BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam istilah kedokteran secara lengkap nama dari penyakit "Lupus"
ini adalah "Systemic Lupus Erythematosus (SLE)". Istilah Lupus berasal
dari bahasa latin yang berarti anjing hutan atau serigala. Sedangkan kata
Erythematosus dalam bahasa Yunani berarti kemerah-merahan. Pada saat itu
diperkirakan, penyakit kelainan kulit kemerahan di sekitar hidung dan
pipi ini disebabkan oleh gigitan anjing hutan. Karena itulah penyakit ini
diberi nama "Lupus".
Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan
kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di
dunia terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan
lebih dari 100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki
kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa
jadinya jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat.
Penyakit lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih.
Penyakit ini tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia
produktif di seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE
(Systemic Lupus Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang
menimbulkan bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau
sistem yang terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.
Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai 50,8
per 100.000. Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang ditangani
sejak awal 1991 sampai akhir 1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah laki-
laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan
setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak,
dewasa, laki-laki, dan perempuan. Sembilan puluh persen kasus Lupus
Eritematosus Sistemik menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada
usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-
laki 5:1.
Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit Lupus
biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita Lupus
dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi penyakit
ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada persendian,
seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit, atau
tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar
matahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.
Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus adalah
faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa jenis
obat, dan virus. Oleh karena itu, bagi para penderita lupus dianjurkan
keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul 16.00. Saat
bepergian, penderita memakai sun block atau sun screen (pelindung kulit
dari sengatan sinar matahari) pada bagian kulit yang akan terpapar. Oleh
karena itu, penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik dimana
pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan.
B. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam penyakit lupus ini antara lain:
1. Apa pengertian dari penyakit lupus?
2. Bagaimana patogenesis pada penyakit lupus?
3. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus?
4. Bagaimana pencegahan yang harus dilakukan pada penyakit lupus?
5. Apa saja jenis-jenis penyakit lupus?
6. Bagaimana diagnosis (gejala) yang muncul pada penyakit lupus dan cara
membuktikan diagnosisnya?
7. Bagaimana tata laksana penyakit pada penderita lupus?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit lupus antara
lain:
1. Mampu mendeskripsikan pengertian penyakit lupus.
2. Mampu mengetahui patogenesis pada penyakit lupus.
3. Mampu mendeskripsikan penyebab timbulnya penyakit lupus.
4. Mampu menjelaskan cara pencegahan penyakit lupus.
5. Mampu mendeskripsikan jenis-jenis penyakit lupus.
6. Mampu mengetahui diagnosis/gejala-gejala yang ditimbulkan pada
penyakit lupus dan cara membuktikan diagnosisnya.
7. Mampu mendeskripsikan tata laksana penyakit lupus.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. PENGERTIAN
Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus adalah
suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam
tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam – macam,
bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang
pasti tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit
diperoleh. SLE menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering
dari pada laki-laki. Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa
remaja atau awal dewasa. Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang
perempuan Afrika Amerika tiga kali lebih sering daripada perempuan
Kaukasia. Jika penyakit ini baru muncul pada usia di atas 60 tahun,
biasanya akan lebih mudah untuk diatasi (Sylvia & Lorraine, 2005).
Semula SLE digambarkan sebagai suatu gangguan kulit, pada sekitar
tahun 1800-an, dan diberi nama lupus karena sifat ruamnya yang berbentuk
"kupu-kupu", melintasi tonjolan hidung dan meluas pada kedua pipi yang
menyerupai gigitan serigala (lupus adalah kata dalam bahasa Latin yang
berarti serigala). Lupus discoid adalah nama yang sekarang diberikan
pada penyakit ini apabila kelainannya hanya terbatas pada gangguan
kulit. SLE adalah salah satu kelompok penyakit jaringan ikat difusi yang
etiologinya tidak diketahui. Kelompok ini meliputi SLE, scleroderma,
polimiositis, artritis rheumatoid, dan sindrom Sjogren. Gangguan –
gangguan ini seringkali memiliki gejala yang saling tumpang tindih satu
dengan yang lainnya dan dapat menjadi semakin slit untuk ditegakkan
secara akurat. (Sylvia & Lorraine, 2005).
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus)
karena autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri)
diproduksi tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks
imun (antibodi yang terikat pada antigen) di dalam jaringan (Underwood,
1999).
SLE merupakan prototipe kelainan autoimun sistemik, ditandai dengan
bermacam-macam antibodi, terutama antibodi antinukleus. Antibodi
antinukleus tidak memasuki sel utuh. Namun, nukleus sel yang rusak
bereaksi dengan antibodi antinukleus, kehilangan pola kromatinnya, dan
menjadi badan LE yang homogen, (badan hematoksilin). Fagositosis badan
LE oleh neutrofil atau makrofag in vitro akan membentuk sel LE smapai
kira-kira 70 % penderita SLE. Selain antibodi antinukleus, penderita SLE
juga menunjukkan adanya berbagai macam autoantibodi antara lain terhadap
elemen darah (sel darah merah, trombosit, leukosit). Juga antara 20%-40%
mempunyai antibodi terhadap fosfolipid (Robbins dkk; 1999).
Terlihat terutama pada wanita, SLE adalah suatu penyakit
generalisata yang mengekspresikan dirinya sebagai vaskulitis yang
melibatkan beberapa sistem organ. Sel sasaran primernya adalah sistem
hematopoetik, kulit, sendi dan ginjal. Organ-organ ini dilibatkan dalam
aneka macam cara oleh banyak sekali antibodi. Antibodi terhadap sel
darah merah, sel darah putih, dan trombosit masing-masing menyebabkan
anemia hemolitik, leukopenia dan trombositopenia (Joseph, 1993).
B. PATOGENESIS
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur
membran, dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus
eritematosus sistemik (Robbins dkk; 1999).
Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh biasanya akan membuat
anti-bodi yang fungsinya melindungi tubuh dari berbagai macam serangan
virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya (anti-gen). Pada
penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan tubuh seperti
kehilangan kemampuan melihat perbedaan antara substansi asing dengan sel
maupun jaringan tubuhnya sendiri. Pada lupus, produksi anti-bodi yang
seharusnya normal menjadi berlebihan. Akibatnya, anti-bodi ini tidak
lagi berfungsi untuk menyerang virus, kuman atau bakteri yang ada di
tubuh, tetapi justru menyerang sistem kekebalan sel dan jaringan
tubuhnya sendiri. Anti-bodi seperti ini disebut auto anti-bodi. Ia
bereaksi dengan anti-gen membentuk immune complex/ komplek imun (Joseph,
1993).
Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemrosesan komplek imun dalam hati dan penurunan uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya
keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti
ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya (Joseph,
1993).
Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-
tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder
terhadap beberapa faktor:
a. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B.
b. Hiperaktivitas sel T helper.
c. Kerusakan pada fungsi sel T supresor (Robbins dkk; 1999).
C. PENYEBAB
Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang
penyakit lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari,
stres, beberapa jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat
dikelompokkan menjadi faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya
infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari,
pemakaian pil KB, dan stres. Penyakit ini kebanyakaan diderita wanita
usia produktif sampai usia 50 tahun namun ada juga pria yang
mengalaminya. Oleh karena itu diduga penyakit ini berhubungan dengan
hormon estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering diduga
berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap
sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ
tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem
imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang
berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh.
Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul
berlebihan. Hasilnya, antibodi justru menyerang sel-sel jaringan organ
tubuh yang sehat. Kelainan ini disebut autoimunitas . Antibodi yang
berlebihan ini, bisa masuk ke seluruh jaringan dengan dua cara yaitu :
Pertama, antibodi aneh ini bisa langsung menyerang jaringan sel tubuh,
seperti pada sel-sel darah merah yang menyebabkan selnya akan hancur.
Inilah yang mengakibatkan penderitanya kekurangan sel darah merah atau
anemia.
Kedua, antibodi bisa bergabung dengan antigen (zat perangsang
pembentukan antibodi), membentuk ikatan yang disebut kompleks imun.
Gabungan antibodi dan antigen mengalir bersama darah, sampai tersangkut
di pembuluh darah kapiler akan menimbulkan peradangan. Dalam keadaan
normal, kompleks ini akan dibatasi oleh sel-sel radang (fagosit) Tetapi,
dalam keadaan abnormal, kompleks ini tidak dapat dibatasi dengan baik.
Sel-sel radang tersebet bertambah banyak sambil mengeluarkan enzim, yang
menimbulkan peradangan di sekitar kompleks. Hasilnya, proses peradangan
akan berkepanjangan dan akan merusak organ tubuh dan mengganggu
fungsinya. Selanjutnya, hal ini akan terlihat sebagai gejala penyakit.
Kalau hal ini terjadi, maka dalam jangka panjang fungsi organ tubuh akan
terganggu (Joseph, 1993).
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat
dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan.
Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi
penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang yang
mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10% risiko
menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga penyakit
auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgen's Syndrome.
Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25% pada saudara
kembar dari pasien yang menyandang lupus (Djoerban, 2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar penyandang
wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini diduga disebabkan
oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang
mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan baik secara invitro
maupun invivo. Sehingga harus benar-benar dipertimbangkan pemberian
terapi hormon dan alat kontrasepsi yang mengandung estrogen pada
Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan lupus,
diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar
matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu penyebab
terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus penyebab demam
kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar odapus tercatat pernah
terinfeksi virus ini dalam riwayat penyakitnya. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa system imun mulai terganggu saat berusaha menyerang
EBV juga menyerang sel tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut
diduga kuat berhubungan dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap zat
kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan dengan
munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko penyakit autoimun
lainnya seperti arthritis reumathoid dan multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan
perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan timbulnya ruam kulit
dan munculnya gejala lupus pada organ lainnnya. Menghindari sinar
matahari dan menggunaka tabir surya (sun block) adalah hal yang
tidak mudah namun mutlak harus dilakukan oleh odapus karena sangat
bermanfaat (Djoerban, 2002).
D. PENCEGAHAN
Dalam melakukan pencegahan ada berbagai masalah yang dihadapi
pengidap lupus. Masalah pertama adalah seringnya penyakit pasien
terlambat diketahui dan diobati dengan benar karena cukup banyak dokter
yang tidak mengetahui atau kurang waspada tentang gejala penyakit lupus
dan dampak lupus terhadap kesehatan. Di Indonesia, rendahnya kompetensi
dokter untuk mendiagnosis penyakit secara dini dan mengobati penyakit
lupus dengan tepat tercermin dari pendeknya survival 10 tahun yang masih
sekitar 50 persen, dibandingkan dengan negara maju, yang 80 persen
(Djoerban, 2002).
Biasanya paramedis akan melakukan pemeriksaan ANA (Anti Nuclear
Antibodi) bisa positif, di laboratorium dan patologi. Bila sudah
diketahui diagnosanya lupus, maka pihak medis akan memberikan pengobatan
berupa terapi, theraphy sintomatik (penghilangan gejala), kortikortiroid
(antipenurun kekebalan tubuh), serta menekan daya tahan tubuh berlebihan,
dengan pemberian obat demam dan penghilang rasa sakit. Hanya saja, untuk
terapi yang dilakukan berbeda-beda dengan setiap penderita.
Penyembuhannya pun bisa memakan waktu berbulan-bulan, itupun dengan
catatan penderita rajin memeriksakan diri. Bahkan tak jarang, terkadang
diagnosa baru didapat justru setelah penderita meninggal. Atau penyakit
lupusnya tiba-tiba sembuh sendiri. Karena itulah, fokus pengobatan dokter
adalah dengan melakukan pencegahan dengan meminimalisir meluasnya
penyakit sehingga tidak menyerang organ vital tubuh lainnya. Oleh karena
itu, untuk melakukan upaya preventif terhadap penyakit lupus perlu
ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah
maupun semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Selain itu,
peningkatan kompetensi petugas-petugas pelayan kesehatan juga harus di
tingkatkan agar tidak terjadi kesalahan-kesalahan yang akan membahayakan
jiwa pasien (Djoerban, 2002).
Pengembangan metode pengobatan yang lebih baik dan efisien juga
perlu dilakukan. Pasien juga harus diberi penyuluhan tentang apa itu
lupus, apa bahayanya dan bagaimana gejalanya agar pasien bisa turut
berperan aktif dalam upaya pencegahan penyakit lupus. Masalah berikutnya
adalah belum terpenuhinya kebutuhan pasien lupus dan keluarganya tentang
informasi, pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan lupus. Dirasakan
penting sekali meningkatkan kewaspadaan masyarakat tentang dampak buruk
penyakit lupus terhadap kesehatan. Masalah lupus tidak hanya berdampak
buruk pada kesehatan pasien, namun juga mempunyai dampak psikologi dan
sosial yang cukup berat untuk pasien maupun keluarganya. Dalam hal ini
peran sarjana kesehatan masyarakat selaku tenaga kesehatan yang
berorientasi pada upaya preventif dan promotif sangat diperlukan.
Masyarakat harus secara intensif diberi penyuluhan tentang apa itu lupus,
gejala yang ditimbulkan, dampak yang ditimbulkan,serta bagaimana cara
pencegahannya. Kebersihan dan kesehatan lingkungan juga harus
diperhatikan karena, seperti yang telah dijelaskan dalam subbab
"penyebab" bahwa faktor yang diduga menyebabkan lupus ada berberapa macam
diantaranya faktor lingkungan (Djoerban, 2002).
Masalah lain adalah kurangnya prioritas di bidang penelitian medik
untuk menemukan obat-obat penyakit lupus yang baru, yang aman dan
efektif, dibandingkan dengan penelitian penyakit-penyakit lain, yang
sebanding besaran masalahnya. Upaya preventif yang harus dilakukan adalah
berusaha mengembangkan penelitian-penelitian mengenai penyakit lupus
mengingat bahaya dan dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh penyakit
ini.
Hal yang harus dilakukan penderita lupus (odipus) agar penyakit lupusnya
tidak kambuh adalah :
1. Menghindari stress
2. Menjaga agar tidak langsung terkena sinar matahari
3. mengurangi beban kerja yang berlebihan
4. menghindari pemakaian obat tertentu (Djoerban, 2002).
Odipus dapat memeriksakaan diri pada dokter-dokter pemerhati
penyakit ini, dokter spesialis penyakit dalam konsultasi hematologi,
rheumatology, ginjal, hipertensi, alergi imunologi, jika lupus dapat
tertanggulangi, berobat dengan teratur, minum obat teratur yang di
berikan oleh dokter (yang biasanya diminum seumur hidup), odipus akan
dapat hidup layaknya orang normal. Dukungan keluarga juga sangat
dibutuhkan, mengingat keluarga adalah orang yang paling dekat dan yang
selalu berinteraksi dengan odipus. Dukungan (social support) dalam teori
ilmu psikologi merupakan salah satu media bertahan dari stress (coping
stress) yang mampu memberi pengaruh besar (Djoerban, 2002).
E. JENIS-JENIS PENYAKIT LUPUS
1. Lupus Eritematosis Diskoid (DLE)
Paling sering menyerang dan merupakan lupus kulit dengan manifestasi
beberapa jenis kelainan kulit. Kelainan biasanya berlokalisasi simetrik
di muka (terutama hidung, pipi), telinga atau leher. Penyakit yang
terbatas pada lesi kulit yang makroskopik dan mikroskopik menyerupai
SLE. Hanya 35% penderita mengalami antibodi antinukleus positip.
Berbeda dengan SLE, hanya lesi kulit yang menunjukkan deposit Ig-
komplemen pada membran basal. Setelah beberapa tahun, 5%-10% penderita
bermanifestasi sistemik. Diskoid Lupus tidak serius dan jarang sekali
melibatkan organ-organ lain (Robbins dkk; 1999).
2. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
SLE merupakan penyakit demam sistemik, kronik, berulang dengan
gejala yang berhubungan dengan semua jaringan, terutama sendi, kulit,
dan membran serosa. Dapat menimbulkan komplikasi seperti lupus otak,
lupus paru-paru, lupus pembuluh darah jari-jari tangan atau kaki, lupus
kulit, lupus ginjal, lupus jantung, lupus darah, lupus otot, lupus
retina, lupus sendi, dan lain-lain (Robbins dkk; 1999).
3. Lupus Eritematosus yang disebabkan obat
Obat-obatan seperti hidralazin (obat hipertensi), prokainamid (untuk
mengobati detak jantung yang tidak teratur), isoniazid, dan D-
penisilamin sering menyebabkan ANA positip, kurang sering menyebabkan
sindrom seperti LE. Pada sindrom seperti LE, meskipun melibatkan banyak
organ, penyakit ginjal dan susunan saraf pusat jarang terjadi. Penyakit
mempunyai hubungan dengan HLA-DR4. Penyakit ini timbul akibat efek
samping obat dan akan sembuh sendiri dengan memberhentikan obat terkait
(Robbins dkk; 1999).
BAB III
DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA PENYAKIT
A. DIAGNOSIS PENYAKIT LUPUS
Pasien dengan Lupus Eritematosus Sistemik bisa memiliki gejala yang
sangat bervariasi dan kombinasi keterlibatan organ yang berbeda, tidak
ada pengujian tunggal yang dapat mendiagnosa lupus sistemik. Untuk
membantu keakuratan diagnosis lupus eritematosus sistemik, sebelas
kriteria diterbitkan oleh asosiasi reumatik Amerika.. Beberapa pasien
yang dicurigai menderita lupus eritematosus sistemik mungkin tidak
pernah memenuhi kriteria yang cukup untuk diagnosis defenitif. Pasien
yang lain mungkin mengumpulkan kriteria yang cukup hanya dalam beberapa
bulan atau tahun setelah observasi. Jika seseorang memenuhi empat atau
lebih kriteria berikut, diagnosis lupus eritematosus sistemik sangat
mungkin. Namun demikian, diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat
ditegakkan pada pasien dengan kondisi tertentu dimana hanya sedikit
kriteria yang dapat dipenuhi. Pada pasien-pasien tersebut, kriteria yang
lain dapat berkembang kemudian, tapi pada kebanyakan kasus tidak
demikian (Sjaiffoellah, 1996).
Kira-kira 65% dari pasien SLE akan mengalami gangguan pada
ginjalnya. Tetapi hanya 25% yang menjadi berat. Nefritis lupus diketahui
dengan melakukan pemeriksaan adanya protein dan eritrosit (RBC) atau
silinder di dalam air kemih. Untuk mendapatkan suatu diagnosis pasti
mungkin perlu dilakukan biopsy ginjal. SLE juga dapat menyerang system
saraf pusat maupun perifer. Gejala-gejala yang ditimbulkannya meliputi
perubahan tingkah laku (depresi, psikosis), kejang-kejang, gangguan
saraf otak, dan neutropati panifer. Perubahan-perubahan pada system
saraf pusat seringkali diakibatkan oleh bentuk penyakit yang ganas dan
seringkali bersifat fatal. Antibody terhadap untai ganda DNA (dsDNA) dan
terhadap kompleks protein asam ribonukleat (RNA) yang disebut Sm, hanya
ditemukan pada pasien SLE. Gangguan reumatologik lain dapat menyebabkan
antibody antinuclear menjadi positif (ANA), namun anti-dsDNAdan anti-Sm
jarang ditemukan kecuali pada SLE (Sylvia & Lorraine, 2005).
Gejala-gejala penyakit lupus dikenal sebagai Lupus Eritomatosus
Sistemik (LES). Eritomatosus artinya kemerahan, sedangkan sistemik
bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut LES
atau Lupus. Gejala-gejala yang umum dijumpai adalah:
1. Kulit yang mudah gosong akibat sinar matahari serta timbulnya
gangguan pencernaan.
2. Gejala umumnya penderita sering merasa lemah, kelelahan yang
berlebihan, demam dan pegal-pegal. Gejala ini terutama didapatkan pada
masa aktif, sedangkan pada masa remisi (nonaktif) menghilang.
3. Pada kulit, akan muncul ruam merah yang membentang di kedua pipi,
mirip kupu-kupu. Kadang disebut (butterfly rash). Namun ruam merah
menyerupai cakram bisa muncul di kulit seluruh tubuh, menonjol dan
kadang-kadang bersisik. Melihat banyaknya gejala penyakit ini, maka
wanita yang sudah terserang dua atau lebih gejala saja, harus
dicurigai mengidap Lupus.
4. Anemia yang diakibatkan oleh sel-sel darah merah yang dihancurkan
oleh penyakit lupus ini.
5. Rambut yang sering rontok dan rasa lelah yang berlebihan
(Sjaiffoellah, 1996).
Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus
memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat
dari 11 gejala spesifik tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada
bentukan kupu-kupu, istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash.
2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang berhubungan
dengan scalling dan penyumbatan folikel rambut (Discoid Rash).
3. Fotosensitif, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan
sinar matahari.
4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers).
5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala
ini dijumpai pada 90 % odapus.
6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan.
7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine.
8. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai dari depresi, kejang,
stroke, dan lain-lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan
trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia.
10. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya lupus bila
ditemukan dalam darah pasien.
11. Gangguan sistem kekebalan tubuh (Sylvia & Lorraine, 2005).
Adapun gejala klinis yang sering muncul antara lain:
1. Kulit : Ruam, sariawan, rambut rontok
2. Persendian : Nyeri, kemerahan, bengkak
3. Ginjal : Kelainan urine, gagal ginjal
4. Membran (selaput organ) : Radang selaput paru (pleurisy), selaput
jantung (pericarditis), selaput dinding perut (peritonitis)
5. Darah : Anemia, Leukopenia, Trombositopenia
6. Paru-paru : Batuk, sesak nafas
7. Sistem Saraf : Kejang, psikosa (Djoerban, 2002).
Adapun gejala non spesifik antara lain:
1. Fatigue/lelah, merupakan gejala yang paling sering muncul.
2. Weight Loss/penurunan berat badan.
3. Weight Gain/penambahan berat badan, dapat disebabkan oleh
pembengkakan pada kedua tungkai atau pembersaran perut akibat organ
ginjal yang terkena.
4. Fever/demam, indikasi saat lupus menjadi aktif.
5. Swollen Glands/pembengkakan kelenjar (Djoerban, 2002).
Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik)
a. Uji Imunologik
Sel lupus eritematosus (sel LE) adalah leukosit polimorfonuklear
yang telah mengingesti bahan-bahan nukleus yang bergabung dengan
antibodi antinuklear. Uji untuk adanya sel-sel ini dapat digunakan
untuk membuktikan diagnosis SLE. Darah perifer atau sumsum tulang
diinkubasi pada suhu 37 derajat dan kemudian dicari sel LE. Yang lebih
sering, dicari dalam diagnosis SLE antibodi yang melawan protein atau
bahan-bahan nukleus lain. Beberapa antibodi ditemukan dengan
fluoresensi, yang lain ditemukan dengan teknik presipitasi amonium
sulfat (Joseph, 1993).
Antibodi antinuklear (ANA) mempunyai kemampuan bergabung dengan
antigen dan mengikat komplemen. Bila penyakitnya sangat aktif,
terutama bila ginjal terlibat, ada pengurangan komplemen dalam
sirkulasi (misalnya C3) yang mempunyai arti penting baik diagnosit
maupun terapeutik karena kadarnya menjadi normal bila terapi berhasil.
Uji untuk ANA sekarang sedang digunakan untuk menyaring SLE. Kadar
komplemen dapat memberi pegangan yang berguna dalam diagnosis maupun
pengelolaan penyakit, terutama dengan keterlibatan ginjal. Antibodi
anti-DNA dan pengikatan DNA merupakan uji tambahan yang mempunyai
spesifitas yang tinggi untuk SLE dan digunakan secara seri untuk
menilai aktivitas penyakit. Di antara antibodi-antibodi ini ada
antibodi terhadap antigen nukleus yang diekstraksi (ENA), seperti
antigen ribonukleoprotein (RNP), antigen Sm, antigen Ro, dan antigen
La (Joseph, 1993).
B. TATA LAKSANA PENYAKIT LUPUS
Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak
manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari
waktu ke waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien
dengan lupus berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat
(SSP), dan mereka yang menderita lebih dari satu jenis penyakit
autoantibodi cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap. Pasien
yang memiliki gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau
berkembang menjadi lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan
semua gejala baru yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit
tersebut karena penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala
klinis dan organ tubuh yang terkena (Michelle, 1998).
Sehingga pada prakteknya, Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu
ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang
muncul.
1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap
cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynaud's syndrome (perubahan
warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan
kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik
dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya.
Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini. Kelelahan
merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi
alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang
tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan
dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko
efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal
ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat keputusan pemberian
steroid karena efek samping obat lebih umum terjadi pada orang dengan
lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup sehat (makanan sehat
dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan (Michelle,
1998).
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru),
perikarditis (radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi
darah seperti trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini,
terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan
dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian
menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit
untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat
dikontrol dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan darah
membutuhkan dosis 40mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai
sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga
dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Siklosporin juga
dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia, tetapi
karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obat- obat immunosupresan ini
membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul, sehingga dalam
periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup
untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan dengan
obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke dosis
terendah untuk pengendalian penyakit (Michelle, 1998).
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat
termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam
tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau
metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan
penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau mychophenolate dapat
digunakan sebagai imunosupresif dan dapat mengurangi dosis steroid
yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi 2 fase yaitu:
induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase
pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol. Pengobatan tambahan yang
digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma
exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) mengalami penurunaan
penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu tapi banyak yang masih
percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu pada lupus akut,
penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi
monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung
memainkan bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat
(Michelle, 1998).
Pengobatan Penyakit Lupus
Pengobatan Lupus tergantung dari :
1. Tipe Lupus.
2. Berat ringannya Lupus.
3. Organ tubuh yang terkena.
4. Komplikasi yang ada (Wallace, 2007).
Tujuan pengobatan Lupus adalah :
1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.
2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.
Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :
1. Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan
dan merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem,
pil atau cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet
dosis rendah. Jika kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid
bentuk tablet atau suntikan dosis tinggi. Bila kondisi teratasi
maka penggunaan dosis diturunkan hingga dosis terendah untuk
mencegah kambuhnya penyakit (Wallace, 2007).
2. Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi
keluhan nyeri dan bengkak pada sendi dan otot (Wallace, 2007).
Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :
1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan
ringan, tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering
menimbulkan efek samping peningkatan tekanan darah dan merusak
fungsi ginjal. Bahkan beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko
serangan jantung dan stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu
ovulasi dan jika digunakan dalam 6 kehamilan (setelah 20 minggu),
dapat mengganggu fungsi ginjal janin (Djoerban, 2002).
2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang
umumnya terjadi pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan
osteoprotektif seperti pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-
obat osteoprotektif yang efektif seperti kalsium dan bifosfonat.
Steroid juga dapat memperburuk hipertensi, memprovokasi diabetes dan
memiliki efek buruk pada profil lipid yang mungkin berkontribusi
pada meningkatnya kematian akibat penyakit jantung. Steroid dosis
tinggi meningkatkan risiko pendarahan gastrointestinal dan terjadi
pada pada dosis yang lebih rendah jika digunakan bersama NSAID.
Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup umum pada lupus dan
tampaknya terkait terutama dengan penggunaan steroid oral dosis
tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki banyak
efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang berperan
penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini
tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat
merupakan kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih
rendah. Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian
dan kumulatif. Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat
kecil. Pasien dianjurkan untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6
bulan untuk identifikasi dini kelainan mata selama pengobatan.
Dewasa ini pemberian terapi hydroxychloroquine diajurkan untuk semua
kasus lupus dan diberikan untuk jangka panjang. Obat ini memiliki
manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek anti-platelet
sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap
serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).
4. Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk
perkembangbiakan sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual
adalah efek samping yang umum terjadi, sedangkan leukopenia dan
trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4% kasus. Pemantauan
efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah memiliki gejala
klinis tersebut. Azathioprine dianggap aman digunakan selama
kehamilan (Djoerban, 2002).
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi.
Dibandingkan siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi
ovarium (indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi
serius, leukopenia atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga
lebih efektif dan lebih baik ditoleransi daripada azathioprine
namun kontra indikasi dalam kehamilan, sehingga hanya boleh
digunakan pada wanita usia subur bila disertai penggunaan
kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu paruh,
pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum
konsepsi yang direncanakan (Djoerban, 2002).
c. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi
memiliki banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk
modulasi produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika
diperlukan diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada
hari yang sama dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi
risiko efek samping. Mual dan sariawan cukup sering terjadi,
leukopenia, trombositopenia dan tes fungsi hati yang abnormal
kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak boleh digunakan selama
kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya tiga bulan sebelum
konsepsi (Djoerban, 2002).
d. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan
kreatinin serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi
sehingga pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting.
Obat ini dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam
dosis efektif terendah dengan memonitor secara seksama tekanan
darah dan fungsi ginjal (Djoerban, 2002).
e. Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus
yang mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah
terbukti meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal
dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak
digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau
sebagai infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek
samping utama yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko
infeksi, kegagalan fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan
peningkatan risiko keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu
fungsi organ reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga
penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi
(Djoerban, 2002).
f. Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel
esensial dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering
diberikan kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab
ditemukan penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah
menyebabkan kemajuan dramatis pada beberapa odapus. Saat ini
Rituximab termasuk salah satu obat yang menjanjikan untuk Lupus
(Djoerban, 2002).
Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:
1. Ruam kulit
a. Sun block/tabir surya
b. Topikal kortikosteroids
2. Nyeri dan bengkak pada sendi
a. Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
b. Topikal analgesik
c. Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama
analgesik pada pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi
stress akibat rasa nyeri yang berkepanjangan
3. Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
4. Sariawan dan kekeringan rongga mulut
a. Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atau
semprot berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucin
b. Obat kumur steroid
5. Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi
jangka panjang bagi penderita trombositopenia berat.
6. Osteoporosis
a. Vitamin D
b. kalsium
7. Risiko penyakit jantung koroner
a. Asam folat
b. Obat penurun kadar lemak darah (Djoerban, 2002).
BAB IV
KESIMPULAN
Lupus merupakan penyakit autoimun kronis dimana terdapat kelainan
sistem imun yang menyebabkan peradangan pada beberapa organ dan sistem
tubuh. Mekanisme sistem kekebalan tubuh tidak dapat membedakan antara
jaringan tubuh sendiri dan organisme asing (misalnya bakteri, virus) karena
autoantibodi (antibodi yang menyerang jaringan tubuh sendiri) diproduksi
tubuh dalam jumlah besar dan terjadi pengendapan kompleks imun (antibodi
yang terikat pada antigen) di dalam jaringan. SLE atau lupus menyerang
perempuan kira-kira delapan kali lebih sering daripada laki-laki.
Hubungan antara lupus dan patogenesis masih kontroversial, karena
komponen komplemen dan imunoglobulin, termasuk kompleks penghancur membran,
dapat dijumpai kedua kulit non-lesi dan lesi pada pasien lupus eritematosus
sistemik. Patogenesis melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self-
tolerance bersama aktivasi sel B. Hal ini dapat terjadi sekunder terhadap
beberapa faktor antara lain: efek herediter dalam pengaturan proliferasi
sel B, hiperaktivitas sel T helper, dan kerusakan pada fungsi sel T
supresor.
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik,
hormonal dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat
mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan
sinar matahari.
Dalam upaya melakukan preventif terhadap penyakit lupus perlu
ditingkatkan pelayanan kesehatan di Indonesia, baik oleh pemerintah maupun
semua pihak yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Pasien juga harus
diberi penyuluhan tentang apa itu lupus, apa bahayanya dan bagaimana
gejalanya agar pasien bisa turut berperan aktif dalam upaya pencegahan
penyakit lupus.
Adapun jenis-jenis penyakit lupus antara lain: Lupus Eritematosis
Diskoid (DLE), Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) dan Lupus Eritematosus
yang disebabkan oleh obat.
Diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 gejala spesifik yang ditetapkan
seperti Malar Rash/Butterfly Rash, Discoid Rash, Fotosensitif, Luka di
mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers), Nyeri pada sendi-sendi,
Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi
cairan, gangguan pada ginjal. Gangguan pada otak atau sistem saraf mulai
dari depresi, kejang, stroke, dan lain-lain. Kelainan pada sistem darah di
mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi
juga anemia. Tes ANA (Antinuclear Antibody), sebagai pertanda aktifnya
lupus bila ditemukan dalam darah pasien, dan gangguan sistem kekebalan
tubuh. Cara diagnosis Lupus atau SLE (Lupus Eritematosus Sistemik) dengan
Uji Imunologik.
Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang,
dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus ringan,
gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar
matahari dengan menggunakan tabir surya, dan Hidroksikloroquin. Lupus
sedang, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, Hidroksikloroquin sudah
memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga
dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Lupus berat, steroid
sangat dibutuhkan dalam tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi
immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen
biologi) terutama rituximab. Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori
obat yaitu Kortikosteroid dan Nonkortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA
Aulawi, Dede Farhan 2008, Mengenal Penyakit Lupus, Diakses 2 Mei 2014
(http://www.panduankesehatan.com).
Djoerban, Zubairi, Prof.dr.Sp.Pd.KHOM 2002, Systemic Lupus Erythematosus,
Yayasan Lupus Indonesia, Jakarta.
Joseph A. Bellanti, M.D. 1993, Imunologi III, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Michelle Petri, M.D., M.P.H. 1998, Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus,
Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, Maryland.
Robbins, S.L, Cotran R.S & Kumar, V 1999, Dasar Patologi Penyakit, EGC,
Jakarta.
Sjaiffoellah, Noer 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit
FKUI,
Jakarta.
Sylvia, A.P & Lorraine, M.W 2005, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Underwood, J.C.E 1999, Patologi Umum dan Sistematik, EGC, Jakarta.
Wallace, J.D 2007, The Lupus Book: Panduan Lengkap Bagi Penderita Lupus dan
Keluarganya, B first, Jakarta.