BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hiperplasia prostat jinak juga dikenal sebagai Benigne Prostat Hyperplasia
(BPH)
adalah
Benigne
pembesaran atau hypertropi prostat.
Prostat
Hyperplasia
adalah
Kelenjar prostat membesar,
memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008). BPH melibatkan unsur-unsur stroma dan epitel prostat yang timbul di zona periuretra dan transisi dari kelenjar. Hiperplasia menyebabkan pembesaran prostat yang dapat menyumbat aliran urin dari kandung kemih. BPH dianggap sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang tergantung pada hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT). Diperkirakan 50% pria menunjukkan histopatologis BPH pada usia 60 tahun. Jumlah ini meningkat menjadi 90% pada usia 85 tahun. (Detters, 2011). Disfungsi berkemih yang dihasilkan dari pembesaran kelenjar prostat dan Bladder Outlet Obstruction (BOO) disebut Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS). Ini juga sering disebut sebagai prostatism, meskipun istilah ini jarang digunakan. Pernyataan ini tumpang tindih, tidak semua laki-laki dengan BPH memiliki LUT dan tidak semua pria dengan LUT mengalami BPH. Sekitar setengah dari pria yang didiagnosis dengan BPH histopatologi menunjukkan LUT berat. (Detters, 2011). Manifestasi klinis dari LUT meliputi frekuensi kencing, urgency (buang air kecil yang tidak dapat ditahan), nocturia (bangun di malam hari untuk buang air kecil), atau polakisuria (sensasi buang air kecil yang tidak puas). Komplikasi terjadi kurang umum tetapi mungkin dapat terjadi acute urine retention (AUR), pengosongan kandung kemih terganggu, kebutuhan untuk operasi korektif, gagal ginjal, infeksi saluran kemih berulang, batu kandung kemih, atau gross hematuria. (Detters, 2011).
1
Volume prostat dapat meningkat dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH. Selain itu gejala dapat memburuk dari waktu ke waktu pada pria dengan BPH yang tidak diobati dan risiko AUR sehingga kebutuhan untuk operasi korektif meningkat. (Detters, 2011). Pasien yang tidak mengalami gejala tersebut harus mengalami kewaspadaan pada komplikasi BPH. Pasien dengan LUT ringan dapat diobati dengan terapi medis pada awalnya. Transurethral resection of the prostate (TURP) dianggap standar kriteria untuk menghilangkan BOO yang disebabkan BPH. Namun, ada minat yang cukup besar dalam pengembangan terapi minimal invasif untuk mencapai tujuan TURP sambil menghindari efek samping. (Detters, 2011). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah pada laporan ini adalah “Bagaimanakah penatalaksanaan asuhan keperawatan pada Tn.B dengan Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) di ruangan Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad Provinsi Riau tahun 2016?”. C. Tujuan 1. Tujuan umum Mengetahui konsep dasar Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) dan asuhan keperawatan pada pasien Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) 2. Tujuan khusus a. Mengetahui definisi Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) b. Mengetahui etiologi Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) c. Mengetahui klasifikasi Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) d. Mengetahui patofisiologi Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) e. Mengetahui komplikasi Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) f. Mengetahui Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) g. Mengetahui pemeriksaan penunjang Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) h. Mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien Benigne Prostat Hyperplasia (BPH). D. Manfaat Penulisan 1. Bagi Institusi Pendidikan
2
Sebagai masukan bagi ilmu keperawatan serta meningkatkan wawasan pengetahuan guna meminimalkan jumlah penderita Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal. 2. Bagi Institusi Rumah Sakit Memberikan informasi kepada perawat dan tenaga medis Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad dalam penatalaksanaan dan perawatan pasien dengan Benigne Prostat Hyperplasia (BPH). 3. Bagi Mahasiswa Untuk menambah pengetahuan dan sebagai
referensi
dibidang
keperawatan dan juga pelayanan keperawatan terutama pada penyakit dalam kususnya asuhan keperawatan pada pasien Benigne Prostat Hyperplasia (BPH).
BAB II LANDASAN TEORI A. Benigne Prostat Hyperplasia (BPH) 1. Definisi Benigne Prostat Hyperplasia adalah pembesaran atau hypertropi prostat. Kelenjar prostat membesar, memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
3
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000). Hiperplasia prostat benigna adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum pria lebih tua dari 50 tahun) menyebabkan berbagai derajat obstruksi urethral dan pembatasan aliran urinarius (Doengoes, Morehouse & Geissler, 2000) Kelenjar prostat bila mengalami pembesaran, organ ini membuntu uretra Pars Prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran urine keluar dari buli-buli (Poernomo, 2000). 2. Etiologi Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal
dan
testosteron
dengan
bantuan
enzim
5α-reduktase
diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron (DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga
pada
hiperestrinisme,
bagian
inilah
yang
mengalami
hiperplasia. (Hardjowidjoto,2000). Menurut Basuki (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab
prostat
hiperplasi,
4
tetapi beberapa
hipotesis
menyebutkan bahwa hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnyahiperplasi prostat adalah : 1.Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan estrogen pada usia lanjut. 2.Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu pertumbuhan stroma kelenjar prostat. 3.Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati. 4.Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi selstroma dan sel epitel kelenjar prostat menjadi berlebihan. Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yang menyebabkan penyakit BPH yaitu : 1. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005). 3. Manifestasi Klinis Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar saluran kemih. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah Keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinari Tract Symptoms (LUTS) terdiri atas gejala iritatif dan gejala obstruktif. A. Gejala iritatif meliputi:
5
1. frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nokturia) dan pada siang hari dan nyeri pada saat miksi 2.Terbangun untuk miksi pada malam hari. 3.Perasaan ingin miksi yang sangat mendesak dan sulit di B. Gejala obstruktif meliputi: 1. rasa tidak lampias sehabis miksi. hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor bulibuli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika. 2. harus mengejan. 3. (intermittency) disebabkan
yaitu
karena
terputus-putusnya ketidakmampuan
aliran otot
kencing
destrussor
yang dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi dan waktu miksi yang memanjang yang akhirnya menjadi retensi urine dan inkontinensia karena overflow. Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan saluran kemih sebelah bawah, beberapa ahli urology membuat sistem scoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri oleh pasien. 4. Gejala pada saluran kemih bagian atas Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian
atas, berupa gejala obstruksi antara lain: nyeri pinggang,
benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), yang selanjutnya dapat menjadi gagal ginjal dapat ditemukan uremia, peningkatan tekanan darah, perikarditis, foetoruremik dan neuropati perifer. 5. Gejala di luar saluran kemih Pasien yang berobat ke dokter biasanya mengeluh adanya hernia inguinalis dan hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga mengakibatkan peningkatan
6
tekanan intra abdominal (Poernomo, 2000). Warna urin merah cerah, pada hari ke-2 dan ke-3 post operasi menjadi lebih tua. 6. Berdasarkan gambaran klinik hipertrofi prostat dapat dikelompokan dalam empat (4) derajat gradiasi sebagai berikut : Derajat
Colok Dubur
Sisa
Volume
I
Urine Penonjolan prostat, batas atas mudah < 50 ml
II
diraba.
III
Penonjolan prostat jelas, batas atas dapat > 100 ml
IV
mudah dicapai.
Retensi
Batas atas prostat tidak dapat diraba
total
50 – 100 ml urine
C. Pada pasien post operasi BPH, mempunyai tanda dan gejala: 1. Hemorogi. 2. Hematuri 3. Peningkatan nadi 4.
Tekanan darah menurun
5.
Gelisah
6.
Kulit lembab
7.
Temperatur dingin 8. Tidak mampu berkemih setelah kateter diangkat D. Gejala intoksikasi air secara dini: 1.Bingung 2.Agitasi 3.kulit lembab 4.anoreksia 5.mual dan muntah E. Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun
belum
penuh
atau
dikatakan
sebagai
hipersenitivitasotot detrusor dengan tanda dan gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari (nokturia),
7
perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi (disuria) (Mansjoer,2000) F. Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium : 1.Stadium I Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai habis. 2.Stadium II Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa ridak enak BAK atau disuria dan menjadi nocturia. 3.Stadium III Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc. 4.Stadium IV Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes secara periodik (over flowin kontinen). G. Menurut Smeltzer (2002) menyebutkan bahwa : Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia, dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yangturun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut. Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini : 1 Rectal Gradding Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong : a. Grade 0 : Penonjolan prostat 0-1 cm ke dalam rectum. b. Grade 1 : Penonjolan prostat 1-2 cm ke dalam rectum. c. Grade 2 : Penonjolan prostat 2-3 cm ke dalam rectum. d. Grade 3 : Penonjolan prostat 3-4 cm ke dalam rectum. e. Grade 4 : Penonjolan prostat 4-5 cm ke dalam rectum. H. Clinical Gradding Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh kencing dahulu kemudian dipasang kateter. 8
a.Normal b.Grade I c.Grade II d.Grade III e.Grade IV
: Tidak ada sisa : sisa 0-50 cc : sisa 50-150 c : sisa > 150 cc : pasien sama sekali tidak bisa kencing
4. Patofisiologi Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20gram. Menurut Mc Neal (1976) yang dikutip dan bukunya Basuki (2000), membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior
dan periuretra
(Basuki,
2000).
Sjamsuhidajat
(2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Basuki (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan dirubahmenjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secaralangsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat. Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi
yang
disebabkan
pembesaran
prostat
sebenarnyadisebabkan oleh kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan kekuatankontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
9
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadiresistensi yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor kedalam kandung kemih dengan sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi
walaupun
belum
penuh
atau
dikatakan
sebagai
hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria). Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak mampu lagi menampung urin,sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter danginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan
tekanan
intraabdomen
yang
akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan 10
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinariamenjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluksmenyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005). 5. Komplikasi Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000). Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita
harus
menyebabkan
peningkatan
mengejan
tekanan
pada
miksi
yang
intraabdomen
yang
akan
menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
11
6. WOC
7. Pemerikasaan Penunjang A. Menurut Soeparman (2000), pemeriksaan penunjang yang mesti dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :a. Laboratorium 1. Sedimen Urin Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi saluran kemih. 2. Kultur Urin
12
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus menentukan sensitifitas kumanterhadap beberapa antimikroba yang diujikan. b. Pencitraan1). Foto polos abdomenMencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin. 3. IVP ( Intra Vena Pielografi) Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis,memperkirakan besarnya kelenjar prostat, penyakit pada buli-buli. 4. Ultrasonografi ( trans abdominal dan trans rektal ) Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel, tumor. 5. Systocopy Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum
8. Penatalaksanaan A. Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis antara lain : 1. Stadium I Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah, diberikan
pengobatan
konservatif,
misalnya
menghambat
adrenoresptor alfa seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi
13
proses hiperplasi prostat. Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian lama. 2. Stadium II Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra). 3. Stadium III Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik danperineal. 4.StadiumIV Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
B. Menurut (Sjamsuhidajat, 2004) Penatalaksanaan penyakit BPH antara lain : 1. Watchfull Waiting Tatalaksana pada penderita BPH saat ini tergantung pada LUTS yang diukur dengan sistem skor IPSS. Pada pasien dengan skor ringan (IPSS ≤ 7 atau Madsen Iversen ≤ 9), dilakukan watchful waiting atau observasi yang mencakup edukasi, reasuransi, kontrol periodik, dan pengaturan gaya hidup. Bahkan bagi pasien dengan LUTS sedang yang tidak terlalu terganggu dengan gejala LUTS yang dirasakan juga dapat memulai terapi dengan malakukan watchful waiting. Saran yang diberikan antara lain : a. Mengurangi minum setelah makan malam (mengurangi nokturia). b. Menghindari obat dekongestan (parasimpatolitik). c. Mengurangi minum kopi dan larang minum alkohol (mengurangi frekuensi miksi). d. Setiap 3 bulan mengontrol keluhan. 14
2. Tatalaksana Invasif Tatalaksana invasif pada BPH bertujuan untuk mengurangi jaringan adenoma. Indikasi absolut untuk melakukan tatalaksana invasif : a. Sisa kencing yang banyak b. Infeksi saluran kemih berulang c. Batu vesika d. Hematuria makroskopil e. Retensi urin berulang f. Penurunan fungsi ginjal 3. Standar emas untuk tatalaksana invasif BPH adalah Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP) yang dilakukan untuk gejala sedang sampai berat, volume prostat kurang dari 90 gram, dan kondisi pasien memenuhi toleransi operasi. Komplikasi jangka pendek pada TURP antara lain perdarahan, infeksi, hiponatremi, retensi karena bekuan darah. Komplikasi jangka panjang TURP adalah striktur uretra, ejakulasi retrograd, dan impotensi. Trans Urethral Incision of the Prostate (TUIP) dapat dilakukan apabila volume prostat tidak begitu besar/ada kontraktur leher vesik / prostat fibrotik. Indikasi TUIP yaitu keluhan sedang atau berat dan volume prostat tidak begitu besar. Bila alat yang tersedia tidak memadai, maka dapat dilakukan operasi terbuka dengan teknik transvesikal atau retropubik. Karena morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang ditimbulkannya, operasi sejenis ini hanya dilakukan apabila ditemukan pula batu vesika yang tidak bisa dipecah dengan litotriptor / divertikel yang besar (sekaligus diverkulektomi) / volume prostat lebih dari 100cc.(Sjamsuhidajat, 2004) C. Terapi Obat dan Implikasi Keperawatan Medical Treatment Ada beberapa jenis pengobatan medikamentosa pada BPH yaitu : a.Penghambat adrenergik alfa Obat ini menghambat reseptor alfa pada otot polos di trigonum, leher vesika, prostat, dan kapsul prostat, sehingga terjadi relaksasi, penurunan tekanan di uretra pars prostatika, sehingga meringankan obstruksi. Perbaikan gejala timbul dengan cepat, contohnya 15
Prazosin, Doxazosin, Terazosin, Afluzosin, atau Tamsulosin. Efek samping yang dapat timbul adalah karena penurunan tekanan darah sehingga pasien bisa mengeluh pusing, capek, hidung tersumbat, dan lemah. b. Penghambat enzim 5 α reduktase Obat ini menghambat kerja enzim 5 α reduktase sehingga testosteron tidak diubah menjadi DHT, konsentrasi DHT dalam prostat menurun, sehingga sintesis protein terhambat. Perbaikan gejala baru muncul setelah 6 bulan, dan efek sampingnya antara lain melemahkan libido, dan menurunkan nilai PSA. c. Phytoterapi Obat dari tumbuhan herbal ini mengandung Hypoxis Rooperis, Pygeum Africanum, Urtica Sp, Sabal Serulla, Curcubita pepo, populus temula, Echinacea pupurea, dan Secale cereale. Banyak mekanisme kerja yang belum jelas diketahui, namun PPygeum Africanum diduga mempengaruhi kerja Growth Factor terutama bFGF dan EGF. Efek dari obat lain yaitu anti-estrogen, anti-androgen, menurunkan sex binding hormon globulin, hambat proliferasi sel prostat, pengaruhi metabolisme prostaglandin, anti-inflamasi, dan menurunkan tonus leher vesika.(Sjamsuhidajat, 2004).
16
BAB III TINJAUAN KASUS
Nama Mahasiswa
: Mikhael Fernando Simanungkalit
NIM
: 16091025
Tanggal Pengkajian
: 24 Oktober 2016
Jam : 15: 30 WIB
Tanggal MRS
: 13 Oktober 2016
NO.MR : 937401
1. INFORMASI UMUM Nama Lengkap : Beddu Wahid Hari Rawat : ke 18 Usia : 67 tahun Tanggal Lahir
: Pulau Burung, 31-12-1948
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Dari/ Rujukan
:BalaiKarimun
Agama : Islam Suku Bangsa : Indonesia Penanggung Jawab Biaya :Bpjs Suku : Melayu Diagnosa Medik : BPH 2. KELUHAN UTAMA Pre op : pasien mengatakan pada saat ini merasakan gatal di daerah pemasangan sitotomi dan keluarga kurang mengerti dengan penyakit Tn. B
17
Pasien tampak kahwatir , tidak sabar dan pasien tampak kurang tenang. Post op : Pasien tampak bingung, pasien melepas infus sendiri, pasien berusaha melepas selang kateter urine, dan pasien mengatakan sudah sembuh (masih dalam perawatan). 3. RIWAYAT PENYAKIT YANG DIDERITA SAAT INI Tn. B masuk rumah sakit awalnya merasakan sulit BAK, dan ketika BAK sedikit urine yang keluar, lama kelamaan kantong bladder Tn.B penuh dan merasakan kesakitan yang luar biasa yang membuat klien menangis. Kemudian Tn. B dirujuk ke tanjung batu selanjutnya ke Balai karimun, tembilahan dan akhirnya di rawat di RSUD Arifin Achmad diruangan Dahlia. 4. RIWAYAT KESEHATAN SEBELUMNYA -Merokok (+) - DM (-) - Hipertensi (-) - BPH (+) sejak 2 bulan yang lalu 5. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA (GENOGRAM)
: Laki-laki
: Pasien
: Perempuan
: Tinggal Bersama
6. KEADAAN UMUM (Pre OP) Kesadaran/GCS: E = 4, V = 5, M = 6, GCS = 15 (Compos Mentis) Tanda-tanda vital (Pukul: 15.30 WIB) TD : 120/80 mmHg N : 80 X/menit RR : 20 X/menit S : 36,0 ºc BB/TB : 50kg / 150 cm LILA : 20 (kurus) cm IMT : 22,22 (Post Op) Kesadaran/GCS: E = 4, V = 5, M = 6, GCS = 15 (Compos Mentis) Tanda-tanda vital (Pukul: 20.30 WIB) TD : 125/85 mmHg N : 82 X/menit RR : 19 X/menit S : 36,0 ºc BB/TB : 50kg / 150 cm LILA : 20 (kurus) cm IMT : 22,22
18
7. PENGKAJIAN HEAD TO TOE 1. Kepala a. Rambut & kulit kepala: Warna rambut hitam, tekstur halus dan lurus, rambut tipis, kondisi kepala bersih. Tidak terdapat nodul/massa dikulit kepala, bentuk kepala bulat, ukuran normal, tulang (prontal/dahlia, periental/ubunubun, temporal, oksipital/belakang. Tidak terdapat massa dan wajah Tn,B simetris. Tidak ada masa pada kulit kepala, nyeri tekan/ bekas luka. b. Mata Distribusi alis dan bulu mata tebal merata, kondisi tulang orbital normal, mata kiri dan kanan simetris tidak strabismus, palpebra simetris, karena normal, pupil normal, mengecil terhadap reflek cahaya, pupil kiri dan kanan isokor (+) dengan ukuran 2 mm, konjungtifa tidak anemis, sclera ikterik pergerakan bola mata normal, tidak ada ditemukan nyeri padas etiap bagian mata, kelenjar lakrimalkantus mata normal, lapang pandang dan ketajaman pandang Tn. B normal. c. Telinga Tidak terdapat massa dan nyeri ditelinga saat ditekan pada aurikula tulang mastoid, liang telinga tampak bersih, tidak terdapat serumen pada membrane timpani, tidak ditemukan tanda-tanda infeksi, kemampuan mendengar normal dan baik. Tidak menggunakan alat bantu dengar. Tidak ditemukan benda asing yang menempel. d. Hidung Hidung tampak normal, warna sawo matang simetris. Tidak terdapat cuping hidung ataupun massa. Kondisi hidung dan kartilago hidung normal, lubang hidung kiri dan kanan paten. Hidung tampak bersih, tidak ditemukan adanya sinus, nyeri, dan tidak terdapat pengeluaran secret. Tn. B tidak menggunakan gigi palsu. 2. Leher Otot leher dan kelenjar tiroid normal, tidak ditemukan adanya nyeri, trakea simetris, pada arteri karotis tidak ditemukan masalah, tidak terdapat jejas, kaku kuduk, dan massa Tn.B tidak terpasang trakeostomi.
19
3. Dada a. Paru-paru Inspeksi Bentuk dada simetris kiri dan kanan, terdapat retraksi interkosta (pengembangan paru). Palpasi Pengembangan dada kanan dan kiri sama, tractil fremitus kiri dan kanan pada punggung frekuensi getaran sama. Auskultasi Bunyi vasikuler (aliran udara tanpa hambatan). b. Jantung Inspeksi Dada tampak simetris, ictus cordis tidak terlihat pada ics kelima. Palpasi Saat dipalpasi tidak terasa nyeri dan tidak terjadi pembengkakkan, pulmonalis terletak pada ics ketiga (sinistra/kiri), aorta terdapat pada ics ke tiga dekstra (kanan). Perkusi Saat diperkusi dari ics ke2- ics ke 6 tidak terdapat pembesaran jantung, suara jantung saat diperkusi redup. Auskultasi S1 dan s2 (lubdub) tidak terdapat suara tambahan. 4. Payudara dan Aksila Payudara Nya kiri dan kanan simetris, warna sawo matang (normal), tidak terdapat kemerahan dan discharge, nodus limfatikus aksila normal, tidak teraba. Tidak terdapat edema, pembengkakkan, massa dan nyeri. 5. Tangan Tangan kiri dan kanan simetris, bentuk dan ukuran tangan normal, crt 2 detik, rentang gerak sendi normal, nadi simetris dan normal, suhu akral hangat, tidak ditemukan nodul atau massa. Tidak ditemukan edema, deformitas, fraktur, krepitasi, kontraktur/luka, tidak terpasang infus dan tidak terdapat clubbing finger. Kekuatan otot tangan 5555
5555
5555
5555
6. Abdomen
20
Inspeksi: Abdomen tidak terdapat pembengkakan, striae dan cosma gravidarum Palpasi : saat ditekan abdomen tidak ada nyeri. Perkusi : dulness pada hati dan timpani duodenum Auskultasi : pristaltik usus normal 8x permenit. 7. Genitalia dan Perkemihan Tn. B mengatakan bladder normal, warna urin kuning jernih, tidak terdapat pendarahan, trauma, infeksi, menggunakan kateter dan tidak terdapat nyeri. Dilihat dari segi objekif genitalia bersih, distribusi rambut pubis merata,Pre op terpasang sitotomi didaerah 2 jari diatas simpisis pubis. Post op selang sitotomi nya dilepas. Sehingga hanya di lakukan perawatan luka pada daerah pelepasan sitotomi. 8. Rektum dan Anus Tn. B mengatakan anus bersih, kondisi kulit disekitar anus baik. Tidak terdapat lesi, nodul, massa, hemoroid, perdarahan. 9. Kaki Kaki tampak simetris, bentuk dan ukuran kaki normal dengan warna kulit sawo matang, suhu akral hangat, simetris, kekuatan nadi normal, tidak terdapat massa, infeksi, keganasan, rentang gerak normal Tn. B mampu berjalan. Tidak terdapat fraktur, krepitasi, malforasi, nodus-massa, edema, luka, infeksi. Kekuatan otot
5555
5555
5555
5555
10. Punggung Turgor kulit normal, tekstur dan kelembapan kulit punggung normal, normocest, tidak terdapat lesi ataupun massa 8. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR Tn. B tidak dapat beraktifitas normal seperti pada umumnya, karena infus terpasang. Namun saat ini Tn B mengatakan tidak lagi merasa lemas dan sudah bisa kekamar mandi sendiri (dalam pegawasan Isteri), makan dan merapikan diri dengan sendiri. 21
9. POLA AKTIFITAS HARIAN (ADL) aktifitas Tn.B hanyalah berjalan dari tempat tidur kekamar mandi untuk buang air besar, duduk dan berbaring ditempat tidur. 10. CAIRAN NUTRISI ELIMINASI 1. Itake oral/ enteral a. Makanan berat: 2 kali/hari (150 ml/shift) b. Makanan selingan : 2 kali/hari (290 ml/shift) c. Minum : 350 ml/shift d. Parenteral : ml/shift 2. Eliminasi a. Urin : - kali/shift (200 ml/shift) b. BAB : 2 kali/ shift.(100 ml/shift) 3. Balance Cairan a. Cairan masuk : 790 ml b. Cairan keluar : 300 ml c. IWL : 166,67 d. Balan cairan : +323,33 ml e. Urin Output : 0,5 ml/kgBB/jam 11. PSIKO-SOSIAL-SPIRITUAL Tn. B awalnya merasa cems dakan tetapai Tn. B berfikir Tn, B datang kerumah sakit untuk berobat dan mendapat kesembuhan. 12. PENGKAJIAN REFLEKS DAN SARAF KRANIAL 1. Refleks a. Biseps : respon normal, reflex pada siku (fleksi) dan kontraksi bisep. b. Triseps : reflex normal, kontraksi otot triseps dan ekstensi siku. c. Brakioradialis: refleks normal, lengan dalam keadaan fleksi, dan supinasi. d. Patella : respon normal, kontraksi kuadriseps dan ekstensi lutut e. Achiles : reflek normal, sentakan pergelangan kaki f. Babinski : reflek normal, terjadi kontraksi jari kaki dan menarik bersama-sama. 2. Saraf Kranial a. Olfaktorius: normal, dapat menerima rangsangan dari hidung, b. c. d. e.
mengetahui sensasi bau Optikus : penglihatan normal, Okulomotor: lapang pandang, pergerakan alis mata normal. Troklear : sensori, pergerakan otot mata normal. Trigeminus : sensasi pada wajah da pergerakan rahang normal 22
f. g. h. i. j. k. l.
Abdosen : abduksi mata normal Fasial : wajah dapat berekspresi Vestibulooklear : sistem pendengaran normal Glosofaringeus : dapat membedakan rsa (pengecapan) Vagus : reflex muntah baik Aksesorius : kepala dapat bergerak bebas Hipoglosus : pergerakan lidah normal.
13. HASIL PEMERIKSAAN LABORATORIUM DAN DIAGNOSTIK 1. Hasil laboratorium pemeriksaan 21-10-2016 WBC RBC HB HCT PLT Glucose Ureum Creatine Asparate Aminitransferase Alanine Aminotransferase Albumin
Hasil
Nilai normal
6,86 10,9 g/dl 133 39 1,49 16 22 2,9
4,8-10,8 (10-3/ul) 4,2-5,4 (10-6/ul) 12-16 g/dl 37-47 % 150-450 (10-3/ul) 74-106 mg/dl 15-41 mg/dl 0,55-1,30 mg/dl 15-37 12-78 3,4-5,0 (g/dl)
2. Hasil radiologi X-foto thorax Cor : Besar dan bentuk normal Pulmo : gerakan bronkovskular normal (infiltrat (-) Diafragma dan sinus kostofranikus normal Kesan : cor dalam batas normal Pulmo : tidak tampak berlebihan x-foto BNO - Tidak tampak distensi cavum abdomen - Preperitoneal fatline tegas - Psoas line simetris - Contour ginjal normal - Tidak tampak gambaran batu radio opak pada cavum abdomen dan -
pelvis Distribusi udara dalam usus normal, face material prominent tampak di
-
vl 2-4 Kesan : tidak ada tampak gambaran batu radio opak pada Tr. Urinarius spon dyalisis lumbalis.
23
3. Tidak ditemukan hasil pemeriksaan EKG 14. Terapi medikasi Obat Ceftriaxone
Rute Iv
ketorolak Iv NacL 0,5 % Iv
Dosis 2x1g 2x1 amp 1 kolf
Dosis
Indikasi Antibiotik,
kontraindikasi infeksi Neonates,
hipersensitifitas
intraabdomen dll ceftriaxone Membantu meredakan nyeri 20 TPM Memenuhi kebutuhan cairan
20 tpm
parenteral
ANALISA DATA (1) NO Data 1 DS: -
Bagan etiologi Pemasangan Sitotomi
Pasien mengatakan ketidak
nyaman pada daerah sitotomi Terputusnya Pasien merasakan gatal. jaringan kulit DO:
kontinuitas
-
TTV : TD : 120/80, N : 80x/i, RR : 20x/i, akral
Jaringan
luka
kontak
dengan daerah luar
hangat, albumin : 2,9 g/dl, -
WBC : 6,86. media invasi masuk kuman Perban tampak kotor Daerah pemasangan sitotomi
-
lembab. Resiko Infeksi Berbau Perban sudah beberapa hari tidak diganti
24
Masalah keperawatan Resiko Infeksi
-
Perban tidak
terlepas ada
sehingga
perban
yang
menutupi sitotomi.
ANALISA DATA (2) NO Data 2 DS: -
Bagan etiologi
Klien mengatakan sedikit
Benigna prostat Hiperplasia
cemas menghadapi operasi
↓ Perubahan status kesehatan
DO -
Ekspresi wajah klien saat
↓
berbicara tidak penuh -
semangat. TD : 130/75 RR : 23x/i N:
-
83x/i S: 36 oC Klien tampak megenggam
-
ibu jari sambil berbicara. Klien tampak kahwatir,
-
tidak sabar. Klien tampak kurang
Sumber informasi yang tidak adekuat ↓ Koping klien tidak efektif ↓ Ansietas
tenang.
25
Masalah keperawatan Ansietas
ANALISA DATA (3) NO Data 2 DS: -
Bagan etiologi pembesaran
Masalah keperawatan jaringan Kurang pengetahuan
Pasien mengatakan kurang prostat memahami tentang proses
-
penyakit yang dialaminya. perubahan status kesehatan Pasien kurang mengerti hospitalisasi tindakan apa yang akan di
-
lakukan. kurang pengetahuan dan Pasien juga bingung dalam informasi tentang penyakit menjawab penyakitnya
Post op 26/10/2016 -
Pasien
mengatakan
saya
-
sembuh Pasien mengatakan melepas
-
infusnya sendiri Pasien berusaha
melepas
urine kateter DO: -
Ekspresi wajah datar saat ditanya tentang penyakit dan tersenyum
26
-
Post op 26/10/2016 Pasien tampak tenang dalam berbicara
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN N
DIAGNOSA
O 1
Resiko
NOC infeksi
bd
pemasangan sitotomi
NIC
Setelah dilakukan intervensi selama 1x 24 jam dapat
Kaji penyebab infeksi Ajarkan cuci tangan yang
menurunkan resiko infeksi
-
benar (6 langkah) Lakukan perawatan luka
-
penyebaran patogen Menjelaskan tanda-tanda -
pada daerah sitotomi Tempat tidur harus bersih Tingkatkan asupan nutrisi Kolaborasi pemberian
-
gejala Menjelaskan akifitas yang
-
Luka bersih Merangkan
cara-cara
dapat 2
Ansietas
b.d
pembedahan pelepasan sitotomi
obat
meningkatkan
proses
resistensi terhadap penyakit Setelah dilakukan intervensi -
invasif
selama
1x
24
jam
dapat -
menurunkan Ansietas -
Ansietas dibuktikan ansietas
tingkat
hanya
ringan
sampai sedang dan selau menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas, diri, koping.
27
hal
nafas
apabila -
yang
membuat pasien cemas. Mengajarkan teknik relaksasi
berkurang, oleh
Mengkaji
kecemasan Memgajarkan relaksasi terpimpin
dalam
mengalami Teknik imajinasi
-
Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas
3
Kurang
pengetauan
b.d
kurang informasi dan kurang
Dalam 3x24 jam diharapkan keluarga dan pasien mampu
memahami proses penyakit
dan
memahami
tentang
penyakit -
Menjelaskan
tentang
-
penyakit dan resiko infeksi Pasien dan keluarga paham
-
Penkes mengenai penyakit Mendiskusikan pola gaya hidup aktifitas Diskusikan pilihan terapi Mengajarkan Bladder training.
dan mengerti CATATAN PERKEMBANGAN Tanggal/Jam
No.d
x 24 Oktober 2016 1
implementasi
- Bina Hubungan saling percaya Jam : 21.30 WIB
16;00, senin
17.30 18.45
evaluasi
-
pada pasien dan keluarga S: Mengukur TTV - Pasien mengatakan gatal daerah Kaji penyebab infeksi Menganti laken dan perban sitotomi berkurang Perawatan sitotomi - Pasien dan keluarga mengatakan Mengajakan cuci tangan 6 sudah hapal melakukan cuci langkah tangan 6 langkah O: -
28
TD : 120//80 N : 80x/i RR : 21x/i
TTD
-
Akral hangat
A: - Masalah teratasi sebagian P: 24 Oktober 2016 Jam 20.00, senin
2
- Lanjutkan intervensi - Mengajarkan teknik relaksasi Jam : 21.30 nafas dalam S: - Mengajarkan teknik relaksasi - Pasien dan keluarga mengatakan imajinasi terpimpin mengerti dan mampu mengulangi teknik relaksasi nafas
dalam
imajinasi
dan
teknik
terrpimpin
secara
mandiri. O: -
TD : 120//80 N : 80x/i RR : 21x/i Akral hangat
A: - Masalah teratasi sebagian P: Lanjutkan intervensi
29
25 oktober 2016
1
Selasa 20.00
- Mengukur TTV - Mengkaji masukan haluaran pasien. - Cek perban sekitar luka. - Kolaborasi pemberian
20.00 22.00
antibiotik. - Menjaga kebersihan
Jam : 22.00 dan
S: - Klien
obat
mengatakan
gatal
berkurang. - Klien mengatakan pada saat mau
tempat
tidur
dilakukan
operasi,
melakukan
teknik
napas
dalam
klien relaksasi
dan
teknik
imajinasi terpimpin. O: - TD : 120/80, n : 82x/i, RR : 22x/i 26 Oktober 2016 06.30 Rabu
Mengukur ttv Cek daerah pelepasan sitotomi Mengecek urine bag Memasang infus
A : masalah teratasi sebagian P : Lanjutkan intervensi Jam : 11.00 S:
1
- Pasien mengatakan sudah sembuh -
tidak ingin mamakai kateter Keluarga mampu mengulangi
07.00
kembali penkes yang diberikan
08.15
perawat. O: - CRT : 2 detik - TTV Td :125/85 mmhg, RR; 22X/menit N: 82 x/menit s; 37,5. A: - Masalah teratasi sebagian P: Pertahankan lanjutkan
30
intervensi
dan
26 oktober 2016
3
09.00
- Memberikan arahan supaya Jam : 11.00 pasien tenang dan jangan S :
10.00
terlalu banyak bergerak - Keluarga mampu mengulangi - Memberikan penkes post kembali penkes yang diberikan pelepasan sitotomi. perawat. - Kolaborasi Pemberian obat O: - CRT : 2 detik - TTV Td :125/85 mmhg, RR; 22X/menit N: 82 x/menit s; 37,5. A: - Masalah teratasi sebagian P: - Pertahankan
intervensi
dan
lanjutkan 27 oktober 2016 Jam 08.30 09.15 09.30
1
- Mengukur TTV - Melakukan perawatan
Jam 15.45 luka
S: pelepasan sitotomi - klien mengatakan gatal tidak ada - Melakukan perawatan selang lagi sudah aman. kateter O: - TTV TD: 120/80 mmhg, S: 36,6 N: 81 x/ mnt RR: 20 x/mnt. - Mengukur CRT yaitu 2 detik - Akral hangat A: - masalah teratasi . p : melanjutkan intervesi
31
27 oktober 2016 Jam 08.30
3
- Memberikan penkes dan Jam 15.45 mengajarkan Bladder training
11.00
S: - klien
dan
keluarga
sudah
mengerti dan paham tentang penkes
yang
diberikan
perawat. O: - TTV TD: 120/80 mmhg, S: 36,6 N: 81 x/ mnt RR: 20 x/mnt. - Mengukur CRT yaitu 2 detik - Akral hangat A: - masalah teratasi . p : melanjutkan intervesi
32
BAB IV PEMBAHASAN Pada BAB III informasi identitas klien sesuai dengan tinjauan pustaka (nama pasien, usia pasien, dan jenis kelamin). Pasien memiliki riwayat Benigne Hyperplasia Prostat (BPH) hal terjadi karenakn faktor usia Tn. B yang sudah berumur 68 tahun. Sesuai dengan pendapat Sjamsuhidayat (2005) yang menyatakan salah satu penyebab terjadinya Benigne Hyperplasia Prostat (BPH) adalah Faktor usia. Tanda dan gejala yang didapatkan adalah adanya Benigne Hyperplasia Prostat (BPH) tindakan yang dilakukan adalah pemasangan Sitotomi untuk melancarkan pengeluaran urin pasien. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Menurut Sjamsuhidjat (2005) menyatakan bahwa salah satu penanganan yang dilakukan kasus Benigne Hyperplasia Prostat (BPH) stadium 4 adalah tindakan pembedahan sitotomi. Pada kasus ini pemeriksaan diagnostik hanya dilakukan dua pemeriksaan yakni rontgen thorax, X-foto BNO dan laboraturium darah lengkap. Pemeriksaan ini sudah mampu memberikan informasi terkait keadaan pasien, yang berdasarkan tinjauan teori pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan rontgen, sedimen urine, kulture urine, IVP, Ultrasonografi, Sytocopy, bila curiga kerusakan vaskuler, hitung darah lengkap. Hasil rontgen didapatkan hasil bahwa pasien mengalami Benigne Hyperplasia Prostat (BPH). A. Diagnosa Keperawatan Dalam kasus sendiri setelah diidentifikasi data-data pengkajian, maka penulis mencantumkan diagnosa keperawatan yakni: 1. Resiko Infeksi bd proses pembedahan sitotomi 2. Ansietas b.d proses pembedahan invasif pelepasan sitotomi 3. Kurang pengetahuan bd kurang memahami poses penyakit
33
Untuk masalah keperawatan yamng mungkin muncul pada tinjauan teori antara lain menurut: Doengoes, 2000 A. Preoperasi 1.
Nyeri akut bd dengan agen injuri bilogi
2.
Cemas berhubungan dengan status kesehatan atau menhadapi proses bedah
3.
Ketidakseimbangan
nutrisi
kurang
dari
kebutuhan bd faktor biologi 4.
Perubahan
pola
eliminasi
bd
spasme
kandung kemih B. Postoperasi 1. Nyeri akut bd injuri fisiki 2. Resiko infeksi bd prosedur infasiv pembedahan 3. Kurang pengetahuan tentang penyakit,diit dan pengobatan bd kurangnya paparan informasi. 4. Defisit perawatan diri bd dengan imobilisasi pasca operasi 5. Disfungsi seksual bd dengan ketakutan akan impoten TURP C. Rencana Asuhan Keperawatan Intervensi yang dicantumkan pada kasus/ diberikan pada pasien sesuai dengan teori, namun hanya beberapa intervensi yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pasien yang diberikan, tidak keseluruhan intervensi. Misalnya, pada teori
intervensi dan rasionalnya menurut
Doengoes, 2000: Ajarkan teknik relaksasi dan relaksasi R/: Memfokuskan perhatian klien dan membantu menurunkan tegangan otot dan meningkatkan proses penyembuhan. Pada kasus intervensi yang diberikan: Dorong menggunakan tekhnik manajemen cemas, contohnya Ajarkan teknik relaksasi imajinasi terpimpin dan relaksasi napas dalam
34
R/: Memfokuskan kembali perhatian,meningkatkan rasa kontrol, dan meningkatkan kemampuan koping dalam manajemen cemas. D. Implementasi Tindakan atau implementasi yang telah diberikan kepada pasien antara lain memberikan intervensi teknik relaksasi nafas dalam dan teknik imajinasi tembimbing, hal ini sesuai dengan penelitian Krisyawati & Punomo (2013) dengan judul ”Efektifitas Teknik Relaksasi Imajinasi Terbimbing Dan Nafas Dalam Terhadap Penurunan Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi”. pada intervensi ini masing-masing membutuhkan waktu 5 menit dan menerapkan intervensi ini kepada pasien. Selain menerapkan evidanbased yang telah didapat, perawat juga melakukan ganti perban, perawatan luka, mengajarkan bladder training, mengevaluasi TTV, mengkaji CRT, akral, konjungtiva, dan mukosa mulut, Mengevaluasi kekuatan otot, memasang pagar tempat tidur, memberikan informasi kepada pasien untuk tidak terlalu banyak bergerak selepas postoperai selama 24 jam tapi boleh miring kiri kanan dengan log roll, makan, dan minum, membantu memindahkan pasien ke tempat tidur dengan tetap menjaga stabilitas postur tubuh pasien. Intervensi dari renpra tidak dapat dilakukan semuanya dikarenakan keterbatas waktu pasien berada di ruang pemulihan. E. Evaluasi Hasil evaluasi dari implementasi didapatkan masalah yang teratasi adalah 3 diantaranya diagnosa keperawatan resiko infeksi, ansietas dan kurang nya pengetahuan. 3 diagnosa keperawatan tersebut dapat teratasi dan pasien pulang. Selanjutnya perawat dapat melakukan perencanaan kepada pasien diantara nya melakukan kontrol secara bertahap, Bladder training dan melakukan perawatan luka secara mandiri. PERENCANAAN PULANG (DISCHARGE PLANNING)
Perkiraan lama perawatan .......................................................................... Hari Perawatan Lanjutan yang diberikan dirumah (Discharge Planning)
35
Tanggal
: 28 Oktober 2016
Jam
: 08.30
Nama Perawat : Mikhael Fernando, S.Kep Perawatan diri (mandi,BAB,/BAK)
Pendamping tenaga khusus di rumah Latihan pengembalian fungsi lanjutan Perawatan luka Pemantauan Diet Bantuan aktivitas fisik (kruk/kursi roda/dll) Bantuan Medis Perawatan Sewaktu Waktu (Home Care) Menghubungi Komunitas Kesehatan Di luar RS Bladder Training BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Hyperplasia (BPH)
adalah
Benigne
pembesaran atau hypertropi prostat.
Prostat
Hyperplasia
adalah
Kelenjar prostat membesar,
memanjang ke arah depan ke dalam kandung kemih dan menyumbat aliran keluar urine, dapat menyebabkan hydronefrosis dan hydroureter (Dafid Arifiyanto, 2008).
36
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori yang menyebabkan penyakit BPH yaitu : 1. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel stem. Oleh karena suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengancepat, sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral. 2. Teori kedua adalah teori Reawekering menyebutkan bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya. 3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi estrogen. (Sjamsuhidayat, 2005). Manifestasi yang timbul pada pasien dengan BPH ( Benigne Prostat Hyperplasia adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hemoragi Hematuri Peningkatan nadi Tekanan darah menurun Gelisah Kulit lembab Temmperatur dingin Anoreksi, mual mual dan muntah Agitasi
B. Saran 1. Bagi perawat, selalu siap dan tanggap dalam memberikan intervensi kepada klien terutama dalam keadaan gawat darurat pasca operasi. Agar masalah yang dialami klien dapat teratasi dan meningkatkan status kesehatan klien ke level yang optimal. 2. Bagi mahasiswa, lebih menumbuhkan semangat untuk belajar, mencari tahu apa yang tidak diketahui, bertanya jika tidak mengerti, mengasah keterampilan dalam melakukan tindakan, dan lain- lain. 3. Bagi penulis berikutnya, perbanyak referensi dan contoh kasus dilapangan yang membahas tentang kasus ini.
37
Daftar Pustaka Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi, Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD): Jakarta. Hardjowidjoto, S. (2000). Benigna Prostat Hiperplasi. Airlangga University Press: Surabaya Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Sjamsuhidayat, (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.Jakarta: EGC Smeltzer, Suzanne C, Brenda G Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Edisi 8 Vol 2. Jakarta : EGC.
38
39