DAFTAR ISI Halaman
ABSTRAK------------------------------------------------------------------------------------i ABSTRACT -----------------------------------------------------------------------------------ii -----------------------------------------------------------------------------------ii
DAFTAR ISI -----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------iii -----iii DAFTAR GAMBAR -----------------------------------------------------------------------v
BAB I
PENDAHULUAN----------------PENDAHULUAN---------------------------------------------------------------------------------------1 --------1 1.1 Alasan Pemilihan Masalah--------------------Masalah-------------------------------------------------------------1 1 1.2 Metode dan Teknik Penulisan-----------------------Penulisan-----------------------------------------------1 ----1 1.3 Organisasi Karangan---------------------Karangan--------------------------------------------------------------------1 ------1
BAB II
TINJAUAN UMUM LUPUS ERITEMATOSUS -------------------3 -------------------3 2.1 Definisi Lupus Eritematosus---------------------Eritematosus--------------------------------------------------3 ---------3 2.2 Sejarah Lupus Eritematosus--------------------Eritematosus-----------------------------------------------------------3 3 2.3 Klasifikasi Lupus Eritematosus -------------------------------------------------------------------5 -----5 2.4 Epidemiologi Lupus Eritematosus------------------Eritematosus-------------------------------------------6 -----6 2.5 Etiologi Lupus Eritematosus--------------------Eritematosus-----------------------------------------------------------6 6 2.6 Patogenesis Lupus Eritematosus-------------------Eritematosus-----------------------------------------------7 ----7 2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Sec ara Umum---------8 2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus E ritematosus Pada Kulit ---------------------------------------8 8 2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada SSP--------------------10 SSP--------------------10 2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal-----------------11 Ginjal-----------------11 2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata-------------------12 Mata-------------------12 2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada GI----------------------13 GI----------------------13 2.8 Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus -----------------------------------13 --13 2.9 Diagnosis Lupus Eritematosus---------------------Eritematosus------------------------------------------------15 -----15 2.10 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum--------15
2.11 Prognosis Lupus Eritematosus--------------------Eritematosus----------------------------------------------- 16 2.12 Pencegahan Lupus Eritematosus----------------Eritematosus--------------------------------------------- 16
BAB III
MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS PADA RONGGA MULUT----------------------MULUT------------------------------------------------------------------ 18
BAB IV
PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI-----------------GIGI------------------------------------------------ 22
BABV
KESIMPULAN DAN SARAN-------------------SARAN------------------------------------------------------------ 25 5.1 Kesimpulan---------------------Kesimpulan-------------------------------------------------------------------------------------------- 25 5.2 Saran---------------Saran----------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 25
DAFTAR PUSTAKA
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
27
ABSTRAK
Faktor imun dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa penyakit yang disebabkan gangguan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain lupus eritematosus. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multiorgan, seperti pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut. Etiologi lupus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang sama. Manifestasi klinis dan prognosis lupus bervariasi dari ringan sampai berat. Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dapat berupa lesi yang spesifik seperti ulser atau erosi pada bukal atau palatum, dan lesi seperti lichen planus. Lesi yang tidak spesifik seperti herpes simpleks labialis, lesi prakanker leukoplakia, atau kandidiasis. Lesi pada rongga mulut biasanya dipicu oleh penggunaan obat kortikosteroid. Dokter gigi hendaknya tidak hanya memeriksa keadaan gigi pasien saja tetapi juga memperhatikan keadaan mukosa dalam rongga mulut. Manifestasi pada rongga mulut yang berupa ulser bisa menjadi deteksi awal penderita lupus. Oleh karenanya sebagai dokter gigi diharapkan terus menambah wawasan mengenai berbagai kelainan/penyakit
sistemik
dan
manifestasinya
dalam
rongga
mulut
serta
penatalaksanaannya di bidang Kedokteran Gigi.
Kata kunci : Faktor imun, lupus erithematosus, lesi oral, penatalaksanaan di bidang Kedokteran Gigi.
ABSTRACT
Immune factors have an important role in human body. Immune disorders can be found in lupus erythematosus patient. Lupus erythematosus is a chronic systemic autoimmune disease affecting multiple organ sytems, include skin, nervous systems, gastrointestinal system, eyes, also mouth. The aetiology of lupus erythematosus still uncertain, but a lot of theorys has been made according to the same pathogenesis. Prognosis of lupus erythematosus is vary, from mild to severe. Spesific oral lesions in lupus erythematosus include oral ulcer, and lichen planus like lesion. Non specific oral lesions include herpes simplex labialis, Steven Jhonson’s
Syndrome,
oral
candidiasis,
and
oral
precancer
leukoplaqia
or
erythroplaqia. Oral lesions usual triggered by corticosteroid drugs. Dentist should not check only to the teeth but also have to give attention to oral mucosa. Oral ulcer in lupus can be early sign to detect this patient. So, as a dentist must up date him or herself about medical knowledge, include the oral manifestation and its treatment in dentistry.
Keywords : Immune factors, lupus erythematosus, oral lesion, treatment in dentistry
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Masalah
Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit lupus yang bermanifestasi pada kulit. Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat dan melibatkan banyak organ, termasuk rongga mulut. Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari dokter gigi. Dokter gigi diharapkan dapat memahami berbagai kelainan pada mulut dan gigi, karena dapat membantu mendeteksi penyakit / kelainan sistemik yang ada pada pasien. Tulisan mengenai penyakit lupus eritematosus belum banyak didapat, sehingga penulis merasa tertarik untuk membahasnya. Diharapkan makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan mengenai manifestasi penyakit sistemik dalam rongga mulut dan penatalaksanaannya, terutama bagi para dokter gigi.
1.2 Metode dan Teknik Penulisan
Penulis menyusun makalah ini berdasarkan penelusuran pustaka dengan mengumpulkan dan mempelajari bahan-bahan bacaan yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
1.3 Organisasi Karangan
Penulis membagi makalah ini menjadi lima bab dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I
:
merupakan pendahuluan yang menguraikan alasan pemilihan masalah, metode dan teknik penulisan serta organisasi karangan.
Bab II
:
merupakan tinjauan umum lupus eritematosus yng terdiri dari definisi lupus eritematosus, sejarah lupus eritematosus, klasifikasi lupus eritematosus,
epidemiologi
eritematosus,
patogenesis
lupus lupus
eritematosus, eritematosus,
etiologi
lupus
manifestasi
lupus
eritematosus secara umum, pemeriksaan penunjang lupus eritematosus, diagnosis lupus eritematosus, prognosis lupus eritematosus, pencegahan lupus eritematosus.
Bab III
:
menguraikan mengenai manifestasi klinis lupus eritematosus pada rongga mulut.
Bab IV
: menguraikan mengenai penatalaksanaan lupus eritematosus di Bidang Kedokteran Gigi
Bab V
:
kesimpulan dan saran
BAB II TINJAUAN UMUM LUPUS ERITEMATOSUS
2.1 Definisi Lupus Erythematosus
Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ . (1). Lupus Eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri (2).
2.2 Sejarah Lupus Eritematosus
Sejarah penyakit lupus eritmatosus dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu (3): 1. Periode Klasik Dimulai ketika penyakit ini ditemukan pada zaman abad pertengahan dan memperlihatkan gambaran adanya gangguan pada manifestasi kulit. Istilah lupus muncul pada abad 13 yaitu pada masa Rogerius, seorang tenaga medis yang mendeskripsikan classic malar rash, yaitu lesi berupa erosi pada kulit wajah yang menyerupai gigitan serigala Sejarah lupus pada zaman klasik berdasarkan atas gambaran klinis berupa lesi di kulit yang meliputi lupus vulgaris, lupus profundus, lupus diskoid, dan fotosensitivitas pada ruam malar/ butterfly rash .. Gambaran klasik penampakan kulit lupus dideskripsikan juga oleh beberapa penemu, yaitu: Thomas Bateman, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Inggris Robert William, pada awal abad XIX, kemudian oleh Cazenave, seorang murid ahli kulit berkebangsaan Perancis Laurent Biett, pada tengah abad XIX, dan oleh Moriz Kaposi (Moriz Kohn), seorang murid dan menantu ahli kulit berkebangsaan Austria bernama Ferdinand von Hebra, pada akhir abad XIX
Lesi berupa ruam diskoid pertama kali diperkenalkan pada tahun 1833 oleh Cazenave dengan nama eritema sentrifugum, sedangkan ruam yang sekarang dikenal sebagai ruam malar pertama kali diperkenalkan oleh Hebra pada tahun 1846. Gambaran lupus eritematosus yang pertama kali dipublikasikan berasal dari tulisan von Hebra yang berjudul Atlas Penyakit Kulit, dipublikasikan pada tahun 1856. 2. Periode Neoklasikal Dimulai oleh Moric Kaposi pada tahun 1872 yang menemukan manifestasi penyakit sistemik. Kaposi mengemukakan dua tipe lupus eritematosus, yaitu tipe diskoid dan tipe disseminated . Kaposi juga menyebutkan beberapa tanda/gejala yang menggambarkan tipe disseminated , yaitu : nodul subkutan, artritis dengan hipertrofi, sinovial pada sendi kecil maupun besar, limfadenopati, demam, berat badan berkurang, anemia, keterlibatan SSP.
3. Periode Modern Mulai tahun 1984 ditemukan sel lupus eritematosus (sel LE) oleh Hargraves dkk. yang meneliti sel yang berasal dari sumsum tulang penderita lupus eritematosus tipe disseminated akut. Dua penanda imunologik pada penyakit lupus ditemukan pada tahun 1950, yaitu tes false-positif biologis untuk sifilis dan tes imunofluoresen untuk antinuclear antibodi. Ada dua kemajuan utama pada periode modern yaitu perkembangan studi lupus pada binatang, dan pengenalan aturan predisposisi genetik pada perkembangan lupus. Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus. Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash . Tetapi pendapat lain menyatakan istilah lupus bukan berasal dari bahasa Latin, melainkan dari istilah
topeng perancis dimana dilaporkan wanita memakainya untuk menutupi ruam di wajahnya. Topeng ini dinamakan ”Loup”,yang dalam bahasa perancis berarti serigala atau ”wolf” dalam bahasa Inggris (3).
2.3 Klasifikasi Lupus Eritematosus
Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu (4) : 1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe : a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi: 1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus 2) Oral Discoid lupus Erythematosus 3) Lupus Erythematosus panniculitis b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE) 2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE) 3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan menjadi (2): 1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) 2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 3. Bullous form 4. Neonatal form (NLE) 5. Acute Cutaneous form (ACLE) 6. Subacute Cutaneous form (SCLE)
7. Chronic Cutaneous form (CCLE) 8. Childhood onset (CSLE) 9. Drug Induced (DILE)
2.4 Epidemiologi Lupus Eritematosus
Lupus Erithematosus merupakan penyakit yang jarang terjadi. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan antara 270.000-1.500.000 orang mengidap lupus.
Penyakit
lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria, tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1, umumnya pada usia 18-65 tahun tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun (2). SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia,
Hispanik,
dan
dipengaruhi
faktor
sosioekonomi.
Sebuah
penelitian
epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orangper tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat menjadi sukar dipahami (5).
2.5 Etiologi Lupus Eritematosus
Etiologi lupus eritematosus, seperti halnya penyakit autoimun lain, adalah tidak diketahui (6). Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies (ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri. Teori lainnya menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA (2).
Faktor-faktor seperti paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus eritematosus sistemik. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA ( Human Leucocyte Antigen ) / MHC ( Major Histocompatybility Complex ). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B,
begitu juga supresor limfosit T yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibodi (2).
2.6 Patogenesis Lupus Eritematosus
Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal (7). Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus, yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8). Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte
) yang Antigens
mendukung
konsep
bahwa
gen
MHC
( Major
Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita
lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6). Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang
peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang
menunjukkan
bahwa
perokok
memiliki
resiko
tinggi
terkena
lupus,
berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis. (8) Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA ( double-stranded DNA ), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (8).
2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum
Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus”, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan (2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena (10).
2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit
Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen.
Ruam
malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut
dipicu oleh paparan cahaya matahari.(6,11,12) .. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut (6).
Gambar 2.1. Lesi awal DLE
Gambar 2.2. Butterfly Rash
Gambar 2.3.Jaringan atropi
Gambar 2.4. Jaringan parut
Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia
Gambar 2.6. Eritematosa pada jari
2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat
Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke). Manifestasi utama dari Lupus SSP : 1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori) 2. Sakit kepala 3. Seizure 4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma) 5. Meningitis aseptik 6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian – bagian otak yang berbeda) 7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan kaki) 8. Gangguan pergerakan 9. Myelitis (gangguan pada spinal cord) 10. visual alternation 11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)
Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures , meningitis like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour . MRI otak memperlihatkan daerah infark singel atau multipel. Sindrom
Antiphospholipid.
Siapapun
yang
memiliki
antibodi
antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan
darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak ( disebut kejadian thromboembolic ) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara. Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 4550% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP. Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a mottled skin rash ), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang
mengalami gangguan kognitif
biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan,
kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan kognitif adalah intermiten. Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental
yang permanen atau bahkan seizures . Kondisi ini menyebabkan
kerusakan permanen pada SSP (13).
2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal
Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira 50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal
yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15).
2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata
Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek eksternal,
contohnya
pada
gejala
kekeringan
mata
yang
menimbulkan
ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogren’s sindrome atau sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea. Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi pembuluh darah yang mengalami kerusakan ( microangiopathy ), sehingga retina dapat kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini dapat ditemukan walau disertai gejala lain. Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy . Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).
Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati dapat menyebabkan kebutaan. Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtscher’s retinopathy , adanya cotton wool spots . Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16).
2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal
Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah v omiting 5-10%, sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17). Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi, perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).
2.8 Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus
Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada penyakit lupus adalah pemeriksaan laboratorium darah. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopeni, limfopenia, atau leukopenia; erytrocyte sedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, test Coombs mungkin
positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, serum globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering ditemukan pada urin (18). Hasil pemeriksaan imunologis pada penderita lupus adalah untuk tes ANA, positif pada 95% kasus lupus eritematosus sistemik. Tes sel lupus eritematosus sebenarnya spesifik tapi tidak terlalu sensitif sehingga dihapus dari kriteria American College of Rheumatology (ACR). Tes Double-stranded DNA/ ds-DNA , anti-dsDNA
sebetulnya spesifik tanpa tidak cukup sensitif, biasanya mengindikasikan adanya
penyakit pada ginjal. Tes antibodi anti-Sm, sensitifitas kurang dari 10% tetapi dengan spesifitas yang tinggi. Tes antinuklear ribonucleic acid protein (anti-nRNP) menunjukkan hasil titer yang rendah pada penderita lupus eritematosus sistemik. Tes antibodi anti-La positif pada penderita lupus. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25% penderita lupus, 40% penderita Sjogren’ syndrome. Tes komplemen serum, bila rendah menunjukkan penyakit lupus sedang aktif biasanya disertai penyakit ginjal. Tes band lupus, merupakan tes imunofluoresen langsung pada kulit. Tes antiphopholipid termasuk antibodi antikardiolipin dan antikoagulan lupus. Hasil tes ini positif pada penderita lupus (18). Bila tes ANA positif atau bila ada kecurigaan kearah lupus eritematosus sistemik tetapi tes ANA negatif, dilakukan tes lain yaitu anti RNP, anti double stranded DNA, dan antibodi anti-Smith. Pemeriksaan komplemen juga diperlukan. Antibodi anti-Smith biasa ditemukan pada 20% penderita lupus (2) Pemeriksaan
penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi, dengan cara
biopsi. Hasil biopsi memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis yang signifikan, infiltrasi limfosit yang dalam dan tidak sempurna dengan proses flame-shape rete dan membran dasar yang menebal, hiperkeratosis, follicular plugging , dan adanya infiltrasi sel inflamasi. Tes lupus band memperlihatkan deposit imunoglobulin pada membaran dasar epitel. Deposit glanular terutama IgM ditemukan pada membran dasar dari lesi (2,19)
Gambar 2.7 Gambaran Histologi lupus eritematosus
2.9 Diagnosis Lupus Eritematosus
Untuk membedakan lupus dengan penyakit lain, ahli medis dari American Rheumatism Association telah nenetapkan 11 kriteria kelainan yang terjadi dalam
mendiagnosis lupus eritematosus yaitu bila ada 4 poin dari 11 manifestasi kelainan. Kriteria ini dikemukan oleh Dr Graham Hughes pada tahun 1982 yaitu : ruam malar, ruam diskoid, fotosensitifitas, ulser pada rongga mulut, artritis, serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada sistem saraf, gangguan perdarahan, gangguan imunologis, antibodi antinuklear (4,5,6,9) 2.10 Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum
Tujuan penatalaksanaan pada penderita lupus adalah untuk meningkatkan keadaan umum penderita, mengontrol lesi yang ada, mengurangi bekas luka, dan untuk mencegah pertumbuhan lesi lebih lanjut. Penderita lupus juga perlu mengetahui kemungkinan adanya manifestasi sistemik yang beresiko serius, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium secara reguler (19). Pengobatan sesuai standar medis meliputi pemberian kortikosteroid (topikal atau intralesi) dan antimalaria. Lupus Eritematosus memperlihatkan manifestasi dan gejala-gejala pada banyak organ sehingga penatalaksanaan secara sistemik perlu dilakukan. Drug of choice yaitu anti malaria hydroxychloroquine terutama pada pasien dengan poliartralgia dan manifestasi pada kulit. Pengobatan ini memberi resiko kecil terhadap terjadinya retinopathy , karena bersifat reversibel bila obat dihentikan (2)., tetapi antimalaria kurang efektif pada pasien perokok. Alternatif obat lainnya yaitu auranofin, thalidomide, topikal retinoid, interferon, dan agen imunosupresif. Thalidomide memberi keberhasilan penyembuhan pada lesi
DLE
tetapi sering menyebabkan teratogenik dan resiko neuropathy . Injeksi intralesi dengan kortikosteroid (triamsinolon asetonid 3 mg/ml) juga berguna. Diantara agen
imunosupresif, methotrexate sering digunakan pada kasus lupus yang berat, disamping azathioprine dan mycophenole mofetil yang sangat efektif (2,19). 2.11 Prognosis Lupus Eritematosus
Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita lupus eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada beberapa kasus perlu dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal. Lebih dari 85% penderita lupus mengalami kelainan darah seperti trombositopeni dan anemi hemolitik. Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis, dan miokarditis (2). Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus lebih baik, meskipun lesi secara kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan biasanya tidak membuat penderita harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid lupus yang berkembang menjadi sistemik lupus (11). Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil yang menyatakan kematian selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%, kematian biasanya terjadi karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP (36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi dapat menyebabkan kematian (20). 2.12 Pencegahan Lupus Eritematosus
Etiologi dari lupus adalah belum diketahui secara pasti sampai saat ini, tetapi beberapa tindakan pencegahan dapat saja dilakukan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah pada penggunaan obat-obat terapeutik, sehingga dapat dikurangi gejala dan tanda-tanda yang menjadi efek sampingnya. Selain itu perlu diperhatikan
pula penggunaan kacamata, sunscreen , pakaian yang melindungi dan minyak / pelembab untuk melindungi kulit dari sinar UVA sehingga dapat mengurangi atau mencegah ruam pada kulit dan kemungkinan naussea (2). Penggunaan obat steroid dapat mencegah timbulnya poliartritis dan lesi pada kulit, tetapi pada pasien dengan pengobatan steroid jangka panjang beresiko terkena osteoporosis, sehingga dosis steroid perlu dikurangi sampai seminimum mungkin, dan pasien juga perlu diberikan kalsium,vitamin D, kalsitonin, dan biophosphonates untuk meningkatkan pembentukan tulang.
BAB III MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS PADA RONGGA MULUT
Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada lupus eritematosus, seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering ditemukan pada palatum, mukosa bukal, dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti ulser tanpa rasa sakit (2).
Gambar 2.8 Ulserasi putih ireguler pada bukal
Gambar 2.9 erosi pada bukal
Gambar 2.9 Erosi pada palatum
Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering, rasa sakit, dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Infiltrasi limfosit kelenjar saliva minor ditemukan pada 50-75% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya rasa kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate yang tidak terstimulasi menurun pada banyak penderita lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrome (2).
Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa aphtae ( canker sores) . Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis
aphtous rekuren. Lesi ini mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya berukuran kecil ( kurang dari 1 cm), terasa sakit, dapat ditemukan pada mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih lama, lebih besar, dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai plak berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus (21)
Gambar 2.10 Lesi mirip lichen planus Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa lesi herpes simplex labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil blister pada bibir dan gusi. Lesi ada selama dua sampai empat minggu, dapat sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus eritematosus mendapatkan terapi imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering yaitu hampir setiap bulan. Lesi non spesifik
lainnya adalah Steven – Jhonson’s Syndrome (SJS). Penyakit ini merupakan komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS dipicu oleh obatobatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan, dan obat pain killer . Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital, dn kulit biasanya dua sampai empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada kulit disebut ”target” karena adanya konfigurasi melingkar. Bila lesi ini bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit.(21).
Gambar 2.10 Lesi herpes simplex Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan thrush, yang menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putih-merah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat di rongga mulut. Lesi biasanya asimtomatik, tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan kesulitan menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi imunosupresif adalah kanker pda mukosa seperti karsinoma sel skuamosa, yang mempengaruhi kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak putih (leukoplakia) atau plak merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah (21)
Gambar 2.11 Thrush
.
Gambar 2.11 Lesi prekanker Leukoplakia
BAB IV PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI
Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor, yang pertama yaitu komunikasi antara pasien, tenaga medis, baik dokter atau dokter gigi. Pasien harus menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya, termasuk riwayat pengobatan sebelumnya sehingga dokter gigi dapat mengetahui keadaan medis pasien dengan baik, disamping mendapatkan informasi langsung dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus membutuhkan operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan dokter. Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid dan memerlukan antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai penyakit jantung. Pemeriksaan setelah operasi harus lebih sering dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan pasien non lupus. Faktor kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri ( self examination). Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap
individu di rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut dapat terdeteksi lebih dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin menjaga kebersihan rongga mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan rongga mulutnya maka keadaan yang lebih parah dapat terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,misalnya untuk kasus periodontal, satusatunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang baik minimal dua kali sehari. Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss, dental tape, dan rubber tips (22). Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulser/ apthae pada penderita lupus eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan dengan anti-metabolit seperti azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil (CellCept) dengan cyclophosphamide. Sebagai terapi tambahan dapat diberikan Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150 mg/hari, atau thalidomide 100-
200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada diskoid lupus eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi
obat topikal dan sistemik. Terapi
topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel (diaplikasikan 4-5 kali sehari), dengan atau tanpa topikal tacrolimus ointment (2-3 kali sehari). Thalidomide 100-200 mg sehari, dengan atau tanpa hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif. Pemberian terapi sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil atau leflunomide (Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat meskipun jarang terjadi (21,22). Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex labialis adalah dengan mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan menggantinya dengan corticosteroid-sparing drugs seperti azathioprine, mycophenolate
mofetil
dan cyclophosphamide yang diberikan sejak awal. Pada beberapa penderita lupus eritematosus perlu juga memeberikan terapi herpes dengan obat antivirus seperti valacyclovir (valtrex) atau famciclovir (Famvir), sedangkan untuk penatalaksanaan Steven Jhonson’s Syndrome tidak ada terapi yang efektif karena penggunaan dosis tinggi obat kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan kematian karena infeksi (21). Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu untuk kandidiasis pada penderita lupus dapat diberikan prednisone dengan dosis yang diturunkan, nystatin oral lozenges atau pil, dan obat antifungal seperti fluconazole (Diflucan), sedangkan penatalaksanaan lesi prekanker seperti leukoplakia atau eritroplakia dapat dilakukan dengan operasi, electrocautery , dan freezing. Selain itu dapat diberikan krim topikal imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat dilakukan penatalaksanaan dengan operasi pengangkatan secara luas dengan radiasi atau kemoterapi. Cara terbaik untuk mencegah komplikasi ini pada penderita lupus eritematosus adalah dengan penggunaan yang tepat agen imunosupresif (21).
Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik maupun non spesifik, biasanya penderita lupus eritematosus mngeluhkan rasa mulut kering, rasa sakit dan rasa terbakar pada rongga mulut. Dry mouth atau mulut kering pada penderita lupus eritematosus dapat terjadi salah satunya dari penggunaan obat sistemik. Untuk membantu menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet (yang mengandung sorbitol, bukan sukrosa), atau pemberian obat kolinergik (sialogogues ), tetapi terapi ini hanya boleh diberikan oleh dokter spesialis mengingat efek
samping
yang
bisa
menyebabkan
bradikargi,
berkeringat,
berkemih.
Pyridostigmine dapat juga diberikan karena memberi efek samping yang lebih kecil (23). Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakt dan rasa terbakar pada penderita lupus eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian terapi untuk faktor organik yang menyebabkan ketidaknyamanan misalnya terapi untuk kandidiasis atau lichen planus baik secara sistemik maupun topikal, kemudian dapat dicoba pemberian vitamin B1 300 mg dan vitamin B6 50 mg sebanyak tiga kali sehari selama empat minggu sebagai placebo (23).
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Penyakit Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis yang melibatkan banyak organ. Etiologinya masih belum bisa dipastikan, tetapi teoriteori yang ada memiliki patogenesis yang sama. Penderita lupus eritematosus memiliki prognosis yang bervariasi dari ringan sampai berat . Untuk kasus ringan prognosisnya baik bila diberikan terapi yang adekuat, meskipun untuk setiap terapi dapat memberikan efek samping. Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dibedakan menjadi lesi spesifik biasanya berupa ulser, atau lesi seperti lichen planus dan bisa berupa lesi non spesifik seperti lesi herpes simplex, Steven Jhonson’s syndrome, kandidiasis/ thrush, atau lesi prekanker leukoplakia atau eritroplakia. Penatalaksanaan manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut biasanya dengan pemberian obat steroid sistemik dan topikal , atau obat anti jamur, disamping perlu juga pemberian vitamin sebagai plasebo. 5.2 Saran
1.
Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut yang paling sering adalah berupa ulser, sehingga perlu adanya perhatian dari setiap dokter gigi terhadap setiap kelainan mukosa karena dapat menjadi manifestasi dari penyakit sistemik, seperti pada lupus eritematosus.
2. Sebaiknya perlu dilakukan pemeriksaan lab yang lengkap sebagai deteksi awal bila ditemukan gejala yang dicurigai lupus eritematosus, dan perlu adanya
kerjasama dengan dokter bagian penyakit dalam untuk penatalaksanaan secara sistemik penderita lupus eritematosus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenberg MS, Michael G. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment. 10
th
ed. Hamilton: BC Decker Inc. 2003.
2. European Assosiation of Oral Medicine. Oral Lupus Erythematosus. School of Dental Medicine University of Zagreb. 2005.
3. Hochberg MC. The History of Lupus Erythematosus. Lupus Foundation of America Newsletter Article Library. 1993.
4. Myers SA, Mary HA. Cutaneous Manifestation of Lupus: Can You Recognize Them all ? Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.
5. Manzi S. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. The American Journal of Managed Care. Vol 7 No 16. 2001. th
6. Kumar V, Abul KA, Nelson F. Pathologic Basis of Disease. 7 ed. Philadelphia: Elsevier saunders. 2005. th
7. Marks JG, Miller JJ. Lookingbill and Marks Principles of Dermatology. 4 ed. Philadelphia: Elsevier inc. 2006.
8. Wolff K,Goldsmith LA,Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. Fitzpatrick’s th
Dermatology in General Medicine. 7 ed. New york: McGraw Hill Medical. 2008. th
9. Scully C, Roderick AC. Medical Problems in Dentistry. 5 ed. London: Elsevier Churchill Livingstone. 2005.
10. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik Pada Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
11. Carson R, De Witt. Discoid lupus Erythematosus. Gale encyclopedia of Medicine. 2002.
12. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatology online Journal Vol 7 No 1.2001.
13. Venuturupalli RS, Allan LM. CNS Lupus: Neurologic nd Psychiatric manifestation of Systemic Lupus Erythematosus. Lupus International. 2007
14. Gallelli B, De Angelis, Venture D, Meroni PL, Moroni G. SLE : Extra-renal Clinical Manifestation and Lupus Nephritis. Milano : Divisi Nefrologi Dialisa. 2005.
15. Macanovic M. Lupus Nephritis: a Summary. Lupus UK News & Views .No.60. 2000.
16. Savage P. Lupus and the Eye. Lupus Foundation of America Lupus News vol 21 No 12. 2001.
17. Cibik GM. Gastrointestinal Involvement in systemic Lupus Erythematosus. Bay Area Lupus Foundation,inc. 1984)
18. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of thr Skin Clinical th
Dermatology. 10 ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006.
19. Callen JP. Lupus Erythematosus,Discoid. e Medicine. 2007
20. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus Eythematosus. American family Physician. 2003.
21. Nikolskaia O, Nousari HC. Oral Disease in Lupus Erythematosus.Lupus News.No.2. 2002.
22.
Denbo JA. Dental Problems and the Lupus Patient. Michigan lupus Information and Resources. 2006.
23. Scully C, Dunitz M. Handbook of Oral Disease Diagnosis and Management. Revised ed. London: Martin Dunitz Ltd. 2001.
LEMBAR PENGESAHAN
JUDUL
: LUPUS ERITEMATOSUS
PENYUSUN : Nanan Nur’aeny, drg. NIP
: 132316885
Bandung, 28 Februari 2008
Menyetujui, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Mulut
Tenny Setiani Dewi,drg.,MKes.,Sp.PM NIP.131567581
LUPUS ERITEMATOSUS TINJAUAN PUSTAKA
DISUSUN OLEH: NANAN NUR’AENY,drg NIP.132316885
UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI BANDUNG 2008