35
MAKALAH
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI
''Penyelesaian Sengketa Ekonomi''
Dosen Pengampu :Dr. Rosdalina, M.Hum
Disusun Oleh:
Khusnul Aryani Mulyono (15.4.1.047)
Sri Wahayu Puspitasari (15.4.1.049)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
2017/2018
PEMBAHASAN
Tinjauan Umum tentang Sengketa
Pujangga besar Aristoteles telah mengatakan bahwa "manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial" atau dalam bahasa latinnya disebut "zoon piliticon". Manusia tidak dapat sebagai makhlul hidupnya terasing dari manusia lain, melainkan harus selalu hidup dalam ikatan kelompok, golongan, atau kerukunan sebagai suatu kesatuan sosial. Seperti yang dikatakan Bouman, seorang sarjana sosiologi terkenal, bahwa "Manusia baru menjadi manusia sesudah hidup bersama dengan sesama manusia", hal ini disebabkan karena adanya faktor kebutuhan hidup, perasaan suka menolong, rasa harga diri, hasrat untuk patuh, untuk mencari perlindungan, dan lainnya karena adanya kepentingan.
Untuk memenuhi kebutuhan kepentingannya, manusia mengadakan hubungan satu dengan yang lainnya yang disebut kontak. Dalam melakukan kontak satu sama lain atau masyarakat, maka kepentingan dapat bertentangan satu sama lain yang menimbulkan perselisihan sehingga diharapkan manusia dapat memelihara tingkah laku yang menimbulkan tata tertib dalam hidup bersama tersebut. Apabila tidak dipelihara, akan menimbulkan konflik atau sengketa dalam masyarakat.
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja. Sengketa dapat terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara kelompok dengan kelompok, antara perushaan dengan perusahaan, antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan lainnya, dan sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Banyak kata yang mungkin digunakan untuk menggambarkan sengketa (disputes), seperti : Konflik, debat, gugatan, keberatan, kontreversi, perselisihan, dan lain-lain. Walaupun demikian, diantara kata-kata tersebut tentu mempunyai arti sendiri dan berbeda-beda, penggunaannya tergantung pada situasi dan kondisi tertentu. Penulis lebih condong untuk menggunakan kata sengketa sebagai suatu istilah hukum dibandingkan kata lainnya. Istilah sengketa telah menjadi istilah baku dalam praktik hukum.
Sengketa adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Pihak merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasan ini kepada pihak kedua dan apabila pihak kedua tidak menanggapi dan memuaskan pihak pertama, serta menunjukkan perbedaan pendapat, maka terjadilah apa yang dinamakan sengketa. Akan tetapi, dalam konteks hukum, khususnya hukum kontrak, yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara para pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan. Dengan perkataan lain telah terjadi wanprestasi oleh pihak-pihak atau salah satu pihak. Wanprestasi dapat terjadi dalam hal debitur
Sama sekali tidak memenuhi prestasi
Tidak tunai memenuhi prestasi
Terlambat memenuhi prestasi
Keliru memenuhi prestasi
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa adalah perselisihan yang terjadi antara pihak-pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Penyelesaian sengketa tergantung bagaimana pengelolaan atas sengketa tersebut.
Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sengekta terutama sengketa bisnis membutuhkan penyelesaian sengketa yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa melalui proses peradilan yang berbelit-belit, biaya mahal, dan waktu yang lama, kurang cocok untuk penyelesaian sengketa bisnis. Oleh karena itu, para sarjana Amerika berusaha mencari alternatif selain dari pengadilan. Alternatif lain selain proses pengadilan inilah dewasa ini dikenal dengan ADR (Alternative Dispute Resolution).
Gerakan ADR (Alternative Dispute Resolution) lahir di Amerika Serikat pada era 1970-an yang kemudian menyebar ke berbagai negara dalam bentuk antara lain arbitrase dan mediasi. Secara teori ADR dapat memberikan prosedur yang lebih murah, cepat, tidak kompleks seperti litigasi formal. Penggunaannya tidak hanya ditujukan untuk mengatasi hambatan finansial terhadap pengadilan, akan tetapi juga menghadapi permasalahan yang mengandung faktor budaya, geografi, dan psikologi.
Keberadaan ADR dalam sistem penyelesaian sengketa sudah diramal sebelummya sejak 35 tahun lalu, yaitu dalam pidato Prof. Frank Sander dari Harvard University di tahun 1976, untuk memperingati Roscoe Pound, yang mengungkapkan ramalan bahwa untuk merespons kecenderungan makin meningkatnya perkara di pengadilan, maka nantinya hanya kan ada dua solusi yaitu
Mencegah terjadinya sengketa
Mengekspor alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.
Ia bahkan telah mengantisipasi bahwa di tahun 2000-an akan tampil lembaga selain lembaga pengadilan yaitu "Dispute Resolution Center" yang tampak ramalannya mendekati kenyataan.
ADR kemudian dikembangkan oleh karena adanya kritik terhadap lembaga pengadilan antara lain:
Waktu
Proses persidangan yang berlarut-larut atau terlalu lama dan kesulitannn mendapatkan suatu putusan yang benar-benar final dan mengikat (karena hak para pihak untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, bantahan, dan lainnya). Waktu tidak bisa dikontrol oleh para pihak.
Adversary
Proses beracara dalam pengadilan memaksa para pihak untuk saling menyerang.
Biaya Mahal
Biaya pengadilan di beberapa negara dianggap mahal (khususnya bagi masyarakat pedalaman, hal ini akan ditambah dengan biaya trasnportasi). Ditambah lagi dengan sistem peradilan yang mempunyai prosedur yang bertingkat-tingkat. Mahalnya biaya tersebut ditambah pula dengan biaya pengacara, belum lagi biaya-biaya informal dalam sistem peradilan.
Prosedur yang Ketat
Dengan adanya prosedur beracara yang rigid/ketat, kadangkala menghilangakan keleluasaan para pihak (prinsipal) untuk mencari inovasi alternatif-alternatif penyelesaian. Sering kali kepentingan sebenarnya dari pihak yang bersengketa tidak tercermin dalam gugatan/tuntutan yang diajukan
Lawyer Oriented
Karena sistem prosedur yang kompleks dalam peradilan, maka hanya pihak yang mempunyai keahlian saja yang dapat beracara di pengadilan. Oleh karena itu, pihak sengketa banyak mendelegasikan semuanya kepada pengacaranya, di mana pengacara tidak mengerti benar kepetingan dari si klien.
Ungkapan Mengenai Citra Pengadilan
Berbagai ungkapan yang ditujukan ke arah proses penyelesaian sengketa melalui litigasi semakin meyudutkan popularitas badan pengadilan.
Ada ungkapan yang digalih dari pepatah, ada pula yang diformulasikan dari kesan yang ditampung dari kenyataan praktik sehari-hari.
Salah satu pepatah Cina menyatakan "Berperkara di pengadilan akan menimbukan kebencian berpuluh-puluh tahun. Dengan demikian, akan menghancurkan hubungan keluarga dan persaudaraan. Pepatah cina lain mengatakan "Seseorang yang berperkara akan kehilangan lembu, hanya untuk mendapatkan seekor kucing"
Win-Lose Situation
Sistem peradilan didasarkan pada nilai benar atau salah, yang pada akhirnya akan menghasilkan situasi yang kalah atau menang.
Kurangnya Kemampuan Hakim
Sejalan dengan era global dan perkembangan teknologi, diharapka seorang Hakim adalah seseorang yang mempunyai sumber daya dan kemampuan pengetahuan yang lebih dari lainnya. Mereka dituntut banyak belajar. Namun kenyataannya, Hakim hanya mengetahui suatu hal secara terbatas dan tidak didukung oleh keahlian yang profesional. Oleh karena itu, sulit untuk mengharapkan suatu penyelesaian sengketa yang kompleks, secara baik, dan objektif dari para Hakim sebeb kualitas Hakim tidak seimbang denga perkembangan teknologi dan menyebabkan putusan Hakim sering menyimpangan dari perrmasalahan pokoknya.
Hubungan Putus
Dengan adanya sistem win-lose, maka untuk kasus perdata atau bisnis, maka hubungan para pihak menjadi putus atau tidak harmonis lagi.
Memicu Konflik Baru
Karena untuk menyelamatkan muka dan telah terputusnya hubungan, maka hal tersebut dapat memicu konflik baru lagi.
Cara penyelesaian sengketa
Di dalam peneyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, antara lain negosiasi (negatiation) , melalui pihak ketiga, mediasi, konsiliasi, arbitrase, peradilan, dan peradilan umum.
Negosisasi (Negotation)
Negisosasi adalah tawar-menawar dengan jalan berunding guna mencapai kesepakatan bersama antara satu pihak (kelompok atau organisasi) dan pihak (kelompok atau organisasi) lain. Negosiasi juga diartikan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai melalui perundingan antara pihak yang berpekara.
Dalam konteks bisnis, negosiasi adalah hal yang selalu dilakukan. Negosiasi biasanya dilakukan sebelum pihak-pihak yang ingin berbisnis mengikatkan diri dalam suatu kontrak, maupun jika terjadi sengketa mengenai pelaksanaan kontrak tersebut dikemudian hari. Penyelesaian sengketa melalui negosiasi sudah lazim dan merupakan langkah awal yang dilakukan oleh para pelaku bisnis.
Dalam hal ini, negosiasi merupakan komunikasi dua arah yang di rancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Oleh, karena itu negosiasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk berdiskusikan penyelesaiannya tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah, baik yang tidak berwenang mengambil keputusan maupun yang berwenang mengambil keputusan. Sementara itu harus di perhatikan bagi para pihak yang melakukan perundingan secara negosiasi harus mempunyai itikad baik untuk menyelesaikan dengan damai.
Secara umum teknik negosiasi dapat dibagi menjadi: Teknik negosiasi kompetitif, teknik kooperatif, teknik negosiasi lunak, teknik negosiasi keras, dan teknik yang bertumpu pada kepentingan (interet base).
Teknik negosiasi kompetitif atau sering kali diistilahkan dengan teknik negosiasi yang bersifat alot (tough) adalah teknik negosiasi yang bercirikan: menjaga agar tuntutan tetap tinggi sepanjang proses negosiasi, menganggap perunding lain sebagai musuh, jarang memberikan konsesi dan sering kali menggunakan cara berlebihan. Tujuan penggunaan teknik ini adalah sebagai suatu cara mengintimidasi lawan dalam memenuhi permintaan dan tuntutan, membuat pihak lawan kehilangan kepercayaan diri, mengurangi harapan pihak lawan, serta pada akhirnya lawan menerima kurang dari apa yang diharapkan sebelumnya. Kepedulian perundingan kompetitif hanyalah memaksimalkan nilai-nilai kesepakatan.
Sebaliknya, teknik negosiasi koorperatif menganggap pihak negosiator lawan bukan sebagai musuh, namun sebagai mitra kerja mencari kepentingan bersama. Para pihak menurut pola penyelesaia koorperatif ini berkomunikasi satu sama lain untuk menjajaki kepentingan, nilai-nilai bersama (shared interest ad values), dengan menggunakan rasio dan akan sehat sebagai cara menjajaki kerja sama. Hal yang dituju oleh negosiator koorperatif adalah penyelesaian yang adil berdasarkan analisis yang objektif (berdasarkan fakta hukum) melalui upaya membangun atmosfer yang positif dan saling percaya.
Teknik negosiasi lunak dan keras adalah saling melengkapi, di mana teknik negosiasi lunak menempatkan pentingnya hubungan baik antar pihak yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan. Sedangkan teknik negosiasi keras menempatkan perunding sangat dominan terhadap perundingan lunak, menganggap pihak lawan adalah musuh dan bertujuan untuk memperoleh kemenangan. Teknik negosiasi interest based adalah jalan tengah atas pertentangan keras-lunak yang memiliki empat komponen dasar yaitu
Orang
Kepentingan
Solusi
Kriteria objektif
Tabel 1. Perbandingan Teknik Negosiasi Lunak, Keras, dan Internet Based
SOFT (LUNAK)
HARD (KERAS)
INTEREST BASED
Perundingan adalah teman
Perunding dipandang sebagai musuh
Perunding adlah pemecah masalah
Tujuan kesepakatan
Tujuan semata untuk mencapai kemenangan
Tujuan untuk mencapai hasil bijaksana
Memberi konsesi untuk membina hubungan
Menuntut konsesi sebagai persyarat
Pisahkan orang dengan masalah
Lunak terhadap orang dan masalah
Keras terhadap orang dan masalah
Lunak terhadap orang, keras terhadap masalah
Percaya pada perunding lawan
Tidak percaya pada perunding
Keperayaan dibangun berdasarkan situasi dan kondisi
Mudah mengubah posisi
Memperkuat posisi
Fokus pada kepentingan
Mengemukakan tawaran
Membuat ancaman
Menelusiru kepentingan
Mengungkap bottom line
Menciptakan win-lose
Mencegah win-lose
Mengalah untuk kesepakatan
Perolehan sepihak sebagai harga kesepakatan
Hasil sedaoat mungkin diterima para pihak
Mencari satu jawaban yang menyenangkan lawan
Mencari satu jawaban yang harus diterima perunding lawan
Mengembangkan pilihan terlebih dahulu sebelum memutuskan
Bersikeras atas perlunya kesepakatan
Bersikeras atas posisi
Bersikuluh pada kriteria objektif
Mencegah contest of will
Memenangkan perlombaan
Mencapai kesepakatan atas keinginan bersama
Menerima untuk ditekan
Menerapkan tekanan
Argumentasi dan asalasan terhadap lawan
Untuk menghasilkan suatu negosiasi ang efektif, maka perlu diperhatikan tahapan-tahapan dalam proses negosiasi yang berlangsung. Howard Raiffa membagi tahap-tahap negosiasi menjadi:
Tahap persiapan,
Tahap tawaran awal (openning gambit),
Tahap pemberian konsesi, dan
Tahap akhir permainan (end play)
Di samping tahapan-tahapan negosiasi, perlu juga diperhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efektivitas proses penyelesaian sengketa melalui negosiasi. Negosiasi dapat berlangsung efektif dan mencapai kesepakatan yang bersifat stabil apabila terdapat berbagai kondisi yang mempengaruhinya, yaitu:
Pihak-pihak bersedia bernegosiasi secara sukarela berdasarkan yang penuh (willingess to negotiate)
Pihak-pihak siap melakukan negosiasi (preparedness)
Mempunyai wewenag mengambil keputusan (authoritative)
Memiliki kekuatan yang relatif seimbang sehingga dapat menciptakan saling ketergantungan (relative equal bargainimh power)
Mempunyai kemauan menyelesaikan maslah (willingness to settle)
Terdapat BATNA
(Best Alternative Ti a Negotited Agreement) yang tidak terlalu baik
Sense of urgensy
Tidak mempunyai kendala psikologi yang besar.
Dengan mengetahui faktor-faktor tersebut, diharapkan pihak-pihak yang bersengketa dapat melakukan negosiasi yang efektif dan dapat menghasilkan kesepakatan penyelesaian sangketa yang mereka hadapi. Kelebihan penyelesaian sangketa melalui negosiasi adalah pihak-pihak ang bersengketa sendiri yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa adalah pihak yang paling tahu mengenai masalah yang menjadi sengketa dan bagaimana cara penyelesaian sengketa yang diinginkan. Dengan demikian, pihak yang bersengketa dapat mengontol jalannya proses penyelesaian sengketa ke arah penyelesaian sengketa yang diharapkan.
Mediasi
Mediasi adalah proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai penasihat. Mediasi juga merupakan salah satu bentuk negosiasi antara para pihak yang bersengketa dan melibatkan pihak ketiga dengan tujuan membantu demi tercapainya penyelesaian yang bersifat kompromistis.
Sementara itu pihak ketiga yang ditunjuk membantu menyelesaikan sengketa dinamakan sebagai mediator. Oleh karena itu, pengertian mediasi mengandung unsur-unsur, antara lain :
Merupakan sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
Mediator terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
Tujuan mediasi untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa.
Dengan demikian, tugas utama mediator sebagai fasilitator untuk menemukan dan merumuskan persamaan pendapat, seperti berikut :
Sebagai tugas utama adalah bertindak sebagai seorang fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi yang dapat dilaksanakan.
Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi para pihak dan berupaya untuk mengurangi perbedaan pendapat yang timbul (penyelesaian persepsi) sehingga mengarahkan kepada satu keputusan bersama.
Dengan demikian, putusan yang diambil atau yang dicapai oleh mediasi merupakan putusan yang disepakati bersama oleh para pihak yang dapat berbentuk nilai-nilai atau norma-norma yang menjadi tatanan dalam masyarakat. Selain itu, dapat pula berbentuk putusan yang tidak sejalan dengan tatanan yang ada, tetapi tidak bertentangan dengan nilai atau norma yang berlaku. Namun, putusan tersebut dapat pula bertolak belakang dengan nilai atau norma yang berlaku. Jika dengan cara mediasi tidak menghasikan suatu putusan diantara para pihak maka tiap-tiap pihak boleh menempuh cara penyelesaian lain, seperti melalui pengadilan, arbitrase, dan lain-lain.
Konsiliasi
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian. Namun, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak memberikan suatu rumusan yang eksplisit atas pengertian dari konsiliasi. Akan tetapi rumusan itu dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 10 dan alinea 9 penjelasan umum, yakni konsiliasi merupakan salah satu lembaga alternatif dalam penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, konsiliasi merupakan proses penyelesaian sengketa alternatif dan melibatkan pihak ketiga yang diikutsertakan untuk menyelesaikan sengketa.
Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada yang bersengketa. Selain itu, konsiliator tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehinga keputusan akhir merupakan proses konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan di antara mereka.
Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan ke luar dari sengketa, proses ini disebut konsiliasi. Hal ini menyebabkan istilah konsiliasi kadang sering diartikan mediasi.
Salah satu perbedaan antara mediasi dan konsiliasi adalah berdasarkan rekomendasi yang diberikan oleh pihak ketiga kepada pihak yang bersengketa. Hanya dalam konsiliasi ada rekomendasi pada pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan mediator dalam suatu mediasi hanya berusaha membimbing para pihak yang bersengketa menuju suatu kesepakatan.
Arbitrase
Arbitrase adalah usaha perantara dalam meleraikan sengketa. Dalam hal ini, ada beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli hukum, antara lain Subekti dan Abdulkadir Muhammad.
Subekti mengatakan arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.
Abdulkadir Muhammad mengatakan arbitrase merupakan badan peradilan swasta di luar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan merupakan kehendak bebas pihak-pihak yang bersengketa. Kehendak bebas ini dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadi sengketa sesuai dengan asas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.
Dalam pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, mengatakan bahwa penyelesain perkara di luar pengadiln atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan. Akan tetapi, putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Menurut Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtvordering)., arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta itikad baik dari pihak-pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang diambil oleh hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan yang mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.
Dari pengertian yang diberikan ini, tampak bagi kita bahwa arbitrase tidak lain merupakan suatu badan peradilan, yang putusannya memiliki sifat final dan yang mengikat para pihak yang menginginkan penyelesaian perselisihan mereka dilakukan lewat pranata arbitrase. Dalam hal ini para pihak berhak dan berwenang untuk menentukan dan mengangkat sendiri para arbiter yang akan menyelesaikan sengketa mereka, yang berarti pula adanya kewenangan dari para pihak untuk menentukan sendiri cara penyelesaian sengketa yang mereka kehendaki.
Pasal 615 ayat (1) Rv, menguraikan :
"adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam kekuasaannya untuk melepaskannya, untuk meyerahkan pemutusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit"
Selanjutnya dalam ayat (3) pasal 615 Rv. Ditentukan :
"bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari, kepada pemutusan seseorang atau beberapa orang wasit"
Dari ketentuan Rv. Tersebut jelas bagi kita bahwa setiap orang berhak orang atau pihak yang bersengketa berhak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa meraka kepada seorang atau beberapa orang arbiter, yang akan memutuskan sengketa mereka tersebut menurut asas-asas dan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa tersebut. Dan bahwa mereka berhak untuk melakukan penunjukkan itu setelah ataupun sebelum sengketa terbit. Penunjukkan penyelesaian sengketa lewat arbitrase sebelum sengketa terbit dilakukan dengan pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian pokok mereka (PACTUM DE KOMPROMITENDO). Sedangkan penunjukkan arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa setelah sengketa terbit dilakukan dengan membuat persetujuan arbitrase sendiri (AKTA COMPROMIS)
Dalam klausula atau persetujuan yang dibuat tersebut, para pihak harus dengan jelas-jelas mencantumkan bahwa mereka menginginkan penyelesaian sengeketa melalui arbitrase, dan mereka juga telah menuangkan dengan jelas, siapa saja yang akan mereka tunjuk sebagai arbiter yang akan menyelesaikan sengketa meraka, tata cara apa yang harus ditempuh, bagaimana cara (para) arbiter menyelesaikan sengketa tersebut, berapa lama sengketa tersebut harus telah diselesaikan, serta bagaimana sifat dari putusan yang dijatuhkan oleh (para) arbiter tersebut.
Sifat perjanjian arbitrase menurut Rv.
Undang-undang mensyaratkan bahwa setiap persetujuan arbitrase harus dilakukan secara tertulis, baik notariil maupun di bawah tangan, serta ditanda tangani oleh para pihak. Dalam hal salah satu atau kedua belah pihak tidak dapat membubuhkan tanda tangannya, maka persetujuan tersebut harus dilakukan secara notariil. Klausula atau persetujuan arbitrase tersebut juga harus memuat masalah yang menjadi sengketa, nama-nama dan tempat tinggal (kedudukan) para pihak, nama-nama dan tempat tinggal (para) arbiter, dan jumlah arbiter yang harus selalu ganjil. Jika hal-hal tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan tersebut batal demi hukum (pasal 618 ayat (1), (2), dan (3) Rv.)
Dalam pada itu, penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase lebih disukai oleh pelaku ekonomi dalam kontrak bisnis yang bersifat nasional maupun internasional dikarenakan sifat kerahasiaannya, prosedur sederhana, putusan arbiter mengikat para pihak, dan disebabkan putusan yang diberikan bersifat final.
Arbitrase adalah sebagai upaya hukum dalam perkembangan dunia usaha, baik nasional maupun internasoinal. Pemerintah telah mengadakan pembaharuan terhadap Undang-Undang arbitrase nasional dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Sementara itu, sengketa ini dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undang dikuasi sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan, seperti dibawah ini :
Meninggalnya salah satu pihak
Bangkrutnya salah satu pihak
Novasi (pembaruan utang)
Insolvensi (keadaaan tidak mampu membayar) salah satu pihak
Pewarisan
Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok
Bilamana perlaksanaan perjanjian tersebut dialih tugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok
Suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan negeri maka pengadilan negeri wajib menolak dan tidak akan ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan.
Dalam pada itu, arbitrase ada dua jenis, yakni arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter dan arbitrase institusional.
Arbitrase Ad Hoc atau Arbitrase Volunter
Arbitrase Ad Hoc atau Arbitrase Volunter merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu. Oleh karena itu. Arbitrase ad hoc bersifat "insedentil", dimana kedudukan dan keberadaannya hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu maka apabila telah menyelesaikan sengketa dengan diputuskan perkara tersebut, keberadaan dan fungsi arbitrase ad hoc lenyap dan berakhirnya dengan sendirinya.
Arbitrase Institusional
Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga atau badan arbitrase yang bersifat "permanen", sehingga arbitrase institusional tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.
Semetara itu, di Indonesia terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa arbitrase, yakni Badan arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI).
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, para pihak berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh pihak dalam suatu perjanjian dan memberikan suatu pendapat yang mengikat (biding opinion) mengenai persoalaan berkenaan dengan perjanjian tersebut, misalnya terdapat penafsiran ketentuan belum jelas, yakni adanya penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya keadaan baru.
Pemberian pendapatan oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terkait padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30hari terhitung sejak tanggal pertama putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada penitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaftaran.
Dengan demikian, putusan arbirase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pada pihak. Keputusan arbitrase bersifat fnal, berarti putusan arbitrase merupakan putusan final dan karenanya tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Sementara itu, ketua pangadilan negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan keputusan arbitrase harus memeriksa syarat-syarat untuk dijadikan suatu putusan arbitrase, seperti:
Para pihak telah menyetujui bahwa sangseketa diantara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase;
Persetujuan untuk menyelesaikan sangketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditanda tangani oleh para pihak;
Sangketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan aturan perundang-undangan;
Sangketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah tidak bertentangan dengan kesusilaan dan keterlibatan umum.
Dengan demikian, putusan arbitrase dibutuhi perintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata dan keputusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam pelaksanaan keputusan arbutrase internasional berdasarkan undang-undang nomor 30 tahun 1999, berwenang menangani maslah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah pengadilan negeri jakarta pusat.
Sementara itu, berdasarkan pasal 66 undangan-undangan nomor 30 tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan diwilayah hukum republik indonesia, jika telah memenuhi persyaratan seperti berikut.
Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbitrase atau majelis arbitrase disuatu negara yang dengan dengan negara indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internaisonal.
Putusan arbitrase internasioal terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan.
Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
Putusan arbitrase internasiona dapat dilaksanakan di indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua pengadilan negeri jakarta pusat.
Dengan demikian, suatu putusan arbitrase terhadap para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsur-unsur, seperti berikut.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan setelah putusan dijatuhkan diketahui palsu atau dinyatakan palsu.
Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan dan disembunyikan oleh pihak lawan.
Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sangketa.
Peradilan
Dalam hal terjadi suatu pelanggaran hukum, baik berupa hak seseorang maupun kepentingan umum maka tidak boleh begitu saja terhadap si pelanggar itu diambil suatu tindakan untuk "menghakimi sendiri" sangatah tercela, tidak tertib, dan harus dicegah. Tidak hanya dengan suatu pencegahan, tetapi diperlukan perlindungan dan penyelesaian. Oleh karena itu, yang berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian adalah negara. Untuk itu, negara menyerakan kepada kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan negeri denan para pelaksanaanya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan undang-undang nomor 2 tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan dan pengadilan tinggi dilingkungan peradilan umum. Dalam menegakkan hukum, hakim melaksanakan hukum yang berlaku dengan dukungan rasa keadilan yang ada padanya berdasarkan hukum yang berlaku, meliputi yang tertulis dan tidak tertulis dan tidak tertulis. Oleh karena itu, disebutkan bahwa hakim atau pengadilan adalah penegak hukum.
Sementara itu, beradasarkan pasal 2 undang-undang nomor 4 tahun 2004, penyelenggara kekuasaan dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang berbeda dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradila tata usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Peradilan Umum
Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang peradilan umu, yang dimaksud dengan peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana.
Dengan demikiam, kekuasaan kahakiman dilindungi peradilan umum dilaksanakan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung.
Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri adalah pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan dikotamadya kabupaten atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, yang dibentuk dengan keputusan presiden. Sementara itu, pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara perdata ditingkat pertama.
Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi yang dibentuk dengan undang-undang. Sementara itu, pengadilan tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata ditingkat banding. Pengadilan tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir sangketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumannya.
Mahkamah Agung
Ketentuan mengenai Mahkamah Agung diatur dalam Undang-undang No. 14 tahun 1985, merupakan pengadilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain, yang berkedudukan di ibukota negara republik indonesia. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
Permohon kasasi
Sangketa tentang kewenangan mengadili
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan tingkat banding atau singkat terakhir dari semua lingkungan peradilan. Dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan, kerana
Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
Salah menerapka atau melanggar hukum yang berlaku
Lalai memenuhi syarat-syarat yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali tingkat pertama dan terakhir atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang diatur dalam perundang-undangan. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali dan tidak di menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal ini sudah dicabut permohonan peninjauan kembai itu tidak dapat diajukan lagi. Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berpekra atau ahli warisnya atau seorang wakilnya secara khusus dikuasi untuk itu dengang tenggang waktu pengajukan 180 hari yang didasarkan atas alasan, seperti berikut.
Didasakan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidna dinayatakan palsu.
Setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
Apabilah telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari yang ditunut.
Mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa pertimbangan sebab-sebabnya.
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau tingkatnya telah diberikan butusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu keliruan yang nyata.
Perbandingan antara Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi
Proses
Perundingan
Arbitrase
Litigasi
Yang mengatur
Para pihak
Arbiter
hakim
Prosedur
Informal
Agak formal sesuai dengan rute
Sangat formal dan teknis
Jangka waktu
Segera (3-6 minggu)
Agak cepat (3-6bulan)
Lama (2tahun lebih)
Biaya
Murah (low cosh)
Terkadang sangat mahal
Sangat mahal (expensive)
Aturan bukti
Tidak perlu
Agak formal
Sangat formal dan teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka untuk umum
Hubungan para pihak
Kooperatif
Antagonistis
antagonistis
Fokus penyelesaian
For the future
Masa lalu (the past)
Masa lalu (the past)
Metode negosiasi
Kompromis
Sama keras pada prinsip hukum
Sama keras pada prinsip hukum
Komunikasi
Memperbaiki yang sudah lalu
Jalan buntu (bloked)
Jalan buntu(bloked)
Result
Win-win
Win-lose
Win-lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu ditolaj dan mengajukan oposisi
Ditolak dan mencari dalih
Suasana emosional
Bebas emosi
Emosional
Emosi bergejolak
Memutuskan sangseketa mengenai wewenang mengadili
Pasal 147
Setelah pengadilan negeri menerima surat pelimpahan perkara dan penuntut umum, ketua mempelajari apakah perkara itu termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya.
Pasal 148
Dalam hal ketua pengadilan negeri berpendapat, bahwa perkara pidana itu tidak termasuk wewenang pengadilan negeri yang di pimpinnya, tetapi termasuk wewenang pengadilan negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada pengadilan negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya dengan surat penetapan yang membuat alsannya.
Surat pelimpahan perkara tersebut diserahkan kembali kepada penuntut umum selanjutnya kejaksaan negeri yang bersangkutan menyampaikannya kepada kejaksaan negeri ditempat pengadilan negeri yang tercantum dalam surat penetapan.
Turunan surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukum dan penyidik.
Penjelasan :
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal kejaksaan negeri yang menerima surat pelimpahan perkara yang dimaksud dari kejaksaan negeri semula, ia membuat surat pelimpahan baru untuk disampaikan ke pengadilan negeri yang tercantum dalam surat ketetapan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 149
Dalam hal penuntut umum berkeberatan terhadap surat penetapan pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 148, maka:
Ia mangajukan perlawanan kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan dalam waktu tujuh had setelah penetapan tersebut diterima.
Tidak dipenuhinya tenggang waktu tersebut diatas mengakibatkan batalnya perlawanan.
Perlawanan tersebut disampaikan kepada ketua pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 148 dan hal itu dicacat dalam buku daftar panitera.
Dalam waktu tujuh hari pengadilan negeri wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.
Pengadilan tinggi dalam waktu paling lama empat belas hari stelah menerima perlawanan tersebut dapat menguatkan atau menolak perlawanan itu dengan surat penetapan.
Dalam hal pegadilan tinggi menguatkan perlawanan penuntut umum, maka dengan surat penetapan diperintahkan kepada pengadilan negeri yang bersangkutan untuk menyidanngkan perkara tersebut.
Jika pengadilan tinggi menguatkan pendapat pengadilan negeri, pengadilan tinggi mengirimkan berkas perkara pidana tersebut kepada pengadilan negeri yang bersangkutan.
Tembusan surat penetapan pengadilan tinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) disampaikan kepada penuntut umum.
Penjelasan:
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Sangketa tentang wewenang mengadili terjadi:
Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwewenang mengadili atas perkara yang sama,
Jika dua pengadilan atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama.
Penjelasan :
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Pengadilan tinggi memutus sangketa wewenang mengaili antara dua pengadilan negeri atau lebih yang berkedudukan dalam daerah hukumnya.
Mahkama agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sangketa tentang wewenang mengadili:
Antara pengadilan dari satu lingkungan peradilan dengan pengadilan dari lingkungan peradilan yang lain.
Antara dua pengadilan negeri yang berkedudukan dalam daerah hukum pengadilan tinggi yang berlainan.
Antara dua pengadilan tinggi atau lebih.
Penjelasan :
Pasal 151
Cukup jelas
DAFTAR PUSTAKA
Amriani Nurnaningsih,2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan Jakarta: Rajawali Pers
Karjadi. M, R. Soesilo,1998. Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, Bogor Sukabumi: Politelia
Mahkamah Agung R.I.,2004. Mediasi dan Perdamaian, Jakarta: MA-RI
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1985)
Sari Elsi Kartika, Advendi Simanunsong,2008. Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, Jakarta: PT Grasindo
Widjaja Gunawan, Ahmad Yani,2000. Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 11-12
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 12
Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 1985), hlm. 228
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 13-14
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 14-16
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 16-17
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 18
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 23
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 24-25
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 25
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 26
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 27
Mahkamah Agung R.I., Mediasi dan Perdamaian, (Jakarta: MA-RI, 2004), hlm. 28
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199-200
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 200-201
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 201
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 199
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 34
Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 27
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 202
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 17
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 17-18
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 18
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase Ed.1 Cet.1, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 19
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 203-204
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 204-205
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 205
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 206
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 207-208
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 208
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 208
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 209-210
Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi Edisi Kedua, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), hlm. 210-211
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 130
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 131
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 132
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 133
M. Karjadi dan R. Soesilo, Kitab Undang-undangan Hukum Acara Pidana, (Bogor Sukabumi: Politelia, 1998), hlm. 134