MAKALAH ILMU BEDAH MULUT
KEPANITERAAN
Disusun oleh:
ATIKA FARAHDIBA FASYA
11/311478/KG/8795
BAGIAN ILMU BEDAH MULUT
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bedah mulut merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang menggunakan metode pembedahan untuk mengoreksi penyakit, cedera, dan cacat di kepala, leher, wajah, rahang, dan jaringan lunak dari mulut. Prinsip kerja tindakan bedah pada umumnya menganut 3 hal yang harus dilakukan, yaitu asepsis, atraumatik, dan dibawah anastesi yang baik. Ruang lingkup pembedahan diantaranya adalah operator, asisten operator, instrumen, teknik-teknik anestesi, teknik pembedahan, dan kondisi pasien. Penting bagi operator menguasai berbagai ilmu yang mencakup instrumentasi bedah, teknik anestesi, teknik bedah, cara mencapai kondisi asepsis, dan kemungkinan komplikasi yang dapat ditimbulkan untuk mencapai keberhasilan dalam tindakan bedah. Penguasaan ilmu bedah mulut perlu dimiliki untuk mencegah komplikasi dan infeksi silang, karena tindakan bedah mulut melibatkan perlukaan jaringan mulut. Pemahaman ilmu bedah mulut sangat penting bagi dokter gigi agar dapat memberikan pelayanan maksimal bagi pasien dan menghindari komplikasi yang dapat terjadi.
1.2. Rumusan Masalah
1. Terangkan tentang blok N. Alveolaris inferior metode fischer !
2. Terangkan tentang sterilisasi alat, ruangan, dan bahan medis !
3. Faktor-faktor apa yang harus diperhatikan pada saat praktikum BM !
4. Sebutkan komplikasi pencabutan gigi pada anestesi dan tindakan pencabutan !
5. Sebutkan ciri-ciri tang posterior RA dan RB ?
1.3. Tujuan
Memahami cara anestesi blok nervus alveolaris inerior metode Fisher.
Memahami cara sterilisasi peralatan, ruangan, dan bahan medis.
Memahami faktor faktor yang perlu diperhatikan saat praktikum bedah mulut.
Memahami berbagai komplikasi yang dapat terjadi akibat anestesi dan tindakan pencabutan.
Memahami ciri ciri tang gigi posterior rahang atas dan rahang bawah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Blok Nervus Alveolaris Inferior metode Fischer
Inferior Alveolar Nervus Block atau yang sering juga disebut dengan blok mandibula merupakan metode anestesi lokal blok mandibula yang sering digunakan di kedokteran gigi. Metode Inferior Alveolar Nervus Block dibagi menjadi dua metode yaitu direct dan indirect. Metode Indirect IANB sering juga disebut dengan metode Fischer atau fischer's 1-2-3 technique dengan penambahan anestesi syaraf bukal.2,6
Metode ini menganestesi nervus alveolaris inferior, nervus incisivus, nervus mental, dan nervus lingualis. Nervus buccalis juga bisa ditambahkan dalam beberapa prosedur yang melibatkan jaringan lunak di daerah posterior bukal. Daerah yang dianestesi dengan metode ini adalah gigi mandibula sampai ke midline, corpus mandibula, bagian inferior dari ramus, mukoperiosteum bukal, membran mukosa anterior sampai daerah gigi molar satu mandibula, 2/3 anterior lidah dan dasar dari kavitas oral, jaringan lunak bagian lingual dan periosteum, linea obliqua eksterna dan linea oblique interna .2,6
Indikasi blok nervus alveolaris inferior adalah untuk prosedur pencabutan beberapa gigi mandibula dalam satu kuadran, prosedur pembedahan yang melibatkan jaringan lunak bagian bukal anterior sampai molar satu serta jaringan lunak bagian lingual. Kontraindikasi blok nervus alveolaris inferior adalah pasien yang mengalami infeksi atau inflamasi akut pada daerah penyuntikan serta pasien dengan gangguan kontrol motorik menggigit bibir atau lidah secara tiba tiba.
Prosedur Anestesi Lokal Blok Mandibula Metode Fischer
Pasien didudukkan dengan posisi semisupine atau setengah telentang.
Intruksikan pasien untuk membuka mulut selebar mungkin agar mendapatkan akses yang jelas ke mulut pasien. Posisi diatur sedemikian rupa agar ketika membuka mulut, oklusal dari mandibula pasien sejajar dengan lantai.
Posisi operator berada pada arah jam 8 dan menghadap pasien untuk rahang kanan mandibula, sedangkan untuk rahang kiri mandibula posisi operator berada pada arah jam 10 dan menghadap ke pasien.
Gambar 1. Posisi Operator Pada Mandibula Kiri dan KananGambar 1. Posisi Operator Pada Mandibula Kiri dan Kanan
Gambar 1. Posisi Operator Pada Mandibula Kiri dan Kanan
Gambar 1. Posisi Operator Pada Mandibula Kiri dan Kanan
Jarum 25 gauge direkomendasikan untuk pasien dewasa dengan panjang jarum sekitar 42 mm atau 1,625 inchi. Hal ini diperlukan karena bagian jarum yang masuk ke jaringan adalah sekitar 20 mm.
Aplikasikan antiseptik di daerah trigonum retromolar.
Jari telunjuk diletakkan di belakang gigi terakhir mandibula, geser ke lateral dan palpasi linea obliqua eksterna pada ramus mandibula, kemudian telunjuk digeser ke medial untuk mencari linea obliqua interna. Ujung lengkung kuku berada di linea obliqua interna dan permukaan samping jari berada di bidang oklusal gigi rahang bawah.
Jarum diinsersikan dipertengahan lengkung kuku dari sisi rahang yang tidak dianestesi tepatnya dari regio premolar dan jarum dengan bevel mengarah ke tulang sampai jarum kontak dengan tulang (Posisi I). Arah jarum hampir tegak lurus dengan tulang.
Spuit digeser kesisi yang akan dianestesi, sejajar dengan bidang oklusal dan jarum ditusukkan sedalam 5 mm, lakukan aspirasi bila negatif keluarkan anestetikum sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi N. Lingualis (Posisi II).
Spuit digeser ke arah posisi I tapi tidak penuh sampai sekitar region kaninus lalu jarum ditusukkan sambil menyelusuri tulang sedalam kira-kira 10-15 mm. Aspirasi dan bila negatif keluarkan anestetikum sebanyak 1 ml untuk menganestesi N. Alveolaris inferior (Posisi III). Setelah selesai spuit ditarik kembali.
Gambar 2. Posisi Jarum di Foramen MandibulaGambar 2. Posisi Jarum di Foramen Mandibula
Gambar 2. Posisi Jarum di Foramen Mandibula
Gambar 2. Posisi Jarum di Foramen Mandibula
Metode Fischer sering juga dimodifikasi dengan penambahan anestesi untuk syaraf bukal setelah kita melakukan posisi III, pada waktu menarik kembali spuit sebelum jarum lepas dari mukosa tepat setelah melewati linea obliqua interna ,jarum digeser kelateral ke daerah trigonum retromolar, aspirasi dan bila negatif keluarkan anestetik sebanyak 0,5 ml untuk menganestesi syaraf bukal dan kemudian spuit ditarik keluar (Nasution, 2014).
2.2 Sterilisasi
2.2.1 Alat
Sterilisasi adalah tindakan menghancurkan semua mikroorganisme termasuk virus dan spora bakteri. Hal yang harus diingat saat melakukan sterilisasi alat adalah operator menggunakan sarung tangan karet sewaktu mencuci alat-alat bedah. Dalam prakteknya, Pedersen (2012) membaginya dalam tiga tingkatan :
Sterilisasi alat-alat kritis, yaitu alat-alat yang berkontak langsung dengan daerah steril pada tubuh yaitu semua struktur atau jaringan yang tertutup kulit atau mukosa, karena semua ini mudah terserah infeksi. Peralatan kritis harus steril sebelum digunakan. Termasuk dalam kategori ini yaitu jarum suntik, skalpel, elevator, bur, tang, jarum jahit dan peralatan untuk implantasi misalnya implant, bahan aloplastik dan bahan hemostatik. Peralatan sebaiknya di sterilisasi dengan autoklaf. Kelayakan tingkat sterilitas bisa diuji seminggu sekali dengan peralatan tes spora. Kontrol berikutnya untuk menunjukkan bahwa autoklaf sudah dilakukan adalah menggunakan indikator yang peka terhadap panas/uap yang ditempelkan diluar pembungkus alat. Apabila autoklaf tidak memungkinkan, desinfeksi yang sangat baik dapat dicapai dengan menggunakan bahan kimia yang terdaftar pada US Environmental Protection Agency (EPA), waktu pemaparan tergantung pada instruksi pabrik. Diikuti dengan pembasuhan dengan air steril. Cara lain untuk mensterilkan adalah dengan merendam dalam air mendidih selama paling sedikit 10 menit. Klinik bedah mulut lantai 3 menggunakan metode sterilisasi autoklaf dan perendaman dalam air mendidih selama 10 menit. Metode ini sudah cukup untuk sterilisasi alat-alat kritis di klinik bedah mulut.
Sterilisasi alat-alat semikritis, yaitu alat-alat yang bisa bersentuhan tetapi sebenarnya tidak dipergunakan untuk penetrasi ke membran mukosa mulut. Meskipun terkontaminasi oleh saliva dan darah, alat tersebut biasanya tidak membawa kontaminan ke daerah steril di dalam tubuh. Kategori alat ini yaitu alat-alat diagnostik. Setiap selesai pemakaian sebaiknya dilakukan penyikatan didalam air dan kotorannya dihilangkan dengan sabun. Kemudian dengan hati-hati dilap dengan bahan pengisap yang mengandung bahan antikuman yang terdaftar di EPA sebagai desinfektan rumah sakit dan mycobactericidal. Klinik bedah mulut lantai 3 menggunakan metode sterilisasi autoklaf dan perendaman dalam air mendidih selama 10 menit. Metode ini sudah cukup untuk sterilisasi alat-alat kritis di klinik bedah mulut.
Sterilisasi alat-alat nonkritis, yaitu alat-alat yang biasanya tidak berkontak dengan membrane mukosa. Kategori nya yaitu countertops, pengontrol posisi kursi, kran yang dioperasikan dengan tangan, dan pengontrol kotak untuk melihat gambar sinar-X. Apabila terkontaminasi dengan darah, saliva atau keduanya, mula-mula harus dilap dengan handuk pengisap kemudian di desinfeksi dengan larutan antikuman yang cocok.
Untuk menghilangkan debris, diperlukan ruangan atau tempat terpisah untuk mempersiapkan peralatan. Bak yang digunakan untuk menyikat alat biasanya dianggap sudah terkontaminasi dan tidak boleh digunakan untuk mencuci tangan. Apabila bak cuci tangan yang terpisah tidak ada, maka bak tersebut harus diguyur dan didekontaminasi dulu dengan menggunakan desinfektan yang terdaftar di EPA. Semua saliva, darah, atau sisa jaringan dibersihkan sebelum dilakukan sterilisasi dan desinfeksi (Pedersen dkk, 2012).
2.2.2 Ruang Bedah
Lingkungan kamar bedah perlu dilakukan dekontaminasi permukaan-permukaan yang tersentuh sekresi mulut pasien, instrument atau tangan operator biasanya bisa diatasi dengan bahan kimia antikuman. Semua permukaan kerja yang terkontaminasi, pertama-tama dilap dengan handuk pengisap untuk menghilangkan bahan-bahan organik kemudian didesinfeksi dengan larutan pemutih. Kertas dengan lapisan kedap air, aluminium foil atau plastic yang jernih bisa dipergunakan sebagai penutup permukaan yang mudah terkontaminasi dengan darah atau saliva yang sulit didesinfeksi secara selektif misalnya pegangan lampu dan kepala unit sinar-X.
Selama prosedur pembedahan, permukaan yang tidak terlindungi misalnya pengontrol kursi atau lampu operasi bisa diatur atau digunakan tanpa menimbulkan kontaminasi dengan menggunakan sponge bedah 4 × 4 dan tangan yang memakai sarung tangan sebagai barier tambahan. Idealnya pengontrolan dengan tangan sebaiknya dihindarkan atau dikurangi. Tempat kumur, dispenser untuk sabun dan pengontrol kursi sebaiknya menggunakan peralatan yang bisa dioperasikan dengan kaki (Pedersen dkk, 2012).
2.2.3 Bahan Medis
Bahan medis dapat disterilkan dengan menggunakan autoklaf, yaitu dengan temperatur 1210C, tekanan uap sebesar 12 pound dan waktu proses selama 15-20 menit (Peterson dkk, 2003). Pada bahan anestesi lokal, karena agen anestesi akan dimasukan ke dalam jaringan agen harus dapat disterilkan tanpa menimbulkan perubahan struktur atau sifat. Dokter gigi dapat menghindari kendala ini dengan menggunakan produk produk dari pabrik pembuat yang mempunyai reputasi tinggi, yang menggunakan metode sterilisasi seperti ultrafilrasi (Howe dan Whitehead,2012).
2.3 Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada saat praktikum BM
Penentu keberhasilan rencana pengontrolan infeksi di bedah mulut adalah dokter gigi. Tindakan kontrol infeksi yang dibuat untuk membatasi atau mengurangi kontaminasi silang adalah cerminan langsung dari sikap dokter gigi. Pakaian klinik dipilih yang lengannya tidak melebihi siku, sehingga memungkinkan tangan dicuci sampai ke siku. Apabila pembedahan yang dilakukan kemungkinan menyebabkan darah atau saliva mengotori pakaian, maka bisa digunakan gaun dengan lengan panjang baik yang dapat dipakai ulang atau lebih ideal lagi bila digunakan yang disposibel. Gaun yang terkena darah, jika ingin dipakai ulang sebaiknya dicuci dengan air panas dan deterjen. Pakaian klinik harus diganti setiap hari apabila tercemar oleh darah. Pencucian tangan operator dengan menggosok memakai sabun antikuman. Selain itu operator harus menggunakan triad barier, berupa masker, sarung tangan, dan kacamata pelindung. Lakukan imunisasi sebagai sumber perlindungan yang paling mudah digunakan untuk dokter gigi maupun staf nya (Pedersen dkk, 2012)
2.4 Komplikasi pencabutan gigi
Komplikasi, merupakan kondisi yang tidak diharapkan terjadi pada tindakan medis. Berbicara masalah pencabutan gigi tidak terlepas dari beberapa komplikasi normal yang menyertainya seperti terjadinya perdarahan sesaat, oedem (pembengkakan) dan timbulnya rasa sakit. Komplikasi sendiri merupakan kejadian yang merugikan dan timbul diluar perencanaan dokter gigi. Oleh karena itu, kita selaku dokter gigi harus tetap mewaspadai segala kemungkinan dan berusaha untuk mengantisipasinya sebaik mungkin. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi lanjutan dengan resiko yang lebih besar pula.
2.4.1 Komplikasi anestesi
1. Jarum patah
Keadaan jarum patah pada anestesi lokal sangat jarang dijumpai. Sangat sulit untuk menemukan patahan jarum yang tertinggal. Komplikasi ini sering terjadi pada anestesi lokal blok mandibula. Ukuran dan panjang jarum harus diperhatikan untuk mengantisipasi komplikasi ini. Kerja sama yang baik dengan pasien juga harus diperhatikan karena kondisi jarum patah juga dilaporkan pernah terjadi akibat pergerakan kepala pasien yang terkejut ketika dilakukan penyuntikan.
2. Hematoma
Hematoma merupakan pembengkakan jaringan yang terjadi pada sisi medial dari ramus mandibula setelah deposisi bahan anestetikum. Hematoma bisa terjadi akibat penetrasi jarum yang mengenai pembuluh darah dan darah menyebar ke jaringan di sekitarnya. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan es pada daerah hematoma sekitar 5 menit untuk meredakan gejala.
3. Trismus
Trismus merupakan kondisi spasme otot rahang sehingga kesulitan untuk membuka mulut. Keadaan ini sering terjadi akibat larutan anastetik yang masuk ke intramuskular bagian medial ruang pterygomandibula. Komplikasi ini sering terjadi 2-5 hari setelah tindakan anestesi lokal blok mandibula.
4. Facial nerve anaesthesia
Komplikasi ini sering terjadi pada anestesi lokal blok mandibula akibat dari deposisi larutan anestetikum ke kelenjar parotis. Gejala klinis yang dapat dilihat dari komplikasi ini adalah kesulitan pasien untuk menutup kelopak mata bagian bawah dan bibir yang melorot pada sisi yang dianestesi.
5. Gangguan penglihatan
Gangguan ini dapat berupa gangguan penglihatan ganda atau penglihatan buram dan bahkan kebutaan sementara. Fenomena ini sulit dijelaskan tetapi diperkirakan bahwa keadaan ini disebabkan oleh kejang vascular atau suntikan intraarterial yang tidak disengaja (Howe dan Whitehead, 2012).
6. Alergi
Alergi merupakan reaksi hipersensitif yang dapat disebabkan oleh larutan anestesi lokal. Respon alergi dapat meliputi dermatitis, bronchospasme, dan anafilaksis sistemik (Malamed, 2004).
2.4.1 Komplikasi pencabutan
Berbicara masalah pencabutan gigi tidak terlepas dari beberapa komplikasi normal yang menyertainya seperti terjadinya perdarahan sesaat, oedem (pembengkakan) dan timbulnya rasa sakit. Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya komplikasi diantaranya karena kondisi sistemik dan lokal pasien lalu keahlian, keterampilan dan pengalaman sang operator serta standar prosedur pelaksanaan juga mempengaruhi. Berbagai komplikasi dapat terjadi, seperti:
Perdarahan
Perdarahan post ekstraksi merupakan kejadian yang mungkin bisa terjadi di praktek dokter gigi. Pengetahuan dan anamnesis yang tepat oleh dokter gigi terhadap pasiennya dalam mendiagnosis, mencegah dan penanganannya sangat diperlukan. Perdarahan dapat terjadi karena kelainan bawaan atau yang didapat selain itu ditentukan pula oleh kondisi sistemik pasien serta keadaan lokal di rongga mulut. Penanganan perdarahan sangat tergantung dari penyebab terjadinya perdarahan dapat dengan cara penanganan lokal atau perlu diberikan obat-obatan yang membantu proses pembekuan darah.
Perdarahan (hemorragie), keadaan ini merupakan terjadinya perdarahan yang hebat saat pencabutan gigi. Ini terjadi karena bermacam hal, seperti: kelainan sistemik pada pasien (misalnya hipertensi yang tidak terkontrol) ataupun faktor lokal.
a. Faktor lokal
Perdarahan pasca ekstraksi umumnya disebabkan oleh faktor lokal, seperti:
1. Trauma yang berlebihan pada jaringan lunak.
2. Mukosa yang mengalami peradangan pada daerah ekstraksi.
3. Tidak dipatuhinya instruksi pasca ekstraksi oleh pasien.
4. Tindakan pasien seperti penekanan soket oleh lidah dan kebiasaan menghisap-hisap.
5. Kumur-kumur yang berlebihan.
6. Memakan makanan yang keras pada daerah ekstraksi.
b. Faktor sistemik
Beberapa penyakit sistemik yang mempengaruhi terjadinya perdarahan:
1. Penyakit kardiovaskuler
2. Hipertensi
3. Hemofilli
4. Diabetes mellitus
5. Malfungsi adrenal
6. Pemakaian obat antikoagulan
Fraktur
Fraktur bisa mengenai akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi, prosesus alveolaris dan kadang-kadang mandibula. Semua fraktur yang dapat dihindarkan mempunyai etiologi yang sama; yaitu tekanan yang berlebihan atau tidak terkontrol atau keduanya.
Fraktur mahkota gigi. Selama pencabutan mungkin tidak dapat dihindari bila gigi sudah mengalami karies atau restorasi besar. Namun hal ini sering juga disebabkan oleh tidak tepatnya aplikasi tang pada gigi, bilah tang di aplikasikan pada mahkota gigi bukan pada akar atau massa akar gigi, atau dengan sumbu panjang tang yang tidak sejajar dengan sumbu panjang gigi. Bila operator memilih tang dengan ujung terlalu lebar dan hanya memberikan 'kontak 1 titik' gigi dapat pecah bila tang ditekan. Bila tangkai tang tidak dipegang dengan kuat, ujung tas mungkin terlepas dari akar dan mematahkan mahkota gigi. Terburu-buru biasanya merupakan penyebab dari semua kesalahan, yang sebenarnya dapat dihindari bila operator bekerja sesuai metode. Pemberia tekanan berlebihan dalam upaya mengatasi perlawanan dari gigi tidak dianjurkan dan bisa menyebabkan fraktur mahkota gigi.
Fraktur akar gigi. Fraktur akar merupakan salah satu komplikasi pencabutan gigi yang bisa terjadi. Keadaan ini sering terjadi pada pencabutan dengan tang, pada gigi yang mati oleh karena rapuh, akar gigi yang bengkok, atau adanya hipersementosis dan lain-lain. Penyebab fraktur mahkota-akar kebanyakan bersifat iatrogenik, antara lain disebabkan tekanan yang berlebihan pada saat preparasi saluran akar, insersi pasak atau sementasi inlay, dan dapat juga disebabkan menggigit benda keras.
Fraktur tulang alveolar. Dapat terjadi pada waktu pencabutan gigi yang sukar. Bila terasa bahwa terjadi fraktur tulang alveolar sebaiknya giginya dipisahkan terlebih dahulu dari tulang yang patah, baru dilanjutkan pencabutan.
Fraktur tuberositas maksilaris. Terjadi pada waktu pencabutan gigi molar tiga rahang atas. Perlu dihindari oleh karena tuberositas diperlukan sebagai retensi pada pembuatan gigi tiruan.
Fraktur mandibula atau maksila. Kondisi ini terjadinya fraktur (patah tulang) yang tidak diharapkan dari bagian soket gigi, atau bahkan tulang mandibula atau maksila tempat melekatnya tulang alveolar berada. Paling umum terjadi dikarenakan kesalahan teknik operator saat melakukan pencabutan gigi.
Infeksi
Meskipun jarang terjadi, tapi hal ini jangan dianggap sepeleh. Bila terjadi, dokter gigi dapat memberikan resep berupa antibiotik untuk pasien yang beresiko terkena infeksi.
Pembengkakan
Keadaan ini terjadi akibat perdarahan yang hebat saat pencabutan gigi. Ini terjadi karena bermacam hal, seperti kelainan sistemik pada pasien.
Dry Soket
Kerusakan bekuan darah ini dapat disebabkan oleh trauma pada saat ekstraksi (ekstraksi dengan komplikasi), dokter gigi yang kurang berhati-hati, penggunaan kontrasepsi oral, penggunaan kortikosteroid, dan suplai darah (suplai darah di rahang bawah lebih sedikit daripada rahang atas). Kurangnya irigasi saat dokter gigi melakukan tindakan juga dapat menyebabkan dry socket. Gerakan menghisap dan menyedot seperti kumur-kumur dan merokok segera setelah pencabutan dapat mengganggu dan merusak bekuan darah.
Selain itu, kontaminasi bakteri adalah faktor penting, oleh karena itu, orang dengan kebersihan mulut yang buruk lebih beresiko mengalami dry socket pasca pencabutan gigi. Demikian juga pasien yang menderita gingivitis (radang gusi), periodontitis (peradangan pada jaringan penyangga gusi), dan perikoronitis (peradangan gusi di sekitar mahkota gigi molar tiga yang impaksi).
Rasa sakit
Rasa sakit pasca operasi akibat trauma jaringan keras dapat berasal dari cederanya tulang karena terkena instrument atau bur yang terlalu panas selama pembuangan tulang. Dengan mencegah kesalahan tekhnis dan memperhatikan penghalusan tepi tulang yang tajam, serta pembersihan soket tulang setelah pencabutan dapat menghilangkan penyebab rasa sakit setelah pencabutan gigi
2.5 Ciri-Ciri Tang Posterior RA dan RB
Tang posterior rahang atas
Premolar
Tang premolar rahang atas memiliki paruh yang konkaf ke arah operator, luas dan terbuka. Sisi tajam yang membengkok memberi akses ke arah posterior, dapat digunakan untuk pencabutan premolar rahang atas kiri maupun kanan. Gerakan yang
dilakukan adalah gerakan rotasi dan ke arah bukal, pada pencabutan gigi premolar pertama dilakukan gerakan tambahan yaitu gerakan bukopalatal (Malik, 2012).
Gambar 3. Paruh tang premolar rahang atas berhadapan seperti bayangan cermin
Molar
Gigi molar maksila memiliki tiga akar, yaitu 1 pada bagian palatal dan 2 pada bagian bukal dengan furkasio. Paruh tang molar maksila harus memiliki permukaan yang halus dan cekung untuk akar palatal dan ujung dengan desain lancip untuk furkasio pada akar bukal, sehingga dibutuhkan dua tang yang berbeda untuk gigi molar maksila masing-masing kiri dan kanan (Peterson dkk., 2003).
Gambar 4. Paruh bukal dari masing-masing tang memiliki desain yang runcing
Paruh tang ini tidak identik. satu paruh membulat dan yang lainnya meruncing. Paruh runcing akan berada pada groove antara akar bukal dan paruh lainnya pada permukaan palatal diatas CEJ. Paruh juga memiliki lengkungan ke arah operator seperti forsep premolar (Malik, 2012). Tang molar harus memanjang sehingga operator dapat mencapai bagian posterior mulut (Peterson dkk., 2003).
Tang posterior rahang bawah
Premolar
Tang premolar rahang bawah merupakan tang dengan paruh tidak menutup yang lebih panjang dibandingkan dengan tang anterior (Malik, 2012).
Gambar 5. Tang akar rahang bawah dengan paruh runcing digunakan untuk pencabutan incisivus, premolar, dan akar gigi rahang bawah
Molar
Tang molar rahang bawah memiliki pegangan yang lurus dan paruhnyaya membelok, serta memiliki dua titik lancip pada bagian tengah yang digunakan untuk beradaptasi dengan bifurkasio pada akar, dapat digunakan pada gigi rahang bawah kanan atau kiri (Peterson dkk., 2003). Tang molar rahang bawah memiliki bentuk paruh identik, luas, dengan ujung runcing (Malik, 2012)
Gambar 6. Tang molar rahang bawah digunakan untuk pencabutan gigi permanen rahang bawah
BAB III
PENUTUP
Kemampuan operator dinilai sebagai penentu keberhasilan tindakan bedah, rencana pengkontrolan infeksi di rongga mulut serta menghindari komplikasi. Pada tindakan pembedahan, khususnya pencabutan, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah penguasaan operator terhadap teknik anestesi, sterilisasi, instrumentasi, prinsip dalam melakukan tindakan pembedahan, dan kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan serta prinsip umum pencabutan sebelum melakukan tindakan pencabutan.
DAFTAR PUSTAKA
Howe, G.L., dan Whitehead, F.I.H., 2012, Anestesi lokal, Edisi 3, Terj : Yuwono,L., Jakarta: Hipokrates.
Kaiin, H.A., 2009, Anestesi Blok Mandibula, http://www.pustaka.unpad.ac.id, diakses 29 Mei 2015.
Malamed, S.F., 1997, Handbook of Local Anesthesia, 4th ed., Mosby, Philadelphia.
Malik, N.A., 2012, Textbook of Oral And Maxillofacial Surgery, Jaypee Brothers Medical Publishers, New Delhi.
Mulyanti, S. dan Putri, M.H., 2011, Pengendalian Infeksi Silang di Klinik Gigi, EGC, Jakarta.
Pedersen, G.W., dkk., 2012, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC, Jakarta.
Peterson, L.J., Ellis, E., Hupp, J.R., dan Tucker, M.R., 2003, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Mosby, St. Louis.
Roberts, G.J. dan Rosenbaum, N.L., 1991, Atlas Berwarna Analgesia dan Sedasi Gigi Geligi, Jakarta, Hipokrates.