Diabetes Melitus Tipe 2 Krissi Stiffensa Saparang Mahasiswa Fakultas Kedokteran UKRIDA Fakultas Kedokteran UKRIDA Jl. Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat 11510 Email :
[email protected]
Pendahuluan Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Di antara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya. Diabetes sudah merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. Meningkatnya prevalensi diabetes mellitus di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak disoroti. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit jantung koroner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes, dan lain-lain.1 Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang, differential diagnosis, working diagnosis, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, preventif, komplikasi, serta prognosis, tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi pasien datang dengan keluhan pada skenario 3, yaitu lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat secara teratur. Dengan demikian diambil hipotesis bahwa OS menderita diabetes mellitus tipe II. Melalui tinjauan pustaka ini, akan lebih dijelaskan bagaimana diagnosis dan terapi yabg benar dan baik buat pasien diabetes mellitus tipe II.
Pembahasan Skenario 3
1
Seorang laki-laki berusia 45 tahun, datang ke dokter untuk berkonsultasi karena ia merasa semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 5 tahun yang lalu dan minum metformin dan glibenklamid secara teratur. A. Anamnesis Anamnesis atau wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien yang bersangkutan atau secara tidak langsung melalui keluarga maupun relasi terdekatnya. Setelah anamnesis, kita dapat merumuskan masalah-masalah pasien dan dilanjutkan dengan proses pengkajiannya. Kemudian ditetapkan rencana pengelolaan terhadap pasien, yaitu rencana pemeriksaan untuk diagnosis, pengobatan, maupun penyuluhannya, dan diikuti dengan pelaksanaan rencana tersebut beserta evaluasi atau tindak lanjuitnya.22 Data anamnesis, terdiri atas beberapa kelompok data penting sebagai berikut: Identitas. Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.3 Keluhan Utama. Keluhan utama merupakan bagian paling penting dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis ini biasanya memberikan informasi terpenting untuk mencapai diagnosis banding, dan memberikan wawasan vital mengenai gambaran keluhan yang menurut pasien paling penting.4 Pada skenario 3, keluhan utama pasien adalah lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat secara teratur. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS). RPS adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.2 Biasa pasien datang dengan keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.1 3P (poliuri, polidipsia, polifagia). Pada poliuri tanyakan apakah pasien merasa haus atau lelah yang lebih dari biasanya, mengalami penurunan berat badan lebih dari 5% akhirakhir ini. Eksplorasi tentang frekuensi dan pola poliuria, mulai terjadi gejala, adakah faktor presipitasi, bagaimana pola dan jumlah asupan cairan perhari. Tanyakan adakah gangguan penglihatan, sakit kepala, trauma kepala yang dapat merupakan gejala awal diabetes 2
insipidus. Terakhir tanyakan tentang obat-obat yang digunakan pasien. Begitu pula pada polidipsia perlu ditanyakan berapa banyak minum setiap harinya, berapa sering dan berapa banyak pasien berkemih, apakah malam hari ketika ingin berkemih sampai menyebabkan pasien terbangun, apakah di keluarga terdapat riwayat penyakit diabetes atau ginjal, serta apakah ada obat yang diminum secara rutin akhir ini. Sedangkan pada polifagia, bisa ditanyakan adakah perubahan kebiasaan makan, program diet yang dijalani, serta bagaimana asupan makanan, kualitas, dan kuantitas.5 Diabetes mellitus bisa timbul akut berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperglikemia, disertai efek osmotik diuretik dari hiperglikemia (poliuria, polidipsi, nokturia), efek samping diabetes pada organ akhir (IHD, retinopati, penyakit vaskular perifer, neuropati perifer), atau komplikasi akibat meningkatnya keretanan terhadap infeksi (misalnya ISK, ruam kandiada). Keadaan ini juga bisa ditemukan secara tidak sengaja saat melakukan pemeriksaan darah atau urin.2 Maka hal di atas harus ditanyakan secara lengkap melalui anamnesis.4 Riwayat Penyakit Dahulu (RPD). RPD penting untuk mencatat secara rinci semua masalah medis yang pernah timbul sebelumnya dan terapi yang pernah diberikan, seperti adakah tindakan operasi dan anastesi sebelumnya, kejadian penyakit umum tertentu. 4 Pada pasien yang diketahui mengidap diabetes mellitus perlu ditanyakan bagaimana manifestasinya dan apakah obat yang didapat, bagaimana pemantauan untuk control, seperti frekuensi pemeriksaan pemeriksaan urin, tes darah, HbA1C, buku catatan, kesadaran akan hipoglikemia, serta tanyakan mengenai komplikasi sebelumnya. 4 1.
Riwayat masuk rumah sakit karena hipoglikemia/hipergikemia
2.
Penyakit vaskular: iskemia jantung (MI, angina, CCF), penyakit vaskular perifer (klaudikasio, nyeri saat beristirahat, ulkus, perawatan kaki, impotensi), neuropati perifer, neuropati otonom (gejala gastroparesis – muntah, kembung, diare)
3.
Retinopati, ketajaman penglihatan, terapi laser
4.
Hiperkolesterolemia, hipertrigliserida
5.
Disfungsi ginjal (proteinuria, mikroalbuminuria)
6.
Hipertensi – tetapi 3
7.
Diet, berat badan, atau olahraga
Riwayat Pribadi dan Sosial. Secara umum menanyakan bagaimana kondisi sosial, ekonomi dan kebiasaan-kebiasaan pasien seperti merokok, mengkonsumsi alkohol, dan hal yang berkaitan. Asupan gizi pasien juga perlu ditanyakan, meliputi jenis makanannya, kuantitas dan kualitasnya. Begitu pula juga harus menanyakan vaksinasi, pengobatan, tes skrining, kehamilan, riwayat obat yang pernah dikonsumsi, atau mungkin reaksi alergi yang dimiliki pasien. Selain itu, harus ditanyakan juga bagaimana lingkungan tempat tinggal pasien.4 Riwayat Keluarga. Riwayat keluarga berguna untuk mencari penyakit yang pernah diderita oleh kerabat pasien karena terdapat kontribusi genetik yang kuat pada berbagai penyakit. Sedangkan riwayat sosial penting untuk memahami latar belakang pasien, pengaruh penyakit yang diderita terhadap hidup dan keluarga mereka. Selain itu yang juga perlu diperhatikan adalah riwayat berpergian (penyakit endemik).4 B. Pemeriksaan Fisis Tujuan pemeriksaan fisis umum adalah mendapatkan atau mengidentifikasi keadaan umum pasien saat diperiksa, dengan penekanan pada tanda-tanda kehidupan (vital sign), keadaan sakit, keadaaan gizi, dan aktivitas baik dalam keadaan berbaring atau pun berjalan. Pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi pemeriksaan tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh. Derajat kesadaran juga perlu diidentifikasi bersamaan dengan keadaan umum pasien.2 Diabetes mellitus merupakan penyakit yang memiliki efek kepada seluruh tubuh. Maka dalam pemeriksaan fisik harus dilakukan pemeriksaan secara lengkap. Dan biasanya ditemukan beberapa kelainan sebagai berikut:6
4
Gambar 1. Keadaan-keadaan yang mungkin ditemukan dalam pemeriksaan fisik.6
5
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisis sesuai tiga keluhan utama pada pasien DM yaitu poliuria, polidipsia, dan polifagia. Poliuri. Pada poliuri perlu dilakukan evaluasi status hidrasi pasien, perhatikan adakah kekeringan pada kulit dan membran mukosa, penurunan turgor, dan elastisitas kulit, serta berkurangnya keringat.5 Polidipsi. Pada keadaan ini perlu diperiksa tanda-tanda dehidrasi, seperti mukosa mulut atau bibir yang kering dan turgor kulit yang turun.5 Polifagia. Pemeriksaan fisis yang perlu dilakukan pertama adalah evaluasi antropometri serta penilaian keadaan gizi pasien, apakah normal, gemuk, atau kurus. Hal ini dinilai dengan mengukur tinggi serta berat badan. Nilai normal berkisar ± 10% dari 90% x (tinggi badan cm-100) x 1 kg. Untuk menentukan status gizi dapat pula dipakai indeks massa tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan rumus IMT = BB (kg) / TB (m2). 2,5 Tabel 1. Klasifikasi IMT (kg/m2)2,5 BB kurang
<18,5
BB normal
18,5-22,9
BB lebih
≥23,0 Dengan resiko
23,0-24,9
Obesitas I
25,0-29,9
Obesitas II
≥30
Pada skenario 3, pasien memiliki IMT 22,5, yang artinya adalah berat badan normal. C. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium. Walaupun oleh masyarakat umum DM sering disebut sebagai penyakit kencing manis atau kencing gula, namun diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, dan tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil, waktu pengambilan, dan cara pemeriksaan yang dipakai.1,7 Bahan pemeriksaan kadar glukosa darah. Untuk diagnosis, bahan pemeriksaan yang dianjurkan untuk menentukan kadar glukosa darah adalah plasma darah vena dengan 6
metoda pemeriksaan cara enzimatik. Pada kondisi tertentu dimana sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah utuh (whole blood) vena atau kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnosis yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Pemeriksaan dengan serum sama baiknya dengan plasma bila serum dipisahkan dari darah lengkap dalam waktu kurang dari 1 jam. Glukosa dalam serum atau plasma yang disimpan pada suhu 40C dapat bertahan sampai glukosa yang lebih rendah secara bermakna. Selain plasma vena, pada kondisi tertentu bila sulit mendapatkan darah vena, dapat juga dipakai darah kapiler. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah vena mungkin akan berbeda dengan hasil pemeriksaan dengan menggunakan sampel darah kapiler. Hal ini disebabkan karena kadar glukosdarah kapiler lebh tinggin 7-10% daripada kadar glukosa darah vena. Pada keadaan puasa, perbedaan kadar glukosa darah vena dan arteri 2-3 mg/dl, dan setelah makan perbedaan ini dapat mencapai 20-30 mg/dl. Kadar glukosa darah arteri dapat tidak berbeda dengan kadar glukosa darah kapiler.7 Waktu pengambilan sampel darah. Berdasar waktu pengambilan sampel darah, dikenal beberapa jenis pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (post prandial), dan kadar glukosa jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).7 Pada pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu, pengambilan sampel darah dilakukan tanpa perlu memperhatikan waktu terakhir makan. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring dan memastikan diagnosis, sedangkan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu darah kapiler hanya untuk pemeriksaan penyaring saja. Pada pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, pengambilan sampel darah dilakukan setelah penderita berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dari plasma vena dapat digunakan untuk pemeriksaan penyaring, memastikan diagnosis, memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM. Sedangkan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dari darah kapiler hanya digunakan untuk pemeriksaan penyaring, memantau hasil pengobatan, dan pengendalian DM.7 Pemeriksaan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan (post prandial) sukar dilakukan standarisasi karena jenis dan jumlah makanan yang dimakan sukar disamakan. Selain itu sukar pula mengamati apakah pasien dalam tenggang waktu 2 jam untuk tidak makan atau minum lagi. Namun pemeriksaan glukosa darah 2 jam post prandial masih bermanfaat untuk memantau pengobatan dan pengendalian DM.7 7
Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa (TTGO) merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis DM bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau sewaktu diagnosis DM belum dapat dipastikan. Dengan demikian, pemeriksaan ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala khas DM dan kadar glukosa darah puasa dan atau sewaktu yang memenuhi kriteria diagnostik DM.7 Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1999)7 1.
Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
2.
Kegiatan jasmani seperti biasa dilakukan
3.
Puasa paling sedikit 8 jam, mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan
4.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
5.
Diberikan 75 gram glukosa (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum habis dalam waktu 5 menit.
6.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
7.
Selama proses pemeriksaan pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Untuk kemudahan, America Diabetes Association (ADA) dan Perkumpulan
Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2002) menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah pada jam ke-2 TTGO saja. Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO tercantum pada table dibawah.7 Tabel 1. Penilaian Hasil Pemeriksaan TTGO Jam Kedua.7 Kadar glukosa darah (mg/dl)
Penilaian
<140
TTGO normal
140-199
Toleransi glukosa terganggu (TGT)
≥200
Diabetes Melitus
8
Metode pemeriksaan kadar glukosa darah. Metode pemeriksaan glukosa darah terbagi menjadi 2 kelompok, yaitu metode kimia dan metoe enzimatik. Metode pemeriksaan yang dianjurkan adalah metode enzimatik. Prinsip metode kimia adalah berdasarkan atas kemampuan reduksi. Dengan metode ini, selain glukosa darah terukur pula zat-zat yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi sehingga akan diperoleh hasil yang lebih tinggi daripada keadaan seharusnya. Sedangkan metode enzimatik, metode ini bersifat spesifik terhadap glukosa. Dikenal dua maca metode enzimatik, yaitu metode glucose oxidase dan metode hexokinase.7 Manfaat pemeriksaan laboratorium. Dalam pengelolaan DM, pemeriksaan laboratorium dapat berfungsi sebagai pemeriksaan penyaring (screening), menegakkan diagnosis, pemantauan hail pengobatan, dan pengendalian DM. dalam usaha menegakkan diagnosis Dm secara dini perlu dilakukan pemeriksaan penyaring dan berdasarkan hail pemeriksaan penyaring yang diperoleh barulah ditentukan apakah perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan pemeriksaan diagnostik.7 Pemeriksaan penyaring DM. Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu resiko DM, seperti usia yang lebih dari 45 tahun, berat badan lebih (BBR > 110% idaman atau IMT > 23 kg/m2), hipertensi (≥ 140/90 mmHg), riwayat DM dalam garis keturunan, riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat atau BB lahir bayi > 4000 gram, kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250 mg/dl. Bagi kelompok resiko tinggi dengan hasil pemeriksaan penyaring negatif, pemeriksaan perlu dilakukan setiap tahun. Bagi mereka yang berusia diatas 45 tahun tanpa faktor resiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.1,7 Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudia 1/3 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan 9
dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT sering berikatan dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan displipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan sekunder dapat segera diterapkan.1 Pemeriksaa penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar.1 Tabel 2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa Sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (mg/dl)1 Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
Plasma vena
<110
110-199
≥200
Darah kapiler
<90
90-199
≥200
Plasma vena
<110
110-125
≥126
Darah kapiler
<90
90-109
≥110
Pemeriksaan diagnostik DM. Diagnostik klinis DM biasanya akan dipikirkan bila ada keluhan khas berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penuruan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, serta keluhan lain. Bila terdapat keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl atau kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, maka diagnosis DM dapat ditegakkan. Bila tidak ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. pada keadaan ini perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi nilai abnormal pada hari yang lain, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl dan atau kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl. Pada penderita tanpa keluhan khas DM, bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dalam batas peralihan yaitu kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu anatara 110-199 mg/dl, harus dilakukan TTGO untuk memastikan diagnostik DM. Penilaian hasil tanpa pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa antara 110-125 mg/dl tercantum pada tabel dibawah.7 10
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah Puasa 110-12 mg/dl.7 Kadar glukosa darah puasa (mg/dl)
Penilaian
<140
Glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
140-199
Toleransi glukosa terganggu (TGT)
≥200
DM
Penilaian hasil pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 TTGO pada penderita tanpa keluhan khas DM yang hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu antara 110-199 mg/dl tercantum pada table dibawah ini.7 Tabel 4. Hasil Pemeriksaan TTGO Tanpa Keluhan Khas DM dan Kadar Glukosa Darah Sewaktu 110-199 mg/dl.7 Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl)
Penilaian
<140
Normal
140-199
Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
≥200
DM
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis DM dapat dilakukan berdasarkan algoritma dibawah ini. Pemeriksaan laboratorium untuk penilaian hasil pengobatan. Pemeriksaan ini bertujuan untuk memantau keberhasilan pengobatan dalam rangka mencegah terjadinya komplikasi DM. Jenis pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan untuk menilai hasil pengobatan DM adalah pemeriksaan kadar glukosa darah, kadar A1C, pemeriksaan glukosa darah mandiri, pemeriksaan glukosa urin, dan pemeriksaan benda keton urin.7 1.
Pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan kadar glukosa darah puasa atau 2 jam setelah makan perlu dilakukan untuk menyesuaikan dosis obt yang diberikan pada penderita DM.
2.
Pemeriksaan kadar hemoglobin A1C (A1C). A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai gliko-hemoglobin yang merupakan komponen 11
kecil hemoglobin, bersifat stabil dan terbentuk secara perlahan melalui reaksi nonenzimatik dari hemoglobin dan glukosa. Reaksi non-enzimatik ini berlangsung terusmenerus sepanjang eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrosit muda. Proses glikosilasi non-enzimatik ini dipengaruhi langsung oleh kadar glukosa darah. Karena eritrosit bersifat permeabel dialalui glukosa maka pengukuran kadar A1C mencerminkan keadaan glikemik selama masa 120 hari. Berdasarkan waktu paruh A1C yang lamanya sekitar setengah dari masa hidup eritrosit yaitu 60 hari, maka pemeriksaan kadar A1C digunakan untuk memantau keadaan glikemik untuk kurun waktu 2-3 bulan yang lampau. Nilai normal kadar A1C adalah 5-8% dari kadar Hb total. Pada penderita DM dengan hiperglikemi kronik, jumlah protein yang terglikosilasi (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan A1C digunakan untuk menilai efek perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan sedikitnya 2 kali dalam setahun. 3.
Pemeriksaan glukosa darah mandiri. Sampel darah untuk pemeriksaan ini adalah darah kapiler dan diperlukan reagen kering. Pada umumnya pemeriksaan ini sederhana dan mudah dilakukan. Yang perlu diingat adalah alat pemriksaan perlu dikaliberasi. PDGM dianjurkan bagi pasien yang mendapat pengobatan dengan insulin atau pemicu sekresi insulin.
4.
Pemeriksaan glukosa urin. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang kurang akurat karena tidak semua peningkatan kadar glukosa darah akan disertai dengan terjadinya glukosuria. Pemeriksaan glukosa urin hanya dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar glukosa darah.
5.
Pemeriksaan benda keton. Pemeriksaan benda keton darah maupun urin cukup penting dilakukan terutama pada penderita DM tipe-2 terkendali buruk, misalnya kadar glukosa darah >300 mg/dl, penderita DM tipe-2 dengan penyulit akut, serta terdapat gejala keto asidosis diabetik (KAD), dan pada penderita DM tipe-2 yang sedang hamil. Pemeriksaan benda keton dapat dilakukan dengan metode carik celup, metode Rothera, dan metode Gerhardt. Benda keton dalam darah yang penting adalah asam betahidroksi butirat. Bila kadar benda keton darah <0.6 mmol/L dianggap normal, kadar benda keton darah diatas 1 mmol/L disebut ketosis, dan kadar benda keton darah diatas 3 mmol/L merupakan indikasi adanya KAD. Dengan melakukan 12
pemeriksaan ini, diharapkan penyulit akut DM dapat dicegah, khusunya KAD, yang mempunyai angka kematian yang tinggi. Pemeriksaan laboratorium untuk pengendalian DM. penyebab terjadinya komplikasi pada penderita DM bukan secara langsung oleh kadar glukosa darah yang tinggi tetapi akibat yang ditimbulkan oleh zat-zat metabolit lain yang terbentuk akibat sel tidak dapat menggunakan glukosa. Oleh karena itu DM dikatakan terkendali dengan baik bila kadar glukosa darah terkendali, disamping status gizi, tekanan darah, kadar lipid, dan kadar A1C juga terkendali baik.7 Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan untuk menilai status pengendalian DM adalah pemeriksaan kadar glukosa darah puasa, kadar glukosa darah 2 jam post prandial, kadar A1C, pola lipid darah yang meliputi kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL, dan trigliserida. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium tersebut diatas dapat ditetapkan status pengendalian DM sebagaimana yang tercantum pada tabel dibawah ini.7 Tabel 5. Kriteria Pengendalian DM.7 Pemeriksaan laboratorium
Baik
Sedang
Buruk
Glukosa darah puasa (mg/dl)
80-109
110-125
≥126
Glukosa darah 2 jam (mg/dl)
80-144
145-179
≥180
A1C (%)
<6,5
6,5-8
>8
Kolesterol total (mg/dl)
<200
200-239
≥240
Kolesterol LDL (mg/dl)
<100
100-129
≥130
Kolesterol HDL (mg/dl)
>45
Trigliserida (mg/dl)
<150
150-199
>200
IMT (kg/m2)
18,5-22,9
23-25
>25
Tekanan darah (mmHg)
<130/80
130-140/80-90
>140/90
Untuk penderita berumur lebih dari 60 tahun kadar glukosa darah lebih tinggi yaitu kadar glukosa darah puasa <150 mg/dl dan kadar glukosa darah sesudah makan <200 mg/dl. Demikian pula dengan kadar lipid, tekanan darah, dan lain-lain mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan mengingat sifat-sifat khusus penderita usia lanjut dan juda mencegah kemungkinan timbulnya efek samping dan interaksi obat.7 13
D. Differential Diagnosis LADA. MODY. E. Working Diagnosis Diabetes mellitus tipe II. DM merupakan penyakit menahun, dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi, dan ditandai oleh kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal, atau yang biasanya disebut hiperglikemi. Secara umum, hiperglikemia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl atau ≥126 mg/dl.1,8 Dalam beberapa dekade akhir ini hasil penelitian baik klinik maupun laboratorik menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan suatu keadaan heterogen baik sebab maupun macamnya. Walaupun secara klinis terdapat 2 macam diabetes, tetapi sebenarnya ada yang berpendapat diabetes hanya merupakan suatu spectrum defisiensi insulin. Individu yang kekurangan insulin secara total atau hampir total dikatakan sebagai diabetes “Juvenile onset” atau “insulin dependent” atau “ketosis prone”, karena tanpa insulin dapat terjadi kematian dalam beberapa hari yang disebabkan ketoasidosis. Pada ekstrem yang lain terdapat individu yang “stable” atau “maturity onset” atau “non-insulin dependent”. Orang-orang ini hanya menunjukkan defisiensi insulin yang relatif dan walaupun banyak diantara mereka mungkin memerlukan suplementasi insulin, tidak akan terjadi kematian karena ketoasidosis walaupun insulin eksogen dihentikan. Bahkan diantara mereka mungkin terdapat kenaikan jumlah insulin secara absolute bila dibandingkan dengan orang normal, tetapi ini biasanya berhubungan dengan obesitas dan atau inaktifasi fisik.1 Sesuai dengan konsep mutakhir, kedua kelompok besar diabetes dapat dibagi lagi atas kelompok kecil. Pada satu kelompok besar “IDDM” (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)atau diabetes tipe 1, terdapat hubungan dengan HLA tertentu pada kromosom 6 dan beberapa auto-imunitas serologik dan cell-mediated. Infeksi virus pada atau dekat sebelum onset juga disebut-sebut berhubungan dengan patogenesis diabetes. Pada percobaan binatang, virus, dan toksin diduga berpengaruh pada kerentanan proses auto-imunitas ini.1 Kelompok besar lainnya “NIDDM” (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) atau diabetes tipe 2, tidak mempunyai hubungan dengan HLA, virus atau autoimunitas dan 14
biasanya mempunyai sel beta yang masih berfungsi, sering memerlukan insulin tetapi tidak bergantung kepada insulin seumur hidup.1 Dalam teminologi juga terdapat perubahan dimana pada klasifikasi WHO 1985 tidak lagi terdapat istilah tipe 1 dan tipe 2. Tetapi karena istilah ini sudah mulai dikenal umum, maka untuk tidak membingungkan, kedua istilah ini masih dapat dipakai tetapi tanpa mempunyai arti khuss seperti implikasi etiopatogenik. Istilah ini pun kemudian kembali digunakan oleh ADA pada tahun 1997 sampai 2005, sehingga DM tipe 1 dan tipe 2 merupakan istilah yang saat ini dipakai ketimbang IDDM dan NIDDM.1 F. Etiologi Faktor penyebab. Bukti menunjukkan bahwa diabetes mellitus memiliki berbagai penyebab, termasuk hereditas, lingkungan (infeksi, makanan, toksin, dan stress), perubahan gaya hidup pada orang yang secara genetik rentan, serta faktor kehamilan.9 Diabetes mellitus tipe 1. DM tipe ini disebabkan destruksi sel beta, dan umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute melalui proses imunologik atau idiopatik.1 Diabetes mellitus tipe 2. Penyebab DM tipe 2 bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif, sampai yang perdominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.1 Diabetes mellitus tipe lain. Sedangkan diabetes mellitus tipe lain dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi (seperti rubella kongenital, CMV), imunologi, serta sindroma genetik lain.1 G. Epidemiologi Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu diantara penyakit tidka menular yang meningkat jumlahnya. Diabetes merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21. WHO membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, pada tahun 2025, jumlah ini akan membengkak menjadi 300 juta orang.1 Secara epidemiologik, diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas 15
dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi dini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologic diperkirakan adalah bertambahnya usia, lebih banyak dan lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan beberapa faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.1
H. Patofisiologi Diabetes mellitus tipe 2 merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh salah satu atau lebih faktor berikut, yaitu kerusakan sekresi insulin, produksi glukosa yang tidak tepat di dalam hati, atau penurunan sensitivitas reseptor insulin perifer. Faktor genetik merupakan hal yang signifikan, dan awitan diabetes dipercepat oleh obesitas serta gaya hidup sering duduk. Sekali lagi stress tambahan dapat menjadi faktor penting.9 Pada diabetas mellitus tipe 2, jumlah insulin normal malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hinga walaupun anak kunci (insulin) banyak, tetapi karena lubang kunci (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, juga kadar insulin tinggi, dan normal. Keadaan ini disebut resistensi insulin.10 Penyebab resistensi insulin pada DM tipe 2 sebenarnya tidak begitu jelas, tetapi faktor-faktor yang berperan antara lain, obsitas terutama yang bersifat sentral, kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, Kurang gerak badan, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, dan faktor keturunan (herediter).10 Pada DM tipe 2 jumlah sel beta berkurang sampai 50-60% dari normal. Yang menyolok adalah peningkatan jumlah jaringan amilois pada sel beta yang disebut amilin.10 Baik pada DM tipe 1 ataupun tipe 2 kadar glukosa darah jelas meningkat dan bila kadar itu melewati batas ambang ginjal, maka glukosa itu akan keluar melalui urin.10 16
Kekurangan glukosa sebagai sumber energi pada sel menyebabkan berbagai macam akibat diantaranya muncul dari tingginya kadar glukosa dalam darah disebabkan adanya resistensi insulin atau sejumlah abnormalitas genetik dari reseptor insulin. Pada sebagian besar pasien DM tipe 2 mengalami hiperinsulinemia pada awalnya sebagai bentuk kompensasi terhadap kurangnya glukosa yang masuk ke dalam sel, konsekuensi terjadinya hiperinsulinemia berkepanjangan adalah terjadinya defiensi insulin yang dalam keadaan ini relatif.10 Sel
kekurangan
sumber
enegi
dan
menimbulkan
respon
glikogenesis,
glukoneogenesis, dan lipolisis unutk menghasilkan glukosa unutk energi. Hal ini memperparah hiperglikemia. Penghancuran protein dan lemak tubuh menyebabkan penurunan berat badan. Glukosa disekresi di urin dalam bentuk diuresis yang selanjutnya dapat menyebabkan kehilangan cairan dan garam tubuh. Pasien menjadi dehidrasi, selalu merasa haus dan minum air dalam jumlah banyak (polidipsia).10 Sekresi insulin residual berarti bahwa seseorang dengan diabetes mellitus tipe 2 tidak mengalami ketoasidosis diabetik, namun orang tersebut dapat mengalami koma hiperosmolar non-ketotik (HONK) yang diinduksi oleh hiperglikemia berkepanjangan serta dehidrasi dan hipernatremia.10 Efek dari menderita diabetes melitus dapat bermanifestasi mempengaruhi banyak sistem dalam tubuh seperti pada mata, ginjal dan pada persarafan (neuropati diabetik). Pada neuropatik diabetik proses kejadiannya berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur dipol, sintesis advance glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan akttivasi protein kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun bersama dengan rendahnya mioinositol dalam sel yang terjadi karena efek hiperglikemia (sorbitol da fruktoda) yang merusak sel saraf.10 Manifestasi neuropati diabatik sangat bervariasi mulai dari tanpa keluhan yang terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisologis, hingga keluhan nyeri hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi. Rasa yang dikeluhkan pasien karena neuropati diabetik bervariasi mulai dari kesemutan, kebas, tebal, mati rasa, rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, dan ditikam.10 17
I. Manifestasi Klinis Keluhan khas DM berupa poliuri, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.1 Berikut adalah tanda dan gejala diabetes mellitus serta akibatnya.9 1.
Poliuria dan polidipsia, yang disebabkan oleh osmolalitas serum yang tinggi akibat kadar glukosa serum yan tinggi.
2.
Anoreksia atau polifagia.
3.
Penurunan berat badan (10% hingga 30%) karena tidak dapat metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang normal, sebagai akibat fungsi insulin yang rusak atau tidak ada.
4.
Sakit kepala, rasa cepat lelah, mengantuk, tenaga yang berkurang, dan gangguan pada kinerja sekolah serta pekerjaan, semua ini disebabkan oleh kadar glukosa intrasel yang rendah.
5.
Kram otot, iribilitas, dan emosi yang labil, akibat ketidakseimbangan elektrolit.
6.
Gangguan penglihatan, seperti penglihatan kabur, akibat pembengkakan yang disebabkan glukosa.
7.
Baal dan kesemutan, akibat kerusakan jaringan saraf.
8.
Gangguan rasa nyaman dan nyeri pada abdomen, akibat neuropati otonom yang menimbulkan gastroparesis dan konstipasi.
9.
Mual, diare, atau konstipasi, akibat dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit ataupun neuropati otonom.
10.
Infeksi atau luka pada kulit yang lambat sembuhnya, serta rasa gatal pada kulit.
11.
Infeksi kandida yang rekuren pada vagina atau anus.
J. Penatalaksanaan 18
Pilar Penatalaksanaan DM
1.
Edukasi
2.
Terapi gizi medis
3.
Latihan jasmani
4.
Intervensi farmakologis Nonmedikamentosa. Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan pendekatan non
farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM, maka dilanjutkan dengan penambahan terapi medikamentosa atau intervensi farmakologi1 Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan, apakah untuk mempertahankan, menurunkan atua meningkatkan berat tubuh. Rencana diet harus dikonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang budaya, dan aktivitas fisik.1 Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.1 Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun, pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan hipoglikemia.1 Medikamentosa. Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan
19
latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfoniurea.10,11 Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan prouksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik.10,11 Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 10,11 Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan caracara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, 20
yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.10,11 Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif insulin dan sulfoniurea.10,11 Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan prouksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung kongestif. Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan menurunkan produksi glukosa hepatik.10,11 Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga 8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 10,11 Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan menggunakan caracara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2 dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin, pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari, dan gliburid 21
2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih lama dari pada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari. Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks karbohidrat.10,11 K. Preventif Mengingat jumlah pasien DM yang membengkak dan besarnya biaya perawatan pasien DM yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya, maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap, yaitu:1 Pencegahan primer. Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau pada populasi umum.1 Pencegahan sekunder. Menemukan pengidap DM sedini mungkin, misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga dengan demikian, dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.1 Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya komplikas, mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi kegagalan organ, serta mencegah kecacatan tubuh.1 Dalam menyelenggarakn upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu pendekatan populasi atau masyarakat serta pendekatan individu beresiko tinggi.1 L. Komplikasi Komplikasi diabetes mellitus meliputi:9 1.
Penyakit mikrovaskuler, termasuk retinopati, nefropati, dna neuropati
2.
Displipidemia
22
3.
Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri koroner, arteri perifer, dan arteri serebri
4.
Ketoasidosis diabetik
5.
Sindrom hiperosmoler hiperglikemik nonketotik
6.
Kenaikan berat badan yang berlebihan
7.
Ulserasi kulit
8.
Gagal ginjal kronis
M. Prognosis Prognosis DM pada umumnya baik hanya butuh pengobatan seumur hidup dan menjaga agar gula darah terkontrol dengan baik.
Kesimpulan Melalui tinjauan pustaka diatas telah dipaparkan apa yang menimbulkan keluhan pasien pada skenario 3, yaitu l lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun yang lalu dan minum obat secara teratur. Dengan demikian diambil hipotesis bahwa OS menderita diabetes mellitus tipe II. Melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang,
differential
diagnosis,
working
diagnosis,
etiologi,
epidemiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan, prevemtif, komplikasi, serta prognosis, tinjauan pustaka ini mencoba untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi sehingga pasien datang dengan keluhan tersebut, dan bagaimana cara diagnosis serta terapi yang benar dan baik.
Daftar Pustaka 1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 2006.h.1874-91. 2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta; Interna Publishing; 2011.h.11-25, 47-8, 61, 155-65. 3. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta: EGC; 2010.h.181-3. 23
4. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007.h.12-21. 5. Setiati S, Rinaldi I, Ranitya R, Purnamasari D. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Buku kedua. Jakarta: Interna Publishing; 2011.h.24-31,163-7. 6. Boon, Nicholas A. Walker, Brian. Davidson’s Principles and Practice of Medicine. 20th Edition. Elsevier. 2006.
7. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Kimia klinik. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UKRIDA; 2013.h.51-68. 8. Setiati S, Sari DP, Rinaldi I, Ranitya R, Pitoyo CW. Lima puluh masalah kesehatan di bidang ilmu penyakit dalam. Buku kesatu. Jakarta: Interna Publishing; 2008.h.292-9. 9. Komalasari R, Tampubolon AO, Ester M. Buku ajar patofisiologi. Jakarta: EGC; 2012.h.519-21.
24