16
Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA, Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan nasional, 2009, hlm. 98
Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman, Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X, Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud, 2016, hlm. 221-222
Prof. Dr. M. Ahmad Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2005, hlm. 2
Agussalim, S.Pd., "Suplemen Materi Ajar" Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan, Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016, hlm.48.
Sufisme Khalwatiyah (Tarekat Khakwatiyah) adalah sebuah nama tarekat yang berkembang di Mesir. Tarekat Khalwatiyah artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi.
Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat.
Op.cit., hlm. 222-223.
Ibid, hlm.223.
Dr. Akin Duli,MA, ST. dkk, Monumen Islam di Sulawesi Selatan, Makassar : Balai Cagar Budaya Makassar, 2013, hlm.39.
Pelabuhan transito adalah pelabuhan tempat persinggahan kapal-kapal yang datang dari Indonesia Barat maupun Indonesi Timur.
Imtam Rus Ernawati, Nursiwi Ismawati, Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA Program Bahasa kelas XI, Klaten: PT. Cempaka Putih, 2009, hlm.19.
Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk., Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial Semester Pertama 5A, Bogor: Percetakan Ghalia,2007, hlm.38.
Ibid.
Muhammad Abduh, dkk.,Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan, Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1985, hlm.12
Perjanjian Bungaya (sering juga disebut Bongaya atau Bongaja) adalah perjanjian perdamaian yang ditandatangani pada tanggal 18 November 1667 di Bungaya antara Kesultanan Gowa yang diwakili oleh Sultan Hasanuddin dan phial Hindia Belanda yang diwakili oleh Laksamana Cornelis Speelman.
Amir Hendrasah, Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler, Yogyakarta : Galangpress Group, hlm. 27.
Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk., op.cit, hlm. 39.
S.M Noor, Perang Makassar 1669, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,2011, hlm. xi
Imtam Rus Ernawati,Op.Cit,hlm.20.
Restu Gunawan, Op.Cit, hlm. 224-225
MAKALAH SEJARAH
KERAJAAN ISLAM DI SULAWESI
Kelompok :
Ahmad Lukman Hakim (02)
Annisa Nur Fauziyah (06)
Ninik Widyantari Nurkholifah (23)
Sri Wahyuni (31)
SMA NEGERI 2 KEBUMEN
TAHUN PELAJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Kami juga berterimakasih kepada Bpk. Henri Wibowo selaku guru sejarah kami. Tanpa bimbingan beliau, kami tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.
Kebumen, Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Daftar Gambar iv
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 3
Metodologi Data 3
BAB II PEMBAHASAN
Kerajaan Gowa Tallo 4
Sejarah Awal 4
Kerajaan Gowa Tallo 6
Peninggalan Kerajaan Gowa Tallo 10
Perkembangan Ekonomi 16
Perkembangan Pemerintah/Politik 19
Raja-raja 20
Wilayah Kekuasaan 25
Hubungan dengan Luar Negeri 28
Perkembangan Agama 29
Perkembangan Sosial dan Budaya 29
Kerajaan Wajo 31
Sejarah Awal 31
Kerajaan Wajo 33
Peninggalan Kerajaan Wajo 38
Raja-Raja 43
BAB III PENUTUPAN
Kesimpulan 48
Saran 48
Daftar Pustaka v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.3 Batu Pallantikang
Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi
Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi
Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan
Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin
Gambar 1.8 Masjid Tosora
Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora
Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Islam sudah dikenal masyarakat sejak dahulu. Banyak sekali cara penyebaran agama islam sehingga dapat diterma dengan mudahnya oleh masyarakat. Dalam hal ini, dahulu islam berkembang melalui kerajaan– kerajaan di Nusantara. Kerajaan Islam berkembang pesat di nusantara baik berasal dari penyebaran oleh para pedangang maupun melalui media lainnya. Seiring dengan persebaran agama Islam di nusantara banyak didirikan kerajaan Islam. Salah satu Kerajan Islam tertua di kawasan timur nusantara ialah Kerajaan Ternate, kerajaan ini berdiri pada abad ke-13 hingga abad ke-17. Kerajaan Ternate pada umumnya disebut kesultanan Ternate memiliki kekuatan besar dibidang perekonomian karena memiliki kekayaan rempah-rempah dan daerah ini mengalami eksodus penduduk dari Halmahera. Oleh sebab tersebut Kerajaan Ternate memiliki pengaruh besar terhadap perdagangan di nusantara dan padat penduduk. Kerajaan Islam yang berkedudukan di Maluku setelah Kerajaan Ternate ialah Kerajaan Tidore. Kerajaan Tidore berdiri pada tahun 1108 M dibawah kekuasaan Kolonel Belanda. Belanda berusaha untuk memonopoli bumi Maluku karena memiliki kekayaan rempah-rempah yang melimpah. Kerajaan Tidore mengalami masa kejayaan pada era Sultan Nuku dengan keadaan system pemerintahan yang telah berjalan dengan baik. Dalam menghadapi penjajahan Kolonial Belanda, Kerajaan Tidore mendapat bantuan dari Kerjaan Makassar yang berkedudukan di Pantai barat semenanjung Sulawesi Selatan untuk berjuang melawan Kolonial Belanda. Kerajaan Makassar menjadi persinggahan para pedagang karena lokasinya strategis dengan jalur perdagangan nusantara. Meskipun memiliki kekuatan yang besar dibawah kepemimpinan Sultan Hassanudian, Belanda mampu menumbangkan kejayaannya dengan melakukan politik devide et impera dan berdiplomasi dengan kerajaan Bone yang diperintah oleh Raja Aru Palaka melakukan pemberontakan terhadap Makassar. Kerajaan tersebut diatas berperan penting dalam persebaran Islam, keadaan perekonomian, budaya, serta politik pemerintahan di nusantara.
Rumusan Masalah
Bagaimana sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo?
Apa itu Kerajaan Gowa Tallo?
Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo?
Bagaimana perkembangan ekonomi Kerajaan Gowa Tallo?
Bagaimana perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo?
Bagaimana perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo?
Bagaimana perkembangan sosial dan budaya Kerajaan Gowa Tallo?
Bagaimana sejarah awal Kerajaan Wajo?
Apa itu Kerajaan Wajo?
Apa saja peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo?
Siapa saja raja yang pernah memerintah Kerajaan Wajo?
Tujuan Penulisan
Mengetahui sejarah awal Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui perkembangan politik Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui perkembangan pemerintah/politik Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui perkembangan agama Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui perkembangan sosial budaya Kerajaan Gowa Tallo
Mengetahui sejarah awal Kerajaan Wajo
Mengetahui Kerajaan Wajo
Mengetahui peninggalan-peninggalan Kerajaan Wajo
Mengetahui raja-raja yang pernah memerintah kerajaan Wajo
Metodologi data
Metode yang kami gunakan dalam membuat makalah ini yaitu metode kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kerajaan Gowa-Tallo
Sejarah Awal
Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat kerajaan Gowa: Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili. Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari pendahulu di Gowa dimulai oleh Tumanurung sebagai pendiri Istana Gowa, tetapi tradisi Makassar lain menyebutkan empat orang yang mendahului datangnya Tumanurung, dua orang pertama adalah Batara Guru dan saudaranya Gambar di bawah merupakan peta Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng.
Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-TalloGambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo
Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo
Gambar 1.1 Peta lokasi Kerajaan Gowa-Tallo
Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masing-masing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar.
Kerajaan Gowa-Tallo
Pada abad ke-17 di Sulawesi Selatan telah muncul beberapa kerajaan kecil, seperti Goa, Tello, Sopeng dan Bone. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut yang kemudian muncul sebagai kerajaan besar ialah Goa dan Tello keduanya lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makasar.
Di daerah Sulawesi Selatan, proses islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato' Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato' Ri bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato' Ri Pattimang (Dato' Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato' Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para Mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwuw yaitu Datu'La Patiware' Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 103H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya, Karaeng Gowa I Manga' rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Peristiwa masuknya Islam Raja Gowa merupakan tonggak sejarah dimulainya penyebaran Islam di Sulawesi Selatan, karena setelah itu, terjadi konversi ke dalam Islam secara besar-besaran. Konversi itu ditandai dengan dikeluarkannya sebuah dekrit Sultan Alauddin pada tanggal 9 Nopember 1607 sebagai agama kerajaan dan agama masyarakat.
Setelah Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi kerajaan Islam dan raja-rajanya telah memperoleh gelar Sultan, maka kerajaan itu juga yang menjadi pusat pengislaman di seluruh Sulawesi Selatan, agar mereka juga menerima Islam. Seruan ini juga berdasarkan perjanjian Gowa dengan kerajaan lain, yang menyatakan bahwa siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, maka ia akan memberitahukan jalan itu kepada raja—raja yang lain.
Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke 17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa, maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten ia diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di kesultanan.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hassanudin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VPC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J.P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar tersebut itulah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Perisriwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokkan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.
Peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo
Beberapa peninggalan Kerajaan Gowa Tallo di antaranya adalah Benteng Rotterdam (Benteng Ujung Pandang), Batu Pallantikang, Masjid Katangka, Kompleks Makam Katangka, serta Makam Syekh Yusuf.
Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.2 Benteng Fort RotterdamGambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Gambar 1.2 Benteng Fort Rotterdam
Benteng Fort Rotterdam adalah sebuah bangunan benteng peninggalan masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo yang terletak di pesisir barat pantai kota Makassar. Benteng ini dibangun oleh raja Gowa ke-9, yakni I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa'risi' Kallonna pada tahun 1545. Karena awalnya berbahan tanah liat, Raja Gowa ke-14, yakni Sultan Alauddin kemudian memugar bangunan benteng dengan bahan batu padas yang diperoleh dari pegunungan Karst di Maros. Orang Makassar menyebut benteng Fort Rotterdam dengan sebutan benteng panyyua atau benteng penyu. Pasalnya, jika dilihat dari atas, benteng ini memiliki bentuk seperti penyu. Bentuk ini memiliki filosofi bahwa Kerajaan Gowa Tallo adalah kerajaan yang berjaya di laut dan daratan, sama seperti penyu yang hidup di dua alam. Pada masa silam, benteng Fort Rotterdam menjadi markas pasukan katak kerajaan. selain itu, ia juga berfungsi sebagai pusat pertahanan kerajaan Gowa-Tallo dari serangan laut. Pada masa kepemimpinan Cornelis Speelman atas distrik Sulawesi benteng ini pernah beralih fungsi menjadi tempat penyimpanan rempah-rempah dari seluruh wilayah di Indonesia Timur. Selain itu, nama benteng yang sebetulnya adalah benteng Ujung Pandang, olehnya kemudian diubah pula menjadi Benteng Rotterdam untuk mengenang tanah kelahirannya di kota Rotterdam, Belanda.
Batu Pallantikang
Gambar 1.3 Batu PallantikangGambar 1.3 Batu Pallantikang
Gambar 1.3 Batu Pallantikang
Gambar 1.3 Batu Pallantikang
Batu pallantikang atau batu pelantikan adalah sebuah batu andesit yang diapit batu kapur. Batu peninggalan Kerajaan Gowa Tallo ini dipercaya memiliki tuah karena dianggap sebagai batu dari khayangan. Karena anggapan tersebut, sesuai namanya batu ini digunakan sebagai tempat pengambilan sumpah atas setiap raja atau penguasa baru di kerajaan Gowa Tallo. Batu ini masih insitu atau berada di tempat aslinya, yakni di tenggara kompleks pemakaman Tamalate.
Masjid Katangka
Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasiGambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasiGambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasiGambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi
Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi
Gambar 1.5 Masjid Katangka / Al-Hilal setelah direnovasi
Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi
Gambar 1.4 Masjid Katangka sebelum direnovasi
Masjid Al-Hilal lebih dikenal dengan mana Katangka mengambil nama tempat atau desa di mana masjid berdiri. Ketika naskah ini dibuat nama jalan di mana masjid berada adalah Jl. Syech Yusuf, sebuah cabang dari Jalan Raya Gowa berbelok ke timur pada Km 8,5. Dari persimpangan jalan tersebut, kurang lebih 500M terdapat makam Syech Yusuf ulama Sufi dari Makassar termasyur yang namanya untuk jalan tersebut. Masjid katangka terletak beberapa ratus meter di sebelah timur makam di sisi selatan jalan yang menjadi batas administrasi antara kota Makassar dengan Kabupaten Gowa. Tahun didirikan masjid Katangka tertera pada 1603 prasasti namun diragukan beberapa sejarawan, mengingat konstruksi dan arsitekturnya yang tidak sesuai dengan jaman dan tempat pembangunannya. Ada yang berpendapat bahwa Masjid Katangka didirikan pada abad ke XVIII. Konon masjid dibangun oleh seorang ulama Sumatera tepatnya dari Minang kemudian oleh masyarakat diberi gelar Daeng Bandang. Pada awal masuknya Islam di Sulawesi Selatan pada 1582, raja Gowa XOO Tunijallo membangun masjid di Mangallekana dekat benteng Somba Opu. Namun seperti telah diuraikan di depan pusat pemerintahan Sumba Opu diratakan dengan tanah oleh Belanda. Masjid telah dipugar beberapa kali, yang pertama memperbaiki konstruksi atap, pintu dan jendela, yang sudah cukup rusak. Masjid dikelilingi oleh makam raja dari keluarga pendimnya, para pemuka islam dengan bentuk cukup khas dan unik dengan model makam raja-raja Bugis-Makassar.
Kompleks Makam Katangka
Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburanGambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan
Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan
Gambar 1.6 Masjid Al-Hilal Katangka di antara tembok kuburan
Di areal masjid Katangka, terdapat sebuah kompleks pemakaman dari mendiang keluarga dan keturunan raja-raja Gowa, termasuk makam Sultan Hasanuddin. Makam raja-raja bisa dikenali dengan mudah karena diatapi dengan kubah. Sementara makam pemuka agama, kerabat, serta keturunan raja hanya ditandai dengan batu nisan biasa.
Makam Syekh Yusuf
Gambar 1.7 Makam Syekh YusufGambar 1.7 Makam Syekh Yusuf
Gambar 1.7 Makam Syekh Yusuf
Gambar 1.7 Makam Syekh Yusuf
Syekh Yusuf adalah ulama besar yang hidup di zaman kolonial Belanda. Pengaruhnya yang sangat besar bagi perlawanan rakyat Gowa Tallo terhadap penjajah, membuat Belanda mengasingkannya ke Srilanka, kemudian ke Cape Town, Afrika Selatan. Jenazahnya setelah beberapa tahun kemudian dikembalikan ke Makassar dan dimakamkan di sana, tepatnya di dataran rendah Lakiung sebelah barat Masjid Katangka.
Perkembangan Ekonomi
Pada abad ke-11 di Sulawesi Selatan terdapat kerajaan Gowa, Tallo, Wajo, Soppeng, dan Luwu. Perkembangan kerajaan-kerajaan itu tidak sama karena masing-masing mempunyai potensi yang berbeda. Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi besar karena letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdangan sehingga sering menjadi tempat persinggahan pedagang dari Ternate dan Tidore yang akan berdagang ke Malaka atau Jawa. Kerajaan Gowa Tallo berkembang pesat dan menjadi penghubung antara Malaka, Jawa dan Maluku.
Gowa-Tallo (Makassar) tumbuh menjadi pelabuhan yang ramai karena letaknya berada di tengah antara Maluku, Jawa, Kalimantan, Sumatra, dan Malaka. Pertumbuhan Makassar makin cepat setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), sedangkan Maluku dikuasai oleh Portugis dan Belanda. Banyak pedagang dari Malaka, Aceh, dan Maluku yang pindah ke Makassar. Para pedagang Makassar membawa beras dan gula dari Jawa dan daerah Makassar sendiri ke Maluku yang ditukarkan dengan rempah-rempah. Rempah-rempah itu lalu dijual ke Malaka dan pulangnya membawa dagangan, seperti kain dari India, sutra dan tembikar dari Cina, serta berlian dari Banjar.
Untuk menunjang Makasar sebagai pelabuhan transito dan untuk mencukupi kebutuhannya, maka kerajaan ini menguasai daerah-daerah sekitarnya. Di sebelah timur ditaklukanlah Kerajaan Bone; sedangan untuk memperlancar dan memperluas jalan perdagangan, Makasar mengusai daerah-daerah selatan, seperti pulau Selayar, Buton demikian juga Lombok dan Sumbawa di Nusa Tenggara Barat. Dengan demikian jalan perdagangan waktu musim Barat yang melalui sebelah Utara kepulauan Nusa Tenggara dan jalan perdagangan waktu musim Timur yang melalui sebelah selatan dapat dikuasainya.
Makasar berkembang sebagai pelabuhan Internasional, sehingga banyak pedagang Asing seperti Portugis, Inggris, dan Denmark berdagang di Makasar. Dengan jenis perahu-perahunya seperti Pinisi dan Lambo, pedagang-pedagang Makasar memegang peranan penting dalam perdagangan di Indonesia. Hal ini menyebabkan mereka berhadapan dengan Belanda yang menimbulkan beberapa kali peperangan. Pihak Belanda yang merasa berkuasa atas Maluku sebagai sumber rempah-rempah, menganggap Makasar sebagai pelabuhan gelap; sebab di Makasar diperjualbelikan rempah-rempah yang berasal dari Maluku.
Untuk mengatur pelayaran dan perniagaan dalam wilayahnya disusunlah hukum niaga dan perniagaan yang disebut Ade Allopioping Bicarance Pabbalu'e dan sebuah naskah lontar karya Amanna Gappa.
Kerajaan Gowa-Tallo berkembang pesat karena alasan-alasan berikut
Letaknya strategis
Banyak pedangang dari Malakan,Aceh dan Maluku yang pindah ke Makasar
Banyak disinggahi para pedagang asing
Perkembangan Pemerintah/ Politik
Sebetulnya ada banyak kerajaan di sekitar Makassar. Misalnya Gowa, Tallo, Bone, Soppeng, Wajo, dan Sidenreng. Namun, hanya Gowa dan Tallo yang menggabungkan diri menjadi satu kekuatan dengan nama Makassar. Raja Makassar yang pertama masuk Islam adalah Karaeng Matoaya dengan gelar Sultan Alaudin (1593– 1639). Penguasa selanjutnya adalah Malekul Said (1639–1653), berhasil membuat Kerajaan Makassar menjadi kerajaan maritim. Puncak kegemilangan Kerajaan Makassar terjadi saat Sultan Hasanuddin memegang tampuk kekuasaan. Di tangannya, Kerajaan Makassar berkembang menjadi sebuah kerajaan dengan jaringan perdagangan yang kuat dan pengaruh yang luas.
Sultan Hasanuddin adalah seorang raja yang antimonopoli, sehingga ketika Belanda datang ingin menguasai jaringan perdagangan yang telah lama terbentuk, ia menentang dengan keras. Keinginan VOC untuk memonopoli perdagangan di Indonesia bagian timur jelas tidak bisa diterima oleh sultan. Konflik terjadi dan Hasanuddin berhasil menghalau pasukan VOC dari kawasan Maluku. Namun, upaya Belanda untuk menguasai jaringan perdagangan di kawasan Indonesia bagian timur itu tidak pernah surut. Dengan siasat adu domba, Belanda berhasil memanfaatkan Aru Palaka (Raja Bone) untuk memasukkan pengaruhnya. Saat itu, Kerajaan Bone masuk dalam kekuasaan Kerajaan Makassar. Akhirnya, pada tahun 1667 Sultan Hasanuddin harus menandatangani Perjanjian Bongaya dengan Belanda. Isi perjanjian itu antara lain VOC diperbolehkan memonopoli perdagangan dengan mendirikan benteng, Makassar melepaskan wilayah-wilayah kekuasaannya, dan Aru Palaka dirajakan di Bone.
Kehidupan politik Kerajaan Gowa Tallo dapat dilihat dari raja-raja yang memerintah, wilayah kekuasaan, dan hubungannya dengan pihak luar negeri.
Raja yang memerintah
Kerajaan Gowa dan Tallo merupakan kerajaan kembar yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan. Kedua kerajaan ini letaknya berdekatan. Beberapa raja atau Sultan yang pernah berkuasa pada masa kerajaan Gowa dan Tallo adalah sebagai berikut :
Karaeng Matoaya
Karaeng Matoaya, lengkapnya Karaeng Matoaya I Malingkang Daeng Manyonri' Karaeng Katangka atau Sultan Abdullah, adalah seorang raja Kerajaan Tallo (memerintah 1593-1623) sekaligus perdana menteri Kesultanan Makassar, yang sangat berpengaruh pada abad ke-17. Ia melantik Sultan Alauddin sebagai raja Kerajaan Gowa, menggantikan saudaranya Tunipasulu. Hubungan yang erat antara Karaeng Matoaya dan Sultan Alauddin kemudian berhasil meningkatkan kejayaan Kesultanan Makassar sehingga menjadi kekuatan militer dan perdagangan yang disegani di wilayah timur Nusantara. Karaeng Matoaya merupakan raja Tallo yang merangkap sebagai mangkubumi Kerajaan Gowa, dan bergelar Sultan Abdullah dengan julukan Awalul Islam.
Sultan Alaudin
Sultan Alaudin merupakan raja Gowa yang memiliki nama asli Daeng Manrabia. Nama lengkapnya yaitu I Mangakrangi Daeng Manrakbia. Raja Gowa dan Tallo disebut penguasa dwitunggal.
I Mangakrangi Daeng Manrabia dilantik menjadi Raja Gowa XIV ketika baru berusia tujuh tahun.Menurut hukum adat Gowa-Tallo bahwa selama raja belum dewasa, maka Tumabbicara Butta atau mangkubumi yang harus menjalankan pemerintahan.Kebetulan yang menjadi mangkubumi waktu itu ialah pamannya sendiri bernama I Mallingkaang Daeng Nyonrik, Karaeng Katangka, (kemudian jadi Raja Tallo).
Sultan Alauddin adalah raja pertama yang melakukan jihad.Selain mengajarkan bagaimana melaksanakan Ibadah, juga mengajarkan bagaimana berjihad di jalan Allah.Waktu itu Belanda sudah masuk ke Kerajaan Gowa. Kedatangannya pertama-tama hanya ingin melakukan perdagangan, tapi selanjutnya ia mengembangkan misi lainnya, selain menyebarkan Agama Kristen juga berusaha untuk monopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku.
Sultan Muhammad Said
Sultan Muhammad Said adalah pengganti Sultan Alauddin. Ia meneruskan perjuangan ayahnya. Kerajaan Gowa bertambah maju dan disegani dunia luar pada masa pemerintahan raja Gowa ke XV I Manuntungi Daeng Mattola yang bergelar Sultan Muhammad Said atau Malikussaid, dari tahun 1639-1653. Raja ini didampingi oleh mangkubuminya yang terkenal yang bernama Karaeng Pattingaloang. Pada masa inilah, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaan, mempunyai wilayah yang luas dan besar pengaruhnya.
Sultan Hassanudin
Gambar 1.7 Sultan HasanuddinGambar 1.7 Sultan Hasanuddin
Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin
Gambar 1.7 Sultan Hasanuddin
Nama aslinya adalah Muhammad Bakir atau I Mallambosi yang dikenal dengan nama Sultan Hassanudin. Ia lahir di Makassar, 12 Januari 1631.
Setelah Sultan Hassanudin naik tahta, ia menggabungkan beberapa kerajaan kecil Indonesia bagian timur untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu di tahun 1660 meletuslah perang antara Gowa dan Belanda yang diakhiri dengan perdamaian. Karena di dalam perdamaian tersebut banyak merugikan Gowa maka di tahun 1666 Sultan Hasanuddi kembali menggencarkan perlawanan terhadap Belanda. Dalam peperangan ini Belanda dibantu oleh kerajaan-kerajaan yang dapat dipengaruhi. Perlawanan terus berlangsung akhirnya pada tanggal 18 Nopember 1667 diadakan perjanjian Bongaya yang mengakhiri perang tersebut.
Namun perjanjian Bongaya ini tidak berhasil memelihara perdamaian dalam waktu yang lama, dan Sultan Haanuddin tertekan oeh isis perjanjian itu. Pada bulan April 1667 Sultan Hasanuddin kembali melancarkan serangan terhadap Belanda.
Tanggal 24 Juni 1668, pertahanan terkuat kerajaan Gowa yaitu benteng Sobaupo jatuh ke tangan Belanda. Dengan jatuhnya benteng tersebut ke tangan Belanda, maka kekuatan Sultan Hasanuddin melemah. Beberapa hari kemudian Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari tahta kerajaan dan ia tetap tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin meninggal dunia tanggal 12 Juni 1670 karena keberaniannya, Belanda menjulukinya "Ayam Jantan dari Timur".
I Mappasomba
Ia merupakan pengganti Sultan Hassanudin. Ketika ia menjadi raja, ia masih berusia 13 tahun. I Mappasomba Daeng Nguraga Karaeng Katangka bergelar Sultan Ali adalah putra mahkota Kerajaan Gowa. Sebagai putra mahkota Kerajaan Gowa, I Mappa- nama panggilan kecilnya di kerajaan ditugasi sebagai kepala staf gabungan militer sekaligus kepala koordinasi pemerintahan Kerajaan Gowa. Sering menggantikan ayahnya untuk menjalankan tugas-tugas kenegaraan, I Mappa tergolong gigih menentang kompeni.
Wilayah Kekuasaan
Gambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa TalloGambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa Tallo
Gambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa Tallo
Gambar 1.8 Peta wilayah Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa-Tallo atau Makassar adalah salah satu Kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara. Wilayah kekuasaan Kerajaan Makassar pada pertengahan abad XVII dapat meliputi sebagian besar kepulauan Nusantara bagian Timur, seluruh Sulawesi, Sula, Dobo,Buru-Kepulauan Aru Maluku di sebelah timur, termasuk Sangir, Talaud, Pegu, Mindanao di bagian utara, Timor, Sumba, Flores, Sumbawa, Lombok-Nusa Tenggara di sebelah selatan, serta Kutai dan Berau di Kalimantan Timur sebelah Barat bahkan sampai Marege-Australia Utara.
Makassar sudah dikenal dan tercantum dalam lembaran Syair 14 (4) dan (5) Kitab Negarakertagama karangan Prapanca (1364) sebagai Daerah ke-VI Kerajaan Majapahit di Sulawesi. Kemunduran Kerajaan Majapahit akibat adanya kekacauan politik serta perang saudara di dalam kerajaan membuat wilayah-wilayah jajahannya terbengkalai. Banyak wilayah jajahan Majapahit melepaskan diri sepenuhnya dari Majapahit dan menjadi Kerajaan tersendiri.
Kerajaan Makassar merupakan kerajaan yang berdiri di Sulawesi. Kerajaan Makassar merupakan gabungan dari kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo. Kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Sebelumnya Kerajaan Gowa dan Tallo pernah berada dalam kekuasaan Kerajaan Siang. Menurut catatan Portugis dari Abad XVI, Tallo pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa dan Gowa sendiri mengakui Kerajaan Siang sebagai kerajaan yang "lebih besar" dan lebih kuat dari mereka. (Andaya, 2004). Pada pertengahan Abad XVI, Kerajaan Siang menurun pengaruhnya oleh naiknya kekuatan politik baru di pantai barat dengan pelabuhannya yang lebih strategis, Pelabuhan Somba Opu. Kerajaan itu tak lain Kerajaan Gowa, yang mulai gencar melancarkan ekspansi pada masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Persekutuan Kerajaan Gowa dan Tallo akhirnya membawa petaka bagi Siang, sampai akhirnya mati dan terlupakan, di penghujung Abad XVI.
Kerajaan Makassar mulai berkembang sejak Tumapa'risi Kallona memperluas daerah kerajaannya dengan menaklukkan beberapa kampung atau kerajaan kecil. Tumapa'risi Kallonna memerintahkan pula membangun beberapa benteng di pesisir pantai yang merupakan benteng pertahanan memanjang dari utara ke selatan. Pada masa itu Makassar mempunyai belasan benteng pertahanan, dan benteng Somba Opu merupakan yang paling besar. Bahkan Ilmuwan Inggris, William Wallace, menyatakan, Benteng Somba Opu adalah benteng terkuat yang pernah dibangun orang nusantara.
Hubungan dengan luar negeri
Pada masa pemerintahan raja-raja selanjutnya, meskipun kerajaan Gowa-Tallo ini bercorak Islam, akan tetapi diberitakan adanya hubungan baik dengan bangsa Portugis yang datang dengan membawa agama Kristen-Katolik. Kerajaan ini bahkan memberi bantuan dan menanam sahah dalam perdagangan orang-orang Portugis (Francisco Viera yang menjadi utusan kerajaan Gowa ke Batavia dan Banten).
Hubungan erat Gowa-Tallo dengan orang Portugis dalam bidang perdagangan ini mungkin disebabkan adanya ancaman dari VOC Belanda yang berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah Maluku.
Perkembangan Agama
Agama yang berkembang di kerajaan Gowa Tallo adalah agama islam. Perkembangan agama islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran Sufisme Khalwatiyah dari kaum Syeikh Yusuf al-Makasari juga tersebar di kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17 Masehi. Akan tetapi, karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa, ia meninggalkan Sulawesi Selatan pergi ke Banten yang kemudian diterima oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Perkembangan sosial dan Budaya
Sudah sejak lama suku bangsa Bugis dikenal sebagai bangsa pelaut yang ulung. Salah satu hasil budayanya yang mengagumkan adalah perahu pinisi. Dengan menggunakan perahu itu, mereka mengarungi lautan lepas dan membangun jaringan pelayaran dan perdagangan antarpulau bahkan antarkawasan. Para penguasa Gowa sudah sejak lama menerapkan prinsip mare liberum atau laut bebas. Meskipun begitu, mereka sangat terikat dengan dengan norma adat yang ketat. Norma yang dianut masyarakat Makassar biasa disebut pangadakkang bersumber dari ajaran agama Islam. Bahkan hingga kini, masyarakat Makassar terkenal dengan penghormatannya yang kuat pada norma-norma adat. Struktur sosial masyarakat Makassar meliputi golongan bangsawan yang disebut karaeng, rakyat kebanyakan yang disebut to maradeka dan hamba sahaya yang disebut ata.
Walaupun masyarakat Makassar memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma kehidupan masyarakat Makassar diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang disebut Pangadakkang. dan masyarakat Makassar sangat percaya terhadap norma-norma tersebut.
Di samping norma tersebut, masyarakat Makassar juga mengenal pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan golongan bangsawan dan keluarganya disebut dengan "Anakarung/Karaeng", sedangkan rakyat kebanyakan disebut "to Maradeka" dan masyarakat lapisan bawah yaitu para hamba-sahaya disebut dengan golongan "Ata".
Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Makassar banyak menghasilkan benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang Makassar dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kerajaan Wajo
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Kerajaan Wajo
Berita tentang tumbuh dan berkembangnya kerajaan Wajo terdapat pada sumber hikayat lokal. Di hikayat lokal tersebut ada cerita yang menghubungkan tentang pendirian Kampung Wajo yag didirikan oleh tiga orang anak raja dari kampung tetangga Cinnotta'bi yaitu berasal dari keturunan dewa yang mendirikan kampung dan menjadi raja-raja dari ketiga bagian (limpo) bangsa Wajo : Bettempola, Talonlenreng, dan Tua. Kepala keluarga dari mereka menjadi raja di seluruh Wajo dengan gelar Batara Wajo. Batara Wajo yang ketiga dipaksa turun tahta karena kelakuannya yang buruk dan dibunuh oleh tiga orang Ranreng. Menarik perhatian kita bahwa sejak itu raja-raja di Wajo tidak lagi turun temurun tetapi melalui pemilihan dari seorang keluarga raja menjadi arung-matoa artinya raja yang pertama atau utama.
Selama keempat arung-matoa dewan pangreh-praja diperluas dengan tiga pa'betelompo (pendukung panji) 30 arung-ma'bicara (raja hakim), dan tiga duta, sehingga jumlah anggota dewan berjumlah 40 orang. Mereka itulah yang memutuskan segala perkara. Kerajaan Wajo mempeluas daerah kekuasaannya sehingga menjadi Kerajaan Bugis yang besar. Wajo pernah bersekutu dengan Kerajaan Luwu dan bersatu dengan Kerajaan Bone dan Soppeng dalam perjanjian Tellum Poco pada 1582. Wajo pernah ditaklukan Kerajaan Gowa dalam upaya memperluas Islam dan pernah tunduk pada 1610. Di samping itu diceritakan pula dalam hikayat tersebut bahwa Dato' ri Bandang dan Dato' Sulaeman memberikan pelajaran agama Islam terhadap raja-rajaWajo dan rakyatnya dalam masalah kalam dan fikih. Pada waktu itu di Kerajaan wajo dilantik pejabat-pejabat agama atau syura dan yang menjadikadi pertama di Wajo ialah konon seorang wali dengan mukjizatnya ketika berziarah ke Mekkah. Diceritakan bahwa di Kerajaan Wajo selama 1612 sampai 1679 diperintah oleh sepuluh orang arung-matoa. Persekutuan dengan Gowa pada suatu waktu diperkuat dengan memberikan bantuan dalam peperangan tetapi berulang kali Gowa juga mencampuri urusan pemerintah Kerajaan Wajo. Kerajaan Wajo sering pula membantu Kerajaan Gowa pada peperangan baru dengan Kerajaan Bone pada 1643, 1660, dan 1667. Kerajaan Wajo sendiri pernah ditaklukkan Kerajaan Bone tetapi karena didesak maka Kerajaan Bone sendiri takluk kepada kerajaan Gowa-Tallo di bawah Sultan Hasanuddin melawan VOC pimpinan Speelman yang mendapat bantuan dari Aru Palaka dari Bone berakhir dengan perjanjian Bongaya pada 1667. Sejak itu terjadi penyerahan Kerajaan Gowa pada VOC dan disusul pada 1670 Kerajaan Wajo yang diserang tentara Bone dan VOC sehingga jatuhlah ibukota Kerajaan Wajo yaitu Tosora. Arung-matoa to Sengeng gugur. Arung-matoa penggantinya terpaksa menandatangani perjanjian di Makassar tentang penyerahan Kerajaan Wajo kepada VOC.
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan Wajo dengan Bone membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan politik pasifikasi untuk memaksa semua kerajaan di Sulawesi Selatan tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh Wajo sehingga Wajo harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Peninggalan Kerajaan Wajo
Masjid Kuno Tosora
Gambar 1.8 Masjid TosoraGambar 1.8 Masjid Tosora
Gambar 1.8 Masjid Tosora
Gambar 1.8 Masjid Tosora
Masa keemasan dan kemegahan Kerajaan Wajo masih terasa melalui peninggalannya yang tersisa meskipun beberapa di antaranya dalam kondisi tidak terawat. Salah satu, bukti dan peninggalan sejarah yang tersisa yakni Masjid Kuno di Tosora. Tempat ibadah umat Islam ini yang pertama di bangun di Wajo. Ada yang menyebutnya Masjid Jami Tosora, adapula yang menyebutnya dengan nama Masjid Kuno Tosora.
Sisa peradaban masa lampau Kerajaan Wajo ini terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng. Lokasi ini pernah menjadi pusat peradaban di Kabupaten Wajo, karena merupakan pusat Kerajaan Wajo pada zaman dahulu. Bahkan, Tosora pernah menjadi ibu kota Kabupaten Wajo sebelum dipindahkan ke Sengkang. Berbagai peninggalan sejarah berupa bangunan maupun makam raja-raja Wajo bisa ditemukan di wilayah ini.
Makam-makam kuno
Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs TosoraGambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora
Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora
Gambar 1.9 Makam-makam kuno di situs Tosora
Menurut informasi dari masyarakat mengatakan bahwa di Desa Tosora terdapat banyak sekali makam-makam kuno yang tersebar di mana-mana, baik terkonsentrasi pada beberapa kompleks pemakaman maupun yang tersebar secara acak. Sebaran makam-makam kuno seperti tersebut di atas, penulis masih dapat amati ketika pertama kali berkunjung ke Tosora pada tahun 1987. Namun kondisinya sudah berubah ketika tahun 2002 penulis berkunjung lagi ke daerah tersebut, yaitu semakin bertambah dan padatnya pemukiman penduduk, sehingga sebahagian besar makam-makam kuno tersebut sudah hilang, bahkan bagian-bagian bangunan jirat dan nisannya dipergunakan penduduk sebagai bahan membuat jalan, jembatan dan bangunan rumah. Kondisi tersebut sangat menyedihkan, namun kita tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi hal yang demikian.Untung bahwa makam-makam kuno yang terkonsentrasi berupa suatu kompleks, sebagian besar sudah dilindungi oleh pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, walaupun kelihatannya tidak terawat dengan baik.
Peninggalan makam-makam kuno yang dideskripsikan dalam tulisan ini, terdiri atas tujuh kompleks yang penamaannya diberikan sesuai dengan nama tokoh yang paling berpengaruh yang dimakamkan di dalamnya, yaitu :
Kompleks Makam Arung Benteng Pola
Kompleks makam Arung Benteng Pola berada di sisi barat Mesjid Tua Tosora (Lihat Foto 3).Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,6 m dpl. Terdapat 12 makam yang terlihat.Sebagian makam tersebut sudah tidak memiliki jirat. Bentuk nisanyang terlihat terdiri dari meriam, mahkotadan pipih. Menurut ceritera masyarakat bahwa makam dengan dua nisan meriam, adalah makam dari Renreng Benteng Pola La Gau dengan gelar MatinroE ri Masigina.
Adapun ukuran nisan yaitu :
Nisan tipe meriam
Tinggi : 74 cm
Diameter : 35 cm
Nisan tipe pipih
Tinggi : 66 cm
Lebar : 35,5 cm
Tebal : 9,5 cm
Nisan tipe mahkota
Tinggi : 33 cm
Diameter : 60 cm
Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
Gambar 1.10 Beberapa makam di Kompleks Makam La Tenrilai To Sengngeng
Kompleks makam La Tenrilai To Sengeng berada tidak jauh dari mesjid tua Tosora. Letaknya berada di sisi utara benteng.Kompleks makam ini berada pada ketinggian 30,7 m dpl.Jumlah makam yang terlihat di kompleks makam tersebut sebanyak 44 makam.Bentuk jirat sebagian besar makam tersebut sangat sederhana.Hal tersebut terlihat karena sebagian besar jirat makam ini terbuat dari papan batu yang disusun persegi.Bahkan ada juga makam yang tidak memiliki jirat.Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan yang ditancapkan.
Di dalam kompleks makam tersebut, terdapat beberapa bentuk nisan yang terlihat, yaitu : nisan dari meriam yang konon menurut penduduk setempat mengatakan sebagai makam dari La Tenrilai Tosengngeng, nisan menhir baik yang masif maupun yang sudah ditata dengan ukuran antara 0,43 m – 1,64 m, nisan setengah lingkaran (tipe Wajo) dengan hiasan berupa jari-jari berjumlah 4, 8, 16, 22, dan nisan tipe pipih (berbentuk perisai, ujung tombak). Bahan batu yang digunakan adalah batu sedimen.
Kompleks Makam La Maungkace To U'damang
Kompleks makam La Maungkace To U' damang berada di luar benteng sisi utara.Makam terletak diketinggian 30,6 m dpl. Jumlah makam di kompleks ini sebanyak 83 makam.Sebagian besar jirat di kompleks makam ini tidak terlihat (kemungkinan makam ini juga tidak jirat). Makam tersebut hanya ditandai dengan nisan. Bentuk nisan yang terlihat adalah bentuk menhir yang pada umumnya masih masif, dengan tinggi antara 0,45 m – 2,12 m, nisan silindrik yang paling dominan, dan nisan setengah bulat (tipe Wajo). Menurut masyarakat setempat mengatakan bahwa salah satu tokoh yang dimakamkan di dalamnya adalah La Maungkace To U'damang yang menggunakan nisan menhir yang paling tinggi.
Raja-Raja yang Memerintah
Raja raja yang pernah memerintah di kerajaan wajo
Zaman sebelum islam
La Tenri Bali Batara Wajo I (akhir abad ke XIV)
La Mataesso Batara Wajo II (awal abad ke XV)
La Pateddungi To Samallangi Batara Wajo III (1436-1456)
La Palewo To Palippu Batara Wajo IV (1456-1466)
La Obbi' Settiware' Batara Wajo V (1466-1469)
La Tenri Umpu' To Langi Arung Matoa Wajo (1474-1482)
La Tadangpare' Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1482-1487)
La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1487-1491)
La Tadangpare' Puang ri Maggalatung Arung Matoa Wajo (1491-1521)
La Tenri Pakado To Nampe Arung Matoa Wajo (1524-1535)
La Temmasonge Arung Matoa Wajo (1535-1538)
La Warani To Temmagiang Arung Matoa Wajo (1538-1547)
La Mallagenni Arung Matoa Wajo (1547/ hanya 2 bulan)
La Mappapuli To Appamadeng Ar
ung Matoa Wajo (1547-1564)
La Pakoko To Pabbele Arung Matoa Wajo (1564-1567)
La Mungkace To Addamang Arung Matoa Wajo (1567-1607)
Zaman islam
L a Sangkuru Patau' Mulajaji Sultan Abdul Rahman Arung Matoa Wajo Matinroe ri Allepparenna (1607-1610)
La Mappepulu To Appamole Arung Matoa Wajo (1612-1616)
La Samalewa To Appakiu Arung Matoa Wajo (1616-1621)
La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1621-1626)
La Mappasaunge' Arung Matoa Wajo (1627-1628)
La Pakalongi To Allinrung Arung Matoa Wajo (1628-1636)
La Tenri Lai To Addumemang Arung Matoa Wajo (1636-1639)
La Isigajang To Bunne Arung Matoa Wajo Matinroe ri Batana (1639-1643)
La Makkaraka To Patemmui Arung Matoa Wajo Matinroe ri Panggaranna (1643-1648)
La Temmasonge Puanna Daeli Petta Pallinge Arung Matoa Wajo (1648-1651)
La Paremma To Rewo Arung Matoa Wajo Matinroe ri Passirinna (1651-1658)
La Tenri Lai To Sengngeng Arung Matoa Wajo Matinroe ri Sale'kona (1658-1670)
La Pallili To Mallu Arung Matoa Wajo (1670-1679)
La Pariusi Daeng Manyampa Arung Matoa Wajo Matinroe ri Buluna (1679-1699)
La Tenri Sessu Tomoe/ To Denra Arung Matoa Wajo (1699-1702)
La Mattaone La Sakke Daeng Paguling Puanna Larumpang Arung Matoa Wajo (1702-1703)
La Galigo To Sunnia Arung Matoa Wajo (1703-1712)
La Tenri Werung Arung Peneki Arung Matoa Wajo (1712-1715)
La Salewangeng To Tenriruwa Arung Matoa Wajo (1715-1736)
La Maddukellang Puangna La Tombong Arung Peneki Arung Singkang Sultan Pasir Arung Matoa Wajo (1736-1754)
La Maddanaca Arung Matoa Wajo (1754-1755)
La Passaung Puangna La Omo Arung Matoa Wajo (1758-1761)
La Mappajung Puangna Salewong Arung Matoa Wajo (1764-1767)
La Malliungeng To Alleong Arung Alitta Arung Matoa Wajo (1767-1770)
La Mallalengeng (La Cella' Puangna To Appamadeng Arung Matoa Wajo (1795-1817)
La Mamang To Appamadeng Radeng Gallong Arung Matoa Wajo (1821-1825)
La Paddengngeng Puangna Palaguna Arung Matoa Wajo (1839-1845)
La Pawellangi Pajungperot Arung Matoa Wajo (1854-1859)
La Ciccing (Akil Ali) Karaeng Mangeppe Datu Pammana Pilla Wajo Arung Matoa Wajo (1859-1885)
La Koro Batara Wajo Arung Padali Arung Matoa Wajo (1885-1891)
La Passamula Datu Lompulle Arung Matoa Wajo (1892-1897)
Zaman pengaruh belanda
Ishak Manggabarani Karaeng Mangepe Arung Matoa Wajo (1900-1916)
La Tenri Oddang Arung Larompong Arung Peneki Arung Lowa Arung Matoa Wajo (1926-1933)
Andi Mangkona Arung Mariori Wawo (1933-1949) / Arung Matoa terakhir
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan
Dari makalah ini, kami dapat mengambil kesimpulan Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Penyebaran Islam di Nusantara selalu dikaitkan dengan jalur perdagangan. Penyebaran Islam yang dilakukan para pedagang bisa dimungkinkan karena mereka pergi ke berbagai penjuru bumi. Dalam ajaran Islam setiap orang memiliki kewajiban yang sama untuk berdakwah. Setiap Muslim, apapun kedudukan dan profesinya mereka dituntut untuk dapat menyampaikan ajaran Islam walaupun hanya satu ayat Al-Quran.
Saran
Demi kesempurnaan makalah ini, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar makalah ini dapat menjadikan suatu pedoman untuk kalangan umum. Kami sebagai penyusun memohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Atas kritik, saran, dan perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Ari Listiyani. 2009. Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI BAHASA. Jakarta : Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Restu Gunawan, Amurwani Dwi Lestariningsih, dan Sadirman. 2016. Sejarah Indonesia SMA/MA/MAK kelas X. Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan Balitbang, Kemendikbud.
Prof. Dr. M. Ahmad Sewang. 2005. Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai abad XVII). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Agussalim, S.Pd. 2016. "Suplemen Materi Ajar" Prasejarah Kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Yogyakarta: Deepublish Publisher, 2016.
Dr. Akin Duli, MA, ST, dkk.2013. Monumen Islam di Sulawesi Selatan. Makassar : Balai Cagar Budaya Makassar.
Imtam Rus Ernawati. Nursiwi Ismawati.2009. Sejarah Kelas XI Untuk SMA/MA Program Bahasa kelas XI. Klaten : PT. Cempaka Putih.
Drs. Sudjatmoko Adisukarjo dkk. 2007. Horizon IPS Ilmu Pengetahuan Sosial Semester Pertama 5A. Bogor: Percetakan Ghalia.
Muhammad Abduh, dkk. 1985. Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan. Jakarta : Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Amir Hendrasah. Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler. Yogyakarta : Galangpress Group.
S.M Noor. 2011. Perang Makassar 1669. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-gorontalo.html
http://iingmetalica.blogspot.co.id/2012/11/makalah-sejarah-islam-di-sulaesi.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Gowa
http://ariakesuma12.blogspot.co.id/2016/11/kehidupan-ekonomi-kerajaan-gowa-tallo.html
http://www.nafiun.com/2013/02/masyarakat-kerajaan-gowa-tallo-kehidupan-sosial-dan-ekonomi.html
http://www.sejarah-negara.com/2015/02/tokoh-sejarah-kerajaan-gowa-tallo.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Karaeng_Matoaya
http://muhishaqramli.blogspot.co.id/2016/01/sultan-alauddin.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Bungaya
https://artmelayu.blogspot.co.id/2013/07/tinggalan-masjid-lama-tosora-remains-of.html
http://www.arkeologi-sulawesi.com/berita-138/situs-tosora-kabupaten-wajo.html