LAPORAN TUTORIAL MODUL I SISTEM ENDOKRIN DAN METABOLISME ‘’
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
TUTOR
: dr. Ida Royani, M.kes
MUH. ARDIANSYAH MADARZA SANTRI ADZTI ST AINULHAYATI M ZEN SRI AYU HANDAYANI HELDI JAFAR YANSARI KURNIATI FAJARYANTO NURUL INSYIRAH RAHMAWATI S GHINA SALSABILA RURAY ANDI NURQALBY TSM MARWANI
110 211 0063 110 213 0002 110 213 0009 110 213 0029 110 213 0041 110 213 0045 110 213 0064 110 213 0087 110 213 0108 110 213 0117 110 213 0133
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2015
1) Anatomi, histologi, fisiologi
Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya, berikut bagian bagian mata : 1. Organ luar a. Bulu mata b. Alis mata c. Kelopak mata (palpebra) 2. Organ dalam a. Kornea b. Sclera c. Pupil d. konjungtiva e. Iris f. Corpus ciliaris
g. Lensa h. Retina
Fisiologi penglihatan
Histologi mata
Kornea
Retina
a. Mata secara mikroskopik : 1.
tunika fibrosa terdiri dari kornea dan sclera
2. Tunika vaskulosa terdiri dari koroid, korpus siliaris dan iris 3. Tunika interna = retina
b. Kornea Merupakan membrane transparan avaskuler, terdapat pada bagian depan mata, bagian tepinya disebut limbus kornea, bagian tengah tebalnya 0,5 mm dan tepi 0,7 mm. terdiri dari 5 lapisan yaitu: 1. Epitel kornea anterior 2. Membrane bowman 3. Stroma kornea 4. Membrane desemen 5. Epitel kornea posterior
c. Koroid Merupakan lapisan tipis yang warnanya gelap terletak antara sclera dan retina ke sebelah depan melanjutkan diri sebagai ora serrata dan kemudian menjadi korpus siliaris.
1. Lamina supra koroid 2. Stroma koroid 3. Koriokapiler
d. Retina Terdiri dari 10 lapisan: 1.
Lap. epitel pigmen
2.
Lap. Sel batang & kerucut
3.
Membrana limitan eksterna
4.
Lap. nuklear luar
5.
Lap. pleksiform luar
6.
Lap. nuklear dalam
7.
Lap. pleksiform dalam
8.
Lap. sel-sel ganglion
9.
Lap. serabut-serabut saraf
10. Membrana limitan interna
e. Palpebra Terdiri dari lapisan-lapisan 1. Kulit 2. Lap. Subkutan 3. Lap. Otot 4. Tarsus dan septum orbita
Referensi :
Atlas Anatomi Manusia, Sobotta, jilid 1, edisi 21.egc. 2003. hal: 367.
Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia dari sel ke sis tem. Ed.8. egc. 2014. 212-214.
Mescher, Anthony L. Histologi Dasar Junqueria. Ed.12. egc.2011. hal ;405,407 dan 405
2) Hubungan riwayat DM dengan penglihatan kabur SKEMA PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK
Patofisiologi Retinopati Diabetik
Mekanisme terjadinya RD masih belum jelas, namun beberapa studi menyatakan bahwa hiperglikemi kronis merupakan penyebab utama kerusakan multipel organ. Komplikasi hiperglikemia kronis pada retina akan menyebabkan perfusi yang kurang adekuat akibat kerusakan jaringan pembuluh darah organ, termasuk kerusakan pada retina itu sendiri. Terdapat 4 proses biokimiawi yang terjadi pada hiperglikemia kronis yang diduga berhubungan dengan timbulnya retinopati diabetik, antara lain:
1)
Akumulasi Sorbitol
Produksi berlebihan serta akumulasi dari sorbitol sebagai hasil dari aktivasi jalur poliol terjadi karena peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase yang terdapat pada jaringan saraf, retina, lensa, glomerulus, dan dinding pembuluh darah akibat hiperglikemi kronis. Sorbitol merupakan suatu senyawa gula dan alkohol yang tidak dapat melewati membrana basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah yang banyak dalam sel. Kerusakan sel terjadi akibat akumulasi sorbitol yang bersifat hidrofilik sehingga sel menjadi bengkak akibat proses osmotik. Selain itu, sorbitol juga meningkatkan rasio NADH/NAD + sehingga menurunkan uptake
mioinositol.
Mioinositol
berfungsi
sebagai
prekursor
sintesis
fosfatidilinositol untuk modulasi enzim Na-K-ATPase yang mengatur konduksi syaraf. Secara singkat, akumulasi sorbitol dapat menyebabkan gangguan konduksi saraf. Percobaan pada binatang menunjukkan inhibitor enzim aldose reduktase (sorbinil) yang bekerja menghambat pembentukan sorbitol, dapat mengurangi atau memperlambat terjadinya retinopatik diabetik. Namun uji klinik pada manusia belum menunjukkan perlambatan dari progresifisitas retinopati.
2)
3, 5, 6
Pembentukan protein kinase C (PKC)
Dalam kondisi hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel vaskular meningkat akibat peningkatan sintesis de novo dari diasilgliserol, yang merupakan suatu regulator PKC dari glukosa. PKC diketahui memiliki pengaruh terhadap agregasi
trombosit,
permeabilitas
vaskular,
sintesis growth
factor dan
vasokonstriksi. Peningkatan PKC secara relevan meningkatkan komplikasi diabetika, dengan mengganggu permeabilitas dan aliran darah vaskular retina. Peningkatan permeabilitas vaskular akan menyebabkan terjadinya ekstravasasi plasma, sehingga viskositas darah intravaskular meningkat disertai dengan peningkatan agregasi trombosit yang saling berinteraksi menyebabkan terjadinya
trombosis. Selain itu, sintesis growth factor akan menyebabkan peningkatan proliferasi sel otot polos vaskular dan matriks ekstraseluler termasuk jaringan fibrosa, sebagai akibatnya akan terjadi penebalan dinding vaskular, ditambah dengan aktivasi endotelin-1 yang merupakan vasokonstriktor sehingga lumen vaskular makin menyempit. Seluruh proses tersebut terjadi secara bersamaan, hingga akhirnya menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina.
3)
3, 7
Pembentukan Advanced Glycation End Product (AGE)
Glukosa mengikat gugus amino membentuk ikatan kovalen secara non enzimatik. Proses tersebut pada akhirnya akan menghasilkan suatu senyawa AGE. Efek dari AGE ini saling sinergis dengan efek PKC dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, sintesis growth factor , aktivasi endotelin 1 sekaligus menghambat aktivasi nitrit oxide oleh sel endotel. Proses tersebut tentunya akan meningkatkan risiko terjadinya oklusi vaskular retina.
3, 8
AGE terdapat di dalam dan di luar sel, berkorelasi dengan kadar glukosa. Akumulasi AGE mendahului terjadinya kerusakan sel. Kadarnya 10-45x lebih tinggi pada DM daripada non DM dalam 5-20 minggu. Pada pasien DM, sedikit saja kenaikan glukosa maka meningkatkan akumulasi AGE yang cukup banyak, dan akumulasi ini lebih cepat pada intrasel daripada ekstrasel.
4)
8
Pembentukan Reactive Oxygen Speciesi (ROS)
ROS dibentuk dari oksigen dengan katalisator ion metal atau enzim yang menghasilkan hidrogen peroksida (H 2O2), superokside (O2 – ). Pembentukan ROS meningkat melalui autooksidasi glukosa pada jalur poliol dan degradasi AGE. Akumulasi ROS di jaringan akan menyebabkan terjadinya stres oksidatif yang menambah kerusakan sel. 3, 8
SKEMA 2 PATOFISIOLOGI RETINOPATI DIABETIK (lanjutan)
Kerusakan sel yang terjadi sebagai hasil proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis terjadi pada jaringan saraf (saraf optik dan retina), vaskular retina dan lensa. Gangguan konduksi saraf di retina dan saraf optik akan menyebabkan hambatan fungsi retina dalam menangkap rangsang cahaya dan menghambat penyampaian impuls listrik ke otak. Proses ini akan dikeluhkan penderita retinopati diabetik dengan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur. Pandangan kabur juga dapat disebabkan oleh edema makula sebagai akibat ekstravasasi plasma di retina, yang ditandai dengan hilangnya refleks fovea pada pemeriksaan funduskopi.
2-4
Neovaskularisasi yang tampak pada pemeriksaan funduskopi terjadi karena angiogenesis sebagai akibat peningkatan sintesis growth factor , lebih tepatnya
disebut Vascular Endothelial Growt Factor (VEGF). Sedangkan kelemahan dinding vaksular terjadi karena kerusakan perisit intramural yang berfungsi sebagai jaringan penyokong dinding vaskular. Sebagai akibatnya, terbentuklah penonjolan pada dinding vaskular karena bagian lemah dinding tersebut terus terdesak sehingga tampak sebagai mikroaneurisma pada pemeriksaan funduskopi. Beberapa mikroaneurisma dan defek dinding vaskular lemah yang lainnya dapat pecah hingga terjadi bercak perdarahan pada retina yang juga dapat dilihat pada funduskopi. Bercak perdarahan pada retina biasanya dikeluhkan penderita dengan floaters atau benda yang melayang-layang pada penglihatan.
2-4, 9
Gambaran retina penderita DM Kebutaan pada Retinopati Diabetik
Penyebab kebutaan pada retinopati diabetik dapat terjadi karena 4 proses berikut, antara lain: 1)
Retinal Detachment (Ablasio Retina)
Peningkatan sintesis growth factor pada retinopati diabetik juga akan menyebabkan peningkatan jaringan fibrosa pada retina dan corpus vitreus. Suatu saat jaringan fibrosis ini dapat tertarik karena berkontraksi, sehingga retina juga ikut tertarik dan
terlepas dari tempat melekatnya di koroid. Proses inilah yang menyebabkan terjadinya ablasio retina pada retinopati diabetik. 3
2)
Oklusi vaskular retina
Penyempitan lumen vaskular dan trombosis sebagai efek dari proses biokimiawi akibat hiperglikemia kronis pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya oklusi vaskular retina. Oklusi vena sentralis retina akan menyebabkan terjadinya vena berkelok-kelok apabila oklusi terjadi parsial, namun apabila terjadi oklusi total akan didapatkan perdarahan pada retina dan vitreus sehingga mengganggu tajam penglihatan penderitanya. Apabila terjadi perdarahan luas, maka tajam penglihatan penderitanya dapat sangat buruk hingga mengalami kebutaan. Perdarahan luas ini biasanya didapatkan pada retinopati diabetik dengan oklusi vena sentral, karena banyaknya dinding vaskular yang lemah.
3, 4
Selain oklusi vena, dapat juga terjadi oklusi arteri sentralis retina. Arteri yang mengalami penyumbatan tidak akan dapat memberikan suplai darah yang berisi nutrisi dan oksigen ke retina, sehingga retina mengalami hipoksia dan terganggu fungsinya. Oklusi arteri retina sentralis akan menyebabkan penderitanya mengeluh
penglihatan yang tiba-tiba gelap tanpa terlihatnya kelainan pada mata bagian luar. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat seluruh retina berwarna pucat. 3)
3, 4
Glaukoma
Mekanisme terjadinya glaukoma pada retinopati diabetik masih belum jelas. Beberapa literatur menyebutkan bahwa glaukoma dapat terjadi pada retinopati diabetik sehubungan dengan neovaskularisasi yang terbentuk sehingga menambah tekanan intraokular. 3, 9
PATOFISIOLOGI KATARAK DIABETIK
Katarak diabetik merupakan salah satu penyebab gangguan penglihatan yang utama pada pasien diabetes melitus selain retinopati diabetik. Patofisiologi terjadinya katarak diabetik berhubungan dengan akumulasi sorbitol di lensa dan terjadinya denaturasi protein lensa. 4, 10 Katararak adalah setiap keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, atau akibat denaturasi protein lensa. Pada diabetes melitus terjadi akumulasi sorbitol pada lensa yang akan meningkatkan tekanan osmotik dan menyebabkan cairan bertambah dalam lensa. Sedangkan denaturasi protein terjadi karena stres oksidatif oleh ROS yang mengoksidasi protein lensa (kristalin). 4, 10
Daftar Pustaka
3.
Pandelaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi IV Jilid III. Editor: Aru W. Sudoyo dkk. Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
4.
Ilyas S. 2006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta. 5.
Mitchell PP & Foran S. 2008. Guidelines for the Management of Diabetic
Retinopathy. Australian Diabetes Society for the Department of Health and Ageing: Australia. 6.
Reddy GB, Satyanarayana A, Balakrishna N, Ayyagari R, Padma M,
Viswanath K, Petrash JM. 2008. Erythrocyte Aldose Reductase Activity and Sorbitol
Levels
in
Diabetic
Retinopathy dalam
www.molvis.org/molvis
(online).Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 24 Maret 2008. 7.
Roy MS. 2000. Diabetic Retinopathy in African Americans with Type 1
Diabetes dalam http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10636422 (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir Januari 2000. 8.
Ciulla TA, Amador AG, Zinman B. 2003. Diabetic Retinopathy and
Diabetic Macular Edema, Pathophysiology, Screening, and Novel Therapies dalam http://care.diabetesjournals.org/content (online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Mei 2003. 9.
James B dkk. 2006. Oftalmologi, Lecture Notes, Edisi ke-9. Erlangga:
Jakarta. 10.
Pollreisz A & Erfurth US. 2009. Diabetic Cataract-Pathogenesis,
Epidemiology
and
Treatment dalam
http://downloads.hindawi.com/journals
(online). Diakses tanggal 26 Oktober 2010. Pemutakhiran data terakhir tanggal 11 Desember 2009.
3) Bagaimana efek tidak teratur berobat RAHMA
4) Faktor yang mempengaruhi mata kabur Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penglihatan menurut Corwin (2001) adalah sebagai berikut : 1. Usia, bertambahnya usia maka lensa mata berangsur-angsur kehilangan elastisitasnya dan melihat ada jarak dekat akan semakin sulit. Hal ini akan menyebabkan ketidaknyamanan penglihatan ketika mengerjakan sesuatu pada jarak dekat, demikian pula penglihatan jauh. 2. Penerangan, pengaruh intensitas penerangan dengan penglihatan sangat penting karena mata dapat melihat objek melalui cahaya yang dipantulkan oleh permukaan objek tersebut. Luminasi adalah banyaknya cahaya yang dipantulkan oleh permukaan objek. Jumlah sumber cahaya yang tersedia juga mempengaruhi kemampuan mata melihat objek. Pada usia tua diperlukan intensitas penerangan yang lebih besar untuk melihat objek. Tingkat luminasi juga mempengaruhi kemampuan membaca teks. Semakin besar luminasi sebuah objek maka semakin besar juga rincian objek yang dapat dilihat oleh mata. Bertambahnya luminasi sebuah objek akan menyebabkan mata bertambah sensitif terhadap kedipan (flicker). Faktor penerangan berpengaruh pada kualitas penerangan yang ditentukan oleh kualitas dan kuantitas penerangan. Sifat penerangan juga ditentukan oleh rasio kecerahan yaitu antara objek dan latar belakang. Penerangan bisa bersumber dari penerangan langsung, misalnya dari penerangan buatan (bola lampu), penerangan yang bersumber dari pantulan tembok, langitlangit ruangan dan bagian permukaan meja kerja (Kroemer et al, 2000). 3. Silau (glare), adalah proses adaptasi berlebihan pada mata sebagai akibat dari retina mata terpapar sinar yang berlebihan (Grandjean, 2000). 4. Ukuran pupil, supaya jumlah sinar yang diterima retina sesuai maka otot iris akan mengatur ukuran pupil. Lubang pupil juga dipengaruhi oleh memfokusnya lensa mata, mengecil ketika mata memfokus pada objek yang dekat. 5. Sudut dan ketajaman penglihatan, sudut penglihatan (visual angle) sebagai sudut yang berhadapan dengan objek pada mata.
REFERENSI : Repository Universitas Semarang
5) pada umur bera penglihatan menurun Pada umumnya, penglihatan menurun pada usia 40-60 tahun dimana pada usia tersebut telah terjadi kelainan berupa
spingter pupil timbul sklerosis dan
hilangnya respon terhadap sinar, kornea lebih berbentuk sferis (bola), lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, susah melihat dalam cahaya gelap, hilangnya daya akomodasi dan menurunnya lapangan pandang.
REFERENSI : Repository Universitas Semarang
6) Interpretasi hasil pemeriksaan visus
Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan perifer. Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya, “kartu snellen” yang sudah dikenal, yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Setiap baris diberi angka yang sesuai dengan suatu jarak (dalam kaki atau meter), yaitu jarak yang memungkinkan semua huruf dalam baris itu terbaca oleh mata normal. Misalnya huruf-huruf pada baris “40” cukup besar untuk dibaca mata normal dari jarak 40 kaki. Suatu konversi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh 20 kaki (6 meter), atau dekat 14 inci. Untuk keperluan diagnostic, ketajaman penglihatan yang diukur pada jarak jauh merupakan standar pembanding dan selalu diuji terpisah pada masing-masing mata. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka, misalnya 20/40. Angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara kartu dengan pasien, dan angka kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien.
(Gambar)
Dalam penulisan kode - kode tersebut, ada 3 standar notasi yang sering
digunakan,
yaitu
notasi
metrik
(Belanda),
notasi
feet
(Inggeris/imperial), dan notasi desimal (Amerika). Notasi metrik bisa dikenali dengan nilai pembilang yang umumnya 6 (6/…), feet de ngan nilai 20 (20/…) dan desimal, sesuai dengan namanya, notasinya berbentuk bilangan desimal (0,…). Ukuran huruf terbesar pada optotip, umumnya berkode 6/60 atau 20/200 atau 0,1. Alat paling banyak yang digunakan untuk pengujian visus ini adalah Snellen Chart. Kartu ini ditemukan oleh seorang opthamologist, dr. Hermann Snellen (1862). Dengan Optotype Snellen dapat ditentukan tajam penglihatan atau kemampuan melihat seseorang, seperti :
1. Bila visus 6/6 maka berarti ia dapat melihat huruf pada jarak 6 meter, yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 6 meter. 2. Bila pasien hanya dapat membaca pada huruf baris yang menunjukkan angka 30, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/30. 3. Bila pasien hanya dapat membaca huruf pada baris yang menunjukkan angka 50, berarti tajam penglihatan pasien adalah 6/50. 4. Bila visus adalah 6/60 berarti ia hanya dapat terlihat pada jarak 6 meter yang oleh orang normal huruf tersebut dapat dilihat pada jarak 60 meter. 5. Bila pasien tidak dapat mengenal huruf terbesar pada kartu Snellen maka dilakukan uji hitung jari. Jari dapat dilihat terpisah oleh orang normal pada jarak 60 meter.
6. Bila pasien hanya dapat melihat atau menentukan jumlah jari yang diperlihatkan pada jarak 3 meter, maka dinyatakan tajam 3/60. Dengan pengujian ini tajam penglihatan hanya dapat dinilai sampai 1/60, yang berarti hanya dapat menghitung jari pada jarak 1 meter. 7. Dengan uji lambaian tangan, maka dapat dinyatakan visus pasien yang lebih buruk daripada 1/60. Orang normal dapat melihat gerakan atau lambaian tangan pada jarak 1 meter, berarti visus adalah 1/300. 8. Kadang-kadang mata hanya dapat mengenal adanya sinar saja dan tidak dapat melihat lambaian tangan. Keadaan ini disebut sebagai tajam penglihatan 1/~. Orang normal dapat melihat adanya sinar pada jarak tidak berhingga. 9. Bila penglihatan sama sekali tidak mengenal adanya sinar maka dikatakan penglihatannya adalah 0 (nol) atau buta total.
Pada penderita di skenario pemeriksaan visusnya didapatkan pada mata kanan pasien VOD 1/300 dengan interpretasi yaitu pasien tidak dapat membaca hitungan jari sehingga pasien hanya bisa melihat adanya gerakan tangan dari pemeriksa pada jarak 1 meter. Sedangkan pada mata kiri pasien VOS 20/70 dengan interpretasi pasien dapat membaca huruf di tabel snelleen chart sampai baris ketiga yaitu T O Z merupakan huruf yang cukup besar untuk di baca dari jarak 70 kaki oleh mata normal sedangkan pasien dapat membaca dari jarak 20 kaki.
Referensi :
Paul Riordan-Eva. 2009. Vaughan & Asbury : Oftalmologi
umum. Jakarta : EGC halaman 30-32 7) Patomekanisme mata kabur secara perlahan Ketajaman visus mengacu pada kemampuan untuk melihat dengan jelas, penurunan ketajaman visus sering menyertai gangguan refraksi, pada rabun jauh atau myopia, mata memfokuskan bayangan visual di depan retina sehingga benda-benda yang terletak dekat terlihat jelas sementara benda benda yang terletak jauh terlihat kabur. Sebaliknya pada rabun dekat atau
hipermetropia mata memfokuskan bayangan visual di belakang retina sehingga benda-benda yang letaknya dekat terlihat kabur sementara b enda benda yang letaknya jauh terlihat dengan jelas.. kedua permasalahan ini disebabkan oleh perubahan bentuk bola mata . penyebab mata kabur yang lain meliputi penuaan, ambliopia, katarak, glaucoma, papiledema, adaptasi gelap, dan skotoma (daerah penurunsn ketajaman visus yang dikelilingi oleh daerah dengan visus normal di dalam lapangan pandang.) Ambliopia merupakan penurunan ketajaman visus yang berat atau penurunan kebutuhan virtual pada mata yang secara structural masih utuh. Keadaan ini bisa disebabkan oleh zat-zat toksik (yang meliputi alcohol dan tembakau) atau dapat pula menyertai penyakit sistemik seperti diabetes mellitus atau gagal ginjal. Bersamaan dengan bertambahnya usia, pupil menjadi lebih kecil sehingga jumlah cahaya yang mencapai retina berkurang. Dewasa lanjut usia memerlukan cahaya sebanyak tiga kali lipat Yang diperlukan dewasa muda untuk dapat melihat dengan jelas. Pada penyakit diabetes akan terjadi peningkatan kadar glukosa di dalam lensa yang menyebabkan lensa mata menyerap air, akibatnya dapat terjadi dehidrasi, asidosis dan hiperglikemia nyata, membuat lensa terlihat keruh berupa garia akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar glukosa normal kembali.
Sumber: Prof.dr.H.Sidarta Ilyas,SpM.2008. Ilmu Penyakit Mata.Penerbit FKUI Kowalak dkk.2010. Buku Ajar Patofisiologi.Penerbit EGC
8) KATARAK DIABETIC Definisi
Opasifikasi lensa mta (katarak) merupakan penyebab tersering kebutaan yang dapat diobati di seluruh dunia. Katarak diabetes adalah katarak yang disebabkan oleh penyakit diabetes mellitus. (Referensi: James, Bruce. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)
Etiologi
1. Pasien dengan dehidrasi berat, asidois dan hiperglikemia nyata, pada lensa akan terliha kekeruhan berupa garis akibat kapsul lensa berkerut. Bila dehidrasi lama akan terjadi kekeruhan lensa, kekeruhan akan hilang bila terjadi rehidrasi dan kadar gula kembali normal. 2. Pasien diabetes juvenile dan tua tidak terkontrol, di mana terjadi katarak serentak pada kedua mata dalam 48 jam, bentuk dapat snow flake atau bentuk piring subkapsular 3. Katarak pada pasien diabetes dewasa di mana gambaran secara histologic dan biokimia sama dengan katarak nondiabetik. (Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: FKUI) Epidemiologi Gejala Klinik
Penglihatan seperti berasap dan tajam penglihatan yang menurun secara progresif
Menyebabkan hilangnya penglihatan tanpa rasa nyeri
Menyebabkan rasa silau
Dapat mengubah kelainan refraksi
Referensi: Tandra, Hans. 20017. Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes dengan Cepat dan Mudah. Jakarta: Gramedia
Patogenesis
Beberapa pendapat menyatakan bahwa pada keadaan hiperglikemia terdapat penimbunan sorbitol dan fruktosa di dalam lensa. Pada mata akan terlihat meningkatkan nsidens maturasi katarak yang lebih pada pasien diabetes. Adalah jarang ditemukan “true diabetic” katarak. Pada lensa akan terlihat kekeruhan tebaran salju subkapsular yang sebagian jernih dengan pengobatan. Kekeruhan lensa ini mengakibatkan lensa tidak transparan, sehingga pupil berwarna putih atau abu-abu. Pada mata akan tampak kekeruhan lensa dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat. Kekeruhan ini juga dapat ditemukan pada berbagai lokalisasi di lensa seperti kortek dan nucleus. Diperlukan pemeriksaan tes urin dan pengukuran darah gula puasa. (Ilmu Penyakit Mata Edisi 5. Jakarta: FKUI)
Pemeriksaan Penunjang
Tajam penglihatan berkurang. Pada beberapa pasien tajam penglihatan yang diukur di ruangan gelap mungkin tampak memuaskan, sementara bila tes tersebut dilakukan dalam keadaan terang maka tajam penglihatan akan menurun sebagai akibat dari rasa silau dan hilangnya kontras. Katarak terlihat hitam terhadap reflex fundus ketika mata diperiksa dengan oftalmoskopi direk. Pemeriksaan slit lamp memungkinkan pemeriksaan katarak secara rinci dan identifikasi lokasi opasitas dengan tepat. Pemeriksaan penunjang lainnya jarang diperlukan kecuali bila terdapat dugaan penyakit sistemik yang harus dieksklusi (dalam hal ini diperlukan pemeriksaan tes urin dan pengukuran darah gula puasa
(Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)
Penatalaksanaan
Pengobatan katarak pada penderita diabetes tidak berbeda dengan mereka yang tidak mengidap diabetes. Pembedahan untuk mengganti lensa atau cangkok lensa baru bisa menjadi terapi pilihan dan dapat memperbaiki penglihatan pada 90-95% kasus katarak. (Referensi: Tandra, Hans. 20017. Panduan Lengkap Mengenal dan Mengatasi Diabetes dengan Cepat dan Mudah. Jakarta: Gramedia) Operasi katarak terdiri dari pengangkatan sebagian besar lensa dan penggantian lensa dengan implant plastic. Saat ini pembedahan semakin banyak dilakukan dengan anastesi lokal daripada anastesi umum. Anastesi lokal diinfiltrasikan di sekitar bola mata dan
kelopak mata atau diberikan secara topical. Jika keadaan social memungkinkan, pasien dapat dirawat sebagai kasus perawatan sehari dan tidak memerlukan perawatan rumah sakit. Operasi ini dapat dilakukan dengan:
Insisi luas pada perifer korena atau sclera anterior, diikuti oleh ekstraksi katarak ekstrakapsular (extra-capsular cataract extraction, ECCE). Insisi harus dijahit.
Likuifikasi lensa menggunakan probe ultrasonografi yang dimasukkan melalui insisi yang lebih kecil di kornea atau sclera anterior (fakoemulsifikasi). Biasanya tidak dibutuhkan penjahitan. Sekarang metode ini merupakan metode pilihan di Negara Barat. Kekuatan implant lensa intraocular yang akan digunakan dalam operasi dihitung
sebelumnya dengan mengukur panjang mata secara ultrasonic dan kelengkungan kornea (maka juga kekuatan optic) secara optic. Kekuatan lensa umumnya dihitung sehingga pasien tidak akan membutuhkan kacamata untuk penglihatan jauh. Pilihan lensa juga dipengaruhi oleh refraksi mata kontralateral dan apakah terdapat katarak pada mata tersebut yang membutuhkan operasi. Jangan biarkan pasien mengalami perbedaan refraktif pada kedua mata. Pascaoperasi pasien diberikan tetes mata steroid dan antibiotic jangka pendek. Kacamata baru dapat diresepkan setelah beberapa minggu, ketika bekasi insisi telah sembuh. Rehabilitasi visual dan persepan kacamata baru dapat dilakukan lebih cepat dengan metode fakoemulsifikasi. Karena pasien tidak dapat berakomodasi maka pasien akan membutuhkan kacamata untuk pekerjaan jarak dekat meski tidak dibutuhkan kacamata untuk jarak jauh. Saat ini digunakan lensa intraocular multifocal. Lensa introkular yang dapat berakomodasi sedang dalam tahap pengembangan. (Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga) Komplikasi
Komplikasi pembedahan katarak 1. Hilangnya vitreous. Jika kapsul posterior mengalami kerusakan selama operasi maka gel vitreous dapat masuk ke dalam bilik anterior yang merupakan risiko
terjadinya galukoma atau traksi pada retina. Keadaan ini membutuhkan pengangkatan dengan satu instrument yang mengaspirasi dan mengeksisi gel (vitrektomi(. Pemasangan lensa intraocular sesegera mungkin tidak bisa dilakukan pada kondisi ini. 2. Prolaps iris. Iris dapat mengalami protrusi melalui insisi bedfah pada periode pascaoperasi dini. Terlihat sebagai daerah berwarna gelap pada lokasi insisi. Pupil mengalami distorsi. Keadaan ini membutuhkan perbaikan segera dengan pembedahan 3. Endoftalmitis. Komplikasi infektif ekstraksi katarak yang serius namun jarang terjadi (kurang dari 0,3%) Pasien dating dengan: a.
Mata merah yang terasa nyeri
b. Penurunan tajam penglihatan, biasanya dalam beberapa hari setelah pembedahan c.
Pengumpulan sel darah putirh di bilik anterior (hipopion)
4. Astigmatisme pascaoperasi. Mungkin diperlukan pengangkatan jahitan kornea untuk mengurangi astigmatisme kornea. Ini dilakukan sebelum melakukan pengukuran kacamata baru namun setelah luka insisi sembuh dan tetes mata sterois dihentikan. Kelengkungan kornea yang berlebih dapa terjadi pada garis jahitan bila jahitan terlalu erat. Pengangkatan jahitan biasanya menyelesaikan masalah ini dan bisa dilakukan dengan mudah di klinik dengan anastesi local, dengan pesien duduk di depan slit lamp. Jahitan yang longgar harus diangkat untuk mencegah infeksi namun mungkin diperlukan penjahitan kembali jika penyembuhan lokasi insisi tidak sempurna. Fakoemulsifikasi tanpa jahitan melalui insisi yang kecil menghindarkan komplikasi ini. Selain itu, penempatan luka memungkinkan koreksi astigmatisme yang telah ada sebelumnya. 5. Edema macular sistoid. Makula menjadi edema setelah pembedahan, terutama bila disertai hilangnya vitreous. Dapat sembuh siring waktu namun dapat menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berat. 6. Ablasio retina. Teknik-teknik modern dalam ekstraksi katarak dihubungkan dengan rendahnya tingkat komplikasi ini. Tingkat komplikasi ini bertambah bila terdapat kehilangan vitreous. Gejala, tanda, dan tatalaksana telah dijelaskan. 7. Opasifikasi kapsul posterior. Pada sekitar 20% pasien, kejernihan kapsul posterior berkurang pada beberapa bula setelah pembedahan ketika sel epitel residu bermigrasi melalui permukaannya. Penglihatan menjadi kabur dan mungkin
didaptkan rasa silau. Dapat dibuat satu lubang kecil pada kapsul dengan laser (neodymium yttrium(ndYAG) laser ) sebagai prosedur klinis rawat jalan. Terdapat risiko kecil edema macular sistoid atau terlepasnya retina setelah kapsulotomi YAG. Penelitian yang ditujukan pada pengurangan komplikasi ini menunjukkan bahwa bahan yang digunakan untuk membuat lensa, bentuk tepi lensa, dan tumpang tindih lensa introkular dengan sebagian kecil cincin kapsul anterior penting dalam mencegah opsifikasi kapsul posterior.
8. Jika jahitan nilom halus tidak diangkat setelah pembedahan maka jahitan dapat lepas dalam beberapa bulan atau tahun setelah pembedahan dan mengakibatkan iritasi atau infeksi. Gejala hilang dengan pengangkatan jahitan. (Referensi: James, Bruce, dkk. 2006. Oftalmologi Edisi 9. Jakart: Penerbit Erlangga)
GLAUCOMA Definisi:
Glaukoma merupakan neuropati optik yang khas disertai dengan penurunan lapangan pandang akibat kerusakan papil nervus optikus, dimana tekanan intraokular merupakan faktor risiko terpenting. Etiologi:
Glaukoma dapat bersifat kongenital ataupun didapat. Berdasarkan etiologinya di bagi menjadi:
1. Glaukoma primer: tanpa faktor kontributor yang jelas 2. Glaukoma sekunder: dengan faktor kontributor okulor atau ekstra-okular yang jelas yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intraokular Epidemiologi:
Di Indonesia, glaukoma merupaka penyakit ketiga yang menyebabkan kebutaan di Indonesia dan mengenai sekitar 0,40% dari kasus penyakit mata. Penyakit ini biasanya mengenai orang dewasa diatas usia 40 tahun terutama pada usia lanjut, biasanya dalam keluarga sedarah. Wanita lebih sering mengalami penyakit ini dibandingkan pria dan mudah terjadi pada mata yang mempunyai bakat sudut bilik mata tertutup, seperti pada hipermetropia. Klasifikasi:
Berdasarkan gangguan saluran aqueous humor, glaukoma dapat dibedakan menjadi: 1. Glaukoma sudut terbuka: glaukoma kronis primer dengan sudut pada kamera oculi anterior yang terbuka, disertai dengan peningkatan TIO. 2. Glaukoma sudut tertutup: kelompok penyakit glaukoma yang dicirikan dengan obstruksi mekanik dari trabecular meshwork , dengan sudut pada kamera oculi anterior yang tertutup dan tekanan intra-ocular yang meningkat. Gejala klinis: -
Pada glaukoma primer sudut mata tertutup akut terdapat anamnesa yang khas berupa nyeri pada mata yang mendapat serangan yang berlangsung beberapa jam dan hilang setelah tidur sebentar.
-
Kekaburan pengelihatan
-
Nyeri hebat
-
Pegal disekitar mata yang menunjukkan tanda kongestif (peradangan)
-
Kelopak mata bengkak
-
Mata merah
-
Melihat lingkaran-lingkaran berwarna seperti pelangi disekitr lampu (halo)
-
Mual dan muntah
Patogenesis dan Patofisiologi:
Secara umum, tekanan intraokuler (TIO) normal berkisar antara 10-21 mmHg. TIO dapat meningkat akibat gangguan sistem drainase (glaukoma sudut terbuka) atau gangguan akses sistem drainase (glaukoma sudut tertutup). Terapi glaukoma bertujuan untuk menurunkan TIO dan mengatasi dasar penyebab peningkatan TIO. Pada glaukoma akut, peningkatan TIO mendadak hingga 60-80 mmHg menyebabkan kerusakan iskemik akut dari nervus opticus. Pada glaukoma sudut terbuka primer, kerusakan sel ganglion retina muncul akibat jejas kronik menahun. Pada glaukoma dengan TIO normal, papil nervus optikus mungkin rentan terhadap TIO normal. Faktor Risiko:
Glaukoma primer sudut terbuka: 1. Peningkatan TIO >21 mmHg 2. Riwayat keluarga dengan glaukoma primer sudut terbuka (orang t ua, kakek, dll) 3. Usia lanjut 4. Ras (afrika, latin, afro-karibia) 5. Ketebalan kornea sentral yang lebih tipis 6. Tekanan perfusi okular yang rendah (selisih antara sistol dengan TIO <125 mmHg atau diastol dengan TIO <50 mmHg) 7. DM tipe 2 8. Miopia Glaukoma primer sudut tertutup:
1. Riwayat keluarga dengan glaukoma primer sudut tertutup 2. Usia lanjut 3. Lebih banyak pada wanita 4. Keturunan asia 5. Hipermetropia 6. Bilik depan mata dangkal (perifer atau sentral) 7. Curvatura cornea yang landai 8. Lensa mata yang tebal 9. Diameter aksial bola mata yang pendek
Penatalaksanaan: 1. Medikamentosa (pengobatan darurat dan jangka pendek) a. Mitotik: Untuk melepaskan iris dari jaringan trabekulum sehingga sudut mata bilik depan akan terbuka. Pilocarpin 2%, tetes mata setiap menit 1 tetes selama 5 menit, lalu disusul 1 tetes tiap jam sampai 6 jam. b. Carbonic Anhidrase: Untuk menurunkan pembentukan aqueous humor Asetazolamid 250mg pertablet (2 tablet sekaligus, disusul setiap 4 jam 1 tablet sampai 24 jam c. Obat hiperosmotik Untuk meningkatkan daya osmotik plasma d. Larutan gliserin 50% secara oral, dosis 1-1,5 g/kgBB/hari (0,7-1,5 cc/kgBB atau 1cc/kgBB), diminum sekali e. Manitol 20% per infus kurang lebih 60 tetes/menit f.
Morfin Untuk mengurangi sakit dan mengecilkan pupil disuntikkan 10-15mg
2. Pembedahan Dilakukan setelah terapi dengan obat-obatan sampai tekanan bola mata <25mmHg dan mata merah berkurang a. Iridektomi perifer Indikasi: -
Glaukoma dalam fase prodormal
-
Glaukoma akut yang baru terjadi
-
Tindakan pencegahan pada mata kiri Teknik : dibuat kubang di bagian perifer iris pada sisi temporal atas.
b. Pembedahan filtrasi Indikasi: -
glaukoma akut sudah berlangsung lama
-
penderita sudah masuk dalam stadium glaukoma kongestif kronik teknik : Trepanasi Elliot, lubang kecil berukuran 1,5mm dibuat di daerah kornea-sklera, lalu ditutup dengan konjungtiva dengan tujuan agar aquos mengalir langsung dari bilik mata anterior ke ruang subkonjungtiva. c. Trabekulektomi Mengangkat trabekulum sehingga terbentuk celah untuk mengalirkan cairan mata masuk ke dalam kanal schlemm.
Prognosis:
Glaukoma akut merupakan suatu kegawatdaruratan oftalmologi sehingga kalau tidak segera ditangani prognosisnya buruk.
Komplikasi:
Kebutaan
Pencegahan:
-
Memberi nasihat pada pasien bahwa emosi (takut, bingung,dll) dapat menimbukan serangan akut
-
Membaca dekat yang mengakibatkan miosis atau pupil kecil akan menimbulkan serangan pada glaukoma dengan blok pupil
-
Pemakaian simpatomimetik yang membuat pupil melebar
Referensi: prof. Dr. H. Sidarta Ilyas, SpM; dr. Sri Rahayu Yulianti SpM. Ilmu
-
Penyakit Mata. Hal 169-172. Edisi IV. Badan Penerbit FK UI.2013 -
Chris tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Hal. 385-388. Edisi IV. Media Aesculapius. 2014
RETINOPATI DIABETIK
Definisi
Retinopati diabetes adalah kelainan retina yang ditemukan pada penderita diabetes mellitus. Retinopati akibat diabetes mellitus lama berupa aneurismata, melebarnya vena, perdarahan dan eksudat lemak. Retinopati merupakan penyulit penyakit diabetes yang paling penting. Hal ini disebabkan karena insidennya yang cukup tinggi yaitu mencapai 40-50% penderita diabetes dan prognosisnya yang kurang baik terutama bagi penglihatan. Etiologi
Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya terpapar pada hiperglikemia ( kronis ) menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Patofisiologi
Hiperglikemia kronik mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates (ROIs) dan advanced glycation endproducts (AGEs). ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitric oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin yang akan memperparah kerusakan. Kedua, hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang meningkatkan glikosilasi dan ekspresi aldose reduktase sehingga terjadi akumulasi
sorbitol.
Glikosilasi
dan
akumulasi
sorbitol
kemudian
mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi enzim endotel. Ketiga, hiperglikemia mengaktivasi transduksi sinyal intraseluler protein kinase C (PKC). Vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh PKC. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang memiliki kelemahan pada membran basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.
Gejala dan Tanda
Retinopati merupakan gejala diabetes mellitus utama pada mata, dimana ditemukan pada retina:
Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama polus posterior.
Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, dan bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma dipolus posterior.
Dilatasi pembuluh darah dengan lumennya ireguler dan berkelokkelok.
Hard
exudate
merupakan
infiltrasi
lipid
ke
dalam
retina.
Gambarannya khusus yaitu iregular, kekuning-kuningan Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.
Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan iskemia retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.
Pembuluh darah baru ( Neovaskularisasi ) pada retina biasanya terletak dipermukaan jaringan. Tampak sebagai pembuluh yang berkelok-kelok , dalam, berkelompok, dan ireguler. Mula – mula terletak dalam jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal, ke badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerahdaerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan subhialoid ( preretinal ) maupun perdarahan badan kaca.
Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga sangat mengganggu tajam penglihatan. Sebagian besar penderita retinopati DM, pada tahap awal tidak
mengalami gejala penurunan tajam penglihatan. Apabila telah terjadi kerusakan sawar darah retina, dapat ditemukan mikroaneurisma, eksudat lipid dan protein, edema, serta perdarahan intraretina. Selanjutnya, terjadi oklusi kapiler retina yang mengakibatkan kegagalan perfusi di lapisan serabut saraf retina sehingga terjadi hambatan transportasi aksonal. Hambatan transportasi tersebut menimbulkan akumulasi debris akson yang
tampak
sebagai
gambaran soft
exudates pada
pemeriksaan
oftalmoskopi. Kelainan tersebut merupakan tanda retinopati DM non proliferatif. Hipoksia akibat oklusi akan merangsang pembentukan pembuluh darah baru dan ini merupakan tanda patognomonik retinopati DM proliferatif. Kebutaan pada DM dapat terjadi akibat edema hebat pada makula, perdarahan masif intravitreous, atau ablasio retina traksional. Diagnosis Retinopati DM Deteksi dini retinopati DM di pelayanan kesehatan primer dilakukan melalui pemeriksaan funduskopi direk dan indirek. Dengan fundus photography dapat dilakukan dokumentasi kelainan retina. Metode diagnostik terkini yang disetujui oleh American Academy of Ophthalmology (AAO) adalah fundus photography.
Berikut adalah sistem kalsifikasi retinopati DM berdasarkan ETDRS (Early Treatment Diabetic Retinopathy Study).
Tata Laksana dan pencegahan Retinopati DM Tata laksana retinopati DM dilakukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan hanya perlu dievaluasi setahun sekali. Penderita retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang tanpa edema makula yang nyata harus menjalani pemeriksaan rutin setiap 6-12 bulan. Retinopati DM nonproliferatif derajat ringan-sedang dengan edema makula signifikan merupakan indikasi laser photocoagulation untuk mencegah per- burukan. Setelah dilakukan laser photocoagulation, penderita perlu dievaluasi setiap 2-4 bulan. Penderita retinopati DM
nonproliferatif derajat berat dianjurkan untuk menjalani panretinal laser photocoagulation,
terutama
apabila
kelainan
berisiko
tinggi
untuk
berkembang menjadi retinopati DM proliferatif. Penderita harus dievaluasi setiap 3-4 bulan pascatindakan. Panretinal laser photocoagulation harus segera dilakukan pada penderita retinopati DM proliferatif. Apabila terjadi retinopati DM proliferatif disertai edema makula signifikan, maka kombinasi focal dan panretinal laser photocoagulation menjadi terapi pilihan. Hal yang terpenting yang dapat dilakukan oleh penderita DM untuk dapat mencegah terjadinya retinopati adalah dengan mengontrol gula darah, selain itu tekanan darah, masalah jantung, obesitas dan lainnya juga harus dikendalikan dan diperhatikan.
Referensi : 1. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum, Edisi 14. Widya Medika, Jakarta, 2000, hal. 211.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. FK UI, Jakarta, 2009, hal. 218-219
3. Sitompul, Ratna. Retinopati Diabetik . Departemen Ilmu Kesehatan Mata FK UI, Jakarta, 2011, hal. 338-341.
9) Lankah-Langkah Diagnosis I. Anamnesis
Keluhan utama digolongkan menurut :
Onsetnya muncul gejala apakah timbul secara perlahan, cepat atau asimptomatik.
Penurunan visus yang cepat biasanya ditemukan di trauma pada mata. Pada retinopati diabetic dapat terjadi penglihatan tiba-tiba menurun. Pada glaukoma sudut terbuka onsetnya biasa perlahan atau mungkin dapat menimbulkan gejala jika sudah terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Pada katarak dapat terjadi penurunan penglihatan secara perlahan tergantung stadiumnya.
Durasinya singkat atau gejalanya menetap sampai kunjungan ke dokter. Jika gejalanya hilang timbul, bagaimana frekuensinya?. Pada glaukoma akut episode tertutup biasanya paling sering terjadi pada malam hari karena pupil secara alami akan melebar dibawah cahaya yang meredup.
Lokasinya apakah setempat atau difus, unilateral atau bilateral?. Pada retinopati diabetic penglihatan tiba-tiba menurun pada satu sisi mata.
Bagaimana derajat gejalanya menurut pasien ringan, sedang, atau berat?
Riwayat menggunakan obat obat mata
gejala penyerta seperti mata merah, gatal, berair, cepat lelah, dsb.
Riwayat penyakit terdahulu. Gangguan vaskuler yang biasanya menyertai manifestasi mata seperti hipertensi dan diabetes.
Riwayat keluarga berhubungan dengan sejumlah gangguan mata seperti strabismus, ambliopia, glaukoma atau katarak, serta kelainan retina seperti ablatio retina dan degenerasi makula.
II. Pemeriksaan Dasar Mata Tujuan pemeriksaan mata adalah untuk menilai fungsi maupun anatomi kedua mata. Fungsi disini mencakup fungsi penglihatan dan bukan penglihatan, seperti gerak mata dan kesejajaran. Secara anatomis masalah mata dapat dibagi menjadi 3 daerah : masalah pada adneksia (palpebra dan jaringan periokuler), bola mata dan orbita.
Penglihatan sebagaimana pemeriksaan tanda vital merupakan bagian dari setiap pemeriksaan fisik, setiap pemeriksaan mata harus mencakup penilaian ketajaman penglihatan. 1. Refraksi titik fokus jauh dasar bervariasi diantara mata individu normal tergantung bentuk bola mata dan korneanya. Mata emetrop secara alami memiliki fokus yang optimal melihat secara jauh. Mata ametrop (yakni mata miopia, hiperopia, atau astigmat) memerlukan lensa koreksi agar terfokus dengan baik untuk melihat jauh. Pemeriksaan refraksi sering diperlukan untuk membedakan pandangan kabur akibat kelainan refraksi dari pandangan kabur akibat kelainan medis pada sistem penglihatan.
Uji penglihatan sentral
ketajaman penglihatan sentral diuji dengan memperlihatkan objek dalam berbagai ukuran yang diletakkan pada jarak standar dari mata. Misalnya “kartu Snellen” yang terdiri atas deretan huruf acak yang tersusun mengecil untuk menguji penglihatan jauh. Sesuai konvensi, ketajaman penglihatan dapat diukur pada jarak jauh 20 kaki ( 6 meter ) atau dekat 14 inci. Ketajaman penglihatan diberi skor dengan dua angka (mis : 20/40). angka pertama adalah jarak uji (dalam kaki) antara kartu dan pasien, dan angka kedua adalah jarak barisan huruf terkecil yang dapat dibaca oleh mata pasien. Penglihatan 20/20 adalah normal. Penglihatan 20/60 berarti huruf yang cukup besar untuk dibaca dari jarak 60 kaki oleh mata normal baru bisa dibaca oleh mata pasien dari jarak 20 kaki.
Uji “Pinhole”
jika pasien memerlukan kacamata atau jika kacamatanya tidak tersedia, ketajaman penglihatan terkoreksi dapat diperkirakan melalui “pinhole”.
Menguji penglihatan buruk
pasien yang tidak dapat membaca huruf terbesar pada kartu (mis: 20/200) harus lebih mendekati kartu sampai kartu itu dapat dibaca. Mata yang tidak dapat membaca satu huruf pun diuji dengan cara menghitung jari. Catatan pada kartu menunjukan “CF pada 2 kaki”
menunjukan bahwa mata tersebut dapat menghitung pada jarak 2 kaki, tetapi tidak bisa lebih jauh. Jika tidak bisa menghitung jari, mata tersebut mungkin masih dapat mendeteksi tangan yang digerakkan secara vertikal atau horizontal (hand motion). Tingkat penglihatan yang lebih rendah lagi adalah kesanggupan mempersepsi cahaya . Mata yang tidak dapat mempersepsi cahaya dianggap buta.
Menguji penglihatan perifer
penglihatan lapangan pandang perifer dinilai secara cepat dengan uji konfrontasi.
2. Pupil pupil harus tampak simetris dan masing masing diamati bentuk ( bulat atau tidak teratur ) dan reaksinya terhadap cahaya dan akomodasi. Untuk menghindari akomodasi pasien diminta untuk menatap jauh saat berkas cahaya dari senter diarahkan ke setiap mata. Terdapat respon langsung dan respon konsensual atau respon t idak langsung.
3 Motilitas mata tujuan menguji motilitas mata adalah untuk mengevaluasi kesejajaran kedua mata dan gerakannya, baik sendiri sendiri maupun bersamaan.
4. Pemeriksaan Luar pemeriksaan luar secara umum pada adneksa mata. Lesi kulit, pertumbuhan, tanda-tanda radang seperti pembengkakan, eritema, panas, dan nyeri tekan dievaluasi melalui inspeksi dan palpasi sepintas. Periksa adanya kelainan posisi palpebra seperti ptosis atau retraksi palpebra. Palpasi tepian tulang orbita dan jaringan lunak periokuler harus selalu dilakukan bila dicurigai adanya trauma, infeksi, atau neoplasma orbital.
5. Pemeriksaan Slitlamp slitlamp adalah sebuah mikroskop binokuler yang terpasang pada meja dengan sumber cahaya khusus yang dapat diatur. Dengan memakai slitlamp belahan anterior bola mata “segmen anterior” dapat diamati.
6. Tonometri tonometri adalah cara pengukuran tekanan cairan intraokuler dengan memakai alat-alat yang terkalibrasi. Tekanan normal berkisar dari 10 sampai 21 mmHg.
7. Pemeriksaan fundus digunakan untuk melihat segmen posterior dari bola mata.
8. oftalmoskopi indirek oftalmoskopi indirek binokuler menambah dan melengkapi pemeriksaan oftalmoskopi direk.
Referensi : Vaughan & Asbury. 2009. Oftalmologi umum, Ed.17. Jakarta : EGC. Hal. 28 58
10) Perspektif Islam
Dalam kamus bahasa Arab, kata afiat diartikan sebagai ―perlindungan Allah untuk hamba-Nya dari segala macam bencana dan tipu daya‖. Perlindungan itu tentunya tidak dapat diperoleh secara sempurnakecuali bagi mereka yang mengindahkan petunjuk-petunjuk-Nya. Maka kata afiat dapat diartikan sebagai: -berfungsinya anggota tubuh manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya.