LAPORAN PENDAHULUAN STEMI
A. Pengertian STEMI
Menurut AHA (2013), STEMI adalah syndrome klinis yang merupakan tanda dan gejala infark miokard yang ditandai dengan ST elevasi yang menetap dan juga diikuti dengan pelepasan biomarker nekrosis miokard. Menurut Sutoyo, (2010) infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. Sedangkan menurut Pusponegoro (2015), STEMI adalah fase akut dari nyeri dada yang ditampilkan terjadi peningkatan baik frekuensi, lama nyeri dada dan tidak dapat di atasi dengan pemberian nitrat, yang dapat terjadi saat istirahat maupun sewaktu-waktu yang disertai infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa STEMI adalah penyakit jantung yang dapat ditandai dengan adanya gambaran ST elevasi pada hasil EKG dikarenakan adanya trombus pada arteri koroner, dimana kondisi ini disertai dengan adanya nyeri dada yang hebat.
B. Etiologi STEMI
Berikut ini ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya IMA Menurut Kumar,(2007) diantaranya yaitu : 1. Faktor yang dapat dirubah : a. Hiperlipidemia Hiperlipidemia
merupakan
1
peningkatan
kolesterol
dan
atau
trigliserida serum di atas batas normal. Peningkatan kadar kolesterol di atas 180 mg/dl akan meningkatkan resiko penyakit arteri koronaria, dan peningkatan resiko ini akan lebih cepat terjadi bila kadarnya melebihi 240 mg/dl. Peningkatan kolosterol LDL dihubungkan
dengan
meningkatnya
resiko
penyakit
arteri
koronaria, sedangkan kadar kolesterol HDL yang tinggi berperan sebagai faktor pelindung terhadap penyakit ini. b. Hipertensi Hipertensi merupakan faktor risiko dari IMA, baik tekanan darah systole maupun diastole memiliki peran penting. Hipertensi dapat meningkatkan risiko ischemic heart disease (IHD) sekitar 60% dibandingkan dengan individu normotensive. Tanpa perawatan, sekitar 50% pasien hipertensi dapat meninggal karena IHD atau gagal jantung kongestif, dan sepertiga lainnya dapat meninggal karena stroke c. Merokok Merokok merupakan faktor risiko pasti pada pria, dan konsumsi rokok mungkin merupakan penyebab peningkatan insiden dan keparahan atherosclerosis pada wanita. Penggunaan rokok dalam jangka waktu yang lama meningkatkan kematian karena IHD sekitar 200%. Berhenti merokok dapat menurunkan risiko secara substansial d. Diabetes melitus Insiden infark miokard dua kali lebih tinggi pada seseorang yang menderita diabetes. e. Stress psikologik. Stress menyebabkan peningkatan katekolamin
yang bersifat
aterogenik. 2. Faktor yang tidak dapat dirubah : a. Usia Akumulasi plak merupakan proses yang progressif, manifestasi
2
klinis tidak akan muncul sampai lesi mencapai ambang kritis, dan mulai menimbulkan kerusakan organ pada usia menengah maupun usia lanjut. Pada usia 40-60 tahun , insidens IMA meningkat lima kali lipat. b. Jenis kelamin IMA jarang ditemukan pada wanita premenopause, kecuali jika diabetes, hiperlipidemia, dan hipertensi berat. Setelah menopause insiden plak meningkat lebih besar, karena pengaruh hormon estrogen. c. Riwayat Keluarga 3. Berkurangnya suplai oksigen ke miokard, disebabkan tiga faktor : a. Pembuluh darah Berkaitan dengan kepatenan pembuluh darah sebagai jalan darah mencapai sel-sel jantung. Beberapa hal yang mempengaruhi kepatenan pembuluh darah yaitu: athelerosclerosis, spasme, arteritis. b. Spasme pembuluh darah Dipengaruhi
pengkonsumsian
obat-obatan
tertentu,
stress
emosional atau nyeri, terpapar suhu dingin yang ekstrim, dan merokok. c. Sirkulasi Berkaitan dengan faktor pemompaan dan volume darah yang dipompakan, stenosis atau insufisiensi yang terjadi pada beberapa bagian katup jantung menyebabkan suplasi oksigen tidak adekuat. d. Darah Jika daya angkut darah berkurang, maka suplai oksigen tetap tidak cukup walaupun pembuluh darah dan pemompaan jantung bagus. e. Meningkatnya kebutuhan oksigen Pada
orang
yang
mengidap
penyakit
jantung,
mekanisme
kompensasi (meningkatnya denyut jantung untuk meningkatkan COP saat meningkatnya kebutuhan oksigen) dapat memicu
3
terjadinya infark, karena kebutuhan oksigen meningkat sedangkan suplai oksigen tidak bertambah. Hipertrofi miokard dapat memicu terjadinya infark, karena pemompaan jantung tidak efektif.
C. Patofisiologi STEMI
STEMI terjadi ketika aliran darah koroner menurun secara tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner yang sebelumnya mengalami atherosclerosis. STEMI terjadi ketika thrombus pada arteri koroner berkembang secara cepat pada tempat terjadinya kerusakan vaskuler. Faktor penyebab kerusakan ini, seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid. STEMI terjadi ketika permukaan plak atherosclerotic mengalami ruptur dan terbentuklah trombus, sehingga terjadi oklusi pada arteri koroner arteri koroner sering kali mengalami thrombus yang terdiri dari agregat platelet, dan benang-benang fibrin. Pada sebagian kecil kasusnya, penyebab lain dari
STEMI yaitu karena
emboli arteri koroner,
abnormalitas congenital, spasme coroner, dan berbagai penyakit sistemik, terutama inflasmasi Zainal, (2013).
4
D. Pathway
5
E. Manifestasi Klinis
Menurut Kumar (2007) dan Sudoyo (2010) manifestasi klinis STEMI dibagi menjadi 3 hal, yaitu: 1. Nyeri dada yang khas seperti tertusuk, terbakar atau tertimpa benda berat yang menjalar sampai ke lengan. Diagnosis banding nyeri dada STEMI antara lain perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis dan gangguan gastrointestinal. Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardi dan atau hipotensi). Tanda fisis lain pada disfungsi fentrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistlik apical yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38°C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. 2. Gambaran EKG dengan adanya elevasi ST ≥2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau ≥1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle. Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan senter dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi perfusi. JIka pemeriksan EKG awal
6
tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara continue harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan. 3. Peningkatan enzim CK-MB dan troponin, yaitu pemeriksaan infrak miokard terdiri dari tiga pemeriksaan atau yang disebut dengan triple cardiac marker yaitu CK-MB, Myoglobin, dan Troponin I.
F. Pemeriksaan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjang pada STEMI sebagai berikut : a. Elektrokardiografi (EKG) Adanya elevasi segmen ST pada sadapan tertentu yaitu: 1) Lead II, III, aVF : Infark inferior 2) Lead V1-V3 : Infark anteroseptal 3) Lead V2-V4 : Infark anterior 4) Lead 1, aV L, V5-V6 : Infark anterolateral 5) Lead I, aVL : Infark high lateral 6) Lead I, aVL, V1-V6 : Infark anterolateral luas 7) Lead II, III, aVF, V5-V6 : Infark inferolateral 8) Adanya Q valve patologis pada sadapan tertentu. b. Echocardiogram Digunakan untuk mengevaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung khususnya fungsi vertrikel dengan menggunakan gelombang ultrasounds. c. Foto thorax Roentgen tampak normal, apabila terjadi gagal jantung akan terlihat pada bendungan paru berupa pelebaran corakan vaskuler paru dan hipertropi ventrikel
7
d. Percutaneus Coronary Angiografi (PCA) Pemasangan kateter jantung dengan menggunakan zat kontras dan memonitor x-ray yang mengetahui sumbatan pada arteri koroner e. Tes Treadmill Uji latih jantung untuk mengetahui respon jantung terhadap aktivitas. f. Laboratorium : Pemeriksaan yang dianjurkan adalah: 1)
Creatinin Kinase (CK)MB. Meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari.
2)
cTn (cardiac specific troponin). Ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari.
Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu: 1)
Mioglobin : dapat dideteksi satu jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam.
2)
Creatinin kinase (CK) : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari.
3)
Lactic dehydrogenase (LDH) : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puuncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.
G. Komplikasi
Kumar (2007) menyatakan bahwa jika STEMI tidak diatasi dengan segera, maka STEMI dapat menimbulkan kerusakan yang lebih parah lagi pada jantung, antara lain: 1. Disfungsi ventrikel Setelah stemi, ventrikel kiri mengalami perubahan bentuk, ukuran, ketebalan, baik pada segmen yang infark maupun non infark
8
2. Pump failure Tanda klinis yang sering dijumpai yaitu ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop 3. Aritmia Infark
meliputi
ketidakseimbangan
sistem
saraf
otonom,
ketidakseimbang elektrolit, iskemia dan konduksi yang lambat pada zona iskemik 4. Gagal jantung kongestif Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menyebabkan kongesti Vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan menimbulkan kongesti Vena sistemik 5. Syok kardiogenik Akibat disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami infark yang masif 6. Edema paru akut Timbunan cairan abnormal di dalam rongga interstisial dan alveoli. akibatnya paru menjadi kaku, tidak dapat mengembang, dan udara tidak dapat masuk, sehingga hipoksia berat 7. Disfungsi otot papilaris Disfungsi iskemik otot-otot papilaris akan mengganggu fungsi katup mitralis, sehingga terjadi versi daun katup selama sistolik 8. Defek septum ventrikel Nekrosis sistem intravaskuler dapat menyebabkan ruptur dinding septum sehingga terjadi defek septum ventrikel 9. Ruptur jantung Terjadi saat pembuangan nekrotik sebelum pembentukan jaringan parut, dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi perdarahan masif. Kantong perikardium penuh terisi darah dan menekan jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung
9
H. Penatalaksanaan
Menurut Yamin, (2010) penatalaksanaan keperawatan untuk penyakit jantung dapat ditinjau dari aktivitas, diet, dan bowel pasien yaitu : 1. Aktivitas Pasien dengan STEMI harus istirahat di tempat tidur 12 jam pertama, jika tidak terjadi komplikasi, maka pasien harus didukung untuk melanjutkan postur tegak dengan menggantungkan salah satu kaki di sisi tempat tidur dan duduk di kursi dalam 24 jam pertama. 2. Diet. Hanya diberikan air peroral atau tidak diberikan apapun 4-12 jam pertama. Asupan nutrisi harus mengandung kolesterol kurang lebih 300 mg/dl. 3. Bowel Bedrest dan pemberian terapi obat menurut Sudoyo, (2010) sebagai berikut : a. Oksigen Suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. b. Nitrogliserin Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. c. Morfin Sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. d. Aspirin Merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat
10
siklooksigenase
trombosit
yang
dilanjutkan
reduksi
kadar
tromboksan A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162 mg. e. Penyekat Beta Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol o ral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam
11
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN (NANDA NIC NOC 2015)
A. Pengkajian
1. Identitas Identitas meliputi identitas pasien dan identitas penanggung jawab. Identitas biasanya terdiri dari nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomer RM, umur, status, alamat 2. Keluhan Utama Biasanya pada pasien STEMI pasien mengeluh nyeri dada dan sesak napas 3. Riwayat Penyakit Sekarang Mengkaji keluhan kesehatan yang dirasakan pasien saat dianamnesa 4. Riwayat Penyakit Dahulu Mengkaji adanya riwayat penyait dahulu, pola hidup pasien seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung soda, merokok, nikotin, kafein, riwayat pemakaian obat, dan alergi obat 5. Riwayat Penyakit Keluarga Mengkaji ada/tidaknya penyakit yang sama yang dialami keluarga dan pola hidup keluarga pasien. 6. Pengkajian Primer a. Airway Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah adanya sumbatan di kerongkongan, penumpukan sekret di tenggorokan, adanya wheezing, ronchi atau suara crakcel yang menunjukkan ketidak efektifan pertukaran gas. b. Breathing Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah sesak nafas akibat aktivitas maupun tanpa aktivitas, irama nafas dan suara nafas. c. Circulation Pada pengkajian ini hal yang perlu diketahui adalah tekanan darah yang menunjukkan hipertensi, adanya edema di ekstremitas, CRT yang lebih dari 3 detik sebagai bentuk penurunan curah jantung, akral
12
yang dingin. d. Disability Status mental : Tingkat kesadaran secara kualitatif dengan Glascow Coma Scale (GCS) dan secara kwantitatif yaitu
Compos mentis :
Sadar sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan sekelilingnya. Apatis : keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan dengan kehidupan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh. Somnolen : keadaan kesadaran yang mau tidur saja. Dapat dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi jatuh tidur lagi. Delirium : keadaan kacau motorik yang sangat, memberontak, berteriak-teriak, dan tidak sadar terhadap orang lain, tempat, dan waktu. Sopor/semi koma : keadaan kesadaran yang menyerupai koma, reaksi hanya dapat ditimbulkan dengan rangsang nyeri. Koma : keadaan kesadaran yang hilang sama sekali dan tidak dapat dibangunkan dengan rangsang apapun. e. Exposure Keadaan kulit, seperti turgor / kelainan pada kulit dsn keadaan ketidaknyamanan (nyeri) dengan pengkajian PQRST. 7. Pengkajian Sekunder persistem a. Sistem pernafasan (B1) Pada pengkajian ini yang perlu diketahui ialah bagaiamana respon paru dalam bentuk RR, suara nafas yang abnormal, sumbatan nafas, ketidak efektifan pola nafas, adanya sesak nafas atau tidak. b. Sistem kardiovaskular (B2) Pada sistem ini hal yang perlu dikaji ialah kerja jantung dalam bentuk TD yang meningkat, akral hangat atau dingin, CRT yang lebih dari 3 detik, suara jantung. c. Sistem persyarafan (B3) Pada sistem persyarafan hal yang perlu dikaji ialah bagaimana respon pasien saat diberi rangsang. Bagaimana keadaan indra pengecap, pendengaran, penglihatan, penciuman, dan perabaan, apakah pasien
13
merasa lemah. d. Sistem perkemihan (B4) Pada sistem perkemihan yang perlu dikaji adalah sistem urinaria seperti urin output per jam (o,5-1ml/kg BB), warna urin dan bau. e. Sistem percernaan (B5) Pada sistem pencernaan hal yang perlu dikaji ialah gerak peristaltik usus, feses, frekuensi BAB per hari, konsistensi dan keluhan pencernaan pasien. f. Sistem Muskoloskeletal (B6) Hal yang perlu dikaji dari muskoloskeletal ialah bagaimana tingkat ROM pasien dalam beraktivitas atau gerak. Kekuatan untuk menahan dorongan ataupun melawan gravitasi.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan iskemia jaringan sekunder terhadap oklusi arteri koroner 2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria. 3. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau kegagalan
utama
paru,
perubahan
membran
alveolar-kapiler
(atelektasis, kolaps jalan napas/ alveolar edem paru/ efusi, sekresi berlebihan/ perdarahan aktif) 4. Penurunan curah jantung berhubungan dengan infark miokard 5. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan miokard infark 6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai oksigen dengan kebutuhan
14
C. Intervensi Keperawatan
Dx 1
2
Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional Hasil Setelah dilakukan 1. Kaji nyeri secara 1. Menentukan tindakan komprehensif ( tindakan yang tepat keperawatan selama Lokasi,Karakteristik 2 x 24 jam, ,Kualitas,dan diharapkan nyeri Derajat nyeri) pada pasien dapat 2. Observasi reaksi 2. Menjadi data berkurang dengan non verbal dari pendukung Kriteria Hasil : ketidaknyamanan penentuan Dx 1. Mampu 3. Ajarkan teknik 3. Mengurangi rasa Mengontrol nafas dalam nyeri dengan cara nyeri meningkatkan rasa 2. Melaporkan nyaman nyeri berkurang 4. Anjurkan pasien 4. Mempercepat 3. Mampu bedrest total kesembuhan mengenali nyeri 5. Anjurkan pasien 5. Meningkatkan (skala,intensitas posisi fowler atau ekspansi ,frekuensi,dan semi fowler paru,memaksimalk tanda nyeri) an ventilasi 4. Menyatakansec 6. Cek Riwayat alergi 6. Menurunkan resiko ara nyaman alergi obat bahwa nyeri berkurang 7. Monitor TTV 7. Mengetahui keadaan umum 8. Kolaborasikan 8. Mengurangi nyeri dengan dokteruntuk pemberian analgetikbila diperlukan 9. Evaluasi efektifitas 9. Menentukan analgesic,tanda – tindakan tanda gejala selanjutnya
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah gangguan perfusi jaringan dengan kriteria hasil: a. Tanda Vital
1. Monitor adanya daerah yang peka terhadap panas, dingin, tajam, tumpul 2. Monitor gambar EKG
15
1. Untuk mengetahui akral pada pasien
2. Untuk mengetahui tanda tanda alkalosis metabolik
3
4
dalam rentang normal - TD : 110 – 130 /70 – 90 mmHg - HR:80 – 100 X/menit - RR : 20 – 24 X/menit b. Tidak ada tandatanda peningkatan tekanan intrakranial (tidak lebih dari 15 mmHg) Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah pertukaran gas teratasi dengan kriteria hasil: a. BGA dalam rentang normal - pH : 7,38-7,42 - HCO3: 22-28 - PO2: 75 -100 mm Hg - PCO2: 38-42 mm Hg - SaO2: 94100% b. RR dalam rentang normal (1624x/menit) c.Kebutuhan oksigen adekuat dibuktikan dengan pasien tidak mengeluh sesak nafas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam, diharapkan penurunan curah
3. Bantu pasien untuk ambulasi 4. Kolaborasi pemeriksaan laboratorium (gas darah, BUN, kretinin, elektrolit) 5. Kolaborasi dalam pemberian terapi obat
3. Untuk mengurangi resiko dekubitus 4. Penting sebagai indikator perfusi/fungsi organ.
1. Auskultasi suara nafas, catat adanya krekels
1. Menunjukan adanya bendungna pulmonal/ penumpukan secret 2. Untuk mengetahui hipoksemia dan dapat menjadi berat selama oedem paru 3. Untuk memberikan kesempatan paru mengembang secara maksimal 4. Memberikan rasa rileks/ nyaman
2. Pantau BGA, nadi Oksimetri
3. Atur semiflower
posisi
4. Bantu pasien untuk melakukan teknik nafas dalam 5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi Oksigen
1. Monitor TTV
5. Untuk mempercepat penyembuhan
5. Untuk proses penyembuhan
1. Mengetahui keadaan umum pasien 2. Catat adanya tanda 2. Menilai cardiac dan gejala output penurunan cardiac
16
5
jantung dapat teratasi dengan Kriteria Hasil : 1. TTV dalam rentang normal TD : 110 – 130 /70 – 90 mmHg N : 80 – 100 X/menit RR : 20 – 24 X/menit 2. Tidak ada disaritmia 3. Penurunan dispnea 4. Tidak ada penurunan kesadaran 5. Haluaran urine adekuat 6. Tidak ada edema paru,perifer,dan ascites 7. AGD dalam batas normal Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam, diharapkan pola nafas kembali efektif,dengan Kriteria Hasil : 1. Sesak nafas berkurang 2. Penggunaan ventilator O2 berkurang 3. Frekuensi RR = 20 – 24 X/menit 4. Menunjukakan jalan nafas yang paten
output 3. Monitor balance cairan 4. Kaji ulang EKG
5. Auskultasi nafas
bunyi
1. Observasi nafas klien
pola
2. Auskultasi suara nafas tambahan(Ronchi ,wheezing) 3. Atur posisi untuk memaksimalkan ventilasi (fowler atau semi fowler) 4. Ajarkan teknik nafas dalam 5. Ukur RR dan SpO2
6. Kolaborasi
17
3. Mengetahui haluaran urine 4. Menunjukkan perbaikan/ kemnajuan infark fungsi ventrikel terutama pada gambar ST menunjukkan kestabilan. 5. Mengetahui adanya kongesti paru karena penurunan fungsi miokard
1. Mengidentifikasi kepatenan jalan nafas dan keperluan tambahan oksigen 2. Mengidentifikasi adanya kelainan di paru 3. Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan ventilasi 4. Meningkatkan rasa nyaman 5. Mengidentifikasi keperluan tambahan O2 6. Pemberian 02
6
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, diharapkan ada peningkatan aktivitas pada pasien,dengan Kriteria Hasil : 8. Keseimbangan antara aktivitas dan istirahat 9. TTV dalam rentang normal TD : 110 – 130 /70 – 90 mmHg N : 80 – 100 X/menit RR : 20 – 24 X/menit
pemberian O2 7. Kolaborasi pemberian bronkodilator
adekuat 7. Menjaga kepatenan jalan nafas.
1. Observasi adanya pembatasan klien dalam melakukan aktivitas 2. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan 3. Monitor nutrisi dan sumber energy yang adekuat
1. Mengurangi pasien kelelahan
4. Bantu klien mengidentifikasi aktivitas yang mampu dilakukan
2. Menurunkan resiko kelelahan 3. Nutrisi yang adekuat mengurangi kelehan saat aktivitas 4. Aktivitas yang tidak sesuai kemmpuan akan menyebabkan resiko komplikasi
D. Implementasi Melakukan tindakan sesuai dengan intervensi. E. Evaluasi Penilaian perkembangan hasil implementasi keperawatan yang berpedoman pada tujuan da kriteria hasil apakah telah tercapai dalam waktu yang telah ditentukan dengan menggunakan metode SOAP.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 4. Jakarta: EGC 2. Kumar, Cotran, Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta: EGC 3. Pusponegoro, D Aryono. 2010.Buku Panduan Basic Trauma and Cardiac LifeSupport, Jakarta : Diklat Ambulance AGD 118 4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V . Jakarta: Interna Publishing. 5. Cooper, Diana. 2015. The use of primary PCI for the treatment of STEMI. British Journal of Cardiac Nursing Vol 10 No 7. Diakses pada 28 April 2018. https://www.magonlinelibrary.com 6. Nurarif, A.H & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid . jogjakarta : Mediaction.
19