing
Rp 5,928,680,782.92
-
Volume Pekerjaan Produktivitas
Contoh Perhitungan Durasi Pekerjaan
Pembesian pada Pedestal, yaitu : Diketahui volume pembesian pada pekerjaan pedestal sebesar 124.20 kg, maka :
100.00%
Durasi Pekerjaan =
kg 124.20 = 0.62 hr 200 kg/hari
KESIMPULAN SARAN Anggaran biaya konstruksi pembangunan gedung bertingkat didapat dari hasil penjumlahan biaya standar dan non standar yang berdasarkan pada syarat teknis bangunan gedung, maka didapat perkiraan total biaya – biaya komponen kegiatan pembangunan bangunan gedung sebesar Rp 6,588,317,244.60. 1. Estimasi biaya anggaran konstruksi tahap desain pada Pembangunan Kampus BSI Margonda Depok sebesar Rp 5.928.680.782,92. 2. Durasi waktu jadwal rencana pelaksanaan selama ± 4,5 bln. Nilai Proyek yang didapat dari hasil estimasi anggaran biaya konstruksi tahap desain pada Pembangunan Kampus BSI Margonda Depok lebih kecil dibandingkan anggaran biaya konstruksi berdasarkan syarat teknis bangunan gedung. Artinya estimasi anggaran biaya konstruksi pada Pembangunan Kampus BSI Margonda Depok dapat digunakan dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi. Oleh karena itu proyek pembangunan bangunan gedung kampus BSI Margonda – Depok layak untuk dilaksanakan dan dapat memenuhi syarat teknis pembangunan bangunan gedung.
Hal yang penting dalam pemilihan metode estimasi biaya tahap desain haruslah akurat, mudah dan tidak mahal dalam penggunaannya. Parameter yang digunakan dalam estimasi anggaran biaya konstruksi untuk bangunan gedung adalah luas lantai dan jumlah lantai. Langkah awal yang harus diperhatikan adalah menentukan klasifikasi bangunan baik berdasarkan kegunaan bangunan ataupun kompleksitas. Parameter yang lebih penting adalah indeks harga bangunan gedung permeter persegi berdasarkan perencanaan program dan anggaran bangunan gedung yang dikeluarkan sesuai dengan daerah pelaksanaan proyek. DAFTAR PUSTAKA Tenriajeng. A. T., Administrasi Konrtrak dan Anggaran Borongan, Penerbit Gunadarma, Depok, 2004 Soeharto, I., Manajemen Proyek Jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta 1998 H. Bachtiar I, Rencana dan Estimate real of Cost, penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 2003 Keputusan Menteri Permukiman Dan Prasarana Wilayah Nomor: 332/Kpts/M/2002, Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara, Jakarta, Agustus 2002.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KLAIM DAN PENYELESAIANNYA PADA INDUSTRI KONSTRUKSI Nursyam Saleh Staf Pengajar Teknik Ekonomi Konstruksi Universitas Bung Hatta Padang Mahasiswa Faculty of Civil Engineering University Teknologi Malaysia
ABSTRAK: Industri kontruksi adalah industri yang memberikan sumbangan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Masalah yang terjadi pada industri ini hendaknya di minimalisasi. Salah satu masalahnya adalah klaim. Untuk bisa mengatasi masalah klaim, pihak-pihak yang terlibat dalam industri ini sebaiknya mengenal jenis-jenis klaim, penyebabnya dan alternatif penyelesaiannya. Jenis dan penyebab klaim bisa berupa (a) klaim atas kerugian karena disebabkan oleh perubahan kontrak yang dilakukan oleh pemilik, (b) klaim atas tambahan elemen nilai kontrak, (c) klaim yang dibuat karena perubahan kegiatan, dan (c) klaim karena Penangguhan proyek. Tindakan antisipasi bisa mempersiapkan dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak, Gambaran yang jelas tentang Perubahan Order, Rencana dan Penjadwalan, Tindakan Proaktif dan Presenvation of Rights. Dan alternatif penyelesaiannya bisa melalui Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi. Kata kunci ; Industri kontruksi dan Klaim. 1.
PENDAHULUAN Industri kontruksi adalah industri memberikan kontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kontribusi industri ini melalui penyediaan tenaga kerja kepada masyarakat sehingga menurunkan jumlah pengangguran atau meningkatkan jumlah pendapatan dan konsumsi masyarakat yang akhirnya akan memberikan sumbangan positif terhadap pembangunan. Agar industri kontruksi memberikan nilai tambah bagi pembangunan maka sistim pengelolaan industri harus dilakukan secara profesional dan efektif pada semua aspek yang terlibat dalam suatu proyek kontruksi. Proyek konstruksi juga semakin hari menjadi semakin kompleks sehubungan dengan standar-standar baru yang ditetapkan, teknologi yang canggih, dan keinginan owner untuk melakukan penambahan ataupun perubahan lingkup pekerjaan. Suksesnya sebuah proyek tak lepas dari kerja sama antara pihak-pihak yang terlibat didalamnya yaitu owner, enginer dan kontraktor. Pihak-pihak tersebut mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda sehingga konflik/perselisihan selalu timbul akibat perbedaan pendapat pada saat perencanaan dan pembangunan proyek. (Malak, Saadi, Zeid, 2002) Keberhasilan penyelesaian suatu proyek kontruksi dan menjaga agar realisasi biaya sama dengan yang di anggarkan sangat tergantung pada metodologi yang membutuhkan pertimbangan teknis para insinyur (Hancher, 1981). Jika pertimbangan teknis kurang matang maka akan menyebabkan keterlambatan didalam penyelesaian. Dampak keterlambatan ini bisa berdampak terhadap biaya dan kualitas (Herbsman, Chen dan Epstein, 1995). Banyak penyebab di tundanya penyelesaian proyek, seperti yang dikemukan oleh (Ogunlana dan Promkuntong, 1996) diantaranya adalah masalah kekurangan material, masalah yang disebabkan oleh konsultan dan klien, dan masalah tidak kompetennya kontraktor pelaksana. Untuk mengantisipasi klaim harus diketahui lebih dahulu penyebabnya, karena klaim dapat berasal dari kontraktor, pemberi order pekerjaan, manajer konstruksi ataupun dari dokumen kontraknya (Fisk, 1997) Akibat dari keterlembatan penyelesaian sering menimbulkan tuntutan dari salah satu pihak. Tuntutan di industri kontruksi bisa bisa di definisikan (Adrian,1988) jika salah satu pihak menuntut sejumlah uang, tambahan masa penyiapan proyek, atau merubah (menambah/mengurangi) pekerjaan. Masalah ini akan bisa diselesaikan melalui beberapa tahap (Groton, 1992) yaitu prevention, Negotiation, Standing neutral, Non-binding resolution, Binding resolution (arbitration) dan litigation. Kajian tentang masalah munculnya klaim di industri kontruksi sudah banyak dilakukan diantaranya Al-Subaie (1987), Wahyuni (1996), (Al-Bargauthi (1994), Tjahjono & Santoso, (1998) dan Saiful (2004)). Kajian-kajian di atas membahas tentang jenis-jenis klaim, penyebab dan antisipasi klaim serta alternatif penyelesaian klaim. Dengan mengetahui jenis dan penyebab klaim serta bagaimana mengantisipasi klaim dan alternatif penyelesaiannya maka tentu sangat bermanfaat bagi industri kontruksi sehingga industri ini semakin efisien dan tentu akan menyumbang terhadap perekonomian negara. Tulisan ini mencoba kembali mereview jenis-jenis dan penyebab klaim serta antisipasi dan alternatif penyelesaiannya.
2.
TUJUAN DAN MANFAAT Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis klaim, penyebab timbulnya klaim, antisipasi supaya tidak terjadinya klaim dan alternatif penyelesaiannya pada industri kontruksi. Dengan mengetahui jenis-jenis, penyebab, dan antisipasi untuk menghadapi klaim serta alternatif penyelesaiannya akan berguna bagi pihak-pihak yang terlibat
-1-
pada industri kontruksi baik owner, kontraktor, sub-kontraktor dan arsitek agar bisa menghindari klaim dan memilih alternatif penyelesaiannya. 3.
JENIS-JENIS KLAIM Klaim pada industri kontruksi sangat sensentif dan emotif. Fadzilah (1999) mengemukakan bahwa klaim bisa dalam bentuk tambahan biaya oleh kontraktor di luar biaya yang telah ditetapkan dalam kontrak. Klaim ini terdiri dari beberapa jenis yang perlu diketahui agar memudahkan bagi pihak yang terlibat pada industri kontruksi untuk mengontrol jalannya proyek dan mengantisipasi penyelesaian klaim. Konflik-konflik (perselisihan) yang disebabkan berbagai macam hal ini, akan menyebabkan terjadinya sengketa antara pihak pemilik, perencana maupun kontraktor, jika sengketa yang ada dibiarkan berlarut-larut maka akhirnya akan muncul klaim konstruksi dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses konstruksi. Karena terlepas dari besar kecilnya skala proyek, hampir dapat dipastikan akan selalu terjadi klaim, yang mana hal ini tidak dapat dihindari (Wahyuni, 1996). Barry et al. (1990) membagi jenis klaim kedalam 4 kategori utama yaitu ; (a) klaim atas kerugian karena disebabkan oleh perubahan kontrak yang dilakukan oleh pemilik, (b) klaim atas tambahan elemen nilai kontrak, (c) klaim yang dibuat karena perubahan kerja, dan (d) klaim karena Penangguhan proyek. Perubahan bisa disebabkan oleh penyimpangan pekerjaan dari kontrak semula baik dari aspek skop pekerjaan maupun perubahan desain. Perubahan ini akan meningkatkan biaya dan masa penyelesaian proyek.Rubin et al. (1983) dan (Edward (1999)) menjelaskan bahwa perubahan bisa berasal dari pemilik maupun dari yang lain. Diantaranya adalah perubahan kontruksi (Gary (1995) dan Fisk dan Negelle et al. ,1988), perubahan kondisi lapangan yang tidak sesuai dengan kontrak (Stephen ( 1997) dan Brij (1996)) , perubahan disaian (Barry et al., 1990) dan penghentian pekerjaan proyek Gilbreath et al (1983). Selain klaim atas penyimpangan dari kontrak, klaim juga bisa dalam bentuk tambahan waktu. Hal ini bisa disebabkan oleh waktu penyelesaian lebih lama dari jadwal Garry (1995), waktu penyelesaian lebih cepat dari jadwal (Powell et al., 1999), gangguan dari lingkungan (Brij, 1996), rendahnya kualitas pekerjaan (Gilberth et al. (1992), rendahnya kualitas material yang di gunakan ( Greeno, 1995) dan (Yates & Lockley, 2002), dan struktur kontruksi (Barry et al., (1990) dan Wyatt (1985). Jenis klaim lainnya bisa berupa klaim keuangan.
4.
FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KLAIM Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak konstruksi pada dasarnya mempunyai maksud dan tujuan yaitu terlaksananya suatu proyek pada harga, kualitas dan waktu yang telah ditetapkan, tetapi dapat juga timbul perbedaanperbedaan atau salah interprestasi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak sehingga menimbulkan perselisihan diantaranya. Perselisihan yang tidak diselesaikan ini dapat menimbulkan klaim (Fisk, 1997). Sebagian besar klaim yang terjadi disebabkan oleh keterlambatan penyelesaian suatu proyek. Faktor keterlambatan dapat berasal dari keterlambatan suatu proyek konstruksi dapat disebabkan kurangnya pengalaman pemberi order pekerjaan (Fisk, 1997). Adanya organisasi kerja yang efisien juga ikut mempengaruhi kesuksesan suatu manajemen dalam proyek konstruksi. Oleh sebab itu dalam membentuk suatu organisasi proyek harus diperhatikan bahwa jalur perintah yang ada sebaiknya bersifat langsung dan pendek dan tiap individu sebaiknya diberi wewenang sesuai posisinya (Antill, 1970). Dokumen kontrak yang tidak jelas dapat menyebabkan adanya keterlambatan dimana hal ini mengakibatkan klaim, misalnya tidak lengkapnya schedulling clause dalam suatu dokumen kontrak (Fisk, 1997). Pemberi order pekerjaan tidak boleh mencampuri rencana yang telah dibuat kontraktor pada pekerjaan yang sifatnya sequential misalnya dengan mengadakan perubahan pada pekerjaan tersebut. Apabila hal itu menyebabkan tambahan biaya maka kontraktor dapat menuntut pemberi order pekerjaan (Wilson, 1982) Kurangnya pengalaman dari manajer dalam pengaturan jadwal dan perencanaan dapat menyebabkan terjadinya masalah-maslaah dalam pelaksanaan suatu proyek (Ahuja & Walsh, 1983). Job meeting yang tidak teratur dan tidak dipersiapkan dengan baik sehingga tujuannya menjadi tidak jelas dapat menyebabkan tidak terkoordinirnya pekerjaan (Ahuja, 1984). Apabila kontraktor tidak setuju dengan spesifikasi yang ada, menolak untuk bekerja sama dan tidak mengikuti peraturan yang ada dapat menyebabkan keterlambatan, (Fisk, 1997) kegagalan dari kontraktor untuk dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah tercantum dari kontrak dapat menyebabkan timbulnya klaim, (Antill, 1970) Dalam suatu proyek, seringkali dijumpai adanya perubahan-perubahan pekerjaan, hal ini terjadi karena kondisi sebenarnya yang ada dilapangan baru diketahui setelah pekerjaan berlangsung. Perubahan pekerjaan yang diperintahkan pemberi order pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya pemberi order pekerjaan dapat menyebabkan terjadinya keterlambatan dari jadwal kemajuan pekerjaan yang telah direncanakan (Antill, 1970). Campur tangan pemberi order pekerjaan ini dapat berupa perintah untuk menggunakan metode yang tidak tercantum dalam kontrak. Klaim juga dapat timbul karena kontraktor diperintahkan untuk pekerjaan dibawah kondisi dimana kontraktor merasa kondisi tersebut menghambat pekerjaannya. (Ahuja & Walsh, 1983). Penundaan pekerjaan yang disebabkan oleh keterlambatan pengiriman material merupakan salah satu penyebab utama rendahnya produktifitas dan adanya waktu menganggur (Harison, 1981:257, Cristian & Hackey, 1995)
-2-
Tidak sempurnanya rencana dan spesifikasi dapat menyebabkan timbulnya klaim dari kontraktor apabila terjadi perubahan order (Ahuja, 1984). Perintah tidak pemberi order pekerjaan untuk mengubah metode yang ada atau memerintahkan kontraktor untuk bekerja dengan suatu metode dimana metode tersebut tidak tercantum dalam kontrak dapat menimbulkan klaim (Ahuja, 1983) Kondisi fisik di lapangan yang berbeda dari yang tertulis pada dokumen kontrak dapat menjadi suatu masalah, dimana kontraktor berhak mendapat tambahan biaya untuk suatu pekerjaan. Adanya data-data kondisi tanah yang berbeda dari rencana juga dapat mengakibatkan tambahan biaya bahkan menyebabkan keterlambatan di suatu proyek. Perbedaan kondisi lapangan dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu (Fisk, 1997) Hujan lebat atau cuaca yang tidak memungkinkan dapat menyebabkan penundaan pelaksanaan pekerjaan sehingga terjadi keterlambatan pada proyek (Fisk, 1997) cuaca buruk meskipun dapat dikontrol oleh manajemennya dapat berakibat pada hilangnya hari kerja (Ahuja, 1984) Adanya aselarasi pekerjaan dalam suatu proses konstruksi dapat menyebabkan klaim (ahuja, 1983). Aselarasi pekerjaan dilakukan kontraktor untuk menyelesaikan pekerjaan lebih cepat dari waktu normal dengan menambah jam kerja atau tenaga kerjanya. Aselerasi dapat dibagi menjadi 3 tipe yaitu: Diceted acceleration, Constructive acceleration, The Contractor Accelerates Valuntarily Pemberi order pekerjaan dapat memerintahkan kontraktor untuk menangguhkan semua atau sebagian pekerjaan bila dianggap penting. Ada beberapa alasan untuk menangguhkan pekerjaan diantaranya pemberi order pekerjaan mempunyai anggaran yang terbatas dan memutuskan untuk menghentikan pekerjaan di area tertentu. Penangguhan pekerjaan dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu (Fisk, 1997); (a) Kategori Pertama; Berhubungan dengan kegagalan kontraktor untuk menyelesaikan perintah atau ketetapan yang tercantum pada kontrak, (b) kategori Kedua; Penangguhan pekerjaan dilakukan berhubungan dengan cuaca yang tidak memungkinkan atau kondisi yang tidak baik misalnya penangguhan pengiriman material akibat adanya banjir (Ahuja, 1984). Spesifikasi merupakan bagian dari suatu dokumen kontrak yang menerangkan kualitas yang diminta dari suatu proyek yang akan dikerjakan. Spesifikasi merupakan suatu pelengkap dari gambar yang menjelaskan material yang akan dipakai, pekerja-pekerja yang dibutuhkan dan langkah-langkah yang harus diikuti dalam melaksanakan suatu proyek konstruksi (Fisk, 1997). Adanya pekerjaan yang berbeda dari yang telah disebutkan dari spesifikasi atau adanya pekerjaan tambahan yang tidak tercantum dalam dokumen kontrak dapat menyebabkan konflik dalam rencana dan spesifikasi (Ahuja, 1983) Klaim juga dapat timbul akibat adanya beberapa kontraktor yang bekerja pada suatu proyek yang sama pada saat yang sama dan salah satu kontraktor merasa pekerjaannya dihalangi oleh kontraktor lain. Hal ini dapat menyebabkan kegagalan pekerjaan pada kontraktor lain (Ahuja & Walsh, 1983). Apabila pemberi order pekerjaan tidak memberikan informasi yang jelas kepada kontraktor misalnya test boring dan penyelidikan tentang kondisi di bawah permukaan tanah dan hal-hal yang ternyata mempengaruhi pekerjaan kontraktor maka hal ini dapat menimbulkan klaim (Ahuja & Walsah, 1983) Penyebab utama perselisihan antara pemilik dan kontraktor adalah keterlambatan (PTU, 1996). Bila dilihat lagi penyebab keterlambatan ini bermacam-macam. Keterlambatan proyek juga banyak yang disebabkan faktor pengembang/pemilik. Misalnya, karena perencanaan yang tidak matang, di tengah jalan pengembang/pemilik yang mengerjakan sendiri, mengatur sendiri pula sub-sub kontraktor. Hal itu sering menyebabkan kesungguhan kontraktor berkurang (PTU, 1996). Keterlambatan terjadi karena berbagai macam hal. Seperti, misalnya perubahan-perubahan desain, kesalahan manajemen, kekurangan peralatan ataupun tenaga ahli maupun karena waktu yang disediakan pemilik memang tidak cukup (Unrealistic Schedule). Setiap kontraktor mengharapkan untuk menangani pekerjaan yang semua kondisinya berada dalam keadaan yang ideal (driscoll, 1971). Suatu pekerjaan yang dapat diselesaikan tepat waktu dan hanya melibatkan sedikit perubahan dari pemilik yang menghasilkan perubahan-perubahan yang dapat dilihat secara nyata serta sebanding dengan banyaknya uang yang dapat dihemat. Bila dalam suatu proyek pemilik memerintahkan kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang tidak tercantum dalam kontrak, maka pemilik diharapkan untuk dapat segera untuk dapat mengeluarkan dokumen perubahan pekerjaan (change oeder issue), dimana dokumen yang berkaitan dengan jumlah perubahan pekerjaan tersebut dimasukkan dalam kontrak dan kontraktor berhak untuk mendapatkan biaya tambahan untuk perubahan pekerjaan yang dilakukan. Dalam hal ini kontraktor tentunya tidak berhak untuk mengajukan klaim karena sudah ada kompensasi dari pemilik. Kontraktor baru dapat mengajukan klaim bila pemilik menunda untuk mengeluarkan dokumen tersebut sehingga menyebabkan kontraktor memperbaiki jadwal kerjanya serta mengeluarkan biaya tambahan. Manajemen merupakan faktor penting dalam organisasi pemilik ataupun kontrator. Adanya kesalahan manajemen oleh pemilik dapat menyebabkan kontraktor mengajukan klaim kepada pemilik. Demikian pula sebaliknya, adanya kesalahan manajemen pada kontraktor dapat merugikan pemilik dan mengakibatkan timbulnya klaim kepada kontraktor. Bila digunakan sistem kerja ‘fast-track construktion’, dimana sistem ini memungkinkan adanya pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan bersamaan dengan pekerjaan desain, biasanya diperlukan banyak perubahan-
-3-
perubahan desain. Perubahan-perubahan desain tersebut dapat menyebabkan peselisihan antara pemilik dan kontraktor dan pada akhirnya menyebabkan kontraktor mengajukan klaim. ‘Itikad buruk’ adalah sebab klaim yang berkaitan dengan berbagai tindakan penipuan. Dalam tahun-tahun terakhir ini, klaim ‘itikad buruk’ telah menjadi biasa (Bramble, et al., 1990). Yang termasuk kedalam klaim itikad buruk ini adalah penggelapan, salah pengertian, usaha-usaha yang ditujukan untuk menyusahkan orang lain atau usaha-usaha yang tidak memperhitungkan efek yang timbul terhadap yang lain. Klaim itikad buruk ini dapat berasal dari kontraktor maupun dari pemilik. Ada kontraktor yang merasa dirugikan oleh tindakan pemilik yang dengan sengaja menunda-nunda pembayaran atau bahkan tidak membayar sama sekali pekerjaan yang telah dilaksanakan. Dilain pihak, ada pula pemilik yang merasa dirugikan oleh tindakan kontraktor yang tidak bertanggung jawab. 5.
PENYELESAIAN KLAIM Perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak dalam suatu proyek bila tidak diselesaikan akan menimbulkan klaim dimana hal ini membutuhkan tambahan biaya dan waktu bahkan dapat mempengaruhi kredibilitas pihak-pihak tersebut. Oleh karena itu klaim sebisa mungkin dihindari dengan meminimumkan kemungkinan yang terjadi, karena klaim bukanlah hal yang menguntungkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak (ahuja & Walsh, 1983) Ada beberapa cara yang dilakukan pihak yang terlibat dalam kontrak untuk mengantisipasi terjadinya klaim. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah : dokumentasi, pengetahuan tentang kontrak, gambaran yang Jelas tentang perubahan order, rencana dan penjadwalan, tindakan Proaktif dan presenvation of rights. Untuk menghindari terjadinya klaim diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam mempersiapkan suatu dokumentasi. Adanya dokumentasi yang baik, lengkap dan benar dapat dipakai sebagai alat atau dasar untuk mengetahui adanya kejadian atau perubahan baik yang berupa kemajuan maupun keterlambatan dari proyek tersebut. Dokumentasi juga dapat digunakan sebagai dasar untuk membenarkan atau menolak tindakan dari salah satu pihak untuk meminta tambahan waktu dan uang. Dokumen tentang kontrak harus dibaca secara keseluruhan dan dimengerti sebelum melakukan penawaran untuk menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan secara tepat waktu (Jergeas, 1994). Perubahan order dapat mengakibatkan perubahan pada dokumen kontrak karena perubahan order dapat menyebabkan perubahan pada harga yang telah disepakati, perubahan jadwal pembayaran perubahan pada jadwal penyelesaian pekerjaan dan perubahan pada rencana dan spesifikasi yang telah ditetapkan dalam kontrak (Fisk, 1997). Perubahan order ini tidak hanya mengakibatkan adanya tambahan biaya saja tetapi juga akan mengakibatkan tambahan beban pekerjaan, tambahan biaya administrasi, biaya dari adanya tambahan waktu dan biaya-biaya (Jergear & Hartman, 1994). Suatu rencana dimaksudkan untuk mendapatkan suatu metode pelaksanaan proyek yang sifatnya ekonomis dan hanya membutuhkan sedikit waktu (Deatherage, 1965). Dengan rencana yang baik, maka sumber daya yang cukup dapat disediakan pada saat yang tepat, tersedia cukup waktu untuk setiap aktivitas dan setiap aktivitas dapat dimulai pada saat yang tepat. Rencana juga dapat membantuk untuk memilih metode konstruksi yang ekonomis, memilih peralatan, pengiriman material (Antill & Woodhead, 1970) Semua pihak yang terlibat dalam suatu kontrak pada dasarnya ingin mendapatkan keuntungan dan sedapat mungkin mengurangi tanggung jawab terhadap kemungkinan terjadinya klaim. Manajer poryek harus mempertimbangkan halhal di bawah ini untuk melindungi keuntungan kontraktor dan mengurangi tanggung jawab. Semua tindakan yang tidak sesuai dengan dokumen kontrak dan dapat menyebabkan terjadinya klaim harus dicatat dan dilengkapi dengan waktu kejadiannya, hal-hal seperti melakukan pekerjaan yang berbeda dari gambar dan spesifikasi, menggunakan cara atau metode yang berbeda atau lebih mahal, bekerja diluar rencana yang ditetapkan, permintaan untuk berhenti bekerja merupakan tindakan-tindakan yang harus dihindarkan untuk menghindari terjadinya klaim (Jergeas, 1994) Dalam menghadapai masalah konstruksi haruslah diingat bahwa penyelesaian dengan musyawarah jauh lebih baik dari pada mengajuan klaim. Tujuan yang hendak dicapai bukanlah untuk membuktikan siapa yang benar melainkan penyelesaian masalah yang ada. Banyak cara untuk menyelesaikan perselisihan dalam suatu proyek. Diperlukan sikap terbuka (open minded) dan keinginan yang kuat dalam menyelesaikan masalah dari pihak terlibat. Adanya kesadaran bahwa dalam menyelesaikan proyek tepat waku, cost dan standar mutu dan spesifikasi sesuai dengan perjanjian sebelumnya adalah tujuan utamanya (Wahyuni, 1996). Bila salah satu pihak tidak memenuhi syarat yang sudah dipenuhi, maka perselisihan tersebut tidak akan selesai. Jika klaim konstruksi tidak dapat diselesaikan dengan segera, pihak-pihak yang terlibat harus dilanjutkan ke forum penyelesaian masalah lebih formal. Yang termasuk dalam hal ini adalah : Negosiasi, Mediasi, Arbitrasi dan Litigasi. Yang dimaksud dengan negosiasi adalah cara penyelesaian yang hanya melibatkan kedua belah pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak-pihak yang lain. Hal ini mirip dengan musyawarah dan mufakat yang ada di Indonesia, dimana keinginan untuk berkompromi, adanya unsur saling memberi dan menerima serta kesediaan untuk sedikit menyingkirkan ukuran kuat dan lemah adalah persyaratan keberhasilan cara ini. Di dalam negosiasi ini
-4-
kontraktor dan pemilik memakai arsitek dan insinyur sebagai penengah. Biasanya kontraktor diminta mengajukan klaim kepada arsitek/insinyur yang diangkat menjadi negosiator. Arsitek/Insinyur ini akan mengambil keputusan yang sifatnya tidak mengikat, kecuali keputusan tentang ‘efek arstistik’ yang konsisten dengan apa yang telah ada dalam dokumen kontrak. Mediasi merupakan cara penyelesaian masalah di awal perselisihan berlangsung. Mediasi ini melibatkan pihak ketiga yang tidak memihak dan dapat diterima kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini akan berusaha menolong pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan penyelesaian, meskipun mediator ini tidak mempunyai kekuatan untuk memutuskan penyelesaian masalah tersebut. Mediasi sama menguntungkannya dengan arbitrasi. Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, murah, tertutup dan ditangani oleh para ahli. Tetapi yang menjadi masalah adalah keputusan mediasi ini tidak mengikat. Jadi apabila persetujuan tidak dapat dicapai, seluruh usaha mediasi hanya akan membuang-buang uang dan waktu. Arbitrasi adalah metode penyelesaian masalah yang dibentuk melalui kontrak dan melibatkan para ahli dibidang konstruksi. Para ahli tersebut bergabung dalam badan arbitrase. Badan ini akan mengatur pihak-pihak yang telah menandatangani kontrak dengan klausul arbitrasi didalamnya untuk melakukan arbitrasi dan menegakkan keputusan arbitrator. Hal yang menguntungkan dari cara arbitrasi ini adalah sifat penyelesaiannya yang cepat dan murah jika dibandingkan dengan litigasi. Selain itu, cara arbitrasi ini dilakukan secara tertutup serta dilakukan oleh seorang arbitrator yang dipilih berdasarkan keahlian. Keputusan arbitrasi yang bersifat final dan mengikat merupakan alasan penting digunakannya cara ini untuk menyelesaikan masalah. Keputusan pengadilan biasanya terbuka untuk proses peradilan yang lebih panjang. Hal ini menghasilkan penundaan yang lama dan memakan biaya dalam penyelesaian masalah. Sedangkan keputusan dari arbitrasi ini tidak dapat dirubah tanpa semua pihak setuju untuk membuka kembali kasusnya. Litigasi adalah proses penyelesaian masalah yang melibatkan pengadilan. Proses ini sebaiknya diambil sebagai jalan akhir bila keseluruhan proses diatas tidak dapat menghasilkan keputusan yang menguntungkan kedua belah pihak yang bersengketa. Proses pengadilan ini tentu saja akan mengakibatkan salah satu pihak menang dan yang lain kalah. Biasanya perselisihan yang terjadi disidangkan pada system yuridis di daerah mana masalah tersebut terjadi. Pada suatu wilayah tertentu pengadilan wilayah tersebut mendapat yuridikasi atas suatu masalah bila salah satu pihak berkantor di wilayah tersebut atau proyeknya sendiri ada pada daerah itu. Jika kedua belah pihak yang berselisih berkantor pusat di daerah lain, maka pihak yang memulai litigasi yang memilih forum dimana litigasi itu berlangsung. Lama waktu penyelesaian merupakan hal yang patut diperhitungkan dalam penggunaan cara ini. Tergantung dari yuridiksinya, suatu perselisihan konstruksi yang kompleks dapat menghabiskan waktu antara 2 sampai 6 tahun sebelum mencapai pengadilan (Arditi, 1996). Proses penggalian fakta yang panjang dan detil membuat litigasi ini menjadi sangat mahal. Untungnya, bila ada kesalahan pengadilan dalam peryataannya atau dalam penggunaan prinsip-prisip hukum, pihakpihak yang melakukan litigasi tentunya dapat naik banding. 6.
KESIMPULAN. Industri kontruksi adalah industri yang sangat signifikan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Pengelolaan industri ini secara efektif dan efisien merupakan faktor penting yang perlu dipertimbangkan agar kontribusinya sebagai industri dominan dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi. Salah faktor pengelolaan industri secara efektif dan efisien adalah berjalan lancarnya industri ini. Masalah terjadinya konflik harus diperkecil. Untuk memperkecil konflik maka pihak-pihak yang terlibat harus tahu apa yang memyebabkan terjadinya konflik yang mengarah pada klaim dan bagaimana penyelesaiannya.
-5-
DAFTAR PUSTAKA Abdul Malak, M. Asem U., El-Saadi, Mustafa M.H., Abou-Zeid, Marwan G, Process Model for Administrating Construction Claims. Journal of Construction Engineering and Management. Vol 18, No. 2, April 2002. Ahuja, Hira N and Walsh, Michael A. 1983. Succesful Method in cost Engineering. New York, John Wiley & Sons. Inc Al-Barghouthi M. Liability allocation among the parties of ®xed-price construction contractors in Saudi Arabia. M.Sc. Thesis, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia, 1994. Al-Subaie O. Construction claims in residential housing. M.Sc. Thesis, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Saudi Arabia, 1987. Antil M, James. 1970. Civil Engineering Management. Sydney : Angus & Roberton Ltd. Bramble, Barry. B., Donofrio, Michael. F and Stetson, John. B. Avoiding and Resolving Construction Claims. United States, R.S. Means Company Inc., 1990. Driscoll, Thomas J. “Claims”, Contractor Management Handbook. Edited by O’Brien, James J and Zilly, Robert G. 1971. McGraw Hill. Inc. Fisk, Edward R, 1997. Construction Project Administration, Fifth Edition, New Jersey : Prentice Hall. Jergeas, George F and Hartman, Francis T. 1994. “Contractors Construction Claims Avoidance”. Journal of Construction Engineering and Manajement., September, Vol 120, No 3, 553-561. Morgerman, Gary. Construction Mediation Really Works. September, 2002. [http://www.CMInco.com] PTU . 1996. “Jika Pengembang Kontraktor Saling Tuding”, Properti Indonesia., Novenber p64-65. Wahyuni, Nur. 1996. “Pembayaran Tertunda Mmpengaruhi Cashflow Kontraktor”. Konstruksi. Desember, p69-71. Wahyuni, Nur. 1996. “Klaim Akan Selalu Timbul”, Konstruksi Oktober . p70-72. Wilson, Roy L.1982. “Preventation and Resolution of Construction Claims”. Journal of Construction Engineering and Management., September. Vol 108 ,No CO3, p39-405.
-6-
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
ANALISIS PERCEPATAN PELAKSANAAN DENGAN MENAMBAH JAM KERJA OPTIMUM PADA PROYEK KONSTRUKSI (Studi Kasus: Proyek Pembangunan Super Villa, Peti Tenget-Badung) Ariany Frederika Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universita Udayana, Denpasar E-mail : [email protected]
Abstrak: Dalam pelaksanaan proyek konstruksi sering terjadi ketidaksesuaian antara jadwal rencana dan realisasi di lapangan, sehingga menyebabkan keterlambatan. Banyak faktor yang menyebabkan keterlambatan, salah satu cara untuk mengantisipasinya dengan melakukan percepatan. Dalam melakukan percepatan, faktor biaya dan mutu harus diperhatikan, sehingga diperoleh biaya optimum dan mutu sesuai standar yang diinginkan. Proyek Pembangunan Super Villa dipilih untuk studi penelitian karena mengalami keterlambatan dalam pelaksanaannya. Alternatif percepatan yang digunakan yaitu penambahan jam kerja, dari satu jam sampai dengan empat jam tanpa adanya penambahan tenaga kerja. Perhitungan dimulai dengan mencari lintasan kritis menggunakan Microsoft Project kemudian dilakukan crashing untuk mendapatkan cost slope kegiatan yang berada pada lintasan kritis, selanjutnya dilakukan analisis dengan metode Time Cost Trade Off Analysis. Kemudian dibuat grafik hubungan biaya dan waktu optimum untuk masing-masing penambahan jam kerja. Dari hasil analisis didapat biaya optimum pada penambahan satu jam kerja dengan pengurangan biaya dan waktu masing-masing sebesar Rp784.104,16 dan 8 hari, sedangkan waktu optimum didapat pada penambahan dua jam kerja, dengan pengurangan waktu dan biaya masing-masing sebesar 14 hari dan Rp700.377,35. Artinya, percepatan dengan biaya optimum didapat pada penambahan satu jam kerja dan waktu optimum didapat pada penambahan dua jam kerja. Kata Kunci: percepatan, Microsoft Project, lintasan kritis, cost slope, time cost trade off analysis, optimum.
ANALYSIS OF ACCELERATION CONSTRUCTION BY ADDING OPTIMUM WORK TIME ON THE CONSTRUCTION PROJECT (Case Study: Super Villa Development Project, Peti Tenget-Badung) Abstract: In the implementation of construction projects, there is often a discrepancy between the planned schedules and the work in the field, thus causing delays. Many factors cause a delay, one way to anticipate is by doing the acceleration. In doing acceleration, cost and quality factors must be considered in order to obtain the optimum cost and quality standards desired. Super Villa Development Projects is selected for research studies because of delays in its implementation. Alternative acceleration used is the addition of working hours, from one hour to four hours without any additional manpower. The calculation begins by finding the critical path using Microsoft Project and then crashing is carried out to obtain cost slope activities that are on critical path, then the analysis is performed using Time Cost Trade-Off Analysis. Finally, a graphic of the relationship between the cost and the optimum time for each additional hour of work is created. From the analysis results, the optimum cost is obtained by adding one hour of works which reduce cost and time of Rp784,104.16 and eight days respectively, while the optimum time is obtained at additional two hours, with a reduction time of 14 days and cost reduction of Rp700,377.35. This means that the acceleration 113
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
with optimum cost is obtained when the addition is of one hour of work and optimum time is obtained when the addition is of two hours of work. Key words: acceleration, Microsoft Project, critical path, cost slope, time cost trade off analysis, optimum.
PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam pelaksanaan proyek konstruksi berbagai hal dapat terjadi yang bisa menyebabkan bertambahnya waktu pelaksanaan dan penyelesaian proyek menjadi terlambat. Penyebab keterlambatan yang sering terjadi adalah akibat terjadinya perbedaan kondisi lokasi, perubahan disain, pengaruh cuaca, kurang terpenuhinya kebutuhan pekerja, material atau peralatan, kesalahan perencanaan atau spesifikasi, dan pengaruh keterlibatan pemilik proyek (Owner). Keterlambatan pekerjaan proyek dapat diantisipasi dengan melakukan percepatan dalam pelaksanaannya, namun harus tetap memperhatikan faktor biaya. Pertambahan biaya yang dikeluarkan diharapkan seminimum mungkin dan tetap memperhatikan standar mutu. Percepatan dapat dilakukan dengan mengadakan penambahan jam kerja, alat bantu yang lebih produktif, penambahan jumlah pekerja, menggunakan material yang lebih cepat pemasangannya, dan metode konstruksi yang lebih cepat. Percepatan penyelesaian proyek harus dilakukan dengan perencanaan yang baik. Dengan adanya keterbatasan tenaga kerja, maka alternatif yang biasa digunakan untuk menunjang percepatan aktifitas adalah dengan menambah jam kerja, sehingga berpengaruh pada biaya total proyek. Untuk mengetahui hal ini perlu dipelajari tentang jaringan kerja yang ada, dan hubungan antara waktu dan biaya, hal tersebut disebut sebagai Analisis Pertukaran Waktu dan Biaya (Time Cost Trade Off Analysis). Permasalahan pada Proyek Pembangunan Super Villa dipilih sebagai objek penelitian karena mengalami keterlambatan pada pelaksanaannya, yaitu sebesar 24 %, diakibatkan oleh suplai bahan yang terlambat, dan adanya perubahan disain yang 114
dilakukan oleh owner. Untuk mengatasi keterlambatan tersebut, diperlukan upaya percepatan penyelesaian proyek dengan analisis dicoba dari satu jam sampai empat jam kerja menggunakan Metode Analisis Pertukaran Waktu dan Biaya (Time Cost Trade Off Analysis). Maksudnya adalah mempercepat waktu pelaksanaan proyek dan menganalisis sejauh mana waktu dapat dipersingkat dengan penambahan biaya minimum terhadap kegiatan yang bisa dipercepat kurun waktu pelaksanaannya sehingga dapat diketahui percepatan yang paling maksimum dan biaya yang paling minimum. MATERI DAN METODE Pengenalan Proyek Konstruksi Dalam mencapai sasaran dan tujuan dari proyek yang telah ditentukan terdapat batasan-batasan dalam suatu proyek yaitu Triple Constraint atau tiga kendala yang terdiri dari: Biaya/Anggaran (Cost), Waktu/Jadwal (Time), dan Mutu. Dari segi teknis, ukuran keberhasilan proyek dikaitkan sejauh mana ketiga sasaran tersebut dapat dipenuhi. Untuk itu diperlukan suatu pengaturan yang baik, sehingga perpaduan antara ketiganya sesuai dengan yang diinginkan, yaitu dengan manajemen proyek (Soeharto, 1997). Tahap-Tahap Aplikasi Network Planning Network planning pada prinsipnya merupakan hubungan ketergantungan antara bagian-bagian pekerjaan yang digambarkan dalam diagram network, sehingga diketahui bagian-bagian pekerjaan mana yang harus didahulukan dan pekerjaan mana yang harus menunggu selesainya pekerjaan yang lain (Soeharto, 1997). Aplikasi atau penerapan network planning pada penyelenggaraan proyek memerlukan persyaratan yang harus dipenuhi agar dapat dilaksanakan. Persyaratan ter-
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
sebut adanya kepastian tentang proyek yang harus dilaksanakan. Jika sudah ada ketetapan mengenai proyek yang akan dilaksanakan, maka selanjutnya dilakukan tahap aplikasi network planning yang terdiri dari tiga kelompok, yaitu: pembuatan desain, pemakaian desain, dan perbaikan desain. Proses menyusun jaringan kerja dilakukan secara berulang-ulang sebelum sampai pada suatu perencanaan atau jadwal yang dianggap cukup realistis. Metode jaringan kerja memungkinkan aplikasi konsep management by exception, karena metode tersebut dengan jelas mengidentifikasikan kegiatan-kegiatan yang bersifat kritis bagi proyek, terutama dalam aspek jadwal dan perencanaan. Umumnya kegiatan kritis tidak boleh lebih dari 20% total kegiatan proyek, dan dengan telah diketahuinya bagian ini maka pengelola dapat memberikan prioritas perhatian (Soeharto, 1997). Sistematika proses menyusun jaringan kerja secara ringkas dapat digambarkan seperti pada Gambar 1. Penyusunan Network Planning dengan Metode Preseden Diagram Metode diagram preseden/Preceden Diagram Method (PDM) merupakan penyempurnaan dari CPM, karena pada prinsipnya CPM hanya menggunakan satu jenis hubungan aktifitas yaitu hubungan akhir awal dan sebuah kegiatan dapat dimulai apabila kegiatan yang mendahuluinya selesai. Metode preseden diagram adalah jaringan kerja yang termasuk klasifikasi AON (Activity On Node). Kegiatan dan peristiwa pada metode preseden diagram ditulis dalam node yang berbentuk kotak segi empat. Kotak-kotak tersebut menandai suatu kegiatan, dimana harus dicantumkan identitas kegiatan dan kurun waktunya. Sedangkan peristiwa merupakan ujung-ujung kegiatan. Setiap node memiliki dua peristiwa yaitu awal dan akhir.
Pada preseden diagram hubungan antar kegiatan berkembang menjadi beberapa kemungkinan berupa konstrain. Konstrain menunjukkan hubungan antar kegiatan dengan satu garis dari node terdahulu ke node berikutnya. Satu konstrain hanya dapat menghubungkan dua node. Karena setiap node memiliki dua ujung yaitu ujung awal atau mulai (S) dan ujung akhir (F), maka ada empat macam konstrain yaitu awal ke awal (SS), awal ke akhir (SF), dan akhir ke awal (FS). Pada garis konstrain dibubuhkan penjelasan mengenai waktu mendahului (lead) atau terlambat/ tertunda (lag). Bila kegiatan (i) mendahului kegiatan (j) dan satuan waktu adalah hari. Identifikasi lingkup proyek dan menguraikannya menjadi komponen-komponen kegiatan
Menyusun komponen-komponen kegiatan sesuai urutan logika ketergantungan menjadi jaringan kerja
Memberikan perkiraan kurun waktu masingmasing pekerjaan
Identifikasi jalur kritis, float dan kurun waktu penyelesaian proyek
Meningkatkan daya guna dan hasil guna pemakaian sumber daya
Gambar 1. Ringkasan langkah-langkah dalam menyusun jaringan kerja (Sumber: Soeharto, 1997) Perhitungan Metode Preseden Diagram Parameter yang digunakan dalam perhitungan metode diagram akan dijelaskan sebagai berikut:
115
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
- TE = E, adalah waktu paling awal peristiwa (node/ event) dapat terjadi (earliest time of occurrence), - TL = L, adalah waktu paling akhir peristiwa boleh terjadi (latest allowable event occurrence time). - ES adalah waktu mulai paling awal suatu kegiatan (earliest start time). - EF adalah waktu selesai paling awal suatu kegiatan (earliest finish time). - LS adalah waktu paling akhir kegiatan boleh dimulai (latest allowable start time) - LF adalah waktu paling akhir kegiatan boleh selesai (latest allowable finish time). - D = Durasi, adalah kurun waktu suatu kegiatan, umumnya dengan satuan waktu hari, minggu, bulan, dan lainlain. Tenggang waktu total (Total Float) adalah jumlah waktu tenggang yang didapat bila semua kegiatan yang mendahuluinya dimulai pada waktu sedini mungkin dan semua kegiatan yang mengikutinya terlaksana pada waktu yang paling lambat. Rumusan yang akan dipakai dalam perhitungan waktu pada penyusunan network planning dengan metode preseden diagram adalah sebagai berikut : Hitungan maju Rumusan perhitungan waktu maju adalah sebagai berikut: - Waktu mulai paling awal dari kegiatan yang sedang ditinjau ES (j), adalah sama dengan angka terbesar dari jumlah angka kegiatan yang terdahulu ES (i) atau EF (i) ditambah konstrain yang bersangkutan. - Angka waktu selesai paling awala kegiatan yang sedang ditinjau WF (j), adalah sama dengan angka waktu mulai paling awal kegiatan tersebut ES (j), ditambah kurun waktu kegiatan yang bersangkutan D (j). Hitungan mundur Rumusan perhitungan waktu mundur adalah sebagai berikut: - Hitung LF (i), waktu selesai paling akhir kegiatan (i) yang ditinjau, yang me116
-
-
rupakan angka terkecil dari jumlah kegiatan LS dan LF ditambah konstrain yang bersangkutan.Waktu mulai paling akhir kegiatan yang sedang ditinjau LS (i), adalah sama dengan waktu selesai paling akhir kegiatan tersebut LF (i), dikurangi kurun waktu yang bersangkutan. Jalur dan kegiatan kritis Jalur dan kegiatan kritis metode preseden diagram sebagai berikut: Waktu mulai paling awal dan akhir harus sama (ES = LS) Waktu selesai paling awal dan akhir harus sama (EF = LF) Krurn waktu kegiatan adalah sama dengan perbedaan waktu selesai paling akhir dengan waktu mulai paling awal (LF-ES = D) Bila hanya sebagian kegiatan bersifat kritis, maka kegiatan tersebut secara utuh dianggap kritis.
Biaya Proyek Ada beberapa jenis biaya yang berhubungan dengan pembiayaan suatu proyek konstruksi, dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: - Biaya Langsung (Direct Cost), adalah biaya-biaya yang langsung berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan konstruksi di lapangan, seperti: Biaya bahan/material, pekerja/upah, dan peralatan. - Biaya Tak Langsung (Indirect Cost), adalah semua biaya proyek yang tidak secara langsung berhubungan dengan konstruksi di lapangan tetapi biaya ini harus ada dan tidak dapat dilepaskan da-ri proyek tersebut, seperti: Biaya Over-head, biaya tak terduga dan keuntungan/profit. Mempercepat Waktu Penyelesaian Proyek Mempercepat waktu penyelesaian proyek adalah suatu usaha menyelesaian proyek lebih awal dari waktu penyelesaian dalam keaadaan normal. Dengan diadakannya percepatan proyek ini akan terjadi pengurangan durasi kegiatan yang akan
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
diadakan crash program. Durasi crashing maksimum suatu aktivitas adalah durasi tersingkat untuk menyelesaikan suatu aktivitas yang secara teknis masih mungkin dengan asumsi sumber daya bukan merupakan hambatan (Soeharto, 1997). Durasi percepatan maksimum dibatasi oleh luas proyek atau lokasi kerja, namun ada empat faktor yang dapat dioptimumkan untuk melaksanakan percepatan pada suatu aktivitas yaitu meliputi penambahan jumlah tenaga kerja, penjadwalan kerja lembur, penggunaan peralatan berat dan pengubahan metode konstruksi di lapangan. Pelaksanaan Penambahan Jam Kerja (Lembur) Adapun rencana kerja yang akan dilakukan dalam mempercepat durasi sebuah pekerjaan dengan metode jam kerja lembur adalah: - Waktu kerja normal adalah 8 jam (08.00 – 17.00), sedangkan lembur dilakukan setelah waktu kerja normal. - Harga upah pekerja untuk kerja lembur menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 102/ MEN/ VI/ 2004 pasal 11 diperhitungkan sebagai berikut : • Untuk jam kerja lembur pertama, harus dibayar upah lembur sebesar
1,5 (satu setengah) kali upah satu jam. • Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah lembur sebesar 2 (dua) kali upah satu jam. Dari uraian di atas dapat dirumuskan sebagai berikut : Biaya lembur per hari = (jam kerja lembur pertama x 1,5 x upah satu jam normal) + (jam kerja lembur berikutnya x 2 upah satu jam normal) …………….............(1) Produktivitas Kerja Lembur Secara umum, produktifitas merupakan perbandingan antara output dan input. Dibidang konstruksi, output dapat dilihat dari kuantitas pekerjaan yang telah dilakukan seperti meter kubik galian atau timbunan, ataupun meter persegi untuk plesteran. Sedangkan imputnya merupakan jumlah sumber daya yang dipergunakan seperti tenaga kerja, peralatan dan material. Karena peralatan dan material biasanya bersifat standar, maka tingkat keahlian tenaga kerja merupakan salah satu faktor penentu produktivitas. Apabila dilakukan kerja lembur akan terjadi penurunan produktivitas yang dapat dilihat pada grafik Gambar 2.
Indeks Produktivitas Proyek Besar 1,4 1,3 1,2 1,1
1,0
2,0
3,0
4,0
Jam Lembur
Gambar 2. Grafik indikasi menurunnya produktivitas karena kerja lembur (Sumber : Soeharto, 1997) Dari uraian di atas dapat ditulis sebagai berikut: Produktifitas harian
=
Volume …………………......(2) Durasi normal 117
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
Produktifitas tiap jam Pr oduktifitas harian = ……….….…….(3) 8 jam Produktifitas harian akibat kerja lembur = (a x b x prod.tiap jam)…………....…(4) Dimana : a = jumlah jam kerja lembur; b = koefisien penurunan produktivitas kerja lembur Crashing Terminologi proses crashing adalah mereduksi suatu pekerjaan yang akan berpengaruh terhadap waktu penyelesaian proyek. Crashing adalah suatu proses disengaja, sistematis, dan analitik dengan cara melakukan pengujian dari semua keBiaya Biaya Dipersingkat
giatan dalam suatu proyek yang dipusatkan pada kegiatan yang berada pada jalur kritis. Proses crashing adalah cara melakukan perkiraan dari variabel cost dalam menentukan pengurangan durasi yang paling maksimal dan paling ekonomis dari suatu kegiatan yang masih mungkin untuk direduksi (Ervianto, 2004). Untuk menganalisis lebih lanjut hubungan antara biaya dengan waktu suatu kegiatan, dipakai beberapa istilah yaitu: Kurun waktu normal/ Normal Duration (ND), kurun waktu dipersingkat/Crash Duration (CD), Biaya normal/Normal Cost (NC), dan Biaya untuk waktu dipersingkat/Crash Cost (CC).
B Titik Dipersingkat
Biaya Normal
A Titik Normal
Waktu Dipersingkat
Waktu Normal
Kurun Waktu
Gambar 3. Grafik hubungan waktu-biaya normal dan dipersingkat untuk satu kegiatan (Sumber: Soeharto, 1997) Titik A pada Gambar 3 menunjukkan titik normal, sedangkan titik B adalah titik dipersingkat. Garis yang menghubungkan titik A dengan B disebut kurva waktu-biaya. Pada umumnya garis ini dapat dianggap sebagai garis lurus, bila tidak (misalnya, cekung) maka diadakan perhitungan persegmen yang terdiri atas beberapa garis lurus. Seandainya diketahui bentuk kurva waktu-biaya suatu kegiatan, artinya dengan mengetahui berapa slope atau sudut kemiringannya, maka bisa dihitung berapa besar biaya untuk mempersingkat waktu satu hari. Penambahan biaya langsung (direct cost) untuk mempercepat suatu aktivitas persatuan waktu disebut cost slope. Dari uraian di atas dapat ditulis sebagai berikut: 118
Produktifitas harian sesudah crash = (8 jam x prod. tiap jam) + (a x b x prod. tiap jam) …………..……………… (5) Dimana : a = jumlah jam kerja lembur B = koefisien penurunan produktivitas kerja lembur Crash duration = Volume ………......(6) Pr od . harian sesudah crash Normal cost pekerja perjam = harga per satuan pek. x prod. tiap jam………….(7) Normal cost pekerja perhari = 8 jam x normal cost tiap jam ………..….….….(8) Normal cost = normal duration x normal cost pekerja perhari ……….............. (9) Crash cost pekerja = normal cost pekerja perhari + biaya lembur perhari ……...(10)
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
Crash cost = crash duration x crash cost pekerja perhari …………………... (11) Cost Slope = Crash Cost − Normal Cost …..…(12) Normal Duration − Crash Duration
Hubungan Biaya Terhadap Waktu Biaya total proyek adalah penjumlahan dari biaya langsung dan biaya tak langsung yang digunakan selama pelaksanaan proyek. Besarnya biaya ini sangat tergantung oleh lamanya waktu (durasi) penyelesaian proyek, kedua-duanya beruBia ya
bah sesuai dengan waktu dan kemajuan proyek. Meskipun tidak dapat diperhitungkan dengan rumus tertentu, tapi pada umumnya makin lama proyek berjalan makin tinggi komulatif biaya tak langsung yang diperlukan (Soeharto, 1997). Pada Gambar 4 ditunjukkan hubungan biaya langsung, biaya tak langsung dan biaya total dalam suatu grafik dan terlihat bahwa biaya optimum didapat dengan mencari total biaya proyek yang terkecil.
Titik Terenda h Total Biaya Proyek
Biaya Tak Lang sung Biaya Proyek Optimum Biaya Langsuntg
Kurun Waktu
Gambar 4. Grafik hubungan waktu dengan biaya total, biaya langsung, dan biaya tak langsung (Sumber : Soeharto, 1997)
Pertukaran Biaya Dan Waktu (Time Cost Trade Off) Penyelesaian aktivitas di dalam suatu proyek memerlukan penggunaan sejumlah sumber daya minimum dan waktu penyelesaian yang optimum, sehingga aktivitas akan dapat diselesaikan dengan biaya normal dan durasi normal. Jika suatu saat diperlukan penyelesaian yang lebih cepat, penambahan sumber daya memungkinkan pengurangan durasi proyek dari suatu normalnya, tetapi biaya yang dikeluarkan akan lebih besar lagi. Dalam mempercepat penyelesaian suatu proyek dengan melakukan kompresi durasi aktivitas, harus tetap diupayakan agar penambahan dari segi biaya seminimal mungkin. Pengendalian biaya yang dilakukan adalah biaya langsung, karena biaya inilah yang akan bertambah apabila dilakukan pengurangan durasi. Kompresi ini dilakukan pada aktivitas-aktivitas yang
berada pada lintas kritis dan mempunyai cost slope terendah. Menyusun kembali jaringan kerja. Mengulangi langkah kedua, dimana langkah kedua akan berhenti bila terjadi penambahan lintasan kritis dan bila terdapat lebih dari satu lintasan kritis, maka langkah kedua dilakukan secara serentak pada semua lintasan kritis dan perhitungan cost slope dijumlahkan. Lalu langkah dihentikan bila terdapat salah satu lintasan kritis dimana aktivitas-aktivitasnya telah jenuh seluruhnya (tidak mungkin dikompres lagi) sehingga pengendalian biaya telah optimum. Kemudian dirinci juga prosedur mempersingkat waktu dengan uraian sebagai berikut: - Menghitung waktu penyelesaian proyek. - Menentukan biaya normal masing-masing kegiatan. - Menentukan biaya dipercepat masingmasing kegiatan. 119
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
- Menghitung cost slope masing-masing komponen kegiatan. - Mempersingkat kurun waktu kegiatan, dimulai dari kegiatan kritis yang mempunyai cost slope terendah. - Bila dalam proses mempercepat waktu proyek terbentuk jalur kritis baru, maka mempercepet kegiatan-kegiatan kritis yang mempunyai kombinasi slope biaya terendah. - Meneruskan mempersingkat waktu kegiatan sampai titik proyek dipersingkat (TPD) - Buat tabulasi biaya versus waktu, gambarkan dalam grafik dan hubungan titik normal (biaya dan waktu normal), titik yang terbentuk tiap kali mepersingkat kegiatan, sampai dengan titik TPD. - Hitung biaya tidak langsung proyek dan gambarkan pada grafik di atas. - Jumlahkan biaya langsung dan biaya tak langsung untuk mencari biaya total sebelum kurun waktu yang diinginkan. - Periksa pada grafik biaya total untuk mencapai waktu optimum yaitu kurun waktu penyelesaian proyek dengan biaya terendah (Soeharto, 1997).
METODOLOGI Penyusunan Jaringan Kerja Dengan Microsof Project Pada penelitian ini dipergunakan data sekunder, yaitu: RAB (Rencana Anggaran Biaya), Daftar Analisis Harga Satuan, dan Time Schedule (Rencana Waktu Pelaksanaan)/Bar Chart (Diagram Balok). Penyusunan jaringan kerja yang relatif banyak dan kompleks dari data tersebut menggunakan software Microsoft Project, dan jaringan kerja yang dibentuk adalah diagram preseden. Dalam Proyek Pembangunan Super Villa terdiri dari 45 kegiatan utama, masing-masing bagian tersusun atas item-item pekerjaan yang lebih spesifik dari kegiatan utama tersebut. Durasi normal dapat ditentukan dari banyaknya tenaga kerja yang ada di lapangan dan produktivitas kerja yang dapat dihasilkan satuan hari. Tenaga kerja 120
yang diperlukan dalam pelaksanaan proyek konstruksi sangat tergantung pada banyak faktor seperti jenis dan volume konstruksi, tingkat keahlian, peralatan yang digunakan dan kondisi di lapangan. Dalam penyusunan jaringan kerja dengan menggunakan Metode Preseden Diagram terdapat empat hubungan ketergantungan antara kegiatan satu dengan lainnya yang disebut sebagai konstrain. Satu konstrain hanya menghubungkan dua node, karena setiap node memiliki dua ujung yaitu ujung awal dan ujung akhir. Keempat konstrain itu adalah konstrain dari awal ke awal (SS), awal ke akhir (SF), akhir ke akhir (FF), dan akhir ke awal (FS).
Penyusunan Diagram Preseden Setelah diketahui hubungan ketergantungan antar kegiatan dan durasi tiap kegiatan maka dapat disusun gambar Diagram Preseden dengan menggunakan bantuan program computer Microsoft Project untuk melakukan perhitungan maju dan mundur. Program ini dapat membantu mempercepat dalam proses pembuatan jaringan kerja walaupun jumlah item pekerjaan yang relatif banyak. Setelah durasi dan ketergantungan untuk masing-masing kegiatan dimasukkan, maka akan diperoleh jaringan kerja berupa diagram preseden yang lengkap berisikan waktu mulai paling cepat (ES), waktu selesai paling awal (EF), waktu mulai paling lambat (LS), dan waktu selesai paling lambat (LF) dari satu kegiatan, untuk mengidentifikasi kegiatan kritis, jalur kritis, float, dan waktu penyelesaian proyek. Indentifikasi Float dan Jalur Kritis Setelah Diagram Preseden tersusun, selanjutnya dilakukan perhitungan ES, EF, LS, dan LF. Dari perhitungan tersebut dapat ditentukan kegiatan dan jalur kritis, float, serta tanggal penyelesaian proyek. Sesuai rumus yaitu bila ES-LS = 0 atau selisih ES dengan LS sama dengan nol dan bila EF-LF = 0 atau selisih EF dengan LF sama dengan nol maka kegiatan tersebut adalah kegiatan kritis dengan total flo-
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
at nol. Dengan melihat diagram preseden dan total float dari masing-masing kegiatan dapat diketahui jalur kritis dan kegiatan-kegiatan kritisnya seperti pada Tabel 1.
281
Anty terminate to foundation
282 283
Compacted sand to foundation 5 cm thick Loose stone foundation/aanstamping 15 cm thick
284
Stone masonry foundation 1:5
Tabel 1. Kegiatan Kritis
285
Back fill to besides of foundation
No. Kegiatan
286
Remove surplus soil to out site
287
Uraian Pekerjaan
243
Excavation
244
Remove surplus soil to out site
288
Back fill to make up level Compacted sand to slab on grade 5 cm thick 5cm
245
289
Anty terminate to slab
292
Slab on grade 5 cm thick
246
Compacted sand to foundation 5 cm thick Compacted sand to slab on grade 5 cm thick 5cm
294
Timber rafter 5/7 under deck
247
Anty terminate to pool slab
295
Iron wood 2/9 T & G flooring
248
Hollow concrete block 1:5
296
Politur anty slip wooden deck
250
Sloop 20/30
251
Slab on grade w/. BRC M 04
252
Concrete floor 15 cm thick
253
Concrete wall 15 cm thick
254
Hollow concrete block 1:5 to step
255
Plaster 1:2
256
Waterproofing plat ex. Fosroc
258
Green stone 10x10x5 for floor finishing
259
Green stone 10x10x5 for wall finishing
260
Andesit stone 30x30x2 to border
280
Excavation to recieve foundation
Sumber : Time Schedule Proyek Pemba-ngunan Super Villa
Biaya Langsung Biaya langsung (Direct Cost) adalah biaya yang langsung berhubungan dengan pekerjaan konstruksi di lapangan. Biaya langsung dapat diperoleh dengan mengalikan volume suatu pekerjaan dengan harga satuan (unit price) pekerjaan tersebut. Adapun rincian biaya langsung dapat dilihat dalam Tabel 2.
Tabel 2. Biaya Langsung No Uraian Pekerjaan 1 Preparation 2 Building 3 Swimming Pool, Jaquzzy & Pump Room 4 Wooden Deck 5 Fence Wall 6 Pond 7 Total Car Port & Water Feature 8 MEP Total Biaya Sumber : RAB Proyek Pembangunan Super Villa
Biaya Tak Langsung Biaya tak langsung (Indirect Cost) adalah biaya yang tidak secara langsung berhubungan dengan konstruksi, tetapi harus ada dan tidak dapat dilepaskan dari proyek tersebut. Rincian dapat dilihat dalam Tabel 3.
Adapun staf yang langsung terlibat dalam kerja lembur di lokasi proyek adalah pelaksana (satu orang) dan logistic (satu orang), untuk selanjutnya dilaporkan ke Site Manager. Perhitungan biaya untuk staf di lapangan adalah: Total gaji per hari untuk pelaksana dan logistik 121
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
= Rp35.000,00 + Rp30.000,00 = Rp65.000,00 Rp65.000,00 Total gaji per jam = 8 jam
= Rp8.125,00/jam
Tabel 3. Biaya Tak Langsung No Jenis Biaya Jumlah (Rp) Jumlah Gaji per hari (Rp) I Biaya Overhead 1. Gaji Staf Proyek a. Site Manager Proyek 1 50.000,00 b. Pelaksana Sipil 1 35.000,00 c. Logistik 1 30.000,00 d. Administrasi 1 30.000,00 Total per hari 145.000,00 2. Preeleminaties 19.500.000,00 Fasilitas per hari 68.661,97 II Profit 5% 134.552.563,72 Sumber : PT. Tapak Disain
Total gaji lembur per hari (menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP. 102/MEN/VI/2004 pasal 11)......(persm.1) • Lembur 1 jam = (Rp8.125,00 x 1,5) = Rp12.187,50 • Lembur 2 jam = (Rp8.125,00 x 1,5) + (1 x (Rp8.125,00 x 2)) = Rp28.437,50 • Lembur 3 jam = (Rp8.125,00 x 1,5) + (2 x (Rp8.125,00 x 2)) = Rp. 44.687,50 • Lembur 4 jam = (Rp8.125,00 x 1,5) + (3 x (Rp8.125,00 x 2)) = Rp60.937,50
Perhitungan Crash Duration Pada penelitian ini usaha yang digunakan untuk mempercepat penyelesaian proyek tersebut adalah dengan menggunakan penambahan jam kerja/lembur. Adapun rencana kerja yang akan dilakukan dalam mempercepat durasi sebuah pekerjaan dengan metode lembur adalah sebagai berikut: - Aktivitas normal memakai 8 jam kerja dan 1 jam istirahat (08.00-17.00 wita) sedangkan kerja lembur dilaku-
122
kan setelah waktu kerja normal (dari 18.00 wita) - Harga upah untuk kerja lembur diperhitungkan 1,5 kali upah sejam pada kerja normal, dan untuk jam berikutnya 2 kali upah sejam normal. - Produktivitas untuk kerja lembur diperhitungkan mengalami penurunan dari produktivitas normal. Penurunan ini disebabkan oleh kelelahan pekerja, keterbatasan pandangan waktu malam hari, serta keadaan cuaca yang lebih dingin. Produktivitas kerja lembur diperhitungan berdasarkan grafik indikasi menurunnya produktivitas karena kerja lembur. Produktivitas tenaga kerja akan sangat besar pengaruhnya terhadap total biaya proyek, minimal pada aspek jumlah tenaga kerja dan fasilitas yang diperlukan (Soeharto, 1997). Salah satu pendekatan untuk mencoba mengukur hasil guna tenaga kerja adalah dengan memakai parameter indeks produktivitas. Penurunan produktivitas bila jumlah jam perhari dan hari perminggu bertambah dapat dilihat pada Gambar 2, dan koefisien pengurangan produktifitas akibat kerja lembur dapat dilihat pada Tabel 4.
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
Pada perhitungan crash durasi akan di- cari waktu dipersingkat pada masing-masing kegiatan. Perhitungan ini mengikuti prosedur perhitungan sebagai berikut: - Volume (diketahui), Normal duration (diketahui) - Produktivitas harian tenaga kerja perhari normal adalah volume kegiatan dibagi dengan waktu kegiatan normal (durasi normal) Tabel 4. Koefisien Pengurangan Produktivitas Jam Penurunan Prestasi Lembur Indeks Kerja (jam) Produktivitas (per jam) a B c= b*a 1 0,1 0,1 2 0,1 0,2 3 0,1 0,3 4 0,1 0,4 Sumber : Hasil Perhitungan (2010) Produktivitas harian yang terjadi setelah diadakan crash program pada setiap kegiatan dengan anggapan bekerja dalam satu hari selama 8 jam kerja normal ditambah lembur. Pada kerja lembur semua pekerja mengikuti kerja lembur dan tidak adanya penambahan pekerja baik pada kerja normal maupun kerja lembur. Crash Duration adalah durasi kegiatan setelah diadakan crash program pada kegiatan tersebut. Crash duration merupakan volume kegiatan dibagi produktivitas harian setelah crash program.
Crash Cost Pekerja, Crash Cost Total, dan Cost Slope Crash cost pekerja adalah besarnya biaya/upah pekerja yang diperlukan untuk menyelesaikan kegiatan dengan kurun waktu dipercepat (crash duration), dalam analisis ini percepatan dilakukan dengan metode lembur. Adapun perhitungan crash cost pekerja dapat ditulis sebagai berikut: - Harga satuan upah pekerja (diketahui) - Produktivitas harian (diketahui dari perhitungan sebelumnya) - Produktivitas tiap jam (diketahui dari perhitungan sebelumnya)
Produktivitas tiap jam tenaga kerja merupakan produktivitas harian tenaga kerja normal dibagi 8 jam (dalam satu hari digunakan 8 jam kerja normal) Produktivitas harian sesudah crash = (8 jam x prod. tiap jam)+(jam lembur x koef.prod. x prod. tiap jam) …………………………..(persm 5)
Crash cost pekerja Normal cost pekerja perjam = prod. tiap jam x harga satuan upah pekerja … ……………..……………...…...(persm. 7) Normal cost pekerja perhari = 8 jam x Normal cost pekerja perjam … (persm. 8) Biaya lembur pekerja per hari = (jam kerja lembur pertama x 1,5 x upah sejam normal) + (jam kerja lembur berikutnya x 2 upah sejam normal) …….......…(persm.1) Crash cost pekerja perhari = (Normal cost pekerja perhari) + (biaya lembur perhari) Crash cost total yang dimaksud adalah crash cost total dari sebuah aktivitas duration pada kegiatan tersebut atau besarnya biaya/ upah pekerja yang diprlukan untuk menyelesaian kegiatan dengan kurun waktu dipercepat (crash duration). Uraian perhitungan crash cost ini dapat ditulis sebagai berikut: Crash cost = crash cost pekerja x crash duration Perhitungan crash cost ini hanya dilakukan pada aktivitas pada jalur kritis saja. Cost slope adalah pertambahan biaya langsung (direct cost) untuk mempercepat suatu aktivitas persatuan waktu. Atau dapat dirumuskan sebagai berikut: -
123
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Time Cost Trade Off Dalam mempercepat penyelesaian suatu proyek dengan melakukan kompresi durasi, diupayakan agar penambahan dari segi biaya seminimal mungkin. Pengendalian biaya dilakukan adalah biaya langsung, karena biaya inilah yang akan bertambah apabila dilakukan pengurangan durasi. Dalam proses mempercepat waktu penyelesaian proyek dengan melakukan penekanan (kompresi) waktu aktivitas, diusahakan agar pertambahan biaya yang ditimbulkan seminimum mungkin. Penekanan (kompresi) durasi proyek dilakukan untuk semua aktivitas yang berada pada lintasan kritis dan dimulai dari aktivitas yang mempunyai cost slope terendah. Dari tahap-tahap kompresi tersebut akan dicari waktu dan biaya yang optimal. Berikut adalah proses perhitungan dalam tahap kompresi untuk penambahan 2 jam kerja adalah sebagai berikut: Tahap Normal Lintasan kritis = 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250, 251, 252, 253, 254, 256, 258, 259, 260, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 292, 294, 295, 296 Durasi normal = 284 hari Biaya overhead = Rp213.661,97; Profit 5% = Rp134.552.563,72; Biaya tidak langsung = 284 hari x Rp213.661,97 + Rp134.552.563,72 = Rp195.232.563,20;
Biaya langsung = Rp2.691.051.274,39 ; Total cost = biaya tidak langsung + biaya langsung = Rp195.232.563,72 + Rp2.691.051.274,39 = Rp2.886.283.838,11, dibulatkan menjadi Rp2.886.283.000,00
Tahap Kompresi 1 No. item pekerjaan = 254 (Hollow concrete block 1:5 to step); Normal duration = 4 hari; Cost slope = Rp 8.312,81; Crash duration = 3 hari; Total crash = 1 hari; Komulatif total crash = 1 hari; Total durasi proyek = 284 – 1 = 283 hari; Tambahan biaya = Rp8.312,81 x 1 hari; Komulatif tambahan biaya = Rp8.312,8; Biaya langsung = biaya langsung normal + komulatif tambahan biaya = Rp2.691.051. 274,39 + Rp8.312,81 = Rp2.691.059. 587,20; Tambahan biaya lembur = Rp28.437,50 x 3 = Rp85.312,50 Komulatif biaya lembur = Rp85.312,50 Biaya tak langsung = (283 hari x Rp213. 661,97) + Rp85.312,50 + Rp134.552. 563,72 = Rp195.104.214,25 Total cost = Rp2.691.059.587,20 + Rp195.104.214,25 = Rp2.886.163.801,45. Demikian seterusnya sampai tahap optimum pada kompresi ke-11. Pengkompresian menyebabkan pengurangan biaya total proyek, hal ini disebabkan karena slope pengurangan biaya tak langsung lebih besar daripada slope penambahan biaya langsung. Biaya total optimum didapat apabila hasil penjumlahan biaya langsung dan tak langsungnya mencapai nilai terendah. Biaya dan waktu optimum dari masing-masing waktu lembur dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rekapitulasi biaya dan waktu optimum untuk masing-masing waktu lembur Jam Durasi setelah Perubahan Prosentase Biaya setelah Perubahan Prosentase Jumlah pekerjaan lembur kompresi durasi perubahan kompresi biaya perubahan yang dilemburkan optimum (hari) durasi optimum (Rp) biaya (jam) (pekerjaan) (hari) (%) (Rp) (%) normal 284 2.886.283.000,00 1 276 8 2,82 0,0272 8 2.885.498.895,84 784.104,16 2 270 14 4,93 11 2.885.582.622,65 700.377,35 0,0243 3 274 10 3,52 9 2.885.507.587,64 774.421,36 0,0269 4
272
12
Sumber: Hasil Analisis (2010) 124
4,23
2.885.976.041,34 306.958,66
0,0106
10
Analisis Percepatan Pelaksanaan Dengan Menambah Jam Kerja .............................. Frederika
Tabel 5 menunjukkan, pada lembur satu jam, dua jam, tiga jam, empat jam terjadi pengurangan biaya total proyek yaitu masing-masing sebesar 0,0272%; 0.0243%; 0,0269%; 0,0106% disebabkan karena slope pengurangan biaya tak langsung lebih besar daripada slope penambahan biaya langsung dimana cost slope dari masing-masing kegiatan pada penambahan jam kerja tersebut masih rendah. Pengurangan biaya total proyek paling besar pada penambahan satu jam kerja yaitu sebesar 0,0272%, sedangkan untuk pengurangan durasi proyek yang paling besar pada penambahan dua jam kerja yaitu sebesar 4,93%. Selanjutnya, grafik hubungan waktu lembur terhadap biaya dan waktu optimum dapat dilihat pada Gambar 5.
Di antara ke empat penambahan jam kerja yang dapat dilihat pada Tabel 5 dan Gambar 5, biaya yang paling optimum didapat pada penambahan satu jam kerja dengan pengurangan biaya sebesar Rp784.104,16 dari biaya total normal sebesar Rp2.886.283.000,00 menjadi sebesar Rp2.885.498.895,84 dengan pengurangan waktu selama 8 hari dari waktu normal 284 hari menjadi 276 hari, sedangkan waktu yang paling optimum didapat pada penambahan dua jam kerja dengan pengurangan waktu selama 14 hari dari waktu pelaksanaan normal proyek selama 284 hari menjadi 270 hari, dengan pengurangan biaya sebesar Rp700.377,35 dari biaya normal Rp2.886.283.000,00 menjadi Rp2.885.582.622,65.
Gambar 5. Grafik hubungan waktu lembur terhadap biaya dan waktu optimum Simpulan Berdasarkan hasil analisis penambahan jam kerja yang dilakukan pada Proyek Pembangunan Super Villa dengan Time Cost Trade Off Analysis dapat disimpulkan sebagai berikut: - Biaya optimum didapat pada penambahan satu jam kerja, dengan pengurangan biaya sebesar Rp784.104,16 dari biaya total normal yang jumlahnya sebesar Rp2.886.283.000,00 menjadi sebesar Rp2.885.498.895,84, dengan
pengurangan waktu selama 8 hari dari waktu normal 284 hari menjadi 276 hari. - Waktu optimum didapat pada penambahan dua jam kerja, dengan pengurangan waktu selama 14 hari dari waktu normal 284 hari menjadi 270 hari, dengan pengurangan biaya sebesar Rp700.377,35 dari biaya normal Rp2.886.283.000,00 yang menjadi sebesar Rp2.885.582.622,65.
125
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 14, No. 2, Juli 2010
Saran Berdasarkan hasil analisis pembahasan maka dapat disarankan bagi pihak kontraktor, apabila keterlambatan pelaksanaan proyek yang dialami dengan mengejar sasaran jadwal yang telah ditentukan atas perjanjian kontrak tertentu, sebaiknya percepatan dilakukan dengan penambahan dua jam kerja. Sedangkan apabila keterlambatan pelaksanaan proyek yang dialami dengan tidak mengejar sasaran jadwal tertentu, disarankan percepatan yang dilakukan dengan penambahan satu jam kerja. DAFTAR PUSTAKA Dipohusodo, I. 1996. Manajemen Proyek Konstruksi Jilid 1, Kanesius, Jakarta.
126
Dipohusodo, I. 1996. Manajemen Proyek Konstruksi Jilid 2, Kanesius, Jakarta. Ervianto, Wulfram, I.2004. Teori Aplikasi Manajemen Proyek Konstruksi, Andi, Yogyakarta. Harsani, D.A.H. Time Cost Trade Off Analysis. Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Udayana, Denpasar. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia. Nomor Kep.102/MEN/VI/2004. Waktu Kerja Lembur Dan Upah Kerja Lembur. Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek dari Konseptual Sampai Operasional, Erlangga, Jakarta.
Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2006) Auditorium Universitas Gunadarma, Depok, 23-24 Agustus 2006
ISSN: 1411-6286
PEMBUATAN APLIKASI MANAJEMEN PROYEK DALAM MENGELOLA PROYEK DI PT. X 1,2,3
Silvia Rostianingsih1, Arlinah Imam Raharjo2, & Basuki Setiawan3 Jurusan Teknik Informatika, Universitas Kristen Petra, Siwalankerto 121-131, Surabaya 1,2
{silvia, arlinah}@peter.petra.ac.id
ABSTRAK Untuk pengembangan usaha dan pengaturan manajemen proyek, PT. X membutuhkan suatu sistem yang dapat memperbaiki sistem dalam melakukan planning, monitoring, controlling dan scheduling terhadap suatu proyek. Pada penelitian ini dirancang serta dibuat sistem informasi manajemen proyek pada PT. X dengan menggunakan empat komponen utama, yaitu planning (menggunakan metode Work Breakdown System), controlling, monitoring, dan scheduling. Sistem manajemen proyek dilengkapi dengan laporan gantt chart yang menampilkan informasi dari suatu proyek. Planning dilakukan dengan membagi proyek menjadi beberapa tahap dan sub tahap. Monitoring dan controlling dilakukan dengan penyampaian beberapa laporan tertulis dan laporan dalam bentuk gantt chart. Scheduling dilakukan dengan memberikan batasan tanggal pada tiap tahap dan sub tahap dalam setiap proyek. Aplikasi ini akan memudahkan pengaturan manajemen proyek dalam PT.X, sehingga proyek dapat lebih teratur dan dapat diselesaikan tepat waktu.
Kata Kunci: planning, monitoring, controlling, scheduling
1. PENDAHULUAN PT. X merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang pembuatan dan konsultan manajemen proyek. Breakdown aktifitas dari suatu proyek mengalami kesulitan, karena monitoring dilakukan secara manual. Proses scheduling juga mengalami kesulitan jika terdapat proyek yang banyak, karena terjadi pen-double-an tugas serta banyak terjadi bentrok dalam menjadwalkan deadline suatu proyek. Seorang manajer proyek dalam melakukan pembagian tugas mengalami kesulitan apabila ada proyek besar dan kecil yang dikerjakan secara bersamaan dan diselesaikan dalam waktu yang sama, karena pembagian tugasnya menjadi tidak sama. Oleh karena itu diperlukan suatu aplikasi yang dapat membantu manajer proyek dalam melakukan manajemen terhadap proyeknya. 2. MANAJEMEN PROYEK Proyek adalah sebuah aktifitas yang menghasilkan sesuatu baik dalam bentuk jasa maupun produk (barang). Mayoritas masyarakat 56
yang berkecimpung dalam dunia komputer beranggapan bahwa sebuah proyek merupakan sebuah aplikasi kompleks yang terdiri dari berbagai modul. Sebuah proyek perangkat lunak dapat berubah-ubah sesuai dengan pengembangan sistem dalam melakukan programming. Ada tujuh tahapan proyek [2] yaitu: 2.1. Tahap Definisi Tujuan dari tahap ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang sejelas-jelasnya mengenai permasalahan dari user, sehingga dapat melakukan estimasi biaya dan waktu dengan baik. Ada tiga bagian yang harus dikerjakan dalam tahap ini. Pertama adalah mendapatkan pemahaman yang jelas mengenai permasalahan dari user dan apa saja yang diperlukan untuk memecahkan masalah tersebut. Kedua, harus segera diputuskan apakah akan mengerjakan proyek tersebut atau tidak (harus dianalisa resiko-resiko yang ada berdasarkan dari proyek yang dikerjakan). Ketiga, harus memberikan kepada user estimasi yang termuat dalam proposal.
Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2006) Auditorium Universitas Gunadarma, Depok, 23-24 Agustus 2006 ISSN: 1411-6286
2.2. Tahap Perencanaan Proyek Planning merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Setiap perkembangan yang dilakukan akan ditinjau kembali untuk kemudian mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap kinerja suatu proyek. Dalam melakukan planning, terdapat bermacammacam metode, antara lain metode Work Breakdown Structures (WBS). Dalam metode ini tahap-tahap yang ada dipecah menjadi berbagai sub tahap yang lebih kecil. WBS dimulai dengan melakukan listing terhadap tahap-tahap yang ada dalam suatu proyek. 2.3. Tahap Analisis Aktifitas utama dalam tahap ini adalah untuk menganalisa sistem dan menghasilkan dokumen yang menjelaskan sistem. Dokumen ini akan semakin menambah pemahaman lebih dari tahap definisi, sehingga tim proyek memiliki gambaran sistem secara menyeluruh. 2.4. Tahap Desain Dalam melakukan desain terhadap sistem dilakukan pembagian sistem sesuai dengan fungsi-fungsi komponennya dan menghubungkan komponen-komponen tersebut. 2.5. Tahap Pemrograman Aktifitas yang dilakukan adalah merencakan bagaimana dapat melakukan test pada modul, melakukan coding pada masingmasing modul, menyimpan seluruh test yang dilakukan, dan memulai untuk membuat dokumen user (user’s guide, maintenance guide, operator guide, dokumentasi training). 2.6. Tahap Testing Tujuan dalam testing ini adalah untuk melakukan test pada sistem yang ada. Dalam melakukan test diperlukan System Test Plan (STP) yang merupakan dokumen yang berisi: • Jadwal test, staf, dan sumber daya yang diperlukan • Konfigurasi manajemen, integrasi dan pengetesan terhadap tools yang digunakan. • Pengecekan terhadap setiap langkah dari pengintegrasian • Daftar sumber daya dan dokumen yang diperlukan
Dalam melakukan test terhadap sistem harus diperhatikan integrasi masing-masing modul. 2.7. Tahap Acceptance Tujuan dalam tahap ini adalah untuk memperoleh pernyataan tertulis dari user apakah produk tersebut telah disampaikan sesuai dengan perjanjian. Dalam tahap ini hal yang harus diperhatikan adalah: • Sistem yang dijanjikan telah melalui tahap test • Membuat laporan test dan diberikan kepada user, sehingga user memiliki gambaran jelas terhadap testing dari proyek 2.8. Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini sistem telah siap dijalankan dan akan digunakan oleh user untuk memecahkan masalah user. Aktifitas utama dalam tahap ini adalah jaminan selama beberapa waktu bagi user dalam menyelesaikan masalahnya dengan menggunakan sistem baru. 3. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian yang dilakukan adalah: • Studi literatur diperlukan untuk mempelajari sistem manajemen proyek • Pengumpulan data yang diperlukan dalam membuat software project management, meliputi data karyawan, data proposal, dan data-data yang diperlukan lainnya. • Analisis sistem dengan melihat sistem yang ada, permasalahan, dan kebutuhannya • Desain sistem dilakukan dengan membuat proses bisnis yang sesuai dengan hasil analisis. • Pembuatan aplikasi disesuaikan dengan hasil desain. • Melakukan testing pada aplikasi yang telah dibuat. • Menganalisis apakah hasil tersebut dapat diterima oleh user. • Maintenance aplikasi tersebut.
4. ANALISIS DAN DESAIN SISTEM 57
Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2006) Auditorium Universitas Gunadarma, Depok, 23-24 Agustus 2006
4.1. Analisis Sistem Proses bisnis PT. X adalah sebagai berikut: • Proses penerimaan order dari customer PT. X menerima order dari customer, kemudian perusahaan ini melakukan survei pendahuluan kepada customer tersebut. Survei dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai proyek yang akan dikerjakan. • Proses penawaran proposal Sebelum PT. X melakukan pengerjaan suatu proyek, perusahaan ini menawarkan proyek tersebut dalam bentuk proposal penawaran kepada pihak customer (pelanggan). Proposal ini memuat harga proyek beserta termin-termin pembayarannya. Harga dan termin pembayaran dalam proposal ini tidak bersifat tetap, artinya customer dapat melakukan negosiasi terhadap proposal yang diajukan. • Proses kontrak proposal Proses kontrak proposal dilakukan jika telah terjadi kesepakatan antara PT. X dengan customer. Proposal ini memuat dasar-dasar perjanjian proyek kedua belah pihak, harga proyek, beserta termin pembayarannya. • Proses analisis dan desain sistem Analisis dan desain sistem berguna untuk mengetahui dan memberikan gambaran sistem perusahaan customer secara detail dan menyeluruh, mengidentifikasi permasalahan customer dan melakukan perencanaan terhadap sistem yang baru. • Programming Programming merupakan proses inti dalam pengerjaan suatu proyek. Dalam proses ini memuat permintaan customer akan suatu software, yang akan membantu memecahkan permasalahan user. Programming merupakan proses pembuatan software sesuai dengan permintaan customer. Masing-masing modul yang dibuat ditunjukkan kepada customer untuk disesuaikan dengan permintaan customer dan mendapat persetujuan dari customer berdasarkan kontrak perjanjian. • Testing Testing merupakan proses melakukan pengecekan terhadap modul-modul yang telah dibuat. Dilakukan untuk meminimalisasi error yang terjadi. Testing dilakukan terhadap 58
ISSN: 1411-6286
masing-masing modul setiap modul tersebut selesai dibuat/diselesaikan. • Running Running merupakan proses melakukan implementasi software yang dibuat kepada customer. Implementasi tersebut diterapkan dalam sistem yang dimiliki customer. Melalui proses ini akan diketahui apakah software tersebut bebas dari error atau tidak. • Maintenance Maintenance merupakan proses perbaikan software apabila terjadi error, baik human error maupun software error. Pengaturan proses ini dimuat dalam kontrak perjanjian yang telah disepakati. 4.2. Desain Sistem PT. X membutuhkan beberapa hal yang dapat menunjang proses planning, scheduling, controlling, dan monitoring sehingga dapat berjalan dengan efisien, yaitu: • Komputerisasi untuk proses penyimpanan data karyawan, data customer, data proyek yang ada, sehingga data tersimpan dengan baik. • Komputerisasi untuk proses monitoring dan controlling dalam bentuk laporan Gantt Chart yang memudahkan dalam melihat penjadwalan suatu proyek. • Komputerisasi untuk menetukan termin pembayaran yang disimpan dalam database. • Komputerisasi dalam membuat proposal penawaran dan kontrak yang dihubungkan dengan data customer. • Kebutuhan untuk melihat laporan-laporan secara periodik, sehingga monitoring dan controlling dapat berjalan secara efektif. Secara garis besar, sistem ini dibagi menjadi tiga proses yaitu proses pengolahan proposal proyek, proses pengerjaan proyek, dan proses maintenance proyek. Contoh form aplikasi dapat dilihat pada gambar 1 dan 2. Struktur menu yang ada adalah: • Master: Golongan, Karyawan, Customer, Tahap, Jenis Biaya, Spesifikasi. • Proses: Proposal Penawaran, Proposal Kontrak, Pembayaran, Proyek, Perhitungan Keuntungan Proyek. • Realisasi Proyek: Surat Tugas, Draft tugas per Proyek. Pembuatan Aplikasi Manajemen Proyek (Silvia Rostianingsih)
Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2006) Auditorium Universitas Gunadarma, Depok, 23-24 Agustus 2006 ISSN: 1411-6286
• • •
Laporan Proses: Proposal Penawaran & Kontrak, Proyek, Gantt Chart Proyek, Gantt Chart per Orang, Karyawan Proyek. Laporan Kegiatan per Bulan: Periode Pembayaran Bulanan, Pengerjaan proyek Bulanan. Laporan Kegiatan per Proyek: Biaya per Proyek, Detail Proyek.
5. KESIMPULAN •
•
•
Kesimpulan yang dapat diambil adalah: Metode Work Breakdown System (WBS) merupakan metode yang baik dalam pengaturan planning, karena membagi suatu proyek ke dalam beberapa tahap dan sub tahap. Dengan adanya pembagian proyek ke dalam beberapa tahap dan sub tahap, membuat pembagian tugas menjadi jelas. Scheduling dilakukan dengan menggunakan pembatasan tanggal pada masing-masing tahap dan sub tahap, sehingga akan mempermudah perusahaan dalam melakukan penjadwalan. Monitoring dan controlling dapat disampaikan dalam bentuk laporan, yaitu: laporan proposal penawaran, laporan proposal kontrak, laporan karyawan yang mengerjakan proyek, laporan kegiatan per bulan, laporan rincian biaya per proyek dan laporan pembayaran termin proyek.
Pendukung proses monitoring dan controlling dapat berupa penyampaian laporan dalam bentuk Gantt Chart, yang terbagi dalam tiga bagian yaitu Gantt Chart per karyawan, Gantt Chart proyek keseluruhan dan Gantt Chart detail per proyek. Penggunaan Gantt Chart diharapkan memudahkan proses monitoring dan controlling perusahaan yang selama ini dilakukan secara manual.
6. DAFTAR PUSTAKA [1] W. Boehm, Software Engineering Economics, Englewood Cliffs New Jersey: Prentice Hall, 1981. [2] Rakos, J. John, Software Project Management for Small to Medium Sized Projects, Englewood Cliffs New Jersey: Prentice Hall, 1990. [3] Whitten, L. Jeffrey, System Analysis and Design Methods, 4th ed. The McGraw-Hill Companies Inc, 1998.
59
Proceeding, Seminar Ilmiah Nasional Komputer dan Sistem Intelijen (KOMMIT 2006) Auditorium Universitas Gunadarma, Depok, 23-24 Agustus 2006
MODEL STRATEGI PENAWARAN UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA (Harry Patmadjaja)
MODEL STRATEGI PENAWARAN UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA Harry Patmadjaja Dosen Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Kristen Petra
ABSTRAK Penelitian ini melakukan studi atas berbagai model strategi penawaran yang didasarkan pada expected profit maximum yang pernah muncul dan digunakan di negara maju. Dari antaranya dipilih model-model dari Friedman, Gates dan Ackoff & Sasieni. Model-model didekati dengan berbagai bentuk distribusi diskrit maupun normal, serta distribusi tunggal maupun ganda. Model strategi penawaran selama ini belum banyak dibicarakan dan dibahas oleh pihak-pihak yang terlibat pada proyek konstruksi di Indonesia, padahal akan merupakan kebutuhan kontraktor dalam menghadapi tender terbuka pada era globalisasi di tahun 2000. Model-model tersebut kemudian diterapkan pada sejumlah data tender konstruksi di Indonesia yang berhasil diperoleh dari tahun 1994 sampai 1998. Hasil perhitungan diuji dengan dua data yang memang disisihkan untuk pengujian model tersebut. Dapat disimpulkan bahwa model yang menghasilkan penawaran paling rendah adalah oleh model Friedman, dan khususnya dengan distribusi diskrit yang berganda. Sebaliknya, model Gates atau Ackoff & Sasieni menghasilkan mark up optimum yang lebih tinggi. Kata kunci : probabilitas menang, penawaran, expected profit, mark up.
ABSTRACT This research is a study on certain bidding strategy models, based on the maximum expected profit, as often used in developed countries. The models chosen for this research are: the Friedman model, the Gates model and the Ackoff & Sasieni model. Probability models to win were analyzed using discrete and normal distribution, and also with multi and single distribution. Bidding strategy models are rarely used or even discussed by the Indonesian contractors, though it will be the contractors' need in the coming globalization era in 2000. The chosen models were applied in various constructions tenders data obtained within the period 1994 1998. Two data sets were reserved for comparison purpose. It was concluded that the Friedman model gave the lowest bid, especialy when used with the multi discrete distribution. On the other hand, the Gates model and the Ackoff & Sasieni model could give higher optimum mark up. Keywods : probability to win, bidding, expected profit, mark up.
1. PENDAHULUAN Catatan : Diskusi untuk makalah ini diterima sebelum tanggal 1 Juni 1999. Diskusi yang layak muat akan diterbitkan pada Dimensi Teknik Sipil volume 1 nomor 2 September 1999.
Dalam memasuki pasar bebas tahun 2000, dan dengan dikeluarkannya Keppres No 7/1998 tertanggal 12 Januari 1998 [1], tender infra struktur milik departemen-departemen dan Badan Usaha Milik Negara yang bernilai 50
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
1
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOLUME 1. NOMOR 1 - MARET 1999
milyar rupiah wajib dilaksanakan secara tender terbuka. Tujuan penelitian adalah mencari dan mempelajari model strategi penawaran yang paling sesuai bagi kontraktor-kontraktor Indonesia, agar dapat ikut bersaing dalam tender yang global.
Dengan mencoba-coba besaran mark up maka akan didapatkan nilai maximum dari expected profit, dimana besarnya mark up yang menghasilkan expected profit yang maximum disebut mark up optimum, yang nantinya akan dipakai dalam penawaran suatu tender. Prosedur diatas adalah yang dikenal sebagai model strategi penawaran. Untuk jelasnya ikuti gambar 2.1 berikut ini:
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penawaran Penawaran adalah suatu usulan oleh satu pihak untuk mengerjakan sesuatu bagi kepentingan pihak yang lain menurut persyaratan yang telah ditentukan dan disepakati bersama [2]. Penawaran dalam makalah ini adalah untuk tender sistim terbuka yang digunakan sebagai studi tentang model strategi penawaran untuk proyek konstruksi di Indonesia. 2.2 Mark Up Mark up adalah harga penawaran dibagi dengan biaya estimasi dalam besaran persen (Mark Up = Bid Price/Estimated Cost). Umumnya kontraktor ingin menentukan suatu mark up yang sebesarbesarnya, namun dengan harapan tetap ingin sebagai penawar yang terendah. Dalam menentukan besarnya mark up, kontraktor membutuhkan hasil kumpulan datadata penawaran yang lalu (historical data) dari pesaing-pesaing sebagai petunjuk dalam penawaran. 2.3 Expected Profit Semakin besar harga penawaran maka semakin kecil kemungkinan untuk menjadi penawar yang terendah (the lowest bid), sehingga potential profit harus dijadikan optimum yang dikenal dengan expected profit agar menjadi penawar terendah [3]. Dibawah ini adalah perumusan dari Expected Profit: E(P) = p ( b – c). Dimana : E(P)= Expected profit. p = Probabilitas menang. b = Penawaran (Bid). c = Biaya estimasi (cost).
Gambar 2.1. Hubungan Expected Profit vs Mark Up 2.4 Biaya Konstruksi Dalam menentukan biaya estimasi sebaiknya mendekati biaya aktual. Agar biaya estimasi dapat diperkirakan mendekati biaya aktual, maka dibutuhkan suatu data dari pengalamanpengalaman penawaran yang lalu dan membutuhkan waktu tiga sampai lima tahun pengamatan [3]. 2.5 Model-Model Strategi Penawaran 2.5.1 Model Friedman Model Friedman [4] menggunakan dua buah perumusan probabilitas untuk menang sebagai berikut: a. Probabilitas menang untuk identitas dari pesaing dikenal: P(Co Win /Bo) =
P(Bo
Dimana : P(Co Win/Bo) = Probabilitas menang terhadap semua pesaing dikenal P(B0< Bi) = Probabilitas menang terhadap pesaing i. b. Probabilitas menang untuk identitas dari pesaing tak dikenal. P(Co Win /Bo) = P (Bo < Ba)
2
n
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
(2.2)
MODEL STRATEGI PENAWARAN UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA (Harry Patmadjaja)
Dimana : P(Co Win/Bo) = Probabilitas menang terhadap semua pesaing tak dikenal. Ba = Harga penawaran rata-rata. n = Jumlah pesaing. dilanjutkan dengan menghitung nilai expected profit dengan perumusan sebagai berikut: E(P) = (Bo – Us.C) x P (Co Win/Bo) Dimana : E(P) = Expected profit Us = Ratio biaya aktual terhadap estimasi. B0 = Harga Penawaran Kontraktor. C = Biaya estimasi proyek.
(2.3)
3.2 Pengolahan Data biaya
2.5.2 Model Gates Gates [4] mengusulkan juga dua model penawaran yang mirip dengan model Friedman, yaitu a. Probabilitas menang untuk identitas dari pesaing dikenal: 1 P(CoWin/Bo) = (2.4) n 1 − P(Bo < Bi) 1+ ∑ i=0 P(Bo < Bi) b. Probabilitas menang untuk identitas dari pesaing tak dikenal: P(CoWin/Bo ) =
1 1 − P(Bo < Ba) 1+n P(Bo < Ba)
(2.5)
dilanjutkan menghitung nilai expected profit dengan perumusan sebagai berikut: E(P) = [ (B0 – C) P(C0 wins/B0) ]
(2.6)
Gates menganggap biaya estimasi sama dengan biaya aktual. 2.5.3 Model Ackoff & Sasieni Ackoff dan Sasieni [4] menganggap bahwa biaya aktual proyek adalah sesuai dengan biaya estimasi proyek sesuai dengan Gates. Probabilitas menang hanya terhadap pesaing terendah saja : P(CoWin/Bo) = P(Bo
di Surabaya. Data-data penawaran yang dikumpulkan adalah untuk empat tahun dari tahun 1994 sampai 1998. Dari kumpulan datadata penawaran yang terkumpul diantaranya dipilih tigapuluh satu data penawaran dengan pekerjaan yang sejenis, yaitu bangunan sekolah, perguruan tinggi dan gedung-gedung perkantoran milik pemerintah daerah yang ada di Surabaya dan Jawa Timur, dengan besar nilai proyek berkisar antara 250 juta sampai 5 miliar rupiah.
(2.7)
Dan dilanjutkan menghitung expected profit dengan perumusan yang sama dengan pers. 2.6.
3. METODOLOGI 3.1 Pengambilan Data Penawaran Konstruksi Pengambilan data-data penawaran dilakukan terhadap perusahaan konstruksi yang berdomisili
Data-data penawaran diubah menjadi rasio penawaran terhadap estimasi biaya dan dilanjutkan dengan perhitungan mean, standar deviasi dan varian berikut ini: Tabel 3.1. Mean, Standar Deviasi, Varian Dengan Multi Distribusi Normal HASIL Pesaing Pesaing Pesaing Pesaing Pesaing Pesaing STATISTIK A B C D E F Mean 94 - 98 1,090 1,091 1,092 1,110 1,134 1,176 Standar dev. 94 - 98 0,045 0,045 0,044 0,051 0,086 0,514 Varian 94 - 98 0,0021 0,0020 0,0020 0,0026 0,0074 0,2641
Tabel 3.2. Mean, Standar Deviasi, Varian Dengan Single Distribusi Normal
HASIL STATISTIK Mean (Bid/Cost) Standar Deviasi (Bid/Cost). Varian (Bid/Cost). Mean (Low bid/Cost). Standar Deviasi Low bid/Cost). Varian (Low bid/Cost).
Dilanjutkan dengan perhitungan probabilitas menang dengan menggunakan tiga distribusi yaitu distribusi diskrit berganda, distribusi normal berganda dan distribusi normal tunggal, dimana hasilnya dapat dilihat pada tabel 3.3, 3.4, dan 3.5 berikut. Tabel 3.3. Probabilitas Menang Untuk Distribusi Diskrit Berganda '94-'98
Tabel 3.5. Probabilitas Menang Untuk Distribusi Normal Tunggal '94-'98
1994 - 1998
R 1.00 1.03 1.05 1.10 1.15 1.20 1.25 1.30 1.35 P.Win 0.979 0.949 0.913 0.754 0.504 0.253 0.090 0.022 0.004 P. Win = Probabilitas Untuk Menang.
Hasil ketiga untuk ketiga ini.
perhitungan probabilitas menang dari distribusi diatas selanjutnya digunakan menghitung probabilitas menang dari model penawaran pada sub bab 3.3 berikut
Tabel 3.6. Probabilitas Menang dengan Distribusi Diskrit Berganda untuk ModelModel Friedman, Gates dan Ackoff & Sasieni
Hasil perhitungan probabilitas menang untuk ketiga model dengan menggunakan pendekatan ketiga distribusi tersebut selanjutnya dilanjutkan dengan perhitungan expected profit dan mark up yang hasilnya disajikan dalam bentuk gambar berikut ini.
Tabel 3.7. Probabilitas Menang dengan Distribusi Normal Berganda untuk ModelModel Friedman, Gates dan Ackoff & Sasieni
3
5
10
15
20
25
% Mark UP
Gambar 3.1. Expected Profil vs Mark Up Tahun ’94 − ‘98 3.4 Perhitungan Nilai Maksimum Expected Profit Nilai-nilai mark up optimum dari model-model Friedman, Gates dan Ackoff & Sasieni dapat dicari dari gambar 3.1 yaitu dengan melihat nilai maksimum dari expected profit. Hasil perhitungan dapat diikuti pada tabel 3.9.
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
MODEL STRATEGI PENAWARAN UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA (Harry Patmadjaja)
Tabel 3.9. Hasil Mark Up Optimum Dari Expected Profit Maximum Jenis Distribusi
Distribusi Diskrit Berganda Distribusi Normal Berganda Distribusi Normal Tunggal
Mark Up Optimum (%) 1994 - 1998 3 3 5 5 5 10 5 15 10
3.5 Pengujian Model dengan Data Pilihan Secara hipotesis mark up optimum yang didapat dari tabel 3.9 diatas ingin diujikan terhadap harga penawaran yang menang dari kontrak No 30 dan 31 yang terdapat pada lampiran 1, dengan melihat apakah akan lebih rendah (yang berarti menang) atau lebih tinggi (yang berarti kalah). Penawaran hipotesis didapat dengan mengalikan estimasi biaya dari kontrak No 30 dan 31 dengan mark up optimum dari tabel 3.9, kemudian dibandingkan dengan penawaran terendah dari kontraktor pemenang. Hasil perhitungan dan pengujian dari ketiga model dapat diikuti pada tabel 3.10 berikut ini: Tabel 3.10. Hasil Pengujian Mark Up Optimum Terhadap Penawaran Terendah Dari Data Pilihan No. Kontrak 30 31 Estimasi Biaya (x Rp 1000) 2.238.093,892.134,Penawaran Terendah (x Rp 1000) 2.432.710,980.367,1. Model Friedman 2.305.236,-(M) 918.898,-(M) Distribusi Diskrit Berganda (3%) Distribusi Normal Berganda (5%) 2.349.998,-(M) 936.741,-(M) Distribusi Normal Tunggal (5%) 2.349.998,-(M) 936.741,-(M) 2. Model Gates Distribusi Diskrit Berganda (3%) 2.305.236,-(M) 918.898,-(M) Distribusi Normal Berganda (5%) 2.349.998,-(M) 936.741,-(M) Distribusi Normal Tunggal (15%) 2.573.807,-(K) 1.025.954,-(K) 3. Model Ackoff & Sasieni 2.349.998,-(M) 936.741,-(M) Distribusi Diskrit Berganda (5%) Distribusi Normal Berganda (10%) 2.461.902,- (K) 981.347,-(K) Distribusi Normal Tunggal (10%) 2.461.902,- (K) 981.347,-(K) M = Menang Terhadap Penawaran Terendah Penawaran Terendah. K = Kalah Terhadap Penawaran Terendah Penawaran Terendah.
4. ANALISA HASIL PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisa Hasil Perhitungan Dengan mengamati tabel 3.9 hasil perhitungan mark up optimum dari ketiga model, dihasilkan sebagai berikut:
•
•
Model Friedman dan Gates menghasilkan mark up optimum terendah sebesar 3% bila menggunakan pendekatan dengan distribusi diskrit berganda, dan sebesar 5% dengan distribusi normal berganda. Sementara itu model Ackoff & Sasieni menghasilkan mark up optimum sebesar 5% dengan distribusi diskrit berganda dan sebesar 10% dengan distribusi normal berganda. Untuk distribusi normal tunggal, model Friedman menghasilkan mark up optimum terendah sebesar 5%, model Ackoff & Sasieni menghasilkan sebesar 10%, dan model Gates menghasilkan mark up optimum yang terbesar yaitu 15%.
Dari pengujian mark up optimum dari ketiga model pada tabel 3.10 terlihat bahwa: • Model Friedman dengan ketiga distribusi dapat mengalahkan penawaran terendah. • Model Gates dengan distribusi diskrit dan normal berganda dapat mengalahkan penawaran terendah, namun tidak demikian bila menggunakan distribusi normal tunggal yang mark up optimum nya 15%. • Model Ackoff & Sasieni dengan distribusi discrete berganda dapat mengalahkan penawaran terendah, namum kalah bila menggunakan distribusi normal berganda maupun tunggal yang mark up optimum nya 10%. 4.2 Pembahasan Dari uraian analisa hasil perhitungan pada sub bab 4.1 didapatkan hasil pembahasan sebagai berikut: • Dengan melihat tabel 3.9 dan gambar 3.1 dan membandingkan ketiga model dan ketiga distribusi dapat dikatakan bahwa model Friedman dan distribusi diskrit menghasilkan mark up optimum terkecil, sedangkan model Gates dan Ackoff & Sasieni dan distribusi normal tunggal menghasilkan mark up optimum terbesar. • Model Friedman dengan distribusi normal berganda dan tunggal menghasilkan mark up optimum yang sama besar yaitu 5%, karena itu bila ingin menggunakan model Friedman untuk data penawaran dari pesaing yang dikenal (known bidders) maka sebaiknya menggunakan distribusi normal tunggal saja, karena lebih mudah dan cepat. • Masing-masing model strategi penawaran mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri bila dilihat dari hasil analisa perhitungan pada sub bab 4.1. Jadi untuk menentukan model mana yang sebaiknya dipakai dalam suatu penawaran, hal ini sangat tergantung dari keadaan pesaing, dalam arti apakah pesaing
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
5
DIMENSI TEKNIK SIPIL VOLUME 1. NOMOR 1 - MARET 1999
mengerti model, pesaing tidak membutuhkan pekerjaan karena sudah mempunyai banyak pekerjaan, atau pesaing lagi sangat membutuhkan pekerjaan.
5. KESIMPULAN 1. Dari analisa hasil perhitungan di sub bab 4.1 dan pembahasan di sub Bab 4.2, terlihat bahwa bila diinginkan hasil mark up optimum yang terendah maka gunakan distribusi diskrit berganda dengan model Friedman. 2. Bila kontraktor sangat membutuhkan pekerjaan demikian pula dengan para pesaing yang juga membutuhkan, dan sama-sama menguasai teori model strategi penawaran, maka sebaiknya digunakan model Friedman dengan distribusi diskrit berganda untuk para pesaing yang dikenal identitasnya, namun apabila para pesaing tidak dikenal identitasnya maka gunakan model Friedman dengan distribusi normal tunggal. 3. Bila para pesaing tidak terlalu membutuhkan pekerjaan atau permintaan pasar lagi 'boom', maka sebaiknya menggunakan model penawaran Gates atau Ackoff & Sasieni yang menghasilkan mark up optimum yang lebih besar. 4. Sebaiknya diusahakan kecermatan dalam menghitung estimasi biaya proyek agar didapat hasil yang mendekati biaya aktual proyek.
DAFTAR PUSTAKA 1. Ramelan, R., "Tender Rp 50 miliar Wajib Terbuka", harian Bisnis Indonesia, Saptu, 17 Januari 1998, p1. 2. Nugraha, P.,Natan, I., dan Sutjipto, R., "Manajemen Proyek Konstruksi", jilid 1, Penerbit Kartika Yudha, Surabaya, 1986, p78. 3. Clough, R.H., and Sears, G.A., "Construction Contracting", Sixth Edition, John Wiley & Sons, Inc., USA, 1994, p 492 - 493. 4. Tarranza, N.C., "An Objective-Compromise Approach Determining The Optimum Mark Up of A Bid", A thesis submitted in partial fulfillment of the requierements for the degree of Master of Engineering at Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand, 1985, p 6 - 16.
6
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan – Universitas Kristen Petra http://puslit.petra.ac.id/journals/civil/
MODEL STRATEGI PENAWARAN UNTUK PROYEK KONSTRUKSI DI INDONESIA (Harry Patmadjaja)
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, Juli 2008
PENGENDALIAN BIAYA DAN JADUAL TERPADU PADA PROYEK KONSTRUKSI. Dewa Ketut Sudarsana1 Abstrak: Sumberdaya utama terbatas pada tahap pelaksanaan suatu proyek kostruksi adalah biaya, mutu dan waktu. Perencanaan, penjadualan dan pengendalian adalah langkah penting untuk dilakukan agar tujuan pelaksanaan proyek dengan sumberdaya terbatas ini tercapai. Metode ”Nilai Hasil” (Eaned Value) adalah sutau metode pengendalian yang digunakan untuk mengendalikan biaya dan jadual proyek secara terpadu. Metode ini memberikan informasi status kinerja proyek pada suatu periode pelaporan dan memberikan informasi prediksi biaya yang dibutuhkan dan waktu untuk penyelesaian seluruh pekerjaan berdasarkan indikator kinerja saat pelaporan. Pada Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS. Sanglah Denpasar, informasi yang didapat saat pelaporan pada hari ke-91 adalah Planed Value/ PV=Rp 1,4325 milyar, Earned Value/ EV=Rp.1,3747 dan Actual Cost /AC=Rp.1,3598 milyar. Pada saat ini kinerja proyek dari aspek biaya dikatakan untung (Cost Varian/ CV= + Rp. 0.01 milyar dan Cost Performed Index /CPI=1,01>1). Dari aspek jadual, dikatakan proyek ini mengalami keterlambatan (Schedule Varian /SV= -Rp.0,06 milyar dan Schedule Performance Indek/SPI=0,96 <1). Prediksi biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan adalah Rp. 2,8683 milyar, menunjukkan mendapat keuntungan (dibawah rencana anggaran Rp. 2,8998 milyar). Sedangkan prediksi jadual yang diperlukan 129 hari, menunjukkan mengalami keterlambatan 2 hari dari rencana. Kata kunci: kinerja, jadual, biaya, nilai hasil, varian, indek.
INTEGRATED COST AND SCHEDULE CONTROL IN CONSTRUCTION PROJECT Abstract: Cost, performance and time are the major constrain resources in project execution. The important action to find project objective with limited resources are planning, scheduling and controlling. “Earned Value” concept is a method to integrated project cost and project schedule controlling. This method informed the project performanced in period reporting and to predict the total project cost completion and the project time completion based on performances indicator reporting. In case study on periodic 91st day reporting at ”Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik” Center Public hospital Sanglah, the progress information such as Planed Value (PV)= IDR 1,4325 billion, Earned Value (EV) = IDR 1,3747 billion and Actual Cost (AC)= IDR 1,3598 billion. In this report the cost project performance had profit (Cost Varian, CV = + IDR 0,01 billion and Cost Performed Index ,CPI=1,01>1). But the schedule performanced project has been delayed (Schedule Varian, SV = - IDR 0.06 billion and Schedule Performmance Index, SPI =0,96 <1). If this project performanced continued until the project completion, the project cost completion has been estimated about IDR 2,8683 billion, that is under the budget (< IDR 2.8998 billion). However, the estimated project schedule required 129 days, which showed the project schedule will be delayed 2 days from the schedule plan. Keywords: performance, schedule, cost, earned value, varian, index. 1
Dosen Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Udayana, Denpasar.
117
Pengendalian Biaya Dan Jadual Terpadu Pada Proyek ............................................. Sudarsana
PENDAHULUAN Pengendalian merupakan salah satu fungsi dari manajemen proyek yang bertujuan agar pekerjaan-pekerjaan dapat berjalan mencapai sasaran tanpa banyak penyimpangan. Pengendalian proyek adalah suatu usaha sistematis untuk menentukan standar yang sesuai dengan sasaran perencanaan, merancang system informasi, membandingkan pelaksanaan dengan standar, menganalisis kemungkinan adanya penyimpangan antara pelaksanaan dengan standar, dan mengambil tindakan pembetulan yang diperlukan agar sumber daya yang digunakan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapai sasaran (Soeharto, 1997). Sumber daya proyek khususnya proyek konstruksi terdiri dari material, tenaga kerja, pendanaan, metode pelaksanaan dan peralatan. Sumber daya direncanakan untuk mencapai sasaran proyek dengan batasan waktu, biaya dan mutu. Tantangan pada pelaksanaan proyek adalah bagaimana merencanaakan jadual waktu yang efektif dan perencanaan biaya yang efisien tanpa megurangi mutu. Waktu dan biaya merupakan dua hal penting dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi selain mutu, karena biaya yang akan dikeluarkan pada saat pelaksanaan sangat erat kaitannya dengan waktu pelaksanaan pekerjaan. Biaya proyek pada proyek konstruksi dibedakan menjadi dua jenis yaitu biaya langsung (Direct Cost) dan biaya tidak langsung (Indirect Cost). (Soeharto, 1997).. Biaya langsung adalah semua biaya yang langsung berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilapangan. Biaya-biaya yang dikelompokkan dalam biaya langsung adalah biaya bahan /material, biaya pekerja /upah dan biaya peralatan (equipment). Biaya tak langsung adalah semua biaya proyek yang tidak secara langsung berhubungan dengan konstruksi di lapangan tetapi biaya ini harus ada dan tidak dapat dilepaskan dari proyek tersebut (Nugraha et al., 1986). Biaya-biaya
yang termasuk dalam biaya tak langsung adalah biaya overhead, biaya tak terduga (contigencies), keuntungan /profit, pajak dan lainnya. Hubungan biaya langsung dan biaya tak langsung terhadap waktu memiliki kecendrungan bertolak belakang. Jika waktu pelaksanaan proyek dipercepat akan mengakibatkan peningkatan biaya langsung tetapi pada biaya tidak langsung terjadi penurunan. Berdasarkan gambaran diatas pengendalian waktu dan biaya perlu dilakukan secara terpadu atau terintergrasi. Metode pengendalian biaya dan waktu terpadu ini dikenal dengan Konsep Nilai Hasil (Earned Value). MATERI DAN METODE Materi Penelitian ini mengkaji pelaksanaan proyek Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah di Denpasar. Sesuai Kontrak pekerjaan proyek ini dijadualkan waku penyelesaiannya selama 127 hari kalender (5 Bulan). Nilai pekerjaan Rp. 2,899,780,000.00 (Real Cost). Proyek ini dievaluasi pada akhir bulan ke-3 (hari ke91) dari jangka waktu ditetapkan dalam kontrak selama 127 hari. Data yang dikumpulkan meliputi dokumen Kontrak, khususnya tentang Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Jadual Pelaksanaan. Data dari pelaksanaan proyek meliputi Laporan kemajuan proyek dan Laporan Keuangan proyek. Laporan-laporan ini dikumpulakan dari mulai pelaksanaan proyek sampai periode pelaporan Metode Pembahasan dalam penelitian ini dikaji secara deskriptif. Metode pengendalian proyek yang digunakan adalah Metode Pengendalian Biaya dan Jadual Terpadu (Earned Value). Metode ini mengkaji kecenderungan Varian Jadwal dan Varian Biaya pada suatu periode waktu selama proyek berlansung (Soeharto, 1997).
118
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, Juli 2008
a. Metode Analisis Varians Metode Analisis Varians adalah metode untuk mengendalikan biaya dan jadwal suatu kegiatan proyek konstruksi. Dalam metode ini identifikasi dilakukan dengan membandingkan jumlah biaya yang sesungguhnya dikeluarkan terhadap anggaran. Analisis Varians dilakukan dengan mengumpulkan informasi tentang status terakhir kemajuan proyek pada saat pelaporan dengan menghitung jumlah unit pekerjaan yang telah diselesaikan kemudian dibandingkan dengan perencanaan atau melihat catatan penggunaan sumber daya. Metode ini akan memperlihatkan perbedaan antara biaya pelaksanaan terhadap anggaran dan waktu pelaksanaan terhadap jadual b. Varians dengan Grafik “S” Cara lain untuk memperagakan adanya varians adalah dengan menggunakan grafik. Grafik “S” akan menggambarkan kemajuan volume pekerjaan yang diselesaikan sepanjang siklus proyek. Bila grafik tersebut dibandingkan dengan grafik serupa yang disusun berdasarkan perencanaan dasar maka akan segera terlihat jika terjadi penyimpangan. Grafik “S” sangat bermanfaat untuk dipakai sebagai laporan bulanan dan laporan kepada pimpinan proyek, karena grafik ini dapat dengan jelas menunjukkan kemajuan proyek dalam bentuk yang mudah dipahami. c. Kombinasi Bagan Balok dan Grafik “S” Salah satu teknik pengendalian kemajuan proyek adalah memakai kombinasi grafik “S” dan tonggak kemajuan (milestone). Milestone adalah titik yang menandai suatu peristiwa yang dianggap penting dalam rangkaian pelaksanaan pekerjaan proyek. Titik milestone ditentukan pada waktu pembuatan perencanaan dasar yang disiapkan sebagai tolak ukur kegiatan pengendalian kemajuan proyek. Penggunaan milestone yang dikombinasikan dengan grafik “S” amat efektif untuk mengendalikan pembayaran berkala.
119
Konsep Nilai Hasil (Earned Value) Konsep Nilai Hasil merupakan perkembangan dari Konsep Analisis Varians. Dimana dalam Analisis Varians hanya menunjukkan perbedaan hasil kerja pada waktu pelaporan dibandingkan dengan anggaran atau jadwalnya (PMBOK,2004) Adapun kelemahan dari metode ini Analisis Varians adalah hanya menganalisa varians biaya dan jadwal masing-masing secara terpisah sehingga tidak dapat mengungkapkan masalah kinerja kegiatan yang sedang dilakukan. Sedangkan dengan metode Konsep Nilai Hasil dapat diketahui kinerja kegiatan yang sedang dilakukan serta dapat meningkatkan efektifitas dalam memantau kegiatan proyek. Dengan memakai asumsi bahwa kecenderungan yang ada dan terungkap pada saat pelaporan akan terus berlangsung, maka metode prakiraan atau proyeksi keadaan masa depan proyek, seperti: i. Dapatkah proyek diselesaikan dengan sisa dan yang ada. ii. Berapa besar perkiraan biaya untuk menyelesaikan proyek. iii. Berapa besar keterlambatan/kemajuan pada akhir proyek. Konsep Nilai Hasil adalah konsep menghitung besarnya biaya yang menurut anggaran sesuai dengan pekerjaan yang telah dilaksanakan. Bila ditinjau dari jumlah pekerjaan yang diselesaikan berarti konsep ini mengukur besarnya unit pekerjaan yang telah diselesaikan pada suatu waktu bila dinilai berdasarkan jumlah anggaran yang disediakan untuk pekerjaan tersebut. Dengan perhitungan ini dapat diketahui hubungan antara apa yang sesungguhnya telah dicapai secara fisik terhadap jumlah anggaran yang telah dikeluarkan, yang dapat ditulis dengan rumus: d.
Nilai Hasil = (% Penyelesaian) x (anggaran)
Sumber: Soeharto, 1997
Keterangan: - % penyelesaian yang dicapai pada saat pelaporan. - Anggaran yang dimaksud adalah real cost biaya proyek
Pengendalian Biaya Dan Jadual Terpadu Pada Proyek ............................................. Sudarsana
e.
Indikator-indikator yang dipergunakan Konsep dasar nilai hasil dapat digunakan untuk menganalisis kinerja dan membuat perkiraan pencapaian sasaran. Indikator yang digunakan dalam analisis adalah biaya aktual (actual cost), nilai hasil (earned value) dan jadual anggaran (Planned Value). Biaya Aktual (Actual Cost =AC). Biaya Aktual (Actual Cost =AC) atau Actual Cost of Work Perfomed (ACWP) adalah jumlah biaya aktual pekerjaan yang telah dilaksanakan pada kurun pelaporan tertentu. Biaya ini diperoleh dari data-data akuntansi atau keuangan proyek pada tanggal pelaporan. Jadi AC merupakan jumlah aktual dari pengeluaran atau dana yang digunakan untuk melaksanakan pekerjaan pada kurun waktu tertentu. Nilai Hasil (Earned Value=EV) Nilai Hasil (Earned Value=EV) atau Budgeted Cost of Work Performed (BCWP) adalah nilai pekerjaan yang telah selesai
terhadap anggaran yang disediakan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Bila angka AC dibandingkan dengan EV, akan terlihat perbandingan antara biaya yang telah dikeluarkan untuk pekerjaan yang telah terlaksana terhadap biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk maksud tersebut. Jadual Anggaran (Planned Value =PV) Jadual Anggaran (Planned Value =PV) atau Budgeted Cost of Work Schedule (BCWS) menunjukkan anggaran untuk suatu paket pekerjaan, yang disusun dan dikaitkan dengan jadual pelaksanaan. Disini terjadi perpaduan antara biaya, jadwal dan lingkup kerja, dimana pada setiap elemen pekerjaan telah diberi alokasi biaya dan jadwal yang dapat menjadi tolak ukur dalam pelaksanaan pekerjaan. Contoh pelaporan status proyek pada pelaporan bulan Mei digambarkan pada Gambar 1 dengan nilai PV= Rp.660, EV=Rp.530. dan AC= 840
1200 1000
Biaya Rp.
800 600 400 200 0 Bulan
mulai
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Jun
Jul
Agustus
PV / BCWS
0
60
140
280
480
660
870
1020
1080
EV / BCWP
0
40
100
210
380
530
AC / ACWP
0
90
210
410
640
840
Gambar 1. Analisa varians terpadu disajikan dengan grafik “S” f. Varians Biaya dan Jadual Terpadu Telah disebutkan sebelumnya bahwa menganalisis kemajuan proyek dengan analisis varians sederhana dianggap kurang mencukupi, karena metode ini tidak mengintegrasikan aspek biaya dan jadual. Untuk mengatasi hal tersebut indikator PV,
EV dan AC digunakan dalam menentukan Varians Biaya dan Varians Jadual secara terpadu. . Varians Biaya/Cost Varians (CV) dan Varian Jadwal/Schedule Varians (SV) diformulasikan sebagai berikut:
120
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, Juli 2008
Varian Biaya (CV) = EV – AC atau CV=BCWP –ACWP ………… (2) Varian Jadwal (SV) = EV – PV atau SV=BCWP-BCWS ………… (3) g. Indeks Produktivitas dan Kinerja Pengelola proyek sering kali ingin mengetahui efisiensi penggunaan sumber daya, yang dapat dinyatakan sebagai indeks produktivitas atau indeks kinerja. Indeks kinerja ini terdiri dari Indeks Kinerja Biaya (Cost Performance Index = CPI) dan Indeks Kinerja Jadual (Schedule Performance Index = SPI) Adapun rumusan Indeks kinerja ini adalah : Indeks Kinerja Biaya (CPI) = EV/AC atau CPI = BCWP / ACWP ……. (4) Indeks Kinerja Jadwal (SPI) = EV/ PV atau SPI =BCWP / BCWS …….. (5) i. Proyeksi Pengeluaran Biaya dan Jangka waktu penyelesaian Proyek Membuat prakiraan biaya atau jadual penyelesaian proyek berdasarkan atas indikator yang diperoleh saat pelaporan, akan memberikan petunjuk besarnya biaya pada akhir proyek (estimasi at completion = EAC) dan prakiraan waktu peneyelesaian proyek (estimate all schedule = EAS) Prakiraan prakiraan biaya atau jadual amat bermanfaat karena memberikan peringatan dini mengenai hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang, bila kecenderungan yang ada pada saat pelaporan tidak mengalami perubahan.Bila pada pekerjaan tersisa dianggap kinerjanya tetap seperti pada saat pelaporan, maka prakiraan biaya untuk pekerjaan tersisa (ETC) adalah: ETC = (BAC – BCWP) / CPI …….. (6) EAC = ACWP – ETC …………….. (7) Sedangkan prakiraan waktu penyelesaian seluruh pekerjaan: ETS = (Sisa waktu ) / SPI................. (8) EAS = Waktu selesai + ETS............. (9) dimana: - BAC (Budget At Completion) = Anggaran Proyek Keseluruhan.
121
- SPI (Schedule Performance Index) = Indek Kinerja Jadwal. - CPI (Cost Performance Index) = Indek Kinerja Biaya. - ETC (Estimate Temporary Cost) = Prakiraan Biaya untuk Pekerjaan Tersisa. - EAC (Estimate All Cost) = Prakiraan Total Biaya Proyek. - ETS (Estimate Temporary Schedule) = Prakiraan Waktu Untuk Pekerjaan Tersisa. - EAS (Estimate All Schedule) = Prakiraan Total Waktu Proyek. HASIL DAN PEMBAHASAN Anggaran Biaya Menurut Jadual (Planned Value) Perhitungan Anggaran Menurut Jadual/ PV/ (BCWS) didapat dengan merencanakan seluruh aktifitas proyek berdasarkan metode konstruksi yang terpilih. Planed value ini dapat digambarkan seperti penjadualan dengan metode kurva-S. Berikut adalah proporsi biaya pada periode bulanan yang diambil dari penjadualan kurva-S yang disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Planed value Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS. Sanglah Denpasar Bulan ke-
Planed Value Bulan Per Bulan (Rp)
1 2 3 4 5
Komulatif (Rp)
126,894,372.80 126,894,372.80 Agustus September 336,084,502.00 462,978,874.80 Oktober 969,483,447.40 1,432,462,322.20 November 1,330,361,068.40 2,762,823,390.60 Desember 136,956,609.40 2,899,780,000.00
Sumber: Sagung Arie Mahadewi, 2006
Biaya Aktual (Actual Cost) Pengeluaran Biaya Aktual Pekerjaan (Actual Cost) sampai saat pelaporan didapat dari laporan keuangan proyek dan disajikan pada Tabel 2.
Pengendalian Biaya Dan Jadual Terpadu Pada Proyek ............................................. Sudarsana
Tabel 2. Biaya Aktual (Actual Cost) Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS. Sanglah Denpasar Bulan ke1 2 3 4 5
Actual Cost Bulan Per Bulan (Rp) Komulatif (Rp) Agustus 205,612,784.00 205,612,784.00 September 433,923,352.00 639,536,136.00 Oktober 720,218,469.00 1,359,754,605.00 November Desember
Sumber: Sagung Arie Mahadewi,2006
Nilai Hasil (Earne Value) Nilai hasil (Earned Value) adalah hasil yang didapat berdasarakan pekerjaan yang telah terselesaikan. dianggarkan dari pekerjaan yang telah diselesaikan. Nilai hasil dihitung berdasarkan prosentase bobot yang didapat dikalikan dengan total anggaran (nilai kontrak). Nilai hasil yang didapat sampai saat pelaporan disajikan pada Tabel 3.
Kinerja Proyek Saat Pelaporan. Satatus proyek saat pelaporan pada akhir bulan ke-3 atau hari ke-91 menunjukkan kinerja proyek untung, hal ini ditunjukan dari indikator Cost Varian CV bernilai positif sebesar Rp. 0,1 milyar antara selisih nilai hasil (EV) dengan biaya actual yang dikeluarkan (AC). Kinerja proyek dari aspek biaya ini bisa juga dilihat dari indikator indek kinerja biaya CPI= 1.01 >1. Sedangkan dari aspek jadual menunjukkan kinerja proyek mengalami keterlambatan, hal ini ditunjukkan dari Schedule Varian (SV) yang bernilai negative sebesar Rp. – 0.06 milyar antara selisih nilai hasil (EV) dengan anggaran yang dijadualkan (PV). Kinerja proyek dari aspek waktu ini juga bisa dilihat dari Indek Kinerja Jadual (SPI) yang nilainya sebesar 0.96 <1. Nilai CV, SV, CPI dan SPI ini dapat dilihat pada Tabel 4.Sedangkan grafik penjadual terpadu saat pelaporan dapat dilihat pada Gambar 2.
Tabel 3. Earned Value Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS. Sanglah Denpasar Bulan ke1 2 3 4 5
Tabel 4. Status kinerja proyek saat pelaporan hari ke-91. AC Rp. (milyar)
CV = EV-AC Rp. (milyar)
0.3747
0.2056
0.17
0.4630
0.9576
0.6395
91
1.4325
1.3747
1.3598
4
112
2.7628
5
127
2.8998
Bulan ke-
Hari ke-
PV Rp. (milyar)
1
28
0.1269
2
56
3
EV Rp. (milyar)
SV = EV-PV Rp. (milyar)
CPI= EV/AC
SPI= EV/PV
0.25
1.82
2.95
0.32
0.49
1.50
2.07
0.01
-0.06
1.01
0.96
Sumber: analisis
122
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, Juli 2008
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0 Waktu (hari)
0
28
56
91
112
127
129
PV
0
0.1269
0.4630
1.4325
2.7628
2.8998
2.8998
EV
0
0.3747
0.9576
1.3747
AC
0
0.2056
0.6395
1.3598
Gambar 2. Grafik“S” varian biaya dan waktu terpadu saat pelaporan hari ke-91 (Sumber: analisis) Proyeksi Pengeluaran Biaya dan Jangka waktu penyelesaian Proyek Berdasarkan nilai PV, EV dan AC saat pelaporan hari ke-91 dan indikator CPI dan SPI yang diadapat sebelumnya dapat diprediksikan biaya yang akan dikeluarkan dan waktu yang diperlukan untuk penyelesain seluruh pekerjaan, yang disajikan pada Tabel 5 Jika kinerja saat pelaporan tetap sama sampai sisa pekerjaan terselesaikan, maka prediksi biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan seluruh pekerjaan (ETC)
adalah sebesar Rp. 2,8683 milyar yang berarti ada keuntungan atau masih dibawah rencana anggaran (PV) yaitu sebesar Rp. 2,8998 milyar Sedangkan perkiraan penyelesaian dari aspek jadual didapat perkiraan waktu penyelesaian pekerjaan (EAS) adalah 129 hari, lebih lama dari jadual rencana selama 127 hari. Ini berarti proyek akan mengalami keterlambatan selama 2 hari. Gambaran perkiraan biaya dan waktu terpadu untuk menyelesaikan proyek dapat dilihat pada Gambar 3.
Tabel 5. Proyeksikan biaya (ETC) dan waktu (EAS) yang diperlukan untuk menyelesaiakn proyek. PV EV AC CPI Hari Rp. Rp. Rp. ke- (milyar) (milyar) (milyar)
SPI
Rp. (milyar)
28
0.1269
0.3747
0.2056 1.82
2.95
56
0.4630
0.9576
0.6395 1.50
2.07
91
1.4325
1.3747
1.3598 1.01
0.96
112
2.7628
127
2.8998
123
ETC
1.5086
EAC Rp. (milyar)
2.8683
Sisa Waktu
ETS
EAS
(hari)
(hari)
(hari)
36
38
129
Pengendalian Biaya Dan Jadual Terpadu Pada Proyek ............................................. Sudarsana
3.2 3 2.8 2.6
Biaya (Rp. Milyar)
2.4 2.2 2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
0
28
56
91
112
127
PV
0
0.1269
0.4630
1.4325
2.7628
2.8998
EV
0
0.3747
0.9576
1.3747
2.6259
2.7628
2.8998
AC
0
0.2056
0.6395
1.3598
2.1140
2.7889
2.8683
Waktu (hari)
129
Gambar 3. Grafik“S” varian biaya dan waktu terpadu saat pelaporan hari-ke91 dan perkiraan penyelesaian pekerjaan (Sumber: analisis) SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil analisa dengan meggunakan metode Pengendalian Biaya dan Jadual terpadu (Earned Value Concept) pada pelaksanaan Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS. Sanglah Denpasar adalah : 1. Kinerja pelaksanaan proyek pada hari ke-91 dari aspek biaya menunjukan pelaksanaan proyek ini memproleh keuntungan, hal ini ditunjukkan dari indikator Cost Varian bernilai positif (Rp. 0,01 miliar) atau nilai Indek Kinerja Biaya (CPI) = 1,01 >1. Sedangkan dari aspek jadual pelaksanaan proyek mengalami keterlambatan yang ditunjukkan oleh indikator Cost Varian bernilai negative (Rp. -0,06 milyar) atau Indeks Kinerja Jadula (SPI) = 0,96 <1. 2. Jika kinerja pelaksanan proyek pada pelaporan hari ke-91 berjalan tetap sama sampai proyek selesai, perkiraan
biaya yang dibutuhkan sebesar Rp.2,8683 milyar yang berarti akan mendapatkan keuntungan karena masih dibawah rencana anggaran sebesar Rp. 2,8998 milyar. Sedangkan dari aspek jadual, perkiraan untuk menyelesaikan proyek adalah 129 hari, akan mengalami keterlambatan (terlambat 2 hari) dari jadual ditetapkan dalam kontrak selama 127 hari. Saran Hal-hal yang dapat disarankan adalah: 1. Metode pengendalian Konsep Nilai Hasil (Earned Value) dalam implementasinya yang menggunakan garfik ”S” perlu dikaji dengan mengintegrasikan metode Critical Path Methode. 2. Perlu dirancang alternatif-alternatif sistem penanganan bila terjadi penyimpangan biaya dan waktu secara terpadu.
124
Jurnal Ilmiah Teknik Sipil Vol. 12, No. 2, Juli 2008
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan ini sampai tulisan ini bisa diselesaikan terutama kolega saya I.B.P. Adnyana dan sejawat A.A. Sagung Arie Mahadewi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. A Guide to the Project Management Body of Knowledge, Project Management Institute, 3rd edition, Pennsyvalnea USA. Bachtiar, H.I. 1993. Rencana Dan Estimate Real Of Cost, Bumi Aksara, Jakarta. Badri, S. 1997. Dasar – Dasar Network Planning (Dasar – Dasar Perencanaan Jaringan Kerja), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. Barrie, D.S. dan Paulson, Jr. B.C. 1987. Manajemen Konstruksi Profesional Edisi Kedua, Erlangga, Jakarta. Dipohusodo, I. 1996. Manajemen Proyek Dan Konstruksi Jilid I, Kanesius, Jakarta.
125
Dipohusodo, I. 1996. Manajemen Proyek Dan Konstruksi Jilid II, Kanesius, Jakarta. Ervianto, W.I. 2002. Manajemen Proyek Konstruksi, Andi, Yogjakarta. Mahadewi, A.A.S.A. 2006. Evaluasi Proyek dengan Konsep Nilai Hasil (Earned Value) pada Proyek Pembangunan Gedung Instalasi Rehabilitasi Medik RS Sanglah Denpasar, Skripsi, Teknik Sipil Unud. Nugraha, P., Natan, I., dan Sutjipto, R. 1985. Manajemen Konstruksi 1, 2, Kartika Yuda, Surabaya. Soeharto, I. 1997. Manajemen Proyek Dari Konseptual Sampai Operasional, Erlangga, Jakarta. Syafriandi. 2003. Aplikasi Microsoft Project 2000 Untuk Penjadwalan Kerja Dalam Proyek Teknik Sipil, Dinastindo, Jakarta.
PENGENDALIAN DAMPAK PERUBAHAN DESAIN TERHADAP WAKTU DAN BIAYA PEKERJAAN KONSTRUKSI Ari Sandyavitri Program Studi S-1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Riau Kampus Bina Widya Km .12,5 Simpang Baru Pekanbaru 28293 Email : [email protected]
ABSTRAKSI Perubahan signifikan pada struktur desain disaat fase konstruksi dapat berakibat fatal pada peningkatan biaya dan waktu pelaksanaan proyek. Tulisan ini mendemostrasikan pengaruh perubahan desain pada pembangunan gedung kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi Riau. Perubahan desain struktur atap memicu dampak komulatif dari pelaksanan aktifitas pembangunan berupa perubahan dimensi rangka baja atap, struktur plafon, instalsi listrik dan perkabelan, dan penempatan ventilasi udara. Sebagai konsekuensinya proyek ini mengalami kelambatan sampai 68 hari dan peningkatan biaya sampai 29% dari total biaya (dari Rp. 57 miliar menjadi Rp. 73.3 miliar). Secara teoritis untuk mengurangi dampak kelambatan dan pembengkakan biaya proyek dapat diusulkan 4 (empat) metode pengendalian; (i) memanjemen kerja lembur; (ii) kerja bergantian; (iii) tambahan tenaga baru; dan (iv) pemindahan sebahagian tenaga dari kegiatan lain kerja bergiliran Kata kunci : desain, perubahan, durasi, produktivitas kerja, biaya
ABSTRACT A significant shift in design structure during construction phase causes an increase in project costs as well as time delay. This paper demostrated the impacts of design change during the construction phase of the Riau Provincial Legislative (DPR) building. The major change of roof design structure triggered cummulative impacts on the programs e.g. change in the dimension of steels roof, plafond structure, cabling and electricity installation schemes, and air ventilation schemes. As the consequences of these commulative impacts suffered project delay for 68 days and increased the total project cost up to 29 % (from Rp. 57 M to 73.3M). Theoretically in order to reduce the impact of the project delay and cost overruns, 4 alternative methods can be drawn; (i) Manging of working overtime; (ii) Shifting; (iii) Additional workforces/labours and (iv) Management of Critical Path Methode. It is summarized that, alternative (ii) Shifting, is an appropriate eoption to yield the least impacts for the project cost and time delay compared to the other methodes. Keywords:
design, change, duration, productivity, cost
1. PENDAHULUAN Pembangunan Proyek Peningkatan Fasilitas dan Prasarana Fisik Gedung DPRD Propinsi Riau diharapkan (meliputi pembangunan fasilitas ruang sidang, ruang kantor yang nyaman, ruang pers dan olah raga) diharapkan dapat meningkatkan kinerja anggota Dewan Rakyat (DPR Propinsi Riau). Proyek Peningkatan Fasilitas dan Prasarana Fisik Gedung DPRD Propinsi Riau yang disebut juga proyek Gedung DPRD ini direncanakan dapat diselesaikan dalam 14 bulan dengan anggaran biaya Rp. 57 M dan memiliki 9 (sembilan) uraian pekerjaan utama, yaitu: (i) Pekerjaan persiapan; (ii) Pekerjaan struktur; (iii) Pekerjaan arsitektur; (iv) Pekerjaan site development; (v) Pekerjaan bangunan lain/khusus; (vi) Pekerjaan mekanikal; (vii) Elektrikal; (viii) Pekerjaan furniture; dan (ix) Interior. Rangkaian pekerjaan inti itu dibagi lagi sebanyak 42 (empat puluh dua) uraian pekerjaan. Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
57
Pada awal pembangunannya proyek ini diperkirakan selesai sesuai rencana, namun karena ada perubahan disain atap maka proyek ini mengalami keterlambatan hampir 3 bulan. Hal ini terjadi karena terjadi perubahan pada pekerjaan atap dan menyelesaikan konstruksi plafond, instalasi AC, dan instalasi listrik sebagai konsekuensi dari perubahan disain itu. Perubahan desain yang terjadi pada pekerjaan struktur baja untuk rangka atap, akibat penambahan perkuatan, alasan ditambahnya perkuatan pada rangka baja karena setelah dihitung ulang perkuatan, ternyata tidak memenuhi standar syarat keamanan kekuatan rangka baja untuk menahan beban atap (Gambar 1).
Gambar 1. Gedung DPRD Propinsi Riau Perubahan bentuk dari rangka baja atap sangat berpengaruh terhadap perubahan bentuk desain plafond. Desain awal plafond mengikuti bentuk awal rangka baja, namun akhirnya tidak sesuai lagi dengan rangka baja yang telah mengalami perubahan bentuk yang bertingkat-tingkat. Dilakukan pendesainan ulang bentuk plafond yang harus menyesuaikan bentuk rangka baja bertingkat-tingkat. Perubahan bentuk plafond juga mempengaruhi pekerjaan elektrikal, tata letak lampu dan instalasi AC yang semuanya harus disesuaikan dengan bentuk plafond yang bertingkattingkat untuk menjamin intensitas penerangan yang memadai dan suhu yang dikehendaki. Akibat perubahan desain tersebut untuk rangkaian pekerjaan yang mengalami perubahan desain terjadi keterlambatan selama 68 (enam puluh delapan ) hari kerja yang akhirnya mengakibatkan terjadi perubahan biaya (hasil wawancara dengan pihak Konsultan, Kontraktor dan penhitungan progress fisik dan time schedule di lapangan). Biaya dapat diklasifikasi atas biaya langsung dan biaya tak langsung. Biaya langsung adalah biaya yang langsung digunakan untuk pelaksanaan proyek, yang terdiri atas: biaya bahan, biaya buruh, biaya peralatan, dan biaya Sub-kontraktor. Biaya langsung umumnya akan meningkat bila waktu pelaksanaan proyek diperlambat. Biaya tak langsung adalah biaya yang berhubungan dengan biaya manajemen proyek. Ini meliputi sewa umum perkantoran, gaji pegawai, biaya sarana umum. Biaya tak langsung tidak tergantung pada kuantitas pekerjaan melainkan bergantung kepada jangka waktu pelaksanaan proyek. 1.1. Perumusan Masalah Penelitian ini menekankan permasalahan teknis dilapangan yang berkibat pada kelambatan pengerjaan proyek di lapangan dan peningkatan biaya pelaksaannya. Penelitian ini menganalisa faktor penyebab perubahan desain pada pekerjaan struktur baja, pekerjaan listrik, pekerjaan plafon, dan tata udara serta menganalisa dampak yang ditimbulkan akibat perubahan desain serta 58
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
pengaruhnya terhadap waktu dan biaya. Kemudian di dalam tulisan ini dibahas juga beberapa alternatif metode untuk pengurangan impak dari keterlambatan. 1.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendemostrasikan cara menganalisa faktor penyebab perubahan desain, identifikasi pengaruhnya terhadap waktu dan biaya, dan menganalisa beberapa alaternatif metode untuk merespon pengaruh tersebut sekaligus memperkecil resiko yang mungkin terjadi melalui pendekatan rescheduling pemendekan durasi.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proyek Menurut David I. Cleland (1995) Proyek seperti organisasi yang berproses sepanjang siklusnya yang bergerak menuju penyelesaian yang tepat waktu dan berada dalam alokasi biaya yang telah ditetapkan. Menurut Sandhyavitri, A (2003) Siklus proyek berisikan rangkaian langkahlangkah berisi proses konseptual proyek, rancangan, pelaksanaan teknis, evaluasi dan monitoring. Kunci utama pekerjaan suatu proyek adalah pengaturan proyek baik dari segi waktu (penjadwalan) maupun dari segi pembiayaan. 2.2. Organisasi proyek Dalam proses pelaksanaaan suatu proyek melibatkan banyak unsur dengan peranaan masing-masing. Unsur yang terlibat dalam proyek konstruksi berada pada satu kesatuan koordinasi yang berperan dalam pelaksanaan proyek konstruksi. Pada prinsipnya unsur yang terkait dalam pelaksanaan suatu proyek (internal stakeholders) ada tiga, yaitu: 1) Pemilik atau Pemberi Tugas (owner) 2) Konsultan Perencana dan Konsultan Pengawas 3) Pemborong atau kontraktor. Di dalam proyek besar seperti pembangunan kantor DPR Propinsi Riau ini, kontraktor mensub-kontraktorkan sebahagian pekerjaan kepada kontraktor atau orang lain. 2.3. Perencanaan Desain Gambar Proyek Walaupun setiap pelaksanaan konstruksi bersifat unik tetapi garis besar langkah-langkahnya tetap membentuk pola yang mirip. Perbedaaannya terletak pada alokasi rentang waktu dan penekanan untuk setiap tahapannya. Proyek konstruksi membutuhkan perencanaan desain awal dan detail desain yang tepat yang nanti dipakai untuk menuntun pelaksanaaan proyek. Apabila mengabaikan rancangan desain awal, detail desain dan perencanaan durasi dan biaya dalam alur pelaksanaan proyek, maka sangat rentan mengalami risiko kegagalan. Menurut Iman Soeharto (1999) kegagalan dan keberhasilan suatu proyek konstruksi sangat bergantung pada keterlibatan pemilik proyek/owner, karena pemilik harus terlibat dalam perencanaan desain dan pelaksanaan proyek. Dan juga owner harus memiliki komitmen terhadap keputusan pada kesepakatan awal. Sedangkan Proyek yang sukses berarti proyek yang dilaksanakan sesuai dengan biaya, jadwal dan keberhasilan mencapai sasaran teknis, proyek yang berhasil juga berarti sukses menerapkan strategi yang telah dirancang. Sedangkan kegagalan proyek berarti proyek yang tidak sesuai dengan rencana pembiayaan, jadwal dan tidak mencapai sasaran yang diinginkan (David I. Cleland, 1995).
Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
59
2.4. Perencanaan, Koordinasi, dan Pegendalian Perencanaan memegang peranan penting yang mana perencanaan proyek menjadi satu penopang bagi pendesainan dan strategi pelaksanaan proyek. Dan selama terus menerus menurut alurnya, kemampuannya untuk mempengaruhi pengeluaran proyek akan menurun dengan cepat. Dan alasan lainnya mengapa perencanaan begitu penting karena keputusan yang telah dibuat diawal tahapan proyek menentukan arah dan tujuan rancangan proyek kedepan (David I. Cleland, 1995). Koordinasi antara unsur-unsur, Pengelola Proyek, Konsultan Perencana, Konsultan Manajemen Proyek dan kontraktor terwujud dalam bentuk pertemuan berkala (site meeting) yang akan membicarakan dan mengatasi segala permasalahan yang timbul selama proses pelaksanaan untuk mendapatkan hasil yang optimal (Paulus Nugraha,1986). Secara konvensional pengendalian proyek umumnya menekankan pada pengendalian jadwal yang dilakukan berdasarkan penyerapan biaya melalui perhitungan kurva S. Metoda yang tepat diperlukan agar parameter yang dikontrol benar-benar efisien dan dapat menunjukkan dengan tepat kondisi proyek. (Rizal Z. Tamin, 1994). 2.5. Alat perencanaan dan pengendalian Proyek Dikenal berberapa alat pengendali proyek, dalam tulisan ini dipaparkan 2 hal: Kurva S. Kurva S adalah gambaran yang menjelaskan tentang seluruh jenis pekerjaan, volume pekerjaan dalam satuan waktu dan ordinatnya adalah jumlah persentase (%) kegiatan pada garis waktu. Perencanaan Waktu Pelaksanaan. Untuk merencanakan waktu pelaksanaan, kontraktor dapat menggunakan beberapa diagram (metode) yaitu: 1) Metode Lintasan Kritis (Critical Path Method) 2) Metode PERT (Program Evaluasi & Review Technique) Dalam tulisan ini digunakan metoda CPM yang sering disebut Metoda Lintasan Kritis. Metoda Lintasan Kritis adalah suatu teknik perencanaan waktu pelaksanaan yang didasarkan pada jaringan kerja grafis yang ada pada suatu proyek yang bersangkutan dan menyatakan urutan-urutan peristiwa yang terjadi selama pelaksanan. 2.6. Durasi yang dipendekkan (Crash Time) dan Biaya pemendekan Diadakannya pemendekan durasi, berarti harus menambah sumber daya, termasuk biaya dan mempercepat pengangkutan bahan ke proyek. Akibat semakin banyak kegiatan yang dipendekan, maka biaya akan semakin bertambah. Biaya proyek adalah penjumlahan biaya langsung dan komponen biaya tak langsung. Dengan menyatukan kedua grafik tersebut akan didapat suatu titik dimana penjumlahan kedua komponen adalah minimum pada durasi proyek tertentu. Durasi ini disebut Durasi Optimum (dopt), dimana pada durasi ini biaya proyek adalah minimum. Durasi inilah yang menjadi tujuan perencanaan Biaya dan Waktu proyek. Perencanaan durasi ini disamakan dengan waktu yang ditentukan dalam kontrak (Imam Soeharto, 1999). Hubungan antara biaya proyek dan durasi proyek dapat dilihat pada grafik pada gambar 1. 2.7. Strategi mengatasi perpanjangan durasi proyek Ada beberapa strategi yang bisa ditempuh untuk mengatasi telah terjadinya perpanjangan durasi pada pelaksanaan proyek, strategi yang bisa dilakukan antara lain adalah: a) Mengadakan Pemendekan Durasi pada kegiatan-kegiatan di Lintasan Kritis. b) Mengajukan Permohonana Perpanjangan Waktu. c) Membiarkan Terlambat dan menerima untuk didenda. 60
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
Pemilihan strategi mana yang akan dipilih dari sudut pandang biaya, dilaksanakan dengan melakukan perbandingan hasil perhitungan antara durasi terpendek dan biaya terkecil dari setiap strategi tersebut.
Y = Biaya Proyek
(a)
= Biaya Langsung
(b) = Biaya Tak Langsung (c) = Biaya Proyek = (a) + (b)
Biaya Min
(a)
(c)
(b)
0
X = Durasi Proyek d opt
Gambar 1. Hubungan biaya proyek dan durasi proyek (Sumber : Iman Soeharto, 1999) Dari grafik di atas terlihat bahwa usaha untuk memperpendek atau memperpanjang durasi proyek dari durasi optimum akan menyebabkan biaya proyek meningkat. 2.8. Pemendekan Durasi Proyek Pemendekan durasi dilaksanakan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) Dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan dilintasan kritis (A, B, D, F) Gambar L1. b) Jumlah pemendekan diadakan lebih besar dari keterlambatan yang telah terjadi c) Usahakan agar tidak terjadi penambahan/pemindahan lintasan kritis apabila diadakan pemendekan durasi pada salah satu kegiatan.
1) 2) 3) 4)
Ada 4 (empat) alternatif pemendekan durasi, yaitu: Alternatif I : dengan cara lembur Alternatif II : dengan cara Kerja bergantian Alternatif III : dengan cara Tambahan Tenaga baru Alternatif IV : dengan cara Pemindahan sebahagian tenaga dari kegiatan lain. Untuk bisa membandingkan tambahan biaya akibat pemendekan durasi dari keenam alternatif diatas, diambil salah satu sebagai patokan (perbandingan), didalam penulisan ini dipakai metode pemendekan dengan kerja lembur.
Alternatif I. Pemendekan Durasi dengan Kerja lembur Ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan dalam pemendekan durasi dengan kerja lembur, antara lain : a. Penurunan produktivitas pekerja pada kerja lembur sebab keletihan fisik akibat bekerja sampai sore. b. Upah yang harus dibayar kepada pekerja lebih tinggi dari upah yang biasa dibayarkan. Biasanya 1,5 atau 2 kali upah biasa. Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
61
c. Penurunan produktivitas, dapat dilihat dengan tabel 1penurunan produktivitas pada kerja lembur. Tabel 1. Penurunan Produktivitas Pekerja 1
2
3
Productivity Rate
4
5
6
7
8
Hour gain Over 40 hour week
Hour loss due to productivity Drop
Premina Hours
Hour Cost of Over time Operations (at 2x)
40 hour week
60 hour week
Actual Hour Output for 60 hour week
0-1-2
1.00
0.90
54.0
14.0
6.0
20.0
26.0
2-3-4
-
0.86
51.6
11.6
8.4
20.0
28.4
4-5-6
-
0.80
48.0
8.0
12.0
20.0
32.0
6-7-8
-
0.71
42.6
2.6
17.4
20.0
37.4
8-9-10
-
0.66
39.6
-0.4
20.4
20.0
40.4
60 Hour Overtime Work Weeks
Sumber: Scheduled Overtime Effect on Construction Project Relationship of Hours Worked, Productivity and Costs (40 Hours vs 60 Hours)
Penelitian yang menghasilkan table 1 ini dilakukan di Amerika Serikat pada suatu bidang industri. Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kalau lembur diadakan berturut-turut dalam jangka waktu tertentu, akan terjadi penurunan produktivitas. Sebagai contoh jika diadakan lembur berturut-turut selama 8-10 minggu tersebut, maka akan terjadi penurunan produktivitas. Diasumsikan bahwa tabel ini bisa digunakan pada industri konstruksi di Indonesia, karena yang ditunjukkan pada tabel adalah persentase penurunan produktivitas tiap pekerja, bukan besarnya produksi kerja. d. Kalau diadakan lembur berturut-turut pada jangka waktu tertentu dan kemudian pekerja beristirahat total selama 24 jam, tenaga pekerja akan pulih kembali seperti semula. Jadi untuk mendapatkan penurunan produktivitas minimum sesuai table di atas, lembur diadakan berturutturut maksimum selama 2 minggu. Pilihan lama lembur dengan pengaturan lebih panjang, akan menyebabkan lebih besarnya penurunan produktivitas yang berarti bertambah besar pula biaya tambahan yang harus dikeluarkan kontraktor. e. Hasil pemendekan durasi dengan metode lembur dipakai, untuk menghitung biaya tambahan yang harus dikeluarkan oleh kontraktor. Metode lembur mempunyai cara khusus, dimana pemendekan durasi tidak bisa diatur secara sembarangan. Jadi karena dan pengaturan khusus untuk kerja lembur ini maka metode lembur dipakai sebagai patokan terhadap alternatif lain. Maksudnya pemendekan durasi yang didapat dengan kerja lembur untuk tiap kegiatan dipakai pula untuk alternatif lainnya. f. Rumus pemendekan durasi dengan metode lembur tiap kegiatan:
Y = ( D1 .t1 ) Tk
U pt f1 − ( Dn – Dc ) Up tn
(1)
dengan : Y t1 Tk 62
= tambahan biaya (Rp) = waktu lembur/minggu (jam) = jumlah tukang yang kerja lembur (orang) Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
Upt = upah tukang tiap orang/jam (Rp/jam) tn = lama kerja tiap hari (jam) Dn = durasi normal (hari) Dc
= durasi yang dipendekan (hari)
up
= upah seluruh pekerja/hari tanpa pemendekan durasi (Rp)
f1
= faktor pengali upah lembur
Alternatif II. Pemendekan Durasi dengan Kerja Bergantian Ada beberapa asumsi yang harus diperhatikan untuk pemendekan durasi dengan kerja bergantian : a. Tenaga kerja yang kerja bergantian (shift) bukan dari tenaga kerja yang bekerja di proyek tersebut. b. Tenaga kerja bergantian mulai bekerja setelah pekerja pagi selesai bekerja sesuai jam kerjanya. c. Adanya penurunan produktivitas pekerja bergantian sebab fase belajar dan mereka bekerja pada malam hari, sedangkan produktivitas mereka bila bekerja pagi hari, sama dengan pekerja yang sedang dipakai. d. Upah pekerja bergantian lebih tinggi dari pekerja biasa. e. Pemendekan durasi tiap kegiatan disamakan dengan metode pemendekan durasi lembur. f. Rumus pemendekan durasi dengan metode kerja bergantian (shift) tiap kegiatan adalah: f (D − Dc ) Y= s n − (Dn − Dc ) U p t fp s tn
(2)
Alternatif III. Pemendekan Durasi dengan Menambah Tenaga Kerja Baru Untuk pemendekan durasi dengan metode menambah tenaga kerja baru digunakan beberapa asumsi: a. Tenaga kerja baru diambil dari luar daerah lokasi proyek. b. Adanya biaya transportasi, uang makan dan lain-lain. c. Upah buat tenaga baru lebih tinggi dari pekerja tetap. d. Produktivitas dan jam kerja sama dengan pekerja tetap. e. Jumlah yang dipakai pad atiap kegiatan sesuai kebutuhan pada kegiatan tersebut. f. Jumlah pemendekan durasi tiap kegiatan diambil sama dengan pemendekan durasi dengan lembur. g. Rumus pemendekan durasi dengan metode menambah tenaga kerja baru dari luar: Y = { Tk (fs . upt + bn) + Pb . upb} Dc + (Dn – Dc) bt – (Dn – Dc) up
(3)
dengan : Y Tk fs upt bn Pb tn Dn
= = = = = = = =
tambahan biaya (Rp) jumlah tukang yang kerja (orang) faktor pengali penambahan pekerja baru upah tukang tiap orang/jam (Rp/jam) upah pekerja baru pekerja baru lama kerja tiap hari (jam) durasi normal (hari)
Dc
= durasi yang dipendekan (hari)
Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
63
up
= upah seluruh pekerja/hari tanpa pemendekan durasi (Rp)
Alternatif IV. Pemindahan Sebagian Pekerja dari Kegiatan lain diluar jalur kritis Asumsi-asumsi yang dapat digunakan pemendekan durasi dengan pemindahan sebagian tenaga kerja dari kegiatan lain diluar jalur kritis : a. Pekerja yang dipindahkan, keahliannya dan produktivitasnya sama dengan pekerja tetap pada kegiatan-kegiatan yang dipendekan durasinya. b. Tidak terjadi keterlambatan dari rencana pada kegiatan yang diambil tenaga kerjanya. c. Karena sebagian tenaga kerjanya diambil, durasi kegiatan akan terjadi lebih panjang. d. Kalau terjadi suatu keadaan dimana tidak mungkin lagi sebagian tenaga kerjanya dipindahkan, tenaga tambahan diambil dari luar. e. Untuk kegiatan yang tidak perlu ada tambahan tenaga kerja dari luar, tidak ada tambahan biaya akibat pemendekan durasi. f. Rumus pemendekan durasi dengan metode pemindahan sebagian tenaga kerja dari kegiatan lain yang tidak kritis: Y = {Tk (fs . upt + bn) + Pb . upb} Dc + (Dn – Dc) bt – (Dn – Dc)up
(4)
3. METODE PENELITIAN Studi Literatur dilakukan di awal proses penelitian, pendekatan survey lapangan dan teknik wawancara terbuka dengan pihak yang terlibat dalam perencanaan proyek, pelaksanaan proyek (kontraktor), dan pemilik proyek (owner) dilakukan. Hal ini dilaksanakan untuk mengindentifikasi akar masalah dari keterlambatan dan peningkatan biaya proyek. Analisa data dilakukan dengan deskriptif yang keluarannya berupa faktor-faktor penyebab perubahan desain, lama waktu pelaksanaan proyek, dan besarnya biaya kelambatan. Perencanaan ulang waktu pelaksanaan proyek (re-scheduling) mengunakan perhitungan metode Pemendekan Durasi dipakai sebagai alternatif pengurangan dampak kelambatan pelaksanaan proyek. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada awal pembangunannya proyek gedung DPR ini diperkirakan selesai sesuai rencana 14 bulan, namun setelah struktur kolom dan dinding selesai dan memulai kegiatan pembanguan struktur atap, kegiatan pembangunan mulai tersendat pengerjaannya, hal ini terjadi karena ada perubahan disain atap. Untuk pengerjaan atap, plafond dan instalasi listrik memerlukan tambahan 68 hari. Berdasarkan metode pemendekan durasi yang dilaksanakan pada kegiatan-kegiatan dilintasan kritis. Perhitungan peningkatan biaya akibat pemendekkan durasi dengan berbagai metode ditampilkan tabel 2 sampai dengan tabel 5. Tabel 2. Peningkatan Biaya Akibat Lembur (disusun dari Cost slope terkecil)
64
A
Tambahan Biaya Pemendekkan (Rp) 58.142.000
58.142.000
Pemendekkan Durasi (hari) 10
2
C
66.885.714
125.027.714
11
3
B
72.714.000
197.741.714
10
4
D
80.471.428
278.213.142
11
5
E
96.028.571
374.241.713
11
No
Pekerjaan
1
Akumulasi Biaya (Rp)
Total (hari)
53
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
Tabel 3. Peningkatan Biaya Akibat Kerja Shift (disusun dari cost slope terkecil)
A
Tambahan Biaya Pemendekkan (Rp) 10.428.000
10.428.000
Pemendekkan Durasi (hari) 10
2
C
13.557.142
22.752.675
11
3
B
12.324.675
36.309.817
10
4
D
14.600.000
50.909.817
11
5
E
14.600.000
65.509.817
11
No
Pekerjaan
1
Akumulasi Biaya (Rp)
Total (hari)
53
Tabel 4. Peningkatan Biaya Akibat Penambahan Tenaga Kerja Baru (disusun dari cost slope terkecil)
A
Tambahan Biaya Pemendekkan (Rp) 25.410.000
25.410.000
Pemendekkan Durasi (hari) 10
2
C
26.540.000
51.950.000
10
3
B
33.990.000
85.940.000
11
4
D
38.310.000
124.250.000
11
5
E
44.140.000
168.390.000
11
No
Pekerjaan
1
Akumulasi Biaya (Rp)
Total (hari)
53
Tabel 5. Peningkatan Biaya Akibat Pemindahan Sebagian Tenaga Kerja (disusun dari cost slope terkecil)
A
Tambahan Biaya Pemendekkan (Rp) 22.340.000
22.340.000
Pemendekkan Durasi (hari) 10
2
C
24.960.000
47.300.000
11
3
B
39.600.000
86.900.000
10
4
D
55.070.000
141.970.000
11
5
E
64.640.000
206.610.000
11
No
Pekerjaan
1
Akumulasi Biaya (Rp)
Total (hari)
53
Hasil yang diperoleh dari perhitungan peningkatan biaya akibat pemendekkan durasi dengan berbagai metode ditampilkan pada gambar 2. Dari gambar 2 dapat dilihat terjadinya peningkatan biaya akibat pemendekkan durasi pelaksanaan pekerjaan dari 68 hari menajdi 53 hari. Metode pemendekkan durasi yang menyebabkan peningkatan biaya terkecil adalah metode pemendekkan durasi dengan metode Peningkatan Biaya Akibat Kerja Shift. Dengan jumlah peningkatan biaya sebesar Rp. 65.509.817,-. Metode Peningkatan Biaya Akibat Kerja bergantian/Shift dengan peningkatan biaya setiap kegiatannya mempunyai cost slope lebih kecil pada semua kegiatan dari metode lainnya. Keterlambatan proyek dapat diminimalisir dengan melakukan perencanaan yang matang terhadap metode dan teknik kerja yang benar, serta kebutuhan peralatan yang sesuai dan baik, sehingga Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
65
Network Planning yang dibuat menjadi rasional dan efektif serta kecil kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan. METODE PEMENDEKAN DURASI
PENINGKATAN BIAYA (RUPIAH
400,000,000 374,241,713
350,000,000 300,000,000
278,213,142
250,000,000 200,000,000
206,610,000
197,741,714
168,390,000
150,000,000
141,970,000 124,250,000
125,027,714
100,000,000
Metode I Metode II Metode III Metode IV
86,900,000 85,940,000 58,142,000
50,000,000 0
25,410,000 22,340,000 10,428,000
0
0
51,950,000 47,300,000 22,752,675
10
20
50,909,817
36,309,817
30
40
50
65,509,817
60
DURASI (HARI)
Gambar 2. Grafik Peningkatan Biaya Akibat Pemendekkan Durasi
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Dari hasil pembahasan yang diperoleh dilakukan beberapa metoda untuk menganalisa dampak keterlambatan proyek. Berdasarkan hasil analisa, pemendekkan durasi yang dilakukan selama 53 hari kerja pada 4 (empat) uraian pekerjaan yang mengalami perubahan desain, peningkatan biaya yang terjadi sebagai berikut : 1) Pemendekkan durasi dengan kerja lembur meningkatkan biaya pelaksanaan sebesar tigaratus tujuh puluh juta rupiah. 2) Pemendekan durasi dengan kerja bergantian/shift meningkatkan biaya pelaksanaan sebesar enampuluh juta rupiah. 3) Pemendekkan durasi dengan menambah tenaga kerja baru meningkatkan biaya pelaksanaan sebesar seratus tujuh puluh juta rupiah. 4) Pemindahan sebagian pekerja dari kegiatan lain diluar jalur kritis meningkatkan biaya pelaksanaan sebesar dua ratus juta rupiah. Metode pemendekkan durasi yang menimbulkan tambahan biaya minimum adalah metode pemendekkan durasi dengan kerja bergantian/shift, bila diadakan penambahan waktu pelaksanaan akan meningkatkan biaya sebesar enampuluh juta rupiah. Aplikasi metode pemendekkan durasi ini efektifitasnya tergantung beberapa parameter antara lain; tenaga kerja, peralatan, waktu kerja, durasi kerja per orang, dan upah sesuai peraturan yang berlaku. 5.2. Saran Perubahan desain berpengaruh terhadap waktu dan biaya pelaksanaan proyek. Perencanaan awal yang telah matang dibuat dan dilaksanakan di lapangan dapat menjamin pengurangan resiko kelambatan pengerjaan. Bila terjadi perubahan disain, perlu diidentifikasi dan dianalisa risiko yang mungkin terjadi, serta persipan antisipasi dan solusi yang tepat untuk meminimalisir risiko yang bakal terjadi.
66
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Siti Aisyah, ST, Mardani Sebayang, MT dan rekan-rekan di Teknik Sipil Universitas Riau yang telah membantu penulis dalam survey lapangan, dan pengumpulan data.
DAFTAR PUSTAKA Dipohusodo, Istimawan,1996, Manajemen Proyek dan Konstruksi, Jilid 1,2 Kanisius, Yogyakarta Elmaghraby, S. 1977, Activity Network. Wiley, New York, USA. Saldjana, 1995. Studi Dampak Keterlambatan Proyek Terhadap Biaya, Thesis Program Pasca Sarjana, ITB. Soeharto, Imam., 1996, Manajemen Proyek , Jilid 1.2, Erlangga. Jakarta Sandhyavitri, A.2003. Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan, Modul Perkuliahan Teknik Sipil, Universitas Riau. Smith, N.S., 1999, Engineering Project Management, London: E & F Son Tamin Z Rizal., 1992, Pendekatan Probalistik Untuk Pemendekan jaringan Kerja, Vol 005. PP 33 – 45 Teknik Sipil ITB. W Wodhead, Ronald, Halpin, Daniel., 1998, Construction Management. Jhon Wiley, UK.
Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
67
Lampiran 1. 1. Analisa Perubahan Waktu Hasil analisa ini dapat dilihat dari perubahan waktu (time schedule) dengan membandingkan waktu rencana dengan waktu terjadinya akibat perubahan desain. Hasil pengamatan tersebut dapat dilihat terjadinya keterlambatan waktu selama 68 (enam puluh delapan) hari kerja. Perbandingan waktu rencana dengan waktu realisasi dapat dilihat pada table di bawah ini: Tabel L.1 Rencana Kerja dan Realisasi (keterlambatan) No
Kegiatan
1 2 3 4 5
Pekerjaan Struktur Baja Pekerjaan Penutup Atap Pekerjaan Listrik Pekerjaan Plafond Pekerjaan Tata Udara
Waktu Rencana (hari Kerja) 78 120 132 126 130
Waktu Realisasi (hari Kerja) 114 120 144 164 156
Keterlambatan (hari kerja) 36 12 38 26
Jumlah tukang 20 25 20 20 25
2. Analisa Perubahan Biaya Analisa Perubahan biaya ditinjau pada beberapa item pekerjaan yang mengalami dampak akibat perubahan desain. Perubahan biaya akibat perubahan desain dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel L.2 Daftar Analisa Perubahan Biaya Yang Ditinjau Pada Beberapa Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6
Kegiatan Pekerjaan Struktur Baja Pekerjaan Penutup Atap Pekerjaan Listrik Pekerjaan Plafond Pekerjaan Tata Udara Finish
Dari analisa diatas dapat dilihat bahwa terjadi perubahan biaya yang signifikan pada 5 kegiatan pekerjaan struktur, misalnya penambahan perkuatan struktur baja menimbulakan penambahan biaya sebesar Rp. 178,108,153.89. Kondisi ini menggambarkan terjadinya peningkatan biaya yang cukup besar akibat perubahan desain pada pekerjaan struktur baja. 3. Lintasan Kritis Kegiatan Rencana Awal Sesuai dengan network planning yang direncanakan untuk Proyek Pembanguna Gedung DPRD Provinsi Riau, lintasan kritis akan melalui kegiatan-kegiatan dibawah ini: Tabel L.3. Daftar Kegiatan Rencana Lingkaran Kegiatan 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6
Kode Kegiatan A B C D E F
Nama Kegiatan Pekerjaan Struktur Baja Pekerjaan Penutup Atap Pekerjaan Listrik Pekerjaan Plafond Pekerjaan Tata Udara Finish
Durasi (hari) 78 120 132 126 130 0
Dari tabel diatas dapat dibuat jaringan kerja (Network Planning), seperti yang digambarkan pada gambar L.3 dibawah ini: 68
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
C
4
330 330
5
324 324
132 D 1
0 0
A 78
2
78 78
B 120
198 3 198
126
6
330 330
E 130 6 328 328 Keterangan: Jalur Kritis Jalur Non Kritis
Gambar L.3 Jaringan Kerja (Network Planning) (Sesuai dengan network planning yang direncanakan) 4. Lintasan Kritis Pada Kelambatan 68 hari Sesuai dengan network planning yang direncanakan untuk kelambatan 68 hari Proyek Pembanguna Gedung DPRD Provinsi Riau, lintasan kritis akan melalui kegiatan-kegiatan dibawah ini: Tabel L4. Daftar Kegiatan Yang Mengalami Perubahan Desain Lingkaran Kegiatan 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6
Kode Kegiatan A B C D E F
Nama Kegiatan
Durasi (hari)
Pekerjaan Struktur Baja Pekerjaan Penutup Atap Pekerjaan Listrik Pekerjaan Plafond Pekerjaan Tata Udara Finish
114 120 144 164 156 0
Dari tabel diatas dapat dibuat jaringan kerja (Network Planning), seperti yang digambarkan pada gambar L.4. dibawah ini 4
C
378 378
144 D 1
0 0
A 114
2
114 114
B 120
3
234 234
164
5
398 398
6
398 398
E 156 6 390 390 Keterangan: Jalur Kritis Jalur Non Kritis
Gambar L.4. Jaringan Kerja (Network Planning)
Pengendalian Dampak Perubahan Desain Terhadap Waktu Dan Biaya Pekerjaan Konstruksi (Ari Sandyavitri)
69
5. Lintasan Kritis Pada Kelambatan 53 hari Setelah di re-desain kelambatan dikurangi dari 68 hari menjadi 53 hari, maka jaringan kerja dapat dilihat dalam Tabel L5. Tabel L5. Daftar Kegiatan Yang Mengalami Perubahan Desain Lingkaran Kegiatan 1-2 2-3 3-4 4-5 5-6
Kode Kegiatan A B C D E F
Nama Kegiatan
Durasi (hari)
Pekerjaan Struktur Baja Pekerjaan Penutup Atap Pekerjaan Listrik Pekerjaan Plafond Pekerjaan Tata Udara Finish
100 120 133 153 145 0
Dari tabel diatas dapat dibuat jaringan kerja (Network Planning), seperti yang digambarkan pada gambar L.5. dibawah ini
4
C
333 333
133 D 1
0 0
A 100
2
110 110
B 120
230 3 230
153
5
383 383
6
383 383
E 145 6 375 375 Keterangan: Jalur Kritis Jalur Non Kritis
Gambar L.5. Jaringan Kerja (Network Planning) . (Sesuai dengan network planning dengan kelambatan 53 hari)
70
Volume 9 No. 1, Oktober 2008 : 57 - 70
Konferensi Nasional Teknik Sipil 4 (KoNTekS 4) Sanur-Bali, 2-3 Juni 2010
STUDI PRAKTEK ESTIMASI BIAYA TIDAK LANGSUNG PADA PROYEK KONSTRUKSI Biemo W. Soemardi1 dan Rani G. Kusumawardani2 1
Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi – FTSL - ITB Email: [email protected] 2 Kelompok Keahlian Manajemen dan Rekayasa Konstruksi – FTSL - ITB Email: [email protected]
ABSTRAK Bagi kontraktor akurasi estimasi biaya merupakan hal penting yang akan menentukan berhasil tidaknya menang dalam penawaran dan mempertahankan eksistensinya dalam bisnis konstruksi. Praktek yang umum dilakukan oleh kontraktor dalam mengestimasi besarnya biaya tidak langsung adalah dengan menetapkan proporsi terhadap biaya langsung. Sementara estimasi terhadap biaya langsung konstruksi relatif lebih mudah dilakukan dan telah banyak dipelajari, hingga saat ini belum ada informasi yang cukup lengkap mengenai bagaimana kontraktor-kontraktor di Indonesia menetapkan besarnya estimasi biaya tidak langsung dalam penawaran mereka. Makalah ini membahas hasil kajian terhadap praktek estimasi biaya tidak langsung oleh kontraktor konstruksi, yang didasarkan atas hasil survei terhadap sejumlah responden yang mewakili kontraktor-kontraktor besar, menengah dan kecil di Bandung dan Jakarta. Studi ini dilakukan untuk memperoleh gambaran awal yang lebih mendalam mengenai karakteristik dan potensi pengembangan estimasi biaya tidak langsung yang dilakukan oleh kontraktor di Indonesia. Dengan mengetahui latar belakang dan mekanisme praktek estimasi biaya biaya tidak langsung yang saat ini diterapkan oleh para kontraktor diharapkan dapat dirumuskan suatu pendekatan estimasi biaya tidak langsung yang lebih akurat. Dari hasil survei tersebut diperoleh informasi mengenai sejauh mana pemahaman kontraktor terhadap fungsi, peran dan pentingnya estimasi biaya tidak langsung pada harga penawaran yang diajukan oleh masing-masing kategori kontraktor. Selain hasil survei tersebut, melalui analisis terhadap dokumen harga penawaran yang diajukan oleh kontraktor, studi ini juga telah berhasil merumuskan model hubungan biaya tidak langsung terhadap total biaya konstruksi untuk bangunan gedung bertingkat. Kata kunci: estimasi biaya, biaya tidak langsung, model hubungan estimasi biaya
1.
PENDAHULUAN
Biaya merupakan salah satu aspek penting, kalau tidak dapat dikatakan yang terpenting, dalam siklus kegiatan usaha dan industri konstruksi. Kontraktor yang tidak mempunyai pemahaman tentang komponen biaya, termasuk biaya tidak langsung akan meningkatkan risiko dan ekposure mereka terhadap kegagalan yang tidak perlu. (Shelton, 2002). Sebagai suatu bidang usaha yang dikategorikan beresiko tinggi, keberhasilan kegiatan-kegiatan konstruksi tentunya sangat peka terhadap perubahan biaya, dan hal ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan oleh para pelaku di bidang usaha tersebut. Dalam kondisi tersebut, maka kemampuan dan keberhasilan para kontraktor untuk bertahan dalam industri yang ketat persaingannya ini akan sangat tergantung pada sebaik apa mereka mampu mengatasi ketidakpastian, khususnya dalam aspek biaya. Keberhasilan kontraktor dalam persaingan ini tercermin dari kemampuannya memenangkan pelelangan dan menyelesaikan proyek-proyek konstruksi dengan tetap menghasilkan profit yang cukup. Secara umum keberhasilan kontraktor-kontraktor dalam menangani ketidakpastian biaya terletak pada sebaik apa mereka mampu menghasilkan estimasi biaya yang akurat. Sebagai pedoman, semakin akurat perkiraan biaya yang dihasilkan semakin berkurang risiko akibat perubahan biaya yang akan dihadapi. Dengan berkurangnya risiko tersebut, maka kontraktor dapat mengurangi biaya risiko, yang pada akhirnya dapat menghasilkan penawaran harga yang lebih kompetitif. Dalam melakukan penawaran dalam pelelangan, kontraktor memasukan harga penawaran yang terdiri dari komponen biaya langsung dan tidak langsung. AACE International (2004) memodelkan biaya sebagai susunan dari biaya langsung (direct cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost). Biaya langsung adalah elemen biaya yang memiliki kaitan langsung dengan volume pekerjaan yang tertera dalam item pembayaran atau menjadi komponen permanen hasil akhir proyek. Komponen biaya langsung terdiri dari biaya upah pekerja, operasi peralatan, material. Termasuk kategori biaya langsung adalah semua biaya yang berada dalam kendali subkontraktor. Biaya tidak langsung merupakan elemen biaya yang tidak terkait langsung dengan besaran volume komponen fisik hasil akhir proyek, tetapi mempunyai kontribusi terhadap penyelesaian kegiatan atau proyek. Elemen biaya ini umumnya tidak tertera dalam daftar item pembayaran dalam kontrak atau tidak dirinci. Yang termasuk
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 295
Biemo W. Soemardi dan Rani G. Kusumawardani
dalam kategori biaya tidak langsung antara lain adalah: biaya overhead, pajak (taxes), biaya umum (general conditions), dan biaya risiko. Biaya risiko adalah elemen biaya yang mengandung dan/atau dipengaruhi ketidakpastian yang cukup tinggi, seperti biaya tak terduga (contingencies) dan keuntungan (profit). Komponen biaya tak langsung proyek konstruksi dalam proses penawaran biasanya dimasukkan oleh kontraktor dalam setiap jenis pekerjaan. Kontraktor nasional di Indonesia pada umumya tidak melakukan identifikasi biaya tidak langsung secara detail sebelumnya. Kontraktor juga diyakini tidak memiliki mekanisme yang akurat dalam menentukan besarnya masing-masing variabel biaya tidak langsung. Penentuan alokasi biaya tidak tidak langsung yang biasa dilakukan adalah melalui presentase yang besarnya berbeda-beda, tergantung pengalaman kontraktor. Penetapan besarnya persentase ini juga dipengaruhi oleh persepsi risiko oleh kontraktor terhadap tiap jenis poyek, karena tiap proyek memiliki karakteristik tertentu dan ketidakpastian yang berbeda. Dalam menyikapi hal ini kontraktor-kontraktor di Indonesia cenderung tidak terlalu memperhatikan komponen biaya tidak langsung secara komprehensif dalam mengestimasi biaya konstruksi. Sebagai perbandingan, studi yang dilakukan oleh Tah et al (1994) menyimpulkan hal yang serupa, di mana dari tujuh perusahaan konstruksi yang disurvei kesemuanya menggantungkan pada kemampuan estimasi subyektif berdasarkan pengalaan yang lalu. Suatu survey pendahuluan yang melibatkan beberapa responden kontraktor di kota Bandung menunjukan bahwa meskipun mereka mengakui besarnya peran biaya tidak langsung dalam keberhasilan pelelangan, hampir seluruh responden menyatakan mereka tidak mempunyai mekanisme atau kiat-kiat khusus dalam melakukan estimasi biaya tidak langsung tersebut. Pada umumnya besarnya biaya tidak langsung ditetapkan sebagai proporsi (persentase) dari biaya langsung keseluruhan. Informasi mengenai bagaimana proporsi tersebut ditetapkan dan faktor apa saja yang dipertimbangkan tidak dapat dijelaskan. Berbagai kajian di atas perlu ditindaklanjuti dengan penelitian yang lebih mendalam dan lengkap untuk memperoleh gambaran yang lebih lengkap dan akurat tentang praktek estimasi biaya tidak langsung yang dilakukan oleh praktisi di industri konstruksi di Indonesia. Melalui gambaran tersebut dapat mencerminkan karakteristik pola estimasi biaya tidak langsung dari para pelaku konstruksi di Indonesia. Rumusan ini selanjutnya dapat digunakan untuk merumuskan strategi meningkatkan akurasi estimasi biaya nasional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kemampuan kompetisi kontraktor nasional.
2.
METODOLOGI STUDI
Studi ini dilakukan melalui pendekatan empiris di mana data studi dikumpulkan melalui dua mekanisme (Pradoto, 2009). Mekanisme pertama berupa survei untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pemahaman dan persepsi dari kontraktor mengenai komponen biaya tidak langsung. Tujuan dari mekanisme ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang ada tidaknya mekanisme atau pola tertentu yang dilakukan oleh kontraktor dalam melakukan estimasi biaya tidak langsung sebagai bagian dari perhitungan biaya konstruksi. Mekanisme kedua dilakukan melalui pengolahan analisis regresi harga penawaran kontraktor guna merumuskan model hubungan proporsi antara besarnya biaya tidak langsung terhadap nilai kontrak (indirect cost estimate relationship model). Melalui kedua mekanisme tersebut, diharapkan diperoleh informasi yang cukup komprehensif mengenai ada tidaknya kaitan antara pendapat responden dengan perilaku estimasi yang dilakukan dalam mengajukan penawaran.
Rancangan Kuesioner Instrumen survei disusun dalam bentuk kuisioner yang terdiri dari 4 Bagian, yaitu profil perusahaan dan responden, pemahaman kontraktor tentang biaya tidak langsung, mekanisme penetapan biaya tidak langsung, dan komponen biaya tidak langsung yang berpengaruh pada penawaran dan mekanisme penetapannya. Survei dilakukan dalam bentuk semi-intervew dimana responden diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan secara tertulis dan kemudian ditindaklanjuti dengan diskusi/wawancara untuk menggali lebih dalam informasi dari responden.
Profil Responden Responden pada studi ini berasal dari perusahaan-perusahaan kontraktor yang memiliki klasifikasi gedung dan kualifikasi berdasarkan Peraturan Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nomor 11a tahun 2008. Responden yang diikutsertakan dalam survei ini pada umumnya telah memiliki pendidikan dan pengalaman yang cukup di bidang konstruksi. Pemilihan kontraktor klasifikasi gedung didasarkan populasi dominan proyek-proyek konstruksi. Total responden yang terlibat dalam studi ini sebanyak 55 perusahaan yang terdiri dari 6 kontraktor kecil, 14 kontraktor menengah dan 35 kontraktor besar, baik kontraktor BUMN maupun swasta.
M - 296
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Studi Praktek Estimasi Biaya Tidak Langsung Pada Proyek Konstruksi
3.
HASIL SURVEI
Survei yang dilakukan terhadap responden diproyek konstruksi di wilayah kota Bandung Jakarta dikelompokan dalam dua kelompok besar, kelompok kontraktor kecil dan menengah dan kelompok kontraktor besar. Pembagian kelompok ini dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan pola dan mekanisme estimasi biaya tidak langsung di antara kedua kelompok tersebut.
Pemahaman Kontraktor Terhadap Biaya Tidak Langsung Kontraktor kecil, menengah dan besar umumnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai konsep biaya tidak langsung. Sebagian besar kontraktor mendapatkan informasi mengenai biaya tidak langsung karena merupakan bagian dari pekerjaan mereka. Hal ini berarti bahwa selain kontraktor besar, kontraktor kecil dan menengah juga sudah dapat mengidentifikasi komponen biaya apa saja yang termasuk ke dalam biaya tidak langsung. Identifikasi komponen biaya tidak langsung proyek konstruksi pada kontraktor kecil tidak sedemikian rinci seperti yang dilakukan oleh kontraktor menengah dan besar. Hal ini karena pengetahuan kontraktor besar mengenai biaya tidak langsung sudah lebih baik dilihat dari kemampuan personil divisi estimasi dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengestimasi biaya dengan menjadikan pengalaman sebagai parameter dalam ketajaman atau akurasi estimasi biaya tidak langsung.
Penting/Tidaknya Estimasi Biaya Tidak Langsung Estimasi biaya merupakan hal yang penting dalam dunia industri konstruksi. Ketidakakuratan dalam estimasi dapat memberikan dampak negatif pada seluruh proses konstruksi dan pihak yang terlibat. Estimasi biaya konstruksi dikerjakan sebelum pelaksanaan fisik dilakukan dan memerlukan analisis detail dan kompilasi dokumen penawaran dan lainnya. Jadi estimasi biaya merupakan suatu perkiraan yang paling mendekat pada biaya sesungguhnya. Sedangkan nilai sebenarnya dari suatu proyek tidak akan diketahui sampai suatu proyek terselesaikan secara lengkap. Estimasi biaya pekerjaan konstruksi biasanya memberikan indikasi tertentu terhadap biaya total proyek. Sebagian besar kontraktor kecil dan menengah menganggap bahwa melakukan estimasi biaya tidak langsung berpengaruh terhadap besar kecilnya keuntungan yang akan didapat sehingga mereka menganggap penting estimasi biaya tidak langsung. Berbeda halnya dengan kontraktor besar dimana mempunyai kesadaran pentingnya melakukan estimasi biaya tidak langsung dengan tujuan untuk mengantisipasi biaya risiko dan diharapkan nilai yang ditetapkan dapat bersaing sehingga dapat memenangkan proyek dan mendapat keuntungan. Jadi kontraktor besar cenderung lebih fokus dahulu dalam hal mengantisipasi biaya risiko.
Mekanisme Penetapan Biaya Tidak Langsung Hasil survei menunjukan bahwa sebagian besar kontraktor menetapkan biaya tidak langsung dengan nilai tertentu dimana pada kontraktor kecil nilai tersebut ditetapkan berdasarkan pertimbangan besarnya nilai proyek sedangkan pada kontraktor menengah dan besar menetapkannya berdasarkan pertimbangan terhadap risiko proyek, besarnya nilai proyek dan karakteristik proyek. Dapat dikatakan bahwa pertimbangan masing-masing kontraktor tersebut secara umum sama yaitu sesuai dengan tingkat risiko proyek. Besarnya nilai tertentu biaya tidak langsung pada kontraktor besar memiliki standar tersendiri diperusahaanya, yang ditetapkan berdasarkan beberapa hal, antara lain berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya dan perkiraan yang dilakukan oleh kontraktor. Kontraktor besar menghitung komponen biaya tidak langsung dengan nilai tertentu, dimana menghitung satu persatu komponen biaya tidak langsung sesuai dengan risiko proyek, nilai proyek dan karakteristik proyek yang pada akhirnya nilai tersebut dijadikan persentase terhadap biaya langsung sehingga setelah beberapa proyek di estimasi kontraktor dapat menemukan suatu nilai yang menjadi gambaran kasar berupa persentase biaya tidak langsung. Pada kontraktor menengah nilai tertentu diambil selain berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya juga berdasarkan standar tersendiri diperusahaannya seperti halnya kontraktor besar, namun tidak selengkap kontraktor besar terutama dalam hal inventarisasi data proyek terutama proyek-proyek yang khusus, dan pada akhirnya nilai tersebut dijadikan persentase terhadap nilai biaya langsung. Pada kontraktor kecil sebagian besar menetapkan nilai tertentu hanya berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya karena data historis proyek tidak terinventarisir dengan baik oleh perusahaan dan pada akhirnya nilai tersebut diambil berupa persentase secara umum terhadap biaya langsung untuk mempermudah penetapannya. Tidak teridentifikasi secara detail komponenkomponen biaya tidak langsung apa saja yang diperhitungkan, jadi hanya sebagai persentase perkiraan kasar yang sukses pada proyek yang pernah dikerjakan sebelumnya. Kontraktor menganggap bahwa mekanisme yang mereka lakukan sudah efektif karena adanya kesesuaian dengan risiko yang ditangani. Berdasarkan hasil wawancara, kontraktor menengah dan besar melakukan evaluasi terhadap biaya tidak langsung pada akhir proyek sehingga estimasi proyek berikutnya menjadi lebih baik. Sebagian besar
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 297
Biemo W. Soemardi dan Rani G. Kusumawardani
kontraktor membedakan mekanisme penetapan biaya tidak langsung. Faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaannya sebagian besar tergantung pada karakteristik proyek. Berdasarkan hasil wawancara, secara umum karakteristik proyek selain berupa bangunan gedung atau selain gedung juga berdasarkan luas proyek, lokasi proyek, jadwal (schedule), pihak-pihak yang terlibat dan kompleksitas proyek.
Pengendalian Biaya Tidak Langsung Sebagian besar kontraktor sudah melakukan pengendalian terhadap biaya tidak langsung dalam bentuk laporan keuangan. Hal ini menunjukan bahwa selain kontraktor besar, kontraktor menengah dan kecil pun sudah memahami pentingnya pencatatan pengendalian biaya tidka langsung. Hal ini dilakukan dengan membuat rekapitulasi pengeluaran dan pemasukan biaya proyek dalam bentuk yang lebih rinci, yaitu berupa laporan keuangan proyek sebagai bagian dari upaya pemantauan dan pengendalian terhadap biaya. Keterbatasan jumlah personil merupakan faktor utama mengapa kontraktor kecil tidak melakukan pengendalian terhadap biaya tidak langsung sedangkan untuk kontraktor menengah karena faktor keterbatasan waktu. Berdasarkan hasil wawancara, sebagian besar kontraktor menengah melakukan pengendalian biaya tidak langsungnya di kantor pusat, dimana besarnya biaya untuk suatu pekerjaan diberikan pada personil di lapangan. Sebaliknya upaya yang dilakukan oleh kontraktor besar untuk mengendalikan biaya tidak langsung sudah lebih sistematis. Personil, baik di lapangan maupun di kantor pusat melakukan evaluasi secara berkala terhadap laporan keuangan proyek sehingga mengurangi terjadinya penyimpangan yang signifikan. Kondisi umum lain yang turut berpengaruh pada besarnya biaya tidak langsung adalah eskalasi, suatu hal yang biasa terjadi pada proyek-proyek multiyear. Fluktuasi harga material mempunyai pengaruh yang terhadap proyek-proyek yang memiliki volume pekerjaan yang cukup besar. Lebih jauh lagi, apabila bahan atau material proyek pada proyek tersebut harus diimpor dari luar negeri, fluktuasi harga material akan sangat berpengaruh sebagai akibat iakibatkan inflasi dan nilai tukar rupiah.
Pengaruh Komponen Biaya Tidak Langsung Terhadap Penawaran Harga Dari hasil kuisioner diketahui bahwa besarnya komponen biaya tidak langsung yang dianggap signifikan pengaruhnya pada harga penawaran adalah komponen biaya tak terduga (contingency), keuntungan, overhead dan pajak-pajak. Selain itu bagi kontraktor besar komponen biaya asuransi dan jaminan (bond) juga dianggap besar perannya terhadap penetapan harga penawaran. Mekanisme penetapan besarnya masing-masing komponen tersebut juga ternyata tidak sama. Keuntungan, biaya tidak terduga (contingency), pajak, jaminan dan asuransi ditetapkan berdasarkan suatu proporsi (persentase) nilai tertentu terhadap nilai proyek, sementara besarnya biaya overhead ditetapkan dengan nilai nominal tertentu yang dihitung dari setiap komponen-komponen biaya overhead. Lebih lanjut, dari hasil survey juga diketahui bahwa seiring dengan pengalaman yang diperoleh, dalam mengestimasikan biaya overhead ini, kontraktor pada akhirnya akan menggunakan pendekatan prosentase biaya proyek.
4.
PEMODELAN ESTIMASI BIAYA TIDAK LANGSUNG
Pemodelan estimasi biaya tidak langsung dilakukan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Rencana Anggaran Biaya (RAB) kontraktor. Sementara kontraktor kecil dan menengah memberikan akses yang cukup terhadap data yang dibutuhkan, dengan alasan rahasia kontraktor besar tidak bersedia memberikan data RAB secara rinci. Untuk mengatasi hal tersebut model yang akan dibangun didasarkan pada data yang terbatas berupa nilai proyek dan total biaya tidak langsung, serta informasi lain yang berkaitan dengan karakteristik proyek bangunan seperti tahun pembangunan, lokasi, ukurna proyek dan sebagainya. Dari 33 data RAB yang relatif lengkap yang dapat dikumpulkan dari kontraktor kecil dan menengah dapat disimpulkaan hal-hal sebagai berikut: •
Komponen biaya untuk profit dan overhead disatukan dalam besarnya persentase terhadap biaya langsung yang disisipkan pada analisis harga satuan pekerjaan pada masing-masing item pekerjaan. Besarnya profit dan overhead tersebut sebagian besar ditetapkan 10%.
•
Identifikasi komponen biaya tidak langsung pada RAB kontraktor kecil menunjukan bahwa sebagian besar (86%) dialokasikan sebagai keuntungan maksimum 10%, listrik kerja atau genset, air kerja, pembersihan lokasi yang akan dikerjakan, mobilisasi/demobilisasi, dan direksi keet/gudang/los kerja.
•
berdasarkan identifikasi komponen biaya tidak langsung pada 33 data RAB kontraktor menengah menggunakan pareto chart didapat bahwa 90 % berupa direksi keet, gudang/los kerja, PPN, biaya administrasi dan perijinan, keuntungan maksimum 10 %, air keja, mobilisasi/demobilisasi, listrik kerja/genset, asuransi tenaga kerja,
M - 298
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Studi Praktek Estimasi Biaya Tidak Langsung Pada Proyek Konstruksi
peralatan dan perlengkapan K3, pembersihan lokasi yang akan dikerjakan, keuntungan maksimum 5 %, pagar pengaman proyek, keamanan, dan akses jalan sementara. Dari gambaran karakteristik pola estimasi komponen biaya tidak langsung kontraktor di atas dapat dijadikan rumusan untuk memperoleh suatu model. Pada awalnya data yang akan dijadikan pemodelan adalah data biaya aktual, namun karena hampir semua kontraktor yang di survei tidak bersedia memberikan data aktual maka yang digunakan untuk membuat model adalah data biaya pada Rencana Anggaran Biaya (RAB). Kemudian dari 45 data RAB kontraktor kecil dan menengah ada 5 diantaranya yang tidak dapat diolah karena terdapat data yang kurang lengkap. Untuk data RAB terbagi menjadi 2 kelompok yaitu 33 data proyek bangunan gedung dan 7 data proyek pembangunan rumah karena pada kontraktor kecil proyek yang dikerjakan tidak terlalu besar seperti rumah atau hanya sub pekerjaan dari pembangunan gedung dengan kata lain proyek yang dikerjakan tidak sebesar kontraktor menengah dan besar. Batas nilai satu pekerjaan untuk kontraktor kecil, menengah dan besar diambil berdasarkan Peraturan LPJK Nomor 11a tahun 2008. Karena model yang ingin dibuat adalah proyek bangunan gedung, maka untuk kontraktor kecil dan menengah hanya 33 data rencana anggaran biaya proyek bangunan gedung yang akan diolah lebih lanjut sedangkan pada kontraktor besar sebanyak 22 data proyek bangunan gedung. Model yang dihasilkan memiliki kecenderungan bentuk semakin besar nilai proyek maka semakin kecil nilai persentase biaya tidak langsung. bentuk kecenderungan seperti ini dikarenakan untuk mengakomodir penggunaan sumber daya (resource) yang sedikit akan mengakibatkan biaya tidak langsung yang cukup besar dibandingkan penggunaan resource yang banyak. Misalnya untuk membeli material dalam jumlah yang banyak harganya jauh lebih murah dibandingkan membeli dalam jumlah sedikit.
Gambar 1. Model hubungan biaya tidak langsung pada kontraktor kecil dan menengah Pada kontraktor menengah dan kecil, besarnya proporsi biaya tidak langsung terhadap nilai proyek relatif tetap pada kisaran 12% hingga 10% pada nilai kontrak hingga Rp 1 milyar dan mulai secara signifikan berkurang hingga 2% untuk nilai kontrak sebesar Rp 10 milyar.
Gambar 2. Model hubungan biaya tidak langsung pada kontraktor besar
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
M - 299
Biemo W. Soemardi dan Rani G. Kusumawardani
Pada kontraktor besar besarnya proporsi biaya tidak langsung relatif lebih rendah dibanding kontraktor menengah dan kecil. Hal ini tampaknya berkaitan dengan kemampuan yang lebih baik dari para kontraktor besar dalam mengantisipasi biaya-biaya yang berkaitan dengan risiko proyek. Besarnya proporsi sebesar 8% hingga 8% ini tampaknya ada kaitannya dengan jenis proyek gedung yang dibiayai sektor swasta. Sementara untuk kontraktor menengah dan kecil yang lebih banyak mengandalkan proyek-proyek pembangunan milik pemerintah, rasionya berada dikisaran 10%, kemungkinan dipengaruhi pola format penawaran proyek pemerintah yang mengal yang mengalokasikan tambahan sekitar 10% terhadap biaya langsung.
4.
KESIMPULAN
Berdasarkan survey terbatas ini secara umum dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan karakteristik antara kontraktor kecil, menengah dan besar dalam menyikapi biaya tak langsung pada proyek konstruksi. Meskipun mengakui pentingnya pemahaman terhadap biaya tak langsung, pemahaman kontraktor kecil tentang biaya tidak langsung belum serinci dan sekomprehensif yang dipahami oleh kontraktor menengah dan besar. Penetapan biaya tidak langsung pada kontraktor besar didasarkan pada nilai standard tersendiri di masing-masing perusahaan yang pada ditetapkan berdasarkan 2 (dua) hal, yakni berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya dan perkiraan risiko yang oleh kontraktor. Sebenarnya kontraktor besar sudah berupaya mengidentifikasi secara terpisah elemen-elemen biaya tidak langsung pada proyek-proyek sebelumnya, namun pada akhirnya dengan alasan praktis data ini diakumulasikan secara sederhana menjadi presentase biaya langsung. Pada kontraktor menengah besarnya nilai tertentu diambil selain berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya juga berdasarkan standar tersendiri diperusahaannya seperti halnya kontraktor besar. Namun berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kontraktor besar, kontraktor menengah menetapkannya terutama berdasarkan kelengkapan inventarisasi data proyek sebelumnya, terutama proyek-proyek yang khusus dan tingkat pengalaman serta sumberdaya manusia berupa tenaga ahli yang terbatas di perusahaan. Sama halnya dengan kontraktor besar pada akhirnya nilai tersebut dijadikan persentase terhadap biaya langsung. Pada kontraktor kecil sebagian besar menetapkan nilai tertentu hanya berdasarkan pengalaman proyek sebelumnya karena data historis proyek tidak terinventarisir dengan baik oleh perusahaan dan pada akhirnya nilai tersebut diambil berupa persentase secara umum terhadap biaya langsung untuk mempermudah penetapannya. Tidak teridentifikasi secara detail komponen-komponen biaya tidak langsung apa saja yang diperhitungkan, jadi hanya sebagai persentase perkiraan kasar yang sukses pada proyek yang pernah dikerjakan sebelumnya. Upaya menggambarkan hubungan antara biaya tidak langsung terhadap nilai proyek menunjukan adanya kecenderungan yang sama antara apa yang dilakukan oleh kontraktor besar, menengah atau pun kecil. Semakin besar nilai kontrak semakin kecil besarnya proporsi atau presentasi biaya tidak langsungnya. Hal ini membuktikan bahwa ada perilaku optimisme pada kontraktor-kontraktor tersebut terhadap besarnya biaya tidak langsung. Perbedaan yang ada hanya pada besarnya presentase dan jangkauan nilai kontrak. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya ada basis besaran nominal biaya tidak langsung yang ada pada setiap nilai kontrak dan tambahan biaya lain yang besarnya menurun seiring dengan penambahan nilai kontrak. Apa yang terungkap di atas measih merupakan cerminan terbatas pada proyek-proyek gedung, yang mayoritas merupakan proyek-proyek swasta. Gambaran lebih lengkap akan diperoleh bila studi mencakup proyek-proyek nongedung dan dengan anggaran dana masyarakat atau pemerintah, yang pola estimasinya juga terikat pada ketentuan perundangan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA AACE International (2004). Skills & Knowledge of Cost Engineering, 5th edition, AACE International, Morgantown, West Virginia, USA. Pradoto, R.G.K. (2009), Studi Estimasi Komponen Biaya Tidak Langsung Proyek Konstruksi, Laporan Akhir Penelitian Hibah Bersaing XIII, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdiknas. Shelton, F. (2002), Indirect Costs of Contracts, Journal of Construction Accounting and Taxation, 4, 3-9. Tah, J., Thorpe, A., McCaffer (1994), A survey of indirect cost estimating in practice, Journal of Construction Management and Economics, 12, 31-36.
M - 300
Universitas Udayana – Universitas Pelita Harapan Jakarta – Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Productivity Scheduling Method: Linear Schedule Analysis with Singularity Functions By Gunnar Lucko1, A.M.ASCE 1
Assistant Professor, Department of Civil Engineering, The Catholic University of America, Washington, DC 20064, [email protected]. Abstract This paper describes a new integrated method of linear schedule analysis using singularity functions. These functions have previously been used for structural analysis and are newly applied to scheduling. Linear schedules combine information on time and amount of work for each activity. A general model is presented with which activities and their buffers can be mathematically described in detail. The algorithm of the new method forms the body of the paper, including the steps of setting up initial equations, calculating pairwise differences between them, differentiating these to obtain the location of any minima, and deriving the final equations. The algorithm consolidates the linear schedule under consideration of all constraints and thus automatically generates the minimum overall project duration. The model distinguishes time and amount buffers, which bears implications for the definition and derivation of the critical path. Future research work will address float and resource analysis using the new model. CE Database Subject Headings: Scheduling, critical path method, definitions, symbols, network analysis, geometry, linear analysis, time dependence, location Introduction Linear scheduling is a project management technique that creates a schedule in a coordinate system with a time axis and an axis that displays the amount of work that has been produced. Values on both axes are cumulative. The progression of several activities yields a collection of inclined lines in the graphical representation of the linear scheduling method (LSM). Their ratio of work per time is proportional to their productivity. Related concepts are known under various names, including vertical production method (O’Brien 1975), velocity diagram (Dressler 1980), time space scheduling method (Stradal and Cacha 1982), line-of-balance (Arditi and Albulak 1986), linear scheduling method (Chrzanowski and Johnston 1986), flow lines (Russell and Wong 1993), linear scheduling model (Harmelink and Rowings 1998), repetitive scheduling method (Harris and Ioannou 1998), and several others. While each of these approaches differ somewhat in their focus, terminology, and analysis steps, they have in common particularly the two-dimensional nature of the schedule that integrates time and amount, the ability to enforce the continuity of activities to optimize resource use, if desired, and the ability to identify conflicts between activities, e.g. physical interferences, wherever lines touch or cross in the diagram. Three types of projects where linear scheduling is applied are identified in the literature, which include geometrically linear projects, either horizontal such as e.g. highways, tunnels, and pipelines (Arditi et al. 2002), or vertical such as e.g. high-rises and towers (Thabet and Beliveau 1994), and projects with repetitive operations (Hegazy 2001). The latter and the first two may overlap. Well-balanced operations have parallel lines (Stradal and Cacha 1982); effects of learning (Arditi et al. 2001) or tiring would be visible as concave or convex curved lines. The amount axis is sometimes called location axis if it represents a spatial dimension and not just a count. It may be drawn vertically to mimic the height of the facility that is under construction.
1
Need for Algorithm A detailed review and critiqued of approaches to linear scheduling has been provided by Mattila and Abraham (1998). Various different analytical methods were employed, including vector notation (Russell and Caselton 1988), linear programming (Reda 1990), and dynamic programming (Moselhi and Hassanein 2003). Predominantly graphical methods were presented by Harmelink and Rowings (1998) under research for the Iowa Department of Transportation and by Harris and Ioannou (1998). While they yielded similar results, it was concluded that “the techniques must be computerized in order to become useful and gain acceptance by the industry” (Mattila and Park 2003, p63). However, computerization alone in form of a software application may not be sufficient to elevate linear scheduling from being eclipsed by the critical path method (CPM), which is ubiquitous in construction scheduling (Galloway 2006). For an updated approach on linear scheduling to be successful, certain desirable attributes need to be fulfilled, including “that the model be mathematically based”, which ideally should be independent of the particular graphical representation, that it provide at least the analytical capabilities of CPM, and that it use terminology that is familiar from CPM (Russell and Wong 1993, p198f). Mattila and Abraham (1998, p301) underlined that “a need exists to expand the features of LSM to include some of the features of CPM.” However, in light of the popularity of the straightforward CPM algorithm that adds durations along paths of precedence and selects the maximum value at each merge, a new linear scheduling algorithm should not require advanced mathematics knowledge. This paper therefore adds to the body of knowledge by introducing a mathematical model of linear schedules based on singularity functions and describes its analytical algorithm that needs only algebra and basic calculus. The method is flexible and expansible, yet precise and inclusive. Definition of Singularity Functions The mathematical operator of singularity functions is known in German as the Föppl or Klammer (translated: bracket) symbol after August Otto Föppl (1854-1924), a civil engineer and professor at the Technical University of Munich (Föppl 1927). In English it is known as Macaulay brackets after William Herrick Macaulay (1853-1936), a mathematician and Fellow of King’s College in Cambridge (Macaulay 1919). Singularity functions have originally been used for structural engineering analysis of beams under complex loads (Beer et al. 2006). Equation 1 gives the basic term of singularity functions, written with pointed brackets as introduced by Wittrick (1965). ⎧ 0 for x < a n x−a =⎨ Eq. 1 n ⎩( x − a ) for x ≥ a where x is the variable under consideration, a is the upper boundary of the current segment, and the exponent n is the order of the phenomenon that changes at the end of the segment. The exponential rule a0 = 1 applies to the brackets. Equations 2 and 3 describe how the brackets can be differentiated and integrated like regular mathematical functions. d n n −1 x − a = n⋅ x − a Eq. 2 dx 1 n n +1 Eq. 3 ∫ x − a dx = n +1 ⋅ x − a + C where C is an integration constant. Beyond Equations 1 through 3 the following rules apply: Parts of two singularity functions can be added or subtracted if the cutoff a and exponent n are identical. A singularity function can be multiplied by any factor s to scale it. An exponent of n =
2
0 indicates a constant phenomenon where s is the intercept and n = 1 indicates a linear phenomenon where s is the slope. Advantages of Singularity Functions Singularity functions are a family of functions with several mathematical properties that are desirable for the description and analysis of linear schedules: • They describe the phenomenon of interest based on geometry; • They separate the components of the phenomenon of interest; • They capture any changes in progress across time and amount; • They can include infinitely many segments of different behavior; • They are continuous and their value is defined for all arguments; • They can be scaled with any factor and are independent of units; • They can be added or subtracted for identical orders and cutoffs; • They can be differentiated and integrated like regular functions; • They can be evaluated manually or via computer software. General Model for Singularity Functions The following section introduces the terminology and general model for applying singularity function to linear schedules of construction projects. This author proposes to name the new method the Productivity Scheduling Method (PSM) to reflect its intuitive way of combining time and amount information via the measure that links them, productivity. Equation 4 provides the general model for modeling linear and repetitive activities and their buffers with the FöpplMacaulay notation, which is shown in Figure 1. ⎤ m − 1 ⎡⎛ y y yk − yk −1 ⎞ y − y0 0 1 k +1 − k ⎟ ⋅ x − xk 1 ⎥ y(x ) = y0 ⋅ x − 0 + 1 Eq. 4 ⋅ x − 0 + ∑ ⎢⎜ − ⎟ k =1 ⎜ x x1 − x0 ⎣⎢⎝ k + 1 − x k x k − x k − 1 ⎠ ⎦⎥ where y is the time variable of an activity with m segments, x is the amount variable x, y0 is the intercept, and yk and xk are pairs of coordinates with the numbering index k. The summation term contains change terms where the present slope yk / xk is replaced with a new slope yk+1 / xk+1. The buffer of an activity shall be defined as a distance across time or amount that has to remain free of any successor activities. It can theoretically take on any shape, but often is a constant and thus has the same shape as the activity to which it is attributed. A pair of activities thus is typically related via a buffer between them. Such continuous buffers are a generalization of the previous use where distances were only checked at isolated points between neighboring activities (Harris and Ioannou 1998). Those buffers were called horizontal and vertical logic constraints (Thabet and Beliveau 1994), least distances (Harmelink and Rowings 1998), or time and space dependencies (Arditi et al. 2002). Amount buffers were also called stage buffers (Reda 1990) or location buffers (Mubarak 2005).
Algorithm of Productivity Scheduling Method The following sections detail each step of the algorithm for the new method as shown in the flowchart of Figure 2. The paper then describes how the equivalent of a critical path can be derived from the mathematical analysis.
3
Step 1: Capture Schedule Data Figure 3 shows a linear schedule that was analyzed under research for the Iowa Department of Transportation (Harmelink and Rowings 1998). Since time can only progress forward, the algorithm requires that it is considered the dependent variable y. To reflect this mathematical convention, the amount is plotted on the x-axis and time on the y-axis. This causes the slope to represent the inverse of the productivity P, which is defined as amount over time. However, the mathematical model is separate from the graphical representation. If desired, the time axis can be drawn along the horizontal axis. Numeric values for time and amount and their buffers were not provided in the original source and have been derived from the diagram in the original source (Harmelink and Rowings 1998). Activities A through F are performed in a sequential order of precedence {A, B, C, D, E, F}. All activities are continuous full-span linear activities (Harmelink and Rowings 1998). Activities C, E, and F each consist of two segments with changes of productivities between them, from lower to higher for C1 to C2 and from higher to lower for E1 to E2 and for F1 to F2. The exact parameters are listed in Table 1, with the time distance DT in days, the amount distance DA in length units, and the time and amount buffers BT and BA. Compare this schedule with the simple network diagram in Figure 4. The richness of the two-dimensional information in linear schedules will allow for a deeper analysis than what is possible under CPM.
Step 2: Initial Activity and Buffer Equations Activities A through F are described in Föppl-Macaulay notation in Equations 5 through 10. For clarity, the brackets are sorted from left to right by ascending segment boundaries and within that by ascending exponents. The initial equations are generated by following the order of precedence and by inserting the buffers of Table 1 between neighboring activities. The maximum value of y(x) of all predecessors is used as the intercept of the successor. This initial configuration is on the safe side, as it keeps the successor high above its predecessors without any potential interference. It is analogous to only permitting finish-to-start relationships in CPM. Figure 5 shows this stacking of activities. Buffers are shown as gray shaded areas in the figure.
Equations 5 through 10 are the singularity functions for the activities under consideration of their time buffers, which act in the vertical direction. The start and finish dates of the equations are listed in Table 2. The time buffer equations are omitted for brevity, but can be recreated by adding their BT to the intercept of their activity equation. The equivalent activity equations under consideration of the amount buffers are also omitted, but their respective start and finish dates are listed in Table 3. Activity F is the last activity and does not carry any buffers. The simple case of a constant buffer as per Table 1, which is added to the intercept of its activity equation, can be extended to the general case of a buffer equation whose shape is entirely independent from its activity. Step 2 would then alternate between activity and buffer equations. 7 0 1 y(x ) A = 0 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 Eq. 5 50 4 0 1 Eq. 6 y ( x )B = 8 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 50
4
6 1 1 ⎛ 6 1⎞ ⋅ x − 0 − ⎜ − ⎟ ⋅ x − 35 35 ⎝ 35 15 ⎠ 7 0 1 y ( x )D = 21.9 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 50 1 0 1 1 ⎛ 1 4 ⎞ y ( x )E = 30.7 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⎜ − ⎟ ⋅ x − 30 30 ⎝ 30 20 ⎠ 3 0 1 1 ⎛ 3 3⎞ y ( x )F = 38.7 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⎜ − ⎟ ⋅ x − 40 40 ⎝ 40 10 ⎠
y ( x )C = 13 ⋅ x − 0 + 0
Eq. 7 Eq. 8 Eq. 9 Eq. 10
Simplifying Amount Buffer Equations Amount buffers act in the horizontal direction, which is equivalent to shifting the singularity functions for their activities sideways by the value BA. Equation 11, for example, includes the shift of Δx = 12.5 in the xk values and by deducting it from the maximum value of x to describe where the plateau of the amount buffer begins. Similar equations for the remaining amount buffers are omitted for brevity. 0
1
1
7 7 50 ⎞ ⎛ 50 ⎞ ⎛ 50 ⎞ ⎛ y ( x )buf A = 0 ⋅ x − ⎜ − ⎟ + ⋅ x − ⎜ − ⎟ − ⋅ x − ⎜ 50 − ⎟ Eq. 11 50 50 4⎠ ⎝ 4⎠ ⎝ 4⎠ ⎝ It is possible to simplify such unwieldy amount buffer equations to cover only positive values of x. Equations 12 through 16 therefore have slightly larger intercepts. They retain the last term of xmax - Δx to describe the plateaus. Ratios are simplified to the smallest integer fraction. 7 7 0 1 1 BA y ( x )buf A = 1.75 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⋅ x − 37.5 Eq. 12 50 50 4 4 0 1 1 BA Eq. 13 y ( x )buf B = 8 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⋅ x − 37.5 50 50 1 1 653 6 11 150 1 255 0 1 BA y ( x )buf C = ⋅ x−0 + ⋅ x−0 − ⋅ x− − ⋅ x− Eq. 14 49 35 105 7 15 7 BA
7 7 260 1 y ( x )buf D = 19.8 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⋅ x − 50 50 7 BA
y ( x )buf E BA
1
0
232 1 1 20 0 1 = ⋅ x−0 + ⋅ x−0 + ⋅ x− 9 30 6 3
1
Eq. 15
1 80 − ⋅ x− 5 3
1
Eq. 16
Step 3: Differences of Activities and Buffers Pairwise differences are calculated between the time and/or amount buffers of all predecessors and their successor activity while following the order of precedence. In other words, these difference equations describe the white spaces in Figure 5. If an activity has several predecessors, the minimum of these differences is used. The rule applies that the terms of two singularity functions can be added or subtracted if their orders and cutoffs are identical. This yields Equations 17 through 21 under consideration of time buffers and Equations 22 through 26 under consideration of amount buffers. Note that the intercept values that are obtained from
5
Tables 2 and 3 are somewhat different between the two groups. However, in determining the distances only the overall shape of the difference equation matters. Time Buffers
3 1 ⋅ x−0 50 11 0 1 1 ⎛ 6 4⎞ BT ⋅ x − 35 y ( x )C − buf B = 5 ⋅ x − 0 + ⎜ − ⎟ ⋅ x − 0 − 105 ⎝ 35 50 ⎠ 11 0 1 1 ⎛ 7 6⎞ BT ⋅ x − 35 y ( x )D − buf C = 8.9 ⋅ x − 0 + ⎜ − ⎟ ⋅ x − 0 + 105 ⎝ 50 35 ⎠ 1 0 1 1 ⎛ 1 7 ⎞ BT y ( x )E − buf D = 8.8 ⋅ x − 0 + ⎜ − ⎟ ⋅ x − 0 + ⋅ x − 30 6 ⎝ 30 50 ⎠ 1 9 0 1 1 ⎛ 3 1 ⎞ BT y ( x )F − buf E = 8 ⋅ x − 0 + ⎜ − ⎟ ⋅ x − 0 − ⋅ x − 30 + ⋅ x − 40 6 40 ⎝ 40 30 ⎠
y ( x )B − buf A = 8 ⋅ x − 0 − 0
BT
Eq. 17 Eq. 18 Eq. 19 Eq. 20 1
Eq. 21
Amount Buffers
3 7 1 1 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 37.5 50 50 16 11 4 0 1 1 1 BA ⋅ x−0 − ⋅ x − 35 + ⋅ x − 37.5 y ( x )C − buf B = 3 ⋅ x − 0 + 175 105 50 1 229 11 11 150 1 255 0 1 BA ⋅ x−0 − ⋅ x−0 + ⋅ x− + ⋅ x− y ( x )D − buf C = 49 350 105 7 15 7 y ( x )B − buf A = 5.25 ⋅ x − 0 − 0
BA
8 1 7 260 1 1 y ( x )E − buf D = 5.2 ⋅ x − 0 − ⋅ x − 0 + ⋅ x − 30 + ⋅ x − 75 6 50 7 BA
y ( x )F − buf E BA
Eq. 22 Eq. 23 1
Eq. 24
1
0
38 1 1 20 0 1 = ⋅ x−0 + ⋅ x−0 − ⋅ x− 9 24 6 3
1
1 80 + ⋅ x− 5 3
Eq. 25
1
+
9 ⋅ x − 40 40
1
Eq. 26
Step 4: Differentiation of Differences The equations of the pairwise differences are differentiated using Equation 2. Equation 27 is the derivative of Equation 17; Equation 28 is the derivative of Equation 22; the remaining derivatives are omitted for brevity. Evaluating them cumulatively across the range of positive values of x from zero to its maximum allows identifying minima where the difference is concave, i.e. where the differentiated difference changes its sign from negative to positive. Depending on whether the neighboring activities overall are diverging or converging (Harris and Ioannou 1998), the boundaries x = 0 or x = xmax are also locations of potential minima. Such critical points where activities touch via their buffers were also called vertices (Harmelink and Rowings 1998). The x-coordinates of the critical points are listed in Tables 2 and 3 along with the distances Δy between the buffers of the respective activity segments and the successor activity. Note that the time buffer of activity E is closest to activity F in two locations, for x = 0 and for x = 40. 3 0 ′ BT Eq. 27 y ( x ) B − buf A = 0 − ⋅ x − 0 50
6
y ( x )' BA B − buf A = 0 −
3 7 0 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 37.5 50 50
0
Eq. 28
Step 5: Final Activity and Buffer Equations All activity and buffer equations are consolidated to their earliest possible configuration by deducting the differences of Tables 2 and 3 from their intercepts cumulatively while following the order of precedence. Activity A is the first activity and does not need to be rewritten. Shifting the singularity functions of Equations 6 through 10 and their respective time or amount buffers downward by the sum of Δy to yield the final Equations 29 through 33 accomplishes the objective of minimizing the overall project duration (makespan). The final time and amount buffer equations are omitted for brevity, but can be recreated as described above. Evaluating these equations yields the start and finish points listed in Table 4. 4 0 1 Eq. 29 y ( x )B = 4 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 50 6 11 0 1 1 y ( x )C = 5 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 − ⋅ x − 35 Eq. 30 35 105 7 0 1 y ( x )D = 8 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 Eq. 31 50 1 1 0 1 1 Eq. 32 y ( x )E = 13 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 + ⋅ x − 30 30 6 3 9 0 1 1 y ( x )F = 16 ⋅ x − 0 + ⋅ x − 0 + ⋅ x − 40 Eq. 33 40 40 The mathematical analysis as formulated under this algorithm is independent of the graphical representation of the linear schedule, whether the x-axis is drawn horizontally or vertically. Essentially, the previous application of the algorithm has analyzed two different schedules, which happened to yield the same final configuration of activities. A mixture of time and amount buffers inside a single project schedule can be processed by the algorithm in the same manner, as both types of buffers are modeled with singularity functions. If an activity has both types of buffers a case distinction is needed to ensure that all constraints are fulfilled. In this case Steps 2 through 5 shall use whichever buffer yields the maximum intercept for a successor activity.
Time and Amount Critical Paths With the activities and their buffer in their final configuration, it is now possible to construct the equivalent of a critical path under consideration of the scenario with time buffers as per Table 2 and the scenario with amount buffers as per Table 3. The following rules are used for connecting the critical locations to obtain the critical path for the scenarios with time or amount buffers: • It is continuous from earliest start point to latest finish point; • it follows the order of precedence and may split or merge; • it may include complete activities or segments thereof; • it jumps parallel to the time axis across time buffers; • it jumps parallel to the amount axis across amount buffers. The time and amount critical paths thus obtained are shown in Figures 6 and 7 as thick lines in the linear schedule. Critical points are marked with small circles. Several interesting observations can be made. Examining the figures shows that critical points may occur at starts, changes, or
7
finishes of activities. For example, in Figure 6 the change in activity C at x = 35 induces a time critical point with its neighboring activity D. There is no equivalent relationship for such “middle-to-middle” link in CPM. Moreover, the previously observed two closest locations at x = 0 and x = 40 causes the time critical path to split and merge again between the two activities E and F already. Activities A and B are connected by a finish-to-finish link whereas activities B and C are connected by a start-to-start link. Activity B is therefore fully time critical, same as activities A and F. Activities C, D, and E are only partially time critical across segments whose boundaries are induced by time critical points. The amount critical path shown in Figure 7 is significantly different. It does not split at all. Only activity A is fully amount critical, all others are partially amount critical. The boundaries at which they change from being non-critical to critical and vice versa in Figure 7 are completely different from Figure 6. It is therefore prudent to distinguish time and amount criticality for activities in linear schedules.