MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara dengan berbagai suku bangsa yang mendiaminya dari bagian barat hingga timur. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki pola kehidupan tersendiri. Pola kehidupan itu membuat Indonesia menjadi kaya akan keberagaman. Keberagaman itu termasuk identitas suku (aspek kesejarahan), sistem sosial, sistem kekerabatan, struktur kelembagaan, adatistiadat dan kebudayaan serta sistem kepercayaan yang dianut suku tersebut. Dari sekian banyak suku bangsa yang ada di Indonesia, ada suku bangsa yang memiliki pola kehidupan yang unik. Yaitu pola kehidupan yang terdapat pada masyarakat suku Tana Toraja. Tana Toraja, sebuah kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan, merupakan tempat tinggal bagi suku aslinya yaitu Suku Toraja. Kabupaten yang seluruh daerahnya merupakan daerah pegunungan ini diperkirakan mulai kedatangan manusia pada abad ke-6. Mereka datang menaiki perahu melalui sungai-sungai besar, terus menuju ke daerah pegunungan Sulawesi Selatan hingga sampai ke Tana Toraja. Mereka inilah yang kelak menjadi masyarakat Suku Toraja yang terkenal dengan kebudayaannya yang unik. Tana Toraja terkenal sebagai kawasan wisata dan juga masyarakatnya yang terkenal sebagai pemegang teguh adat seperti masih adanya upacara upacara kematian yang di sebut Rambu Solok dan upacara kegembiraan yang disebut Rambu Tukak. Daerah Tana Toraja memiliki sejarah yang panjang dan tentu saja tidak diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Termasuk pola kehidupan yang tidak kalah menarik dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Tidak hanya peninggalan sejarah, namun juga seni tradisional, ritual adat, pola permukiman, kosmologi masyarakat toraja dan peninggalan budaya Suku Toraja sebagai suku bangsa yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja yang masih terjaga kelestariannya sampai saat ini. 1
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Selain itu, bentuk kebudayaan Tana Toraja yang masih bertahan hingga saat ini adalah arsitektur rumah tradisional Tana Toraja yang unik dan berbeda dibandingkan dengan arsitektur daerah lain. Ciri utama dari arsitektur rumah tradisional Tana Toraja ialah bentuk atap yang menjulang pada bagian depan dan belakangnya sehingga menyerupai bentuk kapal. Hal yang cukup menarik adalah bahwa setiap detail arsitektur rumah tradisional Tana Toraja memiliki falsafah dasar yang bermakna. Rumah Toraja, selain sebagai tempat tinggal, juga memiliki ciri filosofis religius. B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dapat dilihat sebagai berikut. 1. Apa itu suku adat toraja ? 2. Bagaimana Letak geografis dan gambaran umum mengenai toraja ? 3. Apa identitas etnis suku adat toraja ? 4. Bagaimana suku toraja terbentuk ? 5. Bagaimana penduduk masyarakat tradisional toraja ? 6. Bagaimana sistem kepercayaan suku adat toraja ? 7. Apa jenis-jenis ritual masyarakat toraja ? 8. Apa saja seni tradisonal toraja ? 9. Bagaimana pola permukiman masyarakat toraja ? 10. Bagaimana kosmologi masyarakat toraja ? 11. Bagaimana arsitektur tradisional toraja ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun manfaat penelitian yaitu dapat dilihat sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui suku adat toraja. 2. Untuk mengetahui Letak geografis dan gambaran umum mengenai toraja. 3. Untuk mengetahui identitas etnis suku adat toraja. 4. Untuk mengetahui suku toraja terbentuk. 5. Untuk mengetahui penduduk masyarakat tradisional toraja. 6. Untuk mengetahui sistem kepercayaan suku adat toraja.
2
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Selain itu, bentuk kebudayaan Tana Toraja yang masih bertahan hingga saat ini adalah arsitektur rumah tradisional Tana Toraja yang unik dan berbeda dibandingkan dengan arsitektur daerah lain. Ciri utama dari arsitektur rumah tradisional Tana Toraja ialah bentuk atap yang menjulang pada bagian depan dan belakangnya sehingga menyerupai bentuk kapal. Hal yang cukup menarik adalah bahwa setiap detail arsitektur rumah tradisional Tana Toraja memiliki falsafah dasar yang bermakna. Rumah Toraja, selain sebagai tempat tinggal, juga memiliki ciri filosofis religius. B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dapat dilihat sebagai berikut. 1. Apa itu suku adat toraja ? 2. Bagaimana Letak geografis dan gambaran umum mengenai toraja ? 3. Apa identitas etnis suku adat toraja ? 4. Bagaimana suku toraja terbentuk ? 5. Bagaimana penduduk masyarakat tradisional toraja ? 6. Bagaimana sistem kepercayaan suku adat toraja ? 7. Apa jenis-jenis ritual masyarakat toraja ? 8. Apa saja seni tradisonal toraja ? 9. Bagaimana pola permukiman masyarakat toraja ? 10. Bagaimana kosmologi masyarakat toraja ? 11. Bagaimana arsitektur tradisional toraja ?
C. Tujuan Penelitian
Adapun manfaat penelitian yaitu dapat dilihat sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui suku adat toraja. 2. Untuk mengetahui Letak geografis dan gambaran umum mengenai toraja. 3. Untuk mengetahui identitas etnis suku adat toraja. 4. Untuk mengetahui suku toraja terbentuk. 5. Untuk mengetahui penduduk masyarakat tradisional toraja. 6. Untuk mengetahui sistem kepercayaan suku adat toraja.
2
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
7. Untuk mengetahui jenis-jenis ritual masyarakat toraja. 8. Untuk mengetahui seni tradisonal toraja. 9. Untuk mengetahui pola permukiman masyarakat toraja. 10. Untuk mengetahui kosmologi masyarakat toraja. 11. Untuk mengetahui arsitektur tradisional toraja.
12. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan pemahaman mahasiswa khususnya mengenai adat toraja sekaligus dapat menambah referensi informasi dan wawasan untuk mendukung penelitian selanjutnya yang terkait dengan adat toraja dan matakuliah Revitalisasi Kawasan.
3
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
BAB II PEMBAHASAN
A. Suku Toraja
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk
agama
Kristen, Kristen, sementara
sebagian
menganut
Islam
dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.1
(Gambar Ritual adat Toraja ) Asal usul kata Toraja sampai saat ini masih menjadi perdebatan termasuk berbagi versi dan referensi masing-masing. Ada beberapa versi asal kata Toraja diantaranya sebagai berikut; dari istilah orang Bugis yang menyebut, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas ". Namun beberapa sumber lain menyatakan bahwa orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah “orang yang berdiam di sebelah barat”. Ada juga versi lain bahwa kata Toraya (dalam keseharian kita masih sering mendengar orangorang tua di Toraja menyebut Toraja dengan kata tersebut), berasal dari 2 kata yakni To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar) bisa diartikan orang-
1
Wikipedia. Wikipedia. “Tana Toraja”. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja. 21 21 Maret 2017.
4
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
orang besar atau bangsawan). Seiring waktu dan beberapa perubahan ejaan, kata Toraja masih mempertahankan ejaan lama dalam penulisannya. Adapun kata Tana dapat diartikan sebagai negeri. Hingga dikemudian hari wilayah pemukiman mayoritas suku Toraja lebih dikenal dengan sebutan Tana Toraja, yang akhirnya menjadi nama kabupaten dalam wilayah admistrasi Provinsi Sulawesi Selatan. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat. 2
B. Letak Geografis dan Gambaran Umum
Suku toraja mendiami wilayah bagian utara jazirah Sulawesi Selatan yang berbatasan langsung dengan wilayah Sulawesi Tengah. Secara administrative mereka bermukim di daerah Kabupaten Enrekang, daerah Suppiran di Kabupaten Pinrang, daerah Mamasa di Kabupaten Polewali – Mamasa, daerah Galumpang dan Makki di Kabupaten Mamuju, daerah Pantilang dan Rongkong – Seko di Kabupaten Luwu, Sedangkan daerah inti permukiman mereka adalah Kabupaten Tana Toraja. Wilayah permukiman mereka pada umumnya terletak di daerah pegunungan Latimojong dan Quarles, dengan ketinggian antara 600 m – 2.800 m dari permukaan laut. Daerah pegunungan tersebut membentuk lembahlembah yang dalam dan terjal, sehingga terbentuklah sungai-sungai yang besar 2
Anonym. “Sejarah dan Asal Usul Toraja (Bag.I)”. http://www.torajaparadise.com/2013/03/sejarah-dan-asal-usul-suku-toraja-bagi.html. 21 Maret 2017.
5
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
dengan aliran air yang deras. Akibat dari bentuk topografi yang demikian, maka perkampungan penduduk terpisah-pisah dan terisolir oleh bukit, pegunungan, dan aliran-aliran sungai. Sungai-sungai besar yang mengalir di daerah tersebut adalah Sungai Sakdan, Sungai Karama, Sungai Massuppu, Sungai Noling, dan Sungai Mamasa. Oleh karena tingginya tingkat erosi yang terjadi, maka sebagian besar dari permukaan bentang alamnya seperti perbukitan dan daratan tinggi menjadi lahan yang tandus, sementara daerahdaerah landai daratan rendah di sepanjang aliran sungai menjadi subur. Hal ini sangat mempengaruhi system subsistensi dan pola sebaran permukiman penduduk. Secara umum Kabupaten Tana Toraja merupakan daerah pegunungan dan perbukitan terjal dengan ketinggian rata-rata antara 600-2.800 m dari permukaan laut. Bentuk topogtafi bergelombang yang terdiri atas 20% daratan tinggi, 2 % berupa rawa dan sungai, 40 % perbukitan dan pegunungan, 38 % daratan rendah. Luas Kabupaten Tana Toraja ialah 3.205, 77 km 2, terletak antara 1190 – 1200 BT dan 02 0-030 LS. Keadaan tanah pada umumnya terdiri atas jenis tanah litosol, regosol, dan clay, menyebabkan daerah tersebut sangat subur untuk pertanian yaitu lading dan persawahan. Morfologi pegunungan dengan relief kasar merupakan bagian terbesar dari permukaan topografis Kabupaten Tana Toraja, seperti tampak di daerah Rinding Allo dan Sesean. Sebelah timur Sanggalangik, Sangngallak, Mengkendek, dan sebelah barat pada daerah Bonggakaradeng dan Saluputti, Ketinggian relief pegunungan tersebut berkisar antara 1.000 m – 2.800 m di atas permukaan laut. Pegunungan umumnya berorientasi utara-selatan, kecuali di sebelah barat daerah Bonggakaradeng terdapat beberapa pegunungan yang berorientasi timur-barat. Batuan yang tersingkap di permukaan berupa batuaan beku terobosan, batu pasir, dan batu gamping. Daerah Tana Toraja beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata antara 2.000-3.000 mm/tahun. Kelembaban antara 82-86 % dengan suhu antara 2530 derajat celcius pada siang hari dan 15 derajat celcius pada malam hari.
6
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Orang Toraja pada umumnya senang memelihara binatang seperti babi, kerbau, ayam, dan anjing. Kerbau dan babi merupakan binatang peliharaan yang mempunyai arti yang sangat penting bagi mereka, yaitu sebagai standar penilian baik secara ekonomis maupun secara social. Dalam berbagai upacara adat baik yang berkaitan dengan upacara kematian maupun upacara syukuran, binatang peliharaan tersebut memiliki arti yang khusus karena merupakan bintang yang dipergunakan sebagai kurban persembahan kepada yang Adhi Kodrati.3
C. Identitas Etnis Toraja
Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi daripada dengan sesama suku di dataran t inggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja. Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut),
3
Akin Duli, Dkk . “ Toraja dulu dan kini”, (Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), Cet 1, hal.1-3.
7
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).4
D. Sejarah Suku Toraja
(Gambar Rumah Tongkonan ) Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi. Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan
agama,
Belanda
juga
menghapuskan
perbudakan
dan
menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wila yah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari 4
Anonym. “Sejarah dan Asal Usul Toraja (Bag.I)”. http://www.torajaparadise.com/2013/03/sejarah-dan-asal-usul-suku-toraja-bagi.html. 21 Maret 2017.
8
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957. Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen. Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen. Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha. Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma. 5
5
Anonym. “Sejarah dan Asal Usul Toraja (Bag.I)”. http://www.torajaparadise.com/2013/03/sejarah-dan-asal-usul-suku-toraja-bagi.html. 21 Maret 2017.
9
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
E. Masyarakat Toraja 1. Keluarga
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktik umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta .[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan utang. Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung. Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk kelompok; kadangkadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain. Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus
10
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
digunakan
atau
dihindari,
dan
bahkan
potongan
daging
yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang. 2. Kelas Sosial
Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga. Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan
atau
perubahan
jumlah
kekayaan.
Kekayaan
dihitung
berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki. Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
11
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.6 F. Sistem Kepecayaan Masyarakat Toraja
Aluk Todolo atau Alukta adalah aturan tata hidup yang telah dimiliki sejak dahulu oleh masyarakat Suku Toraja, Sulawesi Selatan. Aturan tata hidup tersebut berkenaan dengan sistem pemerintahan, sistem kemasyarakatan, dan sistem kepercayaan. Dalam hal keyakinan, penduduk Suku Toraja percaya kepada satu Dewa yang tunggal. Dewa yang tunggal itu disebut dengan istilah Puang Matua (Tuhan yang maha mulia). Meski begitu, penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga. Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi tak dapat tinggal lama. Di luar penganut Aluk Todolo, sekalipun bangsawan dan memiliki banyak uang, mereka tidak boleh dimakamkan dengan ritual pa'tomate, upacara penguburan jenazah khas dusun. Penganut Aluk Todolo menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Mereka begitu tegas menerapkan aturan leluhur. Berani melanggar berarti bakal menyengsarakan warga dusun, misalnya mendatangkan petaka gagal panen. Semua kesalahan dan kecurangan berhadapan dengan hukum dan hal itu berlaku bagi semua, termasuk keluarga dekat, saudara jauh, atau pendatang. Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurut kepercayaan Aluk Todolo, dibagi menjadi dunia atas (surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. 6
Wikipedia. “Tana Toraja”. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Toraja. 21 Maret 2017.
12
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (Dewa Bumi), Indo' Ongon-Ongon (Dewi Gempa Bumi), Pong Lalondong (Dewa Kematian), Indo' Belo Tumbang (Dewi Pengobatan), dan lainnya. Hewan tinggal di dunia bawah. Dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar. Bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Di dalam menjalankan ritualnya, Aluk Todolo mengenal dua macam yaitu: Upacara kedukaan disebut Rambu Solok dan Rambu Tuka sebagai upacara kegembiraan. Upacara Rambu Solok meiliputi tujuh tahapan, yaitu: Rapasan, Barata Kendek, Todi Balang, Todi Rondon, Todi Sangoloi, Di Silli, dan Todi Tanaan. Sementara itu, upacara Rambu Tuka pun meliputi tujuh tahapan, yaitu; Tananan Bua’, Tokonan Tedong, Batemanurun, Surasan Tallang, Remesan Para, Tangkean Suru, Kapuran Pangugan. To minaa adalah pendeta Aluk Todolo yang dianggap sebagai pemegang kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman. Kepercayaan Aluk Todolo bukan hanya sistem keyakinan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk Todolo mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk Todolo bisa berbeda antara satu de sa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Aluk Todolo pernah menjadi tali pengikat masyarakat toraja yang begitu kuat, bahkan menjadi landasan kesatuan sang torayan yang sangat kokoh sehingga kemanapun orang toraja pergi akan selalu ingat kampung halaman, dan rindu untuk kembali kesana. Ikatan batin yang Sangtorayan yang begitu kokoh tentu saja antara lain adalah buah-buah dari tempaan Aluk Todolo itu. Karena itu kita patut prihatin bila aluk todolo itu kini nyaris lenyap diterpa
13
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
arus dunia modern. Maka mari kita pikirkan bersama warisan leluhur yang begitu berharga ini.7
G. Jenis-Jenis Ritual Masyarakat Toraja
Jenis-Jenis upacara ritual di masyakat Toraja dibagi atas 2 kelompok yaitu Upacara Rambu Tukak (Upacara yang berkaitan dengan kehidupan) dan Upacara
Rambu
Solok
(Upacara
yang
berkaitan
dengan
kematian).
Pelaksanaan jenis-jenis upacara yang terdapat dalam kedua kelompok tersebut tidak boleh dicampur adukkan, satu kelompok harus diselesaikan sebelum memulai upacara pada kelompok yang lain. 1. Upacara Rambu Tukak Upacara Rambu Tukak adalah upacara yang berkaitan dngan kesyukuran, kesukaan, kelahiran, perkawinan dan keberhasilan panen, yang diatur dala Aluk Rampe Mataallo (Aturan upacara yang dilaksanakan pada saat terbit sampai tengah hari) dengan tempat pelaksanaan selalu berada di sebelah timur Tongkonan atau orientasinyaa ke arah timur. Tingkatan-tingkatan Upacara Rambu Tukak, adalah sebagai berikut. a. Kapura Pangngan (penyajian sirih dan pinang) biasanya dilakukan di rumah atau tempat tertentu seperti di sekitar rumah dengan medium adalah menhir. Tujuannya adalah untuk menghajatkan bahwa sesuatu kelak akan mengadakan upacara persembahan atau tanda akan dimulainya suatu jenis upacara tertentu. Bentuk sesajian yang dipergunakan adalah sirih dan pinang dengan mempergunakan wadah tertentu seperti mangkuk dari perunggu, kemudian diletakkan di depan menhir. Menhir yang digunakan tergantung jenis dan tujuan dari upacara yang akan dilakukan, yaitu untuk penyembahan kepada Puang Matua sesajian diletakkan pada menhir yang ada di sudut tenggara Tongkonan.
7
Anonym. “Aluk Todolo, Kepercayaan Suku Toraja”. http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1020/aluk-todolo-kepercayaan-suku-toraja. 21 Maret 2017
14
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
b. Pioang Sanglampa (persembahan satu batang lemang) yang diletakkan di pematangan sawah atau persimpangan jalan yang dialasi dengan daun pisang, biasanya ditempatkan pada suatu bongkahan batu, altar, atau dibawah pohon, dengan maksud sebagai tanda bahwa dalam waktu dekat akan diadakan upacara persembahan kurban, agar para Deata (dewa menurut kepercayaan orang Toraja yang bertugas untuk melindungi kehidupan manusia di dunia) dan Tomembali Puang (arwah leluhur yang telah dicapai tingkat dewa) dapat memberi keselamatan dan keberhasilan panen. c. Menammu, yaitu suatu upacara dengan kurban persembahan berupa seekor babi atau ayam yang ditujukan kepada Deata-Deata yang menguasai
suatu
daerah
dengan
harapan
untuk
memperoleh
keselamatan dan keberhasilan panen. Persembahan berupa sesajen biasanya diletakkan di depan menhir atau pada suatu altar batu, baik yang terdapay disekitar rumah maupun yang terdapat jauh dari rumah seperti pada daerah terbuka (padang), teganutng tujuan utama dari persembahan tersebut. d. Makpakande Deata Diaong Padang, yaitu upacara kurban yang mempersembahan seekor babi atau lebih yang dilaksanakan di depan menhir (basse) yang terdapat pada sudut timur laut Tongkonan. Tujuan dari upacara tersebut adalah memohon berkat kepada deata untuk keselamatan
manusia yang tinggal di rumah
(Tongkonan atau
Tongkonan Layuk) atau masyarakat di dalam kampung tersebut. Keempat jenis upacara tersebut di atas dapat dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok, biasanya dipimpin oleh ketua adat atau kepala keluarga. e. Massurak Tallang, yaitu upacara yang dilakukan setelah semua tingkatan upacara tersebut di atas telah dilakukan dengan tujuan adalah sebagai tanda upacara syukur kepada dewa atas keselamatan dan keberhasilan panen. Korban persembahan adalah beberapa ekor babi dan ayam, dan dagingnya dibagikan kepada semua masyarakat yang
15
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
hadir. Upacara ini dilakukan dengan kolektif yang dipimpin oleh ketua adat atau petugas yang khusus menangani hal tersebut, tempat pelaksanaan adalah selalu berada di sebelah timur Tongkonan. f.
Merok, yaitu upacara pemujaan kepada Puang Matua dengan korban persembahan utama adalah kerbau, babi, dan ayam. Tujuannya adalah sebagai tanda syukur atas keselamatan, keberhasilan panen, selesainya pembaangunan Tongkonan atau peresmian To Membali Puang menjadi Deata. Upacara ini dilakukan secara kolektif yang dipimpin oleh ketua adat, diawali dengan pelaksanaan di Tongkonan Layuk. Sesajen diletakkan di depan menhir jenis basse. Untuk Rambu Tuka, basse yang digunakan adalah yang terletak di sebelah barat, kemudian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pada suatu tempat tertentu yang disebut pakpuangan. Daging dari korban persembahan dibagi bagikan kepada masyarakat yang hadir.
g. Upacara menolak balah, terdiri dari: 1) Massalu-salu, yaitu upacara yang bertujuan menghindari cobaan dari penyakit atau rintangan dalam melakukan sesuatu 2) Makdampi, yaitu upacara pengobatan terhadap orang sakit , 3) Makbungi, yaitu upacara mengelilingi desa untuk memohon kepada deata keselamatan dari malapetaka yang sementara menimpah masyarakat. Pelaksanaanya dilakukan secara individual mapun secara kolektif, yang biasanya dipimpin oleh petugas khusus atau ketua adat. Persembahan biasanya hanya kapur sirih atau korban berupa babi dan ayam. Upacara ini dilakukan secara kolektif diawali dengan persembahan sesajen yang biasanya diletakkan didepan menhir jenis tumpuang yang berada di dekat pintu masuk suatu persimpangan jalan, pohon-pohon keramat, dll. Upacara menolak balah secara kolektif selalu disertai dengan persembahan korban berupa babi dan ayam yang dipusatkan di Tongkonan Layuk.
16
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
2. Upacara Tambu Solok
(Gambar Upacara Kematian adat Toraja ) Upacara Rambu Solok adalah upacara yang berkaitan dengan kematian dan kedukaan, yang diatur dalam Aluk Rampe Matampu (aturan upacara yang dilaksanakan pada sore hari). Kebanyakan dinyatakan di dalam upacara kematian atau penguburan. Dalam tahapan-tahapan pelasakanaan Upacara Rambu Solok merupakan suatu peristiwa yang mengandung dimensi religi dan sosial. Berdasarkan statifikasi social maka upacara kematian di Tana Toraja dapat dibagi atas 4, yaitu Upacara Disillik, Upacara Dipasangbongi, Upacara Didoya, dan Upacara Dirapaik. Dibawah ini akan diuraikan secara singkat beberapa tahapan upacara kematian, terutama yang dianggap erat kaitannya dengan data situs Sillanan, sebagai berikut: a. Upacara Disillik, yaitu upacara kematiaan bagi masyarakat dari tanak kua-kua. Mayat tidak boleh disimpan bermalam di rumah dan dikuburkan pada sore atau malam hari. Bagi yang tidak mampu secara ekonomis biasanyatanpa disertai dengan korban dan bagi yang mampu disertai dengan korban beberapa telur ayam saja, atauu beberapa ayam dan babi. Mayat dikuburkan di gua alam (Liang Sillik) dengan hanya dibaut kain tanpa mempergunakan wadah erong. Untuk bagi yang mati sebelum tumbuh giginya, biasanya disillik (dikuburkan) di selah-selah akar atau di dalam batang pohon beringin yang dilubangi. b. Upacara
Dipasangbongi,
yaitu
upacara
kematian
yang
hanya
berlangsung satu malam terutama bagi masyarakat yang berasal dari tanak karurung atau dari tanak bassi dan bulaan yang tidak mampu
17
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
secara ekonomis. Korban yang dipersembahkan adalah minimal empat ekor babi dan maksimal delapan ekor kerbau. Mayat dikuburkan di Liang yang memakai erong (wadah kubur bagi mas yarakat Toraja yang terbuat dari kayu). Biasanya bentuk erong yang digunakan ialah bentuk persegi panjang. c. Upacara Didoya, yaitu upacara kematian yang berlangsung tiga malam, lima malam, atau tujuh malam, terutama masyarakat yang berasal dari tanak bassi yang mampu secara ekonomis atau tanak bulaan atau keluarga para bangsawan tinggi, yang kurang mampu secara ekonomis. Selama berlangsungnya upacara tersebut, maka peserta tidak boleh tidur semalam suntuk (Didoya). Korban yang dipersembahkan adalah beberapa ekor babi (biasanya sampai ratusan ekor), dan minimal tiga dan maksimal 12 ekor kerbau. Tempat pelaksanaan upacara ialah dirumah atau Tongkonan masing-masing, kecuali kalau yang mati berasal dari bangsawan tinggi (tanak bulaan) maka harus diupacarakan di Tongkonan Layuk dan Rante Simbuang. Prosesnya sama dengan Upacara Dirapai yang membedakannya adalah jumlah korban yang dipersembahkan. Setelah selesai proses upacara tersebut,
maka
mayat
dikuburkan
di
Liang
Erong,
dengan
mepergunakan erong berbentuk kerbau atau perahu sebagai wadahnya. d. Upacara Dirapai atau Rapasan, yaitu upacara kematian bagi yang berasal dari tanak bulaan yang berlangsung minimal tujuh hari tetapi dapat berlangsung dalam waktu berbulan-bulan lamanya, tergantung kesiapan dan kesepakatan keluarga. Upacara Rapasan terdiri dari beberapa tahapan dan memakan waktu yang lama dengan minimal persembahan korban berupa kerbay sebanyak 12 ekor. Upacara ini berlangsung 2 tahap yaitu tahap Makbatang (tahap pertama yang berlanngsung di Tongkonan Layuk) dan tahap Makpalao (tahap kedua yang berlangsung di Rante Simbuang). Setiap tahap tersebut di dalamnya terdiri dari beberapa tahapan lagi, yang harus sesuai dengan
18
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
ketentuan Aluk Rapasan (aturan upacara kematian bagi para bangsawan tinggi). 1) Tahap Makbatang, yaitu upacara yang dilaksanakan di Togkonan Layuk selama tujuh hari berturut-turut. Hari pertama diadakan pembalikan arah mayat dari timur-barat ke utara-selatan sebagai tanda upacara telah dimulai dan menyembeli ekor babi untuk persembahan kepada deata. Persembahan tersebut berupa sesajen yang diletakkan di depan menhir (basse) yang berada di depan rumah sebelah barat Tongkonan Layuk. Hari kedua membuat patung
(tau-tau) dari batang bamboo atau dari kayu nangka
kemudian dihiasi sebagai personifikasi dari si mati yang ditandai dengan persembahan korban bagi si mati minimal lima ekor kerbau dan beberapa ekor babi. Hari ketiga istirahat dan hari keempat membalut mayat dengan kain merah yang dilakukan oleh To Mebalun (petugas khusus untuk membalut mayat para bangsawan), dengan persembahan korban berupa ekor babi dan kerbau. Hari kelima mengibarkan fandel-fandel
dan membuat panggung di
depan Tongkonan Layuk sebagai tempat membagi daging, dan hari tersebut disembeli empat ekor kerbau dan beberapa ekor babi. Hari keenam menerima tamu-tamu yang dating turut berbelasungkawa, dengan memotong kerbau yang jumlahnya sesuai dengan ketentuan adat yaitu minimal 12 ekor. Sebelum memotong kerbau dengan sekali tebas tanpa diikat, maka terlebih dahulu secara simbolis diikatkan pada menhir yang terdapat di Rante Simbuang. Makna dari menambatkan kerbau secara simbolis pada menhir
adalah
bahwa korban-korban tersebut ditujukan kepada arwah si mati sebagai bekal ke alam arwah, hari ketujuh diadakan upacara makparampe, yaitu menguburkan mayat secara simbolis diatas rumah. Penguburan ini sebernanya adalah penggantian peti mati, sedangkan erong yang lama dan perlengkapan lainnya yang sudah diganti dibawah ke Rante Simbuang untuk ditanam secara
19
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
tersendiri yang disebut karopik. Sembilan hari setelah penguburan simbolis tersebut dan pelepasan pakaian hitam oleh para keluarga. Dengan demikian berakhirlah tahap upacara Makbatang, dan keluarga mengadakan persiapan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesempatan keluarga untuk melaksanakan upacara tahap kedua yaitu upacara Makpalao. Sebelum upacara Makpalao dimulai, maka terlebih dahulu diadakan persiapan-persiapan seperti: a) membuat tau-tau (patung) dari jenis kayu nangka. b) Membuat usungan mayat (sarigan) dari kayu menyerupai bentuk Tongkonan yang akan dipakai untuk mengusung mayat ke Rante Simbuang dan selanjutnya ke kompleks kuburan. c) Membuat pondok-pondok (melantang) di sekitar Tongkonan Layuk dan disekitar Rante Simbuang. d) Membuat menhir (mangruik batu) yang disebut simbuang. Upacara ini bertujuan untuk menstabilkan atau memberikan roh kepada simbuang tersebut. Tata letak bangunan di Rante Simbuang adalah di tengah-tengah terdapat batu monolit sebagai symbol persatuan, sisi barat batu monolit terdapat tiga bangunan berjejer dari utara ke selatan, yaitu pondok tempat keluarga si mati menerima tamu, Lakkian, dan Balakkayan. Sisi utara lapangan terdapat pondok-pondok keluarga yang berduka, sisi timur lapangan terdapat pondok-pondok para tamu, sisi selatan pondok para pekerja (memasak dan pelaksana upacara lainnya), sebelah barat lapangan terdapat simbuang dan karopik. Tengah-tengah lapangan berfungsi sebagai tempat mengadakan beberapa kegiatan selama berlangsungnya upacara seperti makpasilaga tedong (mengadu
kerbau
sebelum
disembeli),
masembak
(pemain
mengadu kaki bagi laki-laki), massaung (mengadu ayam), makdoang (tarian melingkar dengan disertai nyanyian duka),
20
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
sebagai tempat menyembeli kerbau yang dikorbankan, dan tempat membagi-bagikan daging kepada masyarakat. e. Tahap Makpalao, yaitu tahap pelaksanaan upacara yang diadakan di Rante Simbuang yang melalui beberapa tahap lagi yaitu hari pertama mengadakan upacara maktundan (membangun mayat), hari kedua mengadakan upacara makbalun (membungkus ulang mayat dan memasukkannya ke dalam erong dan barang-barang berharga lainnya yang dimiliki semasa hidupnya, hari ketiga mengadakan upacara makpalao alang yaitu menurunkan peti mati ke lumbung untuk dihiasi dengan berbagai hiasan yang berharga seperti emas, hari keempat mengadakan upacara makpalao yaitu mengarak mayat ke Rante Simbuang dengan iring-iringan peserta dan perlengkapan upacara, taritarian, nyanyian duka, dan tangisan yang dimulai pada waktu sore hari. Pada setiap tahap upacara tersebut dikorbankan beberapa ekor kerbau dan babi. Hari kelima dan keenam diadakan upacara Mantunu, yaitu upacara penerimaan tamu dan pemotongan hewan korban secara resmi, baik dari keluarga inti si mati maupun dari sanak saudara dan kerabat yang menyumbangkan hewan korban. Hari ketujuh mengadakan upacara makpeliang, yaitu dimasukkan mayat ke dalam Liang dengan mengorbankan seekor kerbau dan beberapa ekor babi di depan liang. Setelah selesainya upacara makpeliang, barulah dianggap orang tersebut betul-betul telah mati dan telah menjadi unsur Tomembali Puang atau Deata.8
H. Seni Tradisional Toraja
1. Paranding, adalah salah satu tarian tradisional rumpun toraja yang sangat popular dan digemari serta dilestarikan sempai kini. Tarian tersebut mengungkapkan
semangat
juang
dalam
membela
kebenaran,
mempertahankan wilayah kekuasaan, dan kesiapan menghadapi serta
8
Akin Duli, Dkk . “ Toraja dulu dan kini”, ( Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), Cet 1, hal 26.
21
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
melawan musuh yang datang menyerang sekaligus untuk melindungi rakyat yang lemah. 2. Pagellu, yang berarti orang menari, khusus ditampilkan untuk upacara syukuran. 3. Ma’badong, dilakukan pada upacara Rambu Solo, sebagai ungkapan belasungkawa terhadap orang yang sudah mati, sekaligus menjadi sarana memuji perilaku si mati selama ia hidup, serta sebagai tempat penghormatan terkahir bagi si mati. 4. Ma’papapangan, adalah se buah ritual dari upacara adat syukuran. 5. Burake, tari burake dilakukan sehari semalam dengan memotong enam ekor ayam dan satu ekor babi. 9 I. Pola Permukiman Suku Toraja
Karena pengaruh keadaan topografis dan geologi seperti tersebut, maka pola permukiman suku toraja sangat bervariasi. Masyarakat yang bermikim di daerah lembah dan daerah yang relative datar, pola permukimannya adalah mengelompokkan secara terpusat dan Tongkonan sebagai titik pusatnya yang dikelilingi oleh rumah dan bangunan-bangunan sosial lainnya. Masyarakat yang bermukim di daerah pegunungan dan perbukitan, pola permukimannya cenderung membentuk kampong-kampung yang dihubungkan dengan jalan setapak. Walaupun pola permukiman mereka menyebar, tetapi tetap berintikan pada Tongkonan sebagai patokan dalam bermukim mereka. Pada
zaman
dahulu,
kampung-kampung
orang
Toraja
dibangun
berdasarkan adanya hubungan tali kekerabatan, yang berarti bahwa dalam perkampungan akan dihuni oleh orang-orang yang berasal dari satu leluhur atau
nenek
moyang.
Pusat
dari
kampong-kampung
tersebut
adalah
Tongkonan, yang dipimpin oleh seorang kepala suku atau To Parengngek. Unuk kampung lainnya, maka Tongkonan yang ada di kampung tersebut dinakaman Tongkonan Layuk yang berarti Tongkonan yang pertama dibangun.
Tongkonan
pada
zaman
dahulu
dianggap
sebagai
pusat
9
Goenawan Monoharto, dkk. “Seni Tradisional Sulawesi Se latan”, (Makassar: Lamacca Press, 2005), Cet.3, Hal.77.
22
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
pemerintahan adat, aturan-aturan, bahkan sebagai pusat dari kosmos. Selain Tongkonan sebagai bangunan inti dari suatu perkampungan, terdapat pula bangunan-bangunan lainnya seperti tempat peribadatan dan penguburan yang letaknya diatur sesuai dengan ketentuan adat. 10
J. Kosmologi Masyarakat Toraja
Kosmologi berasal dari istilah Yunani; cosmos, yang berarti semesta dan juga bisa berarti keteraturan susunan atau juga ketersusunan yang baik. Lawannya adalah chaos, yang bisa dimaknai dengan keadaan kacau balau. Kosmologi lebih jauh berbicara tentang pemahaman untuk mencari struktur dan hukum-hukum yang mendalam ketika berbicara ke-semesta-an. Dalam pengertian yang lebih luas mengenai konsep dan struktur kosmos, seperti strata vertikal mengenai `surga’ (dunia atas), `bumi’ dan ‘dunia bawah’, atau aturan-aturan horizontal yang mengacu pada`cardinal point’ (titik pusat) termasuk juga catatan mengenai lokasi antara gunung dan laut. Kesemuanya itu dirangkum dalam simbolik dan divisualisasikan pada wujud bagian per bagian. Pandangan terhadap ruang semesta di beberapa budaya Nusantara, mendasarkan pada unsur-unsur alam seperti gunung, sungai, matahari terbit, matahari tenggelam, laut, dan lain-lain. Masyarakat
Nusantara lazimnya
memiliki
kecenderungan
‘tidak
mempersoalkan’ bumi bulat atau datar dalam alam kepercayaan mereka, akan tetapi
ada
sebuah
pemahaman
yang
jauh
lebih
dari
sekedar
bentuk; bahwa bumi adalah bagian dari tiga konsep utama dalam pembagian Dunia Atas, Tengah, dan Bawah. Kosmologi Toraja lebih jauh memandang bumi yang kita tempati ini sebagai dunia yang terdiri dari dataran, bukit, gunung dan sungai dan lain-lain yang ‘disangga’ oleh salah satu Dewa.
10
Akin Duli, Dkk . “ Toraja dulu dan kini”, ( Makassar: Pustaka Refleksi, 2003), Cet 1, hal 3.
23
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Hal tersebut berdasarkan atas kepercayaan Aluk Todolo yang memandang alam sebagai falsafah dalam kepercayaannya dengan meyakini bahwa: bagian utara dinamakan Ulunna Langi, merupakan penjuru paling utama dan tempat yang dianggap paling mulia. Bagian timur dinamakan Mataalo, dianggap sebagai bagian kedua dari penjuru bumi karena merupakan tempat lahirnya terang atau kehidupan dan kebahagiaan. Sementara bagian barat dinamakan Mattampu, adalah bagian ketiga dari penjuru bumi dimana matahari terbenam dan datangnya kegelapan; serta bagian selatan dinamakan Pollona Langi, bagian ini dianggap rendah dari penjuru bumi karena merupakan tempat melepaskan segala yang kotor. Mengenai arah di mana arwah Todolo atau nenek moyang berada dan para Deata atau Dewa yang berada masing-masing di Barat dan Timur, mendasarkan pada arah matahari terbit dan matahari tenggelam. Kedua arah tersebut dalam kepercayaan Aluk Todolo, Timur arah kelahiran dan kehidupan, barat adalah arah kematian, sesuai dengan adanya matahari terbit dan tenggelam tersebut.11 Adanya Kepercayaan terhadap para dewa tertentu terkait dengan pandangan masyarakat
Toraja
terhadap
tata
ruang jagad
raya
atau
makrokosmos yang dipandang terdiri dari tiga unsur yaitu : langi’ (surga), lino atau padang berarti bumi dan Deata to Kengkok atau Puang to Kabali’bi (dewa berekor) artinya bagian di bawah bumi. 11
Soesandireja.”Kosmologi Toraja”. http://www.wacana.co/2016/08/kosmologi-toraja pandangan-orang-toraja-terhadap-semesta/. 21 Maret 2017.
24
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Skema Kedudukan 3 unsur dalam Aluk Todolo menurut Tangdilintin ) Menurut
Tangdilintin,
skema
kosmologi
dari
masyarakat
Toraja
digambarkan Puang Matua (Sang Pencipta) di utara/atas/langit tiga kelompok Deata berada di timur, Tomembali Puang/Todolo di barat dan bumi tempat kehidupan manusia di bawah. Ulluna Langi digolongkan ke dalam dunia atas, berada di titik zenith atau puncak dari bola langit. Permukaan bumi dipandang sebagai dunia tengah atau dalam bahasa toraja disebut Lino sering pula disebut Padang, terletak pada bidang potong tengah bola Langi yang berarti langit. Dalam hal ini langit diartikan udara atau Puya tempat tinggal di dalamnya tongkonan.
25
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Superposisi dari Kosmologi Toraja oleh Tangdilinting dan Kis-Jovak ) Keterangan Gambar Superposisi Kosmoloogi A: Arah matahari terbit di mana bersemayam: 1.Deata Langi’. 2.Deata Kapadangana. 3.Deata T angngana Pada. B.Arah matahari tenggelam tempat bersemayam leluhur (Todolo). C. Puang Matua. D.Tolino (bumi) E.Dunia bawah.
Menurut interpretasi Kis-Jovak dari hasil penelitian antropologisnya, dunia tengah dalam hal ini terletak di sebelah timur Gunung Bamba Puang dan pohon-pohon palem sebagai pintu keluar-masuk para Dewa di sebelah barat. Dunia Bawah terdiri dari Pong Tulak Padang dan roh-roh dalam tanah mendukung dunia tengah rumah dan kediaman manusia di muka bumi. 12
12
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Univesity Press, 2014), Cet 1,
hal 3.
26
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Pandangan Kosmologi atau Jagad Raya Masyarakat Toraja ) Ket: Jagad raya dalam Kosmologi Toraja berdasarkan analisis KisJovak.” Keterangan Gambar: a. Pangko’. b. Tasik (laut). c. Gunung Bamba Puang. d. Puya (Tanah dari semua yang berjiwa). e. Padang/lino Dunia Tengah/dunia manusia. f. Langi. g. Dunia Bawah. h. Pong Tulak Padang. i. Roh di dalam bumi. j. Puang Matua di Zenith atau Ulunna Langi. k. Tongkonan.
Menurut Kis-Jovak, di luar sistem bola langit di sebelah barat terdapat Pongko’, yang dalam cerita orang Toraja dipercaya merupakan asal orang Toraja, dibatasi oleh tasik atau laut dengan ketiga bagian dunia tersebut di atas. Cakrawala adalah keseluruhan sebagai pembungkus dunia tengah, dipandang sebagai palullungan yang artinya atap. Dunia bawah dipikul oleh Tulakpadang artinya Ia yang memikul bumi dengan kepala dan pohon-pohon palem di tangannya. Ia menjaga keseimbangan dan bermukim 12 tingkat di bawah bumi.
27
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Meski-pun demikian, kadang-kadang terjadi ketidakseimbangan yang dipercaya mengganggu hingga terjadi gempa bumi. Sementara itu Dunia Bawah dapat dicapai melalui lobang-lobang belahan dan jurang-jurang. “Rongga-rongga” dalam perut bumi ini merupakan suatu ciptaan yang luar biasa, mengagumkan dan ditakuti manusia. Sungai Sa’dang– dipandang oleh masyarakat Toraja – mengalir dari utara ke selatan melintas Tana Toraja, kemudian berbelok ke arah barat. Hal ini menunjukkan bahwa arah air yang kebetulan dari utara ke selatan (tepatnya dari utara-timur ke arah selatan-barat) menjadi arah penting dalam orientasi kehidupan.13 Hal tersebut dapat dianalisis menurut logika bahwa air menjadi sumber kehidupan mengalir dari daa atau utara ke arah lao’ atau selatan merupakan unsur utama dalam menanam padi selain pula sangat vital dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-Unsur bumi itu menjadi faktor penentu dalam kebudayaan suku Toraja, yang bisa kita lihat dari bentuk rumah khususnya tongkonan, tataletak, denah, konstruksi, hingga kemudian mempengaruhi pola tata ruang sebuah wilayah. Dan pemahaman tentang kosmologi ini sangat nampak dan khas dalam masyarakat Toraja bahkan pada konsep tempat pemakaman yang berada di atas-atas bukit, bukan di bawah tanah.
K. Arsitektur Toraja
Salah satu bentuk kebudayaan Tana Toraja yang masih bertahan hingga saat ini adalah arsitektur rumah tradisional Tana Toraja yang unik dan berbeda dibandingkan dengan arsitektur daerah lain. Ciri utama dari arsitektur rumah tradisional Tana Toraja ialah bentuk atap yang menjulang pada bagian depan dan belakangnya sehingga menyerupai bentuk kapal. Di bawah ini adalah gambar tampak samping dan tampak depan Rumah Tongkonan, terlihat bentuk atapnya yang menyerupai bentuk kapal.
13
Yulianto Sumalyo. “Kosmologi dalam Arsitektur Toraja”. Jurnal Universitas Kristen Petra. (Surabaya: Arsip Univesitas Kristen Petra, 2001) Hal. 68.
28
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Bentuk Rumah Tongkonan ) Hal yang cukup menarik adalah bahwa setiap detail arsitektur rumah tradisional Tana Toraja memiliki falsafah dasar yang bermakna. Rumah Toraja, selain sebagai tempat tinggal, juga memiliki ciri filosofis religius. Masyarakat Toraja mempercayai falsafah Aluk A’pa Oto’na (empat falsafah dasar)
yaitu
:
hidup,
kehidupan
manusia,
kemuliaan
tuhan
dan
adat/kebudayaan. Keempat falsafah dasar itu saling berkaitan, menjadi satu kesatuan. Dari 4 bilangan dasar inilah, terbentuk bangunan dasar rumah Toraja yang terdiri dari 4 sisi (persegi panjang) yang dibatasi dengan dinding. Tiangtiang yang menopang struktur utama bangunan menggambarkan rakyat yang mendukung keberlangsungan pemerintahan/negara. Bentuk bangunan yang terlihat kecil, sempit dan kurang terbuka menggambarkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang cenderung tertutup dalam bermasyarakat dan lebih percaya akan kekuatan sendiri. sebagai tempat kesusahan dan kematian. Tempo dulu, perkampungan suku Toraja selalu didirikan di tempat ketinggian yang datar dan saling berjauhan. Permukimannya harus dekat dengan tempat kerja (sawah atau kebun), dekat sumber air dan dikelilingi rumpun bambu. Secara garis besar dari segi fungsinya, terdapat dua jenis bangunan adat berbeda. Tongkonan atau rumah tinggal dan alang semacam lumbung, berbentuk mirip dengan tongkonan tetapi lebih kecil, keduanya dianggap pasangan suami isteri. Tongkonan harus menghadap ke utara agar
29
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
kepala rumah berhimpit dengan kepala langit (ulunna langi) sebagai sumber kebahagiaan, sedangkan alang harus menghadap selatan. Masyarakat Tana Toraja mempercayai bahwa bumi yang kita huni ini terbagi menjadi 4 penjuru, dengan filosofinya masing-masing : 1. Bagian Utara, disebut Ulunna Langi, yaitu bagian yang paling mulia. 2. Bagian Timur, disebut Matallo, yaitu tempat matahari terbit, tempat kebahagiaan dan kehidupan berasal. 3. Bagian Selatan, disebut Pollo’na Langi’, sebagai bagian yang berlawanan dengan bagian yang mulia, tempat segala sesuatu yang tidak baik. 4. Bagian Barat, disebut Matampu’, tempat matahari terbenam, diarti kan Untuk mencapai bentuknya yang sempurna seperti yang ada saat ini, rumah tradisional Tana Toraja Melalui 4 tahapan perkembangan yaitu: Tahap 1 : Banua Pandoko Dena Berarti rumah dengan kubah berbentuk seperti sarang burung pipit, terbuat dari ranting kayu yang ditempatkan di atas dahan, dengan dinding terbuat dari rerumputan sehingga terbentuk dinding yang bundar seperti sa rang burung pipit. Tahap 2 : Banua Lentong A’pa Memiliki makna rumah yang memiliki 4 tiang pada masing-masing sudutnya. Dinding dan atapnya masih terbuat dari dedaunan dan rerumputan, sehingga bentuknya masih mirip dengan Banua Pandoko Dena. Tahap 3 : Banua Tamben Dibangun dengan menyusun kayu pada semua sisinya, yaitu pada bagian depan, belakan, kiri dan kanan sehingga membentuk sebuah tempat tinggal. Banua Tamben dibangun sudah berbentuk rumah panggung, pada bangunan ini terdapat kolong yang digunakan sebagai tempat penyimpanan hewan ternak. Begitu juga struktur atap bagian depan dan belakang sudah menjulang seperti perahu. Bagian dinding Banua Tamben sudah tidak lagi dibuat dari dedaunan dan rerumputan, hanya bagian atap yang masih dibuat dari dari dedaunan dan rerumputan. Tahap 4 : Banua Tolo’
30
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Merupakan perkembangan terakhir dari Rumah Tongkonan. Bentuk dasar persegi panjang, dengan susunan tiang yang bertambah banyak dan teratur.Tiang-tiang dihubungkan dengan sulur, sehingga tiang-tiang tidak mudah bergeser dari tempatnya. Selain itu, pada Banua Tolo’ ini sudah mulai diukir pada bagian-bagian rumahnya. 14 1. Tata Letak Desa Adat Toraja
Dalam kompleks desa adat terdiri dari sejumlah tongkonan, berderet dalam arah matahari terbit dan matahari tenggalam. Deretan tongkonan menghadap ke sebuah halaman luas memanjang terbentuk oleh deretan tongkonan tersebut dengan deretan lumbung atau alang. Halaman ini berupa ruang terbuka (+) positif, istilah dipakai untuk menyebut ruang luar terbentuk
oleh dua dinding berhadapan, bila tongkonan dan alang
(limbung) dipandang sebagai dinding. Bila deretan tongkonan dipandang sebagai unsur pertama dalam kompleks rumah adat toraja, deretan lumbung atau alang sebagai unsur kedua, halaman diantara kedua deretan sebagai unsur ketiga, maka unsur keempat adalah kuburan telah disebutkan diatas tempat pemakaman di lobang-lobang dipahat di tebing biasanya batu karang. Kuburan juga merupakan elemen penting dalam kehidupan masyarakat Toraja. Jenasah anggota masyarakat Toraja yang meninggal tidak dikebumikan sebelum upacara kematian. Mayat sebelum upacara kematian dianggap dan diperlakukan, disimpan dalam rumah atau tongkonan, diberimakan seperti layaknya orang masih hidup. Upacara ritual kematian menurut adat Toraja cukup kompleks, melibatkan semua masyarakat memakan waktu berhari-hari. Barulah acara terakhir dari upacara ritual sangat kompleks tersebut jenasah dimakamkan sebetulnya lebih tepat disemayamkan di lobang dipahat di tebing atau lereng bukit membentuk semacam goa.
14
Hudzaifah Abdussalam. “Analisis Stabilitas Struktur Rumah Adat Toraja (Rumah Tongkonan) Terhadap Beban Gempa ”. Skripsi Universitas Gadjah Mada. (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2015). hal.1.
31
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Kuburan berada di belakang dari deretan tongkonan, beruapa tebing, bila dalam tata letak ketiga kampung adat ditarik garis melebar sejajar dengan deretan tongkonan, lumbung dan halaman diantaranya, maka akan terbentuk garis sumbu arah matahari terbit-tenggelam atau arah timur barat. Bila ditarik tegak lurus dari sumbu timur-barat maka akan terbentuk sumbu lainnya melintang utara-selatan. Dalam kosmologi dari Aluk Todolo arah matahari tenggelam (barat) dipandang tempat bersemayam arwah leluhur, sebagai arah kematian dan masa lampau. Kemungkinan besar pandangan ini terbentuk karena selama puluhan tahun, ratusan bahkan beberapa ribu tahun masyarakat tradisional toraha selalu menyaksikan tenggelamnya matahari yang berarti perubahan dari terang ke gelap malam. Sebaliknya arah matahari tenggelam dipandang sebagai arah kelahiran, masa datang karena terjadi perubahan dari gelap menjadi terang. Arah matahari terbit dalam Aluk Todolo dipandang sebagai tempat bersemayam tiga Dewa ( Deata) yang ketiganya berkaitan dengan kehidupan dan pemelihara bumi.
32
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Tata Lingkungan Kampung adat Palawa, Ketekesu, dan Siguntu )
Rumah-rumah atau tongkonan dan lumbung atau alang dalam sebuah desa adat Toraja, tidak dibangun dalam sekali waktu, namun bertahap dan satu dengan lain berbeda waktu pembangunan cukup lama. Jumlah masing-masing menunjukkan kategori sosial-ekonomi dari keluarga pemiliknya. Rumah tertua berada di ujung arah matahari tenggelam atau barat, dan berturut-turut ke arah mata hari terbit yang lebih baru dari sebelumnya. Di sini terlihat kembali proses pembangunan tongkonan dan lumbung dalam kaitannya dengan kosmologi adat Toraja. Tata-letak desa adat Toraja berjejer berhadapan membentuk halaman pemersatu di tengah. Pola ini identik dengan cukup banyak arsitektur tradisional dan bahkan yang primitif di banyak tempat di dunia ini. Halaman tengah diantara deretan alang dan tongkonan mempunyai fungsi majemuk antara lain tempat bekerja, menjemur padi, bermain anak-anak selain itu juga menjadi “ruang pengikat” dan penyatu dalam kompleks.
33
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Halaman semacam ini terbentuk oleh naluri kelompok masyarakat untuk menjadi tempat berkumpul, melangsung- kan upacara, bekerja, bermain dan aktifitas sosial lainnya. Dari segi tata-letak tersebut maka teori menyatunya manusia dengan manusia, manusia dengan dalam arsitektur alam juga jagad raya, pada tata-letak kompleks kampung atau desa adat Toraja adalah nyata. 15 2. Bentuk Rumah Adat
Tongkonan merupakan rumah adat yang berbentuk rumah panggung dari kayu. Kolong di bagian bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Bentuk atap rumah tongkonan melengkung dan dilapisi ijuk hitam. Ada yang mengatakan bentuknya seperti perahu telungkup atau tanduk kerbau. Rumah adat Toraja sebenarnya berasal dari sebuah perahu yang dirubah dan dijadikan sebuah rumah. Itu sebabnya bentuk dari atap rumah adat Toraja berbentuk seperti sebuah perahu. Rumah adat Toraja berbentuk seperti perahu karena pada zaman dahulu saat nenek moyang warga Toraja akan bermigrasi menggunakan perahu, namun karena dalam perjalanan perahu yang digunakan untuk bermigrasi untuk mencari daratan baru itu kandas ditengah jalan, sehingga dibuatlah rumah dari perahu tersebut. Itu sebabnya rumah adat Toraja yang kita lihat sekarang berbentuk seperti sebuah perahu. Budaya ini mengadopsi dari budaya cina secara arsitektur, yaitu membangun rumah dari sebuah perahu.
15
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Univesity Press, 2014), Cet 1,
hal 4.
34
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
(Gambar Rumah Tongkonan Tampak samping )
(Gambar Rumah Tongkonan Tampak Depan )
Para Puang keturunan To Manurung mendirikann tongkonan sebagai tempat tinggal. Tongkonan digunakan untuk tidur, makan, istirahat, pada umumnya mempunyai tado’-tado’ (teras depan), tado’ (ruang tamu), ba’ba
35
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
atau tambing (ruang tidur) dan lambun (dapur). Semua orang yang membangun tongkonan yang berkewajiban memelihara tongkonannya dimanapun dia berada. Dengan adanya tingkatan karsa, tongkonan ditetapkan menjadi 3 jenis yaitu: a. Tongkonan Layuk, sebagai tempat tinggal para Puang dan menjadi pusat kekuasaan adat yang berperan mengeluarkan peraturan adat. Contohnya tongkonan pada ketekesu, Ulin dan Kandora. b. Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan, berfungsi melaksanakan peraturan adat dan perintah dari Puang. Contohnya tongkonan pada Marante’, Saddan Malimbong, Pallawa, Naggala dan Siguntu. c. Tongkonan Batu A’riri, berfungsi untuk pembinaan keluarga se rumpun dengan pendiri tongkonan, tetapi tidak menyandang peran adat. Dari pembagian tersebut, setiap desa adat hanya memiliki satu tongkonan layuk, sedangkan tongkonan pekamberan bias lebih dari satu. Dari segi arsitektur, bentuk dan besaran ketiga tipe tongkonan serupa, perbedaan hanya pada lambing-lambang fungsi adat tongkonan. Seperti terdapat dalam banyak hal rumah tradisional, secara jelas tongkonan terbagi menjadi 3 bagian yaitu: Alu banua (atap rumah), Kalle banua (badan rumah) dan Sulluk banua (kaki rumah). Selain itu terlihat jelas adanya personifikasi rumah terdiri dari kepala, badan, dan kaki layaknya seperti manusia. Tongkonan selalu berbentuk rumah panggung, terdiri atas kolong dibawah dan kamar-kamar diatas bervariasi pada tinggi rendah kolong. Secara detail arsitektur tongkonan dan alang, mempunyai beberapa tipe atau jenis yang meskipun secara keseluruhan bentuknya sama tetapi ada perbedaan dalam besaran (ukuran), tata ruang (denah), bentuk, bahan, konstruksi, dekorasi, dll. Alang ditopang oleh 4, 6, 8 sampai 12 tiang bulat dari kayu banga atau batang lontara. Jumlah tiangnya berhubungan dengan tingkat sosialnya. Alang 12 hanya pemimpin adat sedangkan dengan 4 tiang untuk rakyat. Dindingnya dari papan-papan berukiran dan memiliki pintu kecil di sisi
36
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
depan. Untuk memasukkan dan mengeluarkan padi digunakan tangga kayu. Alang bagian atas berfungsi sebagai penyimpanan padi sedangkan lantai bawah setinggi 60-75 cm dari tanah dipakai untuk istirahat, menerima tamu atau tempat bermain. Bagian tongkonan yang menonjol adalah atap dimana ujung depan dan belakang menjorok disebut longa. Sebagian besar punggung atau semacam cok dari tongkonan, berbentuk hiperbolik. Di tiga komplek dusun adat Pallawa, Ketekesu’, Siguntu dan Tongkonan
pada
umumnya
di
Tana
Toraja
bervariasi
pada
kecembungannya, mulai yang datar hingga melengkung tajam. Ada teori mengemukakan ada 32 bentuk atap berevolusi mulai dari datar, sedikit melengkung hingga melengkung cukup dalam. Namun teori ini kelihatannya kurang dapat diterima, karena pada kenyataannya hingga saat ini bentuk-bentuk semacam itu masih dibuat berdasarkan fungsi, kemampuan ekonomi dan tidak ada patokannya. Dari konstruksi bentuk melengkung hiperbolik lebih menguntungkan karena konstruksi atapp pada bagian punggung semuanya menerima gaya tarik yang sesuai dengan kekuatan bahan bangunan yaitu dari kayu dan bambu. Kenyataan ini memperlihatkan bahwa kadang-kadang naluri dari suatu tradisi menghasilkan sesuatu yang logis menurut perhitungan modern dan dapat menampilkan keindahan tersendiri. Keberadaannya tidak dapat dianalisis hingga mendapat kesimpulan yang pasti.
16
3. Denah
Tongkonan atau rumah adat toraja selalu berbentuk persegi panjang sebagai manifestasi 4 penjutu angina dengan 4 ritual tertentu. Denah berukuran bervariasi 1:2 – 1:2,5 ,
jadi panjang sekitaar 8-10 m. pada
kolong bagian depan teras disebut tangdo, fungsinya untuk duduk-duduk, bagian yang biasa terdapat pada arsitektur adat tropis sebagai ruang
16
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Unive sity Press, 2014), Cet 1,
hal 9.
37
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
peralihan luar dalam. Lantai di atas kolong dibagi menjadi 3 bagian : depan (paluang), tengah (sali), belakang (sambung).
(Gambar Denah dan Tata Letak Tongkonan )
(Gambar Denah Kolong dan Lantai Tongkonan )
38
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Legenda: A.Tangdo B.Paluang. C.Sali. D.Sambung.
1.Ariri posi 2.Kundai 3.Tulak somba 4.Lentong Garopang.
5.Eran (tangga). 6.Dapo’ (dapur). 7.Ba’ba sade (pintu khusus mengeluarkan mayat. 8.Jenasah disemayamkan 9.Tempat tidur
Ruang-Ruang langdo dan sambung terasa sempit, karena tinggi lantai yang berada disekitar 40 cm di atas Sali. Ruang Sali yang paling luas ialah tempat melakukan kegiatan memasak, makan, berkumpul dan menerima tamu. Tangdo (Ruang depan) khusus untuk sesajen. Sambung untuk tidur keluarga. Selain itu, terdapat rating (loteng) diatas sambung , tempat menyimpan pakaian dan benda pusaka keluarga, Sulluk (kolong rumah) tempat hewan peliharaan. Letak tangga di sisi kanan dan melalui pintu masuk menuju ruang Sali. Pintunya rendah sehingga orang harus membungkuk. Terdapat jendela-jendela kecil dari panil kayu di setiap tongkonan. Ruang dalamnya gelap karena kurang mendapat sinar matahari. Atap yang terdiri dari bambu-bambu kecil menjadi ruangan terasa sejuk karena berfungsi sebagai ventilasi.17 4. Bahan, Struktur dan Konstruksi
Tongkonan selalu berbentuk kolong, hanya bervariasi pada tinggi rendah. Konstruksi kolom dan balok dari kayu membentuk elemen horizontal dan vertikal, merupakan ciri umum dari arsitektur tradisional lambang dari ikatan antara manusia dan alam. Dari segi konstruksi, jumlah dan besaran kolom dapat disebut over design, artinya terlalu kuat untuk menyangga bagian di atasnya. Seperti terdapat dalam banyak hal rumah tradisional. Tiang-tiang penahan badan bangunan biasanya terdiri atas 8 penopang ditempatkan 50 cm dari deretan lentong alla, berfungsi
menopang
konstruksi atap. Sedangkan 24 lentong alla berfungsi memikkul beban lantai. Sisi terpendek harus berganjil 3 atau 5 tiang. Diantara tiang kolong
17
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Unive sity Press, 2014), Cet 1,
hal 12
39
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
yaitu di tengah agak ke belakang disebut a’riri (tonggak) posi (pusat) dihiasi dan diukir berbeda dengan lainnya. A’riri Posi yang art inya adalah tonggakpusat, dalam adat Toraja lambang dari menyatunya manusia dengan bumi. Biasanya berukuran 22x22 Cm, dibagian atas sedikit mengecil sekitar 20x20 Cm.
(Gambar Stuktur dan Konstruksi Bangunan ) Legenda: 1.Lentong Garopang. 2.Lentong bamban. 3.A’riri posi. 4.Roroan baba. 5.Roroan lambe’. 6.Tangdan. 7.Tangdan Lambe’. 8.Pata’. 9.Pangngosokan. 10.Sali. 11.Sangkinan Rinding. 12.Rinding. 13.Pangngosokan Rinding. 14.Sambo Rinding. 15.Sangka’. 16.Kadang pamiring. 17. Pata’sere. 18. Tulak sumba. 19. Katorok. 20. Parampak. 21. Pangngoton. 22. Takek longa. 23. Lemba. 24. Katarok. 25. Rampan longa. 26. Bantuli
Perpaduan konstruksi atap berbentuk perahu dan susunan atap bamboo menjadi ciri khas. Pekerjaan atap (ulu banua) diawali dengan memasang 4 buah balok sangka’ melintang diatas ruangan tempat bertumpunya tiangtiang bubungan. Pononjolan atap bagian depan dan belakang (anjungan) disebut longa.
40
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Longa yaitu ujung-ujung atap dari tongkonan dan alang menjorok ke muka dan ke belakang sedikit mengecil di ujung-ujung membuatnya menjadi unik dan indah. Keberadaannya tidak dapat dianalisis hingga mendapat kesimpulan yang pasti. Perbandingan antara panjang longa dan badan tongkonan lebih kurang 1 : 1,4 yaitu misalnya panjang tongkonan 10 M, maka panjang longa sekitar 7 M dan panjang atap manjadi 24 M. Longa di-sangga oleh tiang tinggi disebut tulak somba. Pada tulak somba, biasanya dipasang tanduk kerbau yang dikorbankan pada saat upacara kematian. Penutup atapnya dan belahan bamboo yang disusumm bertumpuk berbalikkan dan ditusuk bambu kecil, sehingga membentuk lembaran atap. Susunan atap bambu yang kokoh dan tahan cuaca ini terdiri atas lampiran tarampak (oversteak) dipasang pada balok palele’ sebanyak 3-7 lapis. Diatas lapisan tarampak disusun lembaran muane dan baine papa sekitar 40 tumpuk. Tiap lembar atap diikat dengan tali rotan pada reng bamboo. Rampanan papa tempat bertumpu muanne papa dan baine papa, terbagi atas rampanan papa kale buana di kanan-kiri atap dan rampanan papa long ke depan-belakang atap yang menjulang. Terakhir dipasang penutup bubungan berupa bamboo yang dipecah-pecah dan dilapiris ijuk. 18 5. Ragam Hias
Ragam hias dalam arsitektur toraja banyak mempunyai nilai-nilai spiritual dan simbil dari alam. Flora dan fauna serta katergori social di dalam masyarakat. Seni hias toraja disebut pa’ssura, dibaut pada kayu diratakan atau semacam papan dan pada bidang-bidang rata dari bagian cukilan kayu, diberi warna. Pada dasarnya warna dalam hiasan toraja hanya ada 4 yaitu putih, hitam, kuning dan merah. Warna-warna tersebut asli menggunakan bahan-bahan dari alam. Ragam hias banyak melukiskan simbol-simbol dari benda alam, flora dan fauna. Motif dan corak ukiran tidak pernah berubah sejak ditemukan. Pola hiasan selalu berupa pengulangan bentuk disusun horizontal maupun vertical menurut letaknya.
18
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Unive sity Press, 2014), Cet 1,
hal 15
41
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
Untuk kalangan social rendah, tongkonan dan alang dibuat dengan tanpa dekorasi. Untuk kalangan menengah tongkonan dan alang mempunyai dekorasi tetapi tidak berwarna. Sedangkan untuk kalangan social tinggi tongkonan dan alang mempunyai banyak dekorasi yang berwarna. Ornamen
benda
alam,
misalnya
pa’barre
allo
berbentuk
matahari
melambangkan hidup manusia yang bersumber dari Tuhan Pencipta sekalian alam. Sedangkan Ne’limbongan yang artinya danau, sebagai symbol dari sumber air yang tak pernah kering dan memberi penghidupan kepada alam dan manusia sekitarnya. Ragam flora yang banyak dipakai berbentuk
daun sirih sebagai
penghormatan kepada Deata. Fauna yang utama kepala kerbau bongo (belang hitam putih) atau kabongo, symbol pemegang kekuasaan, kekayaan dan kemakmuran ditempatkan di dinding depan dan belakang tongkonan. Ornament kepala ayam jantan sedang berkokok ditempatkan di atas Kabongo, simbil norma dan aturan dalam masyarakat yang harus dipatuhi. 19
(Gambar Motif Kerbau dan Ayam Jantan )
19
Wasilah. “ Arsitektur Etnik Nusantara”, (Makassar: Alauddin Unive sity Press, 2014), Cet 1, hal 19.
42
MAKALAH SEJARAH LOKAL KEBUDAYAAN TORAJA
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk
agama
Kristen, sementara
sebagian
menganut
Islam
dan
kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja. Jenis-Jenis upacara ritual di masyakat Toraja dibagi atas 2 kelompok yaitu Upacara Rambu Tukak (Upacara yang berkaitan dengan kehidupan) dan Upacara Rambu Solok (Upacara yang berkaitan dengan kematian). Seni tradisional toraja antara lain adalah Paranding, Pagellu, Ma’badong, Ma’papapangan, dan Burake. Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Alang merupakan tempat penyimpanan padi, didaerah lain sering disebut lumbung. Selain itu, masyarakat Tana Toraja juga memiliki kepercayaan terhadap 3 personal yang pantas menjadi pujaan dan sesembahan pada upacara dan pengucapan rasa syukur, yaitu: 1. Puang Matua (Tuhan Allah) 2. Daeta-daeta (Dewa-dewa/Malaikat) 3. To Mambali Puang (Arwah Leluhur) Berdasarkan kepercayaan-kepercayaan ini, maka, bangunan arsitektur Tana Toraja, dalam hal ini Rumah Tongkonan dibangun dengan orientasi bagian depan menghadap ke arah utara dan bagian belakang menghadap ke arah selatan. Dengan anggapan bahwa Puang Matua berada di arah utara sehingga diharapkan rezeki dan dijauhkan dari keburukan yang berasal dari arah selatan. 43